The Way It Hurt Him.
“Dek, gue tadi malem nge-chat Bogum.”
Tere yang sedang menikmati sup kimchi bikinan Mamanya seketika tersedak hingga kedua matanya berair. Rasa pedas yang menusuk di tenggorokan membuat Tere menghabiskan tiga gelas air hangat. Merasa bersalah, Jaebeom membantunya me-refill gelas adiknya itu dan menepuk pundaknya yang masih terbatuk.
“The hell, kak. Kasih warning dulu dong lo kalau mau cerita! Gue bisa keselek lagi nih, mana pedes banget lagi sup nya Mama,” omel Tere pada kakaknya yang hanya membalasnya dengan senyum menyesal.
“Sori, sori. Abis gue males basa-basi. Dari semalem gue kepikiran.” Jaebeom beralasan. Tere yang sudah menghabiskan gelas keempatnya hanya mengernyit bingung sambil tetap melihat kearah kakaknya itu. Jaebeom terlihat hanya memainkan sumpitnya sambil mengunyah makanannya pelan.
“Kepikiran apaan, kak? Soal kemaren, sori kalau gue ngedesak gitu ngirim lo chat bertubi-tubi. Abis gue penasaran, kak. Gila kali dunia ini sempit banget? Masa orang yang lo ceritain dari dulu adalah Taehyungnya Jeongguk? Dan Jeongguk adalah calon junior lo di kampus; yang kebetulan adalah ketua klub fotografi gue? Gila banget, kan, kak. Gue aja— aduh!”
Tere yang sedang berbicara panjang lebar tidak menyadari bahwa Mamanya sudah masuk ke ruang makan lagi. Jaebeom yang menyadari adiknya tidak akan berhenti bicara sampai ia mengambil napas, langsung menginjak kakinya di bawah meja.
Meringis, Tere mencoba memukul lengan Jaebeom dengan napkin makan di pangkuannya, namun meleset. Kakaknya itu sudah menarik tangannya jauh.
“Hei, lagi makan nggak ada bercanda kayak gitu. Jae, jangan iseng sama Tere begitu dong. Tere juga, kalau makan nggak ada ya ngomong begitu ngujus nggak ada napas. Nggak elok. Sudah, lanjutkan dulu makannya,” kata Mamanya cepat sambil berlalu kearah dapur.
Tere hanya mendengus, sementara Jaebeom hanya terkikik geli melihat adiknya lebih banyak dinasihati oleh Mamanya.
“Rese lo, kak. Pokoknya abis ini lo utang cerita. Awas aja lo ya,” kata Tere sinis sambil mengacungkan jari telunjuknya kearah Jaebeom. Kakaknya itu hanya mengacungkan jempolnya tanda setuju lalu kembali menyantap sarapannya.
—
“Ayo gimana, kak, ceritain. Gue khusus dengerin lo doang hari ini. Gue udah batalin jadwal jalan sama anak-anak,” kata Tere saat dirinya berdua memasuki kamar Jaebeom. Tere masuk dengan membawa laptop, cemilan, minuman soda, charger, bantal, dan ponsel di tangannya.
Jaebeom yang melihatnya hanya menggelengkan kepala sambil mengambil beberapa barang dari tangan adiknya yang terlihat kesusahan itu.
“Lo mau ngapain bawa barang banyak banget kayak gini?! Lo mau piknik di kamar gue apa gimana?” Jaebeom terheran melihat adiknya yang sudah mengokupasi lantainya dengan menaruh barang-barangnya. Walaupun rapi, tetap saja Tere terlihat seperti mau piknik.
Tere yang mendengar tanggapan Jaebeom hanya mendengus dan menjawab sekenanya. “Karena gue tau, cerita lo itu panjang dan kompleks. Jadi gue membuat kamar lo yang super rapi ini senyaman mungkin untuk gue. Karena vibes kamar lo, ngga gue banget.”
Tere tertawa setelahnya, yang membuat Jaebeom giliran mendengus dan melempar bantal ke arah muka adiknya.
Setelah beberapa menit dihabiskan untuk bickering with each other, akhirnya Jaebeom memposisikan tubuhnya nyaman dengan bersandar pada kasurnya. Sedang Tere terlihat merebahkan tubuhnya di sebelah Jaebeom sambil memeluk bantalnya.
“Dek, lo inget kan gue pernah cerita, waktu gue bilang kayaknya gue ada rasa sama anak laki-laki di lapangan basket sore-sore itu?” tanya Jaebeom untuk memulai pembicaraan mereka.
Ia menoleh kearah Tere; menangkap adiknya itu memutar bola matanya malas dan menjawab seadanya. “Iya, gue inget. Males banget gue harus denger itu lagi. Mesti ya, kak?”
Jaebeom hanya tertawa kecil dan mengangguk.
Iya, semuanya berawal dari sana.
“Haha, iya mesti. Itu awal dari semuanya kenapa sampai tahun lalu, gue masih suka kepikiran Taehyung.”
“Oh shit, okay...” jawab Tere mengernyitkan dahi bingung.
“Jadi, dek, dulu gue saat hari di mana kenal sama Taehyung itu, gue kayak... gimana ya? Seneng banget? Hell, he was shining so bright though that day was so hot. But that boy was different. I just knew back then.
“Trus ya... gue melihat kok kayaknya waktu itu Taehyung nggak tertarik sama gue... in a way? Dia lebih terlihat antusias untuk kenalan sama Bogum. Jadi gue ya, kayak, minta tolong Bogum untuk ngenalin gue lebih jauh sama Taehyung? At least deket sebagai teman.
“Bogum waktu itu setuju buat ngebantuin gue, lo tau? Dia semangat untuk minta nomor Taehyung ke Jimin. Setiap kita latihan basket dan ada Jimin, dia berusaha untuk nanya soal Taehyung. Jujur gue waktu itu ngga berani kayak dia. Ya gimana sih, Taehyung udah keliatan banget sama gue pasif gitu. Nanti dia malah tambah lari.
“I thought Bogum was helping me. Sampai pada akhirnya, Jimin—well yeah, that Park Jimin, dek... adek kelas lo—”
“Oh shit? Kak...” Tere yang sedari tadi mendengarkan cerita Jaebeom hanya bisa menanggapi dengan terkejut. Ia tahu kemana pembicaraan ini akan mengarah, karena Jaebeom sempat bercerita sedikit padanya.
“Yeah, well shit, dek. Tunggu dulu gue belum kelar,” kata Jaebeom memotong sambil tertawa nanar dan memainkan ujung karpet yang didudukinya.
Tere hanya mengangguk dan mempersilahkan kakaknya melanjutkan ceritanya.
“Lo inget, waktu gue cerita Jimin dateng dan setengah marah karena dia denger Bogum ngomongin Taehyung?”
Tere mengangguk lagi. Jaebeom kemudian mengambil napas panjang, seperti akan menjatuhkan kejutan besar.
“Lo tau dia ngomong apa sesaat sebelum Jimin dateng—yang gue yakin banget Jimin denger apa yang diomongin Bogum. He said, 'ada yang lagi suka sama gue. I feel so lucky, man. He's cute. And I think I like him too.'
“I felt like shit, dek. Gue akhirnya paham kenapa kok kayaknya Taehyung jadi lebih deket sama dia dan ngga ada progress sama gue?
“Gue cuman protes ke Bogum untuk stop ngomong, karena waktu itu menurut gue kayak, nggak sopan aja? There's something off when he told us about Taehyung, but I thought it was just me.
“Gue cuman protes, tapi gue ngga pergi. Gue nggak mau Bogum tau kalau gue juga suka sama Taehyung, ngerti, 'kan? Tapi gue juga ngga mau Bogum kayak gitu. Ngerti, kan, dek?”
Jaebeom tak sadar sudah bercerita dengan nada tingginya. Tere yang mendengarkannya hanya diam dan menepuk-nepuk dengkul kakaknya itu untuk menenangkan.
Ia tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia tahu ada hal lain yang belum diceritakan oleh Jaebeom.
“Gue ngga ngerti kenapa dan apa yang direncanain sama dia. Hell, gue bahkan udah jarang ketemu Bogum lagi karena waktu itu, ceritanya selalu Taehyung, Taehyung, dan Taehyung. Panas gue, but what can I do?
“Trus lama-lama, ternyata the feeling was mutual between them, so yeah I stepped back.”
Jaebeom terdengar menghela napas berat. Tere tahu sejak dulu kakaknya ini tertutup; bukan tipikal seseorang yang akan menceritakan sesuatu. Apalagi saat kejadian itu, mereka masih kecil. Cinta monyet—ujung-ujungnya hanya terlihat seperti main-main saja, kata orang.
Jadi menurut Jaebeom, tidak penting memberitahukannya pada Tere. Toh, adiknya itu juga tidak terlalu kenal dekat dengan teman-temannya, terutama Bogum. Tere hanya tahu bahwa Bogum dan Jaebeom bersahabat dekat selama duduk di bangku SMP.
“Yang gue ngga tahu, adalah, ada satu orang dari temen-temen dia yang kayak ngasih challenge ke Bogum; bisa ngga lo ngedeketin dia dan beneran bertahan tiga bulan? Kalau bisa, the captain position is yours.
“Dan lo tau gue baru ngeh kapan? Waktu tiba-tiba gue baru dateng di gedung sekolah, terus gue liat ada rame orang di tengah lapangan. Pas gue liat, itu Taehyung... dicegat sama temen-temen Bogum. Lo pikir dek, gila apa gimana? Itu masih SD, for fuck sake.
“Gue merhatiin dari jauh—Taehyung nangis di sebelah Jimin yang udah marah-marah sambil nunjuk-nunjuk. Gue mau nyamper, tapi gue nggak ngelakuin itu. Goblok banget gue. Gue akhirnya cuman liat mereka dari jauh. Gue ngeliat Jimin mapah Taehyung pulang, ngga jadi sekolah.
“Gue baru tau setelahnya; rame banget kalau Bogum cuman oke-in dare itu karena mau gelar Capt. Gila, ngga? Bahkan gue Capt aja ngga tau rencana tolol itu!
“Dek, kalau dia mau gelar Capt, udah gue kasih dengan cuma-cuma! Ngga perlu sampe nyakitin orang lain, apalagi Taehyung! Gue benci banget asli.”
Jaebeom beberapa kali memukul pinggir kasurnya dengan keras. Tere yang ada di sampingnya hanya bisa menepuk-nepuk tangan kakaknya untuk mencoba menenangkannya. Jaebeom jarang sekali marah—menunjukkan emosinya seperti ini. Maka ia tahu, kalau sisi lain Jaebeom sudah keluar, tandanya kakak laki-lakinya itu sudah marah besar.
Adik Jaebeom yang sedang berbaring akhirnya duduk dan menyandarkan tubuhnya sejajar dengan Jaebeom. “Tapi kak..., kenapa Taehyung dan Jimin jadi benci sama lo juga? I mean... you clearly didn't do anything wrong?”
Tere mendengar Jaebeom mendengus dan tertawa nanar menanggapi pertanyaannya. Ia terlihat menggelengkan kepalanya dan menutup kedua matanya dengan lengannya.
“His friends didn't like me, neither did he. So yeah, the way to escape from guilt was saying that the master of that stupid dare is me. And the rest ya, begitulah... sampe di telinga Jimin dan Taehyung. Gila, ya?”
Tere seketika itu terbelalak tidak percaya dan menyahut ucapan kakaknya dengan berteriak.
“What the fuck?! Jadi selama ini mereka tahunya itu lo semua yang ngerencanain? God damn, kak? What the fuck?!”
“Hei, tenang-tenang. Jangan marah juga.” Jaebeom melihat wajah Tere sudah memerah, kedua tangannya pun mengepal tanda kesal.
“Gimana gue ngga marah kalau tau ternyata kenyataannya kayak gitu?! Anji—”
“Eits, stop right there,” kata Jaebeom tegas—memotong kata-kata adiknya.
Tere hanya menggelengkan kepala dan membanting bantal miliknya ke lantai. Ia benar-benar kesal—mengetahui bahwa selama ini kakak kandungnya memiliki masa lalu yang bisa dikatakan, cukup buruk.
Jaebeom lalu mengambil permen karet yang dibawa adiknya lalu melanjutkan ceritanya sambil mengunyah.
“Ya, begitu lah, dek. Tapi saat gue kenal Jeongguk, I guess Taehyung atau pun Jimin ngga cerita apa-apa soal gue sepertinya? Karena sampai sekarang, Jeongguk fine-fine aja sama gue... like? Kalau memang dia tahu soal itu, yaelah dek, udah babak belur kali gue dari kemaren-kemaren.”
“Jadi, ya... yang selama ini gue ceritain sebelum akhirnya gue jadian sama Luna, adalah /the/ Kim Taehyung, yang ternyata adalah adik kelas lo dan yang ternyata... kata lo adalah pacarnya Jeongguk.”
“Dan lo kenapa sekarang masih mau kenal sama Bogum? Dan masih deket? Ngga ada gunanya banget lo temenan sama orang kayak gitu,” kata Tere ketus.
Jaebeom lalu menghela napas dan mengelus kepala adiknya. “Ya gimana sih, dek. He was such an ass, but he is still my best friend. He said sorry, beberapa tahun lalu. Gue juga kayak, ya mau gimana? Gue sempet silent treatment dia sampai gue lulus SMP. Tapi kasihan, temen-temennya yang dulu juga ngejauhin dia.
“That's why, habis kelar SMP, dia pindah ke New York. Ya mungkin ngga nyaman juga kali nerusin di sini. Gue ngga pernah denger part dia langsung secara lengkap, sih. Maybe it always haunted him as well. Jadi ya, gue hargai lah.
“Hate is a strong word, I know. Gue dulu juga benci sama dia. Tapi gimana ya, dek... walaupun gue sahabatnya dia, tapi gue ngga tau dalem-dalemnya dia kayak gimana. Dia pasti ada alasan lah ngelakuin itu.”
“Lo terlalu baik, kak. Terlalu baik,” kata Tere final.
Jaebeom tahu itu. God, does he know. Tapi ia hanya tidak ingin menyakiti orang lain lagi. Cukup dirinya yang merasakan.
“No, gue lebih ke arah terlalu baik nyerempet bodoh, dek. I just don't want to hurt people. That's not me, and you know it.”
“Yeah I know, but they will take everything from you. They will take you for granted, kak. Dan gue ngga mau lo digituin lagi. Janji sama gue, please?” Tere terlihat seperti meminta sambil membereskan barang-barangnya. Tidak terasa sudah dua jam mereka bertukar cerita dan menumpahkan emosinya.
Saat Tere memintanya berjanji, ia hanya mengangguk. Tidak ada satupun kata 'janji' keluar dari mulutnya. Ia hanya mengucapkan terima kasih pada adiknya dan membantunya membereskan sisa makanan diatas karpet abu miliknya.
Jaebeom tidak bisa menjanjikan Tere hal itu.
Ia belum bisa.
—