A Voice.
Taehyung dan Jimin merindukan waktu luang yang selalu mereka habiskan bersama setiap akhir pekan. Dua hari tersebut merupakan waktu yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun—begitu prinsip mereka sejak kecil. Bersahabat sekian lama membuat mereka berdua paham luar dalam satu sama lain. Ambil contoh saat ini; jika Taehyung terlihat sedih dan murung dengan kenyataan bahwa dirinya harus 'puasa' bertemu dengan Jeongguk, maka Jimin sebagai 'cenayang' sahabatnya langsung berinisiatif mengajak Taehyung jalan-jalan hari ini.
Rencananya berhasil, karena sahabatnya itu langsung mengiyakan tanpa pikir panjang. Kita sudah lama nggak jalan dan nongkrong bareng, Jims, begitu katanya kemarin.
Lantas, di sinilah akhirnya Taehyung dan Jimin saat ini, di salah satu gerai desainer ternama terbesar di Seoul. Maklum, kesenangan Jimin untuk berbelanja barang-barang bermerk seperti ini memang jarang muncul. Mood Jimin dalam berbelanja selalu hilang timbul. Hari ini, mood sahabat Taehyung itu muncul dengan sendirinya; menyebabkan Jimin harus bolak-balik keluar-masuk fitting room, mencoba beberapa pakaian yang ia taksir. Kata Jimin, koleksi ini sudah sebulan lalu keluar, namun keinginan membeli tidak timbul hingga sekarang. Taehyung hanya mengangguk-angguk sambil tertawa kecil mendengarnya.
Setelah mengitari rak koleksi gerai itu dua kali sambil berjalan pelan, Taehyung tidak juga menemukan barang yang ingin ia beli atau coba. Lagipula, biasanya Bunda akan memberitahu nya jika ada sesuatu yang layak untuk dibeli. Taehyung adalah seseorang yang akan membeli barang jika ia sangat ingin. Pun sama halnya dengan mengganti sesuatu; ia akan melakukannya jika barang yang ia miliki terlihat akan rusak. Tetapi Taehyung tidak pernah mempermasalahkan orang lain yang bertolak belakang dengan dirinya, seperti sahabatnya sekarang ini. Taehyung justru senang melihat tingkah Jimin yang kegirangan karena bisa berbelanja—walaupun katanya, beberapa bag yang terlihat di kasir adalah milik Mamanya. Sahabat Jimin itu hanya terkekeh sambil memukul pelan lengannya.
Tak kunjung melihat Jimin akan selesai dengan dunianya, akhirnya Taehyung memutuskan untuk keluar dari gerai dan memilih untuk duduk di sofa nyaman yang berada di depan gerai. Hari ini mall terlihat sepi, tidak seperti biasanya; ramai pengunjung berlalu lalang dengan membawa bag bertuliskan desainer ternama. Apa karena masih siang ya, pikir Taehyung.
Setelah mengambil duduk, Taehyung melihat sekeliling sambil memicingkan matanya dan mempertajam indera penciumannya. Ia seperti mencium aroma hot chocolate favoritnya. Setelah melihat sekeliling barang semenit, sepasang matanya akhirnya menangkap kedai kopi kecil yang terletak tidak jauh dari tempatnya ia duduk. Taehyung segera berlari-lari kecil sambil mengeluarkan dompetnya dari saku celananya.
Mumpung Jims lagi asik belanja sampai entah kapan, mending gue beli hot chocolate aja, pikirnya.
Butuh waktu lima menit dari waktu Taehyung memesan minuman favoritnya sampai akhirnya ia dengan secure memegang segelas kertas hot chocolate nya dan berjalan kembali ke sofa nyaman itu. Ia berjalan pelan sambil menengok ke kanan dan kiri; ada beberapa gerai baru yang akan buka. Taehyung melihat salah satu gerai merk favoritnya akan selesai direnovasi dalam waktu dekat.
Tak sadar, Taehyung terkekeh sambil mengeluarkan handphone nya dan membuka aplikasi kalender. Ia tidak ingin melewatkan hari spesial itu. Siapa tahu, ia dan Jimin bisa mampir untuk melihat apakah ada diskon spesial di hari itu. Sekalian ajak Bunda kalau memang ada, tawanya renyah.
Selang beberapa menit setelah Taehyung kembali duduk di depan gerai, ia mengeluarkan ponselnya dan mencari aplikasi pesan. Jujur, Taehyung rindu dengan Jeongguk; padahal baru genap dua hari mereka tidak bertemu. Walaupun video call masih tetap dilakukan, namun Taehyung kepalang rindu dengan sentuhan sayang nan lembut dari Jeongguk. Katakanlah ia clingy, tapi toh, kekasihnya itu tidak pernah protes.
Bertukar pesan beberapa kali dengan Jeongguk—ya, kekasihnya itu akan meneleponnya sebentar lagi; Taehyung teringat akan janji Jeongguk bahwa akan menceritakan hasil bicaranya dengan Mama Jeon semalam. Taehyung akhirnya memposisikan duduknya dengan nyaman, sebelum akhirnya mendengar nada dering handphonenya berbunyi. Tertera nama kesayangan Jeongguk di layar dan Taehyung menjawab dengan riang.
“Halo, Ggukie sayang!”
—
Jimin akui, cukup lelah berlari ke sana kemari di dalam gerai favoritnya sambil memilih beberapa barang yang ingin ia coba; mulai dari sunglasses, pakaian, topi, sepatu, hingga sandal. Entah mengapa, semangatnya untuk berbelanja hari ini sangat berapi-api. Pun Assistant Manager—yang akrab disapa Kak Yoon oleh Jimin—hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum lebar. Mereka sudah lama mengenal satu sama lain—bahkan Jimin dan Mamanya menyimpan kontak Kak Yoon. Alasan Jimin sederhana; supaya ia tahu koleksi baru apa saja yang keluar pada musim ini.
Hal ini tentu membuat Taehyung seringkali mengingatkan sahabatnya untuk tidak terlalu berlebihan dalam berbelanja. Yang tentu ditanggapi oleh Jimin hanya dengan kerlingan mata sambil berkata 'besok lo bakal gue beliin apa aja biar nggak bawel'. Taehyung biasanya hanya akan memutar kedua bola matanya sambil menyentil dahi Jimin hingga sahabatnya itu meringis.
Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam di dalam, Jimin akhirnya keluar dengan sudah membawa tiga bag putih bertuliskan merk tersebut didepannya. Senyum merekah tampak di wajah Jimin, sebelum akhirnya ia melihat Taehyung dari kejauhan sedang duduk sendirian di sofa. Berjalan mendekat, Jimin menyadari bahwa Taehyung hanya menunduk sambil kedua tangannya menutupi wajahnya.
Jimin mengernyit; berpikir apakah sahabatnya itu tertidur sambil menunggunya asyik sendiri berbelanja. Merasa bersalah, ia lalu berlari-lari kecil kearah Taehyung—menyadari setelahnya bahwa terdengar isak tangis dari balik kedua tangan Taehyung. Jimin lalu bergegas dan duduk di samping sahabatnya itu; meletakkan beberapa bag itu asal di sisi kanan kakinya dan mengelus lengan Taehyung pelan.
“Te... kok nangis? Ada apa?” Jimin bertanya hati-hati. Ada apa sebenarnya? Sepertinya tadi Taehyung terlihat baik-baik saja sebelum mereka berpisah di dalam gerai. Jimin memutar otaknya; mengira-ngira apa yang terjadi sampai akhirnya sahabatnya itu menghela napas berat lalu mengusap kedua matanya.
Taehyung hanya terkekeh sambil menarik hidungnya; menghilangkan jejak tangis. “Hehe, nggak kenapa-kenapa. Habis telfon Ggukie tadi, Jims. Dia cerita sesuatu. Kind of sad, but it was a happy tears, kok. Don't worry.” Taehyung melihat Jimin mengeluarkan raut muka tidak percaya—alis sahabatnya naik sebelah dan tangannya menopang dagu mungilnya itu.
“Jims, beneran! Gue nggak bohong. Kayaknya gue dramatis aja. Tadi habis telfonan sama Ggukie, terus denger suatu berita. Nggak apa kok, we're fine.” Taehyung berusaha meyakinkan sahabatnya itu yang tidak mudah percaya dengan alasannya sendiri.
Menghela napas pelan dan terkekeh, akhirnya Taehyung mengulurkan jari kelingkingnya pada Jimin, sambil berkata, “pinky promise, Jims. Udah percaya belum sekarang?”
Jimin yang sedari tadi bersikukuh, akhirnya menyerah. Mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Taehyung, akhirnya ia berkata yakin. “Oke, gue percaya. Ayo kita ke kafe sekarang, gue udah laper banget!”
Disambut tawa pelan dan anggukan oleh Taehyung, akhirnya mereka berdiri sambil membawa bag putih hasil belanjaan Jimin dan mengarah keluar mall.
—
Setelah cukup lama menempuh perjalanan ke kafe Haru—nama kafe baru yang sudah hits di kalangan remaja dan anak muda kota itu, akhirnya Jimin dan Taehyung turun dari mobil. Sebelumnya, Jimin menginfokan kepada pak Supir bahwa ia dan Taehyung akan lama berada di kafe. Supir Jimin hanya mengangguk mengerti dan menjawab bahwa beliau akan mencari parkir terdekat.
Terlihat dari luar kafe, beberapa orang berdiri menunggu giliran masuk dan mendapat tempat duduk. Taehyung bersyukur dirinya dan Jimin telah memesan tempat sehari sebelumnya—ia tahu bahwa kafe akan ramai pada saat weekend. Taehyung juga tidak mau mengambil resiko dan akan berakhir duduk di smoking room pada akhirnya. Ia sudah membayangkan bagaimana reaksi Bunda dan juga Jeongguk.
“Atas nama Park Jimin, please ,” kata Jimin kepada seorang server yang berdiri di ambang pintu sambil memegang papan nama. Taehyung mengintip kearah benda tersebut; terlihat beberapa belas nama berderet dibawah keterangan Waiting List. Ia hanya melotot sambil menggelengkan kepala tidak percaya. Syukurlah hari ini mereka beruntung.
Seorang wanita muda yang menjadi server itu tersenyum sambil mempersilahkan mereka masuk setelah melihat nama Park Jimin tertera di kolom Reservation. Sambil membawa sepasang buku menu, ia mengantar Jimin dan Taehyung ke meja yang sudah diset rapi dan cantik didepan bar—tempat strategis yang Taehyung ingin duduki di kafe ini.
Tersenyum sembari mengucapkan terima kasih, akhirnya mereka mengambil duduk dan membuka buku menu. Jimin mengedarkan pandangan ke arah ruangan; terlihat beberapa pasangan yang duduk jauh dari mejanya berada; seorang pria berkacamata duduk di samping mejanya berada, membelakangi Jimin; dan beberapa mahasiswa—menurut kacamata Taehyung—sedang duduk membelakanginya. Jarak antar meja cukup membuat privasi setiap tamu terjaga; bisa dipastikan conversation yang terjadi di setiap meja tidak akan terdengar.
“Rame juga ini tempat, Te. Lo sering ke sini?” Jimin bertanya pelan sambil melihat beberapa menu yang disajikan di kafe Haru. Dalam sekali buka, Jimin sudah mendapatkan beberapa menu yang ingin ia coba dengan Taehyung. Mereka berdua sering memesan banyak makanan untuk sharing. Jimin pernah berkata 'gue pengen cobain semua, please nggak usah protes'; yang dibalas Taehyung dengan terkekeh.
Taehyung tersenyum sambil mengalihkan pandangannya dari menu dan menatap Jimin. “Nggak, baru tiga kali ini, sih. Dua kali sama, Ggukie. Tapi selalu dapet tempat nggak strategis terus. Baru kali ini gue dapet di sini. Tempat favorit lho, Jims. Pantesan ada minimum spending, pake reservasi pula.”
Jimin hanya terkekeh pelan sambil mengerling. “Tenang, menu yang mau gue pesen bakal mencapai minimum spending, kok. Kita bakal hardcore kayak biasa, 'kan, Te?”
Sahabatnya itu hanya tertawa pelan sambil berkata dengan riang. “Wow, udah pasti, dong! Gue juga ada beberapa rekomendasi menu yang harus lo coba, Jims!”
—
Setelah memesan beberapa menu—tolong, itu sangat banyak sebetulnya, namun mereka berdua tidak peduli—, akhirnya Taehyung meminta izin pada Jimin untuk pergi ke kamar kecil. Jimin hanya mengangguk; ia sedang serius mengedit fotonya tadi di gerai saat berbelanja. Beberapa aplikasi terpasang dalam mode standby di handphonenya. Jimin tidak peduli terhadap sekeliling, ia terlalu fokus pada layarnya yang menampilkan foto dirinya.
Fokus Jimin sedikit melonggar, saat melihat seorang waiter berjalan ke arahnya sambil membawa buku menu. Waiter itu akhirnya menghentikan langkahnya di meja sebelah mereka duduk. Jimin lalu memalingkan pandangan ke arah luar kafe; masih banyak tamu yang belum mendapatkan tempat duduk. Ia merasa kasihan sekaligus senang; beruntung hari ini dirinya dan Taehyung mendapatkan tempat duduk—dan strategis pula.
Taehyung tak kunjung kembali dari kamar kecil setelah lewat lima menit. Jimin menegakkan tubuhnya untuk mencari sosok sahabatnya dengan matanya, sesaat sebelum ia mendengar suara seorang pria dari meja di sampingnya.
Suara ini sangat familiar. Siapa ya? Jimin berpikir keras, sampai akhirnya ia merasa seperti tersambar petir di siang hari.
Bulu kuduknya meremang, kala seorang pria dengan suara itu berkata dengan antusias; menyapa suara yang berada diujung sambungan teleponnya.
“Halo, Jeon! Apa kabar?”
—