Encounter.

Jimin rasanya ingin menguping pembicaraan seorang pria yang duduk di samping kiri mejanya dengan lawan bicaranya diujung telepon. Suara familiar yang entah... dirinya sangat yakin bahwa itu adalah suara seseorang yang pernah menjadi bagian dalam masa lalunya dan Taehyung. Dan yang membuat bulu kuduk Jimin meremang adalah fakta bahwa seorang pria di sampingnya itu menyebutkan nama 'Jeon'.

Ia tahu, Seoul—bahkan Korea itu sangat luas. Tidak hanya satu orang yang memiliki nama yang sama dengan Jeon yang ia kenal. Jimin berpikir; sangat tidak masuk akal jika pria di sampingnya ini—yang menurutnya sangat mirip dengan Jaebeom dari segi suara—berbicara dengan Jeon Jeongguk. Dunia ini benar-benar sempit dan kecil jika hal tersebut benar.

Belum sempat Jimin menguping pembicaraan pria itu, ia akhirnya menangkap sosok Taehyung sedang berjalan kembali ke arah meja mereka. Sahabatnya itu sudah kembali dari kamar kecil. Ia penasaran, namun juga tidak ingin tahu apa yang Taehyung lakukan selama sepuluh menit. Hell, sedekat-dekatnya mereka berdua, Jimin rasanya tidak perlu tahu apa yang sahabatnya itu lakukan.

Taehyung yang melihat raut wajah Jimin keheranan dan sedikit mendengus, akhirnya segera menuju kembali ke mejanya dengan agak berlari. Space antara meja para tamu dan bar agak sedikit jauh; cukup ruang untuk beberapa orang berlalu lalang.

“Sori lama, Jims. Gue keasyikan foto-foto room nya. Bagus banget sumpah, ada banyak art di dalem. Hehehe,” jelas Taehyung innocent sambil menarik kursinya pelan laku mendaratkan pantatnya di kursi empuk itu. Ia seperti tahu apa yang Jimin ingin tanyakan hanya dari raut wajahnya.

Sahabat Jimin itu hanya tertawa kecil sambil mengeluarkan handphone nya dari saku celananya. Jimin hanya bisa memutar kedua bola matanya sebal sambil menyentil dahi Taehyung yang tertutup poni tipisnya itu. “Bener-bener lo, ya! Gue kira lo ngapain di sana. Udah gue tungguin juga.” Jimin mengomel lalu mendengus dan menarik napkin makan dari atas meja.

Taehyung yang sedang asyik men-scroll handphone nya langsung meringis kesakitan sambil mengelus dahinya. “Sakit, anjir, Jims! Duh, bisa merah nih dahi gue.” Taehyung ingin membalas dengan mencubit tangan temannya—salah satu cara untuk membuat Jimin kesal, namun hal itu urung dilakukan olehnya saat seorang waiter datang mengantar makanan mereka. Hari ini, Jimin memutuskan untuk menikmati makanan barat; yang tentu ditanggapi dengan antusias oleh Taehyung.

Setelah mengucapkan terima kasih dengan singkat, akhirnya mereka berdua tenggelam dalam kesibukannya masing-masing—mengabadikan makanan tersebut dengan beberapa foto dan mengeditnya sana sini. Jimin dan Taehyung memiliki kebiasaan seperti ini setiap kali mereka berdua menghabiskan waktu bersama. Maka tak heran jika sepuluh menit berlalu, suasana di meja itu hening. Hanya terdengar suara napas dari keduanya.

Jimin sama sekali tidak mengingat apa yang ingin ia lakukan beberapa menit lalu sebelum Taehyung datang; saat ini ia sedang asyik mengambil foto makanannya dan foto sahabatnya. Taehyung terlihat seperti malaikat hari ini—ia yakin Jeongguk akan senang melihatnya.

Jimin tahu, Taehyung dan Jeongguk sangat merindukan satu sama lain; padahal technically, mereka baru berpisah dua hari. Tertawa kecil, Jimin hanya menggelengkan kepalanya sambil asyik mengutak-atik handphonenya.

Teringat akan sesuatu, Jimin lalu mengalihkan pandangannya dari layar dan mengangkat kepalanya—berniat melihat seorang pria itu yang duduk di meja samping mereka berdua.

Terlihat sosok itu memunggungi Jimin; berkutat pada buku tebal dengan beberapa alat tulis dan highlighter di sampingnya; layar laptop di hadapannya menunjukkan mode standby. Sosok itu beberapa kali mengangguk-angguk. Jimin lalu melihat sepasang earphone menyumbat kedua telinga pria itu.

Sepertinya lagu itu kencang sekali, batin Jimin. Ia samar-samar mendengar suara yang keluar dari benda kecil di telinga pria itu. Jimin menanggapi hanya mengangkat bahu dan kembali memusatkan perhatian pada layarnya.

Taehyung menaikkan alisnya sebelah keheranan sambil memperhatikan gelagat sahabatnya yang duduk di depannya itu.

“Lo kenapa sih, Jims daritadi? Kayak uget-uget tau nggak, gerak mulu. Ada apa, sih?” Taehyung bertanya penasaran. Jimin tidak biasanya terlihat gelisah. Ia bisa membedakan antara Jimin sedang kegirangan dengan Jimin seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

Taehyung melihat sahabatnya itu hanya menanggapi dengan tertawa nanar sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Nggak! Nggak ada apa-apa, Te!” Jimin menjawab seperti hampir berteriak. Kedua tangannya dikibaskan dan ia lalu menegak cepat ice coffee miliknya. Jimin menghindari kontak mata dengannya. Ia sedikit kaget karena tingkah sahabatnya. Taehyung akhirnya memutar kedua bola matanya sambil menyeruput ice chocolate yang ia pesan tadi bersamaan dengan makan siang mereka.

“Yakin, Jims? Lo tumbenan gini soalnya. Atau... jangan-jangan gebetan lo ada di sini ya!?” Taehyung menebak asal lalu meletakkan gelasnya yang dingin. Ia memajukan badannya ke arah Jimin dan mengerlingkan kedua matanya.

Menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum usil untuk menggoda Jimin; yang membuat sahabatnya itu akhirnya menghadiahi Taehyung dengan sentilan lebih kencang dan sakit di dahi mulusnya.

“ADUH— PARK JIMIN!!!”

Satu setengah jam berlalu dengan sangat cepat. Kebiasaan Jimin dan Taehyung saat menghabiskan weekend bersama adalah mereka pasti selalu lupa waktu. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang; jika sedang menghabiskan waktu bersama seperti ini, keduanya harus mengatur ponsel mereka menjadi airplane mode. Sama sekali tidak ada yang boleh mengganggu; bahkan kedua ibu mereka. Tentu hal ini akhirnya diperbolehkan oleh Bunda Kim dan Mama Park setelah diskusi dan proses lobi yang alot.

Awalnya, Bunda Kim dan Mama Park menentang ide mereka ini. Beliau berdua hanya takut terjadi apa-apa pada putra mereka. Namun hal tersebut ditanggapi Taehyung dengan santai sambil memberikan solusi pada Bundanya.

Pada akhirnya, ibu mereka meluluskan permintaan mereka; namun dengan satu syarat—memperbolehkan supir mereka mengganggu mereka kapan saja. Taehyung dan Jimin akhirnya setuju bahwa keduanya harus pergi dengan supir. Supir Jimin sudah beberapa kali mengalami hal serupa.

Hingga saat ini, supir Jimin tidak terlihat batang hidungnya sama sekali dari dalam restoran; Taehyung menganggap bahwa semuanya baik-baik saja.

Ia tidak tahu, kekasihnya di rumah tidak konsentrasi sama sekali karena Taehyung tidak kunjung membalas pesannya. Jeongguk bukan seseorang yang overprotektif, apalagi posesif. Ia hanya khawatir berlebihan jika menyangkut Taehyung. Namun itu dulu, sebelum ia akhirnya mengetahui kebiasaan antara Jimin dan Taehyung.

Begitu banyak cerita yang saling dibagikan dengan satu sama lain sore ini. Jimin menceritakan semua hal; mulai dari Mama Park yang sebentar lagi akan membuka restoran baru, hingga seseorang yang ditaksirnya sejak lama. Taehyung tersenyum melihat sahabatnya bercerita dengan antusias. Jimin adalah satu-satunya sosok yang selalu ia jadikan sandaran. Taehyung bersyukur memiliki sahabat seperti Jimin—selalu tahu bagaimana cara 'mengatasi' seorang Kim Taehyung.

Tidak ada rahasia yang disembunyikan dari satu sama lain. Taehyung menyayangi Jimin lebih dari apapun. Sahabatnya itu selalu ada di sampingnya sejak mereka kecil; Jimin seperti menggantikan sosok kakak perempuannya selama ini. Sahabatnya itu sudah seperti saudara laki-lakinya sendiri.

Selama mereka berdua bersahabat, Jimin tergolong jarang mencurahkan perasaannya pada Taehyung. Namun Taehyung tahu, Jimin selalu berusaha untuk 'melindungi' Taehyung dari apapun.

Maka Taehyung berjanji pada dirinya sendiri untuk 'membayarnya' dengan menjadi sahabat terbaik Jimin.

Sedang Taehyung hari ini tidak bercerita terlalu banyak. Ia hanya menceritakan tentang dirinya dan Jeongguk selama beberapa hari kebelakang. Mengingat itu, Taehyung menyunggingkan senyumnya lebar. Ia merindukan kekasihnya itu. Baru kali ini mereka berdua terpisah lebih dari beberapa jam; ini sudah hari kedua dan masih ada beberapa hari kedepan yang harus dilewati masing-masing tanpa bertemu satu sama lain.

Terlalu lama menghabiskan waktu dengan bercerita dan tertawa, Taehyung dan Jimin tidak sadar bahwa kafe Haru perlahan sudah mulai ramai oleh tamu. Setelan lampu pun sudah mulai meredup. Kafe Haru beralih fungsi menjadi sebuah bar jika sudah melewati pukul enam sore.

Taehyung mengedarkan pandangan ke sekelilingnya; tidak banyak meja yang terokupasi di dekatnya. Hanya ada seorang pria yang duduk memunggungi mereka—Taehyung perhatikan, pria itu masih duduk dengan posisi yang sama sejak siang tadi.

Memperhatikan jam tangannya sekilas, Taehyung mengernyit. Mereka berdua sudah menghabiskan waktu hampir tiga jam di sini? Tidak terasa sama sekali, batinnya.

Taehyung menengok ke arah luar melalui kaca besar yang menjadi dinding pembatas kafe itu. Semburat oranye mewarnai langit sore dengan merah muda sebagai pemanis. Taehyung tersenyum lalu mengambil handphone nya yang sedari tadi tidak terdapat satupun notifikasi. Membuka aplikasi kamera, ia mengarahkan handphonenya sedemikian rupa sehingga mendapat angle yang bagus untuk fotonya.

Langit sore ini harus diabadikan. Terlalu indah, begitu pikirnya.

Jimin yang memperhatikan Taehyung terlalu fokus mengabadikan langit sore ini, buru-buru menyambar handphone miliknya yang ada di samping gelasnya dan membuka aplikasi kamera. Sepasang sahabat itu terlihat lucu; seperti sedang mengikuti kompetisi foto—berlomba-lomba foto siapa yang paling bagus. Taehyung lantas melirik sahabatnya dan tertawa kecil.

Hari ini hari yang cukup indah untuk Taehyung.

Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada langit sore itu dan tersenyum—memikirkan Jeongguk. Ingin rasanya Taehyung menemui kekasihnya itu. Kalau saja bukan dirinya sendiri yang meminta untuk 'puasa' bertemu karena Jeongguk butuh berkonsentrasi agar dapat menghadapi ujian beberapa hari kedepan dengan lancar—ia pasti akan pulang sekarang juga untuk menemui Jeongguk.

Taehyung menghela napas berat yang akhirnya mengundang perhatian Jimin. Sahabatnya itu menoleh; senyumnya perlahan meluntur dari wajahnya.

“Te? Kenapa? Kok kayak sedih gitu?” Jimin bertanya sambil mengacak pelan rambut sahabatnya.

Taehyung hanya bisa menggeleng sambil tertawa nanar. “Nggak apa, kangen Ggukie, Jims. Banget.”

Jimin hanya merespon “Aww, Taehyungie...” sambil meraih tangan Taehyung dan mengelus punggung tangannya pelan; salah satu cara Jimin untuk menenangkan Taehyung setiap kali ia terlihat akan sedih.

Mereka berdua terlalu terpaku dengan pikiran masing-masing, sampai tidak menyadari bahwa seorang pria sedang beranjak dari duduknya setelah membereskan barang-barangnya di meja. Pria itu memasukkan laptop dan buku-bukunya kedalam tas besar itu.

Merangkul tas di pundak dan berniat pulang, sebelum akhirnya sepasang matanya bersirobok dengan sesosok laki-laki di depannya yang sangat ia kenali. Laki-laki itu terlihat indah dari side profilenya; rambutnya berwarna silver dengan goresan blonde, sedang menikmati pemandangan langit sore ini dari balik kedua mata hazelnya.

Ia hafal betul hanya dengan melihat potongan jawline yang sering menjadi pemandangan sepasang matanya beberapa tahun lalu; sampai akhirnya mereka 'berpisah'.

Dengan ragu, seorang pria itu membuka suara. Tak sadar bahwa suaranya sudah terbata; terkejut dengan takdir yang menurutnya sangat kebetulan sekali.

Apa mungkin ini memang takdir yang harus ia lewati dan hadapi?

Suaranya bergetar namun jelas, membuat sosok itu menoleh. Waktu terasa sangat lambat, kala sepasang mata hazel laki-laki itu bertemu dengan kedua mata hitamnya.

“Ta—Taehyung?”