poetlady

May 27 — New Things.

Kehidupan Taehyung sebelum mengenal lebih banyak orang memang membuat dirinya selalu membatasi diri antara 'kenal' dan 'teman'.

Ya, seperti yang Jimin selalu tahu.

Entah, batasan yang dimiliki Taehyung tidak jarang membuat dirinya lebih beruntung.

Hm, coret. Bukan beruntung; namun positif. Seperti ada nilai plus yang ia dapatkan setiap kali ia menegaskan perbedaan antara keduanya.

Taehyung melihat Seojoon seperti seseorang yang ia hanya kenal, beberapa hari lalu.

Sebelum pada akhirnya, sang kapten futsal seperti memberikan sedikit 'pencerahan' pada ide cemerlang Taehyung yang terlalu kompleks untuk dikemas menjadi satu hal yang sederhana.

Hal yang membuat Taehyung pada akhirnya mengajak Seojoon dan teman-temannya untuk makan siang bersama.

Spontanitas Taehyung dalam melakukan dan memutuskan suatu hal pun menjadi salah satu concern Jimin selama ini. Sahabatnya itu termasuk salah satu orang yang akan gerak cepat, namun akan ada perasaan menyesal pada akhirnya.

Tapi tidak hari ini. Taehyung merasa, ide ini adalah keputusan yang tepat. Menurut dirinya, salah satu langkah awal untuk melihat; apakah ia siap berteman dengan Seojoon, adalah dengan mengundangnya makan siang.

Ya, sekaligus terselip rasa terima kasih karena sudah membantu Taehyung mengurai benang kusut di dalam otaknya.

Tidak ada salahnya, 'kan, mencoba peruntungan dengan seperti ini?

Sejujurnya, Taehyung merasa 'keberadaan' Seojoon sehari-hari seperti reminder yang berbunyi terus-menerus dari dalam buku diary-nya.

Seperti memanggil Taehyung untuk terus menoleh ke belakang.

Pada Bogum—yang sebenarnya jika Taehyung cepat menyadari, dua individu ini memiliki kesamaan yang cukup banyak.

Apa... itu sebabnya Taehyung sempat hampir menaruh hati pada kapten futsal itu?

Ia tinggi, sama seperti Bogum. Ia baik, sama seperti Bogum. Ia bertalenta, sama seperti Bogum. Ia adalah kapten suatu klub di usia yang cukup muda, sama seperti Bogum.

Kesamaan yang menurut Taehyung sudah lebih dari cukup dan hampir membuatnya mual.

Sampai kapan ia harus memikirkan Bogum pada setiap perasaan yang akan tumbuh dalam hatinya?

Walaupun rasa itu hanya secercah; namun itu adalah suatu permulaan, bukan?

Tak kenal maka tak sayang, kata orang. Well, bukan 'sayang' secara literal yang Taehyung ingin rasakan pada Seojoon. Ia hanya ingin tahu, apakah perasaannya beberapa waktu lalu adalah hanya kagum semata.

Atau memang, perasaan itu memang ada?

Entahlah. Taehyung merasa, hari ini adalah waktu yang tepat untuk menemukan jawabannya.

Taehyung akhirnya sendirian dengan Seojoon dan ketiga temannya yang ikut hadir. Jimin dan Hoseok mengabari kalau mereka tidak bisa menemani; pun juga Jeongguk yang terlihat sibuk dan memutuskan akan menjemputnya seusai makan siang.

Ia berharap semoga dirinya tidak akan merasa canggung.

Taehyung sudah terlebih dahulu menelepon restoran beberapa jam lalu untuk reservasi tempat. Hari ini restoran cukup ramai; maklum, restoran ini adalah salah satu pilihan baru untuk para siswa di sekitar lokasi yang rela spending untuk makanan yang enak.

Bagaimana Taehyung bisa tahu? Well, hanya bermodal sosial media dan papan mading di sekolah yang tertempel pamflet mengenai restoran korea baru yang menawarkan diskon gila-gilaan.

Walaupun sudah habis masa diskon itu, tapi Taehyung dihantui rasa penasaran.

Bagi Taehyung, di dunia ini hanya ada makanan yang 'enak' dan 'enak sekali'.

Dan ia akan membuktikannya sebentar lagi.

Seojoon datang bersama Wooshik dan Hyungsik; Taehyung mengenal keduanya. Mereka bertiga bersahabat dengan Minho—yang tidak bisa ikut. Saat Seojoon menjelaskan, Taehyung hanya mengangguk sambil ikut memilih makanan.

Taehyung melihat empat sekawan itu dan seketika teringat akan Jeongguk dan para sahabatnya.

Mereka semua terlihat sama, batin Taehyung sambil terkekeh.

Sesudah memesan, Taehyung akhirnya membuka pembicaraan. Ia tidak lupa terlebih dahulu mengucapkan terima kasih pada Seojoon karena telah membantunya.

Seojoon dengan sigap menjawab sambil tertawa; berkata bahwa Taehyung tidak perlu berterima kasih. Menurutnya, ide yang ia berikan semalam tidak begitu signifikan dalam keputusan Taehyung.

Menurut Seojoon, Taehyung pasti akan secara tiba-tiba menyadari akan hal itu tanpa bantuan Seojoon. Yang selanjutnya membuat Taehyung sempat mendengus, karena ia merasa Seojoon sangat menolongnya dengan 'memancing'nya.

Pada akhirnya, Seojoon mengalah dan menerima ucapan terima kasih Taehyung.

Selang beberapa menit setelah mereka memesan, Seojoon terdengar memanggil seseorang bernama... entah, Peakboy?

Laki-laki itu mengenalkan diri pada Taehyung dengan nama itu; yang menurut Taehyung terdengar keren sambil mengangguk paham. Mungkin laki-laki itu tidak mau memberitahu namanya?

Topik yang mereka bicarakan tidak ada habisnya. Taehyung seperti menemukan bubble baru di luar bubble yang ia miliki.

Taehyung merasa senang—ia merasa diperkenalkan pada dunia baru?

Karena sejujurnya, pembicaraan yang mereka miliki saat ini sangat berbeda dengan yang ia miliki dengan Jimin, Hoseok, maupun Jeongguk.

Dirinya dan teman-teman Seojoon membicarakan genre musik favorit masing-masing; film dan series baru di Netflix yang belum ditonton oleh satu sama lain; tempat favorit Seojoon dan para sahabatnya yang selalu dikunjungi saat liburan; cita-cita mereka kedepan; dan masih banyak lagi.

Taehyung merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Ia pun merasa seperti mengetahui hal-hal baru dari mereka.

Is it a sign for Taehyung to consider them as 'friends' already?

Tak terasa sudah berapa menit melamun, Taehyung merasakan seseorang memegang pundaknya pelan sambil mengagetkannya.

“Hoi, Taehyung. Lo ngapain ngelamun, deh? Pembicaraan kita ngebosenin ya?” Seojoon bertanya dengan nada bercanda sambil menuangkan ocha dingin ke gelas miliknya dan meminumnya dengan sekali tegak.

Taehyung melihat teman-teman Seojoon seketika menoleh serempak. Ia jadi tidak enak hati. Tidak ada sedikit pun rasa bosan; ia hanya sedang memikirkan beberapa hal.

“Eh, ngga kok ngga. Sori, sori. Gue keasikan mikir sesuatu aja. Tapi gue denger kok daritadi. Instead, gue seneng banget sama pembicaraan kalian.” jelas Taehyung sambil menyunggingkan senyum kotaknya dan menyumpit kimchi yang ada di depannya.

Seojoon mengangguk sambil mengunyah daging bakar yang tadi ia jepit dengan sejumput nasi dan sambal oleh sumpitnya—terlihat seperti percaya dengan alasan Taehyung. Ia lalu melanjutkan obrolannya dengan teman-temannya.

Sementara Taehyung sesekali ikut tertawa dan turut berceloteh dalam obrolan teman-teman barunya ini.

Yes, Taehyung considered them as friends already.

Setelah membayar bill makan siang hari ini—yang masih affordable untuk Taehyung—dan ia tidak menyesalinya sama sekali, akhirnya mereka berempat keluar dari restoran itu dengan hati senang dan perut kenyang.

Taehyung pun merasa lega—dengan ide awal mengajak Seojoon dan teman-temannya sebagai tanda terima kasih; berakhir dengan mendapatkan teman baru untuk dirinya.

Bersyukur. Satu hal yang selalu Taehyung ingat.

Seusai mengabadikan momen makan siang mereka dengan berfoto di depan restoran, akhirnya teman-teman Seojoon mengucapkan terima kasih pada Taehyung sekali lagi; lalu akhirnya terlebih dahulu pamit pulang.

Taehyung mengiyakan; pun Seojoon. Ia sempat menginformasikan pada kapten futsal itu bahwa Jeongguk akan menjemputnya sebentar lagi.

Mendapat respon anggukan dari Seojoon dan jawabannya setelahnya bahwa ia akan menunggu Taehyung sampai bertemu dengan Jeongguk, Taehyung hanya mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih.

Matahari siang ini tidak terlalu terik, pun tidak mendung. Jalanan di depan restoran itu tidak seramai biasanya; hanya ada beberapa kendaraan yang terlihat berlalu-lalang. Mereka berdua duduk di kursi kayu yang terletak di teras restoran sambil menunggu Jeongguk.

Taehyung merasa ini waktu yang tepat untuk memulai pembicaraan dengan Seojoon.

“Hmm, Seo, thanks ya by the way, udah mau terima ajakan gue untuk makan-makan sederhana siang ini.” Taehyung memulai pembicaraan sambil merasakan kedua telapak tangannya basah.

Taehyung merasa gugup. Hell, mengapa ia gugup?

Seojoon yang berada di sampingnya seketika menoleh kearahnya dan memberikan tatapan teduh.

“Hei, stop saying that. I already accepted your 'thank you's, Taehyung, it's not a big deal.” jelas Seojoon setelahnya.

Mendengarnya, Taehyung hanya mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke arah jalanan. Belum sempat ia membalas Seojoon, individu di sampingnya menimpali lagi.

“You know, Taehyung, I thought you were only inviting me, without my friends. Tapi... gue terlalu berharap, ya?” Pertanyaan itu terdengar retoris—namun tulus—keluar dari mulut Seojoon. Taehyung tidak menemukan nada mengejek sama sekali di sana.

Ia merasa sekujur tubuhnya kaku. Taehyung tidak menyangka Seojoon akan secara terang-terangan dan tanpa tedeng aling-aling membicarakan hal ini.

Ia menoleh, mengernyitkan dahinya, dan membalas, “Huh, maksudnya, Seo?” Taehyung berharap, nada pertanyaannya tidak akan membuatnya seperti seorang yang bodoh. Karena ia tahu persis apa yang dimaksud oleh Seojoon.

Seojoon hanya terkekeh dan menggesekkan kedua telapak tangannya di pahanya; ia terlihat seperti gugup dan takut akan salah bicara?

“Nggak, gue kira... lo bener-bener akan ngajak gue aja, karena... entah? Back then, I thought our feelings were mutual? Sebelum akhirnya gue ngeliat betapa lo memancarkan rasa 'sayang' lo yang begitu kuat ke Bang Jeongguk hanya lewat mata, Taehyung.”

Taehyung terkejut bukan main. Jadi selama ini... Seojoon menyimpan rasa padanya juga?

Melihat Taehyung menatapnya horor, Seojoon buru-buru mengibaskan kedua tangannya di depan muka Taehyung sambil terlihat sedang menyusun kata-kata.

“Eh, jangan salah paham dulu ya, Taehyung. Let me explain,” katanya sambil menghela napas, sebelum melanjutkan kata-kata yang akan keluar dari mulut Seojoon—sesuatu yang Taehyung belum tahu akan siap mendengarnya atau tidak.

“Waktu itu, Taehyung, awal-awal sekolah, gue liat lo, kayak... wow, he really outshined everything else. Lo kayak..., stand out diantara temen-temen kita yang lain? Dan lo bersinar, and yes you still are.

“Pertama kali gue liat lo tuh waktu lo lagi duduk di pojok lapangan karena lo keliatan kecapekan. Lo lesu. Ngga bersinar kayak pagi gue liat lo. Gue mau nyamper—well, padahal gue belum kenal lo, tapi kayak gue pengen bantuin?

“But then, someone came, and that smile—those eyes of yours, told me that he must be someone special. Ngga tau, apakah gue sotoy? Saat itu, gue ngga ngerti. Jadi gue kayak... wow, okay. Gue bakal merhatiin lo dari jauh aja, entah sampai kapan. Gue merasa pengen kenal lebih deket aja sama lo.”

Seojoon berhenti sebentar sambil mengedarkan pandangannya ke semua sudut, kecuali sepasang mata Taehyung. Ia tidak ingin terdengar menyedihkan.

Sedangkan Taehyung? Kerutan di keningnya cukup menjelaskan bahwa ia saat ini /sangat/ bingung. Apakah Seojoon benar-benar akan menjelaskan semuanya?

“Terus gue mulai cari-cari info tentang lo, tentang Jimin—sahabat lo, dan tentang Bang Jeongguk. Tadinya gue udah nyusun strategi macem-macem buat deketin lo. Walaupun ya... ngga oke sama sekali.

“Lo inget kejadian di kantin, Taehyung?” tanya Seojoon sambil menoleh ke arah Taehyung lagi.

Mata mereka akhirnya bertemu. Taehyung hanya bisa mengangguk.

“Well, Taehyung, I might be an outsider, but God, I myself could see how much you guys love each other, you know? Dan saat itu gue sama sekali belum memulai. Gue pikir, dengan gue nyusun rencana lebih matang, gue bisa akhirnya deketin lo.

“Yang, pada akhirnya, ya... gagal aja semuanya. Dan semakin kesini, gue sadar bahwa perasaan gue bukan suka ke arah romantically, ngerti, 'kan? Gue suka aja semangat lo, sifat lo—yang bisa buat orang banyak seneng dan bahagia. Hanya dengan adanya lo aja, lo udah bisa membuat orang begitu, Taehyung. Gue... kagum. But that's it, ngga lebih.”

Taehyung entah harus membalas apa. Ia bingung—bingung karena, ternyata selama ini Seojoon menyimpan rasa padanya dan ia tidak sadar?

Seojoon menyambung lagi dengan nada bercanda, yang untungnya membuat Taehyung tertawa setelahnya.

“Taehyung, dari gelagat lo, kayaknya lo bingung ya kenapa lo bisa ngga sadar sama perasaan gue?”

Ia hanya tertawa pelan dan mengangguk. Duh, kenapa daritadi gue hanya bisa ngangguk dan ketawa aja, umpat Taehyung dalam hati.

“Wajar, Taehyung. Karena, seseorang udah ada di hati lo dari entah kapan. Punya lahan sendiri di hati lo—yang lo sendiri ngga tau seberapa banyak orang itu lo sediakan tempat. Lo hanya belum sadar saat itu.

“Atau bahkan lo sebenernya udah sadar, tapi lo denial aja. Gue ngga mau sotoy, asli. Karena ini pertama kalinya kita ngobrol. Gue ngga mau crossing the line, it'll be so rude. Tapi gue hanya pengen ngasih insight buat lo aja, dari seorang outsider kayak gue.

“Jangan takut, Taehyung, dan jangan ragu, karena gue bisa liat gimana Bang Jeongguk juga sayang banget sama lo. Hell, I can even smell it. Wait, ew... kok jadi kedengeran aneh ya. Hahaha, tapi itu deh maksud gue.”

Seojoon tertawa, dan seketika Taehyung pun ikut tertawa. Individu di samping Taehyung ini seperti tahu bagaimana caranya mencairkan suasana.

Entah mengapa, Seojoon merasa lega; akhirnya memiliki keberanian untuk menumpahkan seluruh perasaan dan pikirannya pada Taehyung.

Taehyung pun sudah tidak lagi merasa perlu menjelaskan sisinya. Ia sudah tahu, Seojoon pasti mengerti.

Bersyukur, Taehyung tidak lupa akan hal itu.

Pembicaraan hari ini dengan Seojoon entah mengapa membuat Taehyung nyaman dan yakin akan perasaannya dengan Jeongguk.

Ia bersyukur hari ini seperti jackpot untuk dirinya; teman baru, ide baru, pengalaman baru, dan insight baru. Dan semuanya ada didalam seseorang bernama Park Seojoon—yang Taehyung ingin tambahkan sebagai salah seorang teman di hidupnya.

Tak lama kemudian, Taehyung mendengar deru mobil Jeongguk membuyarkan gelak tawa Seojoon dan dirinya.

Seojoon akhirnya berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya kearah Taehyung.

“So, friends?” tanya Seojoon menunggu Taehyung menjabat tangannya.

“Yes, of course. We are friends.” Taehyung menjabat tangan Seojoon erat dan tersenyum.

Flashback.

Hari ini hubungan antara Taehyung dan Bogum sudah terjalin tepat menginjak hari keenam. Huh, hubungan? Taehyung merasa sesuatu entah apa ini tidak dapat diartikan sebuah hubungan.

I am still in elementary school, for God sake. What do I expect, batin Taehyung.

Minggu pertama berjalan sejak surat yang menurut Jimin terlihat aneh—kata sahabatnya itu; seumur-umur dirinya membaca cerita pendek romansa sederhana pun, tidak ada kata 'deh' saat seseorang menyatakan perasaannya suka pada orang lain.

Yang tentu, Taehyung sama sekali tidak menggubrisnya.

Untuknya, surat itu sudah cukup menggambarkan jika Bogum pun memiliki perasaan yang sama.

Jimin hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar jawaban Taehyung. Ia tidak habis pikir, apa sih yang dilihat Taehyung dari seorang Bogum?

Saat pertama kali Taehyung membaca surat itu, ia sedang ada di rumah; baru saja menginjakkan kaki di kamarnya. Saat membuka tasnya untuk mengeluarkan buku pelajaran, ia melihat secarik kertas putih yang kelihatannya dirobek asal dari sebuah binder, terselip diantara kotak pensil dan baju gantinya.

Taehyung bertanya-tanya, kertas apa ini? Ia memang sering merobek kertas binder yang ia pakai sebagai kertas corat-coret saat pelajaran Matematika. Namun Taehyung tidak pernah menyimpannya. Otomatis akan selalu ia buang saat pelajaran usai.

Dan hari ini, Taehyung tidak membawa bindernya ke sekolah.

Ragu-ragu, ia menarik kertas putih yang dilipat hingga berukuran kecil itu dan membukanya. Ia tidak mengenal gurat tulisan ini; namun terpancar sorot bahagia dan senyum yang lebar di wajahnya. Taehyung rasanya ingin melompat-lompat di atas kasurnya.

Yang, Aku mau, deh, jadian sama kamu. Maaf ya pake surat. Aku malu. Hehe. Jadi… kita udah resmi pacaran nih?

Bommie

Yang? Huh, such a romantic person. Taehyung suka dengan panggilan itu. Dan Bommie. Bogum menggunakan nama panggilan Taehyung dan membubuhkannya dalam surat ini.

Ah, rasanya ingin terbang ke langit ke tujuh! teriak Taehyung dalam hati.

Buru-buru Taehyung mengeluarkan buku diary nya dengan Jimin sambil berjingkat-jingkat diatas kasur. Tangannya gemetaran. Ini ya rasanya disukai oleh seseorang?

Namun tiba-tiba Taehyung teringat kata Papa beberapa minggu lalu saat ia menceritakan soal Bogum. Kala itu mereka sedang makan malam di rumah. Bunda dan Papa duduk berseberangan dengan Kak Yoona dan dirinya.

“Masih kecil tidak boleh pacaran, Taehyung. Kamu sebut teman dekat. Sekolah dulu yang baik. Kamu ini masih kelas empat,” yang dianggap angin lalu oleh Taehyung. Bunda hanya tersenyum, sedang Kakak terlihat penasaran dengan cerita Taehyung yang sedang kasmaran.

Mengingat hal itu, Taehyung mendengus. Ia mengesampingkan kata-kata Papanya. Hari ini adalah saatnya Taehyung bahagia. Papa tahu atau tidak, itu urusan nanti.

Taehyung segera mencari lem kertas di meja belajarnya lalu merebahkan tubuhnya di kasur dengan posisi tengkurap. Ia membuka buku diarynya lalu mulai menulis, senyum di wajahnya terlalu lebar hingga membuat kedua pipinya kram. Tak lama kemudian, Taehyung melumeri kertas itu dengan lem dan menempelkannya di halaman sisi kanan tulisan Taehyung.

Merasa puas dengan 'hasil karya'nya barusan, ia lalu mengeluarkan handphonenya dari saku celana dan mencari kontak Jimin. Taehyung harus menceritakannya pada sahabatnya itu mengenai hari ini.

Jimin harus tahu terlebih dahulu bahwa hari ini adalah hari yang akan ia ingat selamanya.

Seorang Taehyung yang duduk di kelas empat sekolah dasar itu sangat senang hari ini. Siapa sangka, kedekatannya dengan Bogum akan berakhir baik? batin Taehyung saat menunggu nada sambung telepon Jimin.

Seorang Taehyung itu pun tidak tahu, hari ini juga adalah awal dari segala keraguannya akan cinta.

Hari-hari Taehyung diisi dengan beberapa lirikan tajam dan mengejek dari teman-teman seangkatannya, seniornya, dan teman-teman Bogum. Kabar itu menyebar layaknya api dalam kebakaran. Beberapa kali Taehyung terlihat khawatir dan takut dengan omongan sekelilingnya.

Namun Jimin selalu memastikan bahwa ia akan selalu menjaga Taehyung. Seperti janjinya dulu.

Bogum adalah siswa sekolah menengah pertama; gedung sekolahnya berbeda dengan Taehyung dan Jimin. Membutuhkan waktu lima menit untuk sampai ke depan gerbang sekolah Bogum. Walaupun masih dalam satu komplek dan yayasan, tapi pihak sekolah memisahkan gedung mereka berjauhan.

Ke mana pun Taehyung pergi sendirian, Jimin akan selalu menemani sahabatnya di sampingnya. Pun dengan hari ini; Jimin menemani Taehyung untuk mengantarkan bekal yang ia buat tadi pagi. Dua potong sandwich a la Taehyung; dibuat dengan bumbu kasmaran—kata Taehyung, yang disambut oleh Jimin dengan memutar kedua bola matanya.

“Hei, adik manis,” panggil Bogum saat menghampiri Taehyung dan Jimin beberapa menit kemudian. Kelas Bogum terletak di lantai dua gedung sekolahnya. Terlihat santai, ada senyum yang memancar dari wajah Taehyung saat melihat Bogum melambaikan tangan dan tersenyum. Jimin lega, sahabatnya memiliki mood yang baik hari ini.

“Hai, Bommie. Ini aku ada sandwich buat kamu. Dimakan, ya. Kembaliin nya nanti siang aja. Kita... jadi pergi, 'kan, nanti siang?” tanya Taehyung sambil menyerahkan kotak bekalnya pada 'teman dekat' nya itu.

Bogum yang mendengar pertanyaan Taehyung mengambil kotak itu dari tangannya dan mengangguk santai. “Yes, nanti siang jadi. Kita jalan kaki aja, ya? Kan deket ini, dek.”

Taehyung menanggapi dengan anggukan yang terlalu kencang seperti boneka miniatur di dasbor mobil. Jimin khawatir sahabatnya ini akan sakit leher sebentar lagi. “Oke! Kalau gitu, aku balik ke kelas lagi ya, Bommie.”

Lawan bicaranya hanya mengangguk dan melambaikan tangan kemudian; ia akan kembali lagi ke kelasnya.

Taehyung tidak sabar menunggu sekolah hari ini berakhir.

Hari ini adalah hari kelima belas hubungan Taehyung dengan Bogum; yang menurut Taehyung jika disimpulkan dalam satu kalimat, hari ini cukup menyakitkan untuk ukuran seorang siswa kelas empat sekolah dasar.

Saat istirahat sekolah tadi, Taehyung melihat seorang siswa perempuan sedang dirangkul oleh Bogum sambil keduanya berjalan beriringan masuk ke arah kantin sekolah.

Sebenarnya, perasaan aneh didalam hati Taehyung sudah muncul sejak beberapa hari belakangan, karena intensitas mereka bertemu dan mengobrol sudah cukup jarang. Hanya sesekali. Itu pun Taehyung yang memulai pembicaraan.

Selain itu, gelagat aneh Bogum setiap kali sedang jalan dengan Taehyung terlalu kentara.

Namun Taehyung, dengan segala keras kepalanya, hanya menganggap itu biasa saja dan dibiarkan berlalu.

Mungkin Taehyung bisa saja berpikir bahwa siswa perempuan itu hanya teman; tidak perlu ada rasa sakit berlebihan yang menggelenyar didada Taehyung.

Jika tadi pagi Bogum tidak menginfokan bahwa ia tidak bisa ke kantin hari ini untuk menemani Taehyung makan siang.

Dan jika, Taehyung tidak mendengar Bogum memanggil siswa itu dengan panggilan “sayang”.

Tentu Taehyung tidak akan menangis di pelukan Jimin tadi siang dan akan menganggap semuanya baik-baik saja.

Taehyung sampai di rumah dengan disambut suara Bunda dan Papa terdengar sedang berdebat di ruang tengah. Ia tidak melihat Kakak; sepertinya masih belum pulang sekolah, batin Taehyung.

Taehyung menghela napas kasar. Bukan ini yang ingin ia dengarkan hari ini. Ia lelah, ia ingin segera berlari ke kamarnya dan tidur siang.

Namun Taehyung masih memperhatikan sopan santun dan tata krama sebagai seorang anak; memberi sinyal pada orang tua nya bahwa ia sudah sampai di rumah dengan menghampiri mereka.

Ia berusaha terlihat tidak tahu apa-apa. Taehyung dan poker face nya—turunan Bunda, kalau kata Papa.

“Pa, Bun, Tae udah pulang.” kata Taehyung yang seketika membuat perdebatan diantara orang tuanya itu berhenti; cara Taehyung yang selalu berhasil untuk meredam kilat emosi yang sudah sering ia dengar sejak beberapa bulan lalu.

Bunda yang tadinya terlihat menampilkan kerutan di keningnya, akhirnya menghela napas pelan dan menghampiri Taehyung. “Eh, anak Bunda udah pulang. Sana ganti baju dulu ya, sayang. Bunda lagi bicara sama Papa.”

Papa Kim terlihat mengambil duduk di sofa dan memijit tulang hidungnya. Wajah beliau terlihat kusut; lebih kusut dari Bunda.

Ada apa ya ini?

“Halo, Nak. Did you have fun today at school?” tanya Papa Kim pada Taehyung. Sedang anak laki-lakinya mengangguk cepat dan menyunggingkan senyum yang kelewat lebar di wajahnya. Senyum palsu.

“Yes, I had fun today, Pa. Thanks to Jimin and Bommie..., to be honest.” jawab Taehyung sambil melepas ranselnya dan menggoyang-goyangkan dengan kedua tangannya.

Papa Kim yang mendengar nama panggilan Taehyung untuk Bogum; wajahnya langsung menegang dan menatap Taehyung. “Hmm, okay. Teman dekat, 'kan, Taehyung?” Beliau menekankan kata 'teman dekat' untuk dimengerti oleh putranya.

“Once again, yes, Pa. Hanya teman dekat. Don't worry.” jawab Taehyung sekenanya.

Awkward, begitulah situasinya saat ini.

Maka setelahnya, ia pamit untuk beberes dan bersih-bersih diri sambil berjalan masuk ke kamarnya. Taehyung tidak lupa untuk pamit beristirahat karena hari ini cukup melelahkan.

Setelah Taehyung menutup pintu kamarnya, terdengar lagi samar-samar suara Bunda dan Papa di ruang tamu. Mereka hanya menggumam, namun Taehyung ingin tahu apa lagi topik yang membuat orang tuanya berdebat hari ini. Seperti makanan sehari-harinya dengan kakaknya.

Mengunci pintu terlebih dahulu supaya lebih aman, akhirnya Taehyung memberanikan diri dan menempelkan telinga kanannya di pintu.

Taehyung tahu ini tidak sopan, tapi ia ingin tahu apa yang menyebabkan Bunda dan Papa seperti tidak menemukan jalan tengah dari perbincangan mereka.

”...I told you long before, Seo. Aku akan pindah ke Jepang untuk urusan bisnis. You can come with Taehyung. Itu akan membuat segalanya lebih mudah.” Taehyung mendengar Papanya memulai pembicaraan dengan nada frustrasi.

“I know, but not like this! Are you really trying to rip this family apart? You can't take Yoona with you. Kamu tidak bisa memaksa dia. Hell, she can choose whatever she wants! She's an adult now, you can't force her to go with you just because she looks like she wants to.” Bunda membalas dengan nada yang cukup tinggi.

“Dan kamu tidak seharusnya memberitahukan ini mendadak layaknya kita hanya sekadar vacation ke Jepang. Taehyung sudah nyaman di sini dengan lingkungannya dan teman-temannya, pun dengan Yoona dan sekolahnya sekarang. Dia sebentar lagi akan lulus SMA, Kim. Ini semua terlalu mendadak dan tanggung.

Selain itu, kamu tidak consult ke aku dan anak-anak. Itu yang aku tidak suka. We are husband and wife, for God sake. We should talk like others do. Ini kamu sebetulnya terlihat seperti memberi pengumuman dan semua keputusan sudah final.” Bunda melanjutkan sambil menghela napas kasar.

Taehyung meringis mendengarnya.

Jepang? Pindah? Ada apa ini? Kak Yoona akan ikut?

Huh? Apa yang sebenarnya orang tuanya bicarakan?

“Yoona already said she agreed to move to Japan. And I am /not/ trying to rip this family apart. Like I said, kita bisa pindah sekeluarga ke Jepang. And I know Taehyung will agree with me since Japan is his dream.”

Bunda terdengar kaget. “Yoona already agreed with this? Since when?”

Tidak hanya Bunda, Taehyung pun kaget bukan main. Ada apa sebenarnya? Mengapa pembicaraan ini terdengar seperti petasan yang hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak?

Taehyung tidak mendengar Papanya menjawab, karena tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya bergabung dengan suara orang tuanya.

Ia ingin sekali mendengar jawaban Yoona tentang hal ini.

“Pa, Bun, stop! Bukannya Papa bilang akan membicarakan ini sama Bunda dengan kepala dingin? Kenapa ini malah terdengar seperti perang?” tanya kakak perempuan Taehyung dengan nada marah.

Yoona sudah lelah dengan perdebatan non-stop antara kedua orang tuanya. Taehyung hanya tahu sedikit, sedang Yoona yang berjarak delapan tahun lebih tua dari adiknya, sudah menyaksikan pertengkaran kecil sejak dirinya masih duduk di bangku SMP.

Adiknya itu masih kecil saat pertama kali Yoona mendengar perdebatan antara Bunda dan Papa.

“Bun, I apologise, but yes, my decision is final. I already agreed because Pap said he would consult and talk to you first before he decided—yet clearly we both know he didn't and I'm disappointed.

“Yoona akan ikut Papa ke Jepang. Tapi ini bukan berarti Yoona setuju dan mendukung semua sikap Papa ke Bunda, Bun. Tidak.” jawab kakak Taehyung dengan nada tenang namun tajam.

Taehyung kaget. Apa Kak Yoona akan benar-benar membeberkan perasaannya selama ini pada orang tuanya? Apa Taehyung harus keluar dari kamar sekarang?

“Yoona, sayang, what are you talking about?” tanya Bunda dengan suara bergetar. Taehyung tahu persis, Bundanya sebentar lagi akan menangis. Sedang Taehyung tidak mendengar sepatah kata pun dari Papanya.

Kakaknya terdengar menghela napas kasar sebelum menjawab pertanyaan Bundanya.

“Bunda, maaf kalau Yoona lancang, tapi Bun, I heard you crying at nights. Not always, but I often did. And it hurts me, Bun, it does, karena Yoona tahu itu adalah karena Bunda capek. Physically, karena pekerjaan Bunda yang sedang gila-gilanya—which I am very proud of you. And, mentally as well.

“Yoona tidak mau terlalu dalam; Yoona tahu Yoona mungkin keterlaluan karena selalu tidak sengaja dengar Bunda dan Papa bertengkar, tapi Pa, Bun, yang Papa dan Bunda tidak tahu... it affects us, too. Taehyung and I both.

“Jadi, Pa, tolong, atas nama Yoona dan Taehyung, bicarakanlah baik-baik dengan Bunda. Apa yang menjadi masalah kalian, apa yang menjadi keluh kesah kalian. Because you both used to talk about that. Tapi sekarang, dengan Papa dan Bunda yang sama-sama sibuk dan hanya bertemu saat malam hari, menurut kacamata Yoona, kalau terlalu lama dibiarkan, akan berimbas ke keluarga ini.

“Yoona sudah umur segini, sudah paham dan berusaha untuk memaklumi. Tapi, Bun, Pa? Taehyung masih kecil. Yoona sudah cukup terimbas, Yoona mohon jangan Taehyung. It will bring bad memories for him.”

Papa Kim yang sedari tadi hanya diam, akhirnya buka suara. “Yoona, you are right. I should talk to your Mom alone. And I am sorry if this issue between us is affecting you and Taehyung already. Sebaiknya Bunda dan Papa harus—”

Kata-kata Papa Kim terputus saat melihat Taehyung sudah keluar dari kamarnya dan menangis. Kedua mata Taehyung merah, pun hidungnya, dengan pipinya yang sudah basah oleh air mata yang tidak dapat dibendungnya.

Kakaknya terbelalak, Papa Kim segera berdiri dari duduknya, dan Bunda terlihat sudah menangis dengan menutup mulutnya. Mereka bertiga tidak menyangka Taehyung tidak pergi tidur siang hari ini.

“Taehyung, Nak, katanya kamu mau tidur...” ucap Bunda sambil mendekat ke arah Taehyung. Anak laki-lakinya hanya berdiri diam di tempatnya sambil terus menangis.

“I heard. All of it. And I- I don't know what to say, b-but I agree with Kak Yoona...” kata Taehyung terbata-bata.

“Why it has to be Japan, Pa? And why it has to be /now/? You know I won't hesitate to agree.

“But, why? Apa Papa tidak bisa menunggu? Menunggu barang dua tahun untuk aku bisa settle semuanya dari sekolah? I know I sound selfish, but, I guess you don't even consider it at all. You never care about my feelings anyway.”

Bunda terlihat kaget, tidak terkecuali kakaknya. Mereka seperti ingin bicara saat ia melihat wajah Papa dan mengurungkan niatnya.

Papa yang mendengar kata-kata Taehyung terlihat kaget, dan spontan, kilat emosi terlihat di wajahnya. “Taehyung, jaga bicaramu!”

Taehyung meringis mendengar nada bicara Papanya yang meninggi. Ia lalu menunduk dan memainkan jari-jarinya. “I apologise, Pa, tapi sepertinya Bunda setuju dengan Taehyung. Entah setuju bagian mana, tapi Taehyung tahu Bunda setuju.”

Papa terlihat mengambil napas panjang sebelum memulai bicara. Beliau terlihat emosi; terpancar dari wajahnya, namun Taehyung melihat sorot sedih ikut muncul dari kedua matanya.

“I do care about your feelings, Taehyung. You are my only son. Tapi kamu masih kecil. Papa tidak bisa berbicara dengan kamu layaknya kamu sudah besar seperti kak Yoona. Lagipula, kamu akhir-akhir ini terlalu fokus dengan cinta monyetmu yang Papa yakin itu mengganggu proses belajarmu.

“Cinta tidak ada yang sederhana, Taehyung. Dan kamu butuh untuk dewasa dahulu baru tahu tentang cinta. Papa tidak mau proses belajarmu diganggu oleh selingan tidak jelas. And you're still young, Nak. Papa takut, cinta itu akan membuatmu sakit nantinya. Kamu masih kecil, kamu anak baik, Papa tidak mau bahagia kamu hancur nantinya hanya karena cinta monyet.”

Taehyung betul-betul mendengar kata-kata Papanya dengan jelas. Semuanya langsung masuk ke telinga kanan Taehyung menuju otaknya. Ia berusaha untuk menutup jalur masuk ke otaknya rapat-rapat.

Karena entah mengapa, Taehyung memikirkan kejadian Bogum tadi dan kata-kata Papanya barusan.

Cinta tidak ada yang sederhana, Taehyung.

”...so I decided to choose Japan—your dream goal, so you can come with us and move, so that you can end whatever your relationship is with that Bogum kid. I just don't want you to get hurt.”

Taehyung rasanya dihantam oleh ombak besar dan menyeretnya serta. Kata-kata Papanya bagaikan tamparan bagi Taehyung; berusaha untuk memberi prediksi bahwa semuanya dengan Bogum akan berakhir buruk.

Tubuhnya merosot, ia kembali menangis. Kedua mata Taehyung buram. Apa ini alasan Papa sebenarnya sehingga ia dapat ikut serta ke Jepang? Apa ini hanyalah pancingan untuk mempengaruhi Taehyung agar mengakhiri hubungan apapun itu dengan Bogum?

Cintanya berlangsung hanya sebentar, namun ia merasa hidup. Taehyung bahagia, ada yang menyukainya dan menyimpan rasa padanya. Tentu Taehyung mengedepankan kasih sayang dari Bunda, Papa, dan kak Yoona.

Tapi, apa itu cukup?

Taehyung bahagia ada di sini; bersama dengan teman-temannya, dengan rumah—di kota kelahirannya. Dengan Jimin. Ia tidak bisa serta merta menyetujui ajakan Papanya untuk pindah ke Jepang hanya karena negara itu adalah impiannya sejak dulu.

Taehyung... tidak bisa. Ia tidak rela meninggalkan apapun yang sudah ia miliki di sini. Ia tidak ingin meninggalkan Jimin. Ia tidak mau berpisah dengan sahabatnya, dan tentu juga dengan Bogum.

Ia masih tenggelam dengan angan-angannya sambil samar-samar terdengar suara Bunda dan Papa berdebat lagi. Kak Yoona ada di samping Bunda; menahan Bunda agar tidak menangis lagi.

Taehyung saat itu tidak tahu, apa alasan sebenarnya Papa mengajak mereka semua untuk pindah ke Jepang. Hanya Papa yang tahu. Namun Taehyung menerka, sepertinya semuanya ini berhubungan dengan karir Bunda yang melejit bak roket.

Bunda adalah wanita karir yang bisa dikatakan pekerja keras; Bunda berdedikasi dengan pekerjaannya, dan Bunda bisa mengimbangi dengan tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri.

Namun sepertinya, Papa belum rela melihat Bunda bahagia dalam pekerjaannya. Papa adalah seseorang yang bisa dikatakan terlalu strict terhadap hidupnya sejak kecil. Terkadang keputusannya tidak bisa diganggu gugat, begitu pun dengan jalan pikirannya.

Maka Taehyung, dengan ceroboh dan tergesa-gesa, bangkit dari duduknya dan menghapus air matanya dengan kasar.

Taehyung harap, keputusannya—egonya, tidak akan menghancurkan keluarganya, atau apapun itu yang harus dipertahankan.

“I decided just now, that I won't go with you to move to Japan. I can stay here with Bunda. Japan can wait—dia akan selalu ada di sana. I will be there, someday. But not now, not anytime soon. I hope you can understand me, Pa. Taehyung permisi.”

Segera ia membalikkan badan, berlari ke arah kamarnya, membanting pintu kamarnya, dan menangis.

Menangis, menangis, hingga ia terlelap dan terbangun keesokan harinya.

Papa dan Kak Yoona pindah ke Jepang seminggu kemudian. Selama tujuh hari dihabiskan dengan mengurus beberapa berkas pelengkap untuk kepindahan mereka. Papa meminta pihak kantornya untuk mengurus semua dengan cepat; pun visa dan surat ijin tempat tinggal untuk mereka.

Taehyung tidak begitu mengerti dengan kelengkapan surat itu; beberapa kali mendengar Papa membicarakan via telepon dengan pihak kantornya, namun Taehyung tetap tidak paham. Mungkin belum saatnya ia mengerti.

Hubungan Papa dan Bunda tiba-tiba membaik, entah ada kesepakatan dan pembicaraan apa diantara orangtuanya, sehingga tidak ada derai air mata histeris saat Bunda dan Taehyung mengantar Kakak dan Papa ke bandara.

Hanya Taehyung yang menangis terlalu heboh karena ia akan berpisah dengan kakak perempuannya, entah sampai kapan. Berpisah dengan Papa juga, tentunya. Namun entah, ia masih teringat kata-kata Papanya minggu lalu.

Taehyung memeluk kakaknya terlalu erat; merasakan bahunya ditetesi air mata. Kak Yoona membisikkan kata-kata untuk menenangkan Taehyung. Ia menyesal bahwa tidak memberitahu Taehyung jauh hari. Namun kakaknya berjanji akan mengiriminya pesan dan bertukar kabar melalui telepon.

Saat Taehyung selesai memeluk kakaknya dan mengelus punggungnya turun naik, akhirnya ia menoleh kearah Papa yang sudah membentangkan tangannya untuk memeluk Taehyung.

Refleks, ia menghamburkan tubuhnya kearah orang yang dicintainya itu. Bagaimana pun juga, Papa adalah orang yang membesarkan Taehyung, batinnya.

“I am so sorry, Nak. I wish I could put my words better. Kamu baik-baik ya, Nak. I love you so much, Taehyung. Please don't hesitate to contact me if something happens. Anything.

“You're my son, I am so proud of you. Jangan menganggap permintaan Papa akan expired soon, ya. It'll never be expired. I will always welcome you there if you somehow change your mind, Taehyung.

“Jaga Bunda ya, Nak. I know you will.”

Taehyung sudah menangis di dekapan Papanya sejak ia memeluk beliau. Perasaan khawatir menggerayangi seluruh tubuh Taehyung.

Ia takut, apakah keputusan yang ia ambil sudah benar?

Ia tidak tahu. Namun sejak Taehyung memutuskan seminggu lalu, ia tidak pernah berhenti berdoa dan berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Papa dan Kak Yoona berangkat ke Jepang dua hari lalu. Entah mengapa, ia merindukan keduanya. Tinggal dengan Bunda didalam rumah yang sebesar istana—kata Jimin, membuat dirinya kecil.

Taehyung merindukan 'keluarga utuh'nya.

Hari ini adalah hari Senin, awal dari minggu yang baru untuk Taehyung. Tidak ada lagi pelukan hangat namun firm dari Papa yang selalu melepas dan menyambutnya setiap hari ia bertolak dari dan ke sekolah. Tidak ada celotehan Kak Yoona menceritakan hari-harinya di SMA.

Keduanya baru pindah dua hari lalu dan ia sekarang sudah menyesali keputusannya.

Namun Taehyung tidak dapat memungkiri; Bunda terlihat seperti bernapas kembali. Senyum Bunda kembali merekah seperti beberapa bulan lalu.

Ibarat bunga di sebuah taman, Bunda adalah setangkai bunga yang terlalu lama tumbuh dibawah payung dan tidak mendapatkan sinar matahari. Ia layu.

Dan akhirnya, sinar itu menyentuhnya kembali.

Taehyung bersyukur akan hal ini.

Jimin melihat Taehyung berjalan kearahnya dengan langkah gontai. Sahabatnya itu sudah mengetahui cerita mengenai Taehyung dan keluarganya karena tiba-tiba pagi hari Jimin mendapat telepon dari Taehyung—full on crying mode.

“Hei, soulmate. Good morning. Feeling better?” sapa Jimin sambil merangkul Taehyung. Sahabatnya hanya menggeleng pelan dan menghela napas pelan.

Jimin yang melihat Taehyung terlalu lesu itu segera mengelus pelan kepalanya dan berbisik. “Everything is going to be okay, Te. Ada gue. Ada Bunda. Ada Bogum...? Jadi jangan khawatir, ya.”

Taehyung mendengar nama Bogum disebut oleh Jimin, hanya bergidik. Ia tidak tahu apakah keberadaan Bogum akan membuatnya lebih baik atau tidak. Ia tidak tahu, mungkin memang sebenarnya mereka lebih baik berteman?

Hubungan yang Taehyung pun tidak mengerti apa ini, masih terasa sebesar biji jagung. Dan rasanya... terlalu dini untuk disebut dengan cinta? Sepertinya ini adalah hubungan kagum dengan seseorang. Tidak lebih.

Taehyung yang sedang melamun sambil berjalan pelan beriringan dengan Jimin, dikagetkan dengan segerombolan siswa—yang iya yakin bukan dari teman-teman dan seniornya di sekolah dasar—menghentikan langkah mereka berdua.

Mereka seperti... mencegat mereka? Aneh.

“Hai, Taehyung ya?” tanya seseorang dengan nada meremehkan.

Siapa mereka ini?

“I-iya. Kalian, siapa ya?” Taehyung membalas dengan takut-takut. Sedang Jimin seperti sudah waspada dengan sekeliling. Masalahnya adalah, mereka ini sekarang berada di tengah lapangan sekolah.

Apa yang akan orang-orang ini lakukan sepagi ini sebelum sekolah dimulai?

Belum seseorang itu menjawab, teman lainnya dari rombongan mereka tiba-tiba menarik tangan milik seseorang yang beberapa hari ini sedang ia pikirkan.

“Bommie...?”

Taehyung seperti tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba lidahnya kelu.

Apa yang Bogum lakukan di sini?

“Uh, can we talk, Taehyung? I don't think it can wait any longer.” kata Bogum pelan.

Taehyung mengangkat kedua alisnya heran. Huh, ada apa ini?

“Is that a secret or something? You can say it now, man. Sekarang aja.” Seorang teman yang lain menimpali. Nadanya seperti memaksa namun ada kesan mengejek dibalik itu.

Bogum terlihat menggaruk lehernya yang Taehyung tahu, itu tidak gatal sama sekali.

“Right here? Lo gila? Gue ngga mau mempermalukan Taehyung. Jahat lo.” Bogum terdengar defensif. Dan Bogum tidak pernah terlihat seperti itu saat dengan Taehyung. Seperti ada yang ia sembunyikan.

Itulah yang menyebabkan Taehyung buka suara.

“Iya, sekarang aja, Bommie. Ada apa? Aku dan Jimin harus ke kelas sekarang.” Taehyung berkata sambil mengecek jam di pergelangan tangannya singkat. Ia tahu, bel sekolah tidak akan berbunyi dalam beberapa puluh menit kedepan, namun ia sudah tidak sabar.

“E-euh... Taehyung, sepertinya, kita harus putus sampai sini aja?” Bogum berkata. Kalimat itu menggantung di udara.

Taehyung terbelalak. Lelucon macam apa ini? Mengapa ia harus mengatakannya didepan teman-temannya?

Apa selama tiga minggu ini hanya sebuah lelucon? Apakah ini adalah sebuah tamparan karena Papa mengingatkannya saat itu? Apakah Taehyung benar-benar se-desperate itu sehingga Bogum tega melakukan ini padanya?

Terlalu banyak hal yang terputar di otaknya, sehingga ia tidak sempat mencerna dan menyaring kata-katanya kemudian.

“Is this some kind of joke? What the—”

“It's not, Taehyung. Sebenernya, alasan gue nembak lo adalah sesimpel karena gue iseng aja. Dan to be honest, terpaksa. So yeah, actually, it's just some kind of trial for me.”

Some kind of trial? What /kind/ of trial?

“K-kamu bercanda, 'kan? Kamu pasti dikerjain sama teman-teman kamu. I-iya, 'kan?” Taehyung tidak bisa menyusun kata-katanya. Giginya terdengar menggeletuk. Dagunya bergetar.

Air mata Taehyung sudah meleleh, luber bersama dengan kekecewaan dan rasa malunya.

“Gue ngga bercanda sama sekali, adik manis.” Bogum menjawab, dengan penekanan pada akhir kalimatnya.

Terdengar suara cekikikan teman-teman Bogum di sekitar mereka. Taehyung tidak bisa melihat ke arah depannya. Kedua matanya sudah buram dengan air mata.

Jahat. Jahat sekali.

Taehyung tidak menyadari Jimin yang sedari tadi diam seribu bahasa sudah melepas tangannya dari lengan Taehyung dan berjalan kearah Bogum.

Jimin dengan kasar menarik kerah seragam Bogum. Ia marah dan emosi. Ia tidak peduli dengan beberapa siswa yang melihat mereka. Ia tidak peduli. Persetan dengan semuanya. Bogum dan teman-temannya sudah mempermalukan Taehyung—sahabatnya yang Jimin selalu janjikan akan melindungi, apapun yang terjadi.

Dan ia gagal. Buktinya ia telah lengah. Ia menyesal telah mengenalkan Taehyung pada Bogum waktu itu.

“Apa lo bilang?! Jawab, Kak! Lo udah gila. Masih kecil tapi kelakuan lo semua minus. Apa yang sahabat gue lakuin sama lo semua sampe lo semua tega kayak gini? Jawab gue!” Jimin berteriak, mengamuk tak keruan, sedang Taehyung hanya menangis sambil berjongkok.

Taehyung tidak sadar, ia sudah membasahi dengkulnya dengan air matanya sendiri. Ia tidak menyangka bahwa perasaannya akan dipermainkan dengan alasan 'terpaksa'.

Segala macam afeksi dan perhatian yang diberikan oleh Bogum selama tiga minggu ini... itu semua hanya kebohongan?

“Eh, apa-apaan lo. Lepasin gue! Kurang ajar lo jadi adik kelas. Mentang-mentang lo satu ekskul sama gue, gue ngga ada toleransi ya sama lo. Lepasin kerah gue!” teriak Bogum melawan Jimin.

Sedang teman-temannya hanya sibuk tertawa; ada yang hanya melihatnya, dan beberapa lainnya ada yang mengambil video kejadian ini. Jimin lalu melepaskan kerah seragam Bogum dan cepat-cepat menghampiri Taehyung.

Lebih baik ia mengurus Taehyung sekarang. Soal membalas Bogum dan teman-temannya, itu urusan nanti.

Taehyung merasakan kedua tangan menyentuh lengannya. Ia mendesis lirih sambil menggelengkan kepalanya kuat. Ia takut.

“Te, ini gue. Ayo, kita pulang ke rumah aja, ya? Ngga usah sekolah hari ini. Gue bakal bilang ke Mama untuk sampein ke Kepsek.” Jimin berbisik sambil membantu Taehyung berdiri.

Dengan kedua kaki yang lemas, Taehyung akhirnya berdiri dan mengangkat kepalanya. Matanya sudah memerah dan bengkak, hidung Taehyung yang mancung sudah merah. Pipinya basah seperti saat ia sedang berenang.

Taehyung maju beberapa langkah dan menghampiri Bogum. Ia merasa kasihan pada dirinya sendiri—membiarkan bocah kecil seperti Bogum menyaksikan Taehyung menangisi seseorang yang tidak pantas ditangisi.

Namun Taehyung memberanikan diri sambil menyentuh dada Bogum dengan telunjuknya.

“I wish I never met you, Bogum. Hate is a strong word. But God only knows how much I hate you now and how strong it is. Bye, Thank you for the lesson learnt. Aku bersyukur Tuhan baik—menyadarkan aku sekarang bahwa cinta itu tidak sederhana. Dan jangan pernah mudah percaya pada siapapun.

Bye for good. I hope karma will strike you soon.”

Taehyung dan Jimin akhirnya meninggalkan Bogum yang sedang menganga. Tidak menyangka bahwa Taehyung akan menamparnya dengan kata-katanya.

Mereka semua tidak sadar, ada sepasang mata yang sudah menyaksikan kejadian itu semua, pagi ini, dari balik pilar gedung SMP.

Waktu.

Jeongguk memasukkan ponselnya ke saku celana setelah menerima kabar dari Jimin bahwa semua sudah rampung. Ya, kemarin Jeongguk akhirnya meminta bantuan Jimin setelah mematangkan rencananya. Ia sudah tidak sabar; namun rasa gugup itu tetap ada. Pasalnya, yang ia persiapkan seluruhnya berhubungan dengan Taehyung.

Beberapa to-do-list milik Jeongguk akhirnya akan lengkap besok. Jujur, Jeongguk sudah mempersiapkan 'kado' yang ingin ia berikan untuk Taehyung sejak jauh hari. Jeongguk excited, namun ia hanya gugup.

Ini adalah kali pertama setelah akhirnya ia sadar bahwa ia sudah menyimpan rasa pada sahabatnya sejak berkenalan di mobil antar jemput kala itu.

Jeongguk rasanya mulas—terakhir ia merasa seperti adalah saat Jeongguk memutuskan untuk berbicara dengan Mamanya mengenai perasaannya pada Taehyung.

Taehyung adalah individu yang sangat Jeongguk sayangi beberapa tahun ini, setelah Mamanya.

Ia melamun sambil membayangkan beberapa skenario yang mungkin saja bisa terjadi dari detik ini hingga esok hari. Namun entah mengapa, Jeongguk bersyukur karena Taehyung tidak menyadari tingkahnya yang cukup aneh beberapa hari ini.

Oh God, things I do for him, batin Jeongguk.

Namun Jeongguk tahu, it's going to be worth it.

Because it's Taehyung, after all.

Acara hari ini hanya diisi dengan beberapa kegiatan olahraga yang diikuti oleh siswa kelas X dan XI. Siswa kelas XII—Jeongguk dan teman-temannya—hanya menyaksikan serunya kegiatan hari ini dari selasar lantai satu. Olahraga Voli dan Panahan hari ini dilakukan di stadion sekolah, karena lapangan upacara yang terletak di depan selasar kelas Jeongguk sudah dipenuhi dengan beberapa kru konser.

Jimin sebagai ketua panitia dari acara ini beberapa kali terlihat mondar-mandir dengan handy-talky di tangan kanannya dan botol air mineral di tangan kirinya. Sedang Taehyung terlihat mengobrol dengan salah satu kru untuk mengatur posisi alat musik pada panggung untuk penghujung acara esok hari.

Sekolah mereka termasuk beruntung; dapat mengundang grup band yang sedang naik daun saat ini, yaitu TXT. Para anggota band yang masih berumur 17 hingga 18 tahun ini sudah memiliki jam terbang yang tinggi. Mereka tergolong masih sangat muda tapi sudah memperoleh beberapa penghargaan di tingkat internasional.

Hoseok adalah salah satu panitia yang cukup 'berjasa' dalam lobi-melobi grup band TXT untuk tampil di acara sekolahnya; pasalnya salah satu anggota grup band tersebut adalah adik kandung dari Hoseok.

Kata sang adik beberapa minggu lalu saat Hoseok memberikan proposal acara sekolahnya kepadanya. “Buat lo apa sih Kak, yang nggak. Asal lo kenalin sama temen-temen lo yang asik itu, ya. Anggota Anak Ayam itu, loh.”

Yang dijawab dengan Hoseok dengan 'oke, tenang aja. Mereka pasti lebih heboh dan teriak-teriak kayak anak ayam beneran kalo bisa kenal sama lo semua'.

Waktu menunjukkan pukul dua siang tepat saat Taehyung pamit pada Jimin untuk pulang terlebih dahulu. Bagian tanggung jawab Taehyung untuk persiapan besok sudah rampung siang ini; untuk pengecekan terakhir akan dilakukan oleh anggota acara—yang dikontrol oleh Hoseok.

Berbekal izin dari Jimin, akhirnya Taehyung mengambil tasnya yang ia titipkan pada Jeongguk sejak pagi tadi untuk mengganti bajunya. Hari ini Taehyung membawa beberapa potong pakaian ganti. Supaya bisa gonta-ganti, Ggukie—katanya tadi pagi. Jeongguk yang mendengarnya hanya bisa tersenyum lebar.

Setelah perjalanan mereka yang memakan waktu sekitar satu setengah jam, akhirnya Jeongguk menghentikan mobilnya di pinggir pantai. Terbentang lautan luas yang berwarna biru jernih yang menyambut sepasang mata Jeongguk. Sudah lama ia dan Taehyung tidak ke sini. Ini adalah tempat favorit mereka berdua jika ingin hunting foto.

Hari ini suasana pantai tergolong sepi. Hanya ada beberapa mobil yang jarak parkirnya berjauhan dengan masing-masing kendaraan. Jeongguk memang memilih waktu di awal weekend agar bisa menikmati pantai dengan leluasa.

Beberapa kali mereka berdua ke sini hanya berakhir dengan keluhan Taehyung—karena ia tidak bisa hunting foto seperti biasanya.

Jeongguk membuka kaca mobil di sisi penumpang; membiarkan angin sepoi-sepoi menyapu pelan wajah Taehyung. Sahabatnya sejak tadi mereka bertolak dari halaman sekolah, sudah tertidur; ia terlihat kelelahan, dan Jeongguk membiarkan Taehyung memegang tangan kirinya selama perjalanan.

Sambil tangannya mengelus punggung tangan Taehyung, Jeongguk menyisir surai sahabatnya dan berbisik pelan.

“Sayang, hei, ayo bangun. Kita udah sampai.”

Taehyung yang merasa geli di pipi dan punggung tangannya perlahan membuka kedua matanya sambil mengerjap dan menguap. “Hmm, k-kita ada di mana, Ggukie?”

Jeongguk hanya tersenyum mendengar suara bantal Taehyung; suara khas sahabatnya saat bangun tidur. “Bangun dulu yang bener kamunya, biar keliatan kita ada di mana.”

Ngantuk banget gue hari ini kenapa ya, batin Taehyung, sambil mencoba membuka kedua matanya.

Namun, indra penciumannya terlebih dahulu bekerja. Taehyung yang sedang berbaring 135 derajat di kursi penumpang, refleks membelalakkan matanya dan terduduk.

“Ggukie?! Kok kita ada di pantai? Ggukie...” Taehyung menyunggingkan senyum kotaknya terlalu lebar. Ia terlalu senang dengan rencana spontan Jeongguk yang membawanya ke pantai.

Taehyung tidak tahu, sahabatnya sudah merencanakannya matang-matang. Sangking matangnya, ia takut rencananya akan berjalan tidak sesuai dengan yang ia inginkan.

Jeongguk yang mendengar antusiasme Taehyung dari nada bicaranya, akhirnya bisa bernapas lega. Satu rencana sudah berjalan sempurna, batin Jeongguk sambil memberi tanda ceklis pada to-do-list yang sudah ia hafal betul di otaknya.

“Hehe, aku udah pengen ngajak kamu ke sini dari lama. Kita baru sempat. Pakaian kamu ada yang cocok buat kita ke pantai, 'kan? Maaf ya, sayang, aku ngga bilang-bilang. Niatnya mau surprise kamu,” balas Jeongguk sambil menatap kedua mata Taehyung teduh.

What did I do to deserve someone like, him, God? tanya Jeongguk dalam hati.

Sahabatnya itu merespon dengan anggukan mantap sambil menyambar tas jinjingnya yang duduk manis di jok belakang mobil.

“Siap, dong. Aku dari kemaren udah nyiapin baju yang cocok untuk segala occasion. Sampe Bunda bilang, aku kok kayak mau photoshoot...” kata-kata Taehyung menggantung di udara saat melihat Jeongguk tertawa pelan sambil menggaruk lehernya.

Taehyung tahu pasti itu tidak gatal sama sekali.

“Kita beneran mau photoshoot, Ggukie?!”

Jeongguk meminta Taehyung untuk melepas alas kakinya saat berjalan di pesisir pantai. Supaya lebih terasa pasirnya, kata Jeongguk tadi. Taehyung mengangguk, lalu menjinjingnya di tangan kanannya. Sedang tangan kirinya berkaitan erat dengan jemari Jeongguk yang pas dengan jemarinya.

Beberapa kali mereka berdua berhenti di tengah-tengah pesisir pantai, sambil mengarahkan kameranya sana sini untuk mengambil beberapa foto. Langit hari ini cukup cerah dengan pencahayaan yang tidak begitu terik.

Taehyung lebih suka jika warna dari foto yang diambilnya cenderung hangat; tidak terang dan tidak juga sendu.

Sedangkan Jeongguk, beberapa kali memisahkan diri dari Taehyung untuk memotret sahabatnya dari jauh. Dengan kemahirannya mengambil foto dengan cepat, Jeongguk mengarahkan kameranya ke arah Taehyung.

Indah, begitu respon Jeongguk setiap kali membidik sahabatnya dari balik lensanya.

Taehyung yang terlalu asyik dengan dunianya tidak menyadari bahwa sedari tadi, Jeongguk hanya sibuk mengambil gambar dirinya.

Kebiasaan Taehyung dan Jeongguk saat meluangkan waktu berdua untuk hunting foto adalah tidak boleh melihat isi folder kamera satu sama lain. Entah, itu sudah menjadi janji mereka sejak dulu berbagi hobi dan kegiatan bersama.

Yang justru menjadi nilai plus dan suatu keberuntungan untuk Jeongguk hari ini.

Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk menyalurkan hobi mereka, akhirnya Taehyung dan Jeongguk berjalan sedikit ke arah batu karang yang terletak di mulut pantai. Taehyung ingat, ia pernah menandai batu tersebut dengan inisial mereka berdua. Ia tidak pernah memberitahu Jeongguk.

Menemukan posisi duduk di sisi yang agak landai agar bisa duduk dengan nyaman, Taehyung dan Jeongguk menggunakan sandal untuk menjadi alas duduk.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore saat mereka berdua akhirnya duduk dengan tenang; Taehyung yang menyandarkan punggungnya pada dada Jeongguk dan Jeongguk memposisikan dagunya pada puncak kepala Taehyung.

“Ggukie, aku kalau ke sini jadi inget waktu Bunda sama Papa memutuskan untuk divorce, deh.” Taehyung dengan menggumam, memulai pembicaraan dengan Jeongguk.

“Hmm, kenapa, sayang? Mind to share? Maaf kalau aku ngajak kamu ke sini, jadi bawa-bawa memori kamu.” Jeongguk mengelus pelan lengan Taehyung sambil sesekali membentuk circle oleh ibu jarinya.

Jeongguk jadi tidak enak hati. Betul kan firasatnya tadi, rencananya sepertinya akan berjalan tidak sesuai dengan keinginannya.

Taehyung menghela napas pelan sambil memegang jemari Jeongguk dan menautkan dengan jemarinya.

“No, Ggukie. Instead, I am grateful. Sepertinya, aku butuh closure. Aku akhir-akhir ini lagi kepikiran aja. Entah, jadi ingat beberapa tahun lalu waktu Papa mutusin untuk pindah ke Jepang tanpa aku dan Bunda.

“Waktu itu, alasan aku terlalu cetek. Aku tahu. Hanya untuk mementingkan ego aku sendiri. Tanpa aku tahu, sebetulnya saat itu seperti the tip of an iceberg.

“Kamu tahu, Bunda beberapa bulan lalu sempet nangis tiba-tiba. Aku waktu itu baru selesai mandi. Dengar Bunda nangis di kamarnya. Aku ngintip, Ggukie. Ternyata, Bunda lagi buka album foto kami sekeluarga dulu.

“Bunda bilang, beliau kangen sama Kak Yoona. Mau gimana pun, Kak Yoona itu masih putri dari Mama. Tapi, sejak memutuskan untuk pindah ke Jepang dengan Papa, hubungan kami semua jadi merenggang. Aku dan Bunda dengan Papa dan Kakak. Bunda yang terlalu sibuk dengan usahanya, aku terlalu sibuk dengan cinta monyet sialanku.”

Taehyung terdiam beberapa saat untuk mengatur napasnya. Ia tahu sebentar lagi ia akan menangis.

“Sebenarnya, aku dan Kak Yoona masih sering kontak waktu itu. Kak Yoona masih menyempatkan untuk ngehubungin aku sama Bunda. Tapi ngga dengan Papa. Entah, mungkin karena pekerjaan yang membuat Papa seperti itu? Dan ngga adanya support Bunda di samping Papa secara langsung, itu yang mungkin jadi pemicu.

“Sampai tiba-tiba Papa bertengkar hebat dengan Bunda, entah karena apa. Mungkin karena Bunda pun sibuk dan stres dengan kerjaan—yang saat itu lagi hectic, dan Papa yang butuh support Bunda. Kak Yoona udah ada pasangan. Aku yang lagi kacau dengan Bogum. Entah, semuanya melebur jadi satu.

“Aku... rasanya bodoh, Ggukie. Apa ya... aku merasa seperti penyebab dari semua ini? Keputusan aku untuk ngikutin ego aku dengan stay hanya untuk menuruti keegoisan aku—hanya karena cinta monyet sialan, yang sebetulnya pun hanya isinya kebohongan semua.

“Coba kalau aku ikut kata Papa; putusin Bogum saat itu juga. Aku sekarang ada di Jepang dengan Bunda, Papa, dan Kakak. Keluarga kita masih utuh juga sekarang. Ya, 'kan, Ggukie?”

Jeongguk berusaha memproses semua kata-kata sahabatnya itu. Ia hanya bisa membalas dengan menggumam pelan di telinga Taehyung.

Namun ia tahu, jawaban semu Jeongguk bukanlah tanggapan setuju.

“Tapi aku bingung, Ggukie. Ngga tau, ya, mungkin aku yang masih belum paham? Ada apa dengan Bunda dan Kakak, sampai setiap kali Bunda ditanya oleh kolega barunya di kantor, beliau selalu bilang, aku itu anak semata wayang Bunda. Aku... nggak paham? Bukannya Kak Yoona juga masih anaknya? Memangnya, Kakak dicoret dari kartu keluarga?

“Itu yang aku ngga tahu, Ggukie. Aku nggak mau Bunda hanya nganggap aku anaknya. Kakak itu masih darah daging Bunda; aku masih darah daging Papa. Tapi, aku mau protes rasanya ngga etis. Dan aku mau tanya pun sepertinya belum bisa. Bunda belum terbuka soal hal itu sama aku.”

Jeongguk merasakan punggung tangannya ditetesi butir air. Taehyung sudah menangis dalam diam. Tidak ada senggukan, tidak ada histeria seperti biasa saat Taehyung menangis.

“Sampai akhirnya, kemarin, Bunda ngajak ngomong aku. Bunda bahas Bogum, bahas Papa, bahas Kakak, dan bahas kamu. Aku masih memproses sampe tadi siang, jadi waktu kemarin kamu nanya aku, aku belum mau jawab.”

Taehyung menoleh sedikit ke arah Jeongguk; sahabatnya itu menatapnya dengan sorot teduh dari kedua matanya. Ia mengangguk dan mengecup pelan pelipis Taehyung—mempersilahkan sahabatnya untuk melanjutkan ceritanya.

“Bunda bilang, sebetulnya masalah Papa dengan Bunda sudah lama ada. Aku ngga pernah cerita ke kamu, karena aku pengen lupain semuanya. Dan itu terjadi saat aku belum kenal kamu. Semuanya terjadi begitu cepat, Ggukie.

“Bunda bilang, karena aku masih kecil, Bunda ngga mau cerita sama aku. Takut aku mengambil keputusan bodoh dan ceroboh. Waktu Bunda tahu aku ngga mau ikut Papa pindah ke Jepang, Bunda sebetulnya lega. Bunda bilang, beliau waktu itu butuh waktu sendiri untuk berpikir dan merefleksikan semuanya. Beliau bilang, mereka berdua butuh waktu. Tapi kebetulan, saat kakak diajak, kakak mau ikut.

“Dengan adanya 'pisah sementara' seperti itu, Bunda yang tadinya keliatan lesu dan stres, jadi keliatan lebih ceria, Ggukie. Dan aku kayak baru dikasih satu keping puzzle untuk jadi pelengkap dari semua teka-teki.

Gila ya, after all these years... akhirnya Bunda cerita soal the missing pieces tadi malem.”

Taehyung merasakan pelukan Jeongguk semakin erat. Seperti gestur menenangkan—kebiasaan Jeongguk saat ia ingin memastikan pada Taehyung bahwa semuanya akan baik-baik saja. Jeongguk tidak menanggapi sama sekali, namun Taehyung senang akan hal itu. Orang yang disayanginya ini selalu tahu bagaimana cara membuat Taehyung mengeluarkan semuanya.

“Tapi, Ggukie... kamu tahu? Aku tadi malem rasanya campur aduk. Di satu sisi, aku seperti nyalahin diri aku sendiri lagi karena kandasnya Papa sama Bunda. Aku kayak salah satu alasan kenapa kita semua sekarang mencar kayak gini. Itulah kenapa rasa trauma aku terlalu kompleks untuk aku share. Karena, that's my own shit.

“Kayak... apa ya Ggukie? Aku ngga bisa share apa yang ada di kepala aku. Padahal, rasanya udah penuh banget. Aku sampai ngga tau sebenernya yang aku pikirin sekarang itu apa. Karena kepalaku terlalu penuh. Does it make any sense?

“Aku rasanya butuh banget bantuan untuk mengurai benang kusut di kepala aku, dan juga hidup aku. Tapi aku tau, gimana pun juga, itu cuman aku yang bisa selesaiin.

“And I have been trying, selama ini. Jujur, baru kali ini aku mau cerita soal benang kusut ini sama orang lain. Semua keluh kesah aku, aku simpan sendiri. Aku ngga mau membebani Bunda, Jimin—apalagi kamu.

“Tapi Ggukie, kamu tahu? Dengan keputusan yang dulu aku ambil, aku jadi bisa ketemu kamu. Waktu kita ketemu di mobil antar jemput itu, aku kayak bisa bernapas lagi. Entah, aku punya firasat bahwa kamu akan jadi seseorang yang penting dalam hidup aku.

“Dan apa yang aku pikirin, itu bener. Aku sangat bersyukur. Mungkin terdengar aneh dan kontradiktif karena aku malah bersyukur—di saat yang sama, aku juga menyesali pisahnya Papa sama Bunda.

“Tapi setelah sekian lama, aku jadi bisa menepikan pikiran aku itu. Karena aku sadar, masalah Bunda dan Papa, itu bukan karena aku sama sekali.

“Sebuah hubungan itu, kalau dipaksakan, ibarat kamu berjalan diatas kerikil dengan nyala api. Kamu tahu kamu akan terbakar, kamu akan sakit, kamu akan luka; tapi tetap kamu lanjutkan. Mungkin itu lah jalan dari Tuhan; Bunda sama Papa pisah, supaya kita berempat baik-baik aja sampai sekarang.

“Aku ngga tau gimana jadinya kalau kita semua masih sama-sama. Mungkin akan lebih parah, mungkin akan lebih baik. Kita ngga ada yang tahu. Aku memilih jalan ini dengan terburu-buru, tapi aku akhirnya sadar kalau Tuhan pasti punya maksud di balik itu semua.

“Pada akhirnya yang aku bisa lakukan adalah letting go. Menyerahkan semuanya sama Tuhan untuk mengurai benang kusutku. Selama ini aku nyalahin diri aku terus. Aku capek sebenernya, tapi ya itu tadi, aku merasa bertanggung jawab sama semua 'sampah' ku, jadi ya... aku telen aja semuanya.

“Aku bersyukur punya kamu, Ggukie. Aku rasanya udah bisa pelan-pelan letting go. There's always be a rainbow after every storm. And you're my rainbow. After Bunda and Jimin.

“I am so grateful for you, Ggukie. Terima kasih masih mau bertahan dan menunggu aku selama ini.”

Taehyung tahu, ini lah saatnya untuk benar-benar meyakinkan Jeongguk. Tidak ada lagi ragu di dalam hatinya. Taehyung sudah mantap. Taehyung sudah punya jawabannya.

“I love you so much, Ggukie.”

Taehyung akhirnya menghela napas lega. Beban yang ada di hatinya dan pundaknya selama enam tahun ini akhirnya seperti terangkat. Air mata Taehyung pecah, bersama dengan ombak yang menabrak batu karang di mana mereka berdua duduk.

Ia bersyukur, akhirnya ia bisa rela membagikan isi hati dan otaknya untuk diketahui orang lain. Dan ia bersyukur pada Tuhan, karena Ia seperti menunjukkan, bahwa Jeongguk adalah yang selama ini ia butuhkan.

Suara tangis Taehyung seperti tidak terdengar, kala ia sebaliknya mendengar Jeongguk sudah menangis hebat sambil memeluk Taehyung erat. Pundak Taehyung sudah basah dengan bendungan air mata Jeongguk yang jebol bersamaan dengan pengakuan Taehyung tadi.

Taehyung dengan sigap membalikkan tubuhnya dan memeluk Jeongguk—menariknya dalam pelukan. Membisikkan kata-kata di telinga sahabatnya untuk menenangkan Jeongguk.

Jeongguk seperti dihajar oleh kenyataan yang bertubi-tubi bahwa selama ini, dibalik senyuman Taehyung, tersimpan banyak rahasia yang ia tutup rapat. Semua dikurung olehnya di dalam kotak dan dikuncinya rapat—tidak mau orang lain menemukannya, karena ia takut 'sampah' itu akan meracuni orang lain selain dirinya.

Berulang kali mengucapkan kata maaf pada Taehyung, yang hanya dibalas Taehyung dengan keheningan dalam pelukannya.

Namun Jeongguk tahu, ada ketulusan dibalik itu. Dan ada cinta.

Jeongguk butuh bernapas. Jeongguk merasa tenang didalam keheningan itu.

Dan Jeongguk akan berusaha sepenuhnya untuk bisa terus bernapas dengan Taehyung di hidupnya.

Kenangan.

Jimin melihat Taehyung yang sudah tertidur lelap di sampingnya dengan kedua mata yang sembab. Ia tahu sahabatnya habis menangis.

Keputusan Jimin untuk keluar dari kamar Taehyung tadi cukup tepat.

Karena ia tahu, Bunda dan Taehyung seperti akan membicarakan hal yang serius. Entah apa itu. Tapi ia yakin, pembicaraan tadi adalah tentang Jeongguk.

Seperti apa yang selalu ia pikirkan. Firasatnya tidak pernah salah.

Beberapa jam yang lalu saat Taehyung mengantar Jeongguk sampai ke depan rumah, Jimin terlebih dahulu masuk ke kamar Taehyung untuk membereskan barang-barangnya. Taehyung menyediakan nakas kecil hanya untuk pakaian dan barang-barang Jimin, sangking mereka berdua sering sekali inap-menginap di rumah satu sama lain.

Jimin sering menyebut bahwa rumah Taehyung adalah rumah kedua Jimin, begitu pun sebaliknya.

Maka betapa terkejutnya Jimin saat hendak mengambil pakaian bersih untuk ganti sehabis mandi, ia melihat buku diary milik Taehyung dan Jimin beberapa tahun silam tergeletak di atas nakasnya.

Kebiasaan Taehyung saat tengah membaca buku curhat ini, ia selalu menandainya dengan pembatas buku pemberian Jimin. Dan ya, pembatas buku itu terselip di halaman tengah.

Jimin mengernyitkan dahi. Untuk apa Taehyung membaca buku sialan ini lagi? Jimin tahu, semua rahasia mereka berdua tersimpan rapi di dalam buku ini. Hanya mereka berdua yang pernah membaca buku ini. Tapi Jimin tahu, buku ini hanya akan memicu kotak memori Taehyung kembali.

Belum sempat Jimin membuka halaman diary itu tepat dimana pembatas buku itu tersisip, ia mendengar suara langkah Taehyung mendekat ke arah kamarnya. Terburu-buru Jimin merapikan buku itu kembali dan segera berlari ke kamar mandi yang terletak di depan tempat tidur Taehyung.

Sekarang, dengan keadaan Taehyung yang sudah tertidur pulas akibat terlalu lelah menangis, perlahan Jimin menggeser tubuhnya untuk mengambil buku itu. Memutuskan untuk membacanya, akhirnya Jimin larut dalam jendela memori dirinya dengan Taehyung beberapa tahun silam.

8 Maret 2015

Taehyung <3 Bogum (hehehe, iseng ah bikin gini semoga terkabul XD)

Jimiii… He asked me out. AAAAHHH I feel like flying. Akhirnya… hmm tapi, apa bisa dibilang asked me out ya? Ah, pokoknya dia ngajak gue jalan-jalan besok. Jadi, gue besok gak pulang sama lo, ya. Hehehehe. Doain ya, Jim.

Love, Te.

PS: Plis jangan diingetin lagi soal kejadian waktu di SMP ya. He said sorry already.

Jimin menghela napas. Ia ingat kejadian ini, Taehyung benar-benar tidak mau mendengarkan penjelasannya tentang Bogum, sama sekali. Taehyung memang seperti itu. Sulit untuk jatuh cinta; namun sekalinya terjatuh, ia akan sulit untuk membuka mata dan telinganya. Bahkan Jimin yang sudah mengenal Taehyung sejak kecil, tidak digubris sama sekali.

Saat itu, Bogum hanya mengajak Taehyung jalan-jalan ke taman bermain di dekat sekolah. Sekadar mengobrol dan mengakrabkan diri, begitu kata Taehyung. Waktu yang dihabiskan hanya setengah jam itu cukup membuat Taehyung senang. Karena ada janji yang keluar dari mulut Bogum, bahwa ia akan lebih sering mengajak Taehyung bertemu untuk menghabiskan waktu bersama.

12 Maret 2015

Taehyung

Gue gak ngerti kenapa mereka bisa2nya ngerebut buku diary kita dan dilempar2 ke anak2 lain. SEKARANG SEMUA ORANG TAU GUE SUKA SAMA SIAPA. KARENA MEREKA TERIAK2 NGUMBAR2 RAHASIA KITA. GUE BENCI BANGET, JIM. KESEL.

Te.

13 Maret 2015

Jimin

Te sayang… sabar ya. Gue juga ngga tau kenapa mereka bisa tiba2 ngerebut buku diary kita. Gue minta maaf ya soalnya tadi gue yang pegang bukunya… hell, mereka emang rese. Kesel juga gue. I’m so sorry Te.

Jims :(

27 Maret 2015

Taehyung <3 Bommie (OFFICIAL PANGGILAN SAYANG)

Jim….. AKHIRNYA GUE SAMA DIA JADIAN. Tadi gue ditembak pake surat. Here, look at the letter!!!!!!! I AM SO HAPPY JIMINNNNNN :”) Tapi jangan khawatir… gue gak akan ngelupain lo. Karena lo sahabat terbaik gue. Makasih ya Jim sayang udah ngenalin gue ke kak Bogum. So so so thankful.

PS: jangan iri baca surat gue sama dia :p

Yang, Aku mau, deh, jadian sama kamu. Maaf ya pake surat. Aku malu. Hehe. Jadi… kita udah resmi pacaran nih?

Bommie

Jimin merasa pening membaca tulisan tangan Taehyung yang seperti memancarkan bahagia waktu itu, yang ia tahu tidak akan berlangsung lama. Ya, tiga minggu hubungan itu terjalin.

Sebenarnya, Bogum cukup baik mengajak Taehyung untuk jalan-jalan; bermain sepeda bersama, berenang bersama, main basket bersama.

Hanya saja, Jimin tidak pernah percaya akan kebaikan yang Bogum lakukan sejak insiden yang mempermalukan Taehyung di depan gedung SMP itu.

Surat itu pun menurut Jimin konyol; seperti dibuat-dibuat. Entah setelah hari dimana Taehyung menulis bahwa dirinya dan Bogum memiliki hubungan spesial, Taehyung seperti menutup mata dan telinganya.

Tak terhitung berapa kali Jimin meminta Taehyung untuk hati-hati dengan hatinya, yang dibalas hanya dengan ‘iya, tenang aja’ oleh sahabatnya itu.

Jimin hanya takut, kekhawatirannya menjadi kenyataan.

Pasalnya, beberapa kali Jimin tidak sengaja mendengar Bogum dan teman-temannya membicarakan Taehyung diam-diam saat mereka mengikuti ekstrakurikuler basket. Jimin dan tim sekolahnya cukup sering berlatih dengan para senior mereka. Pelatih mereka sempat berkata, “Kalian akan beberapa kali saya gabung, ya, latihannya. Menghemat waktu untuk mengejar lomba beberapa bulan lagi.”

Pernah suatu kali, Jimin ingat betul, ia menghampiri Bogum dan teman-temannya—ada Jaebeom juga di sana, yang sedang membicarakan strateginya untuk mendekati Taehyung. Jimin sebagai orang terdekat Taehyung yang ingin ‘melindungi’ hatinya, langsung memotong pembicaraan mereka.

“Sori, kalian lagi ngerencanain apa, ya? Kok gue denger kalian ngomongin Taehyung?” Jimin menyela dengan nada yang tidak nyaman. Saat itu, Jimin benar-benar melupakan perbedaan umur yang cukup jauh dan sopan santun yang seharusnya ia lakukan.

“Hah? Wah, dek, santai dong. Kita ngga ngomongin Taehyung, kok. Lagian, siapa dia, penting banget kita omongin?” jawab seseorang, entah siapa namanya, Jimin tidak tahu.

Namun yang ia tahu persis, Bogum yang mendengar jawaban orang itu hanya tertawa terbahak, sedang Jaebeom protes karena tidak suka.

Siapa sih sebenernya yang pacar Taehyung? Bogum atau Jaebeom? umpatnya dalam hati saat itu.

Membaca beberapa halaman buku itu akhirnya membuat Jimin mengantuk. Jam digital di nakas Taehyung menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Besok pagi, mereka harus bangun lebih pagi untuk mempersiapkan acara terakhir dari event sekolah. Jimin tidak sabar, sebentar lagi kegiatan mereka yang melelahkan ini akan selesai.

Jimin memposisikan tubuhnya dengan nyaman. Sebelum merebahkan diri, ia melihat selimut Taehyung hanya menutupi tubuh sahabatnya itu sampai ke pinggang. Jimin secara otomatis menarik selimut Taehyung lebih tinggi hingga menutupi pundaknya. Ia menoleh ke arah sisi Taehyung yang sudah terlelap sambil menyisir pelan rambut sahabatnya.

Jimin berbisik serta. “Te, gue minta maaf ya, ngga bisa menjaga hati lo. Sama seperti Bunda menyesal. Maaf, tadi gue denger pembicaraan lo sama Bunda. Tapi tenang Te… gue udah berjanji sama diri gue sendiri, kalau gue akan jaga lo.

“Tentu, Jeon pun bisa melakukan itu. Tapi sebagai sahabat… bolehin gue juga ya, Te? Gue ngga mau lo sedih kayak dulu.” Jimin lalu mengelus pelan pipi Taehyung sembari merapikan selimut yang menutupi dirinya.

Taehyung yang sudah terlelap tidak tahu, sorot mata Jimin mengendur bersama dengan air matanya yang selama ini ia tahan untuk Taehyung. Buyar semua pertahanan Jimin melihat sahabatnya yang tidak pernah percaya kata cinta. Jimin yang selama ini di samping Taehyung, berjanji sebagai sahabat, merasa gagal kala melihat hati Taehyung hancur di usianya yang masih cukup kecil untuk merasakan cinta, beberapa tahun lalu itu.

Taehyung yang sudah terlelap pun tidak tahu, saat Bunda dan Taehyung berbicara beberapa jam lalu, Jimin tidak sengaja mendengar seluruh pembicaraannya dengan Bundanya. Tubuhnya melemas saat Jimin mendengar Bunda berbicara mengenai masa lalunya dengan Bogum. Jimin merasa, Bunda Taehyung seperti akan membacakan isi diary itu hingga habis.

“Taehyung, saat Bunda kenal Gguk, Bunda memang khawatir—khawatir terhadap kenyataan bahwa kamu pernah cukup sakit hati dengan Bogum yang berteman dekat dengan kamu hanya untuk memenuhi keinginan para teman-temannya itu.

“Taruhan? Alasan macam apa itu? Hanya untuk mempertahankan posisinya dalam ekstrakurikuler basket. Dan apa waktu itu Jimin bilang? Kalau tidak mau nembak kamu, ia akan dikeluarkan dari geng teman-teman dan timnya? Bunda tidak habis pikir, siswa SMP bisa berpikiran seperti itu. Dan Bogum lebih memilih pride-nya ketimbang hati kamu.

“Memang, mereka masih kecil. Tapi mereka nggak mikir, bahwa orang yang mereka ‘kerjai’ akan memiliki trauma seperti kamu sampai sekarang ini. Kamu jadi tidak percaya lagi dengan cinta, semua orang yang mengutarakan tertarik sama kamu pun, kamu nggak mau.

“Dan itu semua karena Bogum, yang dengan berani-beraninya mempermalukan kamu di depan teman-teman kamu dan dia, dengan bilang bahwa selama tiga minggu itu, semua itu hanya ‘terpaksa’. Hubungan spesial kamu terjadi karena taruhan yang ia lakukan dengan teman-temannya.

“Dia memilih menyakiti kamu dibandingkan kehilangan kesempatannya menjadi ketua tim basket. Menurut Bunda, dia keterlaluan. Tapi Nak..., kamu masih ngga percaya. Sayang, kamu masih ngga percaya sampai dia akhirnya membuat rekaman deklarasi video itu dan menyebarkan ke teman-teman kamu.

“Itu jahat, Taehyung. Dan itu yang menyebabkan kamu tidak mau percaya lagi dengan cinta.

“Tapi Bunda tahu, barang sedikitpun, Jeon Jeongguk yang Bunda kenal, tidak akan pernah menyakiti kamu.”

Dengan Bunda.

“Bye, sayang. Nanti aku chat kamu, ya. Jangan tidur malem-malem. Jangan ngobrol aja sama Jimin. Kalian kalau ngobrol, ‘kan, udah kayak nggak kenal waktu. Oke, Tae?” Jeongguk berjalan pelan beriringan dengan Taehyung ke arah teras rumahnya. Taehyung hanya menjawab ‘ya, Ggukie’ sambil tersenyum dan memegangi tangan Jeongguk di sampingnya.

Sore tadi, Taehyung sedang duduk di lapangan sekolah dengan Jeongguk—ia berjanji mengantar Taehyung pulang hari ini. Ia pun tidak keberatan; berpikir lumayan, berharap semoga mendapat referensi foto sambil menunggu Taehyung. Sampai tidak berapa lama kemudian, Taehyung mendapat pesan dari Bunda Kim bahwa beliau pulang cepat karena tidak enak badan. Taehyung langsung tergesa-gesa membereskan barangnya dan mengajak Jeongguk untuk segera pulang. Mengirim pesan singkat pada Jimin bahwa Bunda mengundangnya makan, akhirnya mereka bertiga sudah di perjalanan pulang dua puluh menit kemudian.

Makan malam yang di-host oleh Bunda hari ini cukup membuat mood Bunda membaik. Beliau yang sedari Taehyung sampai di rumah tadi hanya duduk di sofa, lalu pindah untuk menyantap makan malam di meja, dan tidak banyak bicara. Hanya sesekali tersenyum dan menyuguhi makanan untuk anaknya, Jeongguk, dan Jimin. Mungkin Bunda sedang banyak pikiran, batin Taehyung tadi.

Namun, beberapa menit kemudian, Jimin memulai pembicaraan dengan Bunda—soal Mama Park yang ingin berkunjung ke rumah keluarga Kim untuk memasak bersama. Mendengar pembicaraan itu, Jeongguk akhirnya menimpali dengan keinginan yang sama dari Mama Jeon. Hal ini membuat mood Bunda sedikit membaik, ditambah dengan obrolan Taehyung dan Jeongguk yang membuat Bunda kaget—dengan reaksi positif.

“Sayang, maaf, boleh tolong ambilin tisu itu di depan kamu? Ada yang jatuh di taplak meja nih, Tae. Tisu punyaku udah kotor. Maaf ya Bun, jadi ngotorin meja Bunda.” Jeongguk lalu kaget, tidak sengaja memanggil Taehyung dengan panggilan sayangnya.

Taehyung yang tidak sadar bahwa Bundanya sudah melihat ke arah Taehyung dan Jeongguk dari tadi, hanya mengangguk dan mengambilkan tisu untuk Jeongguk. Jimin menyadari bahwa Bunda terlihat kaget namun tetap tenang, akhirnya mengajak Bunda mengobrol hal lain lagi untuk mengalihkan perhatiannya.

Setelah Jeongguk pamit pulang berbekal kecupan manis di kedua pipinya dari orang kesayangannya, akhirnya Taehyung masuk ke rumah dan berjalan ke arah kamarnya. Mengganti bajunya dengan piyama favorit pemberian Jeongguk, akhirnya Taehyung merebahkan tubuhnya di kasur. Jimin yang sedari tadi sedang mandi, berteriak dari dalam kamar mandi Taehyung.

“Te, pinjem handuk ya. Ini gue ambil yang baru di nakas sebelah bathtub.” Taehyung yang sedang rebahan di kasur sambil membaca berita di Twitter hanya menjawab ‘iya’ dengan keras supaya sahabatnya itu mendengar, lalu mengalihkan fokusnya lagi pada aplikasi burung biru itu.

Taehyung terlalu fokus pada layar handphonenya; tidak menyadari bahwa Bundanya sudah mengintip dari balik pintu kamarnya sambil tersenyum melihat anaknya sedang dalam posisi tengkurap sambil menggerak-gerakan kakinya.

“Taehyung, sayang, Bunda boleh masuk?” panggil Bunda membuyarkan fokus Taehyung. Yang dipanggil langsung menoleh dan menyunggingkan senyum kotaknya.

“Bundaaa, boleh lah. Bentar Tae suruh Jimin keluar dari kamar mandi yang appropriate dikit. Dia lagi mandi udah lama banget. Sambil nongkrong kayaknya,” kata Taehyung asal sambil beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah kamar mandi. Berbisik pada Jimin—memberitahu bahwa Bunda ada di kamarnya, akhirnya Taehyung menghampiri Bunda yang sedang duduk di sisi kanan kasur.

“Ada apa nih Bunda, tumben banget nyamper ke kamar Tae. Biasanya Tae yang ke kamar Bunda.” Taehyung bertanya dengan nada bercanda pada Bunda, yang dibalas dengan usapan lembut pada kepala Taehyung. Bunda menarik tangan Taehyung untuk menaruh kepalanya di pangkuannya. Udah lama nggak begini sama Bunda, batin Taehyung senang.

Ia rindu dengan segala afeksi yang selalu Bunda berikan; sebelum Taehyung akhirnya sibuk dengan kegiatannya di sekolah dan kesibukan Bunda dengan pekerjaannya. Kasih sayang yang diberikan Bunda dan Taehyung satu sama lain tidak pernah berhenti maupun berkurang. Hanya saja, mereka terkadang terlalu fokus pada dunianya masing-masing, sehingga lupa bahwa ada individu penting lainnya yang harus diperhatikan.

“Nggak apa, Bunda cuman kangen sama Taehyung. Memangnya nggak boleh, Nak?” Bunda menjawab sambil menyisir rambut Taehyung yang tebal. Sebagai anak kedua dari dua bersaudara yang berjarak cukup jauh, Taehyung bersyukur seluruh perhatian Bunda selalu berpusat padanya. Bond antara dirinya dengan Bunda semakin menguat dengan fakta bahwa sejak enam tahun lalu, ia hanya hidup berdua dengan Bunda.

Papa Kim bekerja di luar negeri bersama kakak perempuan Taehyung dan suaminya. Bisnis Papa Kim yang berkembang sangat pesat menuntut beliau untuk mengekspansi hingga ke luar negeri. Kakak perempuan Taehyung pun akhirnya memutuskan untuk ikut membangun bisnis dengan Papa Kim.

Masih teringat jelas saat itu, Papa Kim mengajak Taehyung dan Bunda Kim ikut serta pindah dari sekolahnya untuk menjalani kehidupan baru di negara lain. Namun, menurut Taehyung saat itu, syarat Papa Kim sangat tidak masuk akal. Karena hal itu, Taehyung mengamuk dan memutuskan untuk tidak berbicara dengan Papa, Bunda, dan Kakak perempuan Taehyung selama tiga hari. Taehyung kesal; pemberitahuan mendadak dari Papa Kim membuat Taehyung menangis hebat dan membanting pintu kamarnya.

Taehyung memutuskan dengan mantap bahwa ia tidak akan ikut pindah bersama dengan Papa dan kakak perempuannya.

Namun memang, saat itu Taehyung masih duduk di kelas empat sekolah dasar dan Bunda masih dengan karirnya yang sedang melejit sebagai Desainer—mereka berdua tidak mungkin ikut dengan Papa Kim dan Yoona untuk pindah. Sesungguhnya, ada alasan lain yang sebenarnya membuat Taehyung menyesal sampai sekarang. Akan tetapi, ia sekaligus bersyukur. Taehyung yakin, rasa bersyukurnya jauh lebih besar daripada penyesalannya.

“Boleh dong, Bunda. Tapi pasti Bunda ada sesuatu yang mau diomongin sama Tae, deh,” tebak Taehyung sambil menoleh ke arah Bunda.

“Peka amat deh anak Bunda sekarang. Biasanya dulu waktu sama Kak Yoona, kamu cuek banget.

“Taehyung, kamu sekarang sama Gguk gimana hubungannya? Udah deket ya?” tanya Bunda sambil menatap kedua mata kecil milik Taehyung. Pertanyaan Bunda menimbulkan kerutan bingung di kening Taehyung. “Hmm, deket ya gitu, Bun. Iya memang kita jadi lebih deket sih sekarang. Kayak pacaran tapi nggak pacaran? Gimana ya Bun, gitu deh. Emang kenapa, Bun?” Taehyung bertanya sambil menghadap ke arah Bunda.

“Nggak apa, sayang. Tadi Bunda denger Gguk manggil Taehyung dengan panggilan ‘sayang’ gitu. Bunda kok nggak tau cerita apa-apa, ya…” tanya Bunda dengan nada yang gantung sambil mencolek pipi kenyalnya.

Taehyung yang akhirnya sadar dengan situasi yang dimaksud oleh Bunda, akhirnya memposisikan tubuhnya untuk duduk di samping Bunda sambil terbelalak. Terlihat semburat merah muda di kedua pipi Taehyung.

“Ih, Bunda denger?” kata Taehyung malu-malu. Bunda hanya tertawa dan mencolek pipi Taehyung lagi, lalu Taehyung menyambung. “Ggukie sih, Bun, yang pertama manggil sayang gitu. Tapi Tae baru berani beberapa hari lalu… Setelah beberapa tahun akhirnya Tae tau, Bun. Taehyung sayang, Bun, sama Ggukie.

“Bunda… nggak apa-apa, ‘kan?”

Bunda yang mendengar jawaban dari Taehyung mengernyitkan keningnya lalu menjawab Taehyung dengan nada seperti ada perasaan bingung dan kecewa disana. Jauh di dalam hatinya, beliau hanya takut salah bicara.

“Sayang, maksud kamu apa? Kok kamu nanya Bunda seperti itu?”

Taehyung yang mendengar jawaban Bunda seperti itu, langsung cepat-cepat meraih tangan Bunda. “Bun… Taehyung salah tanya, ya? Bunda marah?” tanya Taehyung hati-hati. Bunda menghela napas pelan. Sebelum beliau menjawab pertanyaan anaknya, Jimin keluar dari kamar mandi dengan handuk di tangannya. Sahabatnya itu seperti bisa merasakan pula tension antara Bunda dan Taehyung, maka dengan langkah cepat, Jimin melangkah keluar sambil menyambar handphone nya yang ada di nakas sebelah tempat tidur Taehyung.

Setelah Jimin menutup pintu pelan, Bunda akhirnya menjawab pertanyaan Taehyung. “Lho… Bunda nggak marah, sayang. Bunda hanya bingung aja, kenapa Taehyung tanya begitu.” Bunda masih mengelus pelan tangan Taehyung sejak tadi ia bertanya apakah Bundanya marah padanya.

“Apa kamu tanya begitu karena kejadian dulu dengan Bogum?”

Pertanyaan Bunda menohok tenggorokan Taehyung. Rasanya isi buku diary milik Taehyung dengan Jimin sebentar lagi akan selesai dibaca olehnya dengan bantuan Bunda. Lembaran kenangan berisi cerita cinta dan kasih kasmaran Taehyung berakhir dengan remasan dan corat-coret kekecewaan. Taehyung hanya bisa menunduk dan memainkan gelang di pergelangan tangannya sambil menunggu Bunda meneruskan kata-katanya.

“Sayang, Bunda itu sudah kenal Gguk dari beberapa tahun lalu. Bunda bisa lihat perbedaan diantara mereka berdua—Gguk dan Bogum. Bunda ingat persis kejadian di mana kamu menangis meraung-raung ke Bunda, karena tiba-tiba Bogum meninggalkan kamu dengan alasan yang bodoh menurut Bunda. Maaf kalau Bunda kelewatan, tapi itu yang Bunda rasakan.

“Taehyung, saat Bunda kenal Gguk, Bunda memang khawatir—khawatir terhadap kenyataan bahwa kamu pernah cukup sakit hati dengan Bogum yang berteman dekat dengan kamu hanya untuk main-main. Dan Bogum lebih memilih pride-nya ketimbang hati kamu.

“Memang, mereka masih kecil. Tapi mereka nggak mikir, bahwa orang yang mereka ‘kerjai’ akan memiliki trauma seperti kamu sampai sekarang ini.

“Saat Papa ada keputusan untuk pindah ke luar negeri, Bunda memang kecewa dengan Papa, karena syarat Papa akan memperbolehkan kamu ikut pindah adalah dengan memutuskan hubungan kamu dengan Bogum. Padahal kamu sudah bersemangat, kita akan pindah ke Jepang—tempat yang ingin kamu kunjungi sedari kecil. Kamu ngambek, kamu marah, kamu nggak mau ngomong sama kami, bahkan ke Kakak.

“Kamu akhirnya benar-benar tidak mau pindah, walaupun itu memupuskan impian kamu untuk tinggal disana, karena kamu suka dan terlanjur sayang dengan orang itu. Walaupun akhirnya beberapa kali Bunda dan kamu berkunjung untuk menengok Papa dan Kakak, tapi menurut kamu selalu tidak cukup. Bunda bisa lihat itu, Nak.

“Maka itu, waktu sore itu kamu pulang ke rumah dengan nangis-nangis ke Bunda, rasanya Bunda gagal menjaga hati kamu. Walaupun Bunda tahu, itu adalah tanggung jawab kamu sendiri. Tapi sayang, Bunda selalu di sini; di rumah ini, di samping kamu, tapi Bunda nggak pernah tahu isi hati kamu.

“Bunda nggak terima, Taehyung. Bunda marah saat itu, saat tahu bahwa anak Bunda dan Papa dikerjai dengan alasan rendah seperti itu. Tapi Bunda pun kecewa terhadap diri Bunda sendiri. Bunda yang sehari-hari dengan kamu, tidak peka terhadap apa yang lagi anak Bunda rasakan saat itu. Bunda jarang tanya kamu hari itu bahagia atau tidak, Bogum memperlakukan kamu baik atau tidak.

“Tapi setelah berapa lama setelah kejadian itu, Gguk datang; dengan segala kelebihan dan sisi positifnya, mengenalkan dirinya ke kamu di mobil antar jemput itu. Setelah tangisan kamu dulu, akhirnya kamu bisa perlahan-lahan bangkit lagi, tersenyum barang sedikit, tertawa lagi, dan Gguk seperti menyentuh tombol di dalam hati kamu untuk bahagia lagi. Dan Bunda menyaksikan itu semua.

“Dan Gguk memang benar-benar sayang sama kamu, Nak. Bunda tahu itu. Bunda lihat itu. God, bahkan Mas Tris bisa lihat itu, sayang. Gguk selalu mementingkan kamu dahulu, soal dirinya selalu nomor ke berapa. Bunda sering mengingatkan Gguk untuk tidak seperti itu; untuk harus menomor satu kan dirinya sendiri, orang lain kemudian. Tapi Gguk selalu hanya menjawab iya.

“Namun yang membuat Bunda yakin dengan Gguk adalah saat ia datang pagi-pagi waktu kamu pergi seharian dengan Jimin. Bunda mengobrol dengan Gguk panjang lebar soal pembicaraan malam itu antara kamu dengan dia. Kamu ingat, Nak?”

Taehyung yang mendengarnya mengernyitkan kening tanda terkejut. Ia tidak tahu apa-apa tentang hal ini.

Bunda lalu menyambung lagi, yang membuat tangisan Taehyung pecah.

“Dan kamu tahu, apa yang dia bilang sama Bunda? Gguk bilang, ‘Taehyung bahagianya Jeongguk, Bun. Of course I will be waiting’.

“Jadi, sayang, Bunda nggak apa-apa. Bunda baik-baik aja, Taehyung. Bunda tahu, Bunda bisa mempercayakan kamu sama Gguk. Karena Bunda yakin, dia sayang sama kamu melebihi dia sayang dirinya sendiri. Sudah, berhenti ragu-ragu ya, Nak. Bunda tahu, jauh di lubuk hati kamu yang paling dalam, kamu sudah yakin. Hanya kamu masih terbayang-bayang trauma kamu dengan Bogum.”

Taehyung yang mendengar penjelasan Bunda panjang lebar hanya bisa menangis terisak sambil menghambur ke arah Bunda untuk memeluk beliau. Taehyung seperti kehabisan oksigen. Ia masih terus menangis sambil membenamkan wajahnya di pundak Bunda. Bunda Kim yang melihat Taehyung menangis lalu mengecup puncak kepala Taehyung dan membisikkan kata-kata untuk menenangkan anaknya, sambil berulang kali mengusap punggung Taehyung turun naik.

Taehyung berpikir, untuk apa keraguan itu selalu muncul dari dalam pikiran Taehyung selama ini jika Bundanya bahkan sudah yakin dengan Jeongguk untuk menjaga hati Taehyung?