Flashback.
Hari ini hubungan antara Taehyung dan Bogum sudah terjalin tepat menginjak hari keenam. Huh, hubungan? Taehyung merasa sesuatu entah apa ini tidak dapat diartikan sebuah hubungan.
I am still in elementary school, for God sake. What do I expect, batin Taehyung.
Minggu pertama berjalan sejak surat yang menurut Jimin terlihat aneh—kata sahabatnya itu; seumur-umur dirinya membaca cerita pendek romansa sederhana pun, tidak ada kata 'deh' saat seseorang menyatakan perasaannya suka pada orang lain.
Yang tentu, Taehyung sama sekali tidak menggubrisnya.
Untuknya, surat itu sudah cukup menggambarkan jika Bogum pun memiliki perasaan yang sama.
Jimin hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar jawaban Taehyung. Ia tidak habis pikir, apa sih yang dilihat Taehyung dari seorang Bogum?
Saat pertama kali Taehyung membaca surat itu, ia sedang ada di rumah; baru saja menginjakkan kaki di kamarnya. Saat membuka tasnya untuk mengeluarkan buku pelajaran, ia melihat secarik kertas putih yang kelihatannya dirobek asal dari sebuah binder, terselip diantara kotak pensil dan baju gantinya.
Taehyung bertanya-tanya, kertas apa ini? Ia memang sering merobek kertas binder yang ia pakai sebagai kertas corat-coret saat pelajaran Matematika. Namun Taehyung tidak pernah menyimpannya. Otomatis akan selalu ia buang saat pelajaran usai.
Dan hari ini, Taehyung tidak membawa bindernya ke sekolah.
Ragu-ragu, ia menarik kertas putih yang dilipat hingga berukuran kecil itu dan membukanya. Ia tidak mengenal gurat tulisan ini; namun terpancar sorot bahagia dan senyum yang lebar di wajahnya. Taehyung rasanya ingin melompat-lompat di atas kasurnya.
Yang,
Aku mau, deh, jadian sama kamu.
Maaf ya pake surat. Aku malu. Hehe.
Jadi… kita udah resmi pacaran nih?
Bommie
Yang? Huh, such a romantic person. Taehyung suka dengan panggilan itu. Dan Bommie. Bogum menggunakan nama panggilan Taehyung dan membubuhkannya dalam surat ini.
Ah, rasanya ingin terbang ke langit ke tujuh! teriak Taehyung dalam hati.
Buru-buru Taehyung mengeluarkan buku diary nya dengan Jimin sambil berjingkat-jingkat diatas kasur. Tangannya gemetaran. Ini ya rasanya disukai oleh seseorang?
Namun tiba-tiba Taehyung teringat kata Papa beberapa minggu lalu saat ia menceritakan soal Bogum. Kala itu mereka sedang makan malam di rumah. Bunda dan Papa duduk berseberangan dengan Kak Yoona dan dirinya.
“Masih kecil tidak boleh pacaran, Taehyung. Kamu sebut teman dekat. Sekolah dulu yang baik. Kamu ini masih kelas empat,” yang dianggap angin lalu oleh Taehyung. Bunda hanya tersenyum, sedang Kakak terlihat penasaran dengan cerita Taehyung yang sedang kasmaran.
Mengingat hal itu, Taehyung mendengus. Ia mengesampingkan kata-kata Papanya. Hari ini adalah saatnya Taehyung bahagia. Papa tahu atau tidak, itu urusan nanti.
Taehyung segera mencari lem kertas di meja belajarnya lalu merebahkan tubuhnya di kasur dengan posisi tengkurap. Ia membuka buku diarynya lalu mulai menulis, senyum di wajahnya terlalu lebar hingga membuat kedua pipinya kram. Tak lama kemudian, Taehyung melumeri kertas itu dengan lem dan menempelkannya di halaman sisi kanan tulisan Taehyung.
Merasa puas dengan 'hasil karya'nya barusan, ia lalu mengeluarkan handphonenya dari saku celana dan mencari kontak Jimin. Taehyung harus menceritakannya pada sahabatnya itu mengenai hari ini.
Jimin harus tahu terlebih dahulu bahwa hari ini adalah hari yang akan ia ingat selamanya.
Seorang Taehyung yang duduk di kelas empat sekolah dasar itu sangat senang hari ini. Siapa sangka, kedekatannya dengan Bogum akan berakhir baik? batin Taehyung saat menunggu nada sambung telepon Jimin.
Seorang Taehyung itu pun tidak tahu, hari ini juga adalah awal dari segala keraguannya akan cinta.
—
Hari-hari Taehyung diisi dengan beberapa lirikan tajam dan mengejek dari teman-teman seangkatannya, seniornya, dan teman-teman Bogum. Kabar itu menyebar layaknya api dalam kebakaran. Beberapa kali Taehyung terlihat khawatir dan takut dengan omongan sekelilingnya.
Namun Jimin selalu memastikan bahwa ia akan selalu menjaga Taehyung. Seperti janjinya dulu.
Bogum adalah siswa sekolah menengah pertama; gedung sekolahnya berbeda dengan Taehyung dan Jimin. Membutuhkan waktu lima menit untuk sampai ke depan gerbang sekolah Bogum. Walaupun masih dalam satu komplek dan yayasan, tapi pihak sekolah memisahkan gedung mereka berjauhan.
Ke mana pun Taehyung pergi sendirian, Jimin akan selalu menemani sahabatnya di sampingnya. Pun dengan hari ini; Jimin menemani Taehyung untuk mengantarkan bekal yang ia buat tadi pagi. Dua potong sandwich a la Taehyung; dibuat dengan bumbu kasmaran—kata Taehyung, yang disambut oleh Jimin dengan memutar kedua bola matanya.
“Hei, adik manis,” panggil Bogum saat menghampiri Taehyung dan Jimin beberapa menit kemudian. Kelas Bogum terletak di lantai dua gedung sekolahnya. Terlihat santai, ada senyum yang memancar dari wajah Taehyung saat melihat Bogum melambaikan tangan dan tersenyum. Jimin lega, sahabatnya memiliki mood yang baik hari ini.
“Hai, Bommie. Ini aku ada sandwich buat kamu. Dimakan, ya. Kembaliin nya nanti siang aja. Kita... jadi pergi, 'kan, nanti siang?” tanya Taehyung sambil menyerahkan kotak bekalnya pada 'teman dekat' nya itu.
Bogum yang mendengar pertanyaan Taehyung mengambil kotak itu dari tangannya dan mengangguk santai. “Yes, nanti siang jadi. Kita jalan kaki aja, ya? Kan deket ini, dek.”
Taehyung menanggapi dengan anggukan yang terlalu kencang seperti boneka miniatur di dasbor mobil. Jimin khawatir sahabatnya ini akan sakit leher sebentar lagi. “Oke! Kalau gitu, aku balik ke kelas lagi ya, Bommie.”
Lawan bicaranya hanya mengangguk dan melambaikan tangan kemudian; ia akan kembali lagi ke kelasnya.
Taehyung tidak sabar menunggu sekolah hari ini berakhir.
—
Hari ini adalah hari kelima belas hubungan Taehyung dengan Bogum; yang menurut Taehyung jika disimpulkan dalam satu kalimat, hari ini cukup menyakitkan untuk ukuran seorang siswa kelas empat sekolah dasar.
Saat istirahat sekolah tadi, Taehyung melihat seorang siswa perempuan sedang dirangkul oleh Bogum sambil keduanya berjalan beriringan masuk ke arah kantin sekolah.
Sebenarnya, perasaan aneh didalam hati Taehyung sudah muncul sejak beberapa hari belakangan, karena intensitas mereka bertemu dan mengobrol sudah cukup jarang. Hanya sesekali. Itu pun Taehyung yang memulai pembicaraan.
Selain itu, gelagat aneh Bogum setiap kali sedang jalan dengan Taehyung terlalu kentara.
Namun Taehyung, dengan segala keras kepalanya, hanya menganggap itu biasa saja dan dibiarkan berlalu.
Mungkin Taehyung bisa saja berpikir bahwa siswa perempuan itu hanya teman; tidak perlu ada rasa sakit berlebihan yang menggelenyar didada Taehyung.
Jika tadi pagi Bogum tidak menginfokan bahwa ia tidak bisa ke kantin hari ini untuk menemani Taehyung makan siang.
Dan jika, Taehyung tidak mendengar Bogum memanggil siswa itu dengan panggilan “sayang”.
Tentu Taehyung tidak akan menangis di pelukan Jimin tadi siang dan akan menganggap semuanya baik-baik saja.
Taehyung sampai di rumah dengan disambut suara Bunda dan Papa terdengar sedang berdebat di ruang tengah. Ia tidak melihat Kakak; sepertinya masih belum pulang sekolah, batin Taehyung.
Taehyung menghela napas kasar. Bukan ini yang ingin ia dengarkan hari ini. Ia lelah, ia ingin segera berlari ke kamarnya dan tidur siang.
Namun Taehyung masih memperhatikan sopan santun dan tata krama sebagai seorang anak; memberi sinyal pada orang tua nya bahwa ia sudah sampai di rumah dengan menghampiri mereka.
Ia berusaha terlihat tidak tahu apa-apa. Taehyung dan poker face nya—turunan Bunda, kalau kata Papa.
“Pa, Bun, Tae udah pulang.” kata Taehyung yang seketika membuat perdebatan diantara orang tuanya itu berhenti; cara Taehyung yang selalu berhasil untuk meredam kilat emosi yang sudah sering ia dengar sejak beberapa bulan lalu.
Bunda yang tadinya terlihat menampilkan kerutan di keningnya, akhirnya menghela napas pelan dan menghampiri Taehyung. “Eh, anak Bunda udah pulang. Sana ganti baju dulu ya, sayang. Bunda lagi bicara sama Papa.”
Papa Kim terlihat mengambil duduk di sofa dan memijit tulang hidungnya. Wajah beliau terlihat kusut; lebih kusut dari Bunda.
Ada apa ya ini?
“Halo, Nak. Did you have fun today at school?” tanya Papa Kim pada Taehyung. Sedang anak laki-lakinya mengangguk cepat dan menyunggingkan senyum yang kelewat lebar di wajahnya. Senyum palsu.
“Yes, I had fun today, Pa. Thanks to Jimin and Bommie..., to be honest.” jawab Taehyung sambil melepas ranselnya dan menggoyang-goyangkan dengan kedua tangannya.
Papa Kim yang mendengar nama panggilan Taehyung untuk Bogum; wajahnya langsung menegang dan menatap Taehyung. “Hmm, okay. Teman dekat, 'kan, Taehyung?” Beliau menekankan kata 'teman dekat' untuk dimengerti oleh putranya.
“Once again, yes, Pa. Hanya teman dekat. Don't worry.” jawab Taehyung sekenanya.
Awkward, begitulah situasinya saat ini.
Maka setelahnya, ia pamit untuk beberes dan bersih-bersih diri sambil berjalan masuk ke kamarnya. Taehyung tidak lupa untuk pamit beristirahat karena hari ini cukup melelahkan.
Setelah Taehyung menutup pintu kamarnya, terdengar lagi samar-samar suara Bunda dan Papa di ruang tamu. Mereka hanya menggumam, namun Taehyung ingin tahu apa lagi topik yang membuat orang tuanya berdebat hari ini. Seperti makanan sehari-harinya dengan kakaknya.
Mengunci pintu terlebih dahulu supaya lebih aman, akhirnya Taehyung memberanikan diri dan menempelkan telinga kanannya di pintu.
Taehyung tahu ini tidak sopan, tapi ia ingin tahu apa yang menyebabkan Bunda dan Papa seperti tidak menemukan jalan tengah dari perbincangan mereka.
”...I told you long before, Seo. Aku akan pindah ke Jepang untuk urusan bisnis. You can come with Taehyung. Itu akan membuat segalanya lebih mudah.” Taehyung mendengar Papanya memulai pembicaraan dengan nada frustrasi.
“I know, but not like this! Are you really trying to rip this family apart? You can't take Yoona with you. Kamu tidak bisa memaksa dia. Hell, she can choose whatever she wants! She's an adult now, you can't force her to go with you just because she looks like she wants to.” Bunda membalas dengan nada yang cukup tinggi.
“Dan kamu tidak seharusnya memberitahukan ini mendadak layaknya kita hanya sekadar vacation ke Jepang. Taehyung sudah nyaman di sini dengan lingkungannya dan teman-temannya, pun dengan Yoona dan sekolahnya sekarang. Dia sebentar lagi akan lulus SMA, Kim. Ini semua terlalu mendadak dan tanggung.
Selain itu, kamu tidak consult ke aku dan anak-anak. Itu yang aku tidak suka. We are husband and wife, for God sake. We should talk like others do. Ini kamu sebetulnya terlihat seperti memberi pengumuman dan semua keputusan sudah final.” Bunda melanjutkan sambil menghela napas kasar.
Taehyung meringis mendengarnya.
Jepang? Pindah? Ada apa ini? Kak Yoona akan ikut?
Huh? Apa yang sebenarnya orang tuanya bicarakan?
“Yoona already said she agreed to move to Japan. And I am /not/ trying to rip this family apart. Like I said, kita bisa pindah sekeluarga ke Jepang. And I know Taehyung will agree with me since Japan is his dream.”
Bunda terdengar kaget. “Yoona already agreed with this? Since when?”
Tidak hanya Bunda, Taehyung pun kaget bukan main. Ada apa sebenarnya? Mengapa pembicaraan ini terdengar seperti petasan yang hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak?
Taehyung tidak mendengar Papanya menjawab, karena tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya bergabung dengan suara orang tuanya.
Ia ingin sekali mendengar jawaban Yoona tentang hal ini.
“Pa, Bun, stop! Bukannya Papa bilang akan membicarakan ini sama Bunda dengan kepala dingin? Kenapa ini malah terdengar seperti perang?” tanya kakak perempuan Taehyung dengan nada marah.
Yoona sudah lelah dengan perdebatan non-stop antara kedua orang tuanya. Taehyung hanya tahu sedikit, sedang Yoona yang berjarak delapan tahun lebih tua dari adiknya, sudah menyaksikan pertengkaran kecil sejak dirinya masih duduk di bangku SMP.
Adiknya itu masih kecil saat pertama kali Yoona mendengar perdebatan antara Bunda dan Papa.
“Bun, I apologise, but yes, my decision is final. I already agreed because Pap said he would consult and talk to you first before he decided—yet clearly we both know he didn't and I'm disappointed.
“Yoona akan ikut Papa ke Jepang. Tapi ini bukan berarti Yoona setuju dan mendukung semua sikap Papa ke Bunda, Bun. Tidak.” jawab kakak Taehyung dengan nada tenang namun tajam.
Taehyung kaget. Apa Kak Yoona akan benar-benar membeberkan perasaannya selama ini pada orang tuanya? Apa Taehyung harus keluar dari kamar sekarang?
“Yoona, sayang, what are you talking about?” tanya Bunda dengan suara bergetar. Taehyung tahu persis, Bundanya sebentar lagi akan menangis. Sedang Taehyung tidak mendengar sepatah kata pun dari Papanya.
Kakaknya terdengar menghela napas kasar sebelum menjawab pertanyaan Bundanya.
“Bunda, maaf kalau Yoona lancang, tapi Bun, I heard you crying at nights. Not always, but I often did. And it hurts me, Bun, it does, karena Yoona tahu itu adalah karena Bunda capek. Physically, karena pekerjaan Bunda yang sedang gila-gilanya—which I am very proud of you. And, mentally as well.
“Yoona tidak mau terlalu dalam; Yoona tahu Yoona mungkin keterlaluan karena selalu tidak sengaja dengar Bunda dan Papa bertengkar, tapi Pa, Bun, yang Papa dan Bunda tidak tahu... it affects us, too. Taehyung and I both.
“Jadi, Pa, tolong, atas nama Yoona dan Taehyung, bicarakanlah baik-baik dengan Bunda. Apa yang menjadi masalah kalian, apa yang menjadi keluh kesah kalian. Because you both used to talk about that. Tapi sekarang, dengan Papa dan Bunda yang sama-sama sibuk dan hanya bertemu saat malam hari, menurut kacamata Yoona, kalau terlalu lama dibiarkan, akan berimbas ke keluarga ini.
“Yoona sudah umur segini, sudah paham dan berusaha untuk memaklumi. Tapi, Bun, Pa? Taehyung masih kecil. Yoona sudah cukup terimbas, Yoona mohon jangan Taehyung. It will bring bad memories for him.”
Papa Kim yang sedari tadi hanya diam, akhirnya buka suara. “Yoona, you are right. I should talk to your Mom alone. And I am sorry if this issue between us is affecting you and Taehyung already. Sebaiknya Bunda dan Papa harus—”
Kata-kata Papa Kim terputus saat melihat Taehyung sudah keluar dari kamarnya dan menangis. Kedua mata Taehyung merah, pun hidungnya, dengan pipinya yang sudah basah oleh air mata yang tidak dapat dibendungnya.
Kakaknya terbelalak, Papa Kim segera berdiri dari duduknya, dan Bunda terlihat sudah menangis dengan menutup mulutnya. Mereka bertiga tidak menyangka Taehyung tidak pergi tidur siang hari ini.
“Taehyung, Nak, katanya kamu mau tidur...” ucap Bunda sambil mendekat ke arah Taehyung. Anak laki-lakinya hanya berdiri diam di tempatnya sambil terus menangis.
“I heard. All of it. And I- I don't know what to say, b-but I agree with Kak Yoona...” kata Taehyung terbata-bata.
“Why it has to be Japan, Pa? And why it has to be /now/? You know I won't hesitate to agree.
“But, why? Apa Papa tidak bisa menunggu? Menunggu barang dua tahun untuk aku bisa settle semuanya dari sekolah? I know I sound selfish, but, I guess you don't even consider it at all. You never care about my feelings anyway.”
Bunda terlihat kaget, tidak terkecuali kakaknya. Mereka seperti ingin bicara saat ia melihat wajah Papa dan mengurungkan niatnya.
Papa yang mendengar kata-kata Taehyung terlihat kaget, dan spontan, kilat emosi terlihat di wajahnya. “Taehyung, jaga bicaramu!”
Taehyung meringis mendengar nada bicara Papanya yang meninggi. Ia lalu menunduk dan memainkan jari-jarinya. “I apologise, Pa, tapi sepertinya Bunda setuju dengan Taehyung. Entah setuju bagian mana, tapi Taehyung tahu Bunda setuju.”
Papa terlihat mengambil napas panjang sebelum memulai bicara. Beliau terlihat emosi; terpancar dari wajahnya, namun Taehyung melihat sorot sedih ikut muncul dari kedua matanya.
“I do care about your feelings, Taehyung. You are my only son. Tapi kamu masih kecil. Papa tidak bisa berbicara dengan kamu layaknya kamu sudah besar seperti kak Yoona. Lagipula, kamu akhir-akhir ini terlalu fokus dengan cinta monyetmu yang Papa yakin itu mengganggu proses belajarmu.
“Cinta tidak ada yang sederhana, Taehyung. Dan kamu butuh untuk dewasa dahulu baru tahu tentang cinta. Papa tidak mau proses belajarmu diganggu oleh selingan tidak jelas. And you're still young, Nak. Papa takut, cinta itu akan membuatmu sakit nantinya. Kamu masih kecil, kamu anak baik, Papa tidak mau bahagia kamu hancur nantinya hanya karena cinta monyet.”
Taehyung betul-betul mendengar kata-kata Papanya dengan jelas. Semuanya langsung masuk ke telinga kanan Taehyung menuju otaknya. Ia berusaha untuk menutup jalur masuk ke otaknya rapat-rapat.
Karena entah mengapa, Taehyung memikirkan kejadian Bogum tadi dan kata-kata Papanya barusan.
Cinta tidak ada yang sederhana, Taehyung.
”...so I decided to choose Japan—your dream goal, so you can come with us and move, so that you can end whatever your relationship is with that Bogum kid. I just don't want you to get hurt.”
Taehyung rasanya dihantam oleh ombak besar dan menyeretnya serta. Kata-kata Papanya bagaikan tamparan bagi Taehyung; berusaha untuk memberi prediksi bahwa semuanya dengan Bogum akan berakhir buruk.
Tubuhnya merosot, ia kembali menangis. Kedua mata Taehyung buram. Apa ini alasan Papa sebenarnya sehingga ia dapat ikut serta ke Jepang? Apa ini hanyalah pancingan untuk mempengaruhi Taehyung agar mengakhiri hubungan apapun itu dengan Bogum?
Cintanya berlangsung hanya sebentar, namun ia merasa hidup. Taehyung bahagia, ada yang menyukainya dan menyimpan rasa padanya. Tentu Taehyung mengedepankan kasih sayang dari Bunda, Papa, dan kak Yoona.
Tapi, apa itu cukup?
Taehyung bahagia ada di sini; bersama dengan teman-temannya, dengan rumah—di kota kelahirannya. Dengan Jimin. Ia tidak bisa serta merta menyetujui ajakan Papanya untuk pindah ke Jepang hanya karena negara itu adalah impiannya sejak dulu.
Taehyung... tidak bisa. Ia tidak rela meninggalkan apapun yang sudah ia miliki di sini. Ia tidak ingin meninggalkan Jimin. Ia tidak mau berpisah dengan sahabatnya, dan tentu juga dengan Bogum.
Ia masih tenggelam dengan angan-angannya sambil samar-samar terdengar suara Bunda dan Papa berdebat lagi. Kak Yoona ada di samping Bunda; menahan Bunda agar tidak menangis lagi.
Taehyung saat itu tidak tahu, apa alasan sebenarnya Papa mengajak mereka semua untuk pindah ke Jepang. Hanya Papa yang tahu. Namun Taehyung menerka, sepertinya semuanya ini berhubungan dengan karir Bunda yang melejit bak roket.
Bunda adalah wanita karir yang bisa dikatakan pekerja keras; Bunda berdedikasi dengan pekerjaannya, dan Bunda bisa mengimbangi dengan tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri.
Namun sepertinya, Papa belum rela melihat Bunda bahagia dalam pekerjaannya. Papa adalah seseorang yang bisa dikatakan terlalu strict terhadap hidupnya sejak kecil. Terkadang keputusannya tidak bisa diganggu gugat, begitu pun dengan jalan pikirannya.
Maka Taehyung, dengan ceroboh dan tergesa-gesa, bangkit dari duduknya dan menghapus air matanya dengan kasar.
Taehyung harap, keputusannya—egonya, tidak akan menghancurkan keluarganya, atau apapun itu yang harus dipertahankan.
“I decided just now, that I won't go with you to move to Japan. I can stay here with Bunda. Japan can wait—dia akan selalu ada di sana. I will be there, someday. But not now, not anytime soon. I hope you can understand me, Pa. Taehyung permisi.”
Segera ia membalikkan badan, berlari ke arah kamarnya, membanting pintu kamarnya, dan menangis.
Menangis, menangis, hingga ia terlelap dan terbangun keesokan harinya.
—
Papa dan Kak Yoona pindah ke Jepang seminggu kemudian. Selama tujuh hari dihabiskan dengan mengurus beberapa berkas pelengkap untuk kepindahan mereka. Papa meminta pihak kantornya untuk mengurus semua dengan cepat; pun visa dan surat ijin tempat tinggal untuk mereka.
Taehyung tidak begitu mengerti dengan kelengkapan surat itu; beberapa kali mendengar Papa membicarakan via telepon dengan pihak kantornya, namun Taehyung tetap tidak paham. Mungkin belum saatnya ia mengerti.
Hubungan Papa dan Bunda tiba-tiba membaik, entah ada kesepakatan dan pembicaraan apa diantara orangtuanya, sehingga tidak ada derai air mata histeris saat Bunda dan Taehyung mengantar Kakak dan Papa ke bandara.
Hanya Taehyung yang menangis terlalu heboh karena ia akan berpisah dengan kakak perempuannya, entah sampai kapan. Berpisah dengan Papa juga, tentunya. Namun entah, ia masih teringat kata-kata Papanya minggu lalu.
Taehyung memeluk kakaknya terlalu erat; merasakan bahunya ditetesi air mata. Kak Yoona membisikkan kata-kata untuk menenangkan Taehyung. Ia menyesal bahwa tidak memberitahu Taehyung jauh hari. Namun kakaknya berjanji akan mengiriminya pesan dan bertukar kabar melalui telepon.
Saat Taehyung selesai memeluk kakaknya dan mengelus punggungnya turun naik, akhirnya ia menoleh kearah Papa yang sudah membentangkan tangannya untuk memeluk Taehyung.
Refleks, ia menghamburkan tubuhnya kearah orang yang dicintainya itu. Bagaimana pun juga, Papa adalah orang yang membesarkan Taehyung, batinnya.
“I am so sorry, Nak. I wish I could put my words better. Kamu baik-baik ya, Nak. I love you so much, Taehyung. Please don't hesitate to contact me if something happens. Anything.
“You're my son, I am so proud of you. Jangan menganggap permintaan Papa akan expired soon, ya. It'll never be expired. I will always welcome you there if you somehow change your mind, Taehyung.
“Jaga Bunda ya, Nak. I know you will.”
Taehyung sudah menangis di dekapan Papanya sejak ia memeluk beliau. Perasaan khawatir menggerayangi seluruh tubuh Taehyung.
Ia takut, apakah keputusan yang ia ambil sudah benar?
Ia tidak tahu. Namun sejak Taehyung memutuskan seminggu lalu, ia tidak pernah berhenti berdoa dan berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
—
Papa dan Kak Yoona berangkat ke Jepang dua hari lalu. Entah mengapa, ia merindukan keduanya. Tinggal dengan Bunda didalam rumah yang sebesar istana—kata Jimin, membuat dirinya kecil.
Taehyung merindukan 'keluarga utuh'nya.
Hari ini adalah hari Senin, awal dari minggu yang baru untuk Taehyung. Tidak ada lagi pelukan hangat namun firm dari Papa yang selalu melepas dan menyambutnya setiap hari ia bertolak dari dan ke sekolah. Tidak ada celotehan Kak Yoona menceritakan hari-harinya di SMA.
Keduanya baru pindah dua hari lalu dan ia sekarang sudah menyesali keputusannya.
Namun Taehyung tidak dapat memungkiri; Bunda terlihat seperti bernapas kembali. Senyum Bunda kembali merekah seperti beberapa bulan lalu.
Ibarat bunga di sebuah taman, Bunda adalah setangkai bunga yang terlalu lama tumbuh dibawah payung dan tidak mendapatkan sinar matahari. Ia layu.
Dan akhirnya, sinar itu menyentuhnya kembali.
Taehyung bersyukur akan hal ini.
Jimin melihat Taehyung berjalan kearahnya dengan langkah gontai. Sahabatnya itu sudah mengetahui cerita mengenai Taehyung dan keluarganya karena tiba-tiba pagi hari Jimin mendapat telepon dari Taehyung—full on crying mode.
“Hei, soulmate. Good morning. Feeling better?” sapa Jimin sambil merangkul Taehyung. Sahabatnya hanya menggeleng pelan dan menghela napas pelan.
Jimin yang melihat Taehyung terlalu lesu itu segera mengelus pelan kepalanya dan berbisik. “Everything is going to be okay, Te. Ada gue. Ada Bunda. Ada Bogum...? Jadi jangan khawatir, ya.”
Taehyung mendengar nama Bogum disebut oleh Jimin, hanya bergidik. Ia tidak tahu apakah keberadaan Bogum akan membuatnya lebih baik atau tidak. Ia tidak tahu, mungkin memang sebenarnya mereka lebih baik berteman?
Hubungan yang Taehyung pun tidak mengerti apa ini, masih terasa sebesar biji jagung. Dan rasanya... terlalu dini untuk disebut dengan cinta? Sepertinya ini adalah hubungan kagum dengan seseorang. Tidak lebih.
Taehyung yang sedang melamun sambil berjalan pelan beriringan dengan Jimin, dikagetkan dengan segerombolan siswa—yang iya yakin bukan dari teman-teman dan seniornya di sekolah dasar—menghentikan langkah mereka berdua.
Mereka seperti... mencegat mereka? Aneh.
“Hai, Taehyung ya?” tanya seseorang dengan nada meremehkan.
Siapa mereka ini?
“I-iya. Kalian, siapa ya?” Taehyung membalas dengan takut-takut. Sedang Jimin seperti sudah waspada dengan sekeliling. Masalahnya adalah, mereka ini sekarang berada di tengah lapangan sekolah.
Apa yang akan orang-orang ini lakukan sepagi ini sebelum sekolah dimulai?
Belum seseorang itu menjawab, teman lainnya dari rombongan mereka tiba-tiba menarik tangan milik seseorang yang beberapa hari ini sedang ia pikirkan.
“Bommie...?”
Taehyung seperti tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba lidahnya kelu.
Apa yang Bogum lakukan di sini?
“Uh, can we talk, Taehyung? I don't think it can wait any longer.” kata Bogum pelan.
Taehyung mengangkat kedua alisnya heran. Huh, ada apa ini?
“Is that a secret or something? You can say it now, man. Sekarang aja.” Seorang teman yang lain menimpali. Nadanya seperti memaksa namun ada kesan mengejek dibalik itu.
Bogum terlihat menggaruk lehernya yang Taehyung tahu, itu tidak gatal sama sekali.
“Right here? Lo gila? Gue ngga mau mempermalukan Taehyung. Jahat lo.” Bogum terdengar defensif. Dan Bogum tidak pernah terlihat seperti itu saat dengan Taehyung. Seperti ada yang ia sembunyikan.
Itulah yang menyebabkan Taehyung buka suara.
“Iya, sekarang aja, Bommie. Ada apa? Aku dan Jimin harus ke kelas sekarang.” Taehyung berkata sambil mengecek jam di pergelangan tangannya singkat. Ia tahu, bel sekolah tidak akan berbunyi dalam beberapa puluh menit kedepan, namun ia sudah tidak sabar.
“E-euh... Taehyung, sepertinya, kita harus putus sampai sini aja?” Bogum berkata. Kalimat itu menggantung di udara.
Taehyung terbelalak. Lelucon macam apa ini? Mengapa ia harus mengatakannya didepan teman-temannya?
Apa selama tiga minggu ini hanya sebuah lelucon? Apakah ini adalah sebuah tamparan karena Papa mengingatkannya saat itu? Apakah Taehyung benar-benar se-desperate itu sehingga Bogum tega melakukan ini padanya?
Terlalu banyak hal yang terputar di otaknya, sehingga ia tidak sempat mencerna dan menyaring kata-katanya kemudian.
“Is this some kind of joke? What the—”
“It's not, Taehyung. Sebenernya, alasan gue nembak lo adalah sesimpel karena gue iseng aja. Dan to be honest, terpaksa. So yeah, actually, it's just some kind of trial for me.”
Some kind of trial? What /kind/ of trial?
“K-kamu bercanda, 'kan? Kamu pasti dikerjain sama teman-teman kamu. I-iya, 'kan?” Taehyung tidak bisa menyusun kata-katanya. Giginya terdengar menggeletuk. Dagunya bergetar.
Air mata Taehyung sudah meleleh, luber bersama dengan kekecewaan dan rasa malunya.
“Gue ngga bercanda sama sekali, adik manis.” Bogum menjawab, dengan penekanan pada akhir kalimatnya.
Terdengar suara cekikikan teman-teman Bogum di sekitar mereka. Taehyung tidak bisa melihat ke arah depannya. Kedua matanya sudah buram dengan air mata.
Jahat. Jahat sekali.
Taehyung tidak menyadari Jimin yang sedari tadi diam seribu bahasa sudah melepas tangannya dari lengan Taehyung dan berjalan kearah Bogum.
Jimin dengan kasar menarik kerah seragam Bogum. Ia marah dan emosi. Ia tidak peduli dengan beberapa siswa yang melihat mereka. Ia tidak peduli. Persetan dengan semuanya. Bogum dan teman-temannya sudah mempermalukan Taehyung—sahabatnya yang Jimin selalu janjikan akan melindungi, apapun yang terjadi.
Dan ia gagal. Buktinya ia telah lengah. Ia menyesal telah mengenalkan Taehyung pada Bogum waktu itu.
“Apa lo bilang?! Jawab, Kak! Lo udah gila. Masih kecil tapi kelakuan lo semua minus. Apa yang sahabat gue lakuin sama lo semua sampe lo semua tega kayak gini? Jawab gue!” Jimin berteriak, mengamuk tak keruan, sedang Taehyung hanya menangis sambil berjongkok.
Taehyung tidak sadar, ia sudah membasahi dengkulnya dengan air matanya sendiri. Ia tidak menyangka bahwa perasaannya akan dipermainkan dengan alasan 'terpaksa'.
Segala macam afeksi dan perhatian yang diberikan oleh Bogum selama tiga minggu ini... itu semua hanya kebohongan?
“Eh, apa-apaan lo. Lepasin gue! Kurang ajar lo jadi adik kelas. Mentang-mentang lo satu ekskul sama gue, gue ngga ada toleransi ya sama lo. Lepasin kerah gue!” teriak Bogum melawan Jimin.
Sedang teman-temannya hanya sibuk tertawa; ada yang hanya melihatnya, dan beberapa lainnya ada yang mengambil video kejadian ini. Jimin lalu melepaskan kerah seragam Bogum dan cepat-cepat menghampiri Taehyung.
Lebih baik ia mengurus Taehyung sekarang. Soal membalas Bogum dan teman-temannya, itu urusan nanti.
Taehyung merasakan kedua tangan menyentuh lengannya. Ia mendesis lirih sambil menggelengkan kepalanya kuat. Ia takut.
“Te, ini gue. Ayo, kita pulang ke rumah aja, ya? Ngga usah sekolah hari ini. Gue bakal bilang ke Mama untuk sampein ke Kepsek.” Jimin berbisik sambil membantu Taehyung berdiri.
Dengan kedua kaki yang lemas, Taehyung akhirnya berdiri dan mengangkat kepalanya. Matanya sudah memerah dan bengkak, hidung Taehyung yang mancung sudah merah. Pipinya basah seperti saat ia sedang berenang.
Taehyung maju beberapa langkah dan menghampiri Bogum. Ia merasa kasihan pada dirinya sendiri—membiarkan bocah kecil seperti Bogum menyaksikan Taehyung menangisi seseorang yang tidak pantas ditangisi.
Namun Taehyung memberanikan diri sambil menyentuh dada Bogum dengan telunjuknya.
“I wish I never met you, Bogum. Hate is a strong word. But God only knows how much I hate you now and how strong it is. Bye, Thank you for the lesson learnt. Aku bersyukur Tuhan baik—menyadarkan aku sekarang bahwa cinta itu tidak sederhana. Dan jangan pernah mudah percaya pada siapapun.
Bye for good. I hope karma will strike you soon.”
Taehyung dan Jimin akhirnya meninggalkan Bogum yang sedang menganga. Tidak menyangka bahwa Taehyung akan menamparnya dengan kata-katanya.
Mereka semua tidak sadar, ada sepasang mata yang sudah menyaksikan kejadian itu semua, pagi ini, dari balik pilar gedung SMP.
—