Bahagia.

Setelah membereskan kamarnya dan memindahkan extra bed ke ruang atas, Jeongguk segera berjalan menuju sofa ruang tengah dan mengambil duduk. Mama Jeon menginfokan melalui telepon bahwa beliau tidak perlu dijemput; tante Song—teman Mamanya sejak lama, akan mengantarnya pulang ke rumah.

Beruntung, Jeongguk memiliki waktu yang cukup banyak untuk mempersiapkan diri dan hatinya berbicara empat mata dengan Mama Jeon. Dalam lubuk hatinya, sebenarnya ia sudah tahu bahwa Mamanya akan mendukung apapun keputusannya. Namun, dirinya sendirilah yang beberapa tahun lalu bersikeras untuk mengubur dalam-dalam mimpinya untuk mengejar jurusan Hukum.

Rasanya seperti baru kemarin kejadian itu menghantui pikirannya berbulan-bulan. Keraguan itu, terlalu cepatnya Jeongguk mengambil keputusan itu, dan rasa sesal sesudahnya.

Jeongguk adalah anak tunggal dari keluarga Jeon. Sejak kecil, ia diajarkan untuk selalu mengejar apa yang ia mau. Gantunglah cita-citamu dan passion-mu setinggi bintang di langit, itu kata Papa Jeon dulu. Kata-kata itulah yang selalu Jeongguk tanam di dalam hati dan memorinya—sampai pada saat Papa meninggalkan dirinya dan Mama Jeon secara mendadak.

Entah sudah berapa lama Jeongguk tenggelam dalam memori masa lalunya, sampai ia tidak sadar bahwa sudah ada individu lain di dalam ruangan. Tak bersuara; hanya memandang putra semata wayangnya sambil tersenyum kelelahan.

“Gguk... Mama pulang.” Jeongguk buyar dari lamunannya dan menoleh ke arah suara. Wajah Mama Jeon terlihat letih—terlihat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jeongguk yang melihat Mamanya membawa banyak barang, langsung bergegas berdiri dari sofa dan membantu beliau membereskan barangnya.

“Mam, let me. Mama istirahat aja, ya? Gguk udah bikinin Chamomile tea buat Mama barusan. Masih hangat.” Jeongguk menunjuk kearah tempat di mana ia meletakkan cangkir dan semangkuk Gamjatang—seporsi pork bone soup yang sudah ia panaskan untuk Mamanya.

Mama Jeon yang melihat minuman dan makanan favoritnya disediakan oleh Jeongguk, lantas mengecup kening anaknya dan berjalan menuju meja makan dan mengambil duduk. Jeongguk melihatnya hanya tersenyum sambil membereskan beberapa barang yang beliau beli—groceries dan barang keperluan rumah.

“Thank you, Nak. Mama makan ya. Kamu udah makan?” tanya Mama Jeon kemudian saat Jeongguk menarik kursi di seberang Mamanya usai beberes.

“Udah tadi, Ma. Makan Jjajangmyeon. Gguk takeouts juga buat porsi makan malam tadi. Mama tumben nggak makan di luar?” Jeongguk bertanya sambil memperhatikan Mamanya menyantap Gamjatang dengan lahap. Mama terlihat segar kembali setelah menyantap beberapa suap.

Tersenyum, Mama Jeon menjawab, “Nggak, Mama ada feeling kamu bakal nyiapin makanan buat Mama, like always. Jadi tadi Mama bilang tante Song buat langsung pulang aja dari meeting and strolling around.”

Mendengar jawaban Mamanya, Jeongguk pun ikut tersenyum.

His mom always knows him. Yeah, she always does.

Suasana di meja makan sunyi; hanya bunyi gemeletuk gigi Mama Jeon yang beradu dan sendok garpu yang berdenting dengan piring. Jeongguk menggunakan kesempatan itu untuk berpikir keras—memikirkan apa saja yang akan ia sampaikan pada Mamanya. Ia merasa semuanya serba terburu-buru; Jeongguk takut keinginan untuk berbicara dengan Mamanya hanya sebatas karena keadaan yang 'memaksa', bukan karena keinginannya sendiri.

Setelah menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit, akhirnya Mama Jeon selesai menyantap makan malamnya lalu membereskan meja makan. Jeongguk meminta beliau untuk segera beristirahat dan menuju kamar—biar dia saja yang membereskan sisanya. Mama mengangguk kemudian, lalu pamit masuk ke kamar tidurnya.

Jeongguk rasanya ingin memulai pembicaraan dengan Mama Jeon, namun semuanya yang sudah ia siapkan matang-matang terasa seperti berhenti di kerongkongan.

Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk menimang-nimang antara iya dan tidak, akhirnya Jeongguk memberanikan diri berjalan ke arah kamar Mama Jeon.

Mengetuk pintu kamar Mama dua kali, tidak ada jawaban. Ketiga kali, Mama akhirnya menjawab dengan sedikit berteriak. “Gguk, sebentar. Mama lagi telepon. Dua menit lagi, Nak.”

Okay, dua menit. I can wait, batin Jeongguk.

Setelah tepat dua menit—ya, Jeongguk menghitungnya—akhirnya Mama Jeon mempersilahkan anak semata wayangnya itu masuk ke kamarnya. Warna broken white mendominasi dinding dan sudut-sudut ruangan. Mama Jeon memang suka dengan warna hangat cenderung pastel. Beliau pernah bilang, bahwa warna yang seperti ini mampu membuatnya tenang.

Tentu Jeongguk tahu, karena beberapa bulan lalu Mama Jeon mengajaknya membeli keperluan untuk mendekorasi kamarnya sedemikian lupa. Menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menentukan warna dinding dan sofa yang bermaksud untuk dipadu-padankan.

Menggeleng sambil tersenyum mengingat kala itu, Jeongguk berjalan ke sisi kasur sebelah kanan. Mama Jeon sedang menyandarkan punggungnya di headboard bed; tangan kanan sedang memegang kuping cangkir chamomile tea yang dibuat oleh Jeongguk tadi. Mama Jeon terlihat tersenyum sambil berusaha membaca raut wajah Jeongguk.

Mengambil duduk di samping Mama nya, Jeongguk mulai buka suara.

“Ma...,” belum sempat Jeongguk melontarkan kata kedua, Mama Jeon langsung memotong ditengah.

“There's something bothering you, sayang. Apa Mama benar?” Mama menebak tanpa tedeng aling-aling; membuat Jeongguk terkejut dan seketika membelalakan sepasang matanya.

“Huh? Mam? H-how do you know?” Jeongguk menatap kedua mata Mamanya takut. Sudah lama Jeongguk tidak terlihat dan merasa gugup seperti ini saat berbicara dengan Mamanya. Sejak kecil, Jeongguk sangat dekat dengan Mamanya. Ia terbuka—membicarakan seluruh kejadian yang terjadi di hidupnya pada Mamanya. Tidak jarang Jeongguk dan sang Mama disebut terlihat seperti kakak adik karena kedekatan mereka.

Mama Jeon masih sangat muda; ia melangkah ke jenjang pernikahan dengan Papa Jeon saat masih berumur dua puluh lima tahun. Dua puluh bulan kemudian, sang Mama melahirkan Jeongguk. Maka tak heran jika Jeongguk sangat dekat dengan Mama Jeon.

Berbeda dengan Papa; hubungan Jeongguk dan Papa Jeon memang baik-baik saja, namun karena pekerjaan Papa Jeon sebagai Lawyer, hal inilah yang menyebabkan Jeongguk hanya bertemu dengan sang Papa hanya saat weekend. Porsi bercerita Jeongguk dengan Mama dan Papa berbeda—hanya karena waktu saja.

Mendengar jawaban Jeongguk, Mama Jeon hanya tersenyum lalu meletakkan cangkirnya di nakas.

“Sayang, kamu ini anak Mama. Tentu Mama tahu lah kamu kalau udah diem aja dan pasif gitu di deket Mama, pasti ada sesuatu.” Mama Jeon menanggapi dengan santai. Sementara Jeongguk? Ia rasanya sebentar lagi akan ngompol. Terakhir kali ia berbicara serius dengan Mama adalah pada saat ia akan menyatakan cintanya pada Taehyung. Biasanya, segala sesuatu dibicarakan dengan santai antara ia dan Mama Jeon. Namun saat ini, adalah saat menegangkan menurut Jeongguk.

“Uh... Ma, Gguk pengen ngomongin soal kuliahnya Gguk,” kata Jeongguk ragu. Ia takut Mama akan mencecarnya dengan pertanyaan yang dirinya sendiri tidak tahu bisa dijawab atau tidak.

Mama Jeon menjawab anak semata wayangnya dengan tenang. “Ada apa, sayang? Ada masalah di scholarship kamu? Atau...” Mama berhenti sejenak lalu menyambung lagi. “Kamu mau berubah pikiran?”

Jeongguk yang mendengar Mamanya menebak tepat sasaran tanpa meleset, hanya bisa melengos dan menunduk. Ia terlihat memainkan ujung selimut kasur dengan jarinya.

“U-uh... Mam, Gguk bakal nanya hypothetically... kalau Gguk tiba-tiba merasa pursuing Law major itu nggak sesuai dengan kemauan Gguk... apa Mama bakal marah?” Jeongguk bertanya dengan hati-hati. Kalimat pertanyaan ini sudah ia hafalkan dan rapalkan berkali-kali sejak tadi sore.

“Mama tebak, it's not hypothetically, 'kan, Nak?” Mama bertanya lagi.

Kenapa Mama dari tadi nanya nggak meleset, sih? Nggak bisa ngeles jadinya, omel Jeongguk dalam hati.

Jeongguk lalu menghela napas dan menjawab pertanyaan Mama Jeon. Ia berharap kata-katanya tidak akan berhenti di tengah kerongkongannya.

“Uh... Iya, Mam. Actually I'm having a crisis here. Mama tau Gguk gimana; kalau ada target yang Gguk punya, Gguk bakal selalu usaha supaya ngeraih itu. Tapi Mam, entah... Gguk merasa, fotografi masih bagian dari Gguk, Ma. Gguk pengen jadiin itu karir. Gguk pengen kejar itu...”

Jeongguk terlalu lama menunduk sehingga tidak melihat Mamanya mengernyit kebingungan. Kening Mama Jeon menimbulkan guratan; pun kedua alis coklatnya hampir bertaut.

“Tapi jurusan Hukum itu, Gguk... G-guk bingung Mam harus gimana...” Jeongguk tidak merasa bahwa selama ia berbicara, ia tidak menatap mata sang Mama. Ia hanya takut akan respon yang akan dikeluarkan oleh beliau.

Mama Jeon mengedipkan sepasang matanya beberapa kali; ia tidak menyangka bahwa saat-saat yang beliau tunggu akhirnya datang juga. Dan kali ini, permulaan tidak berasal dari dirinya.

“Gguk sayang, coba sini lihat Mama. Kamu nunduk terus nanti sakit lehernya,” kata sang Mama sambil tersenyum dan mengelus pelan tangan Jeongguk yang sedari tadi bertaut. Kedua telapak tangannya basah oleh keringat; Jeongguk terlalu gugup.

Memutuskan untuk mendongak dan menatap kedua mata sang Mama, Jeongguk tidak menemukan sorot kecewa di sana. Kedua mata Mama berair; air mata akan turun setelahnya sepertinya, batin Jeongguk.

Giliran anak semata wayang Mama Jeon mengernyit, dan berkata kemudian, “Ma... kenapa nangis? Apa Gguk ada salah ngomong?” Jeongguk lalu menggeser tubuhnya kemudian, mengelus pelan lengan Mamanya. Beliau terdengar terisak, Jeongguk kelabakan karenanya.

“Ma, maaf...” Hanya dua kata yang bisa ia katakan. Jeongguk bingung. Ia tidak pernah mendengar Mamanya menangis sejak kepergian Papa Jeon. Mama selalu terlihat kuat dan ceria. Sosok yang paling positif dari semua orang yang pernah ia temui di dunia ini. Tidak ada kata sedih sepertinya dalam kamus Mamanya; semua hal ia tanggapi dengan bahagia dan positif. Mamanya selalu mengajarkan bahwa semua hal harus dilihat dari dua sisi. Jangan bias, jangan cepat mengambil keputusan, dan jangan pernah melihat orang hanya dari apa yang mereka tunjukkan.

Jeongguk rasanya ingin ikut menangis jika melihat Mamanya seperti ini.

Terdengar tarikan napas yang terbata, sebelum akhirnya Mama Jeon menarik tangan anaknya dan memeluk Jeongguk.

“Jeongguk... oh, Tuhan...,” kata Mama Jeon kemudian—menggumam sambil mencium puncak kepala anaknya dan mengelus punggungnya turun naik.

“Ma...?” Respon Jeongguk kemudian.

“Sayang, you have no idea how long I have been waiting for this moment. Actually, Mama rasanya ingin bicara sama kamu waktu itu, tapi Mama nggak mau ngerusak momen kamu,” kata Mama Jeon diikuti suara tawa nanar.

Mengernyit bingung; tidak tahu apa maksud sang Mama, Jeongguk hanya menggumam.

“Jeon Jeongguk, anak Mama satu-satunya... semua impian kamu, cita-cita kamu, passion kamu; Mama nggak pernah ada rasa ingin membatasi kamu. Semua itu terserah Gguk. Mama hanya ingin satu dua kata. Kamu bahagia. Kebahagiaan kamu itu cuman kamu yang bisa ciptakan. Jangan pernah berpikir; apa Mama bahagia kalau Gguk melakukan ini, apa Mama seneng kalau Gguk melakukan itu?

“Satu hal yang harus kamu tahu, sayang. Mama akan menjadi orang yang paling bahagia kalau kamu bahagia. Sumber bahagia Mama ya cuman kamu, Nak. Jangan pernah melakukan suatu hal hanya untuk membuat orang lain senang. Bahagiakan diri sendiri dulu; niscaya sekeliling kamu akan bahagia juga.”

Jeongguk merasakan air mata Mama Jeon tumpah membasahi rambut lebatnya. Tak terasa kedua matanya pun sudah basah dan membuat jejak lembab di baju Mamanya.

Sang Mama terdengar menghela napas berat dan melanjutkan. Suaranya parau. “Sayang, waktu kamu cerita ke Mama kalau kamu akan menggelar exhibition sebegitu megahnya untuk klub kamu, teman-teman kamu, dan juga Taeby; Mama melihat—seberapa semangat kamu, seberapa antusias kamu, seberapa jiwa Virgo kamu berteriak. Betapa perfeksionis kamu—anak Mama satu-satunya. And I could see that. I could see how photography light up your days. Hell, even your life, Gguk.

“Dari sana, Mama berpikir. Apa yang sebenarnya membuat kamu banting setir dari passion kamu? Mama pun berpikir; apa Papa pernah meminta kamu? Apa Mama pernah menyinggung hal itu dengan kamu—sampai-sampai kamu mengorbankan mimpi kamu? Mama pun berpikir; apa memang akhirnya anak Mama berubah haluan tiba-tiba?

“Mama nggak tahu isi hati kamu bagian itu, sayang. Dan itu hak kamu, Nak. Tidak semua hal harus kamu ceritakan ke Mama. Tapi, Gguk... jangan pernah paksakan sesuatu hanya karena satu faktor, okay? Pikirkan matang-matang dan jangan gegabah. Tapi, nggak ada salahnya punya impian baru. Hanya, jangan pernah terlalu cepat memutuskan sesuatu. Ya, Nak? Cuma itu yang Mama mau pesan sama Gguk.”

Jeongguk mengangguk cepat sambil menarik napasnya pelan-pelan dengan ritme. Ia sudah menangis terisak; mendengar Mamanya berbicara tentang kenyataan bahwa selama ini Mama sudah tahu. Mamanya—yang selalu mengerti segala hal tentang dirinya.

Menarik diri dari pelukan Mama, Jeongguk mengusap kedua matanya lalu membuka mata. Terlihat di depannya, sang Mama tersenyum teduh menatap Jeongguk dan mengelus pipi anaknya kemudian.

“Inget ya, Gguk, Mama akan dukung keputusan kamu, apapun itu. Mama akan jadi number one supporter kamu. Nggak usah pikirin soal kebahagiaan Mama. Mama akan bahagia kalau kamu bahagia. Oke, sayang?” Mama Jeon bertanya sambil menggumam. Hanya satu harapan beliau di dunia ini; Jeon Jeongguk, anak semata wayangnya, harus bahagia.

Anak semata wayang Mama Jeon itu hanya bisa mengangguk lega. Air mata bahagia Jeongguk tumpah bersama dengan luapan perasaan dan ragu yang telah sekian lama ia simpan.

Rasanya beban Jeongguk yang paling besar telah terangkat. Keraguan itu pun terasa benar-benar hilang bersamaan dengan kecup sayang dari sang Mama.

Kata-kata dari Mama Jeon akan ia simpan dalam memorinya dari hari ini sampai kapanpun.

Bahagiakan diri sendiri dulu.

Ya, bahagia dulu.