Make Up
Setelah Taehyung beradu argumen dengan Jeongguk tempo hari, ia langsung lari ke kamar tidurnya tanpa menoleh. Menghabisi waktu berjam-jam untuk menangis dengan dua buah bantal sebagai tumpuan kepalanya dan selimut tebalnya yang menutup hingga kepalanya. Taehyung sempat mendengar Jeongguk masuk ke kamar tidurnya, namun setelah lima menit berlalu, ia tidak merasakan tanda-tanda kasurnya berdecit atau tertekan turun seperti ada beban tubuh lain di kasurnya. Menyadari bahwa Jeongguk tidur di kasur terpisah, Taehyung lantas menangis lebih hebat; terisak dan bahunya naik turun.
Sejenak ia khawatir kekasihnya mendengar suara tangisnya dan keluar dari kamar tidurnya.
Namun tidak. Jeongguk tetap ada di sana, menemani Taehyung, walaupun terdapat jarak yang jauh diantara mereka.
Saat Taehyung berhenti menangis setelah sekitar satu jam dan sepasang matanya sudah memaksa untuk terpejam, ia mendengar dengan jelas suara lain yang menemani keheningan di kamarnya malam itu.
Taehyung mendengar Jeongguk-nya menangis.
Malam sebelum Taehyung tertidur, ia sempat mengirimi Jimin pesan yang sangat tak beraturan, yang Jimin mampu baca persis bahwa Taehyung menjelaskan dirinya dan Jeongguk sedang bertengkar. Maka tanpa diminta, Jimin berinisiatif untuk menginap di rumahnya keesokan harinya. Ia datang tepat setelah Jeongguk pamit pulang pada Taehyung. Sahabat Taehyung itu membawa satu buah koper besar—katanya, ia tidak tahu sampai kapan akan 'pindah tidur' di rumah Taehyung.
Bunda Kim yang sudah paham kebiasaan anak laki-lakinya dan sahabatnya itu hanya mengangguk saat Jimin memberitahu beliau bahwa dirinya akan menginap entah sampai kapan di rumah Keluarga Kim. Namun saat itu Bunda belum tahu; Taehyung sehabis bertengkar hebat dengan Jeongguk. Ini adalah pertama kalinya Bunda benar-benar clueless tentang mereka berdua karena beliau akhir-akhir ini sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Beberapa hari berlalu, baik Jeongguk maupun Taehyung bisa dikatakan hidup seperti zombie. Entah para siswa lainnya tidak tertarik lagi dengan hubungan mereka, atau memang Taehyung dan Jeongguk pandai bersandiwara sehingga tidak terlihat raut yang aneh menguar dari balik topeng mereka.
Jeongguk beberapa kali kerap mengirimi Taehyung dengan pesan selamat pagi dan malam, yang tak kunjung dibalas oleh kekasihnya itu. Ia tidak berhenti mencoba—beberapa kali menanyakan kabar pada Jimin, yang untungnya selalu dibalas oleh sahabat Taehyung itu. Jeongguk paham bahwa Taehyung membutuhkan waktu untuk sendiri. Maka ia memberikannya.
Namun Jeongguk tidak sadar, bahwa waktunya untuk sendiri habis untuk memikirkan Taehyung, dan tidak memikirkan dirinya sendiri. Jeongguk lantas berpikir, bahwa mungkin kejadian ini memiliki sisi positif. Bahwa sebenarnya, ia dan Taehyung masing-masing dapat merefleksikan diri.
So, Jeongguk stopped texting Taehyung after four days.
—
Seumur hidup Taehyung, ia tidak pernah menangis hebat hanya karena dinasihati Bundanya. Sebentar, mungkin pernah, saat beberapa tahun lalu Bunda menjelaskan duduk permasalahan antara Bunda dan Papanya yang menyebabkan orang tua Taehyung harus mengambil keputusan untuk bercerai.
Hanya sekali terjadi. Selebihnya tidak pernah. Bundanya memang terkenal sangat tegas jika berada di lingkungan pekerjaan; namun saat dengan Taehyung, ia bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Beliau masih tegas—ya, Taehyung pun tetap segan dengan Bundanya—namun beliau tidak pernah meninggikan suara jika berbicara dengan anak laki-lakinya.
Nasihat Bundanya pagi ini rasanya seperti gigitan ular berbisa yang membuat Taehyung 'terbangun dari tidurnya'.
Sudah lebih dari seminggu ini Taehyung hanya menangis dan menangis.
Mungkin Bundanya sudah jengah atau tidak betah melihat anak kesayangannya ini menangis, dan ternyata, tempo hari Bunda tidak sengaja bertemu dengan Jeongguk di kafe Haru saat meeting dengan rekannya. Seperti yang Bundanya bilang, Jeongguk benar-benar berantakan.
Butuh waktu sebentar untuk Taehyung akhirnya tersadar dari lamunannya; ia terlalu lama membaca pesan Bunda sambil berusaha untuk memproses seluruh wejangan dan juga informasi yang menurut Taehyung sangat penting. Untuk memiliki hati yang selembut kapas namun sekaligus sekeras batu seperti Taehyung, wejangan singkat Bunda adalah sebuah tamparan untuknya.
Taehyung berpikir, mungkin dirinya terlalu nyaman dengan keadaan dan kebiasaan. Menganggap bahwa setidaknya, Jeongguk akan kembali ke rumahnya dan meminta maaf pada Taehyung, dan semuanya akan kembali seperti sedia kala.
Kemungkinan kedua yang Taehyung pikirkan; katakan dirinya egois dan tidak mau kalah. Namun ia merasa, dirinya tidak salah sama sekali jika ingin mendapat closure dari Bogum. Apalagi sekarang, Bogum entah mengapa ada di Seoul. Sejak Jeongguk menyuarakan pikirannya dengan berteriak malam itu, jujur, Taehyung merasa sakit hati.
Ia tidak pernah menyangka Jeongguk akan; pertama, berteriak padanya tanpa berpikir. Kedua, mengutarakan pikirannya dengan tuduhan yang tidak berdasar. Yang terakhir, membuat dirinya sendiri sadar bahwa Jeongguk ragu dengan dirinya, dengan berteriak asal bahwa selama ini Taehyung masih memikirkan Bogum.
Atas dasar apa? Hanya karena Taehyung ingin bertemu dengan Bogum? Atau sebenarnya, ada hal lain yang berkecamuk di kepala Jeongguk? Taehyung terus-menerus berpikir demikian, sampai akhirnya Bundanya mengirimkan pesan pada Taehyung yang membuatnya seperti tersetrum.
Sadar bahwa sebenarnya, perjuangan dalam suatu hubungan tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja, 'kan?
Jika Jeongguk sudah mencoba berbagai cara, maka tidak ada salahnya untuk Taehyung mencoba juga, 'kan?
Pesan Bunda membuat Taehyung beranjak dari tidurnya di kasur, menyibakkan selimut tebalnya, dan berlari menuju kamar mandi. Ia mandi seadanya, tidak lupa mencuci muka dan menggosok giginya dua kali. Memakai deodoran, mengenakan pakaiannya, lalu bergegas ke luar sambil meringis karena lututnya menabrak keranjang pakaian kotor yang terletak di ujung dekat pintu kamar mandi.
Taehyung tidak menyadari bahwa dirinya sudah menangis sejak tadi membaca pesan Bundanya. Shower yang mengguyur basah seluruh tubuhnya pagi ini pun tidak mampu menyadarkan Taehyung bahwa air yang membasahi pipi dan wajahnya bukan hanya dari pancuran air di atas kepalanya.
Anak semata wayang Nyonya Kim itu dengan sigap mengambil handphonenya, menelepon kekasihnya berkali-kali yang tidak kunjung diangkat. Pada sambungan telepon ketiga belas, ia mematikan teleponnya dan berlari ke luar kamar tidurnya. Taehyung mengeluh dan rasanya ingin menjambak rambutnya yang masih basah. Apakah Jeongguk masih tidur? Atau malahan Jeongguk menghindarinya? Banyak sekali kemungkinan yang ia pikirkan dan rasanya, ia saat ini panik.
Ruang tengah sangat sepi, hanya ada suara samar-samar dari teras belakang yang mengundangnya untuk mendekat. Taehyung melihat sekilas sahabatnya sedang duduk di sofa besar di sana sambil bermain dengan Yeontan, anjing peliharaannya. Ia tidak tega 'memisahkan' Jimin dan Yeontan yang sedang bermain, tapi Taehyung tidak ingin pergi ke rumah Jeongguk seorang diri. Ia sudah yakin bahwa dirinya akan menangis lebih parah daripada saat ini, maka ia butuh sahabatnya untuk mendampinginya.
Jimin menoleh saat mendengar langkah kaki Taehyung mendekat. Alas kaki sahabatnya itu bergesekan dengan lantai cukup berisik, membuat Yeontan pun ikut menolehkan kepalanya. Jimin melihat Taehyung sudah segar—namun tetap berantakan. Belum sempat ia membuka mulut untuk memulai pembicaraan, Taehyung sudah menyela Jimin sambil terisak.
“Jims, t-temenin... Temenin ke–ke rumah Ggukie. P-please, n-now.” Taehyung terdengar merengek sambil mengutak-atik handphonenya, memencet tutsnya asal-asalan dan memasukannya kembali kedalam kantong hoodienya.
Sahabat Taehyung itu hanya mengernyit.
Ada apa? Mengapa tiba-tiba Taehyung ingin pergi ke rumah Jeon dengan menangis dan wajah kusut seperti ini?
“Tae, is everything okay?” Jimin bertanya dengan nada khawatir.
Taehyung mencoba untuk mengatur napasnya yang seperti tertahan di dada. Menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Gue butuh ke rumah Ggukie. Sekarang. Please, pretty please, come with me,” kata Taehyung lirih, memohon pada Jimin agar sahabatnya itu menemaninya.
Maka Jimin lantas mengangkat Yeontan dari pangkuannya dan melepaskannya di halaman belakang. Ia menyelipkan handphonenya di saku celana rumahnya dan berjalan ke arah sahabatnya yang terlihat sangat kusut walaupun baru saja mandi. Taehyung dengan sigap menggenggam tangan Jimin dan menariknya, mengajak untuk segera ke luar dari rumah dan bergegas pergi ke rumah Jeongguk.
“Oke, oke. Ayo. Gue bawa mobil, ya? Supaya cepat,” Jimin menawarkan, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Taehyung.
“Nggak mau. Mau jalan kaki aja. Lebih cepat.” Jawab Taehyung sekenanya sambil setengah merengek.
Jimin mengernyit lalu memegang kedua lengan Taehyung yang terlihat bergetar. Ia tidak mungkin membiarkan Taehyung yang sedang terlihat seperti ini berjalan kaki ke rumah Jeongguk, yang tidak hanya lima sampai sepuluh meter. Walaupun jarak rumah mereka berdekatan, namun jika dikira-kira, mungkin dapat menempuh waktu sepuluh menit untuk sampai di rumah Jeongguk. “Hei, tenang dulu. Jeon pasti nggak akan ke mana-mana. Masa lo mau jalan kaki sekitaran kompleks sambil nangis begini?”
“Nggak mau, Jiminie! Mau jalan kaki!” Tolak Taehyung setengah berteriak, dengan kaki yang dihentakkan ke lantai. Jimin lantas terkejut. Terakhir kali Taehyung merengek dan bersikap kekanak-kanakan seperti ini adalah saat mereka masih duduk di bangku SD.
Lebih baik gue turuti daripada dia tambah ngambek, batin Jimin.
Akhirnya setelah Jimin mengganti pakaiannya yang lebih sopan untuk bertamu ke rumah orang, ia segera menyusul Taehyung yang sudah siap di depan rumah, berdiri sambil memandangi layar handphonenya terlalu serius. Jimin dapat melihat bahwa temannya itu sedang panik.
“Ayo, Te,” kata Jimin kemudian yang segera menyelipkan tangannya di sebelah Taehyung untuk menggandeng tangan sahabatnya itu. Kebiasaan mereka berdua yang sudah dilakukan sejak dulu untuk menenangkan satu sama lain jika sedang panik seperti ini.
Jimin melirik sekilas ke arah Taehyung, kedua bahu sahabatnya itu terlihat perlahan turun, tanda bahwa Taehyung membutuhkan gestur sederhana itu untuk menenangkannya.
Sepanjang perjalanan mereka ke rumah Jeongguk, keduanya tidak berbicara sama sekali. Taehyung tenggelam dalam pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang berenang-renang di otaknya, sedang Jimin ingin memberi Taehyung waktu untuk menenangkan dirinya sebelum sampai di rumah Jeongguk.
Entah mengapa Jimin memiliki firasat bahwa nanti akan ada pembicaraan serius antara Taehyung dan Jeongguk yang membutuhkan privasi. Jimin sudah berencana akan menunggu di luar kamar saja selagi mereka berbicara nanti. Setidaknya Taehyung tahu bahwa Jimin ada di ruangan lain untuk menunggu dan menemaninya.
Sesampainya mereka di rumah Jeongguk, Taehyung melihat mobil Yugyeom terparkir di depan garasi rumah kekasihnya. Ia sadar bahwa Jimin di sampingnya kebingungan melihat mobil temannya itu ada di rumah Jeongguk.
“Yugi nginep di rumah Ggukie, nemenin dia katanya. Mama lagi business trip ke Tokyo.” Taehyung berkata seperti bisa membaca pikiran sahabatnya. Jimin lalu mengangguk tanda mengerti dan mengikuti Taehyung dari belakang yang sudah melepas alas kakinya dan melangkah masuk ke rumah Jeongguk. Orang rumah Jeongguk yang sudah akrab dengannya membukakan pintu utama dan mempersilahkan mereka berdua masuk.
Rumah Jeongguk terlalu sunyi. Beberapa tirai masih ditutup, tidak mengizinkan cahaya matahari masuk melalui beberapa jendela rumah. Taehyung berjalan pelan dari arah ruang tamu sambil mencari-cari sosok Yugyeom. Mereka berdua akhirnya memasuki ruang tengah yang masih gelap. Taehyung lalu mencari saklar lampu yang sudah ia hafal letaknya untuk menyalakan lampu ruangan.
Saat lampu ruangan akhirnya menyala, Taehyung dikejutkan dengan dua sosok familiar yang terlihat sedang terlelap di sofa ruangan itu.
Taehyung sudah tidak tahan, ia ingin menangis lagi saat itu juga.
Yugyeom terlihat sedang terlelap sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Sepertinya sahabat Jeongguk itu kembali tertidur setelah bertukar pesan dengan Taehyung.
Sedangkan Jeongguk? Kekasih Taehyung itu terlihat sedang tidur di samping Yugyeom dengan telungkup, rambutnya berantakan, tubuhnya tertutup selimut sampai ke belakang kepalanya. Jeongguk pun terlihat memegang satu botol soju di tangan kanannya yang menggantung ke lantai.
Kekasih Taehyung tidak pernah, garis bawahi, tidak pernah seperti ini.
Jimin terlihat mengusap-usap keningnya sendiri sambil berbisik, seperti tidak percaya dengan apa yang ia lihat di hadapannya saat ini. Sepasang mata Taehyung lalu melirik ke arah meja yang terletak di seberang sofa; penuh dengan boks pizza dan botol-botol minuman lainnya yang Taehyung tidak tahu namanya.
Ada apa dengan Jeongguk-nya? Apakah ini semua terjadi karena dirinya?
Tidak tahan (sekaligus ingin mengalihkan perhatiannya yang sebentar lagi akan menangis hebat jika ia hanya berdiam diri), maka Taehyung akhirnya berinisiatif memungut beberapa bekas bungkusan yang tercecer di sekeliling sofa. Ia pun mengangkat botol-botol minuman yang tergeletak di sana-sini, kecuali yang sedang dipegang oleh Jeongguk. Beberapa boks pizza yang sedang terbuka di meja pun akhirnya dibereskan pula, sedang yang sudah kosong, dipisahkan di ujung sofa. Jimin pun ikut membantu Taehyung membereskan ruang tengah rumah Jeongguk dan tenggelam dalam keheningan.
Mereka berdua tidak tersadar bahwa Yugyeom perlahan mengerjapkan kedua matanya, terbangun dari tidurnya yang tergolong singkat. Kepalanya pening, kedua matanya belum siap menerima sinar buatan yang silau. Semalaman Yugyeom 'menjaga' dan menemani Jeongguk minum. Entah apa yang sedang merasuki sahabatnya, sehingga ia meminta Yugyeom untuk membelikannya dua krat soju dan tiga boks pizza favoritnya. Jeongguk terlihat sangat kacau akhir-akhir ini, dan puncaknya adalah tadi malam.
Satu-satunya jalan untuk membuat Jeongguk tenang adalah dengan mengabulkan seluruh permintaannya.
Beruntung Mama Jeon sedang pergi keluar kota. Yugyeom tidak tahu harus berkata apa jika beliau melihat anak semata wayangnya sedang dalam state ini. Menurut Yugyeom, sepertinya beliau belum tahu bahwa anaknya sedang dalam zona diam dengan Taehyung.
Maka Yugyeom pun memiliki inisiatif yang sama dengan Jimin; menginap di rumah sahabatnya dan 'menjaga' mereka berdua dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Jeongguk tidak berisik saat mabuk berat tadi malam. Justru ia sangat diam; hanya melihat ke arah layar televisi dengan tatapan kosong, menggumam sesuatu, dan lalu menegak isi botol suju itu hingga habis sambil diselingi mengunyah beberapa potong pizza. Yugyeom senantiasa meladeni Jeongguk dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan—yang masuk hingga tidak masuk akal sama sekali.
Yugyeom tidak pernah melihat sahabatnya sangat kacau seperti sekarang ini. Jeongguk hanya bercerita bahwa he seriously fucked up and hurt Taehyung that bad. Setelahnya, Jeongguk selalu berakhir dengan menangis. Ia tidak pernah bisa melanjutkan ceritanya pada Yugyeom.
Katanya beberapa kali pada Yugyeom, ia merasa bersalah karena telah menyakiti Taehyung. Ia menyakiti Taehyung-nya dan ia tidak merasa baik-baik saja.
Kekasih Taehyung itu menghabiskan hari-harinya dengan berdiam diri, tidur, mengerjakan tugas sekolah, mandi, menangis, menatap dinding kamarnya dengan kosong, menggumamkan nama Taehyung, dan beberapa hal lainnya yang tidak Yugyeom ingat. Yugyeom melihat Jeongguk benar-benar membawa handphonenya ke manapun ia pergi. Memandangi layar benda mati itu sambil menggumam kata maaf, berharap Taehyung akan membalas pesannya atau malah menelponnya.
Yugyeom tahu, Jeongguk sudah berhenti untuk mencoba menghubungi Taehyung beberapa hari lalu. Ia ingat, sahabatnya itu berkali-kali menggumamkan kata-kata yang membuat hatinya sendiri nyeri mendengarnya.
“He hates me now. Taehyung hates me.”
—
Sepasang manik hazel milik Taehyung akhirnya bersirobok dengan mata Yugyeom. Pandangan matanya sudah buram. Air mata sudah menggenang di ujung kedua mata indahnya. Akhirnya Yugyeom pun menegakkan tubuhnya dan menggaruk tengkuk lehernya canggung.
“Tae, you're here. Maaf gue belum sempat beresan, Gguk baru tidur tadi subuh. Semalaman kacau banget. Gue harus ngeladenin dia.” Yugyeom berkata pelan hampir berbisik, tidak ingin membangunkan sahabatnya karena suara mereka. Sahabatnya itu akhirnya berhasil tertidur tepat pukul lima pagi. “Orang rumah udah diminta sama Jeongguk jangan masuk ke area dalam dari kemarin sore. Untunglah beliau mau.”
Taehyung hanya bisa mengangguk sambil memejamkan matanya. Ia sudah duduk di lantai, meletakkan tangannya di armrest sofa sisi kepala Jeongguk. Ia mensejajarkan wajahnya tepat di depan wajah kekasihnya itu, memandang wajah sayunya dengan tatapan sendu. Jimin dan Yugyeom duduk bersisian di sofa sebelahnya, tidak ingin menjadi pengganggu dalam privasi keduanya. Taehyung meneliti setiap sudut wajah Jeongguk sambil menahan tangis. Kulit wajah kekasihnya terlihat berminyak, kantong matanya begitu terekspos, dan wajahnya kuyu. Ia tidak tega melihat kekasihnya yang biasanya terlihat ceria dan sehat bugar menjadi seperti ini.
Ia memajukan kepalanya, hendak mengecup kening Jeongguk saat akhirnya sosok di depannya perlahan menggerakkan tubuhnya. Kedua bola matanya yang masih tertutup terlihat bergerak ke sana ke mari. Taehyung tahu, beberapa saat lagi, kekasihnya akan bangun dari tidurnya.
Merutuki dirinya sendiri karena sepertinya gesturnya membuat Jeongguk terbangun dari tidurnya, akhirnya Taehyung memundurkan tubuhnya, memberi spasi yang cukup antara dirinya dan Jeongguk.
Namun terlambat, Jeongguk akhirnya membuka kedua matanya yang masih lengket akibat terlalu mengantuk dan kurang tidur. Ia menggeser tubuhnya dan memposisikannya sehingga menghadap ke langit-langit rumah. Jeongguk sesaat meletakkan botol soju yang masih dipegangnya dengan asal di lantai sambil tetap memejamkan matanya. Ia tidak sadar bahwa botolnya tidak mendarat di lantai, melainkan di paha Taehyung yang membuat botol soju itu terbanting ke lantai dan mengeluarkan suara yang cukup kencang untuk telinga Jeongguk.
“Shit. Gyeom? Gyeom, did I break it?” Gumam Jeongguk dengan suara paraunya. Taehyung bisa merasakan kerongkongan kekasihnya kering. Ingin sekali ia membangunkan Jeongguk dan menyodorkan satu botol air mineral untuknya minum.
Taehyung ingin membelai pipi Jeongguk yang tercetak garis-garis abstrak tanda kekasihnya tadi tertidur dengan nyenyak. Ia ingin kembali menyapa Jeongguk dengan ucapan selamat pagi seperti yang biasa mereka lakukan setiap hari.
Taehyung merindukan kehadiran Jeongguk saat ini. Klise memang. Jeongguk ada di hadapannya sekarang namun Taehyung merasa hatinya kosong dan nyeri.
Ia merindukan Jeongguk-nya. Ia merindukan Jeongguk-nya kembali seperti semula.
“Nggak pecah, Ggukie,” cicit Taehyung kemudian, yang disusul dengan suara helaan napas dari Jimin dan Yugyeom. Kedua sahabatnya sejak tadi tidak bergeming, hanya fokus melihat Taehyung yang berlutut di hadapannya, menunggu Jeongguk untuk bangun.
Mendengar suara yang Jeongguk sudah rindukan selama seminggu lebih, ia lalu menoleh cepat, membuka kedua matanya sambil menggumam. Suaranya serak dan parau. Kerongkongannya terasa kering dan perih, tapi ia tidak peduli.
Jeongguk mendengar suara malaikatnya lagi. Ia mendengar suara Taehyung-nya.
Apakah ia sedang bermimpi? Ini mungkin pengaruh minuman yang ia habiskan tanpa henti tadi malam.
“My baby is here? Really? Babyyy...” Kata Jeongguk akhirnya terduduk dan terhuyung karenanya. Jeongguk memperhatikan wajah Taehyung, wajah malaikatnya. Ia mengangkat tangannya, menjulurkannya untuk menyentuh pipi kesayangannya itu. Namun, sosok di hadapannya tidak bergeming. Ia hanya diam di sana, berlutut sambil memperhatikan dirinya dengan kedua mata indahnya.
Ia benar-benar berhalusinasi, ya?
“Taehyung sayang, is that you? Hmm? Am... am I hallucinating?” Jeongguk meracau. Ia mengusap kedua matanya dengan telapak tangannya, berusaha untuk melihat sosok di hadapannya lebih jelas. Benar, kok. Ia tidak salah lihat. Jeongguk akhirnya menyentuh kedua pipi sosok di hadapannya, yang menurutnya, itu Taehyung.
Seketika telapak tangan Jeongguk pun basah.
Huh, sosok di depannya ini menangis? Apa benar? Apa Taehyung-nya menangis? Mengapa kekasihnya itu menangis?
Taehyung merasakan bendungan air matanya jebol. Ia menangis hebat sekarang, melihat Jeongguk yang benar-benar berbeda dari Jeongguk-nya yang ia kenal. Taehyung merasakan kedua telapak tangan kekasihnya menangkup pipinya, membelainya lembut dengan sayang.
Ia merindukan itu. Ia merindukan Jeongguk.
“Ggukie, ini aku. Ini Taeby.” Jawab Taehyung lirih, yang sedang mengatur napasnya. Berusaha untuk menjawab pertanyaan Jeongguk disela-sela tangisnya.
Jeongguk menggeleng tidak percaya, namun masih membelai lembut kedua pipi Taehyung. “Are you really?” Ia bertanya-tanya, tidak percaya dengan jawaban Taehyung. Jeongguk lalu menggelengkan kepalanya cepat. “No, it can't be him. Nooo? He-he hates... he hates me. He won't be here... right? Right, Gyeom?” Jeongguk mencoba mencari suara Yugyeom yang tidak kunjung membalasnya.
Sahabat Jeongguk itu dan Jimin duduk terdiam di sisi sofa lainnya. Mereka berdua tidak bergeming. Keheningan menyelimuti ruangan itu. Hanya ada suara tangis Taehyung, Jeongguk, Yugyeom dan Jimin.
Sahabat Jeongguk dan Taehyung itu pun sudah menangis melihat interaksi para sahabat mereka yang benar-benar membuat nyeri hati.
“It really is Taehyung, Gguk. Your angel is here.” Jawab Yugyeom lirih.
—
Setelah bahu-membahu memapah tubuh Jeongguk pindah ke kamar tidurnya, akhirnya Jimin dan Yugyeom berinisiatif untuk keluar dari sana. Taehyung mengucapkan terima kasih kemudian, mengusulkan untuk makan siang mendahuluinya dan kekasihnya. Taehyung meminta Jimin untuk tidak meninggalkannya sendiri, seperti janjinya awal. Jimin mengangguk kemudian, mengecup pelan puncak kepalanya dan mengusap pelan punggungnya. Gestur Jimin seperti biasa—memberi harapan pada Taehyung bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Taehyung lalu menutup pintu kamar Jeongguk dan menempelkan dahinya pada pintu kayu itu. Ia rasanya tidak sanggup menghadapi situasi ini sendirian. Hatinya hancur melihat Jeongguk hancur seperti beberapa saat lalu di ruang tengah. Apakah ia sudah keterlaluan terhadap kekasihnya sendiri?
Ia lalu menarik napas panjang, menahannya barang sebentar, lalu menghembuskannya perlahan. Taehyung akhirnya menegakkan tubuhnya mantap, bermaksud untuk menghampiri Jeongguk.
Kekasihnya itu terlihat tertidur. Taehyung dapat mendengar dengkuran halus mengisi seluruh ruangan kamar Jeongguk. Ia tersenyum lalu melangkah ke arah kasur dan merebahkan dirinya di samping Jeongguk.
Nyaman. Seperti rumah.
Taehyung memposisikan tubuhnya dan kepalanya agar sejajar dengan Jeongguk—meneliti mata, hidung, dan bibir kekasihnya yang sedang tertidur nyenyak. Ia lalu mendekatkan tubuhnya, menjulurkan tangan kirinya untuk memeluk Jeongguk tepat di leher.
Tak berapa lama berselang, Taehyung merasakan beban yang cukup berat di perpotongan pinggangnya. Jeongguk memeluknya erat, menarik tubuh Taehyung hingga tidak ada jarak diantara mereka. Membenamkan wajahnya di leher Taehyung, dan menggumam, yang tentu, terdengar jelas oleh Taehyung. Seperti senandung indah di telinganya.
“I love you, baby. I am so sorry.” Gumam Jeongguk, masih memejamkan matanya yang semakin lama terasa semakin berat.
“And I you, Ggukie. I am sorry, too. I'm really sorry.”
Taehyung dapat merasakan Jeongguk menyunggingkan senyum di lehernya.
—
Tidak terasa sudah lima jam lamanya Taehyung dan Jeongguk tertidur nyenyak. Langit sudah mulai gelap, tanda malam akan segera datang. Jeongguk sudah terbangun sejak sepuluh menit lalu. Kepalanya pening dan nyeri. Entah apakah ini dikarenakan banyaknya soju yang ia konsumsi sejak malam hingga subuh tadi, atau kenyataan bahwa dirinya sangat kurang istirahat selama seminggu belakangan.
Jeongguk terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia melihat Taehyung di sisinya saat membuka mata. Ia mengerjapkan matanya kembali sesaat sebelum akhirnya menyadari bahwa di sampingnya, Taehyung-nya sedang tertidur pulas. Jeongguk lalu memperhatikan wajah Taehyung dengan teliti; matanya, bulu matanya yang panjang dan lentik, hidungnya yang merah, bibir mungilnya yang mengerucut kedepan, keningnya yang membentuk guratan seperti sedang berpikir keras di alam mimpinya.
Ia sangat mencintai kekasihnya ini. Apa yang ia pikirkan saat seminggu lalu berbicara dengan Taehyung? Pertengkaran mereka membuat dirinya dan Taehyung 'berpisah' lebih dari seminggu. Pertama kali terjadi selama ia menjalin hubungan dengan kekasihnya ini. Rasa sesal kembali membanjiri kepala dan sekujur tubuh Jeongguk. Ia merasa bodoh dan sudah kelewatan.
Ia tidak yakin, apakah saat Taehyung bangun nanti, kekasihnya itu akan menyesali keputusannya untuk menemaninya tidur di kamar Jeongguk?
Ataukah mereka berdua akan menangis menyesali pertengkaran yang membuat dunia mereka berdua seperti jungkir balik?
Entahlah. Saat ini Jeongguk hanya ingin menghabiskan waktu dengan memandangi Taehyung sambil membelai rambut hitamnya yang lebat. Tuhan, Jeongguk benar-benar merindukan Taehyung. Rasanya ia ingin selalu mendekap Taehyung erat, tidak ingin melepaskan kekasihnya itu barang sedikitpun.
Waktu berlalu sekitar sepuluh menit lamanya, hingga akhirnya pergerakan kekasihnya membuat Jeongguk tersadar dari lamunannya. Taehyung menggerakkan tubuhnya dan kepalanya, sepertinya sebentar lagi ia akan bangun. Jeongguk dengan sigap menyisir rambut Taehyung yang menutupi dahi dan mengecupnya pelan, dan lama. Ia ingin mentransfer seluruh energi positifnya pada Taehyung, ingin meminta Taehyung untuk merasakan cintanya yang sudah tertahan untuk diekspresikan selama seminggu kemarin.
Taehyung akhirnya bangun dari tidurnya, mengerjapkan matanya, dan menyadari bahwa ia tidak sedang berada di kamarnya.
Ah, ya, Taehyung tertidur di kamar Jeongguk.
Ia merasakan belaian lembut di puncak kepalanya, dan kecupan sayang dari Jeongguk pada dahinya beberapa saat lalu. Ia tersenyum, ingin menyapa Jeongguk dengan segala tenaga dan cinta yang ia rasakan saat ini.
“Hei, Ggukie. Kamu sudah bangun,” kata Taehyung pelan sambil tersenyum dan memejamkan matanya kembali. Ingin menyedot dan merasakan belaian lembut dari Jeongguk yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Hei, malaikatku. Yeah, I am awake.” Balas Jeongguk tersenyum teduh dan mengerling, membuat Taehyung tertawa pelan dan menarik tangan kanan Jeongguk yang masih memeluk pinggangnya. Meraih jemari Jeongguk dan mengaitkannya dengan jarinya. Merasakan cinta itu mengalir ke seluruh tubuhnya. Seperti recharging.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napas teratur dari mereka dan bunyi tangan Jeongguk yang bergesekan dengan rambut Taehyung.
“Ggukie, apa kita bisa bicara... sekarang? I need to solve it as soon as possible. Aku... aku takut.” Kata Taehyung membuka pembicaraan, memecah keheningan yang sudah beberapa menit mengungkung mereka berdua.
Jeongguk mengernyit, merasa bingung akan kata-kata yang baru saja kekasihnya ucapkan.
“Iya, bisa, Sayang. Let's talk, okay? But first of all, kamu takut kenapa? Aku di sini, Tae. Selalu.” Hanya itu yang bisa Jeongguk katakan. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ia utarakan dan tanyakan.
Apa kabar kamu? Apakah kamu makan dengan teratur? Apakah kamu tidur dengan cukup? Apa kamu sering menangis? Apa kamu marah? dan belasan pertanyaan lainnya yang ingin ia lemparkan pada Taehyung. Namun ia tidak sanggup. Ia akan berakhir menangis jika menghujani Taehyung dengan rasa penasarannya sekarang.
Taehyung terlihat ragu untuk menjawab Jeongguk sekarang. Namun ia bersikeras mendorong rasa ragunya dan menjawab Jeongguk sambil memandang sepasang mata indah kekasihnya itu.
“Apa... apa aku masih pacar kamu, Ggukie? Apa... apa selama ini aku adalah pacar yang baik untuk kamu?” Taehyung bertanya, menggumam dengan lirih.
Namun Jeongguk bisa mendengar jelas pertanyaan itu.
Jeongguk terbelalak. God, pertanyaan macam apa ini? Ia merasa sangat brengsek sekarang.
Ia sudah membuat kekasihnya ragu akan dirinya sendiri.
Shit, benar kata Jimin, I would end up hurting him because now he is doubting himself.
“What?” Jeongguk bertanya, tidak sadar bahwa ia setengah berteriak. “Sayang... sayang, ayo lihat aku sebentar.” Kata Jeongguk kemudian sambil mengangkat dagu Taehyung. Terlihat sorot khawatir dan takut dari sepasang mata Jeongguk. Ia memandangi manik hazel yang ada di hadapannya dengan takut.
“Sayang... kenapa kamu tanya aku kayak gitu?”
Jeongguk melihat Taehyung mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamarnya. Kekasihnya itu tidak melihat matanya. Ia terlihat enggan menatap Jeongguk. “Nggak tahu... aku merasa seperti itu. Aku kayak self centered? Nggak mikirin perasaan kamu...?”
And finally, Jeongguk lost it.
“Tae, kamu itu ngomong apa? Kamu orang yang paling selfless yang pernah aku kenal. And you're the best best friend, lover, and the best thing that have ever happened to me. Don't you dare bringing those negative thoughts of yours ever again, okay? Aku sayang banget sama kamu, Taehyung. Sangat.
“Aku yang seharusnya tanya ke kamu, apakah aku sudah menjadi pacar yang baik? Aku terlalu sibuk dengan perasaanku, takut kehilangan kamu dengan objecting my thoughts and lashed out. Aku tahu aku brengsek. Aku yang seharusnya minta maaf, Sayang...
“Jadi, please, jangan pernah ragu lagi akan diri kamu sendiri, ya? Karena kamu nggak berhak meragukan diri kamu, Tae. Kamu adalah yang terbaik buat aku, dan aku benar-benar menyesal sudah membuat kamu meragukan diri kamu sendiri.”
Taehyung dapat merasakan napas Jeongguk memburu, ada kilat marah dan kecewa dari kedua matanya. Taehyung lalu tersenyum dan menjulurkan tangannya untuk menangkup pipi Jeongguk. Mengelusnya pelan dengan ibu jarinya.
Kekasihnya itu menikmatinya. Ia bernapas lega, kedua bahunya melemah, tidak lagi tegang. Memejamkan kedua matanya untuk menyedot kuat-kuat aliran kasih sayang yang disalurkan oleh Taehyung.
“Iya, Ggukie, okay... Aku percaya kamu.” Kata Taehyung singkat. Ia menarik napasnya, lalu menyambung lagi. “Tapi aku nggak setuju dengan statement kamu kalau aku masih memikirkan orang lain di belakang kamu, apalagi dengan nada seperti menuduh.”
Taehyung akhirnya mengutarakan kekecewaannya pada Jeongguk. Namun ia tidak ingin membuat kekasihnya terus-terusan menyesali dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia hanya ingin memberitahu Jeongguk agar kedepannya, baik Jeongguk maupun dirinya tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Jeongguk akhirnya memandang kedua mata Taehyung dengan tatapan teduh. Taehyung dapat melihat air mata Jeongguk sudah menggenang dan akan segera lepas dari kelopak matanya.
“Aku sayang sama kamu Ggukie, sangat. Kamu harus tahu itu, dan kamu adalah orang yang menarik aku dari lubang hitamku. Kamu pun juga harus tahu itu. Kamu yang membuat aku benar-benar lupa dengan masa laluku, walaupun memang... memang kita berdua perlu berjuang dengan ekstra.
“But you helped me, Ggukie. You indeed did, and still do. Aku pun akhirnya sadar, wajar kalau kamu berpikir seperti kemarin, aku tahu. Aku mengutarakan pikiranku dengan kata-kata yang salah juga.
“Tapi aku percaya kamu, aku memaafkan kamu. I will always do. Aku juga minta maaf ya, Ggukie sayang?”
Air mata Jeongguk akhirnya lolos dan meleleh bak air hujan. Ia mengangguk cepat dan menarik tubuh Taehyung untuk memeluknya erat. Taehyung pun menangis, namun itu adalah tangis bahagia.
Ia tersadar, kunci dari sebuah hubungan adalah saling mengerti satu sama lain dan berkomunikasi. Hanya itu. Hanya dua hal itu yang selalu diingatkan pada Taehyung dan Jeongguk oleh kedua ibunya.
Taehyung tanpa henti membisikkan kata-kata pada Jeongguk sembari mengusap punggung kekasihnya yang lebar itu naik turun. Pun Jeongguk melakukan hal yang sama, sambil mengecup pelan pipi Taehyung berkali-kali. Menghujani sosok yang sangat ia cintai dengan seluruh cinta yang ia miliki.
Jeongguk terbawa pada situasi beberapa bulan lalu saat mereka ada di rumah Taehyung. Ia lalu tersenyum dan mengecup pelipis kekasihnya lagi dengan sayang.
“We are okay, Ggukie... we are okay.”