Trust.
Jeongguk stres; bisa dikatakan begitu.
Bagaimana tidak? Project yang sudah tertanam di kepalanya sejak lama akhirnya akan terlaksana besok. Effort yang sudah ia dan timnya lakukan cukup membuatnya pusing beberapa hari belakangan.
Pertama, ia harus memikirkan positif dan negatifnya dari beberapa sisi; apakah akan mendapat kritik? Apa project ini akan memberikan benefit pada dirinya dan teman-temannya? Apa para guru akan menyukainya? Dan yang terakhir, apakah projectnya akan berhasil?
Tentu diikuti oleh kekhawatirannya yang kedua; Jeongguk harus beberapa kali berkilah jika Taehyung sudah menanyakan tentang progress dari projectnya.
Sebentar lagi, pikir Jeongguk. Everything is going to be worth it.
Jeongguk berharap usahanya tidak sia-sia.
Beberapa jam lalu, Jeongguk sudah memberitahu Taehyung in advance bahwa hari ini ia tidak bisa mengantar kesayangannya itu pulang ke rumah. Masih ada beberapa hal yang ingin Jeongguk selesaikan secara langsung tanpa bantuan dari orang lain. Ia hanya ingin exhibition-nya terlihat seperti apa yang ada di pikirannya.
Jeongguk seperti sangat tertolong, saat Jimin menyela pembicaraan mereka dan menawarkan untuk mengantar Taehyung pulang. Tentu si kesayangan Jeongguk lantas setuju dan merapalkan rencana ini itu dari balik bibir mungilnya; yang hanya dibalas Jeongguk dengan usapan sayang di puncak kepala Taehyung sebelum akhirnya pulang.
Seharian ini, Mingyu setia menemani Jeongguk ke mana saja—mengecek foto di tempat printing—sahabatnya itu benar-benar membuat tempat langganan mereka kewalahan. Pasalnya, Jeongguk puluhan kali memastikan agar hasil cetak memuaskan dan tidak bercela sedikitpun.
Yang sebetulnya, membuat si empunya bisnis printing beberapa kali gelengkan kepala karena tuntutan Jeongguk. Padahal, sudah si empunya dan dirinya sudah bertahun-tahun saling mengenal.
Ya, Jeongguk memiliki beberapa printed-out foto Mama dan juga Taehyung—hasil jepretan pribadinya.
Jeongguk pun memastikan bahwa posisi board di beberapa titik sudah berdiri dengan sempurna. Ia tidak ingin space yang sudah disediakan akan terlihat berjubel dengan orang hanya karena board nya tidak sesuai dengan keinginannya.
He aims perfection.
“Bro, semua udah beres, kok. Lo keliatan khawatir gitu kenapa sih emangnya? Share your thoughts, please. Lo ngga biasanya kayak gini,” tanya Mingyu siang tadi sambil mengulum permen lolipop nya. Mereka sudah ada di hall lantai dua sedari siang, berkat bantuan Seokjin.
Jeongguk yang mendengar pertanyaan Mingyu hanya mengernyit sambil terus berjalan pelan—meneliti photo board yang terbentang mengitari di setiap sisi hall.
“Gue cuman pengen besok berhasil, Ming. Takut gue. Am I too much?”
Mingyu yang mendengar sekarang giliran mengernyitkan dahinya.
“Hah? Too much /how/?” Mingyu bertanya heran. Ia terkadang tidak habis pikir dengan awan-awan pikiran berlebihan sahabatnya itu.
Sejak awal mengenal dan akhirnya bersahabat dengan Jeongguk, sahabatnya itu sering sekali tenggelam dalam kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu 'ada'.
And he always does this when it comes to his very private life, especially when it comes to Taehyung.
Jeongguk beberapa kali terlihat merapikan secarik kertas kecil yang nantinya akan menjadi caption dari foto yang akan mereka tampilkan. Ia terlihat berusaha menggeser kertas itu sehingga menjadi presisi.
“Ya, ngga tau ya, Ming. Lo tau sendiri gue orangnya belakang layar banget. People know me, yes, but not my personal life. Ngerti, 'kan? And the fact that those photos they'll be seeing tomorrow... those all /are/ my personal life. Apa gue beneran siap, ya?”
Mingyu tahu bahwa Yugyeom dan Eunwoo—pun dirinya, benar-benar mendukung Jeongguk untuk mengadakan photography exhibition ini. Lagipula, ide ini dibuat Jeongguk pada awalnya untuk menyalurkan bakatnya dan teman-temannya. Anggota klub pun sangat antusias untuk mengikuti project cetusan Jeongguk.
“Tunggu, tunggu, tunggu. Sebentar ya, Jeon Jeongguk. Lo kayaknya mesti gue sentil dulu kepalanya biar sadar,” kata Mingyu sambil menyentil dahi Jeongguk sedikit keras; yang membuat sahabatnya itu meringis lalu menepis tangan Mingyu kemudian.
“Aduh, sakit anjir, Ming! Ngga usah pake nyentil, 'kan bisa. Merah nih liat jidat gue!” teriak Jeongguk kesakitan sambil mengusap dahinya. Mingyu yang ada di sampingnya hanya tertawa tanpa rasa bersalah.
“Ya lo mesti gue gituin, biar itu isi pikiran lo ngga mampet!”
“Sialan lo emang,” kata Jeongguk asal sambil mendengus.
Akhirnya Mingyu mengajak Jeongguk duduk lesehan di tengah-tengah hall sambil tetap mengulum lolipopnya.
“Gini ya, Gguk. Menurut gue, a photo holds a thousand meanings. And it speaks a thousand words. Lo jepret sesuatu atau seseorang, yang tau artinya sendiri itu cuman lo. Orang bebas punya interpretasi berbeda sama lo. But the way you take a shot, that's what makes you different. And that's what makes the object different than anything else.
“Lo bisa ngasih deskripsi seabrek-abrek tentang foto itu, dan lo bisa membuat orang ngerti apa yang lo maksud. Tapi, Gguk, sebelum mereka baca caption lo, they tend to have different thoughts.
“That's why, you have to explain your point of view; to make it different, and also give your masterpiece a meaning.
“Iya gue paham soal statement lo tentang personal life. Tapi... ngga ada salahnya, 'kan, untuk membagikan itu ke orang lain? Lagipula, they will know eventually. Just explain and form your thoughts into words, Gguk. Lo bisa, kok.”
Mingyu terlihat santai menjelaskan sudut pandang dan sarannya pada Jeongguk. Sahabatnya itu terlihat sedang berpikir keras. Namun dari sunggingan kecil dari bibir Jeongguk, Mingyu tahu laki-laki di sampingnya ini paham dengan maksudnya.
Belum sempat Jeongguk menjawab, handphone mereka berdua berbunyi. Jeongguk sudah tahu siapa yang mengirimi mereka pesan; ia memasang nada khusus untuk group chat 'Para Manusia Ganteng' itu.
—
Bunda Kim sudah sampai di restoran sushi langganan Jeongguk dan Taehyung beberapa menit lalu. Saat menerima pesan dari Jeongguk, dirinya baru selesai memimpin weekly meeting dengan para board members.
Sebagai CEO dari fashion brand company, Bunda Kim selalu berusaha untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan pribadinya. Disela kesibukan, Bunda Kim selalu mengutamakan Taehyung. Tentu butuh beberapa tahun lamanya hingga akhirnya ia bisa memisahkan kedua hal penting itu dalam hidupnya.
Saat Jeongguk mengatakan ia ingin bertemu, Bunda Kim langsung berpikir Jeongguk ingin membicarakan tentang Taehyung, entah apa itu. Ia sempat membaca sekilas lewat cuitan Jeongguk di akun Twitter-nya. Namun ia memiliki firasat yang kuat bahwa Jeongguk akan memberi 'surprise' lainnya untuk putra kesayangannya.
Ia memikirkan kemungkinan itu sambil tersenyum. Jeongguk selalu membuktikan kata-katanya dengan aksi. Selalu. Hal itu lah yang membuat Bunda Kim percaya pada Jeongguk.
Jika mengingat pada awal mula ia mengenal Jeongguk, sebenarnya 'percaya' adalah salah satu hal yang sulit untuk dilakukan olehnya. Dahulu sebelum akhirnya mengenal Jeongguk lebih dalam, Bunda Kim selalu mewanti-wanti Taehyung untuk tidak mudah percaya dengan orang lain. Ia hanya tidak ingin putra kesayangannya jatuh ke lubang yang sama.
Bunda Kim hanya ingin yang terbaik untuk Taehyung.
—
Lima belas menit berlalu dihabiskan Bunda Kim dengan memilih beberapa menu kesukaan Jeongguk—Taehyung pernah suatu kali menceritakan padanya seusai makan malam berdua dengan Jeongguk di restoran ini.
Setelah Bunda Kim memesankan beberapa appetizer dan main course yang sekiranya cukup untuk mereka berdua, terlihat Jeongguk memasuki ruangan restoran dan bertemu mata dengannya. Segera anak laki-laki itu melambaikan tangan yang disambut hangat oleh Bunda Kim.
Jeongguk menunduk sambil menyapa Bunda Kim dan memberi salam dengan senyum sumringahnya.
“Hai, Bunda. Maaf ya Jeongguk telat. Tadi ada yang mesti diurus dulu. Trus macet. Makasih ya Bunda udah ngeluangin waktunya.” Jeongguk menjelaskan panjang lebar sambil mengambil duduk disisi depan Bunda Kim. Hari ini restoran cukup ramai, jadi Bunda Kim memilih sisi agak dalam restoran agar mereka dapat berbicara lebih leluasa.
Melihat wajah Jeongguk yang lesu dan seperti sedang banyak pikiran, Bunda Kim hanya tersenyum teduh sambil menyesap ocha panas yang dipesan sebelumnya.
“Ngga apa, nak. Bunda juga sambil ngurusin kerjaan kok. Diminum dulu itu ocha dingin kamu. Kamu keliatan capek banget, Gguk. Sudah makan belum?”
Jeongguk hanya terkekeh pelan dan menggaruk lehernya. “Belum, Bun. Tadi cuman makan tteok di sekolah. Banyak yang harus Gguk urus,” jawabnya sambil menghabiskan minumannya sekali teguk. Ia sangat haus dan lelah hari ini. Jalanan yang macet dan panas terik membuatnya mudah lelah. Untung hari ini giliran Jeongguk menggunakan mobilnya karena motor miliknya sedang di bengkel.
Bunda Kim hanya menggelengkan kepala sambil mendesah pelan. “Kamu suka ngga tertib ya, bener apa kata Tae. Susah sekali ngatur pola makan,” katanya sebelum menyambung lagi. “Tapi tenang, Bunda sudah order beberapa menu kesukaan kamu—Bunda tahu dari Tae. Harus habis, ya. Nanti Mama kamu bisa marah, lho, anaknya bandel begini.”
Anak laki-laki didepannya hanya terkekeh sambil memanggil seorang waiter untuk me-refill ocha dinginnya.
“Bun, Gguk beneran ngga ganggu Bunda, 'kan? Takut Bunda tadi lagi meeting atau gimana.” Jeongguk bertanya sambil menggeser gelasnya kearah waiter restoran untuk di-refill.
“Ngga kok, nak. Bunda tadi pas banget selesai meeting. Dan memang Bunda ngga ada schedule lagi setelahnya, jadi Bunda langsung oke-in Gguk.” Bunda Kim menjawab sambil tersenyum. Ia sudah penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh Jeongguk.
Sedangkan Jeongguk terlihat mengangguk sambil sesekali menggaruk belakang lehernya. Bunda Kim tahu ini adalah kebiasaan Jeongguk jika sedang gugup—lagi-lagi, dirinya tahu dari Taehyung. Putranya itu memang sering sekali menceritakan soal kebiasaan Jeongguk yang selalu ia simpan didalam kepalanya.
“Kenapa, nak? Ngomong aja, Bunda santai kok. Jangan gugup gitu, sama Bunda doang lho ini.” Bunda Kim tertawa sambil menggeser handphone dan sunglasses nya ke sisi kirinya karena seorang waiter terlihat menuju kearah mejanya untuk mengantar pesanannya.
Jeongguk menghela napas panjang. Mengapa ia jadi segugup ini? Padahal tadi selama perjalanan menuju restoran, ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu Bunda dan menceritakan semuanya. Bunda Kim walaupun ramah dan baik, namun tetap memancarkan aura yang kuat dan intimidatif—sama seperti Taehyung.
Akhirnya setelah mengucapkan terima kasih pada waiter yang mengantarkan makanan mereka, Jeongguk memberanikan diri untuk memulai berbicara.
“Iya, Bun. First of all, thank you Bunda udah mau ketemu Gguk di sini. Sebetulnya Gguk tadinya mau ke rumah aja, tapi Gguk takut Tae nguping,” kata Jeongguk sambil menyunggingkan senyum lebarnya yang membuat Bunda Kim tertawa.
“It's okay, Gguk. Bunda juga ngga mau, nanti jadi nggak surprise, dong?” Bunda Kim menjawab sambil menyapit salmon sashimi dari platter yang ada didepannya.
“Hehe, iya Bun. Gguk mau ngasih surprise buat Tae. Bunda... sempet ada baca ngga di Twitter, kira-kira Gguk lagi siap-siap buat exhibition?” Jeongguk bertanya hati-hati setelah menelan sepotong salmon carpaccio favoritnya.
Ugh, memang kalau lagi lapar pasti kenikmatan meningkat ratusan persen, batin Jeongguk.
Bunda Kim didepannya seketika terkekeh sambil meletakkan sepasang sumpitnya di pinggir sauce dish.
“Bunda udah tau semua, Gguk. Bunda kan isi timeline-nya cuman kamu sama Tae. Firasat Bunda udah kuat banget, pasti kamu lagi merencanakan sesuatu. Bunda juga sempat lihat akun Jimin dan teman-temanmu.” Bunda Kim menjawab santai membuat Jeongguk tersedak. Masalahnya, beberapa kali ia dan teman-temannya—terkadang Taehyung dan Jimin pula; berbicara dengan bahasa yang tidak pantas jika dilihat oleh orang tua.
Apalagi dilihat oleh Bunda Kim.
“Santai, Gguk. Bunda juga pernah muda, kok. Wajar kok isi-isinya yang Bunda baca. Kamu tenang aja, ngga usah takut,” jawab Bunda Kim santai.
Sedangkan Jeongguk? Hanya bisa tertawa dan menatap Bunda Kim nanar.
Sial, jadi ngga enak dong sama Bunda, batinnya lagi.
Setelah beberapa menit mereka berdua habiskan untuk fokus menyantap makanan, akhirnya Jeongguk menyambung lagi.
“Jadi, Bun, Gguk mau ngasih surprise di dalam exhibition besok. In monochrome sih, Bun. Terus, Gguk juga mau minta ijin sama Bunda... I am going to ask Taehyung to be my boyfriend tomorrow...
”...boleh, 'kan, Bunda?”
Jeongguk merasakan dirinya menggerak-gerakkan kakinya. Ia gugup setengah mati. Ia hanya tidak ingin terdengar lancang oleh Bunda. Namun bagaimana pun, meminta ijin pada Bunda adalah rencananya yang didukung penuh oleh Mama Jeon.
Kata Mamanya, dengan Jeongguk meminta ijin pada Bunda Kim, secara tidak langsung akan membuat Bunda Kim yakin bahwa Jeongguk dapat dipercaya.
Bunda Kim terdiam beberapa menit sambil tetap mengunyah makanannya. Ia terlihat sedang berpikir. Sedangkan Jeongguk sudah merasakan kedua telapak tangannya berkeringat.
Apa Bunda bakal mengatakan bahwa ia tidak setuju ya, pikir Jeongguk sambil berusaha menghentikan gerakan kakinya. Namun tidak bisa. Ia sudah terlalu gugup.
Terlalu gugup, sampai Jeongguk tidak melihat bahwa Bunda Kim telah menyunggingkan senyumnya yang lebar seperti bunga merekah. Ia terlihat terlalu senang. Sepasang pipinya kram karenanya.
“Gguk, sayang... of course I will allow it. Bunda dukung kamu beribu persen. Bunda tahu Gguk seperti apa. I see it through your eyes; how you love him, how you cherish him, and how you care about him. Bunda percaya, Gguk bisa menjaga hati anak Bunda.
“You both are meant to be with each other. It's like a gravity, Gguk. I know you love him a thousand times over, Jeongguk. Itu dari kacamata Bunda.
“Taehyung... masih bahagianya Gguk, 'kan?” tanya Bunda Kim kemudian sambil menatap lurus kedepan, tepat bertemu dengan sepasang mata Jeongguk.
Sedang Jeongguk tidak sadar bahwa ia sudah meneteskan air mata. Entah mengapa ia menangis. Ia hanya merasa beban lain di pundaknya sudah terangkat. Keraguan Jeongguk lainnya terjawab sudah—ia khawatir akan sesuatu yang sebenarnya tidak akan pernah terjadi.
Karena Jeongguk tahu, dirinya dan Taehyung memang seperti medan magnet—menarik satu sama lain dan selalu kembali pada satu sama lain.
Something always brings them back to each other.
“Of course he will always be my happiness, Bun. He always is.”
—