Doubt.

“Yeah, sayang. Take care, okay? Inget pesen aku, kamu jangan sampai duduk di smoking room. Ya, Tae?”

Jeongguk beberapa kali mengingatkan Taehyung mengenai hal ini; belajar dari pengalamannya dengan kekasih manisnya itu saat beberapa bulan lalu mereka ingin mencari suasana baru untuk nongkrong.

Memang, sedari awal Taehyung-lah yang mengajak Jeongguk untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang tidak jauh dari restoran sushi favoritnya. Kata Taehyung, kafe itu menjual minuman cokelat panas dan strawberry cake yang sangat enak—yang sebenarnya Taehyung hanya melihat dari beberapa review di salah satu aplikasi di ponselnya.

Jeongguk yang mendengar Taehyung berceloteh sehari sebelumnya mengenai kafe tersebut hanya menganggukan kepalanya mengerti sambil mengecup pelan pipi kiri Taehyung dan berkata, “iya oke, besok kita ke sana.”

Sahabatnya saat itu—yang sekarang sudah menjadi kekasih, hanya meneriakkan kata 'hore' kelewat kencang sambil membalas kecupan Jeongguk di pipi. Matanya berbinar dan senyumnya merekah.

Kekasihnya itu memang mudah sekali bahagia, yang secara otomatis menularkan rasa bahagia itu pada orang lain.

Saat mereka sampai dan akhirnya tahu bahwa tidak ada area duduk yang nyaman karena terlalu ramai, Taehyung secara otomatis menyetel mood-nya menjadi kesal. Bibir maju dua sentimeter, berubah sensitif, dan mengernyit. Jeongguk tahu kebiasaan Taehyung, maka ia bersikeras untuk mendapatkan tempat yang nyaman untuk mereka akhirnya duduk.

Dan Jeongguk terpaksa mengiyakan tawaran seorang waiter untuk duduk di smoking room. Tidak apa, asal Taehyung tidak bad mood seperti ini.

Namun akhirnya, pilihan Jeongguk tersebut membuat Bunda marah beberapa jam setelahnya karena anak laki-lakinya membawa bau asap rokok dari ujung rambut sampai ujung sepatu ke dalam rumahnya.

“Bunda berapa kali sudah bilang, 'kan, sayang. Apa harus kamu duduk di situ? 'Kan bisa duduk di tempat lain?” Bunda terlihat melepas kacamata bacanya dan memijat keningnya. Beliau terlihat menghela napas berat.

Sedang Taehyung yang berdiri di hadapan Bundanya terlihat kecil dan menunduk. Ia memainkan ujung bajunya sambil menghela napas pelan. “Semua tempat penuh, Bun. Lagian kenapa, sih... kan Tae tinggal mandi, Bunda,” kata Taehyung merajuk, yang dibalas Bunda hanya dengan gelengan.

Bunda Kim yang tahu bahwa ia tidak akan berdebat dengan anak laki-lakinya, akhirnya menyerah sambil menghela napas berat.

“Yeah, okay, I will let you pass this time. Just... jangan diulangi lagi, ya Tae?”

Berbalas anggukan mantap dari Taehyung, Bunda Kim kembali tersenyum dan mengajak anak laki-lakinya itu bicara seperti tidak ada apa-apa.

Esoknya, Jeongguk datang ke rumah Taehyung dengan membawa satu keranjang penuh berisi buah apel untuk Bunda Kim.

Diujung telepon, Taehyung terdengar sedang memanyunkan bibirnya. Jeongguk tahu. Ia hanya tersenyum karenanya.

“I can feel you pouting from here, baby.” Jeongguk bicara sambil tersenyum. Ugh, rasanya ia ingin sekali cepat-cepat melewati ini semua dan menemui Taehyung sekarang juga. Ia sudah terlalu rindu. Padahal mereka berdua baru berpisah satu hari.

Jeongguk tidak tahu, bahwa sekarang Taehyung terbelalak; merasa seperti sedang kepergok Bunda memotong strawberry cake di lemari pendingin langsung dari sendok miliknya.

“H-how do you know? Ugh, I told you a million times already, no, Ggukie? I won't sit in smoking area. Janji,” kata Taehyung terdengar mantap namun terselip nada sebal. Jeongguk tahu, kekasihnya itu sekarang pasti sedang menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan.

“Iya, sayang. Cuma mau make sure aja, aku takut kamu lupa. Kamu kan nggak lagi pergi sama aku.”

Entah berapa kali Jeongguk ingin memberi kode bahwa ia sangat merindukan Taehyung. Seketika, ia teringat akan pembicaraan tadi malam yang tiba-tiba dibahas oleh manisnya itu. Ia lantas menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran macam-macam di dalam otaknya.

“Iya, iya, Ggukie. Ada Jims, kan. Kamu tenang aja, okay?”

Setelah bertukar beberapa kalimat, akhirnya Jeongguk mengakhiri sambungan telepon sambil menghela napas lega. Ia seperti sehabis merasakan beban di hatinya terangkat; hanya dengan mendengar suara Taehyung.

Yugyeom yang melihat sahabatnya tersenyum terlalu lebar, lantas berujar kemudian.

“Ayo belajar lagi. Dasar remaja bucin garis keras.”

Jeongguk dan ketiga sahabatnya benar-benar menghabiskan waktu hari ini dengan belajar, belajar, dan belajar. Tidak ada distraksi yang signifikan selama mereka berdiskusi hari ini. Jeongguk dan Eunwoo bergantian memimpin diskusi hari ini.

Kamar tidur Jeongguk memang terbilang sangat luas; cukup untuk mereka berempat belajar dan tidur. Ruangan seluas 8 x 10 meter itu pun dilengkapi dengan komputer dan alat bermain Jeongguk. Maka tak heran, Mama Jeon selalu memancing Jeongguk untuk mengundang teman-temannya menginap di rumah.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat sore—Jeongguk tadi berjanji akan memesan takeouts untuk dirinya dan para sahabatnya late lunch. Sebenarnya, Jeongguk ingin memesan dari restoran sushi favoritnya, namun Eunwoo dan Mingyu baru saja kemarin makan malam berdua saja di sana. Pun Yugyeom sudah sarapan sebelum pergi ke rumah Jeongguk. Maka ia memutuskan untuk memesan takeouts setelah belajar.

Setelah menelepon restoran korea yang sering Jeongguk jadikan restoran favorit apabila Mama Jeon sedang kerja larut malam di kantor, ia memanggil para sahabatnya untuk keluar ke ruang tengah. Sekalian jam istirahat, begitu katanya tadi.

Wajah Yugyeom terlihat lesu dan kusut. Modul yang diberikan oleh guru mereka tempo hari untuk latihan tergolong sangat susah. Beberapa kali Jeongguk harus bertanya pada Yoongi via text bagaimana cara menyelesaikan soal yang rumit itu.

Jeongguk akui, sesi belajar hari ini hampir membuat kepalanya pecah. Tryout yang akan dilaksanakan pada hari Senin cukup membuatnya dan ketiga sahabatnya gugup.

“Gila, gue eneg banget belajar hari ini. Kenapa ya? Emang susah atau cuman perasaan gue doang sih?” Eunwoo mengeluh panjang lebar sambil beberapa kali meniup Gamjatang yang ia pesan melalui Jeongguk tadi. Rasa pedas dan panas membuat Eunwoo semakin menggebu-gebu saat mengeluh.

Yugyeom yang mendengar sahabatnya itu hanya terkekeh dan menjawab sekenanya. “Emang susah, anjrit. Ini kita dikasih soal buat TO atau buat masuk kuliah sih?”

Bicara soal kuliah, Jeongguk yang hendak menyeruput Yukgaejang miliknya langsung meletakkan sendoknya asal. Menghasilkan bunyi cukup keras, hingga menyebabkan ketiga sahabatnya yang sedang asik menyantap makanannya masing-masing langsung menoleh ke arahnya.

“Huh? Ada apa Gguk?” Mingyu yang berada tepat di samping kirinya bertanya pelan. Jeongguk bukan tipe orang yang bersuara jika sedang makan. Alat makannya pun biasanya ia gerakkan sepelan mungkin. Ajaran Mama Jeon sejak kecil.

“U-uh... nggak. Gue denger Gyeom ngomongin soal kuliah, gue jadi keinget sesuatu lagi...” Jeongguk menghela napas berat lalu menyadarkan punggungnya ke sofa. Ia menjawab pertanyaan Mingyu sambil menengadahkan kepalanya.

“Hmm? Keinget apaan, bro?” Giliran Eunwoo bertanya sambil mengernyitkan dahi.

Jeongguk sendiri pun tidak tahu dari mana dan kapan rasa ragu-ragu itu mulai muncul. Namun yang ia tahu pasti, sejak menggarap exhibition fotografi yang berakhir sukses, impiannya yang sudah lama ia kubur akhirnya memaksa mencuat kembali keluar.

“Nggak tau ya, guys... Gue kok rasanya nggak pengen ambil Hukum ya? Gue... entah kenapa karena kemarin garap exhibition, jiwa fotografi gue bangun lagi.”

Yugyeom yang duduk berseberangan dengan Jeongguk seketika menganga. Walaupun mereka berempat sudah menjalin persahabatan cukup lama, namun hanya Yugyeom yang tahu apa alasan sebenarnya Jeongguk mengubur impiannya mengejar fotografi dan memilih jurusan Hukum instead.

“Gguk...?” Jeongguk mendengar Yugyeom bertanya. Kata-katanya menggantung di udara. Ia tidak tahu harus merespon apa lagi. Yugyeom tahu, Jeongguk adalah satu-satunya sahabat yang ia miliki yang tidak mudah berpindah haluan. Jeongguk adalah seseorang yang jika sudah memiliki target, ia akan mengejar dan melakukannya sampai berhasil.

Maka tidak heran jika Yugyeom bukan main terkejutnya.

“Gguk, sejak kapan?” Yugyeom bertanya sekali lagi. Kali ini dengan nada tegas. Eunwoo dan Mingyu seketika menoleh ke arah Yugyeom; baru kali ini mereka mendengar sahabatnya itu berbicara dengan nada seserius ini. Apalagi dengan mereka berdua, termasuk Jeongguk.

Jeongguk terlihat mengacak-acak rambutnya sambil menggeram. Sudah saatnya ia bercerita pada Eunwoo dan Mingyu juga sepertinya. Mereka berdua mungkin tidak akan mengerti pembicaraan ini kalau hanya ia simpan sendiri.

“So, yeah, Wo, Ming... long story short, gue sebenernya dari dulu pengen masuk fotografi. Tapi ya... sejak Bokap pergi mendadak, gue jadi pengen ngikutin jejaknya. Cuman Mama dan Yugyeom yang tahu.

“Entah. Dari situ gue udah ngga nengok-nengok keinginan gue soal fotografi sebagai hal yang mau gue kejar. Selama ini ya gue menjalaninya sebagai hobi aja. Nggak lebih. Gitu deh intinya.” Jeongguk terlihat sulit untuk melanjutkan lagi ceritanya.

Mingyu yang posisi duduknya sekarang berada terdeket dengan Jeongguk, langsung mengulurkan tangannya dan memegang pundak Jeongguk. Ia berharap gesturnya dapat membuat Jeongguk merasa lebih baik.

Setelah sudah merasa lebih baik dan stabil, akhirnya Jeongguk menyambung lagi.

“Sejak tempo hari gue motret Taehyung, gue kayak tersadar. Gue rasanya pengen pursue lagi passion gue sebagai fotografer. Taehyung nggak tahu cerita ini sama sekali, tapi berkat gue kemarin foto dia dan akhirnya gue jadiin exhibition, gue jadi sadar kalau sebenarnya selama ini gue ngubur passion fotografi gue buat Nyokap gue.”

Jeongguk tanpa sadar sudah meremat kaosnya yang tipis hingga hampir bolong. Para sahabatnya yang ada di sampingnya hanya bisa menepuk pelan bahunya untuk menyalurkan rasa perhatiannya. Bagi mereka berempat, topik yang biasa dibicarakan sangat jarang menjurus kearah yang berat. Maka Mingyu dan Eunwoo hanya bisa diam sambil menenangkan Jeongguk.

Yugyeom yang sudah beberapa kali mendengar cerita dibalik banting setirnya Jeongguk dari fotografi, akhirnya buka suara.

“Gguk, diobrolin sama Nyokap lo, ya? Pelan aja. Bisa kok, dan semua belum terlambat.”

Kata Yugyeom menyambung lagi. “Nggak ada kata terlambat untuk ngejar apa yang lo pengen, Gguk.”