poetlady

Encounter.

Jimin rasanya ingin menguping pembicaraan seorang pria yang duduk di samping kiri mejanya dengan lawan bicaranya diujung telepon. Suara familiar yang entah... dirinya sangat yakin bahwa itu adalah suara seseorang yang pernah menjadi bagian dalam masa lalunya dan Taehyung. Dan yang membuat bulu kuduk Jimin meremang adalah fakta bahwa seorang pria di sampingnya itu menyebutkan nama 'Jeon'.

Ia tahu, Seoul—bahkan Korea itu sangat luas. Tidak hanya satu orang yang memiliki nama yang sama dengan Jeon yang ia kenal. Jimin berpikir; sangat tidak masuk akal jika pria di sampingnya ini—yang menurutnya sangat mirip dengan Jaebeom dari segi suara—berbicara dengan Jeon Jeongguk. Dunia ini benar-benar sempit dan kecil jika hal tersebut benar.

Belum sempat Jimin menguping pembicaraan pria itu, ia akhirnya menangkap sosok Taehyung sedang berjalan kembali ke arah meja mereka. Sahabatnya itu sudah kembali dari kamar kecil. Ia penasaran, namun juga tidak ingin tahu apa yang Taehyung lakukan selama sepuluh menit. Hell, sedekat-dekatnya mereka berdua, Jimin rasanya tidak perlu tahu apa yang sahabatnya itu lakukan.

Taehyung yang melihat raut wajah Jimin keheranan dan sedikit mendengus, akhirnya segera menuju kembali ke mejanya dengan agak berlari. Space antara meja para tamu dan bar agak sedikit jauh; cukup ruang untuk beberapa orang berlalu lalang.

“Sori lama, Jims. Gue keasyikan foto-foto room nya. Bagus banget sumpah, ada banyak art di dalem. Hehehe,” jelas Taehyung innocent sambil menarik kursinya pelan laku mendaratkan pantatnya di kursi empuk itu. Ia seperti tahu apa yang Jimin ingin tanyakan hanya dari raut wajahnya.

Sahabat Jimin itu hanya tertawa kecil sambil mengeluarkan handphone nya dari saku celananya. Jimin hanya bisa memutar kedua bola matanya sebal sambil menyentil dahi Taehyung yang tertutup poni tipisnya itu. “Bener-bener lo, ya! Gue kira lo ngapain di sana. Udah gue tungguin juga.” Jimin mengomel lalu mendengus dan menarik napkin makan dari atas meja.

Taehyung yang sedang asyik men-scroll handphone nya langsung meringis kesakitan sambil mengelus dahinya. “Sakit, anjir, Jims! Duh, bisa merah nih dahi gue.” Taehyung ingin membalas dengan mencubit tangan temannya—salah satu cara untuk membuat Jimin kesal, namun hal itu urung dilakukan olehnya saat seorang waiter datang mengantar makanan mereka. Hari ini, Jimin memutuskan untuk menikmati makanan barat; yang tentu ditanggapi dengan antusias oleh Taehyung.

Setelah mengucapkan terima kasih dengan singkat, akhirnya mereka berdua tenggelam dalam kesibukannya masing-masing—mengabadikan makanan tersebut dengan beberapa foto dan mengeditnya sana sini. Jimin dan Taehyung memiliki kebiasaan seperti ini setiap kali mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Maka tak heran jika sepuluh menit berlalu, suasana di meja itu hening. Hanya terdengar suara napas dari keduanya.

Jimin sama sekali tidak mengingat apa yang ingin ia lakukan beberapa menit lalu sebelum Taehyung datang; saat ini ia sedang asyik mengambil foto makanannya dan foto sahabatnya. Taehyung terlihat seperti malaikat hari ini—ia yakin Jeongguk akan senang melihatnya.

Jimin tahu, Taehyung dan Jeongguk sangat merindukan satu sama lain; padahal technically, mereka baru berpisah dua hari. Tertawa kecil, Jimin hanya menggelengkan kepalanya sambil asyik mengutak-atik handphonenya.

Teringat akan sesuatu, Jimin lalu mengalihkan pandangannya dari layar dan mengangkat kepalanya—berniat melihat seorang pria itu yang duduk di meja samping mereka berdua.

Terlihat sosok itu memunggungi Jimin; berkutat pada buku tebal dengan beberapa alat tulis dan highlighter di sampingnya; layar laptop di hadapannya menunjukkan mode standby. Sosok itu beberapa kali mengangguk-angguk. Jimin lalu melihat sepasang earphone menyumbat kedua telinga pria itu.

Sepertinya lagu itu kencang sekali, batin Jimin. Ia samar-samar mendengar suara yang keluar dari benda kecil di telinga pria itu. Jimin menanggapi hanya mengangkat bahu dan kembali memusatkan perhatian pada layarnya.

Taehyung menaikkan alisnya sebelah keheranan sambil memperhatikan gelagat sahabatnya yang duduk di depannya itu.

“Lo kenapa sih, Jims daritadi? Kayak uget-uget tau nggak, gerak mulu. Ada apa, sih?” Taehyung bertanya penasaran. Jimin tidak biasanya terlihat gelisah. Ia bisa membedakan antara Jimin sedang kegirangan dengan Jimin seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

Taehyung melihat sahabatnya itu hanya menanggapi dengan tertawa nanar sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Nggak! Nggak ada apa-apa, Te!” Jimin menjawab seperti hampir berteriak. Kedua tangannya dikibaskan dan ia lalu menegak cepat ice coffee miliknya. Jimin menghindari kontak mata dengannya. Ia sedikit kaget karena tingkah sahabatnya. Taehyung akhirnya memutar kedua bola matanya sambil menyeruput ice chocolate yang ia pesan tadi bersamaan dengan makan siang mereka.

“Yakin, Jims? Lo tumbenan gini soalnya. Atau... jangan-jangan gebetan lo ada di sini ya!?” Taehyung menebak asal lalu meletakkan gelasnya yang dingin. Ia memajukan badannya ke arah Jimin dan mengerlingkan kedua matanya.

Menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum usil untuk menggoda Jimin; yang membuat sahabatnya itu akhirnya menghadiahi Taehyung dengan sentilan lebih kencang dan sakit di dahi mulusnya.

“ADUH— PARK JIMIN!!!”

Satu setengah jam berlalu dengan sangat cepat. Kebiasaan Jimin dan Taehyung saat menghabiskan weekend bersama adalah mereka pasti selalu lupa waktu. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang; jika sedang menghabiskan waktu bersama seperti ini, keduanya harus mengatur ponsel mereka menjadi airplane mode. Sama sekali tidak ada yang boleh mengganggu; bahkan kedua ibu mereka. Tentu hal ini akhirnya diperbolehkan oleh Bunda Kim dan Mama Park setelah diskusi dan proses lobi yang alot.

Awalnya, Bunda Kim dan Mama Park menentang ide mereka ini. Beliau berdua hanya takut terjadi apa-apa pada putra mereka. Namun hal tersebut ditanggapi Taehyung dengan santai sambil memberikan solusi pada Bundanya.

Pada akhirnya, ibu mereka meluluskan permintaan mereka; namun dengan satu syarat—memperbolehkan supir mereka mengganggu mereka kapan saja. Taehyung dan Jimin akhirnya setuju bahwa keduanya harus pergi dengan supir. Supir Jimin sudah beberapa kali mengalami hal serupa.

Hingga saat ini, supir Jimin tidak terlihat batang hidungnya sama sekali dari dalam restoran; Taehyung menganggap bahwa semuanya baik-baik saja.

Ia tidak tahu, kekasihnya di rumah tidak konsentrasi sama sekali karena Taehyung tidak kunjung membalas pesannya. Jeongguk bukan seseorang yang overprotektif, apalagi posesif. Ia hanya khawatir berlebihan jika menyangkut Taehyung. Namun itu dulu, sebelum ia akhirnya mengetahui kebiasaan antara Jimin dan Taehyung.

Begitu banyak cerita yang saling dibagikan dengan satu sama lain sore ini. Jimin menceritakan semua hal; mulai dari Mama Park yang sebentar lagi akan membuka restoran baru, hingga seseorang yang ditaksirnya sejak lama. Taehyung tersenyum melihat sahabatnya bercerita dengan antusias. Jimin adalah satu-satunya sosok yang selalu ia jadikan sandaran. Taehyung bersyukur memiliki sahabat seperti Jimin—selalu tahu bagaimana cara 'mengatasi' seorang Kim Taehyung.

Tidak ada rahasia yang disembunyikan dari satu sama lain. Taehyung menyayangi Jimin lebih dari apapun. Sahabatnya itu selalu ada di sampingnya sejak mereka kecil; Jimin seperti menggantikan sosok kakak perempuannya selama ini. Sahabatnya itu sudah seperti saudara laki-lakinya sendiri.

Selama mereka berdua bersahabat, Jimin tergolong jarang mencurahkan perasaannya pada Taehyung. Namun Taehyung tahu, Jimin selalu berusaha untuk 'melindungi' Taehyung dari apapun.

Maka Taehyung berjanji pada dirinya sendiri untuk 'membayarnya' dengan menjadi sahabat terbaik Jimin.

Sedang Taehyung hari ini tidak bercerita terlalu banyak. Ia hanya menceritakan tentang dirinya dan Jeongguk selama beberapa hari kebelakang. Mengingat itu, Taehyung menyunggingkan senyumnya lebar. Ia merindukan kekasihnya itu. Baru kali ini mereka berdua terpisah lebih dari beberapa jam; ini sudah hari kedua dan masih ada beberapa hari kedepan yang harus dilewati masing-masing tanpa bertemu satu sama lain.

Terlalu lama menghabiskan waktu dengan bercerita dan tertawa, Taehyung dan Jimin tidak sadar bahwa kafe Haru perlahan sudah mulai ramai oleh tamu. Setelan lampu pun sudah mulai meredup. Kafe Haru beralih fungsi menjadi sebuah bar jika sudah melewati pukul enam sore.

Taehyung mengedarkan pandangan ke sekelilingnya; tidak banyak meja yang terokupasi di dekatnya. Hanya ada seorang pria yang duduk memunggungi mereka—Taehyung perhatikan, pria itu masih duduk dengan posisi yang sama sejak siang tadi.

Memperhatikan jam tangannya sekilas, Taehyung mengernyit. Mereka berdua sudah menghabiskan waktu hampir tiga jam di sini? Tidak terasa sama sekali, batinnya.

Taehyung menengok ke arah luar melalui kaca besar yang menjadi dinding pembatas kafe itu. Semburat oranye mewarnai langit sore dengan merah muda sebagai pemanis. Taehyung tersenyum lalu mengambil handphone nya yang sedari tadi tidak terdapat satupun notifikasi. Membuka aplikasi kamera, ia mengarahkan handphonenya sedemikian rupa sehingga mendapat angle yang bagus untuk fotonya.

Langit sore ini harus diabadikan. Terlalu indah, begitu pikirnya.

Jimin yang memperhatikan Taehyung terlalu fokus mengabadikan langit sore ini, buru-buru menyambar handphone miliknya yang ada di samping gelasnya dan membuka aplikasi kamera. Sepasang sahabat itu terlihat lucu; seperti sedang mengikuti kompetisi foto—berlomba-lomba foto siapa yang paling bagus. Taehyung lantas melirik sahabatnya dan tertawa kecil.

Hari ini hari yang cukup indah untuk Taehyung.

Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada langit sore itu dan tersenyum—memikirkan Jeongguk. Ingin rasanya Taehyung menemui kekasihnya itu. Kalau saja bukan dirinya sendiri yang meminta untuk 'puasa' bertemu karena Jeongguk butuh berkonsentrasi agar dapat menghadapi ujian beberapa hari kedepan dengan lancar—ia pasti akan pulang sekarang juga untuk menemui Jeongguk.

Taehyung menghela napas berat yang akhirnya mengundang perhatian Jimin. Sahabatnya itu menoleh; senyumnya perlahan meluntur dari wajahnya.

“Te? Kenapa? Kok kayak sedih gitu?” Jimin bertanya sambil mengacak pelan rambut sahabatnya.

Taehyung hanya bisa menggeleng sambil tertawa nanar. “Nggak apa, kangen Ggukie, Jims. Banget.”

Jimin hanya merespon “Aww, Taehyungie...” sambil meraih tangan Taehyung dan mengelus punggung tangannya pelan; salah satu cara Jimin untuk menenangkan Taehyung setiap kali ia terlihat akan sedih.

Mereka berdua terlalu terpaku dengan pikiran masing-masing, sampai tidak menyadari bahwa seorang pria sedang beranjak dari duduknya setelah membereskan barang-barangnya di meja. Pria itu memasukkan laptop dan buku-bukunya kedalam tas besar itu.

Merangkul tas di pundak dan berniat pulang, sebelum akhirnya sepasang matanya bersirobok dengan sesosok laki-laki di depannya yang sangat ia kenali. Laki-laki itu terlihat indah dari side profilenya; rambutnya berwarna silver dengan goresan blonde, sedang menikmati pemandangan langit sore ini dari balik kedua mata hazelnya.

Ia hafal betul hanya dengan melihat potongan jawline yang sering menjadi pemandangan sepasang matanya beberapa tahun lalu; sampai akhirnya mereka 'berpisah'.

Dengan ragu, seorang pria itu membuka suara. Tak sadar bahwa suaranya sudah terbata; terkejut dengan takdir yang menurutnya sangat kebetulan sekali.

Apa mungkin ini memang takdir yang harus ia lewati dan hadapi?

Suaranya bergetar namun jelas, membuat sosok itu menoleh. Waktu terasa sangat lambat, kala sepasang mata hazel laki-laki itu bertemu dengan kedua mata hitamnya.

“Ta—Taehyung?”

A Voice.

Taehyung dan Jimin merindukan waktu luang yang selalu mereka habiskan bersama setiap akhir pekan. Dua hari tersebut merupakan waktu yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun—begitu prinsip mereka sejak kecil. Bersahabat sekian lama membuat mereka berdua paham luar dalam satu sama lain. Ambil contoh saat ini; jika Taehyung terlihat sedih dan murung dengan kenyataan bahwa dirinya harus 'puasa' bertemu dengan Jeongguk, maka Jimin sebagai 'cenayang' sahabatnya langsung berinisiatif mengajak Taehyung jalan-jalan hari ini.

Rencananya berhasil, karena sahabatnya itu langsung mengiyakan tanpa pikir panjang. Kita sudah lama nggak jalan dan nongkrong bareng, Jims, begitu katanya kemarin.

Lantas, di sinilah akhirnya Taehyung dan Jimin saat ini, di salah satu gerai desainer ternama terbesar di Seoul. Maklum, kesenangan Jimin untuk berbelanja barang-barang bermerk seperti ini memang jarang muncul. Mood Jimin dalam berbelanja selalu hilang timbul. Hari ini, mood sahabat Taehyung itu muncul dengan sendirinya; menyebabkan Jimin harus bolak-balik keluar-masuk fitting room, mencoba beberapa pakaian yang ia taksir. Kata Jimin, koleksi ini sudah sebulan lalu keluar, namun keinginan membeli tidak timbul hingga sekarang. Taehyung hanya mengangguk-angguk sambil tertawa kecil mendengarnya.

Setelah mengitari rak koleksi gerai itu dua kali sambil berjalan pelan, Taehyung tidak juga menemukan barang yang ingin ia beli atau coba. Lagipula, biasanya Bunda akan memberitahu nya jika ada sesuatu yang layak untuk dibeli. Taehyung adalah seseorang yang akan membeli barang jika ia sangat ingin. Pun sama halnya dengan mengganti sesuatu; ia akan melakukannya jika barang yang ia miliki terlihat akan rusak. Tetapi Taehyung tidak pernah mempermasalahkan orang lain yang bertolak belakang dengan dirinya, seperti sahabatnya sekarang ini. Taehyung justru senang melihat tingkah Jimin yang kegirangan karena bisa berbelanja—walaupun katanya, beberapa bag yang terlihat di kasir adalah milik Mamanya. Sahabat Jimin itu hanya terkekeh sambil memukul pelan lengannya.

Tak kunjung melihat Jimin akan selesai dengan dunianya, akhirnya Taehyung memutuskan untuk keluar dari gerai dan memilih untuk duduk di sofa nyaman yang berada di depan gerai. Hari ini mall terlihat sepi, tidak seperti biasanya; ramai pengunjung berlalu lalang dengan membawa bag bertuliskan desainer ternama. Apa karena masih siang ya, pikir Taehyung.

Setelah mengambil duduk, Taehyung melihat sekeliling sambil memicingkan matanya dan mempertajam indera penciumannya. Ia seperti mencium aroma hot chocolate favoritnya. Setelah melihat sekeliling barang semenit, sepasang matanya akhirnya menangkap kedai kopi kecil yang terletak tidak jauh dari tempatnya ia duduk. Taehyung segera berlari-lari kecil sambil mengeluarkan dompetnya dari saku celananya.

Mumpung Jims lagi asik belanja sampai entah kapan, mending gue beli hot chocolate aja, pikirnya.

Butuh waktu lima menit dari waktu Taehyung memesan minuman favoritnya sampai akhirnya ia dengan secure memegang segelas kertas hot chocolate nya dan berjalan kembali ke sofa nyaman itu. Ia berjalan pelan sambil menengok ke kanan dan kiri; ada beberapa gerai baru yang akan buka. Taehyung melihat salah satu gerai merk favoritnya akan selesai direnovasi dalam waktu dekat.

Tak sadar, Taehyung terkekeh sambil mengeluarkan handphone nya dan membuka aplikasi kalender. Ia tidak ingin melewatkan hari spesial itu. Siapa tahu, ia dan Jimin bisa mampir untuk melihat apakah ada diskon spesial di hari itu. Sekalian ajak Bunda kalau memang ada, tawanya renyah.

Selang beberapa menit setelah Taehyung kembali duduk di depan gerai, ia mengeluarkan ponselnya dan mencari aplikasi pesan. Jujur, Taehyung rindu dengan Jeongguk; padahal baru genap dua hari mereka tidak bertemu. Walaupun video call masih tetap dilakukan, namun Taehyung kepalang rindu dengan sentuhan sayang nan lembut dari Jeongguk. Katakanlah ia clingy, tapi toh, kekasihnya itu tidak pernah protes.

Bertukar pesan beberapa kali dengan Jeongguk—ya, kekasihnya itu akan meneleponnya sebentar lagi; Taehyung teringat akan janji Jeongguk bahwa akan menceritakan hasil bicaranya dengan Mama Jeon semalam. Taehyung akhirnya memposisikan duduknya dengan nyaman, sebelum akhirnya mendengar nada dering handphonenya berbunyi. Tertera nama kesayangan Jeongguk di layar dan Taehyung menjawab dengan riang.

“Halo, Ggukie sayang!”

Jimin akui, cukup lelah berlari ke sana kemari di dalam gerai favoritnya sambil memilih beberapa barang yang ingin ia coba; mulai dari sunglasses, pakaian, topi, sepatu, hingga sandal. Entah mengapa, semangatnya untuk berbelanja hari ini sangat berapi-api. Pun Assistant Manager—yang akrab disapa Kak Yoon oleh Jimin—hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum lebar. Mereka sudah lama mengenal satu sama lain—bahkan Jimin dan Mamanya menyimpan kontak Kak Yoon. Alasan Jimin sederhana; supaya ia tahu koleksi baru apa saja yang keluar pada musim ini.

Hal ini tentu membuat Taehyung seringkali mengingatkan sahabatnya untuk tidak terlalu berlebihan dalam berbelanja. Yang tentu ditanggapi oleh Jimin hanya dengan kerlingan mata sambil berkata 'besok lo bakal gue beliin apa aja biar nggak bawel'. Taehyung biasanya hanya akan memutar kedua bola matanya sambil menyentil dahi Jimin hingga sahabatnya itu meringis.

Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam di dalam, Jimin akhirnya keluar dengan sudah membawa tiga bag putih bertuliskan merk tersebut didepannya. Senyum merekah tampak di wajah Jimin, sebelum akhirnya ia melihat Taehyung dari kejauhan sedang duduk sendirian di sofa. Berjalan mendekat, Jimin menyadari bahwa Taehyung hanya menunduk sambil kedua tangannya menutupi wajahnya.

Jimin mengernyit; berpikir apakah sahabatnya itu tertidur sambil menunggunya asyik sendiri berbelanja. Merasa bersalah, ia lalu berlari-lari kecil kearah Taehyung—menyadari setelahnya bahwa terdengar isak tangis dari balik kedua tangan Taehyung. Jimin lalu bergegas dan duduk di samping sahabatnya itu; meletakkan beberapa bag itu asal di sisi kanan kakinya dan mengelus lengan Taehyung pelan.

“Te... kok nangis? Ada apa?” Jimin bertanya hati-hati. Ada apa sebenarnya? Sepertinya tadi Taehyung terlihat baik-baik saja sebelum mereka berpisah di dalam gerai. Jimin memutar otaknya; mengira-ngira apa yang terjadi sampai akhirnya sahabatnya itu menghela napas berat lalu mengusap kedua matanya.

Taehyung hanya terkekeh sambil menarik hidungnya; menghilangkan jejak tangis. “Hehe, nggak kenapa-kenapa. Habis telfon Ggukie tadi, Jims. Dia cerita sesuatu. Kind of sad, but it was a happy tears, kok. Don't worry.” Taehyung melihat Jimin mengeluarkan raut muka tidak percaya—alis sahabatnya naik sebelah dan tangannya menopang dagu mungilnya itu.

“Jims, beneran! Gue nggak bohong. Kayaknya gue dramatis aja. Tadi habis telfonan sama Ggukie, terus denger suatu berita. Nggak apa kok, we're fine.” Taehyung berusaha meyakinkan sahabatnya itu yang tidak mudah percaya dengan alasannya sendiri.

Menghela napas pelan dan terkekeh, akhirnya Taehyung mengulurkan jari kelingkingnya pada Jimin, sambil berkata, “pinky promise, Jims. Udah percaya belum sekarang?”

Jimin yang sedari tadi bersikukuh, akhirnya menyerah. Mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Taehyung, akhirnya ia berkata yakin. “Oke, gue percaya. Ayo kita ke kafe sekarang, gue udah laper banget!”

Disambut tawa pelan dan anggukan oleh Taehyung, akhirnya mereka berdiri sambil membawa bag putih hasil belanjaan Jimin dan mengarah keluar mall.

Setelah cukup lama menempuh perjalanan ke kafe Haru—nama kafe baru yang sudah hits di kalangan remaja dan anak muda kota itu, akhirnya Jimin dan Taehyung turun dari mobil. Sebelumnya, Jimin menginfokan kepada pak Supir bahwa ia dan Taehyung akan lama berada di kafe. Supir Jimin hanya mengangguk mengerti dan menjawab bahwa beliau akan mencari parkir terdekat.

Terlihat dari luar kafe, beberapa orang berdiri menunggu giliran masuk dan mendapat tempat duduk. Taehyung bersyukur dirinya dan Jimin telah memesan tempat sehari sebelumnya—ia tahu bahwa kafe akan ramai pada saat weekend. Taehyung juga tidak mau mengambil resiko dan akan berakhir duduk di smoking room pada akhirnya. Ia sudah membayangkan bagaimana reaksi Bunda dan juga Jeongguk.

“Atas nama Park Jimin, please ,” kata Jimin kepada seorang server yang berdiri di ambang pintu sambil memegang papan nama. Taehyung mengintip kearah benda tersebut; terlihat beberapa belas nama berderet dibawah keterangan Waiting List. Ia hanya melotot sambil menggelengkan kepala tidak percaya. Syukurlah hari ini mereka beruntung.

Seorang wanita muda yang menjadi server itu tersenyum sambil mempersilahkan mereka masuk setelah melihat nama Park Jimin tertera di kolom Reservation. Sambil membawa sepasang buku menu, ia mengantar Jimin dan Taehyung ke meja yang sudah diset rapi dan cantik didepan bar—tempat strategis yang Taehyung ingin duduki di kafe ini.

Tersenyum sembari mengucapkan terima kasih, akhirnya mereka mengambil duduk dan membuka buku menu. Jimin mengedarkan pandangan ke arah ruangan; terlihat beberapa pasangan yang duduk jauh dari mejanya berada; seorang pria berkacamata duduk di samping mejanya berada, membelakangi Jimin; dan beberapa mahasiswa—menurut kacamata Taehyung—sedang duduk membelakanginya. Jarak antar meja cukup membuat privasi setiap tamu terjaga; bisa dipastikan conversation yang terjadi di setiap meja tidak akan terdengar.

“Rame juga ini tempat, Te. Lo sering ke sini?” Jimin bertanya pelan sambil melihat beberapa menu yang disajikan di kafe Haru. Dalam sekali buka, Jimin sudah mendapatkan beberapa menu yang ingin ia coba dengan Taehyung. Mereka berdua sering memesan banyak makanan untuk sharing. Jimin pernah berkata 'gue pengen cobain semua, please nggak usah protes'; yang dibalas Taehyung dengan terkekeh.

Taehyung tersenyum sambil mengalihkan pandangannya dari menu dan menatap Jimin. “Nggak, baru tiga kali ini, sih. Dua kali sama, Ggukie. Tapi selalu dapet tempat nggak strategis terus. Baru kali ini gue dapet di sini. Tempat favorit lho, Jims. Pantesan ada minimum spending, pake reservasi pula.”

Jimin hanya terkekeh pelan sambil mengerling. “Tenang, menu yang mau gue pesen bakal mencapai minimum spending, kok. Kita bakal hardcore kayak biasa, 'kan, Te?”

Sahabatnya itu hanya tertawa pelan sambil berkata dengan riang. “Wow, udah pasti, dong! Gue juga ada beberapa rekomendasi menu yang harus lo coba, Jims!”

Setelah memesan beberapa menu—tolong, itu sangat banyak sebetulnya, namun mereka berdua tidak peduli—, akhirnya Taehyung meminta izin pada Jimin untuk pergi ke kamar kecil. Jimin hanya mengangguk; ia sedang serius mengedit fotonya tadi di gerai saat berbelanja. Beberapa aplikasi terpasang dalam mode standby di handphonenya. Jimin tidak peduli terhadap sekeliling, ia terlalu fokus pada layarnya yang menampilkan foto dirinya.

Fokus Jimin sedikit melonggar, saat melihat seorang waiter berjalan ke arahnya sambil membawa buku menu. Waiter itu akhirnya menghentikan langkahnya di meja sebelah mereka duduk. Jimin lalu memalingkan pandangan ke arah luar kafe; masih banyak tamu yang belum mendapatkan tempat duduk. Ia merasa kasihan sekaligus senang; beruntung hari ini dirinya dan Taehyung mendapatkan tempat duduk—dan strategis pula.

Taehyung tak kunjung kembali dari kamar kecil setelah lewat lima menit. Jimin menegakkan tubuhnya untuk mencari sosok sahabatnya dengan matanya, sesaat sebelum ia mendengar suara seorang pria dari meja di sampingnya.

Suara ini sangat familiar. Siapa ya? Jimin berpikir keras, sampai akhirnya ia merasa seperti tersambar petir di siang hari.

Bulu kuduknya meremang, kala seorang pria dengan suara itu berkata dengan antusias; menyapa suara yang berada diujung sambungan teleponnya.

“Halo, Jeon! Apa kabar?”

Bahagia.

Setelah membereskan kamarnya dan memindahkan extra bed ke ruang atas, Jeongguk segera berjalan menuju sofa ruang tengah dan mengambil duduk. Mama Jeon menginfokan melalui telepon bahwa beliau tidak perlu dijemput; tante Song—teman Mamanya sejak lama, akan mengantarnya pulang ke rumah.

Beruntung, Jeongguk memiliki waktu yang cukup banyak untuk mempersiapkan diri dan hatinya berbicara empat mata dengan Mama Jeon. Dalam lubuk hatinya, sebenarnya ia sudah tahu bahwa Mamanya akan mendukung apapun keputusannya. Namun, dirinya sendirilah yang beberapa tahun lalu bersikeras untuk mengubur dalam-dalam mimpinya untuk mengejar jurusan Hukum.

Rasanya seperti baru kemarin kejadian itu menghantui pikirannya berbulan-bulan. Keraguan itu, terlalu cepatnya Jeongguk mengambil keputusan itu, dan rasa sesal sesudahnya.

Jeongguk adalah anak tunggal dari keluarga Jeon. Sejak kecil, ia diajarkan untuk selalu mengejar apa yang ia mau. Gantunglah cita-citamu dan passion-mu setinggi bintang di langit, itu kata Papa Jeon dulu. Kata-kata itulah yang selalu Jeongguk tanam di dalam hati dan memorinya—sampai pada saat Papa meninggalkan dirinya dan Mama Jeon secara mendadak.

Entah sudah berapa lama Jeongguk tenggelam dalam memori masa lalunya, sampai ia tidak sadar bahwa sudah ada individu lain di dalam ruangan. Tak bersuara; hanya memandang putra semata wayangnya sambil tersenyum kelelahan.

“Gguk... Mama pulang.” Jeongguk buyar dari lamunannya dan menoleh ke arah suara. Wajah Mama Jeon terlihat letih—terlihat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jeongguk yang melihat Mamanya membawa banyak barang, langsung bergegas berdiri dari sofa dan membantu beliau membereskan barangnya.

“Mam, let me. Mama istirahat aja, ya? Gguk udah bikinin Chamomile tea buat Mama barusan. Masih hangat.” Jeongguk menunjuk kearah tempat di mana ia meletakkan cangkir dan semangkuk Gamjatang—seporsi pork bone soup yang sudah ia panaskan untuk Mamanya.

Mama Jeon yang melihat minuman dan makanan favoritnya disediakan oleh Jeongguk, lantas mengecup kening anaknya dan berjalan menuju meja makan dan mengambil duduk. Jeongguk melihatnya hanya tersenyum sambil membereskan beberapa barang yang beliau beli—groceries dan barang keperluan rumah.

“Thank you, Nak. Mama makan ya. Kamu udah makan?” tanya Mama Jeon kemudian saat Jeongguk menarik kursi di seberang Mamanya usai beberes.

“Udah tadi, Ma. Makan Jjajangmyeon. Gguk takeouts juga buat porsi makan malam tadi. Mama tumben nggak makan di luar?” Jeongguk bertanya sambil memperhatikan Mamanya menyantap Gamjatang dengan lahap. Mama terlihat segar kembali setelah menyantap beberapa suap.

Tersenyum, Mama Jeon menjawab, “Nggak, Mama ada feeling kamu bakal nyiapin makanan buat Mama, like always. Jadi tadi Mama bilang tante Song buat langsung pulang aja dari meeting and strolling around.”

Mendengar jawaban Mamanya, Jeongguk pun ikut tersenyum.

His mom always knows him. Yeah, she always does.

Suasana di meja makan sunyi; hanya bunyi gemeletuk gigi Mama Jeon yang beradu dan sendok garpu yang berdenting dengan piring. Jeongguk menggunakan kesempatan itu untuk berpikir keras—memikirkan apa saja yang akan ia sampaikan pada Mamanya. Ia merasa semuanya serba terburu-buru; Jeongguk takut keinginan untuk berbicara dengan Mamanya hanya sebatas karena keadaan yang 'memaksa', bukan karena keinginannya sendiri.

Setelah menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit, akhirnya Mama Jeon selesai menyantap makan malamnya lalu membereskan meja makan. Jeongguk meminta beliau untuk segera beristirahat dan menuju kamar—biar dia saja yang membereskan sisanya. Mama mengangguk kemudian, lalu pamit masuk ke kamar tidurnya.

Jeongguk rasanya ingin memulai pembicaraan dengan Mama Jeon, namun semuanya yang sudah ia siapkan matang-matang terasa seperti berhenti di kerongkongan.

Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk menimang-nimang antara iya dan tidak, akhirnya Jeongguk memberanikan diri berjalan ke arah kamar Mama Jeon.

Mengetuk pintu kamar Mama dua kali, tidak ada jawaban. Ketiga kali, Mama akhirnya menjawab dengan sedikit berteriak. “Gguk, sebentar. Mama lagi telepon. Dua menit lagi, Nak.”

Okay, dua menit. I can wait, batin Jeongguk.

Setelah tepat dua menit—ya, Jeongguk menghitungnya—akhirnya Mama Jeon mempersilahkan anak semata wayangnya itu masuk ke kamarnya. Warna broken white mendominasi dinding dan sudut-sudut ruangan. Mama Jeon memang suka dengan warna hangat cenderung pastel. Beliau pernah bilang, bahwa warna yang seperti ini mampu membuatnya tenang.

Tentu Jeongguk tahu, karena beberapa bulan lalu Mama Jeon mengajaknya membeli keperluan untuk mendekorasi kamarnya sedemikian lupa. Menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menentukan warna dinding dan sofa yang bermaksud untuk dipadu-padankan.

Menggeleng sambil tersenyum mengingat kala itu, Jeongguk berjalan ke sisi kasur sebelah kanan. Mama Jeon sedang menyandarkan punggungnya di headboard bed; tangan kanan sedang memegang kuping cangkir chamomile tea yang dibuat oleh Jeongguk tadi. Mama Jeon terlihat tersenyum sambil berusaha membaca raut wajah Jeongguk.

Mengambil duduk di samping Mama nya, Jeongguk mulai buka suara.

“Ma...,” belum sempat Jeongguk melontarkan kata kedua, Mama Jeon langsung memotong ditengah.

“There's something bothering you, sayang. Apa Mama benar?” Mama menebak tanpa tedeng aling-aling; membuat Jeongguk terkejut dan seketika membelalakan sepasang matanya.

“Huh? Mam? H-how do you know?” Jeongguk menatap kedua mata Mamanya takut. Sudah lama Jeongguk tidak terlihat dan merasa gugup seperti ini saat berbicara dengan Mamanya. Sejak kecil, Jeongguk sangat dekat dengan Mamanya. Ia terbuka—membicarakan seluruh kejadian yang terjadi di hidupnya pada Mamanya. Tidak jarang Jeongguk dan sang Mama disebut terlihat seperti kakak adik karena kedekatan mereka.

Mama Jeon masih sangat muda; ia melangkah ke jenjang pernikahan dengan Papa Jeon saat masih berumur dua puluh lima tahun. Dua puluh bulan kemudian, sang Mama melahirkan Jeongguk. Maka tak heran jika Jeongguk sangat dekat dengan Mama Jeon.

Berbeda dengan Papa; hubungan Jeongguk dan Papa Jeon memang baik-baik saja, namun karena pekerjaan Papa Jeon sebagai Lawyer, hal inilah yang menyebabkan Jeongguk hanya bertemu dengan sang Papa hanya saat weekend. Porsi bercerita Jeongguk dengan Mama dan Papa berbeda—hanya karena waktu saja.

Mendengar jawaban Jeongguk, Mama Jeon hanya tersenyum lalu meletakkan cangkirnya di nakas.

“Sayang, kamu ini anak Mama. Tentu Mama tahu lah kamu kalau udah diem aja dan pasif gitu di deket Mama, pasti ada sesuatu.” Mama Jeon menanggapi dengan santai. Sementara Jeongguk? Ia rasanya sebentar lagi akan ngompol. Terakhir kali ia berbicara serius dengan Mama adalah pada saat ia akan menyatakan cintanya pada Taehyung. Biasanya, segala sesuatu dibicarakan dengan santai antara ia dan Mama Jeon. Namun saat ini, adalah saat menegangkan menurut Jeongguk.

“Uh... Ma, Gguk pengen ngomongin soal kuliahnya Gguk,” kata Jeongguk ragu. Ia takut Mama akan mencecarnya dengan pertanyaan yang dirinya sendiri tidak tahu bisa dijawab atau tidak.

Mama Jeon menjawab anak semata wayangnya dengan tenang. “Ada apa, sayang? Ada masalah di scholarship kamu? Atau...” Mama berhenti sejenak lalu menyambung lagi. “Kamu mau berubah pikiran?”

Jeongguk yang mendengar Mamanya menebak tepat sasaran tanpa meleset, hanya bisa melengos dan menunduk. Ia terlihat memainkan ujung selimut kasur dengan jarinya.

“U-uh... Mam, Gguk bakal nanya hypothetically... kalau Gguk tiba-tiba merasa pursuing Law major itu nggak sesuai dengan kemauan Gguk... apa Mama bakal marah?” Jeongguk bertanya dengan hati-hati. Kalimat pertanyaan ini sudah ia hafalkan dan rapalkan berkali-kali sejak tadi sore.

“Mama tebak, it's not hypothetically, 'kan, Nak?” Mama bertanya lagi.

Kenapa Mama dari tadi nanya nggak meleset, sih? Nggak bisa ngeles jadinya, omel Jeongguk dalam hati.

Jeongguk lalu menghela napas dan menjawab pertanyaan Mama Jeon. Ia berharap kata-katanya tidak akan berhenti di tengah kerongkongannya.

“Uh... Iya, Mam. Actually I'm having a crisis here. Mama tau Gguk gimana; kalau ada target yang Gguk punya, Gguk bakal selalu usaha supaya ngeraih itu. Tapi Mam, entah... Gguk merasa, fotografi masih bagian dari Gguk, Ma. Gguk pengen jadiin itu karir. Gguk pengen kejar itu...”

Jeongguk terlalu lama menunduk sehingga tidak melihat Mamanya mengernyit kebingungan. Kening Mama Jeon menimbulkan guratan; pun kedua alis coklatnya hampir bertaut.

“Tapi jurusan Hukum itu, Gguk... G-guk bingung Mam harus gimana...” Jeongguk tidak merasa bahwa selama ia berbicara, ia tidak menatap mata sang Mama. Ia hanya takut akan respon yang akan dikeluarkan oleh beliau.

Mama Jeon mengedipkan sepasang matanya beberapa kali; ia tidak menyangka bahwa saat-saat yang beliau tunggu akhirnya datang juga. Dan kali ini, permulaan tidak berasal dari dirinya.

“Gguk sayang, coba sini lihat Mama. Kamu nunduk terus nanti sakit lehernya,” kata sang Mama sambil tersenyum dan mengelus pelan tangan Jeongguk yang sedari tadi bertaut. Kedua telapak tangannya basah oleh keringat; Jeongguk terlalu gugup.

Memutuskan untuk mendongak dan menatap kedua mata sang Mama, Jeongguk tidak menemukan sorot kecewa di sana. Kedua mata Mama berair; air mata akan turun setelahnya sepertinya, batin Jeongguk.

Giliran anak semata wayang Mama Jeon mengernyit, dan berkata kemudian, “Ma... kenapa nangis? Apa Gguk ada salah ngomong?” Jeongguk lalu menggeser tubuhnya kemudian, mengelus pelan lengan Mamanya. Beliau terdengar terisak, Jeongguk kelabakan karenanya.

“Ma, maaf...” Hanya dua kata yang bisa ia katakan. Jeongguk bingung. Ia tidak pernah mendengar Mamanya menangis sejak kepergian Papa Jeon. Mama selalu terlihat kuat dan ceria. Sosok yang paling positif dari semua orang yang pernah ia temui di dunia ini. Tidak ada kata sedih sepertinya dalam kamus Mamanya; semua hal ia tanggapi dengan bahagia dan positif. Mamanya selalu mengajarkan bahwa semua hal harus dilihat dari dua sisi. Jangan bias, jangan cepat mengambil keputusan, dan jangan pernah melihat orang hanya dari apa yang mereka tunjukkan.

Jeongguk rasanya ingin ikut menangis jika melihat Mamanya seperti ini.

Terdengar tarikan napas yang terbata, sebelum akhirnya Mama Jeon menarik tangan anaknya dan memeluk Jeongguk.

“Jeongguk... oh, Tuhan...,” kata Mama Jeon kemudian—menggumam sambil mencium puncak kepala anaknya dan mengelus punggungnya turun naik.

“Ma...?” Respon Jeongguk kemudian.

“Sayang, you have no idea how long I have been waiting for this moment. Actually, Mama rasanya ingin bicara sama kamu waktu itu, tapi Mama nggak mau ngerusak momen kamu,” kata Mama Jeon diikuti suara tawa nanar.

Mengernyit bingung; tidak tahu apa maksud sang Mama, Jeongguk hanya menggumam.

“Jeon Jeongguk, anak Mama satu-satunya... semua impian kamu, cita-cita kamu, passion kamu; Mama nggak pernah ada rasa ingin membatasi kamu. Semua itu terserah Gguk. Mama hanya ingin satu dua kata. Kamu bahagia. Kebahagiaan kamu itu cuman kamu yang bisa ciptakan. Jangan pernah berpikir; apa Mama bahagia kalau Gguk melakukan ini, apa Mama seneng kalau Gguk melakukan itu?

“Satu hal yang harus kamu tahu, sayang. Mama akan menjadi orang yang paling bahagia kalau kamu bahagia. Sumber bahagia Mama ya cuman kamu, Nak. Jangan pernah melakukan suatu hal hanya untuk membuat orang lain senang. Bahagiakan diri sendiri dulu; niscaya sekeliling kamu akan bahagia juga.”

Jeongguk merasakan air mata Mama Jeon tumpah membasahi rambut lebatnya. Tak terasa kedua matanya pun sudah basah dan membuat jejak lembab di baju Mamanya.

Sang Mama terdengar menghela napas berat dan melanjutkan. Suaranya parau. “Sayang, waktu kamu cerita ke Mama kalau kamu akan menggelar exhibition sebegitu megahnya untuk klub kamu, teman-teman kamu, dan juga Taeby; Mama melihat—seberapa semangat kamu, seberapa antusias kamu, seberapa jiwa Virgo kamu berteriak. Betapa perfeksionis kamu—anak Mama satu-satunya. And I could see that. I could see how photography light up your days. Hell, even your life, Gguk.

“Dari sana, Mama berpikir. Apa yang sebenarnya membuat kamu banting setir dari passion kamu? Mama pun berpikir; apa Papa pernah meminta kamu? Apa Mama pernah menyinggung hal itu dengan kamu—sampai-sampai kamu mengorbankan mimpi kamu? Mama pun berpikir; apa memang akhirnya anak Mama berubah haluan tiba-tiba?

“Mama nggak tahu isi hati kamu bagian itu, sayang. Dan itu hak kamu, Nak. Tidak semua hal harus kamu ceritakan ke Mama. Tapi, Gguk... jangan pernah paksakan sesuatu hanya karena satu faktor, okay? Pikirkan matang-matang dan jangan gegabah. Tapi, nggak ada salahnya punya impian baru. Hanya, jangan pernah terlalu cepat memutuskan sesuatu. Ya, Nak? Cuma itu yang Mama mau pesan sama Gguk.”

Jeongguk mengangguk cepat sambil menarik napasnya pelan-pelan dengan ritme. Ia sudah menangis terisak; mendengar Mamanya berbicara tentang kenyataan bahwa selama ini Mama sudah tahu. Mamanya—yang selalu mengerti segala hal tentang dirinya.

Menarik diri dari pelukan Mama, Jeongguk mengusap kedua matanya lalu membuka mata. Terlihat di depannya, sang Mama tersenyum teduh menatap Jeongguk dan mengelus pipi anaknya kemudian.

“Inget ya, Gguk, Mama akan dukung keputusan kamu, apapun itu. Mama akan jadi number one supporter kamu. Nggak usah pikirin soal kebahagiaan Mama. Mama akan bahagia kalau kamu bahagia. Oke, sayang?” Mama Jeon bertanya sambil menggumam. Hanya satu harapan beliau di dunia ini; Jeon Jeongguk, anak semata wayangnya, harus bahagia.

Anak semata wayang Mama Jeon itu hanya bisa mengangguk lega. Air mata bahagia Jeongguk tumpah bersama dengan luapan perasaan dan ragu yang telah sekian lama ia simpan.

Rasanya beban Jeongguk yang paling besar telah terangkat. Keraguan itu pun terasa benar-benar hilang bersamaan dengan kecup sayang dari sang Mama.

Kata-kata dari Mama Jeon akan ia simpan dalam memorinya dari hari ini sampai kapanpun.

Bahagiakan diri sendiri dulu.

Ya, bahagia dulu.

Doubt.

“Yeah, sayang. Take care, okay? Inget pesen aku, kamu jangan sampai duduk di smoking room. Ya, Tae?”

Jeongguk beberapa kali mengingatkan Taehyung mengenai hal ini; belajar dari pengalamannya dengan kekasih manisnya itu saat beberapa bulan lalu mereka ingin mencari suasana baru untuk nongkrong.

Memang, sedari awal Taehyung-lah yang mengajak Jeongguk untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari restoran sushi favoritnya. Kata Taehyung, kafe itu menjual minuman cokelat panas dan strawberry cake yang sangat enak—yang sebenarnya Taehyung hanya melihat dari beberapa review di salah satu aplikasi di ponselnya.

Jeongguk yang mendengar Taehyung berceloteh sehari sebelumnya mengenai kafe tersebut hanya menganggukan kepalanya mengerti sambil mengecup pelan pipi kiri Taehyung dan berkata, “iya oke, besok kita ke sana.”

Sahabatnya saat itu—yang sekarang sudah menjadi kekasih, hanya meneriakkan kata 'hore' kelewat kencang sambil membalas kecupan Jeongguk di pipi. Matanya berbinar dan senyumnya merekah.

Kekasihnya itu memang mudah sekali bahagia, yang secara otomatis menularkan rasa bahagia itu pada orang lain.

Saat mereka sampai dan akhirnya tahu bahwa tidak ada area duduk yang nyaman karena terlalu ramai, Taehyung secara otomatis menyetel mood-nya menjadi kesal. Bibir maju dua sentimeter, berubah sensitif, dan mengernyit. Jeongguk tahu kebiasaan Taehyung, maka ia bersikeras untuk mendapatkan tempat yang nyaman untuk mereka akhirnya duduk.

Dan Jeongguk terpaksa mengiyakan tawaran seorang waiter untuk duduk di smoking room. Tidak apa, asal Taehyung tidak bad mood seperti ini.

Namun akhirnya, pilihan Jeongguk tersebut membuat Bunda marah beberapa jam setelahnya karena anak laki-lakinya membawa bau asap rokok dari ujung rambut sampai ujung sepatu ke dalam rumahnya.

“Bunda berapa kali sudah bilang, 'kan, sayang. Apa harus kamu duduk di situ? 'Kan bisa duduk di tempat lain?” Bunda terlihat melepas kacamata bacanya dan memijat keningnya. Beliau terlihat menghela napas berat.

Sedang Taehyung yang berdiri di hadapan Bundanya terlihat kecil dan menunduk. Ia memainkan ujung bajunya sambil menghela napas pelan. “Semua tempat penuh, Bun. Lagian kenapa, sih... kan Tae tinggal mandi, Bunda,” kata Taehyung merajuk, yang dibalas Bunda hanya dengan gelengan.

Bunda Kim yang tahu bahwa ia tidak akan berdebat dengan anak laki-lakinya, akhirnya menyerah sambil menghela napas berat.

“Yeah, okay, I will let you pass this time. Just... jangan diulangi lagi, ya Tae?”

Berbalas anggukan mantap dari Taehyung, Bunda Kim kembali tersenyum dan mengajak anak laki-lakinya itu bicara seperti tidak ada apa-apa.

Esoknya, Jeongguk datang ke rumah Taehyung dengan membawa satu keranjang penuh berisi buah apel untuk Bunda Kim.

Diujung telepon, Taehyung terdengar sedang memanyunkan bibirnya. Jeongguk tahu. Ia hanya tersenyum karenanya.

“I can feel you pouting from here, baby.” Jeongguk bicara sambil tersenyum. Ugh, rasanya ia ingin sekali cepat-cepat melewati ini semua dan menemui Taehyung sekarang juga. Ia sudah terlalu rindu. Padahal mereka berdua baru berpisah satu hari.

Jeongguk tidak tahu, bahwa sekarang Taehyung terbelalak; merasa seperti sedang kepergok Bunda memotong strawberry cake di lemari pendingin langsung dari sendok miliknya.

“H-how do you know? Ugh, I told you a million times already, no, Ggukie? I won't sit in smoking area. Janji,” kata Taehyung terdengar mantap namun terselip nada sebal. Jeongguk tahu, kekasihnya itu sekarang pasti sedang menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan.

“Iya, sayang. Cuma mau make sure aja, aku takut kamu lupa. Kamu kan nggak lagi pergi sama aku.”

Entah berapa kali Jeongguk ingin memberi kode bahwa ia sangat merindukan Taehyung. Seketika, ia teringat akan pembicaraan tadi malam yang tiba-tiba dibahas oleh manisnya itu. Ia lantas menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran macam-macam di dalam otaknya.

“Iya, iya, Ggukie. Ada Jims, kan. Kamu tenang aja, okay?”

Setelah bertukar beberapa kalimat, akhirnya Jeongguk mengakhiri sambungan telepon sambil menghela napas lega. Ia seperti sehabis merasakan beban di hatinya terangkat; hanya dengan mendengar suara Taehyung.

Yugyeom yang melihat sahabatnya tersenyum terlalu lebar, lantas berujar kemudian.

“Ayo belajar lagi. Dasar remaja bucin garis keras.”

Jeongguk dan ketiga sahabatnya benar-benar menghabiskan waktu hari ini dengan belajar, belajar, dan belajar. Tidak ada distraksi yang signifikan selama mereka berdiskusi hari ini. Jeongguk dan Eunwoo bergantian memimpin diskusi hari ini.

Kamar tidur Jeongguk memang terbilang sangat luas; cukup untuk mereka berempat belajar dan tidur. Ruangan seluas 8 x 10 meter itu pun dilengkapi dengan komputer dan alat bermain Jeongguk. Maka tak heran, Mama Jeon selalu memancing Jeongguk untuk mengundang teman-temannya menginap di rumah.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat sore—Jeongguk tadi berjanji akan memesan takeouts untuk dirinya dan para sahabatnya late lunch. Sebenarnya, Jeongguk ingin memesan dari restoran sushi favoritnya, namun Eunwoo dan Mingyu baru saja kemarin makan malam berdua saja di sana. Pun Yugyeom sudah sarapan sebelum pergi ke rumah Jeongguk. Maka ia memutuskan untuk memesan takeouts setelah belajar.

Setelah menelepon restoran korea yang sering Jeongguk jadikan restoran favorit apabila Mama Jeon sedang kerja larut malam di kantor, ia memanggil para sahabatnya untuk keluar ke ruang tengah. Sekalian jam istirahat, begitu katanya tadi.

Wajah Yugyeom terlihat lesu dan kusut. Modul yang diberikan oleh guru mereka tempo hari untuk latihan tergolong sangat susah. Beberapa kali Jeongguk harus bertanya pada Yoongi via text bagaimana cara menyelesaikan soal yang rumit itu.

Jeongguk akui, sesi belajar hari ini hampir membuat kepalanya pecah. Tryout yang akan dilaksanakan pada hari Senin cukup membuatnya dan ketiga sahabatnya gugup.

“Gila, gue eneg banget belajar hari ini. Kenapa ya? Emang susah atau cuman perasaan gue doang sih?” Eunwoo mengeluh panjang lebar sambil beberapa kali meniup Gamjatang yang ia pesan melalui Jeongguk tadi. Rasa pedas dan panas membuat Eunwoo semakin menggebu-gebu saat mengeluh.

Yugyeom yang mendengar sahabatnya itu hanya terkekeh dan menjawab sekenanya. “Emang susah, anjrit. Ini kita dikasih soal buat TO atau buat masuk kuliah sih?”

Bicara soal kuliah, Jeongguk yang hendak menyeruput Yukgaejang miliknya langsung meletakkan sendoknya asal. Menghasilkan bunyi cukup keras, hingga menyebabkan ketiga sahabatnya yang sedang asik menyantap makanannya masing-masing langsung menoleh ke arahnya.

“Huh? Ada apa Gguk?” Mingyu yang berada tepat di samping kirinya bertanya pelan. Jeongguk bukan tipe orang yang bersuara jika sedang makan. Alat makannya pun biasanya ia gerakkan sepelan mungkin. Ajaran Mama Jeon sejak kecil.

“U-uh... nggak. Gue denger Gyeom ngomongin soal kuliah, gue jadi keinget sesuatu lagi...” Jeongguk menghela napas berat lalu menyadarkan punggungnya ke sofa. Ia menjawab pertanyaan Mingyu sambil menengadahkan kepalanya.

“Hmm? Keinget apaan, bro?” Giliran Eunwoo bertanya sambil mengernyitkan dahi.

Jeongguk sendiri pun tidak tahu dari mana dan kapan rasa ragu-ragu itu mulai muncul. Namun yang ia tahu pasti, sejak menggarap exhibition fotografi yang berakhir sukses, impiannya yang sudah lama ia kubur akhirnya memaksa mencuat kembali keluar.

“Nggak tau ya, guys... Gue kok rasanya nggak pengen ambil Hukum ya? Gue... entah kenapa karena kemarin garap exhibition, jiwa fotografi gue bangun lagi.”

Yugyeom yang duduk berseberangan dengan Jeongguk seketika menganga. Walaupun mereka berempat sudah menjalin persahabatan cukup lama, namun hanya Yugyeom yang tahu apa alasan sebenarnya Jeongguk mengubur impiannya mengejar fotografi dan memilih jurusan Hukum instead.

“Gguk...?” Jeongguk mendengar Yugyeom bertanya. Kata-katanya menggantung di udara. Ia tidak tahu harus merespon apa lagi. Yugyeom tahu, Jeongguk adalah satu-satunya sahabat yang ia miliki yang tidak mudah berpindah haluan. Jeongguk adalah seseorang yang jika sudah memiliki target, ia akan mengejar dan melakukannya sampai berhasil.

Maka tidak heran jika Yugyeom bukan main terkejutnya.

“Gguk, sejak kapan?” Yugyeom bertanya sekali lagi. Kali ini dengan nada tegas. Eunwoo dan Mingyu seketika menoleh ke arah Yugyeom; baru kali ini mereka mendengar sahabatnya itu berbicara dengan nada seserius ini. Apalagi dengan mereka berdua, termasuk Jeongguk.

Jeongguk terlihat mengacak-acak rambutnya sambil menggeram. Sudah saatnya ia bercerita pada Eunwoo dan Mingyu juga sepertinya. Mereka berdua mungkin tidak akan mengerti pembicaraan ini kalau hanya ia simpan sendiri.

“So, yeah, Wo, Ming... long story short, gue sebenernya dari dulu pengen masuk fotografi. Tapi ya... sejak Bokap pergi mendadak, gue jadi pengen ngikutin jejaknya. Cuman Mama dan Yugyeom yang tahu.

“Entah. Dari situ gue udah ngga nengok-nengok keinginan gue soal fotografi sebagai hal yang mau gue kejar. Selama ini ya gue menjalaninya sebagai hobi aja. Nggak lebih. Gitu deh intinya.” Jeongguk terlihat sulit untuk melanjutkan lagi ceritanya.

Mingyu yang posisi duduknya sekarang berada terdeket dengan Jeongguk, langsung mengulurkan tangannya dan memegang pundak Jeongguk. Ia berharap gesturnya dapat membuat Jeongguk merasa lebih baik.

Setelah sudah merasa lebih baik dan stabil, akhirnya Jeongguk menyambung lagi.

“Sejak tempo hari gue motret Taehyung, gue kayak tersadar. Gue rasanya pengen pursue lagi passion gue sebagai fotografer. Taehyung nggak tahu cerita ini sama sekali, tapi berkat gue kemarin foto dia dan akhirnya gue jadiin exhibition, gue jadi sadar kalau sebenarnya selama ini gue ngubur passion fotografi gue buat Nyokap gue.”

Jeongguk tanpa sadar sudah meremat kaosnya yang tipis hingga hampir bolong. Para sahabatnya yang ada di sampingnya hanya bisa menepuk pelan bahunya untuk menyalurkan rasa perhatiannya. Bagi mereka berempat, topik yang biasa dibicarakan sangat jarang menjurus kearah yang berat. Maka Mingyu dan Eunwoo hanya bisa diam sambil menenangkan Jeongguk.

Yugyeom yang sudah beberapa kali mendengar cerita dibalik banting setirnya Jeongguk dari fotografi, akhirnya buka suara.

“Gguk, diobrolin sama Nyokap lo, ya? Pelan aja. Bisa kok, dan semua belum terlambat.”

Kata Yugyeom menyambung lagi. “Nggak ada kata terlambat untuk ngejar apa yang lo pengen, Gguk.”

The Way It Hurt Him.

“Dek, gue tadi malem nge-chat Bogum.”

Tere yang sedang menikmati sup kimchi bikinan Mamanya seketika tersedak hingga kedua matanya berair. Rasa pedas yang menusuk di tenggorokan membuat Tere menghabiskan tiga gelas air hangat. Merasa bersalah, Jaebeom membantunya me-refill gelas adiknya itu dan menepuk pundaknya yang masih terbatuk.

“The hell, kak. Kasih warning dulu dong lo kalau mau cerita! Gue bisa keselek lagi nih, mana pedes banget lagi sup nya Mama,” omel Tere pada kakaknya yang hanya membalasnya dengan senyum menyesal.

“Sori, sori. Abis gue males basa-basi. Dari semalem gue kepikiran.” Jaebeom beralasan. Tere yang sudah menghabiskan gelas keempatnya hanya mengernyit bingung sambil tetap melihat kearah kakaknya itu. Jaebeom terlihat hanya memainkan sumpitnya sambil mengunyah makanannya pelan.

“Kepikiran apaan, kak? Soal kemaren, sori kalau gue ngedesak gitu ngirim lo chat bertubi-tubi. Abis gue penasaran, kak. Gila kali dunia ini sempit banget? Masa orang yang lo ceritain dari dulu adalah Taehyungnya Jeongguk? Dan Jeongguk adalah calon junior lo di kampus; yang kebetulan adalah ketua klub fotografi gue? Gila banget, kan, kak. Gue aja— aduh!”

Tere yang sedang berbicara panjang lebar tidak menyadari bahwa Mamanya sudah masuk ke ruang makan lagi. Jaebeom yang menyadari adiknya tidak akan berhenti bicara sampai ia mengambil napas, langsung menginjak kakinya di bawah meja.

Meringis, Tere mencoba memukul lengan Jaebeom dengan napkin makan di pangkuannya, namun meleset. Kakaknya itu sudah menarik tangannya jauh.

“Hei, lagi makan nggak ada bercanda kayak gitu. Jae, jangan iseng sama Tere begitu dong. Tere juga, kalau makan nggak ada ya ngomong begitu ngujus nggak ada napas. Nggak elok. Sudah, lanjutkan dulu makannya,” kata Mamanya cepat sambil berlalu kearah dapur.

Tere hanya mendengus, sementara Jaebeom hanya terkikik geli melihat adiknya lebih banyak dinasihati oleh Mamanya.

“Rese lo, kak. Pokoknya abis ini lo utang cerita. Awas aja lo ya,” kata Tere sinis sambil mengacungkan jari telunjuknya kearah Jaebeom. Kakaknya itu hanya mengacungkan jempolnya tanda setuju lalu kembali menyantap sarapannya.

“Ayo gimana, kak, ceritain. Gue khusus dengerin lo doang hari ini. Gue udah batalin jadwal jalan sama anak-anak,” kata Tere saat dirinya berdua memasuki kamar Jaebeom. Tere masuk dengan membawa laptop, cemilan, minuman soda, charger, bantal, dan ponsel di tangannya.

Jaebeom yang melihatnya hanya menggelengkan kepala sambil mengambil beberapa barang dari tangan adiknya yang terlihat kesusahan itu.

“Lo mau ngapain bawa barang banyak banget kayak gini?! Lo mau piknik di kamar gue apa gimana?” Jaebeom terheran melihat adiknya yang sudah mengokupasi lantainya dengan menaruh barang-barangnya. Walaupun rapi, tetap saja Tere terlihat seperti mau piknik.

Tere yang mendengar tanggapan Jaebeom hanya mendengus dan menjawab sekenanya. “Karena gue tau, cerita lo itu panjang dan kompleks. Jadi gue membuat kamar lo yang super rapi ini senyaman mungkin untuk gue. Karena vibes kamar lo, ngga gue banget.”

Tere tertawa setelahnya, yang membuat Jaebeom giliran mendengus dan melempar bantal ke arah muka adiknya.

Setelah beberapa menit dihabiskan untuk bickering with each other, akhirnya Jaebeom memposisikan tubuhnya nyaman dengan bersandar pada kasurnya. Sedang Tere terlihat merebahkan tubuhnya di sebelah Jaebeom sambil memeluk bantalnya.

“Dek, lo inget kan gue pernah cerita, waktu gue bilang kayaknya gue ada rasa sama anak laki-laki di lapangan basket sore-sore itu?” tanya Jaebeom untuk memulai pembicaraan mereka.

Ia menoleh kearah Tere; menangkap adiknya itu memutar bola matanya malas dan menjawab seadanya. “Iya, gue inget. Males banget gue harus denger itu lagi. Mesti ya, kak?”

Jaebeom hanya tertawa kecil dan mengangguk.

Iya, semuanya berawal dari sana.

“Haha, iya mesti. Itu awal dari semuanya kenapa sampai tahun lalu, gue masih suka kepikiran Taehyung.”

“Oh shit, okay...” jawab Tere mengernyitkan dahi bingung.

“Jadi, dek, dulu gue saat hari di mana kenal sama Taehyung itu, gue kayak... gimana ya? Seneng banget? Hell, he was shining so bright though that day was so hot. But that boy was different. I just knew back then.

“Trus ya... gue melihat kok kayaknya waktu itu Taehyung nggak tertarik sama gue... in a way? Dia lebih terlihat antusias untuk kenalan sama Bogum. Jadi gue ya, kayak, minta tolong Bogum untuk ngenalin gue lebih jauh sama Taehyung? At least deket sebagai teman.

“Bogum waktu itu setuju buat ngebantuin gue, lo tau? Dia semangat untuk minta nomor Taehyung ke Jimin. Setiap kita latihan basket dan ada Jimin, dia berusaha untuk nanya soal Taehyung. Jujur gue waktu itu ngga berani kayak dia. Ya gimana sih, Taehyung udah keliatan banget sama gue pasif gitu. Nanti dia malah tambah lari.

“I thought Bogum was helping me. Sampai pada akhirnya, Jimin—well yeah, that Park Jimin, dek... adek kelas lo—”

“Oh shit? Kak...” Tere yang sedari tadi mendengarkan cerita Jaebeom hanya bisa menanggapi dengan terkejut. Ia tahu kemana pembicaraan ini akan mengarah, karena Jaebeom sempat bercerita sedikit padanya.

“Yeah, well shit, dek. Tunggu dulu gue belum kelar,” kata Jaebeom memotong sambil tertawa nanar dan memainkan ujung karpet yang didudukinya.

Tere hanya mengangguk dan mempersilahkan kakaknya melanjutkan ceritanya.

“Lo inget, waktu gue cerita Jimin dateng dan setengah marah karena dia denger Bogum ngomongin Taehyung?”

Tere mengangguk lagi. Jaebeom kemudian mengambil napas panjang, seperti akan menjatuhkan kejutan besar.

“Lo tau dia ngomong apa sesaat sebelum Jimin dateng—yang gue yakin banget Jimin denger apa yang diomongin Bogum. He said, 'ada yang lagi suka sama gue. I feel so lucky, man. He's cute. And I think I like him too.'

“I felt like shit, dek. Gue akhirnya paham kenapa kok kayaknya Taehyung jadi lebih deket sama dia dan ngga ada progress sama gue?

“Gue cuman protes ke Bogum untuk stop ngomong, karena waktu itu menurut gue kayak, nggak sopan aja? There's something off when he told us about Taehyung, but I thought it was just me.

“Gue cuman protes, tapi gue ngga pergi. Gue nggak mau Bogum tau kalau gue juga suka sama Taehyung, ngerti, 'kan? Tapi gue juga ngga mau Bogum kayak gitu. Ngerti, kan, dek?”

Jaebeom tak sadar sudah bercerita dengan nada tingginya. Tere yang mendengarkannya hanya diam dan menepuk-nepuk dengkul kakaknya itu untuk menenangkan.

Ia tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia tahu ada hal lain yang belum diceritakan oleh Jaebeom.

“Gue ngga ngerti kenapa dan apa yang direncanain sama dia. Hell, gue bahkan udah jarang ketemu Bogum lagi karena waktu itu, ceritanya selalu Taehyung, Taehyung, dan Taehyung. Panas gue, but what can I do?

“Trus lama-lama, ternyata the feeling was mutual between them, so yeah I stepped back.”

Jaebeom terdengar menghela napas berat. Tere tahu sejak dulu kakaknya ini tertutup; bukan tipikal seseorang yang akan menceritakan sesuatu. Apalagi saat kejadian itu, mereka masih kecil. Cinta monyet—ujung-ujungnya hanya terlihat seperti main-main saja, kata orang.

Jadi menurut Jaebeom, tidak penting memberitahukannya pada Tere. Toh, adiknya itu juga tidak terlalu kenal dekat dengan teman-temannya, terutama Bogum. Tere hanya tahu bahwa Bogum dan Jaebeom bersahabat dekat selama duduk di bangku SMP.

“Yang gue ngga tahu, adalah, ada satu orang dari temen-temen dia yang kayak ngasih challenge ke Bogum; bisa ngga lo ngedeketin dia dan beneran bertahan tiga bulan? Kalau bisa, the captain position is yours.

“Dan lo tau gue baru ngeh kapan? Waktu tiba-tiba gue baru dateng di gedung sekolah, terus gue liat ada rame orang di tengah lapangan. Pas gue liat, itu Taehyung... dicegat sama temen-temen Bogum. Lo pikir dek, gila apa gimana? Itu masih SD, for fuck sake.

“Gue merhatiin dari jauh—Taehyung nangis di sebelah Jimin yang udah marah-marah sambil nunjuk-nunjuk. Gue mau nyamper, tapi gue nggak ngelakuin itu. Goblok banget gue. Gue akhirnya cuman liat mereka dari jauh. Gue ngeliat Jimin mapah Taehyung pulang, ngga jadi sekolah.

“Gue baru tau setelahnya; rame banget kalau Bogum cuman oke-in dare itu karena mau gelar Capt. Gila, ngga? Bahkan gue Capt aja ngga tau rencana tolol itu!

“Dek, kalau dia mau gelar Capt, udah gue kasih dengan cuma-cuma! Ngga perlu sampe nyakitin orang lain, apalagi Taehyung! Gue benci banget asli.”

Jaebeom beberapa kali memukul pinggir kasurnya dengan keras. Tere yang ada di sampingnya hanya bisa menepuk-nepuk tangan kakaknya untuk mencoba menenangkannya. Jaebeom jarang sekali marah—menunjukkan emosinya seperti ini. Maka ia tahu, kalau sisi lain Jaebeom sudah keluar, tandanya kakak laki-lakinya itu sudah marah besar.

Adik Jaebeom yang sedang berbaring akhirnya duduk dan menyandarkan tubuhnya sejajar dengan Jaebeom. “Tapi kak..., kenapa Taehyung dan Jimin jadi benci sama lo juga? I mean... you clearly didn't do anything wrong?”

Tere mendengar Jaebeom mendengus dan tertawa nanar menanggapi pertanyaannya. Ia terlihat menggelengkan kepalanya dan menutup kedua matanya dengan lengannya.

“His friends didn't like me, neither did he. So yeah, the way to escape from guilt was saying that the master of that stupid dare is me. And the rest ya, begitulah... sampe di telinga Jimin dan Taehyung. Gila, ya?”

Tere seketika itu terbelalak tidak percaya dan menyahut ucapan kakaknya dengan berteriak.

“What the fuck?! Jadi selama ini mereka tahunya itu lo semua yang ngerencanain? God damn, kak? What the fuck?!”

“Hei, tenang-tenang. Jangan marah juga.” Jaebeom melihat wajah Tere sudah memerah, kedua tangannya pun mengepal tanda kesal.

“Gimana gue ngga marah kalau tau ternyata kenyataannya kayak gitu?! Anji—”

“Eits, stop right there,” kata Jaebeom tegas—memotong kata-kata adiknya.

Tere hanya menggelengkan kepala dan membanting bantal miliknya ke lantai. Ia benar-benar kesal—mengetahui bahwa selama ini kakak kandungnya memiliki masa lalu yang bisa dikatakan, cukup buruk.

Jaebeom lalu mengambil permen karet yang dibawa adiknya lalu melanjutkan ceritanya sambil mengunyah.

“Ya, begitu lah, dek. Tapi saat gue kenal Jeongguk, I guess Taehyung atau pun Jimin ngga cerita apa-apa soal gue sepertinya? Karena sampai sekarang, Jeongguk fine-fine aja sama gue... like? Kalau memang dia tahu soal itu, yaelah dek, udah babak belur kali gue dari kemaren-kemaren.”

“Jadi, ya... yang selama ini gue ceritain sebelum akhirnya gue jadian sama Luna, adalah /the/ Kim Taehyung, yang ternyata adalah adik kelas lo dan yang ternyata... kata lo adalah pacarnya Jeongguk.”

“Dan lo kenapa sekarang masih mau kenal sama Bogum? Dan masih deket? Ngga ada gunanya banget lo temenan sama orang kayak gitu,” kata Tere ketus.

Jaebeom lalu menghela napas dan mengelus kepala adiknya. “Ya gimana sih, dek. He was such an ass, but he is still my best friend. He said sorry, beberapa tahun lalu. Gue juga kayak, ya mau gimana? Gue sempet silent treatment dia sampai gue lulus SMP. Tapi kasihan, temen-temennya yang dulu juga ngejauhin dia.

“That's why, habis kelar SMP, dia pindah ke New York. Ya mungkin ngga nyaman juga kali nerusin di sini. Gue ngga pernah denger part dia langsung secara lengkap, sih. Maybe it always haunted him as well. Jadi ya, gue hargai lah.

“Hate is a strong word, I know. Gue dulu juga benci sama dia. Tapi gimana ya, dek... walaupun gue sahabatnya dia, tapi gue ngga tau dalem-dalemnya dia kayak gimana. Dia pasti ada alasan lah ngelakuin itu.”

“Lo terlalu baik, kak. Terlalu baik,” kata Tere final.

Jaebeom tahu itu. God, does he know. Tapi ia hanya tidak ingin menyakiti orang lain lagi. Cukup dirinya yang merasakan.

“No, gue lebih ke arah terlalu baik nyerempet bodoh, dek. I just don't want to hurt people. That's not me, and you know it.”

“Yeah I know, but they will take everything from you. They will take you for granted, kak. Dan gue ngga mau lo digituin lagi. Janji sama gue, please?” Tere terlihat seperti meminta sambil membereskan barang-barangnya. Tidak terasa sudah dua jam mereka bertukar cerita dan menumpahkan emosinya.

Saat Tere memintanya berjanji, ia hanya mengangguk. Tidak ada satupun kata 'janji' keluar dari mulutnya. Ia hanya mengucapkan terima kasih pada adiknya dan membantunya membereskan sisa makanan diatas karpet abu miliknya.

Jaebeom tidak bisa menjanjikan Tere hal itu.

Ia belum bisa.

Lover Boy — flashback

“Bo! 3 on 3, yuk. Ten minutes tops?”

Jaebeom berteriak dari tengah lapangan sambil mengunyah permen karetnya. Hari ini panas sekali—sepertinya matahari sedang mengamuk. Beberapa kali Jaebeom mengambil botol air minumnya yang ia letakkan dalam tas olahraganya di pinggir lapangan.

Bogum mengacungkan jempol tanda setuju kemudian, lalu mengikat tali sepatunya kencang. Ia membungkuk—merasakan hadirnya dua orang dalam radius lima meter—yang akhirnya mengambil duduk di bench sebelah kirinya. Hanya menoleh sekilas dan melihat Jimin dengan seorang laki-laki.

'Tumben Jimin bawa teman?' batin Bogum. Menggidikan bahu tanda tak acuh, ia segera berlari memasuki area lapangan basket sambil mendribel bola.

Keduanya bermain dengan santai sambil sekaligus menerapkan beberapa teknik baru yang diberikan oleh coach. Bogum yang terlalu fokus saat itu berbicara dengan pelatih, tidak sadar bahwa temannya sedari tadi melirik ke arah pinggir lapangan. Jaebeom hari ini sangat tidak fokus. Entah karena apa.

“—beom. Jae!” Bogum dua kali berteriak dari bawah ring basket sambil berkacak pinggang. Temannya itu terlalu sibuk melirik kearah tas olahraganya. Melihat itu, Bogum mengernyitkan keningnya bingung dan menghampiri Jaebeom.

Bogum menepuk bahu temannya, yang kemudian membuatnya kaget karena konsentrasinya melihat kearah pinggir lapangan buyar.

“Anjir lo ya, gue panggilin dari tadi nggak nyaut-nyaut. Ngeliatin apaan, sih? Itu tas ngga bakal dicolong orang kali, bro.” Bogum meledek sambil terus mendribel bola dengan berbagai gaya. Sedang Jaebeom hanya memutar bola matanya lalu merebut bola dari tangan Bogum.

“Ngapain gue ngeliatin tas? Aneh lo. Udah ah main lagi.” Jaebeom menjawab seadanya sambil terus mendribel bola dan melemparnya kearah langit. Bogum sudah lebih dulu berjalan membelakanginya.

Yang Bogum tidak tahu, Jaebeom kembali melirik lagi kearah pinggir lapangan sebelum berjalan ke tengah lapangan; menyempatkan melihat sosok laki-laki yang sepertinya sedang asyik bermain game di bench tak jauh dari tas olahraganya berada.

He's cute, pikir Jaebeom sambil lalu.

Setelah sekitar satu setengah jam menghabiskan waktu untuk berlatih, coach mereka akhirnya mengakhiri latihan hari ini. Matahari yang cukup terik dan latihan yang intens hari ini membuat para anggota klub basket banjir keringat. Jaebeom yang menyadari kaosnya sudah kuyup, segera berlari ke pinggir lapangan dan mengambil tas olahraganya. Sedang Bogum, terlihat sedang mengobrol dengan Jimin sambil berjalan kearahnya.

Tak mengindahkan orang di sekelilingnya, Jaebeom dengan santainya mengganti kaosnya di pinggir lapangan, yang langsung disemprot Bogum kemudian. “Buru-buru banget lo ganti kaos, biasanya juga lo biarin.”

Jaebeom yang mendengarnya hanya mendengus. “Bodo amat, udah kuyup gue,” jawabnya sambil menarik sisi bawah kaosnya dan duduk di samping Bogum.

Ia tak sadar bahwa sudah beberapa kali berusaha melirik ke samping kirinya untuk menguping pembicaraan Jimin dengan temannya. Mereka berdua terdengar tertawa. Suara tawa yang renyah namun terdengar sangat manis. Jaebeom ikut tersenyum karenanya; tak sadar kedua pipinya seketika menghangat.

Ah, mungkin karena panas matahari.

Bogum mengobrol dengan Jaebeom mengenai beberapa hal yang tidak sempat mereka bicarakan sambil beristirahat—menghilangkan keringat; tentang basket, tentang presentasi organisasi sekolah minggu depan, dan tentang Luna—saudara sepupu Bogum yang sedang berkunjung ke Korea. Beberapa hari lalu saat Jaebeom datang ke rumahnya untuk kerja kelompok, ia mengenalkan Jaebeom dengan saudara sepupunya itu.

Sangking seriusnya, mereka tidak sadar bahwa Jimin dan temannya itu menghampiri bench mereka. Jimin terlihat tersenyum jahil, sedang anak laki-laki di sampingnya terlihat pipinya memerah seperti kepiting rebus.

“Kak, ini temenku ada yang mau kenalan sama kakak-kakak, nih,” kata Jimin kemudian, yang membuat Jaebeom seketika mendongak dan menganga. Sedang Bogum, hanya menoleh santai dan terlihat tak acuh.

Keberuntungan siang bolong macam apa ini?

Jaebeom yang kelewat semangat langsung berdiri dan mengulurkan tangannya pada laki-laki itu.

“Ah, iya. Boleh dong. Halo, gue Jaebeom, kelas dua SMP. Salam kenal ya,” katanya sambil menunggu si anak laki-laki menyebutkan namanya. Namun, lawan bicaranya itu hanya diam dan mengangguk saat menjabat tangan Jaebeom.

Melihat tanggapan yang biasa saja dari anak laki-laki itu, Jaebeom lalu menarik tangannya kikuk dan memasukannya ke kantong celananya. Bersikap seolah ia tidak apa-apa. Pun, anak laki-laki di samping Jimin itu tidak memberitahukan namanya.

Bogum yang tahu saat ini adalah gilirannya, langsung mengulurkan tangan dan berkata mantap. “Hai, adik manis. Kenalin, aku Bogum. Park Bogum. Sahabatnya Jaebeom nih, tapi aku masih kelas satu SMP. Salam kenal ya, nama kamu siapa?” Bogum bertanya dengan suaranya yang rendah dan tersenyum jahil.

Hell, what's wrong with him? Jaebeom mual mendengarnya.

“Aku Taehyung, Kak. Kelas empat, sahabatnya Jimin. Salam kenal ya, kak Bogum,” jawab anak laki-laki itu.

Namanya Taehyung, anak laki-laki dengan senyum kotaknya yang merekah bak bunga matahari pada waktu pagi. Suaranya manis; seperti roti kayu manis buatan Ibunya.

Sejak saat itu, Jaebeom tahu, seorang Taehyung akan menjadi pemanis dalam hidupnya yang monoton.

Yang tidak Jaebeom tahu adalah bagaimana Bogum mengangkat alisnya heran; memperhatikan reaksinya saat Taehyung memperkenalkan dirinya pada mereka berdua.

Yang tidak Jaebeom tahu adalah bagaimana Bogum memutar otaknya sedemikian rupa; ingin mencari cara untuk menghilangkan reaksi yang Jaebeom rasakan pada Taehyung secepatnya.

He just wants to win. Jaebeom always does, but not this time.

Muse.

Setelah mengakhiri sambungan telepon, Taehyung merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Ia menghela napas sambil berpikir. Dahi Taehyung tergurat, tunjukkan rasa khawatir; mengingat Jeongguk dari layar ponselnya terlihat sangat lelah saat mengobrol lewat video call tadi.

Taehyung tahu, beberapa hari ini Jeongguk terlihat sibuk dengan sesuatu entah apa, yang dirinya sendiri tidak tahu. Lagipula, beberapa hint sana-sini yang Taehyung baca saat Jeongguk dan Jimin mengobrol di Twitter, membuatnya mengurungkan niatnya untuk bertanya lagi.

Jeongguk bilang, Taehyung hanya perlu sabar—pun Bunda mengatakan hal yang sama. Trust—something that easier said than done, menurut kacamata Taehyung. Tapi ia tahu, everything is going to be worth it—seperti apa kata Jeongguk.

Sebenarnya, Taehyung penasaran, acara apa yang akan dilaksanakan oleh Jeongguk. Kemarin ia hanya melihat sekilas foto salah satu seniornya, Hwasa, yang menunjukkan sedikit 'hint' dari exhibition hall di sekolahnya, yang terlihat sudah didandani dengan apik.

Taehyung mengerti bahwa Jeongguk dan tim akan membuat exhibition—berhubungan dengan acara para junior sekolah minggu lalu. Namun ia tidak begitu paham; hal apa yang membuat Jeongguk khawatir berlebihan dan sesekali kali seperti tidak fokus saat berbicara dengan Taehyung beberapa hari terakhir.

Ia hanya ingin memastikan bahwa laki-laki yang ia sayangi itu tidak sedang berada dalam masalah; atau beban pikiran yang mengganggu istirahat dan kegiatan rutinnya setiap hari.

Well, Taehyung tidak tahu seberapa stressful kejutan yang Jeongguk siapkan di penghujung minggu.

I hope it is really going to be worth it, batin Taehyung.

Lingkungan sekolah hari ini cukup ramai—banyak sekali para mahasiswa yang datang; terlihat tubuh mereka dibalut dengan jaket almamater kebanggaan masing-masing. Warna-warni, seperti sedang berada di acara festival desain Bunda Kim kalau kata Jimin tadi pagi; yang hanya dibalas Taehyung dengan memutar bola matanya.

Taehyung adalah salah seorang yang enggan untuk melihat kerumunan manusia yang tidak ia kenal. Sedangkan Jimin benar-benar kebalikan dari dirinya. Ia selalu senang melihat wajah-wajah baru; apalagi para senior. Tentu, Jimin tetap harus menutup telinganya kanan-kiri mendengar sahabatnya protes karena omongannya tidak didengar.

Lain cerita dengan Hoseok; teman dekatnya itu sudah sedari pagi tidak terlihat batang hidungnya. Ia hanya memberi info bahwa hari ini akan mengajak beberapa siswa kelas X dan XII untuk bergabung di klub dance.

Sekalian nambah temen di sini lah, kata Hoseok via group chat beberapa menit lalu.

Taehyung dengan malas menyandarkan tubuhnya di bangku kelas, sambil mengambil remote untuk mengarahkan pendingin ruangan kelas mereka kearahnya. Beberapa teman sekelasnya sedang menghabiskan waktu istirahat siang di kantin; ruang kelas Taehyung saat ini cukup sepi.

Sambil memainkan game di ponselnya, ia sesekali melirik kearah luar; sedari tadi Taehyung menangkap dengan indra pendengarnya, Jimin dan Wooshik beberapa kali berteriak sambil menyebutkan kata 'senior ini' 'senior itu' berkali-kali. Taehyung hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. Sahabatnya itu akan susah diganggu jika dalam mode heboh seperti ini.

Ruang kelas yang sepi membuat Taehyung sempat menghentikan permainannya di ponsel dan termenung. Ia menghela napas dan memencet tombol di layar untuk kembali ke halaman utama; tidak menemukan satupun notifikasi pesan dan/atau telepon dari Jeongguk.

Tak ingin memikirkan hal-hal yang sepertinya akan membuatnya khawatir berlebih, ia mengambil kesimpulan bahwa Jeongguk-nya sedang sibuk. Toh, sebenarnya para senior mereka dan mahasiswa yang datang masih menjalani sesi kunjungan ke kelas-kelas di lantai dasar.

Taehyung benar.

Jeongguknya sedang sibuk—memikirkan beberapa hal yang harus ia siapkan sebelum acara; yang sebenarnya sudah terlalu apik dan tidak ada yang perlu ditambahkan lagi. Beberapa kali Jeongguk mengecek ponselnya dan bertukar pesan dengan Seokjin—menanyakan ini itu yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.

'Semua udah beres, bro. Lo tenang-tenang aja kenapa sih. Beres, gue ini kan yang megang.'

Pesan dari Seokjin berulang kali dibaca oleh Jeongguk. Ia tahu hari ini dirinya sangat tidak fokus—kepalanya penuh, pening mendengar presentasi yang diberikan oleh para mahasiswa dari beberapa universitas ternama yang ia incar.

Menurut Jeongguk, saat ini, semua tidak menarik. Ia merasa tidak bersemangat mendengarkan penjelasan mengenai fakultas dan jurusan yang selama ini ia impikan. Semua informasi hanya ditangkap sambil lalu oleh Jeongguk.

Ia tidak tahu ada apa dengan dirinya. Apakah ia sedang mengalami krisis percaya diri? Ataukah ia sedang mengalami mid life crisis?

Hell, mungkin pilihan terakhir bisa Jeongguk coret. Ia masih berumur 17 tahun saat ini. Kata orang dan kata beberapa artikel yang ia baca di search engine, manusia memiliki tendensi akan mengalami mid life crisis saat menginjak umur 25 tahun.

Well, Jeongguk tidak tahu apakah hal itu berlaku khusus untuk dirinya saat ini.

Semalam saat Jeongguk mengobrol santai dengan Taehyung di telepon, ia akhirnya bisa bernapas lega. Seseorang yang sangat ia sayangi itu tahu bagaimana cara membuat Jeongguk tenang. Dengan mendengar suara Taehyung yang berat namun manis, beban dan kekhawatiran Jeongguk seperti terangkat dari bahunya. Rasa berat di dada Jeongguk pun seperti hilang begitu saja.

Berbicara dengan Taehyung adalah obat untuk dirinya—obat sederhana yang Jeongguk tahu, akan selalu ia butuhkan di saat seperti ini. Di mana Taehyung berada, di sana lah ketenangan Jeongguk terjaga.

Yang Taehyung belum tahu adalah bahwa isi kepala Jeongguk sedang berkecamuk; ia seperti berada di ujung jalan dengan dua cabang. Jeongguk tidak tahu ke mana ia harus melangkah.

Ia seperti diharuskan memilih... antara akademi atau bakatnya. Menurut Jeongguk, ini adalah pilihan sulit.

Ia seperti ingin membangun jalan sendiri diantara keduanya. Ia ingin keduanya, namun ia tahu, itu tidak mungkin.

Sepertinya, ia harus konsul dengan Mamanya soal hal ini.

Jeongguk tahu, Mama Jeon pasti akan memberikan titik terang atas kebingungannya.

Waktu menunjukkan pukul tiga sore saat para mahasiswa memberi tanda bahwa acara 'Campus Visit' hari ini telah berakhir. Jeongguk yang menyadari waktunya sangat sedikit, segera membereskan barang-barangnya dan memasukan kedalam tasnya asal. Walaupun exhibition akan dibuka pukul setengah lima sore, namun Jeongguk ingin segera bersiap. Ia ingin melihat final look secara langsung sebelum acara dimulai.

Yugyeom dan Eunwoo yang melihat Jeongguk tergesa-gesa hanya menggelengkan kepala mereka dan tertawa kemudian. Meneriakkan 'good luck, bro!' kearah Jeongguk yang sudah berlari meninggalkan kelas sambil menyampir tas kameranya di bahu kirinya. Sahabat mereka berdua itu hanya merespon dengan mengacungkan jempol ke udara sambil terus berlari.

Sesampainya Jeongguk di mobilnya, ia segera merapikan barangnya dan memilah mana saja yang akan ia bawa serta ke hall acara. Tak ingin berlama-lama karena ia tahu Mingyu sudah menunggunya sedari tadi, Jeongguk nekat meraih tas gym di kursi belakang dan mengganti pakaiannya cepat.

Masa bodoh orang mau liat gue atau ngga, ini udah telat banget, batinnya.

Jeongguk menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk membereskan barangnya; memindahkan handphone, dompet, dan saputangan kedalam tas kameranya; serta menelepon Mama untuk meminta doa restu. Ia berharap misinya hari ini untuk menjadikan Taehyung miliknya sepenuhnya akan berhasil.

Ya, semoga usahanya akan berjalan dan berhasil dengan mulus.

Jeongguk berjalan dengan cepat sambil mengabari Mingyu via telepon bahwa ia sudah berada di dalam hall. Jimin tidak bisa dihubungi. Mungkin ia sudah bersama dengan Taehyung.

Ngomong-ngomong, kesayangan Jeongguk itu sedang ada di mana ya?

Ia berjalan kearah titik di mana Mingyu berada sambil mengecek notifikasi di ponselnya.

Shit. Tiga missed-calls dari Taehyung.

Belum sempat Jeongguk menekan speed dial angka 2 di ponselnya, ia menerima pesan dari Taehyung.

Sayang 🤎 'ggukie, semangat acaranya hari ini. it's going to be great, i know. i love you so much, ggukie. see you soon?'

Jeongguk tersenyum kelewat lebar membaca pesan dari Taehyung. His second supporter, tentu setelah Mama Jeon yang berada di posisi pertama.

Yeah, it's going to be great, harapnya.

Seokjin tidak terlihat batang hidungnya sama sekali. Mungkin temannya itu sudah bertemu dengan pacarnya Kak Jaebeom, entah siapa itu. Ia tidak begitu peduli sebenarnya, karena Jeongguk ingin fokus pada acaranya kali ini. Ia hanya sebagai perantara antara sekolahnya dengan agensi—sebenarnya; yang membuat Jeongguk merasa bahwa porsi tersebut adalah bagian Seokjin. Ia merasa tidak perlu ikut campur.

Jeongguk melirik kearah jam digital di layar ponselnya. Lima menit lagi, exhibition akan dibuka. Ia dan Mingyu sudah duduk di tempat yang telah disediakan—mereka berdua bisa memonitori seluruh ruangan dengan leluasa. Sudut ini diminta Jeongguk secara khusus—ia hanya ingin melihat hasil kerja keras tim fotografi yang mempersiapkan semua ini dalam waktu yang sangat singkat.

Tak lama, hall akhirnya dibuka dan beberapa siswa dan representatif yang diundang berjalan masuk. Jeongguk melihat Yugyeom dan Eunwoo sudah masuk ke ruangan, disusul oleh Taehyung dan Jimin di belakangnya.

Jeongguk hampir tidak berkedip saat Taehyung yang sudah mengganti pakaiannya dengan outfit yang tidak pernah Jeongguk lihat.

Taehyung mengenakan kemeja biru dengan aksen bordir di kerahnya. Kesayangannya itu terlihat sangat indah sore ini. Taehyung seperti malaikat, bersinar diantara banyak manusia. Ia seperti mencuri spotlight sore ini.

Seketika beberapa orang yang berada di sekitar Taehyung dan Jimin menoleh dan berbisik. Sahabatnya yang menyadari hal tersebut hanya tertawa kecil; sedang ia melihat kedua pipi Taehyung sudah memerah bak tomat rebus.

Mingyu yang hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Jeongguk dan menjentikkan jari ibu dan telunjuknya di samping telinga Jeongguk. Sahabatnya di sampingnya itu kaget dan mendorong bahu Mingyu pelan.

“Bangke, Ming. Kaget gue semprul.” Jeongguk mengomel diikuti dengan tertawa meledek dari mulut Mingyu.

“Ya abis lo ngeliatin Taehyung kayak ngeliatin malaikat, anjir. Kedip dong, bro... duh.”

Jeongguk hanya bisa memutar bola matanya malas dan menjawan Mingyu asal. “Taehyung emang beneran malaikat, makanya gue nggak kedip.”

“Dasar bucin akut lo emang, Gguk.”

Setengah jam berlalu, pengunjung yang rata-rata mahasiswa dan para teman-temannya dari sekolah terlihat lambat laun memenuhi ruangan. Jeongguk mengatur layout hall ini sedemikian rupa sehingga para pengunjung bisa menikmati foto-foto yang ada tanpa terkecuali. Ia dan Mingyu sempat berkonsultasi dengan Seokjin bahwa mereka ingin membuat layout seperti maze—yang akhirnya disetujui oleh vent chiefs tersebut setelah mendengar alasan mereka berdua.

Jeongguk merdengar bisik-bisik dan respon yang positif dari pengunjung—mereka terlihat dan terdengar kagum akan hasil karya dari klub fotografinya. Ia sangat senang dan bahagia; tersirat dari senyum Jeongguk yang merekah. Salah satu hal yang disukai Mingyu dari seorang Jeongguk.

“Bro, we did it, eh?” tanya Mingyu sambil menyenggol pelan lengan kiri Jeongguk.

“Yeah, we kind of did. Seneng banget gue, Ming. Gue ngga sabar denger respon mereka. Well, terutama respon Taehyung dan Eunwoo sih. Mereka bakal kayak gimana ya, Ming...”

Kalimat Jeongguk terputus di udara saat tiba-tiba Mingyu mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.

Jeongguk yang tidak mendengar respon Mingyu kemudian, menoleh kearah sahabatnya itu dan Mingyu termenung. Ia terpaku pada layar ponselnya. Tidak ada senyum, tidak ada air mata pula.

Datar, tidak seperti Mingyu biasanya.

“Ming? Woy? Lo kenapa Ming?” Jeongguk bertanya pelan sambil mengelus pelan bahu sahabatnya itu.

Apa ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi?

Mingyu mengangkat kepalanya pelan; memindahkan pandangan matanya dari layar ponselnya kearah Jeongguk. Sahabatnya itu terlihat pucat. Jeongguk menebak, sepertinya Eunwoo sudah melihat foto dirinya.

”...he had loved me, ever since, he said... Gguk, i-ini be-beneran nggak sih?” Mingyu terdengar parau lalu tertawa kecil kemudian. Ia tidak menyangka, perasaannya selama ini ternyata membuahkan hasil. Usahanya selama ini, kasih sayangnya selama ini, ternyata tidak hanya satu sisi.

Jeongguk hanya tersenyum mendengar Mingyu seperti terbata-bata. Ia dan Yugyeom sudah tahu sejak awal. Hanya saja, mereka berdua tidak ingin mencampuri urusan perasaan Mingyu dan juga Eunwoo. Para sahabatnya itu pasti akan menemukan jalannya sendiri.

Ia tiba-tiba berpikir, respon seperti apakah yang akan keluar dari mulut Taehyung saat melihat keenam fotonya terpampang jelas dan besar mendominasi tembok exhibition di ujung maze. Jeongguk khawatir, kesayangannya itu akan berakhir dengan teriak histeris atau malah akan menangis tanpa henti.

Taehyung adalah satu-satunya orang yang Jimin kenal dekat; yang sangat mengapresiasi art dan photos. Ia beberapa kali mendapat giliran menemani Taehyung mendatangi sebuah event art and photos exhibitions; acara itu dilaksanakan secara rutin setiap sebulan sekali.

Jika Jeongguk tidak bisa menemani, Jimin pasti akan berada di baris terdepan yang bersedia untuk berada di sisi sahabatnya ke mana pun ia ingin pergi.

Hal inilah yang membuat Taehyung masih berada pada panel foto milik Tere setelah satu setengah jam berjalan dari pintu masuk—mengikuti maze layout di dalam hall. Ia selalu mengapresiasi art dengan memandang lamat-lamat art tersebut, lalu membaca kata demi kata yang dijelaskan oleh si empunya karya. Jimin sudah tahu kebiasaan sahabatnya ini.

Taehyung dan art adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan.

Beberapa kali Jimin mengecek ponselnya; mendapat pesan dari Jeongguk menanyakan sudah sampai di panel mana kah mereka berdua. Jimin mengetik cepat balasannya sambil mendengus. Dari pesannya, Jimin merasa Jeongguk sudah tidak sabar ingin memperlihatkan masterpieces nya pada Taehyung.

Jeon kayak nggak kenal Te aja deh, gerutunya dalam hati.

Setelah menghabiskan dua puluh menit memandang beberapa art setelahnya, sampailah mereka berdua pada panel milik Mingyu. Kedua foto Eunwoo terpampang indah dan apik. Eunwoo terlihat sangat tampan—effortless. Mereka berdua tahu, Eunwoo adalah salah satu sahabat Jeongguk yang memiliki potensi kuat sebagai model. Tidak hanya itu, laki-laki yang ternyata adalah 'muse' Mingyu memancarkan auranya dari foto.

Taehyung tahu, skill Mingyu pun akan head to head jika dibandingkan dengan dengan Jeongguk. Ia tahu kegemaran laki-laki itu akan fotografi seperti apa.

Tergerak untuk membaca deskripsi milik Mingyu, Taehyung berjalan mendekat kearah foto miliknya. Dari jauh, ia samar-samar tidak melihat deskripsi panjang seperti yang sudah-sudah.

Taehyung only read three words instead—yang Taehyung tahu memiliki sejuta arti dibaliknya.

'You found me.'

Jimin yang ada di samping Taehyung hanya menganga dan berkata pelan.

“Excuse me but, what the fuck, Mingyu...”

Yes, what the fuck, indeed, Jims. But in a good way.

Mengagumi foto Eunwoo sekitar sepuluh menit, akhirnya Jimin berhasil menarik tangan Taehyung untuk melihat panel milik Jeongguk. Ia tahu, Jeongguk memiliki enam foto Taehyung di exhibition—yang membuat Jimin terperangah dan terkejut beberapa hari lalu saat menerima emailnya.

Bagaimana tidak, Jeongguk benar-benar mengambil foto ini tanpa sepengetahuan Taehyung bahwa semuanya akan ia pajang di exhibition seperti ini. Taehyung tidak akan tahu sampai hari H bahwa foto dirinya akan dilihat oleh banyak orang.

Menurut Jimin, Jeongguk kali ini benar-benar keluar dari zona nyamannya. Selama ini, seorang Jeon Jeongguk yang ia kenal, tidak akan keluar dari 'balik layar' jika tidak diperlukan; walaupun gelar ini itu yang ia miliki di sekolah berbicara sebaliknya.

Hanya untuk Taehyung.

Taehyung tidak tahu, koleksi pribadi milik Jeongguk akhirnya akan dilihat oleh banyak orang. Jeongguk hanya ingin mengatakan pada dunia, bahwa seorang Taehyung adalah the one and only lover he needs.

Jimin berhasil menarik Taehyung ke depan panel milik Jeongguk, namun merasakan genggaman di tangannya sudah basah karena keringat. Ia menoleh cepat dan mendapati Taehyung sudah menangis dalam diam. Kedua bibir mungilnya terlihat begetar.

“J-jim... i-ini... ini a-apa...” Taehyung terbata-bata dan sudah menangis terisak. Sepasang matanya bergerak ke sana kemari; terpaku pada enam foto dirinya yang bertengger indah di panel milik Jeongguk.

Melepaskan tangannya dari genggaman Jimin, Taehyung berjalan kearah panel dan mencoba untuk membaca notes milik Jeongguk. Pandangan kedua matanya buram; air matanya tidak berhenti menetes dan jatuh ke lantai.

Orang-orang di sekeliling melihat Taehyung menangis; sedang Jimin terlihat dengan cepat menghubungi Jeongguk lalu memeluk dan menenangkan Taehyung di sampingnya.

Notes milik Jeongguk terbaca jelas oleh sepasang matanya. Taehyung merapalkannya, per kata, sambil menyentuh setiap kata itu dengan jari telunjuknya.

'My then and now muse. Forever.'

'I love you.'

'Kim Taehyung, will you be my muse forever? Or perhaps, my boyfriend?'

Tidak sampai tiga menit, Jeongguk berlari kearah Taehyung dan memeluknya. Jimin melepaskan genggamannya, diganti oleh Jeongguk untuk menenangkannya. Mengerti akan kode Jimin, Jeongguk segera membawa kesayangannya ke dekapannya.

Taehyung terlihat kecil; namun tetap indah didalam dekapannya. Jeongguk merutuki dirinya sendiri karena membuat Taehyung menangis karenanya.

“Sayang... hei. Ini aku.” Jeongguk berbisik sambil mengecup pelan keningnya berkali-kali.

Taehyung hanya bisa menjawab sambil berbisik. “G-gukie... is this real?”

“It is all real, baby. Please don't cry? I am so sorry.”

“Yes, Ggukie.” Taehyung menanggapi singkat sambil menangis.

Jeongguk yang mendengar jawaban Taehyung mengernyitkan keningnya bingung.

“Hm? Yes apa, sayang?”

“Iya. Untuk semua pertanyaan kamu. Yes, I will be your forever muse /and/ your boyfriend.” Taehyung menjawab mantap.

“Ah... at last, baby. Thank you so much, I love you,” kata Jeongguk kemudian sambil mengecup kening Taehyung lama dengan sayang.

Yeah, at last.

Seokjin sedari tadi terlihat sedang menemani seorang perempuan sambil menjelaskan beberapa hal. Setelah berkeliling selama setengah jam, akhirnya mereka berdua sampai pada panel milik Jeongguk di akhir.

Terlalu serius sambil mengagumi panel milik Jeongguk, ia tidak sadar wajah perempuan di sampingnya itu sudah pucat dan terkejut.

Perempuan itu segera mengeluarkan ponselnya dan terdengar meminta ijin pada Seokjin untuk keluar dari hall sebentar.

Perempuan itu, berusaha mengatur napasnya sambil mengetik cepat di layar ponselnya. Terdengar ketukan kasar antara kuku lentiknya dan screen.

Entah ada apa dengan perempuan itu.

From: Luna

Mind to explain why I see your former crush's photos all over the exhibition? And I saw that Jeon Jeongguk who happens to be your acquaintance—is the one who has it. Do you know about this? We do really need to talk, Jae.

Trust.

Jeongguk stres; bisa dikatakan begitu.

Bagaimana tidak? Project yang sudah tertanam di kepalanya sejak lama akhirnya akan terlaksana besok. Effort yang sudah ia dan timnya lakukan cukup membuatnya pusing beberapa hari belakangan.

Pertama, ia harus memikirkan positif dan negatifnya dari beberapa sisi; apakah akan mendapat kritik? Apa project ini akan memberikan benefit pada dirinya dan teman-temannya? Apa para guru akan menyukainya? Dan yang terakhir, apakah projectnya akan berhasil?

Tentu diikuti oleh kekhawatirannya yang kedua; Jeongguk harus beberapa kali berkilah jika Taehyung sudah menanyakan tentang progress dari projectnya.

Sebentar lagi, pikir Jeongguk. Everything is going to be worth it.

Jeongguk berharap usahanya tidak sia-sia.

Beberapa jam lalu, Jeongguk sudah memberitahu Taehyung in advance bahwa hari ini ia tidak bisa mengantar kesayangannya itu pulang ke rumah. Masih ada beberapa hal yang ingin Jeongguk selesaikan secara langsung tanpa bantuan dari orang lain. Ia hanya ingin exhibition-nya terlihat seperti apa yang ada di pikirannya.

Jeongguk seperti sangat tertolong, saat Jimin menyela pembicaraan mereka dan menawarkan untuk mengantar Taehyung pulang. Tentu si kesayangan Jeongguk lantas setuju dan merapalkan rencana ini itu dari balik bibir mungilnya; yang hanya dibalas Jeongguk dengan usapan sayang di puncak kepala Taehyung sebelum akhirnya pulang.

Seharian ini, Mingyu setia menemani Jeongguk ke mana saja—mengecek foto di tempat printing—sahabatnya itu benar-benar membuat tempat langganan mereka kewalahan. Pasalnya, Jeongguk puluhan kali memastikan agar hasil cetak memuaskan dan tidak bercela sedikitpun.

Yang sebetulnya, membuat si empunya bisnis printing beberapa kali gelengkan kepala karena tuntutan Jeongguk. Padahal, sudah si empunya dan dirinya sudah bertahun-tahun saling mengenal.

Ya, Jeongguk memiliki beberapa printed-out foto Mama dan juga Taehyung—hasil jepretan pribadinya.

Jeongguk pun memastikan bahwa posisi board di beberapa titik sudah berdiri dengan sempurna. Ia tidak ingin space yang sudah disediakan akan terlihat berjubel dengan orang hanya karena board nya tidak sesuai dengan keinginannya.

He aims perfection.

“Bro, semua udah beres, kok. Lo keliatan khawatir gitu kenapa sih emangnya? Share your thoughts, please. Lo ngga biasanya kayak gini,” tanya Mingyu siang tadi sambil mengulum permen lolipop nya. Mereka sudah ada di hall lantai dua sedari siang, berkat bantuan Seokjin.

Jeongguk yang mendengar pertanyaan Mingyu hanya mengernyit sambil terus berjalan pelan—meneliti photo board yang terbentang mengitari di setiap sisi hall.

“Gue cuman pengen besok berhasil, Ming. Takut gue. Am I too much?”

Mingyu yang mendengar sekarang giliran mengernyitkan dahinya.

“Hah? Too much /how/?” Mingyu bertanya heran. Ia terkadang tidak habis pikir dengan awan-awan pikiran berlebihan sahabatnya itu.

Sejak awal mengenal dan akhirnya bersahabat dengan Jeongguk, sahabatnya itu sering sekali tenggelam dalam kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu 'ada'.

And he always does this when it comes to his very private life, especially when it comes to Taehyung.

Jeongguk beberapa kali terlihat merapikan secarik kertas kecil yang nantinya akan menjadi caption dari foto yang akan mereka tampilkan. Ia terlihat berusaha menggeser kertas itu sehingga menjadi presisi.

“Ya, ngga tau ya, Ming. Lo tau sendiri gue orangnya belakang layar banget. People know me, yes, but not my personal life. Ngerti, 'kan? And the fact that those photos they'll be seeing tomorrow... those all /are/ my personal life. Apa gue beneran siap, ya?”

Mingyu tahu bahwa Yugyeom dan Eunwoo—pun dirinya, benar-benar mendukung Jeongguk untuk mengadakan photography exhibition ini. Lagipula, ide ini dibuat Jeongguk pada awalnya untuk menyalurkan bakatnya dan teman-temannya. Anggota klub pun sangat antusias untuk mengikuti project cetusan Jeongguk.

“Tunggu, tunggu, tunggu. Sebentar ya, Jeon Jeongguk. Lo kayaknya mesti gue sentil dulu kepalanya biar sadar,” kata Mingyu sambil menyentil dahi Jeongguk sedikit keras; yang membuat sahabatnya itu meringis lalu menepis tangan Mingyu kemudian.

“Aduh, sakit anjir, Ming! Ngga usah pake nyentil, 'kan bisa. Merah nih liat jidat gue!” teriak Jeongguk kesakitan sambil mengusap dahinya. Mingyu yang ada di sampingnya hanya tertawa tanpa rasa bersalah.

“Ya lo mesti gue gituin, biar itu isi pikiran lo ngga mampet!”

“Sialan lo emang,” kata Jeongguk asal sambil mendengus.

Akhirnya Mingyu mengajak Jeongguk duduk lesehan di tengah-tengah hall sambil tetap mengulum lolipopnya.

“Gini ya, Gguk. Menurut gue, a photo holds a thousand meanings. And it speaks a thousand words. Lo jepret sesuatu atau seseorang, yang tau artinya sendiri itu cuman lo. Orang bebas punya interpretasi berbeda sama lo. But the way you take a shot, that's what makes you different. And that's what makes the object different than anything else.

“Lo bisa ngasih deskripsi seabrek-abrek tentang foto itu, dan lo bisa membuat orang ngerti apa yang lo maksud. Tapi, Gguk, sebelum mereka baca caption lo, they tend to have different thoughts.

“That's why, you have to explain your point of view; to make it different, and also give your masterpiece a meaning.

“Iya gue paham soal statement lo tentang personal life. Tapi... ngga ada salahnya, 'kan, untuk membagikan itu ke orang lain? Lagipula, they will know eventually. Just explain and form your thoughts into words, Gguk. Lo bisa, kok.”

Mingyu terlihat santai menjelaskan sudut pandang dan sarannya pada Jeongguk. Sahabatnya itu terlihat sedang berpikir keras. Namun dari sunggingan kecil dari bibir Jeongguk, Mingyu tahu laki-laki di sampingnya ini paham dengan maksudnya.

Belum sempat Jeongguk menjawab, handphone mereka berdua berbunyi. Jeongguk sudah tahu siapa yang mengirimi mereka pesan; ia memasang nada khusus untuk group chat 'Para Manusia Ganteng' itu.

Bunda Kim sudah sampai di restoran sushi langganan Jeongguk dan Taehyung beberapa menit lalu. Saat menerima pesan dari Jeongguk, dirinya baru selesai memimpin weekly meeting dengan para board members.

Sebagai CEO dari fashion brand company, Bunda Kim selalu berusaha untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan pribadinya. Disela kesibukan, Bunda Kim selalu mengutamakan Taehyung. Tentu butuh beberapa tahun lamanya hingga akhirnya ia bisa memisahkan kedua hal penting itu dalam hidupnya.

Saat Jeongguk mengatakan ia ingin bertemu, Bunda Kim langsung berpikir Jeongguk ingin membicarakan tentang Taehyung, entah apa itu. Ia sempat membaca sekilas lewat cuitan Jeongguk di akun Twitter-nya. Namun ia memiliki firasat yang kuat bahwa Jeongguk akan memberi 'surprise' lainnya untuk putra kesayangannya.

Ia memikirkan kemungkinan itu sambil tersenyum. Jeongguk selalu membuktikan kata-katanya dengan aksi. Selalu. Hal itu lah yang membuat Bunda Kim percaya pada Jeongguk.

Jika mengingat pada awal mula ia mengenal Jeongguk, sebenarnya 'percaya' adalah salah satu hal yang sulit untuk dilakukan olehnya. Dahulu sebelum akhirnya mengenal Jeongguk lebih dalam, Bunda Kim selalu mewanti-wanti Taehyung untuk tidak mudah percaya dengan orang lain. Ia hanya tidak ingin putra kesayangannya jatuh ke lubang yang sama.

Bunda Kim hanya ingin yang terbaik untuk Taehyung.

Lima belas menit berlalu dihabiskan Bunda Kim dengan memilih beberapa menu kesukaan Jeongguk—Taehyung pernah suatu kali menceritakan padanya seusai makan malam berdua dengan Jeongguk di restoran ini.

Setelah Bunda Kim memesankan beberapa appetizer dan main course yang sekiranya cukup untuk mereka berdua, terlihat Jeongguk memasuki ruangan restoran dan bertemu mata dengannya. Segera anak laki-laki itu melambaikan tangan yang disambut hangat oleh Bunda Kim.

Jeongguk menunduk sambil menyapa Bunda Kim dan memberi salam dengan senyum sumringahnya.

“Hai, Bunda. Maaf ya Jeongguk telat. Tadi ada yang mesti diurus dulu. Trus macet. Makasih ya Bunda udah ngeluangin waktunya.” Jeongguk menjelaskan panjang lebar sambil mengambil duduk disisi depan Bunda Kim. Hari ini restoran cukup ramai, jadi Bunda Kim memilih sisi agak dalam restoran agar mereka dapat berbicara lebih leluasa.

Melihat wajah Jeongguk yang lesu dan seperti sedang banyak pikiran, Bunda Kim hanya tersenyum teduh sambil menyesap ocha panas yang dipesan sebelumnya.

“Ngga apa, nak. Bunda juga sambil ngurusin kerjaan kok. Diminum dulu itu ocha dingin kamu. Kamu keliatan capek banget, Gguk. Sudah makan belum?”

Jeongguk hanya terkekeh pelan dan menggaruk lehernya. “Belum, Bun. Tadi cuman makan tteok di sekolah. Banyak yang harus Gguk urus,” jawabnya sambil menghabiskan minumannya sekali teguk. Ia sangat haus dan lelah hari ini. Jalanan yang macet dan panas terik membuatnya mudah lelah. Untung hari ini giliran Jeongguk menggunakan mobilnya karena motor miliknya sedang di bengkel.

Bunda Kim hanya menggelengkan kepala sambil mendesah pelan. “Kamu suka ngga tertib ya, bener apa kata Tae. Susah sekali ngatur pola makan,” katanya sebelum menyambung lagi. “Tapi tenang, Bunda sudah order beberapa menu kesukaan kamu—Bunda tahu dari Tae. Harus habis, ya. Nanti Mama kamu bisa marah, lho, anaknya bandel begini.”

Anak laki-laki didepannya hanya terkekeh sambil memanggil seorang waiter untuk me-refill ocha dinginnya.

“Bun, Gguk beneran ngga ganggu Bunda, 'kan? Takut Bunda tadi lagi meeting atau gimana.” Jeongguk bertanya sambil menggeser gelasnya kearah waiter restoran untuk di-refill.

“Ngga kok, nak. Bunda tadi pas banget selesai meeting. Dan memang Bunda ngga ada schedule lagi setelahnya, jadi Bunda langsung oke-in Gguk.” Bunda Kim menjawab sambil tersenyum. Ia sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh Jeongguk.

Sedangkan Jeongguk terlihat mengangguk sambil sesekali menggaruk belakang lehernya. Bunda Kim tahu ini adalah kebiasaan Jeongguk jika sedang gugup—lagi-lagi, dirinya tahu dari Taehyung. Putranya itu memang sering sekali menceritakan soal kebiasaan Jeongguk yang selalu ia simpan didalam kepalanya.

“Kenapa, nak? Ngomong aja, Bunda santai kok. Jangan gugup gitu, sama Bunda doang lho ini.” Bunda Kim tertawa sambil menggeser handphone dan sunglasses nya ke sisi kirinya karena seorang waiter terlihat menuju kearah mejanya untuk mengantar pesanannya.

Jeongguk menghela napas panjang. Mengapa ia jadi segugup ini? Padahal tadi selama perjalanan menuju restoran, ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu Bunda dan menceritakan semuanya. Bunda Kim walaupun ramah dan baik, namun tetap memancarkan aura yang kuat dan intimidatif—sama seperti Taehyung.

Akhirnya setelah mengucapkan terima kasih pada waiter yang mengantarkan makanan mereka, Jeongguk memberanikan diri untuk memulai berbicara.

“Iya, Bun. First of all, thank you Bunda udah mau ketemu Gguk di sini. Sebetulnya Gguk tadinya mau ke rumah aja, tapi Gguk takut Tae nguping,” kata Jeongguk sambil menyunggingkan senyum lebarnya yang membuat Bunda Kim tertawa.

“It's okay, Gguk. Bunda juga ngga mau, nanti jadi nggak surprise, dong?” Bunda Kim menjawab sambil menyapit salmon sashimi dari platter yang ada didepannya.

“Hehe, iya Bun. Gguk mau ngasih surprise buat Tae. Bunda... sempet ada baca ngga di Twitter, kira-kira Gguk lagi siap-siap buat exhibition?” Jeongguk bertanya hati-hati setelah menelan sepotong salmon carpaccio favoritnya.

Ugh, memang kalau lagi lapar pasti kenikmatan meningkat ratusan persen, batin Jeongguk.

Bunda Kim didepannya seketika terkekeh sambil meletakkan sepasang sumpitnya di pinggir sauce dish.

“Bunda udah tau semua, Gguk. Bunda kan isi timeline-nya cuman kamu sama Tae. Firasat Bunda udah kuat banget, pasti kamu lagi merencanakan sesuatu. Bunda juga sempat lihat akun Jimin dan teman-temanmu.” Bunda Kim menjawab santai membuat Jeongguk tersedak. Masalahnya, beberapa kali ia dan teman-temannya—terkadang Taehyung dan Jimin pula; berbicara dengan bahasa yang tidak pantas jika dilihat oleh orang tua.

Apalagi dilihat oleh Bunda Kim.

“Santai, Gguk. Bunda juga pernah muda, kok. Wajar kok isi-isinya yang Bunda baca. Kamu tenang aja, ngga usah takut,” jawab Bunda Kim santai.

Sedangkan Jeongguk? Hanya bisa tertawa dan menatap Bunda Kim nanar.

Sial, jadi ngga enak dong sama Bunda, batinnya lagi.

Setelah beberapa menit mereka berdua habiskan untuk fokus menyantap makanan, akhirnya Jeongguk menyambung lagi.

“Jadi, Bun, Gguk mau ngasih surprise di dalam exhibition besok. In monochrome sih, Bun. Terus, Gguk juga mau minta ijin sama Bunda... I am going to ask Taehyung to be my boyfriend tomorrow...

”...boleh, 'kan, Bunda?”

Jeongguk merasakan dirinya menggerak-gerakkan kakinya. Ia gugup setengah mati. Ia hanya tidak ingin terdengar lancang oleh Bunda. Namun bagaimana pun, meminta ijin pada Bunda adalah rencananya yang didukung penuh oleh Mama Jeon.

Kata Mamanya, dengan Jeongguk meminta ijin pada Bunda Kim, secara tidak langsung akan membuat Bunda Kim yakin bahwa Jeongguk dapat dipercaya.

Bunda Kim terdiam beberapa menit sambil tetap mengunyah makanannya. Ia terlihat sedang berpikir. Sedangkan Jeongguk sudah merasakan kedua telapak tangannya berkeringat.

Apa Bunda bakal mengatakan bahwa ia tidak setuju ya, pikir Jeongguk sambil berusaha menghentikan gerakan kakinya. Namun tidak bisa. Ia sudah terlalu gugup.

Terlalu gugup, sampai Jeongguk tidak melihat bahwa Bunda Kim telah menyunggingkan senyumnya yang lebar seperti bunga merekah. Ia terlihat terlalu senang. Sepasang pipinya kram karenanya.

“Gguk, sayang... of course I will allow it. Bunda dukung kamu beribu persen. Bunda tahu Gguk seperti apa. I see it through your eyes; how you love him, how you cherish him, and how you care about him. Bunda percaya, Gguk bisa menjaga hati anak Bunda.

“You both are meant to be with each other. It's like a gravity, Gguk. I know you love him a thousand times over, Jeongguk. Itu dari kacamata Bunda.

“Taehyung... masih bahagianya Gguk, 'kan?” tanya Bunda Kim kemudian sambil menatap lurus kedepan, tepat bertemu dengan sepasang mata Jeongguk.

Sedang Jeongguk tidak sadar bahwa ia sudah meneteskan air mata. Entah mengapa ia menangis. Ia hanya merasa beban lain di pundaknya sudah terangkat. Keraguan Jeongguk lainnya terjawab sudah—ia khawatir akan sesuatu yang sebenarnya tidak akan pernah terjadi.

Karena Jeongguk tahu, dirinya dan Taehyung memang seperti medan magnet—menarik satu sama lain dan selalu kembali pada satu sama lain.

Something always brings them back to each other.

“Of course he will always be my happiness, Bun. He always is.”

It's Worth It.

Buram. Pemilik sepasang manik hazel itu hanya merasakan genangan air di pelupuk matanya dan melihat cahaya lampu yang berpendar di hadapannya. Indera perasanya hanya menyecap rasa asin di ujung bibirnya.

Taehyung menangis dalam diam. Emosi yang muncul di dalam dadanya ia salurkan melalui tangis dan genggaman yang terlalu erat pada tangan Jimin. Sahabat di sampingnya itu beberapa kali meringis; menahan rasa sakit yang diberikan oleh Taehyung.

Namun Jimin mengerti; lagipula, ia sudah beberapa kali berada di posisi ini. Tidak, dirinya tidak mengeluh. Ia hanya ingin Taehyung berhenti menangis, karena sedari tadi sang lover menyanyi untuk Taehyung dari atas panggung.

Terdengar riuh dari penonton yang pertama kalinya mendengar suara lembut Jeongguk bernyanyi. Sepertinya mereka sangat menikmati performance Jeongguk di panggung; menyanyikan tiga lagu spesial yang memiliki tempat tersendiri di hati Taehyung.

Pun Taehyung merasa spesial—walaupun ia sudah sering mendengar Jeongguk bernyanyi dengan suara indahnya; yang kata Jeongguk padanya beberapa minggu lalu, “Aku nyanyi begini, 'kan, cuman kamu doang yang denger, Tae”.

Taehyung hanya membalas dengan memukul pelan lengan Jeongguk sambil tersipu malu.

Taehyung rasanya ingin memeluk Jeongguk saat ini juga; membawanya turun dari panggung dan menariknya untuk pulang.

Tidak, bukan karena Taehyung tidak suka akan surprise yang Jeongguk berikan. Justru sebaliknya, Taehyung merasa ada kupu-kupu menari di perutnya, gelenyar hangat merambat di dada dan kedua pipinya.

Bagaimana tidak? Jeongguk tahu Taehyung tidak pernah suka 'kejutan', terutama dari Jeongguk. Karena, ya... alasan pertama, Taehyung tidak suka jika Jeongguk merahasiakan sesuatu darinya.

Alasan kedua, Taehyung tidak ingin apa yang hanya menjadi miliknya dibagikan untuk banyak orang seperti ini.

That's my Jeongguk, for God sake. Stop screaming over him, sisi posesif Taehyung membatin.

Kedua lagu yang dinyanyikan Jeongguk cukup membuat Taehyung menitikkan air mata. Tidak. Bendungan air matanya sudah jebol.

Kenyataan bahwa ini adalah rahasia mereka berdua—dan ya, hanya circle terdekat mereka yang tahu cerita dibalik kedua lagu ini—membuat Taehyung semakin yakin akan Jeongguk.

Yakin akan perasaannya, akan afeksinya, akan janjinya, akan ucapannya, akan sikapnya, dan akan kenyataan bahwa Jeongguk benar-benar tulus mencintai Taehyung.

Ia tiba-tiba teringat kata-kata Papa Kim beberapa tahun lalu; sesaat sebelum meninggalkan dirinya dan Bunda di airport. Papa berbisik di telinganya sambil memeluknya erat.

“Taehyung, love is cliche. And tragic. Yet it's beautiful to the point where your action speaks louder than words. You will find the true one, someday. I don't know when. One thing that I know for sure; when they're sincere, it shows.

“And I don't see it in Bogum's. Besides, you are still young. You said you two like each other, but that rough letter I know I am not supposed to see few days ago on your diary, told me otherwise. Your smile lately told me otherwise.

“Just don't ever regret and take it as a lesson—a lesson to learn. Okay, anak Papa? I love you, son.”

Taehyung dapat merasakan air matanya semakin deras mengingat kenangan lama yang tiba-tiba melebur bersama dengan suara Jeongguk dan dinginnya udara malam yang menusuk tubuhnya.

Jeongguk yang sedang berada di panggung dengan Namjoon terdengar sedang melantunkan lagu ketiga; lagu yang tidak Taehyung sangka akan dinyanyikan di depan banyak orang seperti ini.

Apakah... Jeongguk akan menyatakan perasaannya saat ini juga di panggung?

Oh God, Taehyung, please just enjoy the show. Lo tidak akan tahu apa yang akan terjadi beberapa menit setelah ini. Don't expect anything. Your expectation always leads to disappointment, batinnya dalam hati.

Selang beberapa saat, akhirnya acara malam ini sampai di penghujung waktu. Jeongguk terdengar mengucapkan terima kasih pada Namjoon dan memeluknya singkat.

Taehyung mengenal Namjoon sebagai anggota OSIS dan juga teman baik Jeongguk. Beberapa kali Jeongguk membicarakan tentang Namjoon, tetapi Taehyung belum pernah berkenalan secara langsung dengan seniornya itu.

Dari short speech Jeongguk barusan, ia mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada para panitia yang telah membantunya sehingga surprisenya berjalan dengan lancar dan tidak ada hambatan. Pun ia berterima kasih pada sahabatnya karena telah mendukungnya selama beberapa minggu belakangan.

Taehyung melihat Jeongguk yang sedang berdiri di panggung dan mengernyitkan dahinya bingung.

Panitia? He didn't know about any of this? Apa Jimin dan Hoseok juga menyembunyikannya?

Menoleh ke samping kanannya, Jimin sudah menyunggingkan senyum jahilnya dan menggenggam tangan Taehyung erat.

“Jims, lo tau soal ini?” Taehyung bertanya dengan nada heran dan sedikit ragu.

Sahabat sejak kecilnya itu hanya tersenyum dan tertawa renyah. “Iya, Te. Sori ya, demi surprise pertama berhasil nih. Jeongguk udah wanti-wanti gue untuk ngga bilang sama lo. Susah juga nyembunyiin dari lo berhari-hari.”

Belum sempat Taehyung menanggapi jawaban Jimin, tiba-tiba ia mendengar Jeongguk berbicara.

“—tuk sahabat gue dari kecil.”

Ia mendengar beberapa orang yang duduk di baris belakang terkejut dan berbisik-bisik sambil melihat kearah Jeongguk. Mereka sepertinya sedang menebak siapa yang Jeongguk bicarakan.

“Yes, those songs before are about him. Gue dan dia udah sahabatan sejak lama. Five years today, to be exact. Gue ngga akan bilang siapa orangnya, since you guys already know, I guess...?” kata Jeongguk menggantung sambil tertawa awkward.

Taehyung melihat Jeongguk sedang menunduk sambil menggaruk lehernya. Ia lalu berpikir, hari ini... tepat lima tahun mereka bersahabat?

“But one thing for sure, as you guys know, gue bukan orang yang suka ada di panggung kayak gini. But I stepped up my game and be here today because he's the one who made me do it.

“Nope, dia ngga nyuruh gue. Tapi dia adalah motivasi gue untuk keluar dari comfort zone gue. He helped me break out of my shell. He's the best of the best, tho. I am so grateful for him,” kata Jeongguk mantap sambil mengunci sepasang matanya dengan Taehyung.

Tanpa Taehyung sadar, ia kembali menitikkan air matanya lagi sambil melihat kearah Jeongguk. He loves his best friend so much.

No, he loves Jeongguk as a best friend and a lover.

I am so grateful for you too, Jeongguk; gerak bibir Taehyung tanpa suara yang membuat Jeongguk menyunggingkan senyum lebarnya.

This fifth year anniversary of their friendship is the best day ever for Taehyung and Jeongguk.

Setelah menunggu Taehyung dan para panitia acara beberes, akhirnya Jeongguk dan Taehyung memutuskan untuk pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi.

Jimin dan Hoseok pulang tidak lama setelah mereka. Kalau rencana mereka tidak berubah, Hoseok akan menginap di rumah Jimin; karena sudah terlalu larut untuk pulang ke rumahnya.

Jeongguk sempat meminta izin pada Taehyung untuk menginap di rumahnya; yang tentu disambut dengan antusias oleh Taehyung.

Taehyung ingin tidur dengan nyenyak sambil memeluk Jeongguk malam ini.

Sepanjang perjalanan pulang, Taehyung menggengam tangan kiri Jeongguk tanpa sekalipun melepasnya. Senyum Taehyung menyungging lebar, kedua pipinya bersemu merah, dadanya hangat, dan perutnya terasa seperti berada di taman kupu-kupu.

Sedang Jeongguk sesekali melirik kearah Taehyung sambil tetap memfokuskan pandangnya pada jalanan. Tak lupa mengelus pelan punggung tangan Taehyung dan mengecupnya berkali-kali.

Hari Minggu subuh ini jalanan cukup sepi; hanya terlihat beberapa mobil yang melaju pelan di samping kiri kanan mobil Jeongguk. Ia melajukan mobilnya pada kecepatan rata-rata. Biasanya, ia membawa mobilnya lari dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Taehyung duduk menyamping dan menyandarkan kepalanya di headrest kursi penumpang. Ia hanya memandangi Jeongguk yang sedang fokus pada jalanan di depannya; melihat bekas luka gores pada pipi kiri Jeongguk, melihat matanya, lekuk jawline-nya yang tajam, hidung mancung Jeongguk, bibir kecilnya, dan siluet wajah Jeongguk yang sesekali terkena sinar lampu jalanan malam ini.

What did I do in my past life to deserve someone like him? batin Taehyung.

Maka tanpa berpikir panjang lagi, Taehyung melepas tangannya dari genggaman Jeongguk dan memegang pipinya sebelum akhirnya Taehyung memajukan tubuhnya untuk mengecup pelan pipi Jeongguk.

Tidak sebentar, dan tidak juga lama. Taehyung takut membuyarkan fokus Jeongguk.

Jeongguk yang sedikit kaget dengan spontanitas Taehyung beberapa detik lalu, terlihat bersemu merah dan menatap Taehyung di sampingnya. Sahabatnya itu hanya terkekeh pelan dan malu-malu sambil menggengam tangan Jeongguk lagi.

“Hei, warn a guy would be nice. What's the occasion, hm?” canda Jeongguk sambil mengecup pelan buku-buku jari Taehyung lagi.

Lawan bicaranya hanya tersenyum teduh dengan matanya yang sayu. Taehyung bahagia sekali hari ini; walaupun diiringi dengan tangisan berkali-kali yang cukup membuat kedua matanya perih.

Sejujurnya, ia sudah mengantuk dan lelah. Hari ini cukup panjang untuk seorang Taehyung yang kurang istirahat beberapa hari terakhir.

Tapi, toh, semua ini setimpal. Karena acara berjalan dengan sangat baik dan ia mendapat surprise pula dari sahabatnya.

Taehyung ingin memejamkan matanya dan istirahat, namun ia masih ingin memandangi wajah Jeongguk.

Ia terlalu bahagia, hingga sempat takut semua yang terjadi hari ini hanya ada didalam mimpinya. Taehyug tahu, ia hanya berlebihan, insecure, dan overthinking.

Ia hanya ingin memastikan bahwa semua ini benar terjadi. Karena ya, ini adalah kali pertama seseorang benar-benar menunjukkan perasaannya dengan tulus.

Larut dalam kabut pikirannya, Taehyung tidak sadar bahwa ia sudah meneteskan air matanya lagi.

Jeongguk yang sadar bahwa Taehyung menangis (lagi), akhirnya melambatkan laju mobilnya dan mencari sisi jalur yang kosong untuk menghentikan mobilnya.

“—hyung? Sayang? Hei, what's wrong?” Jeongguk segera menggeser tubuhnya dan bertanya dengan nada khawatir.

“Did I say something wrong?” tanyanya lagi, karena lawan bicaranya yang sedang menangis masih belum menjawab.

Taehyung terisak. Ia masih belum menjawab pertanyaan Jeongguk.

Jeongguk masih memandangi Taehyung dan mengelus pelan puncak kepalanya untuk menenangkan manisnya.

“—no, no, G-gukie... I- I just... is this real? Were you really on stage earlier just for me, Ggukie?” Taehyung akhirnya menjawab dengan suara pelan sambil tetap terisak. Jeongguk menangkap jawaban Taehyung dengan jelas.

“Oh, baby... come here.” Jeongguk yang tadinya khawatir Taehyung akan menjawab hal lain, akhirnya bernapas lega. Ia akhirnya menarik tangan Taehyung pelan dan memeluknya.

Taehyung menyandarkan kepalanya pada ceruk leher Jeongguk dan sesekali mendengar napas Jeongguk yang berhembus lembut di telinganya.

“It's all real, sayang. Kenapa? Aku terlalu cepat, ya?” Jeongguk menjawab sambil mengelus pelan punggung Taehyung turun naik. Ia tidak ingin membuat Taehyung panik dan berpikir macam-macam dengan segala surprise yang ia berikan hari ini.

Jeongguk merasakan sekujur tubuh Taehyung dipelukannya menegang dan kaget. Sahabatnya itu lalu menarik bagian depan kaus Jeongguk dan makin menenggelamkan wajahnya diceruk leher Jeongguk.

“No! No, no, no, Ggukie... it's not. Aku hanya takut tadi, kalau semua cuman mimpi aja. The-there is... there is no one loved me in the past like you do now.

“I just... I just want to make sure. Is it wrong?”

Taehyung merasakan Jeongguk tersenyum dan mencium puncak kepalanya pelan.

“It's not wrong, sayang. Baby steps, okay? I just want to tell the world that you're mine, you know?

“Maaf ya kalau aku bikin kamu nangis terus hari ini, Tae,” kata Jeongguk sayang.

“It's okay, Ggukie. Aku terlalu bahagia hari ini and it actually made me cry mess. Aku belum sempet bilang makasih sama kamu. So..., thank you so much, Ggukie sayang. I meant it.

“Kamu bener-bener keluar dari comfort zone kamu hanya untuk aku. And I am so thankful for it.”

Taehyung memeluk Jeongguk erat hingga sang lover itu meringis.

“And oh, happy fifth anniversary of our friendship, Ggukie. I am so thankful and grateful. Aku sayang kamu.” Taehyung tersenyum bahagia dan mencium pelan tepat di collarbone sahabatnya itu.

“Yeah, happy anniversary, Tae. Just wait and be ready, okay? I will change our status soon.” Goda Jeongguk sambil memeluk Taehyung lebih erat.

Hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk mereka berdua.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar.

They know it takes too long. But it's okay.

Because it's totally worth it.

Things I Do For You

Gugup.

Satu kata yang penuh arti; menggerogoti sekujur tubuh Jeongguk, termasuk kepala dan dadanya.

Rasanya sudah tidak terhitung berapa kali Jeongguk merapalkan kata-kata “I can do this, I can do this” sejak ia memberitahukan rencananya pada Jimin; jauh sebelum tiba-tiba ingin memberi satu surprise lainnya untuk Taehyung.

Ide Jeongguk yang sudah ia bawa ke mana-mana; menempel didasar otaknya sejak Taehyung hari itu mengucapkan tiga kata yang selama ini ingin ia dengar.

“I love you.”

Lucu memang, bahwa Jeongguk seperti memiliki urgensi untuk mendengar tiga kata tersebut keluar dari mulut Taehyung; yang sebenarnya, selama ini ia tahu, bahwa istilah 'action speaks louder than words' benar adanya.

Jeongguk menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Coret.

Ia mentertawai dirinya sendiri.

Bodohnya lo ini, Jeon. Kenapa harus denger Taehyung bilang sayang sama lo, kalau sebenernya selama ini lo sendiri udah ngerasain, batinnya dalam hati.

Pertama, setelah merasakan euforia yang sangat menakjubkan—ya, menurut dirinya sendiri seperti itu—saat mendengar Taehyung mengucapkan tiga kata magis di dalam pelukannya waktu itu, Jeongguk seperti mendengar telinganya mendengungkan letupan kembang api dari dalam kepala dan hatinya.

Yang kedua adalah memberitahu Mama; yang Taehyung sama sekali tidak tahu, bahwa malam itu, Jeongguk menceritakan panjang lebar pada Mama dan meminta izin.

“Ma, Jeongguk... kayaknya mau ngasih Taehyung surprise, deh.” kata anak bungsu keluarga Jeon itu sambil menyantap Gamjatang yang dimasak oleh Mama; masakan khas beliau yang juga merupakan favorit Jeongguk.

Mama Jeon yang sedang menonton drama korea—yang menurut Jeongguk entah sudah berapa kali diulang-ulang hingga ia bosan—hanya menoleh dari balik sofa dan menatapnya teduh.

“Hmm? Kamu mau bikin surprise apa buat Taeby? Kayak yang bisa aja. Kamu, 'kan, paling ngga tahan kalau disuruh keeping secret kayak gitu.” Mama Jeon menanggapi sambil menyesap hot latte yang dibuat oleh Jeongguk; khusus untuk sang Mama.

Jeongguk yang mendengar hanya memutar kedua bola matanya sambil tertawa garing. Ia hampir tersedak karenanya—Mama Jeon yang melihatnya hanya melirik sambil mentertawai tingkah anaknya.

“Mam, could you please, like... support me or something? Jeongguk malah jadi takut ketauan Taeby, nih!” keluh Jeongguk sambil bercanda.

Mama Jeon memencet tombol 'pause' pada remote dan beranjak dari duduknya. Beliau menghampiri anaknya dan menarik kursi meja makan di samping Jeongguk duduk.

“Okay, calm down, young man.” kata Mama sambil mengelus punggung Jeongguk. “Emangnya, kamu mau ngasih surprise apa buat Taeby? Bukannya kamu bilang, dia ngga suka kalau dikasih surprise gitu?”

Jeongguk ingat dan tahu betul; betapa sahabatnya itu akan mengeluh jika mengetahui Jeongguk menyembunyikan sesuatu yang berhubungan dengan dirinya.

Pasalnya, Taehyung pernah satu kali memergoki Jeongguk menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya saat ia menghampiri sahabatnya itu di kelasnya. Jeongguk terlihat pucat, dan setelah beberapa kali membujuk namun tidak berhasil, Taehyung ngambek selama dua jam.

Yang menurut Jeongguk, dua jam terasa seperti dua hari.

Menyadarkan diri dari lamunan, Jeongguk meletakkan sendok dan garpunya di piring dan menoleh kearah Mamanya.

“Nah, Mam, justru itu, Taehyung pasti suka... dan karena, ya... Jeongguk minta tolong dibantuin sama Jimin dan Hoseok sih.

“Not a big one, cuman surprise mau nyanyi dua lagu favorit kita berdua di penutupan acara. Terus, mau nyanyiin satu lagu lagi buat Taehyung, a la a la mau nembak gitu loh Ma—”

“What? Kamu serius?!” tanya Mama Jeon heboh, memotong kalimat anaknya.

Mengernyit, Jeongguk hanya membalas dengan santai, “Yes, I /am/ serious. Emang kenapa, Mam?”

Mama Jeon yang terheran melihat anak bungsunya menjawab dengan santai, langsung mencubit kedua pipi anaknya dan berkata,

“He /is/ going to cry mess, Jeon Jeongguk!”

Malam ini adalah pertama kalinya Jeongguk 'menunjukkan' dirinya di depan ratusan siswa sekolahnya secara 'terang-terangan'. Hanya ada Jeongguk dan beberapa kru dari TXT yang bersedia 'dipinjam' olehnya—berkat Jimin dan Hoseok yang langsung memperbolehkan Jeongguk saat memberitahu rencananya beberapa waktu lalu.

Entah apa yang ada di pikiran Jeongguk saat waktu itu memutuskan akan memberikan surprise untuk Taehyung di depan banyak orang seperti ini.

Ia sendiri tahu bahwa sejak dulu, ia tidak ingin orang-orang 'mengetahui'nya. Pun sebenarnya hal ini sangat kontradiktif bila dikaitkan dengan dirinya yang menjadi ketua klub ini dan itu di sekolah.

Namun Jeongguk ingin memanfaatkan momen yang tepat; entah, ia ingin keluar dari 'comfort zone' nya dengan melakukan ini untuk Taehyung. Dan hanya Taehyung.

Things I do for him, batinnya.

But in a very, very, very positive way.

Jeongguk memilih kedua lagu yang ia nyanyikan bukan sekedar memilih. Ia tahu bahwa kedua lagu ini adalah lagu favorit Taehyung yang sudah bertengger didalam playlist mereka—ya, Jeongguk dan Taehyung memiliki sharing playlist—selama dua tahun silam.

Warm On A Cold Night—lagu kesukaan Taehyung dan Jeongguk sedari awal lagu tersebut dirilis oleh HONNE—yang membuat mereka rela memantau akun Instagram salah satu festival musik ternama; jauh hari dengan memasang notifikasi pada handphone mereka berdua.

Sore itu, setahun lalu, Taehyung yang sedang merebahkan tubuhnya santai di tempat tidur Jeongguk; menggeser-geser layar handphone-nya dengan malas, tiba-tiba berteriak histeris sambil mengenjak-enjakkan tubuhnya diatas kasur, lalu turun ke lantai—masih dengan teriakan yang sama—membuyarkan fokus Jeongguk yang sedang bermain game di meja belajarnya.

“Ggukie—! Ggukie, Ggukie, Ggukie!! Liat! Ih, liat aku dulu!” rengek Taehyung sambil melompat-lompat kecil dan mengarahkan handphone-nya kearah wajah Jeongguk.

Sahabatnya itu hanya mendengus malas sambil melepas headphone yang terpasang rapat pada kedua telinganya.

“Apa sih, Tae? Ampun deh, untung kamu ngga teriak-teriak gitu pas aku lagi main. Yang ada aku kalah. Ada apa, sih?” balas Jeongguk manyun.

Namun sepersekian detik kemudian, terpancar senyum tulus dari wajahnya—melihat sahabatnya kelewat senang malam ini.

“Liat, dong, Jims barusan ngirimin DM, ngirim—” Taehyung mengambil napas dan aba-aba sebelum ia kembali teriak. Ia sudah kembali melompat-lompat dengan tidak santai—seperti sedang berada diatas trampolin keras.

“Iya, Taehyung, Jimin ngirim DM apa?” tanya Jeongguk lembut sambil memperhatikan sahabat didepannya dengan sayang.

“HONNE. HONNE MAU KONSER DI SINI, GGUKIE!!! WHAT THE HELL—please excuse my word—GGUKIE, WE HAVE TO GO! I AM SO IN. PLEASE THIS IS OUR FAVOURITE ONE, GGUKIE. PLEASE!” teriak Taehyung heboh seperti sedang berada di stadion olahraga.

Jeongguk yang mendengar Taehyung menyebutkan nama HONNE, langsung menjawab dengan histeris juga. “WHAT!?”

Pasalnya, grup musik itu beberapa sekali datang untuk perform, namun selalu saja ada halangan bagi mereka untuk menonton.

Maka, ketika Taehyung melihat tanggal yang tertera pada halaman akun Instagram festival itu dan mengetahui bahwa mereka akan perform tiga bulan dari sekarang dan jatuh pada saat weekend, Taehyung langsung lewat kegirangan.

Blessed—lagu spesial yang menjadi favorit Taehyung beberapa minggu setelah mereka menghadiri konser HONNE. Malam itu, saat mereka sedang berada di jalan pulang, Taehyung mendengar seorang penyiar radio mengatakan bahwa penyanyi laki-laki itu akan tampil pada salah satu acara jazz tahunan.

Dan alasannya karena—

“Ggukie, this song reminds me of you, somehow. I don't know, maybe, we have to watch Daniel Caesar perform on Jazz Night Festival, five months from now? I have spare my money just to see him perform.

“And yeah, only if you want to come, because I don't know if this is your kind of vibes or not. Soalnya aku nggak pernah dengar lagu ini di mobil kamu...”

Yang akhirnya diamini oleh Jeongguk dengan anggukan kecil dan diam-diam menghadiahi Taehyung dengan dua buah lembar tiket VIP Jazz Night Festival dengan tulisan “Daniel Caesar's Special Performance” dua bulan kemudian.

Yang tentunya, membuat Taehyung seketika itu menangis dan menghambur kedalam pelukan Jeongguk sambil terisak. Mengucapkan terima kasih entah berapa banyaknya, yang dibalas oleh Jeongguk dengan tertawa renyah dan,

“You're so welcome, Taehyung. Happy birthday, my best friends.”

Begitu banyak potongan memori yang memiliki tempat tersendiri di hati Jeongguk—yang membuatnya yakin akan menyanyikan kedua lagu itu di hadapan semua orang malam ini.

Lagu pertama berhasil dibawakan oleh Jeongguk dengan lancar. Walaupun pada awalnya, ia sedikit gugup karena ini adalah kali pertama ia berada di panggung dan disaksikan oleh semua orang.

Dari atas panggung, Jeongguk melihat baris depan diisi oleh para sahabat dan teman-temannya; Yugyeom duduk di samping Eunwoo dan Mingyu yang sedang terlihat asik membicarakan sesuatu berdua; di sampingnya sedang duduk Yoongi yang beberapa kali terlihat menguap—sepertinya temannya itu sudah mengantuk.

Lalu di sampingnya, terlihat Jimin yang sedang memegang lengan kursi di tangan kanannya, dan tangan kirinya menggenggam tangan sahabatnya.

Tangan Taehyung.

Taehyung terlihat indah sekaligus tampan malam ini. Sahabatnya itu memutuskan untuk sedikit memberikan surprise pada Jeongguk, dengan mengecat rambutnya menjadi blonde.

Kata Taehyung tadi saat Jeongguk menghampirinya. “Tenang aja, Ggukie. Aku udah minta permission untuk ngecat rambut sama guru BP. Hehehe, and it stays prolly a week, jadi ngga permanen-permanen amat, gitu...” yang ditanggapi dengan tertawa renyah namun speechless dari mulut Jeongguk.

Taehyung terlihat seperti malaikat, batinnya dalam hati.

Jeongguk membuat Taehyung menangis sejak lagu pertama ia nyanyikan. Rasanya ia ingin turun dari panggung saat itu juga dan menghapus air mata yang rembes dari sepasang mata indah sahabatnya.

Tapi belum, Jeongguk tidak boleh turun dan menghampiri Taehyung. Belum saatnya.

Saat Jeongguk kembali ke atas panggung dan akan menyanyikan lagu kedua, ia sempat memberikan hint dan menatap lekat kedua mata sahabatnya yang sedari tadi sudah mengunci dengan mata Jeongguk.

“This is my second song, dedicated to you.” Jeongguk menatap Taehyung lekat sambil menunjuk ke arah sahabatnya. “I know you will like it, since this was one of our songs back when we went to that music festival.”

Taehyung yang mendengarnya langsung membelalakan matanya; Jeongguk melihat betapa terkejutnya Taehyung, sambil meremas tangan kiri Jimin terlalu kuat.

Sahabatnya itu terlihat hampir menangis.

Jeongguk hanya bisa tersenyum dan memejamkan matanya sebelum ia mengambil napas dan bernyanyi.

“Everywhere that I go, everywhere that I be If you are not surrounding me with your energy I don't wanna be there, don't wanna be anywhere Any place that I can't feel you, I just wanna be near you.”

Jeongguk dengan pelan dan selaras mengikuti cover instrumen yang ia buat beberapa hari lalu dengan bantuan Yoongi.

Ia menghayati setiap kata dalam lirik sambil menatap sahabatnya lekat.

Oh God, I am so in love with him.

Jeongguk membatin sambil menatap sahabatnya yang sudah menutup mulutnya dengan tangan kirinya; terlihat air mata Taehyung sudah membasahi kedua pipinya yang lembut itu.

“And yes, I'm a mess but I'm blessed To be stuck with you Sometimes it gets unhealthy We can't be by ourselves, we We'll always need each other, and Yes, I'm a mess but I'm blessed To be stuck with you I just want you to know that If I could I swear I'll go back Make everything all better, whoa”

Jeongguk mendengar lambat laun orang-orang yang berdiri di hadapannya ikut menyanyi bersamanya.

Ia tersenyum sambil tetap menyanyikan lagu favorit Taehyung dengan fokus. Jeongguk ingin sahabatnya itu merasakan apa yang ia rasakan saat ini melalui lirik lagu ini.

“It's the things that you say It's the way that you pray Pray on my insecurities I know you're feeling me I know sometimes I do wrong But hear the words of this song When I go I don't stay gone for long Don't know what's going on”

Kedua mata Taehyung yang sudah buram bertemu dengan Jeongguk. Melihat sahabatnya di atas panggung, menyanyikan lagu favorit mereka—dengan memori indah dibaliknya, sontak membuat Taehyung lemas sambil terus menangis.

Jeongguk terlihat dengan indah menyanyikan lagu mereka sambil terus menatapnya lekat.

Ia tahu lirik apa yang akan datang setelah ini. Taehyung hafal betul.

“And I'm coming back home to you And I'm coming back home to you”

Taehyung menangis, kedua matanya buram.

Semua kekhawatiran, keresahan, keraguan Taehyung akan cinta, dan semua trauma yang ia alami selama ini seperti luntur dengan sendirinya; bersamaan dengan derasnya air mata yang tumpah hanya lewat satu kalimat yang Jeongguk nyanyikan.

Ia tahu, selama ada Jeongguk, ia tidak perlu khawatir.

Ia tahu, selama ada Jeongguk, ia akan selalu dicintai sebagaimana dirinya pantas dicintai.

Taehyung sibuk menangis dan menutup matanya sambil menunduk, tidak menyadari bahwa sahabatnya diatas panggung pun merasakan hal yang sama.

Jeongguknya ikut menangis.