Lover Boy — flashback

“Bo! 3 on 3, yuk. Ten minutes tops?”

Jaebeom berteriak dari tengah lapangan sambil mengunyah permen karetnya. Hari ini panas sekali—sepertinya matahari sedang mengamuk. Beberapa kali Jaebeom mengambil botol air minumnya yang ia letakkan dalam tas olahraganya di pinggir lapangan.

Bogum mengacungkan jempol tanda setuju kemudian, lalu mengikat tali sepatunya kencang. Ia membungkuk—merasakan hadirnya dua orang dalam radius lima meter—yang akhirnya mengambil duduk di bench sebelah kirinya. Hanya menoleh sekilas dan melihat Jimin dengan seorang laki-laki.

'Tumben Jimin bawa teman?' batin Bogum. Menggidikan bahu tanda tak acuh, ia segera berlari memasuki area lapangan basket sambil mendribel bola.

Keduanya bermain dengan santai sambil sekaligus menerapkan beberapa teknik baru yang diberikan oleh coach. Bogum yang terlalu fokus saat itu berbicara dengan pelatih, tidak sadar bahwa temannya sedari tadi melirik ke arah pinggir lapangan. Jaebeom hari ini sangat tidak fokus. Entah karena apa.

“—beom. Jae!” Bogum dua kali berteriak dari bawah ring basket sambil berkacak pinggang. Temannya itu terlalu sibuk melirik kearah tas olahraganya. Melihat itu, Bogum mengernyitkan keningnya bingung dan menghampiri Jaebeom.

Bogum menepuk bahu temannya, yang kemudian membuatnya kaget karena konsentrasinya melihat kearah pinggir lapangan buyar.

“Anjir lo ya, gue panggilin dari tadi nggak nyaut-nyaut. Ngeliatin apaan, sih? Itu tas ngga bakal dicolong orang kali, bro.” Bogum meledek sambil terus mendribel bola dengan berbagai gaya. Sedang Jaebeom hanya memutar bola matanya lalu merebut bola dari tangan Bogum.

“Ngapain gue ngeliatin tas? Aneh lo. Udah ah main lagi.” Jaebeom menjawab seadanya sambil terus mendribel bola dan melemparnya kearah langit. Bogum sudah lebih dulu berjalan membelakanginya.

Yang Bogum tidak tahu, Jaebeom kembali melirik lagi kearah pinggir lapangan sebelum berjalan ke tengah lapangan; menyempatkan melihat sosok laki-laki yang sepertinya sedang asyik bermain game di bench tak jauh dari tas olahraganya berada.

He's cute, pikir Jaebeom sambil lalu.

Setelah sekitar satu setengah jam menghabiskan waktu untuk berlatih, coach mereka akhirnya mengakhiri latihan hari ini. Matahari yang cukup terik dan latihan yang intens hari ini membuat para anggota klub basket banjir keringat. Jaebeom yang menyadari kaosnya sudah kuyup, segera berlari ke pinggir lapangan dan mengambil tas olahraganya. Sedang Bogum, terlihat sedang mengobrol dengan Jimin sambil berjalan kearahnya.

Tak mengindahkan orang di sekelilingnya, Jaebeom dengan santainya mengganti kaosnya di pinggir lapangan, yang langsung disemprot Bogum kemudian. “Buru-buru banget lo ganti kaos, biasanya juga lo biarin.”

Jaebeom yang mendengarnya hanya mendengus. “Bodo amat, udah kuyup gue,” jawabnya sambil menarik sisi bawah kaosnya dan duduk di samping Bogum.

Ia tak sadar bahwa sudah beberapa kali berusaha melirik ke samping kirinya untuk menguping pembicaraan Jimin dengan temannya. Mereka berdua terdengar tertawa. Suara tawa yang renyah namun terdengar sangat manis. Jaebeom ikut tersenyum karenanya; tak sadar kedua pipinya seketika menghangat.

Ah, mungkin karena panas matahari.

Bogum mengobrol dengan Jaebeom mengenai beberapa hal yang tidak sempat mereka bicarakan sambil beristirahat—menghilangkan keringat; tentang basket, tentang presentasi organisasi sekolah minggu depan, dan tentang Luna—saudara sepupu Bogum yang sedang berkunjung ke Korea. Beberapa hari lalu saat Jaebeom datang ke rumahnya untuk kerja kelompok, ia mengenalkan Jaebeom dengan saudara sepupunya itu.

Sangking seriusnya, mereka tidak sadar bahwa Jimin dan temannya itu menghampiri bench mereka. Jimin terlihat tersenyum jahil, sedang anak laki-laki di sampingnya terlihat pipinya memerah seperti kepiting rebus.

“Kak, ini temenku ada yang mau kenalan sama kakak-kakak, nih,” kata Jimin kemudian, yang membuat Jaebeom seketika mendongak dan menganga. Sedang Bogum, hanya menoleh santai dan terlihat tak acuh.

Keberuntungan siang bolong macam apa ini?

Jaebeom yang kelewat semangat langsung berdiri dan mengulurkan tangannya pada laki-laki itu.

“Ah, iya. Boleh dong. Halo, gue Jaebeom, kelas dua SMP. Salam kenal ya,” katanya sambil menunggu si anak laki-laki menyebutkan namanya. Namun, lawan bicaranya itu hanya diam dan mengangguk saat menjabat tangan Jaebeom.

Melihat tanggapan yang biasa saja dari anak laki-laki itu, Jaebeom lalu menarik tangannya kikuk dan memasukannya ke kantong celananya. Bersikap seolah ia tidak apa-apa. Pun, anak laki-laki di samping Jimin itu tidak memberitahukan namanya.

Bogum yang tahu saat ini adalah gilirannya, langsung mengulurkan tangan dan berkata mantap. “Hai, adik manis. Kenalin, aku Bogum. Park Bogum. Sahabatnya Jaebeom nih, tapi aku masih kelas satu SMP. Salam kenal ya, nama kamu siapa?” Bogum bertanya dengan suaranya yang rendah dan tersenyum jahil.

Hell, what's wrong with him? Jaebeom mual mendengarnya.

“Aku Taehyung, Kak. Kelas empat, sahabatnya Jimin. Salam kenal ya, kak Bogum,” jawab anak laki-laki itu.

Namanya Taehyung, anak laki-laki dengan senyum kotaknya yang merekah bak bunga matahari pada waktu pagi. Suaranya manis; seperti roti kayu manis buatan Ibunya.

Sejak saat itu, Jaebeom tahu, seorang Taehyung akan menjadi pemanis dalam hidupnya yang monoton.

Yang tidak Jaebeom tahu adalah bagaimana Bogum mengangkat alisnya heran; memperhatikan reaksinya saat Taehyung memperkenalkan dirinya pada mereka berdua.

Yang tidak Jaebeom tahu adalah bagaimana Bogum memutar otaknya sedemikian rupa; ingin mencari cara untuk menghilangkan reaksi yang Jaebeom rasakan pada Taehyung secepatnya.

He just wants to win. Jaebeom always does, but not this time.