poetlady

Taehyung & Jimin

Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang saat Jimin dan Taehyung selesai membereskan barang-barang di kamar Taehyung. Pakaian mereka berserakan, beberapa kaset video game yang terlempar ke bawah kasur Taehyung, kabel terminal panjang yang melintang di depan pintu kamar mandi, dan isi tas kecil mereka yang sudah berhamburan entah kemana saja. Kemarin Taehyung, Jimin dan Hoseok menghabiskan waktu dengan melakukan brainstorming untuk ulang tahun Jeongguk. Taehyung beberapa hari ini kelelahan, ia sudah meminta pada Jimin untuk tidak mengajaknya duduk di kursi meja belajarnya dan menggunakan PCnya. Ia hanya ingin rebahan di kasurnya yang nyaman sambil mengerjakan segala tetek-bengek yang ia baca berulang kali supaya tidak ada yang terlewat. Jimin akhirnya mengusulkan pada Taehyung untuk menggunakan laptopnya saja, di kasur. Maka tidak heran jika tadi saat mereka bebersih kamar, ia menemukan buku kecil dan bolpoin yang semalam ia gunakan dibawah bantal Jimin.

Tiga hari lalu, Taehyung yang sudah sangat panik karena merasa persiapannya sangat kurang, akhirnya meminta bantuan Bundanya untuk menggambarkannya desain layout kasar kamar Jeongguk. Bagaimana caranya? Tentu Bunda Kim meminta Taehyung menjelaskan secara kasar, yang berakhir dengan Taehyung memberikan informasi yang terlalu detail menurut beliau.

Kata Bunda setelah hampir tiga puluh menit berkutat dengan sketch book nya yang tebal dan pensil di tangan, beliau seperti melihat kamar tidur kekasih anaknya itu didepan matanya. Bunda Kim hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dan berkata, 'you love Jeongguk so much, huh, Sayang?' Tentu Taehyung hanya bisa merespon Bunda dengan senyum kotaknya dan kedua pipinya yang sudah terasa hangat seperti habis direbus.

Jujur, Taehyung sangat bersemangat menyambut ulang tahun kekasihnya itu tahun ini. Mungkin karena status hubungan mereka yang sudah berubah dari sepasang sahabat menjadi kekasih? Ia ingin Jeongguk merayakan hari ulang tahunnya dengan senyum yang lebar hingga kedua pipinya pegal.

Ia berharap, semoga segala usahanya untuk membuat kekasihnya senang berjalan sesuai dengan rencana dan tidak berakhir dengan sia-sia.

Siang ini matahari tidak begitu terik. Cuaca sejak pagi memang mendung dan sendu. Tidak heran jika Jimin pagi ini terlalu nyaman meringkuk di kasur Taehyung yang cukup untuk tiga orang itu. Seingat Taehyung, Jimin bangun dari tidurnya saat ia sedang bermain dengan Yeontan di ruang tengah. Jam dinding tadi menunjukkan pukul sebelas siang dan Taehyung hanya tersenyum dan menyapa Jimin yang terlihat masih setengah terpejam melangkah ke arahnya dan memeluk tubuhnya erat seperti kedinginan.

Taehyung yang sedang merebahkan tubuhnya di sofa sambil menggerak-gerakkan kakinya—supaya tidak mengantuk, katanya tadi pada Jimin—tiba-tiba teringat dengan rencananya kemarin, memberitahu Jimin tepat tiga hari setelah ia mengetahui bahwa Jeongguk dan dirinya akan liburan ke Jepang. Taehyung tidak mengerti mengapa Bundanya tiba-tiba tercetus ide untuk menghadiahi Jeongguk trip ke Jepang ini, tapi ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Yang saat ini Taehyung pikirkan adalah dirinya, Jeongguk, dan kedua ibu mereka, sudah pasti akan liburan bersama beberapa minggu lagi. Hal itu saja sudah membuat Taehyung terlalu senang dan melonjak-lonjak di kasurnya hingga pergelangan kakinya nyaris terkilir.

“Jims, Jims. Gue mau ngomong sebentar, deh.” Taehyung menoleh dan memanggil Jimin yang terlihat merebahkan tubuhnya di sofa seberangnya, sedang asyik mengambil beberapa selca dengan Yeontan yang menyelipkan kepala mungilnya di bahu Jimin. Taehyung hanya memutar kedua bola matanya lalu terkekeh. Jimin yang merasa sudah 'selesai' berfoto ria dengan anjing peliharaan sahabatnya itu akhirnya menoleh.

“Hmm, kenapa Te?” Jawabnya singkat sambil menguap. Hari ini entah mengapa Jimin merasa sangat mengantuk. Entah, padahal ia tadi malam tidak meminum sesuatu yang berdampak akan kerja otak dan matanya hari ini. “Gue ngantuk banget deh, ke kamar, yuk?” Jimin menyambung sambil memaksa tubuhnya untuk duduk tegak dan akhirnya bersandar pada sandaran sofa.

Sure, tapi pasti lo bakalan nggak ngantuk setelah gue ngomong,” jawab Taehyung cepat dengan nada yang membuat Jimin penasaran. Taehyung dan Jimin memiliki kebiasaan tidak bisa merahasiakan sesuatu terlalu lama. Mulut dan tenggorokan Taehyung sudah gatal untuk memberitahu Jimin mengenai ajakan Bunda ke Jepang. Namun sepertinya, sahabatnya itu tidak ingat sama sekali bahwa Taehyung masih memiliki hutang cerita.

Huh? What is it?” Tanya Jimin bingung dan mengernyitkan dahinya. Ia sudah sangat mengantuk. Angin sejuk siang ini yang berhembus menyapu wajahnya benar-benar seperti menyihir kedua matanya untuk terpejam. Namun tiba-tiba sahabat Taehyung itu terbelalak dan memajukan tubuhnya. “Sebentar. Gue inget! Lo mau ngasih tahu gue sesuatu. Ya, 'kan? Apa, Te? Apa, apa, apa?” Jimin memukul-mukul kedua pahanya sendiri, seketika bersemangat dan antusias dengan cerita Taehyung yang jujur ia sendiri lupa bahwa ia dapat memperoleh jawabannya hari ini.

Taehyung yang melihat sahabatnya terlalu girang hanya menggelengkan kepala sambil tertawa. Ia tidak bisa membayangkan seperti apa respon Jimin nanti saat mengetahui rencana mereka.

“Jadi, long story short, Bunda came up with an idea to give Ggukie a present. A grand present, I must say.” Taehyung berbicara sambil mengerling ke arah Jimin, yang terlihat tersenyum heran namun tetap menunjukkan ekspresi penasarannya. “Bunda ngasih kado... trip ke Jepang, Jims. Gue, Ggukie, Bunda, Mama Jeon...” sambungnya sambil mengulur-ulur seperti layaknya seseorang akan memberi kejutan. Kedua matanya mengerling, alisnya digerak-gerakan untuk menggoda Jimin. “...dan lo, kalau lo bisa dan mau ikut.”

Reaksi Jimin setelahnya membuat Taehyung tertawa hingga terjungkal dari sofa. Sahabatnya itu hanya terkejut, diam tanpa suara. Mulutnya terbuka, matanya terbelalak, dan Jimin merosot dari duduknya di sofa ke lantai sambil berlutut.

Tidak butuh waktu lama hingga Jimin berteriak menggelegar, mengagetkan Yeontan yang sedang meringkuk malas di ujung sofa hingga anjing peliharaan Taehyung itu melompat dari sana dan berlari ke arah pelukan Taehyung. Membuat Mas Tris sampai menghampiri mereka di teras belakang dan Taehyung hanya tertawa terbahak sambil memberitahu pada beliau bahwa tidak perlu khawatir. Taehyung sudah tahu reaksi Jimin akan seperti apa saat berita ini ia sampaikan, maka Taehyung menggelengkan kepalanya sambil tetap tertawa geli.

Jimin terlihat melonjak-lonjak diatas sofa sambil berteriak—hampir menangis karena terlalu senang.

SO WE ARE GOING TO JAPAN TOGETHER? WE BOTH ARE GOING TO A TRIP TOGETHER TO JAPAN, FOR THE FIRST TIME, KIM TAEHYUNG? ARE YOU FUCKING SERIOUS? Oh my God. Oh my GOD! Aaaaaah!”

A Diamond

Bogum membereskan segala dokumen tetek-bengek yang membuatnya lupa waktu sore itu dan segera mandi. Ia sangat sibuk beberapa hari ini. Pekerjaannya di Aetig cukup menyita waktu Bogum—membuatnya lupa akan masalahnya sendiri dan pikirannya yang sedang bercabang. Tentu ia bersyukur karenanya. Membuat dirinya sendiri sibuk adalah hal yang selalu ia lakukan untuk mengalihkan fokusnya pada hal yang lebih penting.

Butuh waktu setengah jam untuk Bogum bersiap diri sembari memasukkan beberapa barang-barang penting di dalam tas kecilnya. Ia hari ini memutuskan untuk bekerja setengah hari saja—sudah berencana dari jauh hari agar dapat mengurus beberapa dokumen yang ia perlukan untuk bulan depan. Ben dan Kwan pun langsung mengiyakan. Bogum merasa seperti anak emas di sini. Padahal, ia baru bergabung menjadi bagian dari Aetig sebulan yang lalu.

Tiga jam sejak ia pulang dari tempatnya bekerja, ia manfaatkan untuk pergi ke kantor Aetig Group berada, bertemu dengan divisi HRD untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya saat ini dan project mendatang.

Gedung kantor Aetig tidak terlalu besar seperti perusahaan yang bergerak dibidang food & beverages pada umumnya. Kantor Aetig Group terletak di gedung lima tingkat—memang tinggi, namun tidak terkesan 'dingin'. Justru suasana di dalam sangat nyaman. Bogum merasa kagum dengan Ben yang benar-benar merancangnya sedemikian rupa oleh otak cerdasnya.

Mengingat semua itu, ia sangat tidak sabar untuk bertemu dengan sahabatnya, Jungki, dan menceritakan semuanya. Bogum merasa beruntung, memiliki sahabat sekaligus sosok yang ia sudah anggap seperti kakaknya sendiri. Beberapa hari ini ia sangat sibuk, sehingga lupa bertukar pesan sekadar untuk menanyakan kabar. Sejak Jungki tahu bahwa Bogum tinggal sendiri di apartemennya sekarang, pria itu sempat merasa khawatir. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa keluarga Bogum sama sekali tidak ada yang mengetahui tempat tinggalnya, kecuali Luna.

Pekerjaan Bogum yang menyita waktu dan tenaga itu membuat Jungki beberapa kali menawarkan Bogum untuk tinggal dengannya saja. Yang tentu, langsung ditolak mentah-mentah oleh Bogum. Waktu tinggalnya di Seoul hanya dua bulan, dan ia tidak ingin menjadi parasit di tempat tinggal Jungki, apalagi dengan keadaan bahwa sahabat Bogum itu sedang dalam masa break. Ia tidak ingin semakin merepotkan dengan pergi kerja pagi hari dan pulang larut malam, seperti tidak mempunyai tanggung jawab yang seimbang dengan pemilik tempat tinggal.

Bogum memilih pakaian yang ia rasa sudah sesuai dengan konsep restoran yang akan ia kunjungi—salah satu restoran yang terkenal seperti Aetig. Jungki memilih tempat itu tanpa heads up apapun darinya. Ia hanya menghela napas, berharap tidak ada yang mengenalinya di sana.

Ben dan Kwan memang pernah menggarisbawahi bahwa mereka berdua tidak akan menginvasi urusan pribadi Bogum—mereka pernah mengatakan bahwa tidak ada masalah jika ingin mengunjungi tempat selain Aetig, that's your life, sambil tersenyum tulus. Bogum bersyukur karenanya. Ia mengetahui sebuah informasi dari pihak HRD—saat hari pertama ia diajak berkeliling oleh Ben, memperkenalkan seluruh bagian dibawah naungan empirenya. Seorang staf HRD mengatakan bahwa menjadi staf Ben memiliki banyak keberuntungan. Selain mereka memiliki atasan yang sangat baik, mereka juga diberikan kebebasan. Perusahaan lain yang bergerak dibidang yang sama dengan Aetig & Group, melarang para stafnya untuk berkunjung ke restoran dan/atau bisnis kompetitor perusahaannya jika masih menjadi staf perusahaan yang bersangkutan.

Bogum hanya mengangguk tanda paham, namun dalam hati, ia bingung. Perusahaan macam apa yang mengatur kebebasan para stafnya?

Ia lalu menggelengkan kepala, tersadar dari lamunannya dan mengecek jarum jam dinding yang bertengger di sana. Kedua matanya terbelalak.

Shit, empat puluh menit lagi.

Bogum lalu segera memakai parfumnya, menyambar handphone dan tasnya, lalu melangkah keluar dari apartemennya. Ia sudah memesan taksi beberapa menit lalu, yang akan tiba tiga menit lagi.

Membutuhkan waktu tiga puluh lima menit dari apartemennya hingga ia sampai di sebuah restoran yang sudah dipilih Jungki. Ia segera membayar tarif taksinya dengan beberapa lembar uang, mengucapkan terima kasih, lalu melangkah keluar dari mobil itu. Suasana di depan restoran itu cukup ramai, Bogum bisa melihat jelas beberapa mobil yang terparkir rapi, lengkap dengan beberapa pria yang terlihat seperti para driver tamu restoran itu sedang bercengkrama di ruang merokok.

Restoran pilihan Jungki ini terlihat sangat sederhana—berada di sebuah gedung sendiri yang terlihat seperti restoran pada umumnya; terletak di pinggir jalan raya—tidak berada di dalam gedung tinggi seperti Aetig.

Bogum lalu melangkahkan kaki ke arah pintu masuk restoran itu—yang jujur ia sendiri lupa namanya—dan melihat seorang waiter membukakan pintu untuk dirinya. Mengucapkan terima kasih kemudian dan menyebutkan nama sahabatnya. Waiter itu pun tersenyum lalu mengajaknya melangkah ke dalam restoran itu. Bogum terkesima dengan interior dan layout restoran ini. Terlihat dan terasa sangat homey. Ia salut dengan pilihan sahabatnya. Bogum tahu ia akan betah berlama-lama duduk di restoran ini, sambil menikmati sebotol red wine yang menangkap perhatiannya tadi saat ia masuk restoran ini.

Jungki terlihat sedang fokus mengetik dilayar handphonenya. Sepertinya sahabatnya itu sudah mulai agak sibuk—dibuktikan dengan komentarnya siang tadi bahwa ia sehabis bertemu dengan Managernya. Jungki pernah beberapa kali mengatakan, sekujur tubuhnya seperti mati rasa jika tidak melakukan apapun, apalagi saat break. Biasanya ia selalu bepergian ke luar negeri. Namun hal itu diurungkan karena Bogum, sahabatnya sejak beberapa tahun lalu, sedang pulang ke Seoul.

“Hei, Kak. I am in time. Gila benar-benar jam tujuh gue sampai sini,” sapa Bogum sambil menepuk pelan lengan Jungki, mengagetkan sahabatnya itu yang sedang fokus dengan handphonenya. Jungki lalu menoleh dan tersenyum lebar, meletakkan benda mati itu, lalu menjulurkan tangannya untuk memeluk Bogum.

That's okay. Santai. Gue juga baru duduk lima menit di sini. Macet?” Balas Jungki saat ia melepaskan pelukannya dan kembali duduk. Sahabat Bogum itu terlihat sangat rapi malam ini. Walaupun ia tidak mengenakan tuxedo, namun cukup membuat Bogum mulai menyesali pilihan pakaiannya sekarang. “Gue habis ketemu sama my Manager somewhere else, maksa gue untuk dress up. Lo nggak salah kostum, kok.” Jungki berkata, seakan bisa membaca raut wajah dan pikiran Bogum sekarang.

Bogum lalu tertawa dan menghela napas kasar seolah-olah lega, yang membuat Jungki pun tertawa kemudian. “Damn, gue kira gue yang salah kostum, dong. By the way, iya macet. Gila deh hari Minggu dan sudah jam segini padahal.” Kata Bogum setengah mengomel lalu menyambung lagi. “And anyway, this place is nice. I like it,” pujinya sambil meletakkan tas kecilnya di dalam keranjang tas yang sudah tersedia, terletak di samping kakinya.

I know right. Have you been?” Jungki bertanya sambil terlihat mengubah mode handphonenya menjadi silent dan menelungkupkannya disamping tangan kirinya.

Bogum tersenyum dan melakukan hal yang sama. “No, this is my first time.” Ia tidak sempat mencari tahu saat tadi Jungki mengirimkan nama dan lokasi ini padanya. “Well, surprise me then, Kak. Seems like you've been here too many times.” Bogum tersenyum lebar, memperlihatkan giginya.

Jungki tertawa dan mengangguk. “Okay, the Owner is my dear friend, tho. I will introduce you both after we finished. Or maybe when he passes by later.”

Mereka berdua mempercayakan malam hari ini pada teman Jungki, yang ternyata sudah diberitahu beberapa jam sebelumnya bahwa dirinya akan mengundang sahabatnya untuk menghabiskan malam di sini. Bogum berterima kasih pada Jungki karena telah berusaha sejauh ini sehingga mereka dapat menghabiskan hari Minggu malam bersama.

“Jadi, gimana cerita lo, Bo? Gue nggak sabar, nih.” Jungki bertanya pelan seperti berbisik pada Bogum, sambil menyesap segelas red house wine yang dipilih oleh temannya tadi. Beberapa tamu yang tadinya duduk di sisi kanan kiri mereka akhirnya lambat laun berkurang. Jam di tangan Bogum pun sudah menunjukkan waktu pukul sembilan malam.

The night is still young, but he has to work tomorrow, pikirnya.

Bogum lalu menegakkan duduknya, memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua sikunya di meja. Ia sedari tadi sebenarnya sudah berusaha untuk tidak berbicara kearah sana. Jujur, Bogum rasanya akan terdengar seperti orang yang kurang bersyukur? Mungkin, berita ini termasuk berita baik menurut orang lain. Hanya berita baik, tidak ada berita buruk. Seharusnya. Namun Bogum tidak mengerti harus mengkategorikannya seperti apa. Ia merasa butuh bantuan dan saran dari Jungki, yang ia tahu sahabatnya itu akan membantunya untuk mencari solusi.

Good news or bad news first, Kak?” Bogum bertanya-ingin mengulur waktu yang ada. Ia rasanya ingin mengabaikan saja kata-katanya kemarin. Mungkin, ini adalah kabar baik? Keduanya adalah kabar baik. Mungkin semua pikiran negatif itu hanya ada di dalam kepalanya saja.

“Terserah lo. Gue siap mendengarkan, dan memberi saran, kalau lo perlu, tentunya.” Jawab Jungki mantap sambil tersenyum, seperti tahu apa yang sedang berkecamuk di kepala Bogum.

Ia akhirnya menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Semoga Jungki bisa memberikan saran yang membuatnya lega, atau bahkan membuatnya melupakan kegundahannya beberapa hari ini.

“Jadi, Ben minggu lalu info gue... kalau gue bakalan dipromosikan di Aetig yang baru? That's the good news.”

Mendengarnya, Jungki terbelalak dan bertepuk tangan kecil, tanpa suara-tahu bahwa mereka masih di restoran yang benar-benar mementingkan privasi para tamu. Sahabat Bogum itu terlihat tersenyum lebar, seperti bangga terhadap Bogum yang benar-benar bisa mengantongi kepercayaan Ben dan memutuskan untuk mempromosikan dirinya.

That's great, oh my God! Congrats ya, Bo,” kata Jungki terlalu bersemangat lalu mengambil gelas red winenya dan mengajak Bogum untuk bersulang. Bogum hanya tertawa lebar sambil mengangkat gelasnya. Kedua gelas yang bertemu itu menimbulkan suara yang cukup pelan lalu mereka berdua menyesap red wine masing-masing.

But...?” Tanya Jungki kemudian, tahu bahwa kabar selanjutnya yang ingin sahabatnya itu katakan adalah berita yang menurut Bogum cukup buruk untuk dirinya.

But... it's in Tokyo, Kak, not in New York.” Kata Bogum kemudian sambil menghela napas berat. Walaupun jarak dari Seoul ke Tokyo jauh lebih dekat dibandingkan dengan ke New York, namun ia seperti tidak bisa meninggalkan tempat yang sudah menjadi 'rumah' keduanya.

Lagipula, ini semua terjadi saat summer break. Setelah libur musim panasnya selesai, ia harus kembali ke New York dan melanjutkan kuliahnya.

Ia tidak tahu apakah ada cara lain untuk meyakinkan, atau bahkan melobi Ben untuk tidak mempercayakan Aetig Tokyo padanya.

“Serius, Bo? Tapi kuliah lo? New York? How?” Jungki bertanya bertubi-tubi tanpa jeda. Namun sepersekian detik, akhirnya ia berdehem dan menutup mulutnya saat melihat Bogum sekilas memutar kedua bola matanya.

“Justru itu kabar buruknya. Ben tahu gue masih punya kewajiban untuk menyelesaikan kuliah gue. So, why did he choose me to go there?”

Bogum tahu ia terdengar sangat egois sekarang? Atau terdengar besar kepala. Bagi sebagian orang di Aetig Group, mungkin ia akan terdengar demikian. Tapi bagi Jungki, di hadapannya ini adalah hanya seorang Bogum yang sangat mementingkan pendidikan dibandingkan dengan pekerjaannya. Pindah ke New York dan mendapatkan kesempatan untuk masuk ke salah satu universitas ternama di sana adalah bukan yang hal yang mudah. Jungki tahu semua perjuangan pria didepannya yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri ini.

Jungki lalu terdiam sekitar lima menit, berpikir jika ia berada di posisi Bogum. Apa yang akan ia lakukan? Bogum tidak akan bercerita jika menurut dirinya sendiri hal ini adalah masalah sepele; masalah yang menurutnya bisa dipecahkan sendiri.

“Buat gue, lo adalah berlian yang selama ini mereka cari. Lo sendiri, 'kan, yang bilang kalau beberapa kali bos lo di New York benar-benar ngerekomendasiin lo ke Ben? He saw and recognized your potential, so he trusted you to handle Tokyo.” Jungki menjelaskan, lengkap dengan perumpamaan yang Bogum tahu, itu adalah trademark sahabatnya saat menasihatinya. Bogum tersenyum mendengarnya, hanya dengan beberapa kalimat, Jungki bisa sedikit menenangkannya dan mengurangi tingkat kenegatifan pikirannya.

But, wait. Did Ben really ask you to move? Atau cuman visit aja? Memangnya, yang di Tokyo sudah buka?”

Ah, that.” Bogum lalu menggigit bibirnya, berusaha mencerna kata-kata Jungki, dan seketika mengumpat.

Damn, benar juga, pikirnya.

Ben tidak memintanya untuk pindah ke New York kemarin saat mereka berbincang. Ben hanya meminta Bogum untuk mendampinginya, melihat bagaimana Aetig di Tokyo dibangun seiring berjalannya waktu. Selain itu, Ben pun hanya meminta Bogum untuk melakukan kontrol perkembangan pembangunan dan memastikan bahwa Aetig akan berjalan sesuai dengan standar yang dimiliki di Seoul dan New York.

Jungki lalu menaikkan alisnya sebelah dan tertawa. “Lo pasti cuman overthinking, 'kan? Padahal lo belum tahu Ben maunya bagaimana.” Katanya lalu menyendok tiramisu yang dipesan oleh dirinya dan Bogum sebagai dessert.

“Bogum, stop thinking too far. Itu juga bisa membuat lo nggak berpikir jernih. Tenang aja, oke? Kalau gue prediksi dari cerita lo soal Ben orangnya seperti apa, kayaknya beliau nggak akan dengan 'sengaja' meminta lo untuk pindah ke Tokyo secepat itu. Dia benar-benar 'menjaga aset', dan aset itu lo. Sesederhana itu, Bo.”

Bogum lalu menghela napas, mengangguk tanda setuju dan tersenyum simpul. Entah, rasanya mendengar Jungki berkata dengan tulus seperti itu saja sudah membuat dirinya senang. Tidak pernah ada orang lain yang benar-benar memujinya dengan tulus seperti ini, bahkan ibunya sendiri. Selama ini, Bogum memang masuk dalam kategori seseorang yang menutup diri. Temannya tidak banyak di New York, bisa dihitung dengan jari. Sedangkan di Seoul? Ia tidak ingin menghubungi teman-temannya lagi, yang bisa dipastikan hanya menanyakan kabar dan hal basa-basi lainnya. Ia tidak mau.

Hanya Jungki, yang ia sudah anggap seperti kakak sendiri, yang benar-benar mengapresiasi dan menyayanginya tanpa embel-embel apapun. Bogum merasa beruntung saat itu bertemu dengan Jungki, beberapa tahun lalu.

“Ah, ya, thanks ya, Kak. Lo selalu tahu gimana caranya membuat gue benar-benar menghilangkan my overthinking thoughts.”

“Haha, sama-sama. Lo memang butuh dengar itu dari orang lain. Gue tahu hati lo keras, begitupun kepala lo. Lo butuh orang lain untuk menerobos. Kalau nggak, lo akan begini terus seumur hidup.” Canda Jungki, yang disambut dengan tertawa renyah dari Bogum.

Setidaknya, Bogum bisa bernapas lega sekarang dan mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang membuatnya tidak fokus.

“Ngomong-ngomong, partner Ben di Tokyo, siapa namanya, Bo?” Tanya Jungki sesaat setelah ia menyerahkan kartu kreditnya pada seorang waiter untuk membayar bill mereka malam ini. Sahabat Bogum itu ternyata memiliki diskon khusus dari teman dekatnya, sang pemilik restoran yang bernama In Sung. Beliau ramah. Bogum sempat berbincang sebentar dengannya tadi saat Jungki pergi ke toilet.

“Uh, kemarin Ben bilang, teman dekatnya saja sih. Wanita. Sudah lama bersahabat, sepertinya. Ben and I are going to meet her in Tokyo next month, kalau jadi.” Bogum berusaha mengingat apa saja yang Ben bicarakan padanya. Namun, nihil. Ia sudah cukup banyak minum malam ini, kepalanya terasa sangat ringan. Lagipula, Ben tidak pernah memberitahunya tentang siapa teman dekat wanitanya yang akan menjadi partnernya dibisnis Tokyo.

Damn, I'm so excited now! I can't wait, Kak!”

Make Up

Setelah Taehyung beradu argumen dengan Jeongguk tempo hari, ia langsung lari ke kamar tidurnya tanpa menoleh. Menghabisi waktu berjam-jam untuk menangis dengan dua buah bantal sebagai tumpuan kepalanya dan selimut tebalnya yang menutup hingga kepalanya. Taehyung sempat mendengar Jeongguk masuk ke kamar tidurnya, namun setelah lima menit berlalu, ia tidak merasakan tanda-tanda kasurnya berdecit atau tertekan turun seperti ada beban tubuh lain di kasurnya. Menyadari bahwa Jeongguk tidur di kasur terpisah, Taehyung lantas menangis lebih hebat; terisak dan bahunya naik turun.

Sejenak ia khawatir kekasihnya mendengar suara tangisnya dan keluar dari kamar tidurnya.

Namun tidak. Jeongguk tetap ada di sana, menemani Taehyung, walaupun terdapat jarak yang jauh diantara mereka.

Saat Taehyung berhenti menangis setelah sekitar satu jam dan sepasang matanya sudah memaksa untuk terpejam, ia mendengar dengan jelas suara lain yang menemani keheningan di kamarnya malam itu.

Taehyung mendengar Jeongguk-nya menangis.

Malam sebelum Taehyung tertidur, ia sempat mengirimi Jimin pesan yang sangat tak beraturan, yang Jimin mampu baca persis bahwa Taehyung menjelaskan dirinya dan Jeongguk sedang bertengkar. Maka tanpa diminta, Jimin berinisiatif untuk menginap di rumahnya keesokan harinya. Ia datang tepat setelah Jeongguk pamit pulang pada Taehyung. Sahabat Taehyung itu membawa satu buah koper besar—katanya, ia tidak tahu sampai kapan akan 'pindah tidur' di rumah Taehyung.

Bunda Kim yang sudah paham kebiasaan anak laki-lakinya dan sahabatnya itu hanya mengangguk saat Jimin memberitahu beliau bahwa dirinya akan menginap entah sampai kapan di rumah Keluarga Kim. Namun saat itu Bunda belum tahu; Taehyung sehabis bertengkar hebat dengan Jeongguk. Ini adalah pertama kalinya Bunda benar-benar clueless tentang mereka berdua karena beliau akhir-akhir ini sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Beberapa hari berlalu, baik Jeongguk maupun Taehyung bisa dikatakan hidup seperti zombie. Entah para siswa lainnya tidak tertarik lagi dengan hubungan mereka, atau memang Taehyung dan Jeongguk pandai bersandiwara sehingga tidak terlihat raut yang aneh menguar dari balik topeng mereka.

Jeongguk beberapa kali kerap mengirimi Taehyung dengan pesan selamat pagi dan malam, yang tak kunjung dibalas oleh kekasihnya itu. Ia tidak berhenti mencoba—beberapa kali menanyakan kabar pada Jimin, yang untungnya selalu dibalas oleh sahabat Taehyung itu. Jeongguk paham bahwa Taehyung membutuhkan waktu untuk sendiri. Maka ia memberikannya.

Namun Jeongguk tidak sadar, bahwa waktunya untuk sendiri habis untuk memikirkan Taehyung, dan tidak memikirkan dirinya sendiri. Jeongguk lantas berpikir, bahwa mungkin kejadian ini memiliki sisi positif. Bahwa sebenarnya, ia dan Taehyung masing-masing dapat merefleksikan diri.

So, Jeongguk stopped texting Taehyung after four days.

Seumur hidup Taehyung, ia tidak pernah menangis hebat hanya karena dinasihati Bundanya. Sebentar, mungkin pernah, saat beberapa tahun lalu Bunda menjelaskan duduk permasalahan antara Bunda dan Papanya yang menyebabkan orang tua Taehyung harus mengambil keputusan untuk bercerai.

Hanya sekali terjadi. Selebihnya tidak pernah. Bundanya memang terkenal sangat tegas jika berada di lingkungan pekerjaan; namun saat dengan Taehyung, ia bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Beliau masih tegas—ya, Taehyung pun tetap segan dengan Bundanya—namun beliau tidak pernah meninggikan suara jika berbicara dengan anak laki-lakinya.

Nasihat Bundanya pagi ini rasanya seperti gigitan ular berbisa yang membuat Taehyung 'terbangun dari tidurnya'.

Sudah lebih dari seminggu ini Taehyung hanya menangis dan menangis.

Mungkin Bundanya sudah jengah atau tidak betah melihat anak kesayangannya ini menangis, dan ternyata, tempo hari Bunda tidak sengaja bertemu dengan Jeongguk di kafe Haru saat meeting dengan rekannya. Seperti yang Bundanya bilang, Jeongguk benar-benar berantakan.

Butuh waktu sebentar untuk Taehyung akhirnya tersadar dari lamunannya; ia terlalu lama membaca pesan Bunda sambil berusaha untuk memproses seluruh wejangan dan juga informasi yang menurut Taehyung sangat penting. Untuk memiliki hati yang selembut kapas namun sekaligus sekeras batu seperti Taehyung, wejangan singkat Bunda adalah sebuah tamparan untuknya.

Taehyung berpikir, mungkin dirinya terlalu nyaman dengan keadaan dan kebiasaan. Menganggap bahwa setidaknya, Jeongguk akan kembali ke rumahnya dan meminta maaf pada Taehyung, dan semuanya akan kembali seperti sedia kala.

Kemungkinan kedua yang Taehyung pikirkan; katakan dirinya egois dan tidak mau kalah. Namun ia merasa, dirinya tidak salah sama sekali jika ingin mendapat closure dari Bogum. Apalagi sekarang, Bogum entah mengapa ada di Seoul. Sejak Jeongguk menyuarakan pikirannya dengan berteriak malam itu, jujur, Taehyung merasa sakit hati.

Ia tidak pernah menyangka Jeongguk akan; pertama, berteriak padanya tanpa berpikir. Kedua, mengutarakan pikirannya dengan tuduhan yang tidak berdasar. Yang terakhir, membuat dirinya sendiri sadar bahwa Jeongguk ragu dengan dirinya, dengan berteriak asal bahwa selama ini Taehyung masih memikirkan Bogum.

Atas dasar apa? Hanya karena Taehyung ingin bertemu dengan Bogum? Atau sebenarnya, ada hal lain yang berkecamuk di kepala Jeongguk? Taehyung terus-menerus berpikir demikian, sampai akhirnya Bundanya mengirimkan pesan pada Taehyung yang membuatnya seperti tersetrum.

Sadar bahwa sebenarnya, perjuangan dalam suatu hubungan tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja, 'kan?

Jika Jeongguk sudah mencoba berbagai cara, maka tidak ada salahnya untuk Taehyung mencoba juga, 'kan?

Pesan Bunda membuat Taehyung beranjak dari tidurnya di kasur, menyibakkan selimut tebalnya, dan berlari menuju kamar mandi. Ia mandi seadanya, tidak lupa mencuci muka dan menggosok giginya dua kali. Memakai deodoran, mengenakan pakaiannya, lalu bergegas ke luar sambil meringis karena lututnya menabrak keranjang pakaian kotor yang terletak di ujung dekat pintu kamar mandi.

Taehyung tidak menyadari bahwa dirinya sudah menangis sejak tadi membaca pesan Bundanya. Shower yang mengguyur basah seluruh tubuhnya pagi ini pun tidak mampu menyadarkan Taehyung bahwa air yang membasahi pipi dan wajahnya bukan hanya dari pancuran air di atas kepalanya.

Anak semata wayang Nyonya Kim itu dengan sigap mengambil handphonenya, menelepon kekasihnya berkali-kali yang tidak kunjung diangkat. Pada sambungan telepon ketiga belas, ia mematikan teleponnya dan berlari ke luar kamar tidurnya. Taehyung mengeluh dan rasanya ingin menjambak rambutnya yang masih basah. Apakah Jeongguk masih tidur? Atau malahan Jeongguk menghindarinya? Banyak sekali kemungkinan yang ia pikirkan dan rasanya, ia saat ini panik.

Ruang tengah sangat sepi, hanya ada suara samar-samar dari teras belakang yang mengundangnya untuk mendekat. Taehyung melihat sekilas sahabatnya sedang duduk di sofa besar di sana sambil bermain dengan Yeontan, anjing peliharaannya. Ia tidak tega 'memisahkan' Jimin dan Yeontan yang sedang bermain, tapi Taehyung tidak ingin pergi ke rumah Jeongguk seorang diri. Ia sudah yakin bahwa dirinya akan menangis lebih parah daripada saat ini, maka ia butuh sahabatnya untuk mendampinginya.

Jimin menoleh saat mendengar langkah kaki Taehyung mendekat. Alas kaki sahabatnya itu bergesekan dengan lantai cukup berisik, membuat Yeontan pun ikut menolehkan kepalanya. Jimin melihat Taehyung sudah segar—namun tetap berantakan. Belum sempat ia membuka mulut untuk memulai pembicaraan, Taehyung sudah menyela Jimin sambil terisak.

“Jims, t-temenin... Temenin ke–ke rumah Ggukie. P-please, n-now.” Taehyung terdengar merengek sambil mengutak-atik handphonenya, memencet tutsnya asal-asalan dan memasukannya kembali kedalam kantong hoodienya.

Sahabat Taehyung itu hanya mengernyit.

Ada apa? Mengapa tiba-tiba Taehyung ingin pergi ke rumah Jeon dengan menangis dan wajah kusut seperti ini?

“Tae, is everything okay?” Jimin bertanya dengan nada khawatir.

Taehyung mencoba untuk mengatur napasnya yang seperti tertahan di dada. Menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Gue butuh ke rumah Ggukie. Sekarang. Please, pretty please, come with me,” kata Taehyung lirih, memohon pada Jimin agar sahabatnya itu menemaninya.

Maka Jimin lantas mengangkat Yeontan dari pangkuannya dan melepaskannya di halaman belakang. Ia menyelipkan handphonenya di saku celana rumahnya dan berjalan ke arah sahabatnya yang terlihat sangat kusut walaupun baru saja mandi. Taehyung dengan sigap menggenggam tangan Jimin dan menariknya, mengajak untuk segera ke luar dari rumah dan bergegas pergi ke rumah Jeongguk.

“Oke, oke. Ayo. Gue bawa mobil, ya? Supaya cepat,” Jimin menawarkan, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Taehyung.

“Nggak mau. Mau jalan kaki aja. Lebih cepat.” Jawab Taehyung sekenanya sambil setengah merengek.

Jimin mengernyit lalu memegang kedua lengan Taehyung yang terlihat bergetar. Ia tidak mungkin membiarkan Taehyung yang sedang terlihat seperti ini berjalan kaki ke rumah Jeongguk, yang tidak hanya lima sampai sepuluh meter. Walaupun jarak rumah mereka berdekatan, namun jika dikira-kira, mungkin dapat menempuh waktu sepuluh menit untuk sampai di rumah Jeongguk. “Hei, tenang dulu. Jeon pasti nggak akan ke mana-mana. Masa lo mau jalan kaki sekitaran kompleks sambil nangis begini?”

“Nggak mau, Jiminie! Mau jalan kaki!” Tolak Taehyung setengah berteriak, dengan kaki yang dihentakkan ke lantai. Jimin lantas terkejut. Terakhir kali Taehyung merengek dan bersikap kekanak-kanakan seperti ini adalah saat mereka masih duduk di bangku SD.

Lebih baik gue turuti daripada dia tambah ngambek, batin Jimin.

Akhirnya setelah Jimin mengganti pakaiannya yang lebih sopan untuk bertamu ke rumah orang, ia segera menyusul Taehyung yang sudah siap di depan rumah, berdiri sambil memandangi layar handphonenya terlalu serius. Jimin dapat melihat bahwa temannya itu sedang panik.

“Ayo, Te,” kata Jimin kemudian yang segera menyelipkan tangannya di sebelah Taehyung untuk menggandeng tangan sahabatnya itu. Kebiasaan mereka berdua yang sudah dilakukan sejak dulu untuk menenangkan satu sama lain jika sedang panik seperti ini.

Jimin melirik sekilas ke arah Taehyung, kedua bahu sahabatnya itu terlihat perlahan turun, tanda bahwa Taehyung membutuhkan gestur sederhana itu untuk menenangkannya.

Sepanjang perjalanan mereka ke rumah Jeongguk, keduanya tidak berbicara sama sekali. Taehyung tenggelam dalam pikiran dan kemungkinan-kemungkinan yang berenang-renang di otaknya, sedang Jimin ingin memberi Taehyung waktu untuk menenangkan dirinya sebelum sampai di rumah Jeongguk.

Entah mengapa Jimin memiliki firasat bahwa nanti akan ada pembicaraan serius antara Taehyung dan Jeongguk yang membutuhkan privasi. Jimin sudah berencana akan menunggu di luar kamar saja selagi mereka berbicara nanti. Setidaknya Taehyung tahu bahwa Jimin ada di ruangan lain untuk menunggu dan menemaninya.

Sesampainya mereka di rumah Jeongguk, Taehyung melihat mobil Yugyeom terparkir di depan garasi rumah kekasihnya. Ia sadar bahwa Jimin di sampingnya kebingungan melihat mobil temannya itu ada di rumah Jeongguk.

“Yugi nginep di rumah Ggukie, nemenin dia katanya. Mama lagi business trip ke Tokyo.” Taehyung berkata seperti bisa membaca pikiran sahabatnya. Jimin lalu mengangguk tanda mengerti dan mengikuti Taehyung dari belakang yang sudah melepas alas kakinya dan melangkah masuk ke rumah Jeongguk. Orang rumah Jeongguk yang sudah akrab dengannya membukakan pintu utama dan mempersilahkan mereka berdua masuk.

Rumah Jeongguk terlalu sunyi. Beberapa tirai masih ditutup, tidak mengizinkan cahaya matahari masuk melalui beberapa jendela rumah. Taehyung berjalan pelan dari arah ruang tamu sambil mencari-cari sosok Yugyeom. Mereka berdua akhirnya memasuki ruang tengah yang masih gelap. Taehyung lalu mencari saklar lampu yang sudah ia hafal letaknya untuk menyalakan lampu ruangan.

Saat lampu ruangan akhirnya menyala, Taehyung dikejutkan dengan dua sosok familiar yang terlihat sedang terlelap di sofa ruangan itu.

Taehyung sudah tidak tahan, ia ingin menangis lagi saat itu juga.

Yugyeom terlihat sedang terlelap sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Sepertinya sahabat Jeongguk itu kembali tertidur setelah bertukar pesan dengan Taehyung.

Sedangkan Jeongguk? Kekasih Taehyung itu terlihat sedang tidur di samping Yugyeom dengan telungkup, rambutnya berantakan, tubuhnya tertutup selimut sampai ke belakang kepalanya. Jeongguk pun terlihat memegang satu botol soju di tangan kanannya yang menggantung ke lantai.

Kekasih Taehyung tidak pernah, garis bawahi, tidak pernah seperti ini.

Jimin terlihat mengusap-usap keningnya sendiri sambil berbisik, seperti tidak percaya dengan apa yang ia lihat di hadapannya saat ini. Sepasang mata Taehyung lalu melirik ke arah meja yang terletak di seberang sofa; penuh dengan boks pizza dan botol-botol minuman lainnya yang Taehyung tidak tahu namanya.

Ada apa dengan Jeongguk-nya? Apakah ini semua terjadi karena dirinya?

Tidak tahan (sekaligus ingin mengalihkan perhatiannya yang sebentar lagi akan menangis hebat jika ia hanya berdiam diri), maka Taehyung akhirnya berinisiatif memungut beberapa bekas bungkusan yang tercecer di sekeliling sofa. Ia pun mengangkat botol-botol minuman yang tergeletak di sana-sini, kecuali yang sedang dipegang oleh Jeongguk. Beberapa boks pizza yang sedang terbuka di meja pun akhirnya dibereskan pula, sedang yang sudah kosong, dipisahkan di ujung sofa. Jimin pun ikut membantu Taehyung membereskan ruang tengah rumah Jeongguk dan tenggelam dalam keheningan.

Mereka berdua tidak tersadar bahwa Yugyeom perlahan mengerjapkan kedua matanya, terbangun dari tidurnya yang tergolong singkat. Kepalanya pening, kedua matanya belum siap menerima sinar buatan yang silau. Semalaman Yugyeom 'menjaga' dan menemani Jeongguk minum. Entah apa yang sedang merasuki sahabatnya, sehingga ia meminta Yugyeom untuk membelikannya dua krat soju dan tiga boks pizza favoritnya. Jeongguk terlihat sangat kacau akhir-akhir ini, dan puncaknya adalah tadi malam.

Satu-satunya jalan untuk membuat Jeongguk tenang adalah dengan mengabulkan seluruh permintaannya.

Beruntung Mama Jeon sedang pergi keluar kota. Yugyeom tidak tahu harus berkata apa jika beliau melihat anak semata wayangnya sedang dalam state ini. Menurut Yugyeom, sepertinya beliau belum tahu bahwa anaknya sedang dalam zona diam dengan Taehyung.

Maka Yugyeom pun memiliki inisiatif yang sama dengan Jimin; menginap di rumah sahabatnya dan 'menjaga' mereka berdua dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Jeongguk tidak berisik saat mabuk berat tadi malam. Justru ia sangat diam; hanya melihat ke arah layar televisi dengan tatapan kosong, menggumam sesuatu, dan lalu menegak isi botol suju itu hingga habis sambil diselingi mengunyah beberapa potong pizza. Yugyeom senantiasa meladeni Jeongguk dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan—yang masuk hingga tidak masuk akal sama sekali.

Yugyeom tidak pernah melihat sahabatnya sangat kacau seperti sekarang ini. Jeongguk hanya bercerita bahwa he seriously fucked up and hurt Taehyung that bad. Setelahnya, Jeongguk selalu berakhir dengan menangis. Ia tidak pernah bisa melanjutkan ceritanya pada Yugyeom.

Katanya beberapa kali pada Yugyeom, ia merasa bersalah karena telah menyakiti Taehyung. Ia menyakiti Taehyung-nya dan ia tidak merasa baik-baik saja.

Kekasih Taehyung itu menghabiskan hari-harinya dengan berdiam diri, tidur, mengerjakan tugas sekolah, mandi, menangis, menatap dinding kamarnya dengan kosong, menggumamkan nama Taehyung, dan beberapa hal lainnya yang tidak Yugyeom ingat. Yugyeom melihat Jeongguk benar-benar membawa handphonenya ke manapun ia pergi. Memandangi layar benda mati itu sambil menggumam kata maaf, berharap Taehyung akan membalas pesannya atau malah menelponnya.

Yugyeom tahu, Jeongguk sudah berhenti untuk mencoba menghubungi Taehyung beberapa hari lalu. Ia ingat, sahabatnya itu berkali-kali menggumamkan kata-kata yang membuat hatinya sendiri nyeri mendengarnya.

He hates me now. Taehyung hates me.”

Sepasang manik hazel milik Taehyung akhirnya bersirobok dengan mata Yugyeom. Pandangan matanya sudah buram. Air mata sudah menggenang di ujung kedua mata indahnya. Akhirnya Yugyeom pun menegakkan tubuhnya dan menggaruk tengkuk lehernya canggung.

“Tae, you're here. Maaf gue belum sempat beresan, Gguk baru tidur tadi subuh. Semalaman kacau banget. Gue harus ngeladenin dia.” Yugyeom berkata pelan hampir berbisik, tidak ingin membangunkan sahabatnya karena suara mereka. Sahabatnya itu akhirnya berhasil tertidur tepat pukul lima pagi. “Orang rumah udah diminta sama Jeongguk jangan masuk ke area dalam dari kemarin sore. Untunglah beliau mau.”

Taehyung hanya bisa mengangguk sambil memejamkan matanya. Ia sudah duduk di lantai, meletakkan tangannya di armrest sofa sisi kepala Jeongguk. Ia mensejajarkan wajahnya tepat di depan wajah kekasihnya itu, memandang wajah sayunya dengan tatapan sendu. Jimin dan Yugyeom duduk bersisian di sofa sebelahnya, tidak ingin menjadi pengganggu dalam privasi keduanya. Taehyung meneliti setiap sudut wajah Jeongguk sambil menahan tangis. Kulit wajah kekasihnya terlihat berminyak, kantong matanya begitu terekspos, dan wajahnya kuyu. Ia tidak tega melihat kekasihnya yang biasanya terlihat ceria dan sehat bugar menjadi seperti ini.

Ia memajukan kepalanya, hendak mengecup kening Jeongguk saat akhirnya sosok di depannya perlahan menggerakkan tubuhnya. Kedua bola matanya yang masih tertutup terlihat bergerak ke sana ke mari. Taehyung tahu, beberapa saat lagi, kekasihnya akan bangun dari tidurnya.

Merutuki dirinya sendiri karena sepertinya gesturnya membuat Jeongguk terbangun dari tidurnya, akhirnya Taehyung memundurkan tubuhnya, memberi spasi yang cukup antara dirinya dan Jeongguk.

Namun terlambat, Jeongguk akhirnya membuka kedua matanya yang masih lengket akibat terlalu mengantuk dan kurang tidur. Ia menggeser tubuhnya dan memposisikannya sehingga menghadap ke langit-langit rumah. Jeongguk sesaat meletakkan botol soju yang masih dipegangnya dengan asal di lantai sambil tetap memejamkan matanya. Ia tidak sadar bahwa botolnya tidak mendarat di lantai, melainkan di paha Taehyung yang membuat botol soju itu terbanting ke lantai dan mengeluarkan suara yang cukup kencang untuk telinga Jeongguk.

Shit. Gyeom? Gyeom, did I break it?” Gumam Jeongguk dengan suara paraunya. Taehyung bisa merasakan kerongkongan kekasihnya kering. Ingin sekali ia membangunkan Jeongguk dan menyodorkan satu botol air mineral untuknya minum.

Taehyung ingin membelai pipi Jeongguk yang tercetak garis-garis abstrak tanda kekasihnya tadi tertidur dengan nyenyak. Ia ingin kembali menyapa Jeongguk dengan ucapan selamat pagi seperti yang biasa mereka lakukan setiap hari.

Taehyung merindukan kehadiran Jeongguk saat ini. Klise memang. Jeongguk ada di hadapannya sekarang namun Taehyung merasa hatinya kosong dan nyeri.

Ia merindukan Jeongguk-nya. Ia merindukan Jeongguk-nya kembali seperti semula.

“Nggak pecah, Ggukie,” cicit Taehyung kemudian, yang disusul dengan suara helaan napas dari Jimin dan Yugyeom. Kedua sahabatnya sejak tadi tidak bergeming, hanya fokus melihat Taehyung yang berlutut di hadapannya, menunggu Jeongguk untuk bangun.

Mendengar suara yang Jeongguk sudah rindukan selama seminggu lebih, ia lalu menoleh cepat, membuka kedua matanya sambil menggumam. Suaranya serak dan parau. Kerongkongannya terasa kering dan perih, tapi ia tidak peduli.

Jeongguk mendengar suara malaikatnya lagi. Ia mendengar suara Taehyung-nya.

Apakah ia sedang bermimpi? Ini mungkin pengaruh minuman yang ia habiskan tanpa henti tadi malam.

My baby is here? Really? Babyyy...” Kata Jeongguk akhirnya terduduk dan terhuyung karenanya. Jeongguk memperhatikan wajah Taehyung, wajah malaikatnya. Ia mengangkat tangannya, menjulurkannya untuk menyentuh pipi kesayangannya itu. Namun, sosok di hadapannya tidak bergeming. Ia hanya diam di sana, berlutut sambil memperhatikan dirinya dengan kedua mata indahnya.

Ia benar-benar berhalusinasi, ya?

“Taehyung sayang, is that you? Hmm? Am... am I hallucinating?” Jeongguk meracau. Ia mengusap kedua matanya dengan telapak tangannya, berusaha untuk melihat sosok di hadapannya lebih jelas. Benar, kok. Ia tidak salah lihat. Jeongguk akhirnya menyentuh kedua pipi sosok di hadapannya, yang menurutnya, itu Taehyung.

Seketika telapak tangan Jeongguk pun basah.

Huh, sosok di depannya ini menangis? Apa benar? Apa Taehyung-nya menangis? Mengapa kekasihnya itu menangis?

Taehyung merasakan bendungan air matanya jebol. Ia menangis hebat sekarang, melihat Jeongguk yang benar-benar berbeda dari Jeongguk-nya yang ia kenal. Taehyung merasakan kedua telapak tangan kekasihnya menangkup pipinya, membelainya lembut dengan sayang.

Ia merindukan itu. Ia merindukan Jeongguk.

“Ggukie, ini aku. Ini Taeby.” Jawab Taehyung lirih, yang sedang mengatur napasnya. Berusaha untuk menjawab pertanyaan Jeongguk disela-sela tangisnya.

Jeongguk menggeleng tidak percaya, namun masih membelai lembut kedua pipi Taehyung. “Are you really?” Ia bertanya-tanya, tidak percaya dengan jawaban Taehyung. Jeongguk lalu menggelengkan kepalanya cepat. “No, it can't be him. Nooo? He-he hates... he hates me. He won't be here... right? Right, Gyeom?” Jeongguk mencoba mencari suara Yugyeom yang tidak kunjung membalasnya.

Sahabat Jeongguk itu dan Jimin duduk terdiam di sisi sofa lainnya. Mereka berdua tidak bergeming. Keheningan menyelimuti ruangan itu. Hanya ada suara tangis Taehyung, Jeongguk, Yugyeom dan Jimin.

Sahabat Jeongguk dan Taehyung itu pun sudah menangis melihat interaksi para sahabat mereka yang benar-benar membuat nyeri hati.

It really is Taehyung, Gguk. Your angel is here.” Jawab Yugyeom lirih.

Setelah bahu-membahu memapah tubuh Jeongguk pindah ke kamar tidurnya, akhirnya Jimin dan Yugyeom berinisiatif untuk keluar dari sana. Taehyung mengucapkan terima kasih kemudian, mengusulkan untuk makan siang mendahuluinya dan kekasihnya. Taehyung meminta Jimin untuk tidak meninggalkannya sendiri, seperti janjinya awal. Jimin mengangguk kemudian, mengecup pelan puncak kepalanya dan mengusap pelan punggungnya. Gestur Jimin seperti biasa—memberi harapan pada Taehyung bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Taehyung lalu menutup pintu kamar Jeongguk dan menempelkan dahinya pada pintu kayu itu. Ia rasanya tidak sanggup menghadapi situasi ini sendirian. Hatinya hancur melihat Jeongguk hancur seperti beberapa saat lalu di ruang tengah. Apakah ia sudah keterlaluan terhadap kekasihnya sendiri?

Ia lalu menarik napas panjang, menahannya barang sebentar, lalu menghembuskannya perlahan. Taehyung akhirnya menegakkan tubuhnya mantap, bermaksud untuk menghampiri Jeongguk.

Kekasihnya itu terlihat tertidur. Taehyung dapat mendengar dengkuran halus mengisi seluruh ruangan kamar Jeongguk. Ia tersenyum lalu melangkah ke arah kasur dan merebahkan dirinya di samping Jeongguk.

Nyaman. Seperti rumah.

Taehyung memposisikan tubuhnya dan kepalanya agar sejajar dengan Jeongguk—meneliti mata, hidung, dan bibir kekasihnya yang sedang tertidur nyenyak. Ia lalu mendekatkan tubuhnya, menjulurkan tangan kirinya untuk memeluk Jeongguk tepat di leher.

Tak berapa lama berselang, Taehyung merasakan beban yang cukup berat di perpotongan pinggangnya. Jeongguk memeluknya erat, menarik tubuh Taehyung hingga tidak ada jarak diantara mereka. Membenamkan wajahnya di leher Taehyung, dan menggumam, yang tentu, terdengar jelas oleh Taehyung. Seperti senandung indah di telinganya.

“I love you, baby. I am so sorry.” Gumam Jeongguk, masih memejamkan matanya yang semakin lama terasa semakin berat.

“And I you, Ggukie. I am sorry, too. I'm really sorry.”

Taehyung dapat merasakan Jeongguk menyunggingkan senyum di lehernya.

Tidak terasa sudah lima jam lamanya Taehyung dan Jeongguk tertidur nyenyak. Langit sudah mulai gelap, tanda malam akan segera datang. Jeongguk sudah terbangun sejak sepuluh menit lalu. Kepalanya pening dan nyeri. Entah apakah ini dikarenakan banyaknya soju yang ia konsumsi sejak malam hingga subuh tadi, atau kenyataan bahwa dirinya sangat kurang istirahat selama seminggu belakangan.

Jeongguk terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia melihat Taehyung di sisinya saat membuka mata. Ia mengerjapkan matanya kembali sesaat sebelum akhirnya menyadari bahwa di sampingnya, Taehyung-nya sedang tertidur pulas. Jeongguk lalu memperhatikan wajah Taehyung dengan teliti; matanya, bulu matanya yang panjang dan lentik, hidungnya yang merah, bibir mungilnya yang mengerucut kedepan, keningnya yang membentuk guratan seperti sedang berpikir keras di alam mimpinya.

Ia sangat mencintai kekasihnya ini. Apa yang ia pikirkan saat seminggu lalu berbicara dengan Taehyung? Pertengkaran mereka membuat dirinya dan Taehyung 'berpisah' lebih dari seminggu. Pertama kali terjadi selama ia menjalin hubungan dengan kekasihnya ini. Rasa sesal kembali membanjiri kepala dan sekujur tubuh Jeongguk. Ia merasa bodoh dan sudah kelewatan.

Ia tidak yakin, apakah saat Taehyung bangun nanti, kekasihnya itu akan menyesali keputusannya untuk menemaninya tidur di kamar Jeongguk?

Ataukah mereka berdua akan menangis menyesali pertengkaran yang membuat dunia mereka berdua seperti jungkir balik?

Entahlah. Saat ini Jeongguk hanya ingin menghabiskan waktu dengan memandangi Taehyung sambil membelai rambut hitamnya yang lebat. Tuhan, Jeongguk benar-benar merindukan Taehyung. Rasanya ia ingin selalu mendekap Taehyung erat, tidak ingin melepaskan kekasihnya itu barang sedikitpun.

Waktu berlalu sekitar sepuluh menit lamanya, hingga akhirnya pergerakan kekasihnya membuat Jeongguk tersadar dari lamunannya. Taehyung menggerakkan tubuhnya dan kepalanya, sepertinya sebentar lagi ia akan bangun. Jeongguk dengan sigap menyisir rambut Taehyung yang menutupi dahi dan mengecupnya pelan, dan lama. Ia ingin mentransfer seluruh energi positifnya pada Taehyung, ingin meminta Taehyung untuk merasakan cintanya yang sudah tertahan untuk diekspresikan selama seminggu kemarin.

Taehyung akhirnya bangun dari tidurnya, mengerjapkan matanya, dan menyadari bahwa ia tidak sedang berada di kamarnya.

Ah, ya, Taehyung tertidur di kamar Jeongguk.

Ia merasakan belaian lembut di puncak kepalanya, dan kecupan sayang dari Jeongguk pada dahinya beberapa saat lalu. Ia tersenyum, ingin menyapa Jeongguk dengan segala tenaga dan cinta yang ia rasakan saat ini.

“Hei, Ggukie. Kamu sudah bangun,” kata Taehyung pelan sambil tersenyum dan memejamkan matanya kembali. Ingin menyedot dan merasakan belaian lembut dari Jeongguk yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

“Hei, malaikatku. Yeah, I am awake.” Balas Jeongguk tersenyum teduh dan mengerling, membuat Taehyung tertawa pelan dan menarik tangan kanan Jeongguk yang masih memeluk pinggangnya. Meraih jemari Jeongguk dan mengaitkannya dengan jarinya. Merasakan cinta itu mengalir ke seluruh tubuhnya. Seperti recharging.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napas teratur dari mereka dan bunyi tangan Jeongguk yang bergesekan dengan rambut Taehyung.

“Ggukie, apa kita bisa bicara... sekarang? I need to solve it as soon as possible. Aku... aku takut.” Kata Taehyung membuka pembicaraan, memecah keheningan yang sudah beberapa menit mengungkung mereka berdua.

Jeongguk mengernyit, merasa bingung akan kata-kata yang baru saja kekasihnya ucapkan.

“Iya, bisa, Sayang. Let's talk, okay? But first of all, kamu takut kenapa? Aku di sini, Tae. Selalu.” Hanya itu yang bisa Jeongguk katakan. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ia utarakan dan tanyakan.

Apa kabar kamu? Apakah kamu makan dengan teratur? Apakah kamu tidur dengan cukup? Apa kamu sering menangis? Apa kamu marah? dan belasan pertanyaan lainnya yang ingin ia lemparkan pada Taehyung. Namun ia tidak sanggup. Ia akan berakhir menangis jika menghujani Taehyung dengan rasa penasarannya sekarang.

Taehyung terlihat ragu untuk menjawab Jeongguk sekarang. Namun ia bersikeras mendorong rasa ragunya dan menjawab Jeongguk sambil memandang sepasang mata indah kekasihnya itu.

“Apa... apa aku masih pacar kamu, Ggukie? Apa... apa selama ini aku adalah pacar yang baik untuk kamu?” Taehyung bertanya, menggumam dengan lirih.

Namun Jeongguk bisa mendengar jelas pertanyaan itu.

Jeongguk terbelalak. God, pertanyaan macam apa ini? Ia merasa sangat brengsek sekarang.

Ia sudah membuat kekasihnya ragu akan dirinya sendiri.

Shit, benar kata Jimin, I would end up hurting him because now he is doubting himself.

What?” Jeongguk bertanya, tidak sadar bahwa ia setengah berteriak. “Sayang... sayang, ayo lihat aku sebentar.” Kata Jeongguk kemudian sambil mengangkat dagu Taehyung. Terlihat sorot khawatir dan takut dari sepasang mata Jeongguk. Ia memandangi manik hazel yang ada di hadapannya dengan takut.

“Sayang... kenapa kamu tanya aku kayak gitu?”

Jeongguk melihat Taehyung mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamarnya. Kekasihnya itu tidak melihat matanya. Ia terlihat enggan menatap Jeongguk. “Nggak tahu... aku merasa seperti itu. Aku kayak self centered? Nggak mikirin perasaan kamu...?”

And finally, Jeongguk lost it.

“Tae, kamu itu ngomong apa? Kamu orang yang paling selfless yang pernah aku kenal. And you're the best best friend, lover, and the best thing that have ever happened to me. Don't you dare bringing those negative thoughts of yours ever again, okay? Aku sayang banget sama kamu, Taehyung. Sangat.

“Aku yang seharusnya tanya ke kamu, apakah aku sudah menjadi pacar yang baik? Aku terlalu sibuk dengan perasaanku, takut kehilangan kamu dengan objecting my thoughts and lashed out. Aku tahu aku brengsek. Aku yang seharusnya minta maaf, Sayang...

“Jadi, please, jangan pernah ragu lagi akan diri kamu sendiri, ya? Karena kamu nggak berhak meragukan diri kamu, Tae. Kamu adalah yang terbaik buat aku, dan aku benar-benar menyesal sudah membuat kamu meragukan diri kamu sendiri.”

Taehyung dapat merasakan napas Jeongguk memburu, ada kilat marah dan kecewa dari kedua matanya. Taehyung lalu tersenyum dan menjulurkan tangannya untuk menangkup pipi Jeongguk. Mengelusnya pelan dengan ibu jarinya.

Kekasihnya itu menikmatinya. Ia bernapas lega, kedua bahunya melemah, tidak lagi tegang. Memejamkan kedua matanya untuk menyedot kuat-kuat aliran kasih sayang yang disalurkan oleh Taehyung.

“Iya, Ggukie, okay... Aku percaya kamu.” Kata Taehyung singkat. Ia menarik napasnya, lalu menyambung lagi. “Tapi aku nggak setuju dengan statement kamu kalau aku masih memikirkan orang lain di belakang kamu, apalagi dengan nada seperti menuduh.”

Taehyung akhirnya mengutarakan kekecewaannya pada Jeongguk. Namun ia tidak ingin membuat kekasihnya terus-terusan menyesali dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia hanya ingin memberitahu Jeongguk agar kedepannya, baik Jeongguk maupun dirinya tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Jeongguk akhirnya memandang kedua mata Taehyung dengan tatapan teduh. Taehyung dapat melihat air mata Jeongguk sudah menggenang dan akan segera lepas dari kelopak matanya.

“Aku sayang sama kamu Ggukie, sangat. Kamu harus tahu itu, dan kamu adalah orang yang menarik aku dari lubang hitamku. Kamu pun juga harus tahu itu. Kamu yang membuat aku benar-benar lupa dengan masa laluku, walaupun memang... memang kita berdua perlu berjuang dengan ekstra.

But you helped me, Ggukie. You indeed did, and still do. Aku pun akhirnya sadar, wajar kalau kamu berpikir seperti kemarin, aku tahu. Aku mengutarakan pikiranku dengan kata-kata yang salah juga.

“Tapi aku percaya kamu, aku memaafkan kamu. I will always do. Aku juga minta maaf ya, Ggukie sayang?”

Air mata Jeongguk akhirnya lolos dan meleleh bak air hujan. Ia mengangguk cepat dan menarik tubuh Taehyung untuk memeluknya erat. Taehyung pun menangis, namun itu adalah tangis bahagia.

Ia tersadar, kunci dari sebuah hubungan adalah saling mengerti satu sama lain dan berkomunikasi. Hanya itu. Hanya dua hal itu yang selalu diingatkan pada Taehyung dan Jeongguk oleh kedua ibunya.

Taehyung tanpa henti membisikkan kata-kata pada Jeongguk sembari mengusap punggung kekasihnya yang lebar itu naik turun. Pun Jeongguk melakukan hal yang sama, sambil mengecup pelan pipi Taehyung berkali-kali. Menghujani sosok yang sangat ia cintai dengan seluruh cinta yang ia miliki.

Jeongguk terbawa pada situasi beberapa bulan lalu saat mereka ada di rumah Taehyung. Ia lalu tersenyum dan mengecup pelipis kekasihnya lagi dengan sayang.

We are okay, Ggukie... we are okay.”

Shattered

Jeongguk mengirimkan pesan singkat pada Taehyung, memberitahu bahwa ia sedang duduk santai di teras belakang. Jujur, selama ia menjalin hubungan pacaran dengan Taehyung, baru kali ini Jeongguk merasa bingung harus bagaimana. Rasanya tidak mungkin jika ia tiba-tiba dengan gamblang memberitahu pada kekasihnya itu bahwa ia bertemu dengan Bogum di Aetig dan sempat terjadi kontak fisik antara dia dan pria itu.

Satu-satunya hal yang Jeongguk lakukan untuk menghindari kesalah pahaman adalah dengan diam, yang Jeongguk tahu persis sebenarnya hal itu akan memperkeruh keadaan. Bagaimana tidak? Setelah Jeongguk 'bertemu' dengan Bogum, tiba-tiba ia berjalan cepat ke arah Bar untuk mengajak Taehyung pulang.

Kekasihnya itu bingung—terlihat dari raut wajahnya saat menyapa Jeongguk dan mendengar kemudian bahwa mereka akan pulang lebih awal. Taehyung akhirnya mengiyakan, lalu mereka berjalan ke arah meja sebelum pindah ke Bar. Jeongguk dengan sopan memberitahu Mamanya dan Bunda Kim bahwa mereka akan pulang, meminta maaf pada Ben, dan menyambar barang miliknya dan Taehyung yang tertinggal di sana.

Butuh waktu dua menit untuk Jeongguk dan Taehyung melakukan itu semua dan langsung melangkahkan kaki ke luar Aetig. Jeongguk bernapas lega—yang terdengar seperti dengusan kasar—saat ia tidak melihat Bogum di pintu masuk Aetig. Beruntunglah pria itu sudah pulang. Ia tidak ingin tiba-tiba ada 'drama' yang mengharuskan Taehyung bertemu dengan pria sialan itu.

“Ggukie, do you want to tell me what is going on? Why are we in a rush?” Pertanyaan Taehyung membuyarkan lamunannya saat mereka berdua memasuki lift. Tidak ada orang selain mereka di sana, maka Taehyung berani menanyakan rasa penasarannya pada Jeongguk—masih dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.

Jeongguk rasanya ingin memberitahu Taehyung saat itu juga. Namun menyebut nama Bogum lagi akan membuatnya mual. Lagipula, ia tidak ingin jika nama itu akan membuat mood Taehyung berubah 180 derajat dan merusak harinya. Tidak, ia tidak akan membahasnya sekarang.

Kepala Jeongguk rasanya masih seperti habis direbus—panas dan mendidih. Ia tidak akan mengambil resiko yang akan mengakibatkan mood Taehyung dan dirinya juga memburuk. Jeongguk merasa, ia masih bisa menahannya sampai nanti.

Nanti sore? Nanti malam? Nanti beberapa hari lagi? Nanti beberapa minggu lagi? Entahlah. Namun ia juga tidak ingin memendamnya sendiri. Satu-satunya orang selain Taehyung yang memiliki 'history' dengan Bogum adalah Jimin.

Mungkin setelah sampai di rumah Taehyung, ia akan memberitahu Jimin via pesan singkat.

“Nggak ada apa-apa, Sayang. No need to worry,” kata Jeongguk lalu menarik tangannya untuk merangkul pundak Taehyung. Layaknya magnet, kekasihnya itu langsung secara otomatis mendorong dirinya ke dekapan Jeongguk—tempat yang selalu ia rasa sebagai 'rumah' keduanya; setelah Bundanya.

Taehyung hanya membalas dengan menggumam, berusaha untuk tidak terlihat terlalu penasaran, walaupun sejak Jeongguk tadi menghampirinya di Bar, Taehyung tahu ada sesuatu yang salah. Sebelum Jeongguk berlenggang ke toilet—begitu ijinnya tadi—wajahnya tidak terlihat dingin dan pucat seperti saat ini.

Seketika terlintas di kepala Taehyung, apakah Jeongguk sehabis bertemu dengan seseorang atau masa lalunya yang tidak ingin Taehyung tahu? Berbagai khayalan dan andai-andai berputar-putar di otaknya. Ia ingin bertanya sekali lagi, memastikan apakah kekasihnya itu baik-baik saja. Namun sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat. Ia memutuskan untuk mengikuti kemauan Jeongguk.

Kekasihnya itu pasti akan memberitahunya saat ia siap, 'kan?

Sesampainya mereka di lobi, Taehyung segera menelpon supirnya untuk membawa mobil Jeongguk serta—menginfokan bahwa ia dan Jeongguk akan pulang terlebih dahulu. Supirnya dengan sigap menjawab lalu mengakhiri sambungan telepon.

Lobi gedung itu luas; Taehyung mengedarkan pandangan dan melihat terdapat kafe yang tidak terlalu besar namun nyaman. Ia melihat banyak sekali pengunjung di sana. Segera Taehyung mengecek layar handphonenya dan menyadari bahwa hari sudah mulai sore. Matahari tidak secerah tadi saat ia masih di Aetig; sekarang langit terlihat mendung. Taehyung khawatir hujan akan segera turun. Ia tidak mau menghabiskan waktu di jalan bermacet-macetan di hari Minggu sore.

Tidak. Rasanya ia sekarang ingin segera merebahkan dirinya di jok mobil Jeongguk dan tertidur. Cuaca mendung selalu membuatnya otomatis mengantuk.

Tidak membutuhkan waktu lama sampai supir Taehyung tiba di lobi dengan mengendarai mobil Jeongguk. Kekasihnya itu mengucapkan terima kasih pada beliau dan segera masuk ke dalam mobil. Taehyung pun sama; dengan ditambahkan pesan untuk berhati-hati saat mengantar Bundanya dan Mama Jeon nanti, karena sepertinya hujan akan segera turun dengan deras.

Setelah Taehyung masuk ke dalam mobil dan menaikkan suhu penghangat di dalam mobil agar tidak terlalu dingin, akhirnya Jeongguk mengangguk dan membawa mobilnya melesat meninggalkan lobi gedung.

Mungkin saat ini, Semesta sedang berpihak pada Taehyung, karena selama dirinya tadi menunggu di lobi dengan Jeongguk, ia tidak menyadari sepasang mata memperhatikan mereka dari kejauhan.

Seorang pria sedang duduk menyesap kopi panasnya sambil berbisik pada dirinya sendiri sambil tersenyum simpul.

God, it's really Kim Taehyung. Adik manisku.”

Taehyung sudah menyampirkan handuk tebal dan lebar miliknya di pundak, lengkap dengan piyama ganti kesayangannya yang ia dekap untuk dibawa ke kamar mandi. Rasanya ia ingin cepat-cepat bebersih karena hari ini tidak terasa seharian dirinya dan Jeongguk menghabiskan waktu di luar rumah. Taehyung senang sekali hari ini, entah karena hari ini ia makan enak seharian tanpa henti—walaupun beberapa kali dilarang Jeongguk karena ia sedang sedikit batuk—atau memang karena akhirnya mereka dapat menghabiskan waktu sekeluarga lengkap di luar rumah.

Biasanya ritual makan siang atau malam on weekend sering dilakukan di rumah. Taehyung senang karena hari ini mengabadikan foto makanan dan interior Aetig yang ia sadar sudah menghabiskan storage yang cukup banyak dihandphonenya.

Speaking of his phone, Taehyung memiliki kebiasaan untuk membawa handphonenya ke mana pun ia pergi, termasuk saat mandi. Tidak heran jika Taehyung dijuluki dengan orang yang paling lama menghabiskan waktu untuk mandi karena ia sambil berendam dan menyetel musik jazz dan slow R&B untuk menemaninya bebersih.

Beberapa kali Bunda Kim mendapati Taehyung membawa mini speakernya ke kamar mandi untuk disambungkan via bluetooth agar lagu favoritnya bisa dinikmati lebih kencang. Kedua telinga Taehyung rasanya sudah kebas saat Bunda melihat Taehyung membawa benda mati itu ke kamar mandi, lengkap dengan omelan seperti 'nanti kamu kesetrum, Nak' atau 'nanti bisa rusak' dan sebagainya. Taehyung yang sudah hafal bahwa Bundanya tidak akan berhenti mengomel jika tidak dituruti, maka kebiasaannya itu pun akhirnya dihentikan. Pun tetap, handphonenya selalu ia bawa ke mana-mana untuk menemaninya.

Kata Taehyung suatu hari, jika mandi tidak dengan diiringi lagu favoritnya, ia seperti sedang mandi di rumah sendirian. Rasanya sepi dan membuatnya merinding, katanya pada Jeongguk yang membuat kekasihnya itu tertawa terbahak.

Saat Taehyung membaca pesan Jeongguk tadi, ia hanya mendesah sambil melangkahkan kaki ke kamar mandi. Ia tidak ingin pikirannya semakin melalang-buana memikirkan kemungkinan ini itu yang akan membuatnya stres.

Tujuan Taehyung sekarang adalah membersihkan diri, menikmati me timenya dengan bubble bath, lalu menyusul Jeongguk ke teras belakang.

Semoga semuanya baik-baik saja.

Jeongguk sedang memainkan game baru dihandphonenya dengan serius saat Taehyung yang sudah wangi dan nyaman dengan piyama warna silvernya melangkahkan kaki ke teras belakang. Dari jauh, Taehyung bisa melihat betapa kekasihnya itu terlalu fokus dan serius pada layar handphone, tidak menyadari keberadaannya. Taehyung akhirnya tersenyum sambil melepas sandal empuknya di dalam ruangan, dan mengganti alas kakinya yang ia biasa kenakan untuk berjalan-jalan di teras. Taehyung melangkah dengan berjinjit supaya Jeongguk tidak mendengarnya. Berhasil, Jeongguk tidak menyadari bahwa Taehyung sudah berdiri di belakangnya saat ini dan merangkul lehernya dengan kedua tangannya. Menaruh dagunya di perpotongan leher Jeongguk dan mencium pipi kekasihnya itu kemudian. Jeongguk selalu wangi, dan Taehyung rasanya betah jika harus memeluknya sepanjang hari.

Jeongguk seketika refleks mendongak dan membalas Taehyung dengan mengecup pipinya-lama. Taehyung hanya tertawa—no, he's giggling and Jeongguk is so madly in love with him all over again.

Taehyung lalu menarik pelukannya dan mengitari sofa panjangnya untuk duduk di samping Jeongguk. Ia memiliki kebiasaan untuk mengisi sofa dengan bantal-bantal empuk—alasannya pada Bunda supaya siapapun yang duduk di sofa itu akan merasa nyaman. Padahal, sofa ini sudah hampir terisi penuh oleh bantal pilihan Taehyung yang membuat sesak. Bundanya beberapa kali merayu untuk memindahkan bantal-bantal ke ruang tengah, yang langsung direspon Taehyung dengan menggeleng cepat dua kali. Bunda tidak pernah merayu Taehyung lagi sejak itu.

“Wangi banget sayang aku?” Jeongguk memulai pembicaraan dengan memuji Taehyung sambil tersenyum. Taehyung melihat Jeongguk mengatur mode handphonenya menjadi silent dan meletakkan benda itu di meja kecil sisi sebelah Jeongguk duduk. Melihat itu, Taehyung pun akhirnya berinisiatif untuk melakukan hal yang sama dan menyelipkannya di sela-sela bantal yang bertengger di sebelah kirinya.

Mungkin malam ini, mereka akan menghabiskan waktu berdua tanpa handphone? Taehyung tidak tahu, but he's looking forward to it.

Mereka membicarakan topik ringan selama beberapa menit sebelum akhirnya Mas Tris datang dengan membawa segelas kopi panas untuk Jeongguk dan cokelat panas lengkap dengan marshmallow untuk Taehyung. Angin malam ini sangat dingin, entah mengapa Taehyung terlalu malas untuk mengambil hoodienya di kamar dan mengenakannya supaya tidak kedinginan. Instead, Taehyung mengambil mantol hangat milik Bunda yang terselip di antara bantal-bantalnya. Bundanya memang sering duduk di teras belakang untuk bekerja, maka tidak heran jika mantol milik Bunda ada di sini. Taehyung lalu membuka mantol itu lebar-lebar dan mengenakannya, menghangatkan diri sambil memegang mug cokelat panas di tangan.

Ia lalu meniup-niup cairan cokelat itu agar cepat menghangat. Hingga saat ini, Jeongguk hanya tersenyum dan tidak aktif berbicara seperti biasanya. Taehyung rasanya sudah gatal ingin menanyakan hal itu pada Jeongguk, namun ia tidak ingin merusak suasana? Atau ya... setidaknya ingin mencoba untuk pengertian dan menunggu Jeongguk untuk membuka diri padanya.

Taehyung hanya berdoa pada Tuhan semoga tidak ada hal aneh yang terjadi padanya tadi di Aetig sehingga membuat Jeongguk hampir diam seribu bahasa sejak tadi mereka pulang dari sana hingga duduk di teras belakang rumah Taehyung.

Setelah Mas Tris beranjak dari sana, keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. Suara jangkrik dan serangga malam mulai terdengar di telinga Taehyung, berusaha mengisi keheningan. Ia kembali menyeruput cokelat panasnya yang sudah tercampur dengan marshmallow favoritnya. Sedang Jeongguk terlihat dari ujung mata Taehyung bahwa kekasihnya itu sedang memandangi halaman belakang rumahnya dengan tatapan kosong.

Kopi panas yang ada di hadapannya tidak tersentuh—Taehyung masih dapat melihat uap panas dari cangkir itu menguar keluar.

Tidak biasanya kekasihnya seperti ini? Ada apa dengan Jeongguk-nya?

“Tae, I met Bogum earlier.” Kata Jeongguk lirih sambil menunduk, tidak menatap Taehyung sama sekali. Suara Jeongguk bergetar, dirinya sendiri tidak tahu mengapa rasanya pahit membeberkan fakta itu pada Taehyung. Ia tidak ingin sosok pria itu menghantui pikiran dan hari-hari kekasihnya lagi. Namun rasanya, jika Jeongguk memendamnya sendiri, ia merasa menyembunyikan sesuatu yang besar dan penting dari Taehyung.

Jeongguk hanya bisa mengira-ngira, ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi setelah Taehyung mengetahui hal ini. Gambling? Tentu saja. Akan ada satu kemungkinan terjadi dari antara beberapa kemungkinan yang sedari tadi lalu-lalang di kepalanya. Dan Jeongguk sama sekali tidak tahu kemungkinan mana yang akan menjadi respon Taehyung.

Taehyung yang sedang menyesap cokelat panasnya lantas tersedak cukup keras dan membuatnya memuntahkan minuman hangat itu dari mulutnya. Bibirnya lengket karena perpaduan cokelat panas dan marshmallow yang menempel, terlihat bercak cokelat di beberapa spot pada mantol Bunda, dan Taehyung rasanya ingin berteriak.

How come his boyfriend met Park Bogum here in Seoul?

Jeongguk dengan sigap mengambil beberapa helai tisu kering yang tersedia di meja di hadapannya dan membuka tempat tisu basah—yang entah mengapa juga tersedia di sana, seakan-akan tahu Taehyung akan tersedak—dan membantu Taehyung membersihkan bibirnya dan beberapa titik—sofa, mantol, dan meja—dari bercak susu cokelat itu. Jeongguk lantas diam sambil membantu Taehyung, sedang kekasihnya? Hanya termangu memandangi Jeongguk dengan tatapan horornya. Tenggorokan Taehyung rasanya tercekat, ia butuh dua gelas air putih untuk membasahinya; ingin melayangkan seribu pertanyaan pada Jeongguk.

Ingin mendapat kepastian. Ingin tahu. Ingin tahu. Ingin tahu.

“Ggukie, are you serious?” Taehyung bertanya dengan lirih. Dari seluruh pertanyaan yang tersusun berantakan di kepalanya dan sudah sampai ujung lidah, hanya pertanyaan ini yang lolos keluar dari mulut Taehyung. Ia enggan menyebutkan nama itu lagi.

Tanggal berapakah ini? Bukan April Mop juga, dan ya... yang paling masuk akal adalah, untuk apa Jeongguk bercanda jika guyonan yang ia lontarkan tidak lucu sama sekali?

Yeah, I am dead serious.” Jeongguk menjawab pelan, terdengar seperti frustrasi.

“Kenapa? Kenapa dia bisa ada di Aetig? What was he doing? Was he stalking us? Wha...” Gelenyar panik merambat di sekujur tubuh Taehyung. Pertanyaan demi pertanyaan akhirnya lolos dari mulutnya. Bulu kuduknya meremang. Kepalanya pusing. Ia tidak menyangka akan mendengar seseorang terdekatnya mengatakan bahwa mereka bertemu dengan 'masa lalu'nya yang sudah susah payah ia singkirkan dari memori. Namun ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia butuh semua jawaban atas pertanyaan itu.

Hey baby, stop. Stop.” Jeongguk menarik tangan Taehyung dengan sigap dan membawa kekasihnya itu dalam pelukannya. “Sayang, you are rambling. Tenang dulu, ya?” pinta Jeongguk sambil berbisik lirih di telinga Taehyung. Ia teringat akan beberapa bulan lalu, persis seperti ini; Jeongguk berusaha menenangkan Taehyung yang menangis histeris di kamar depan. Keduanya masih berstatus sahabat waktu itu.

Waktu memang terlalu cepat berlalu, seperti tiupan angin.

Butuh beberapa menit untuk Taehyung akhirnya tenang dan dapat mengatur ritme napasnya. Awalnya memang sulit, tapi ia harus mencoba. Taehyung seketika merasa bodoh. Bisa-bisanya ia masih memiliki reaksi seperti ini terhadap satu nama yang bisa dikategorikan sebagai orang brengsek—menurut Jimin. Padahal ia saat ini sedang terkedap erat dalam pelukan kekasihnya sendiri? Taehyung merasa kasihan dengan dirinya sendiri.

Keterpurukan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus menggerogoti pikiran dan dirinya. Taehyung akan mundur seribu langkah jika tidak keluar dari insecurity bubblenya.

Jeongguk tidak henti-hentinya membisikkan kata-kata di telinga Taehyung untuk menenangkannya. Ia merutuki dirinya sendiri, this is too fast. I shouldn't let him know before I could form my words.

Ia sekarang menyesal, karena jujur ia sendiri tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan yang sebenarnya ingin dihindari?

“Maaf, Ggukie.” Taehyung menggumam sambil tetap mengatur ritme napasnya. Jeongguk masih berusaha menenangkannya dengan mengelus pelan punggungnya yang dingin. Piyama kekasihnya itu terlalu tipis. Ia dapat merasakan tubuh Taehyung seperti bergetar dan menggigil karena sehabis meracau dan tertusuk udara dingin malam hari.

“Maaf untuk apa, Tae?” Tanya Jeongguk dengan dahi yang mengernyit. Ia tidak paham mengapa kekasihnya meminta maaf padanya. Bukannya seharusnya dirinya yang meminta maaf pada Taehyung karena tidak jujur sejak tadi siang mereka memutuskan untuk pulang dari Aetig lebih dulu? Jeongguk merasakan pelukan Taehyung mengendur. Kekasihnya itu menarik diri dari pelukannya dengan pelan. Jeongguk dapat melihat kedua bahu Taehyung masih bergetar; ingin rasanya ia mendekap Taehyung kembali.

Namun sepertinya kekasihnya itu ingin berbicara empat mata dengannya sambil saling tatap.

Mata adalah jendela hati, begitu yang pernah Jeongguk dengar.

“Maaf... kalau aku bereaksi berlebihan. Aku cuman... nggak tahu? Rasanya nggak percaya aja kamu bisa ketemu dia.” Taehyung menghela napas berat, terdengar suaranya masih bergetar. “And the fact that he's here in Seoul, you know? It's just... I don't know, Ggukie. Apa itu nggak aneh buat kamu?” Taehyung berkata lirih sambil menunduk. Jemari panjangnya memilin ujung piyamanya dengan kasar. Jeongguk khawatir sebentar lagi kain piyama itu akan robek.

Mendengar kata maaf dari Taehyung, Jeongguk dengan segera menangkup kedua pipi kekasihnya itu dengan tangannya, sesekali mengelusnya dengan ibu jarinya. Ia takut. Jeongguk takut akan ketakutan Taehyung yang diam-diam hendak menyeruak kembali lagi. Memang normal adanya, namun ia tidak mau melihat kekasihnya murung berkepanjangan—yang ia tahu persis, Taehyung akan dengan mudahnya tertarik seribu langkah dari tempatnya berpijak sekarang kedalam lubang hitam itu.

Mereka sudah berjuang bersama. Taehyung sudah berjuang sebisa mungkin. Jeongguk tidak akan membiarkan Taehyung kembali ke lubang itu.

Why are you sorry, Sayang? Itu normal, kok. Nggak perlu minta maaf. Oke?” Jeongguk berusaha meyakinkan Taehyung bahwa tidak perlu meminta maaf. Namun sejujurnya, kedua telinga Jeongguk seperti diteriaki oleh sekujur tubuhnya. Ia bisa mendengar pikirannya berbicara; yang membuat Jeongguk ingin mencari Bogum entah di mana, dan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan tadi siang.

Bodoh, seharusnya Jeongguk sudah melayangkan tinjunya tadi. Hanya dengan mendengar namanya saja Taehyung sudah seperti ini, bagaimana jika tadi siang mereka berdua bertemu? Jeongguk tidak bisa membayangkan, ia sendiri mual.

Ia tidak ingin membayangkannya.

Pertama kalinya dalam hidup Jeongguk—well selama ia bersahabat dan berpacaran dengan Taehyung—ia mendengar kekasihnya menghela napas kasar sambil mengumpat. “For God's sake, Ggukie. Stop saying it was okay because it's not! Damn.” Taehyung membanting bantal yang tadinya ia jadikan sandaran ke lantai. Sepasang matanya seperti berkilat. Nadanya terdengar sangat putus asa.

Taehyung seperti akan marah.

“Apa aku boleh tahu, definisi kamu 'ketemu' dia itu kayak apa?” Tidak ada nada lembut dan ramah Taehyung biasanya di sana. Taehyung-nya benar-benar marah. Jeongguk mendesah. Ia harus menahan emosi jika tidak ingin meledak bak petasan banting yang sering menjadi mainan anak kecil saat sore hari di kompleks rumah mereka.

Okay, Tiger. Calm down.” Jeongguk akhirnya membalas dengan nada santai. Ia tidak ingin tersulut emosi, walaupun rasanya ujung lidahnya sudah akan membalas Taehyung dengan nada dingin. Salah satu harus mengalah jika tidak ingin Mas Tris dan beberapa tetangga mendatangi mereka karena saling berteriak. Jeongguk berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia tahu persis Taehyung seperti apa. Kekasihnya itu jarang sekali marah—bisa dihitung jari.

Jika Taehyung sudah mengeluarkan 'urat' emosinya saat ini, lebih baik tidak memberi saran seperti 'sabar ya' atau bahkan 'tenang dulu, Taehyung'.

Tidak. Taehyung-nya akan semakin marah.

Hal ini pula yang menjadi ketakutan Jeongguk. Rasanya beberapa kemungkinan yang ia pikirkan tadi sudah mulai kelihatan yang mana yang akan muncul. Dan ya, prediksi Jeongguk benar, sepertinya pembicaraan ini akan berakhir dengan tidak baik.

Terkadang Jeongguk ingin mengeluh pada Tuhan, mengapa setiap firasatnya selalu berakhir benar.

Kekasih Jeongguk itu terlihat gelisah. Sorot matanya seperti meminta penjelasan secepatnya. Entah apakah cokelat panas yang dicampur dengan marshmallow dapat mempengaruhi barometer emosimu, especially Taehyung's.

Okay so yeah, tadi siang Bogum ada di Aetig. Dia duduk jauh di ujung, Tae. I did not recognize him at all at first. Sampai akhirnya, ya, aku sadar kalau dia lagi ngeliatin kita dari ujung sana.” Jeongguk menghela napas berat. “He's so different now, jadi aku nggak sadar. Lalu, ya, aku ajak kamu pindah ke Bar supaya kamu nggak risih, alasan kedua. Alasan pertama karena kamu memang mau pindah ke sana.”

“Oke, terus?” Ujar Taehyung singkat.

Jeongguk mengernyit kemudian. Taehyung tidak pernah seperti ini—kekasihnya tidak pernah seperti ini. Ke mana Taehyung-nya yang lembut dan penyabar? Jeongguk tidak pernah menyangka bahwa saat ini, ia berhadapan dengan sisi Taehyung-nya yang lain. Ia sudah bisa mengantisipasi jika kekasihnya menangis atau malah diam.

Tetapi ia tidak siap menghadapi Taehyung-nya yang seperti ini.

God, it's going to be a long night, batin Jeongguk.

“Aku mau cerita, tapi please dengerin aku sampai selesai. Oke, Tae?” Jeongguk menjawab, meminta pengertian Taehyung.

Kekasih Jeongguk pun hanya mengangguk kemudian. Taehyung menyandarkan tubuhnya lemas di sandaran sofa, tangannya memeluk bantal empuk yang tidak terkena bercak minuman hangatnya tadi. Tatapannya kosong melihat halaman belakang rumahnya yang disinari oleh cahaya kuning di beberapa titik.

Sedang Jeongguk di sampingnya memposisikan duduknya nyaman, menaruh tangannya menjulur di kepala sofa; memainkan rambut Taehyung yang hitam dan hampir panjang itu.

Ia menghela napas sesaat sebelum menyambung ceritanya, mencoba untuk tidak terbawa emosi mengingat kejadian tadi siang di Aetig. “Long story short, aku sadar dari kejauhan kalau dia bakal pulang? I don't know, it's my gut. So yeah I told you I wanted to go to the restroom. Maaf aku bohong. Aku cuman mau nyamperin orang itu? Because the way he looked at us, it was not polite, Sayang. Kamu tau itu.

“Aku pernah bilang sama kamu, kalau aku nggak suka ada orang or even some strangers looking at us that obvious. Dan aku merasa terganggu. Jadi ya aku mau tahu aja dia siapa. Toh, kalau memang dia adalah teman Mama, I wouldn't mind. Mungkin dia pangling sama Mama so he was staring.

“Tapi ternyata dia Bogum, so yeah... I talked to him.” Jelas Jeongguk panjang lebar tanpa jeda. Jeongguk saat ini ibarat es batu yang sedang disejajarkan dengan nyala api. Taehyung terlalu 'panas', namun ia hanya diam tidak bergeming.

You talked to him?”

Dari semua penjelasan yang Jeongguk berikan, hanya ada satu pertanyaan yang keluar dari mulut Taehyung. Jeongguk hanya bisa menghela napas sambil menjelaskan kembali.

Ia hanya ingin pembicaraan ini segera selesai.

Kalau Jeongguk boleh jujur, ia ingin marah. Marah pada Semesta? Marah pada Bogum? Jeongguk tidak tahu.

Bogum rasanya kembali mengokupasi celah yang ada di dalam kepala Taehyung, dan itu adalah hal terakhir yang Jeongguk inginkan terjadi.

Yes, and we had a physical contact. Sedikit.” Jeongguk berbisik dan Taehyung memajukan tubuhnya, bangun dari posisi ia bersandar. Sepasang manik hazelnya membesar, kedua alisnya bertaut. Ia menoleh cepat pada Jeongguk dan hendak membuka mulutnya sesaat sebelum Jeongguk menyela. “Tae, please?”

Taehyung akhirnya menghela napas dan mengangguk, mempersilahkan Jeongguk untuk meneruskan ceritanya. Jeongguk tahu, Taehyung sudah tidak sabar mengetahui akhir ceritanya.

Apakah mereka berbicara dengan santai? Apakah terjadi baku hantam? Apakah terjadi adu mulut? Taehyung sangat penasaran.

Akhirnya Jeongguk bercerita sangat detail, mulai dari ia memanggil Bogum saat akan melangkah pergi dari Aetig, hingga saat Bogum 'terdengar' seperti berjanji bahwa tidak akan bertemu dengan Taehyung lagi. Jeongguk menjelaskan tanpa jeda, ia takut akan berhenti jika menatap Taehyung terlalu lama.

Damn, Jeongguk tidak pernah menyangka hari ini akan tiba; Bogum hadir di garis kehidupannya dan Taehyung (lagi).

Pikiran Jeongguk berkecamuk sejak ia bertemu dengan Bogum hari ini. Jeongguk tidak ingin munafik, ada sedikit rasa takut yang menguar dari hatinya. Bukan karena Jeongguk ragu pada hati Taehyung, bukan. Ia takut akan kata-kata Bogum bahwa pria itu tidak akan bertemu dengan Taehyung lagi. Jeongguk khawatir, pertahanan Taehyung yang sudah kokoh terbangun akan runtuh saat bertemu dengan Bogum lagi.

Bertemu, dalam arti yang sesungguhnya.

“Jadi... dia nggak ada tanya tentang aku sama sekali, Ggukie?” Tanya Taehyung. Jeongguk tahu, ada rasa penasaran yang tinggi dibalik pertanyaan yang dilontarkan padanya itu.

“Hmm? Nggak ada, sama sekali. Dia hanya bilang dengan bangganya kalau kamu adalah teman lama dia.” Jeongguk menjawab pertanyaan kekasihnya jujur.

Which was true.” Taehyung menjawab cepat.

Kekasih Taehyung itu hanya bisa mengernyit. “Iya aku tahu. But the way he was so cocky while saying that? God damn, I hate him, Tae,” jawab Jeongguk ketus. Gagal. Jeongguk gagal mengatur nada bicaranya.

“Kenapa kamu mau tahu dia nanya tentang kamu atau nggak?” Kekasih Taehyung itu berbicara lagi, kali ini dengan nada yang tidak enak. Jeongguk sudah tidak peduli nadanya terdengar seperti apa.

“Maksud kamu, Ggukie? I was just asking.” Jawab Taehyung defensif.

Jeongguk diam seketika. Ia tahu dan sadar bahwa reaksinya atas pertanyaan Taehyung terlalu berlebihan. Tapi ada rasa jealous di sana. Memangnya untuk apa Taehyung tahu Bogum menanyakan tentang dirinya atau tidak?

“Ggukie, apa menurut kamu sebaiknya aku ketemu dia? Untuk terakhir kali?” Jeongguk menoleh cepat dan menaikkan alisnya saat mendengar Taehyung bertanya demikian.

“Untuk apa, Tae?”

For closure, no?”

You don't need to meet him, Sayang.” Jeongguk putus asa dan jujur, ia sudah tidak bisa menahan emosinya lebih jauh. “He's irrelevant now, okay? Lagipula kamu sendiri yang bilang kalau closure dari Jaebeom sudah cukup?”

Taehyung mengatur napasnya. Ia tidak ingin bertengkar dengan Jeongguk. Namun dengan rasa penasarannya, banyak pertanyaan yang ada di kepalanya, dan fakta bahwa cinta lamanya dulu bertemu dengan kekasihnya sekarang, kepala Taehyung rasanya berputar sepuluh kali lebih cepat. Dan Taehyung tahu, mulutnya akan lebih cepat bekerja daripada pikirannya.

I feel like I need that, Ggukie.” Taehyung menekankan. Ia merasa butuh untuk bertemu dengan Bogum. Ia tidak tahu alasannya. Ia hanya merasa bahwa itu adalah jalan yang paling tepat untuk mengakhiri semua rasa penasarannya selama enam tahun ini?

Taehyung tahu ini sangat tidak adil untuk Jeongguk. Tapi, apakah tidak boleh jika Taehyung ingin tahu cerita dari sisi Bogum? Jaebeom adalah sahabatnya, bukan Bogum sendiri.

Taehyung juga berhak tahu semuanya, 'kan?

Why are you so persistent you want to meet him? Aku rasa nggak perlu, and it's final.” Jeongguk memutuskan. Ia tahu mungkin saat ini ia sudah kelewatan; mengatur Taehyung sesuka hatinya karena ingin melindungi hati Taehyung. Ia tidak ingin melihat kekasihnya kembali ke lubang itu, dan Jeongguk akan melakukan segala cara agar Taehyung 'aman dan selamat'.

BECAUSE I NEED THAT CLOSURE, JEONGGUK!” Taehyung akhirnya berteriak. Ia menegakkan tubuhnya sambil membanting bantal yang sejak tadi ia peluk ke lantai. Mug cokelat panas di meja hampir tersambar oleh kencangnya bantingan Taehyung. Napas Taehyung memburu, matanya berkilat, kedua pipinya memerah. Taehyung marah. Ia tidak ingin diatur. Mungkin hanya saat ini. Akan tetapi, Taehyung lelah jika harus 'disetir' oleh Bundanya dan kekasihnya sendiri soal masa lalunya. Ia punya banyak pertanyaan. Ia ingin memutuskan harus berbuat apa saat ini sendiri.

Ia sudah tahu resiko yang akan terjadi dan ia akan menghadapinya, sendiri.

Please, Ggukie, please... jangan atur aku untuk hal ini. Jangan tahan aku.”

Jeongguk terbelalak. Baru pertama kali setelah sekian lama Taehyung memanggilnya dengan nama 'Jeongguk'. Ia pun melihat sepasang manik hazel itu hampir tertutup dengan air mata.

Namun Jeongguk... Jeongguk tidak bisa menahan emosinya yang sedari tadi sudah tertahan diujung lidahnya.

Jesus Christ, Taehyung. IS THIS BECAUSE YOU ARE STILL THINKING ABOUT HIM BEHIND MY BACK?!” Jeongguk berteriak membalas Taehyung. Ia sudah tidak bisa menahan emosi dan amarahnya sejak tadi. Masa bodoh jika Jeongguk terlihat petty saat ini. Ia hanya ingin Taehyung menangkap maksud dan tujuannya melarang kekasihnya. Jeongguk memang sulit mengutarakan maksudnya jika sedang terdesak seperti saat ini—dan Jeongguk akan berubah menjadi 'sumbu pendek' untuk melampiaskan kekesalannya.

“Ggu-ggukie, aku nggak pernah...” Air mata Taehyung yang sudah ditahannya sejak tadi akhirnya lolos. Satu titik, dua titik, dan akhirnya turun dengan deras. Taehyung sudah tidak kuat dengan adu mulut ini.

Hatinya lelah, pikirannya lelah, tubuhnya lelah; apalagi adu mulut ini terjadi antara dirinya dan Jeongguk. Kedua kaki Taehyung lemas, rasanya ia sudah ingin berlutut dan bersandar pada kaki sofa saat ini. Taehyung tidak mengira bahwa Jeongguk akan melemparkan tuduhan itu padanya disaat seperti ini.

Ia tidak pernah memikirkan Bogum lagi. Setiap hari dan setiap saat, hanya ada Jeongguk di kepalanya.

Sampai akhirnya Jeongguk beberapa saat lalu bercerita bahwa ia bertemu dengan Bogum siang tadi.

Taehyung berani bersumpah. Namun rasanya seberapa keras Taehyung mencoba meyakinkan Jeongguk, kekasihnya itu akan sulit percaya. Suasana malam ini menjadi panas dan negatif. Taehyung rasanya ingin segera berbaring di kasurnya dan menangis semalaman.

Besok pagi seharusnya mereka masuk sekolah, namun Taehyung rasanya ingin bolos saja. Ia tidak mau menjadi bahan omongan di sekolah karena matanya bengkak dan hidungnya merah. Toh Taehyung sudah yakin bahwa ia tidak akan fokus menghadapi hari esok. Ia juga sedang tidak ingin membicarakan hal apapun dengan Jimin maupun Hoseok—yang ia yakin seratus persen akan menanyakan apakah Taehyung baik-baik saja.

“Maaf... maaf aku masuk dulu, Ggukie... Aku minta maaf kalau dari kata-kata aku tadi jadi membuat kamu berpikir dan ragu sama aku. I'm truly sorry.”

Jeongguk lalu berdiri, berusaha untuk menghentikan Taehyung yang seperti akan lari dari sana. Jeongguk merutuki dirinya sendiri. Selama ini ia tidak pernah membentak apalagi berteriak jika berbicara dengan Taehyung. Jeongguk bingung, ia frustrasi. Ia tahu ia salah, namun ia bingung bagaimana memperbaikinya. Jeongguk sudah mengulurkan tangannya untuk meraih lengan Taehyung, namun kekasihnya itu melangkah mundur dan menggeleng.

Shit, he fucked up, didn't he?

“Sayang... please. Aku minta maaf.” Jeongguk memohon. Tenggorokannya kering. Ia hanya bisa berdiri mematung melihat Taehyung menahan tangisnya sambil mengatur napasnya yang patah-patah. Jeongguk merasa bodoh, saat seharusnya ia menjadi sandaran untuk kekasihnya, ia malah membuat Taehyung semakin menjauh.

Taehyung menggeleng cepat sambil menghapus air matanya kasar, mengambil handphonenya cepat dan berlari masuk ke kamar tidurnya.

Jeongguk seriously fucked up.

Ghost

Matahari yang sedari tadi bersinar sangat terik dan menembus kaca gedung tinggi tempat Aetig berada itu akhirnya lambat laun meredup. Mungkin cenderung hilang, karena tiba-tiba awan gelap mendominasi langit siang itu.

Mendung. Aneh. Namun, Bogum memang merasa dirinya sudah tersambar petir di siang hari.

Bagaimana tidak? Ia melihat sosok laki-laki yang selama ini ia hindari sampai ke New York. Semesta memang jarang bercanda dengannya. Namun sepertinya, hari ini Bogum sedang diuji oleh Semesta. Ini... sebuah kebetulan, 'kan?

Bogum memperhatikan gerak-gerik sosok itu dengan kedua matanya tanpa berkedip. Bagaimana ia tertawa, tersenyum, hingga sepasang manik hazel itu tenggelam dari balik kelopak matanya—menyipit saat tertawa. Senyum kotaknya masih seperti dulu.

Tawanya masih sama, senyumnya masih sama, dan kedua jendela hatinya masih sama.

Taehyung masih sama.

Hanya semuanya terlihat sangat berbeda untuk Bogum. Kali ini, senyum itu terlihat sangat tulus. Alami, tidak dibuat-buat. Tidak ada unsur paksaan—apalagi pancar sedih dari senyumnya.

Tidak seperti lima tahun lalu saat mereka 'berteman'.

Lamunan Bogum buyar saat Kwan seperti memanggil namanya. Terlalu serius ia memperhatikan Taehyung dan 'keluarga'nya di sana, ia takut di-cap seperti creep.

“—gum? Park Bogum?” Kwan butuh memanggilnya namanya dua kali sampai akhirnya ia mengerjap dan menoleh ke arah Kwan.

“Ah, iya. Ba-bagaimana Mr... sorry, Kwan-ssi?” Bogum menjawab Kwan dengan terbata. Ia merasa bodoh—memperhatikan orang lain dan tidak mengindahkan Kwan yang masih ada di hadapannya. Damn, bahkan mereka akan makan siang. Dan Kwan adalah (calon) atasannya nanti. Entah rasanya Bogum merasa sangat tidak profesional sekarang.

Kwan hanya mengernyitkan dahi sambil tertawa kecil. Seperti ada rasa maklum dibaliknya. Mungkin hanya perasaan Bogum saja? Rasanya ia ingin meminta maaf sebanyak-banyaknya karena merasa tidak sopan.

“Nggak apa, Bogum. Saya hanya heran saja. Kamu seperti sedang melihat hantu.” Kwan berkata dengan santai sambil menyerahkan buku menu pada waiter yang sedang mencatat pesanan mereka. Bogum sekilas mendengar Kwan menyebut 'menu saya seperti biasa' pada waiter itu tadi, saat kedua matanya terlalu fokus pada Taehyung. Setelahnya, Bogum tidak mendengar lagi. Ia terlalu fokus pada sosok laki-laki di ujung sana yang benar kata Kwan—terlihat seperti hantu. “Apa ada sesuatu di sana? Saya harus memanggil orang pintar jika iya.” Tanya Kwan lagi sambil tertawa, mencoba untuk bercanda—yang untungnya membuat Bogum menghela napas lega.

“Tidak ada, Kwan-ssi. Tenang saja.” Jawab Bogum tersenyum kecut kemudian. “Tadi saya seperti melihat seseorang yang saya kenal, namun sepertinya saya salah. Maaf kalau saya tadi tidak dengar Anda memanggil saya.” Bogum berbohong. Tentu ia memilih untuk berbohong. Ia tidak akan mengaku pada Kwan kalau dirinya sedang memandangi cinta monyetnya yang sekarang sedang duduk di ujung sana dengan kekasihnya—tebakan Bogum—dengan kedua orang tua mereka; yang notabene adalah teman dekat Ben, 'kan? Yang ternyata adalah teman dari wanita yang selama ini 'dirugikan' oleh keluarganya?

Konyol. Rasanya Bogum saat ini ingin tertawa keras dan berteriak kencang; kalau saja ia berada di sini bukan sehabis 'berjuang' untuk mendapatkan posisi di Aetig.

Bercanda. Semesta bercanda sekali hari ini.

Butuh waktu lama untuk Bogum akhirnya kembali fokus pada cerita-cerita Kwan yang membuat obrolan mereka berdua mengalir. Kwan tadinya terlihat sibuk dengan Johanna—membicarakan beberapa hal sambil sesekali meninggalkan meja mereka. Waktu emas itu dipergunakan Bogum untuk melihat ke arah meja Taehyung lagi.

Jujur, ia takut tiba-tiba Taehyung menyadari bahwa ada yang sedang memperhatikannya. Bogum memang berubah cukup signifikan—tidak seperti enam tahun lalu saat masih duduk di bangku sekolah. Ia sekarang sudah mengenakan kacamata—blame on tugas kuliahnya yang sangat berat dan menyita waktunya untuk memperhatikan layar komputer sepuluh jam sehari—rahangnya lebih tajam, badannya lebih berbentuk, dan suaranya lebih berat, tentu. Mungkin jika Taehyung memperhatikan dengan jeli sambil memicingkan mata, ia akan sadar. Namun Bogum berpikir, lebih baik Taehyung tidak melihatnya daripada terjadi yang tidak-tidak. Ia harus menghindar.

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat—makan siang yang ia santap dengan Kwan tadi terlalu enak. Namun Bogum tetap memperhatikan mannernya saat masih berada di hadapan Kwan. Ia tidak mau terlihat kelaparan—padahal ya, orang normal pun bisa melihat bahwa Bogum tadi terlalu antusias dengan makanannya. Kwan sebenarnya sudah menyadari, namun ia menghiraukan. Toh, sesi interview atau sesi resmi dengan pemuda tampan dan pintar di depannya ini sudah berakhir sejak Ben meninggalkan meja mereka.

Saat Kwan pamit akan meninggalkan meja dan pergi dari Aetig, akhirnya Bogum pun memutuskan untuk pamit pulang. Berterima kasih pada Kwan karena kesempatan hari ini dan tidak lupa pada Johanna karena sudah dilayani bak seorang tamu di Aetig. Tentu Bogum pun memberi info pada sang Manager bahwa akan mengabari mereka per email besok pagi.

Bogum sudah tidak sabar untuk bergabung di Aetig.

Setelah Bogum akhirnya duduk seorang diri di meja, ia segera mengambil handphonenya yang ia selipkan di saku celananya dan mengetik pesan ke Joong Ki dengan cepat. Memberitahukan bahwa ia bertemu dengan Taehyung—dan tentu untuk menjemputnya di Aetig. Ia harus sesegera mungkin pergi dari sini sebelum dilihat sebagai creep karena tidak henti-hentinya melirik ke arah meja keluarga itu.

Sahabatnya itu akhirnya menjawab bahwa akan sampai di Aetig dan menjemputnya sekitar dua puluh menit lagi. Masih ada banyak waktu yang dapat ia luangkan di coffee shop lobi gedung—tempat di mana Joong Ki berjanji akan menjemputnya.

Bogum akhirnya berdiri dan berjalan menyusuri meja-meja tamu dengan hati-hati; memutuskan untuk mengambil jalan pintas yang tidak akan kelihatan oleh Taehyung.

Terlebih lagi, tidak akan terlihat oleh Ben, karena ia khawatir Ben akan melambaikan tangan atau entah apalah—yang akan membuat semua orang di meja itu menoleh ke arahnya.

Ia harus menghindar. Ia tidak ingin moodnya hari ini rusak. Pun ia tidak ingin melihat mood Taehyung lebih hancur darinya akibat sama-sama menyadari kehadiran satu sama lain.

Ya, it's so fucking scary because it's like seeing a ghost in front of you.

“Mam, Gguk sama Taeby pindah ke Bar aja, ya? Supaya kalian lebih leluasa ngobrolnya.” Jeongguk menyela untuk berbicara saat Mama, Bunda Kim, dan Ben sedang tertawa terbahak-bahak. Ia dan Taehyung pun sedari tadi asyik sendiri dengan dunianya, dan Jeongguk merasa mereka berdua tidak perlu tahu dengan topik berat yang menurutnya tidak penting untuk Taehyung. Dan ya tentunya, ia tidak bisa mengobrol leluasa dengan kekasihnya. Sedari tadi mereka berdua hanya bisa berbicara dengan suara kecil dan terkekeh pelan—takut mengganggu kedua ibu mereka yang sedang berbicara dengan Ben.

Jeongguk sempat mendengar Mamanya berbicara 'apa yang akan kamu lakukan nanti di Tokyo, Ben? Memangnya belum pusing mengurusi dua restoran—di sini dan New York?' yang hanya dibalas oleh Ben dengan tertawa sambil menyisip red wine dari gelas yang ada di tangannya. Jeongguk pun sempat menguping jawaban Ben yang terdengar antusias namun tetap humble—'yah, tidak ada salahnya, toh, Se-ah, kalau aku ingin buka lagi di Tokyo? Tapi itu masih lama, kok. Apa kamu mau ikut bergabung? Mungkin Seo-ssi mau ikut juga.'

Kata-kata Ben membuat Jeongguk melirik ke arah Bunda, yang sudah tersenyum simpul namun ragu—beliau terlihat sedang memikirkan sesuatu saat Tokyo disebut.

Tokyo.

Shit. Jeongguk tiba-tiba teringat sesuatu.

Maka dari itu, Jeongguk tidak ingin berlama-lama duduk di sini. Ia merasa tidak perlu mendengar diskusi bisnis Mamanya dan Bunda. Lagipula, siang ini seharusnya dihabiskan hanya berempat—tanpa Ben. Ia pun tidak ingin Taehyung tiba-tiba teringat dengan kota impiannya yang sudah pupus sejak Papanya dan kak Yoona meninggalkan dirinya dan Bunda Kim beberapa tahun lalu.

Mamanya sepertinya lupa dengan detail ini—terlalu asyik membicarakan bisnis dengan Ben yang terlihat sudah menyita perhatiannya sejak beberapa menit lalu.

Jeongguk melihat Bunda Kim mengangguk cepat—setuju dengan usulannya. Sedangkan Mamanya hanya menjawab 'oke, Nak. We won't be long'; Ben hanya tersenyum dan mempersilahkan mereka berdua sebelum akhirnya Jeongguk mengajak Taehyung untuk berdiri dan beranjak ke Bar.

Untungnya Taehyung tidak menolak—malahan kekasih Jeongguk itu mengangguk kegirangan waktu dirinya mengusulkan untuk pindah ke Bar. Jujur, Jeongguk memang melihat Taehyung sedari tadi seperti sudah tidak sabar untuk duduk di sana. 'Setnya bagus, Ggukie. Aku mau duduk di sana.' Karenanya, Jeongguk hanya tersenyum sambil mengecup pipi kekasihnya tadi.

Bar Aetig justru terlihat sepi tamu hari ini—siang ini, to be exact. Mungkin para tamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan makan siang daripada minum di Bar. Namun Taehyung lebih senang seperti ini. Rasanya section bar hanya untuk mereka berdua saja. Bar stools yang ada di sana tidak tersentuh sama sekali, hanya bertengger rapi dibawah bar island yang berlapiskan marmer.

Taehyung memutuskan untuk memesan finger foods yang sedari tadi sudah ia 'incar' saat memilih desserts—seperti sudah tahu bahwa siang masih panjang. Rasa laparnya tidak bisa dikalahkan dengan five courses meal yang dipilih oleh Mama dan Bundanya tadi. Saat Jeongguk tahu bahwa kekasihnya masih ingin ngemil, ia hanya bisa terkekeh meledek, namun tetap ikut memesan—Jeongguk akhrinya dihadiahi cubitan dan sikutan di pinggangnya oleh Taehyung.

Setelah memesan pada waiter—butuh waktu sepuluh menit untuk Taehyung memilih—karena banyak sekali, ditambah dilarang oleh Jeongguk secara halus karena Taehyung sedang agak batuk—, akhirnya mereka melanjutkan obrolan yang terpotong beberapa saat lalu di meja.

“Ggukie, by the way, nanti malem nginep di rumah aku ya, mau nggak?” Tanya Taehyung sambil menyesap soda yang ia pesan langsung pada Bartender yang sedang lalu lalang di Bar. Jeongguk hanya memesan air putih dingin; terlalu banyak minum soda sejak tadi sebelum mereka mulai makan siang.

Jeongguk yang mendengar pertanyaan kekasihnya itu hanya menoleh sekilas ke arah meja mereka tadi dan menggumam—Jeongguk sedang berpikir. “Aku tanya Mama dulu boleh, Sayang? Kalau memang Mama hari ini bakal ada meeting sama Uncle Ben lagi sampai larut, ya, aku nginep di rumah kamu. Gimana, Tae?”

Jujur, Jeongguk mulai jarang menghabiskan waktu dengan Mamanya sendiri karena beliau terlalu sibuk bekerja. Lagi dan lagi. Hanya Taehyung dan Yugyeom yang tahu kebiasaan Mamanya akhir-akhir ini. Mama Jeon memang sangat workaholic. Rasanya sesekali Jeongguk ingin menegur Mamanya agar seminggu saja mengambil cuti untuk berdiam di rumah. Namun ia tahu, Mamanya tidak akan setuju, apalagi betah. Tentu ujung-ujungnya perlu andil Jeongguk —ya, Jeongguk harus merelakan waktunya pula untuk mengajak liburan ke luar negeri berdua saja, misalnya.

Beruntunglah Taehyung adalah seorang sahabat dan kekasih yang sudah mengenal Jeongguk luar dalam. Kekasih Jeongguk itu tidak pernah—garis bawahi—tidak pernah memaksa Jeongguk untuk melakukan sesuatu di luar kemauannya. Taehyung sudah mengalami sendiri—bagaimana rasanya 'dipaksa' oleh 'keadaan' untuk melakukannya. Hal itu seringkali terjadi saat keluarganya masih utuh dulu. Jeongguk tentu tahu soal itu—Taehyung masih sesekali breakdown dan meneleponnya sambil terisak.

Taehyung lalu mengangguk tanda setuju. “Nggak apa, bebas kok. Lagian aku baru inget, Mama kayaknya lately sibuk banget. Aku nggak maksa kok, Ggukie. Rumah kamu ke rumahku juga cuman selemparan kancut.” Katanya santai sambil menegak sodanya habis.

Mendengar kekasihnya berkata seperti itu, Jeongguk langsung menoleh ke arahnya dan menatapnya horor. “Selemparan what?”

Kancut, Ggukie. Emang kamu nggak pernah denger?” Taehyung menjawabnya cepat sambil berbisik dan memajukan tubuhnya sedikit ke arah Jeongguk.

Jeongguk hanya bisa menggeleng kencang—masih dengan tatapan horornya. “I know, have heard Gyeom, Wowo, and Kiming used it so many times.” Jawab Jeongguk cepat. “Kamu diajarin siapa kayak begitu? Ngomongnya, Sayang.” Jeongguk menyambung lagi, namun dengan nada yang lembut sambil mengusap pelan pipi kekasihnya itu dengan punggung tangannya.

Taehyung hanya terkekeh sambil mengerlingkan matanya. “Siapa lagi lah. Aku denger dari Jims, Ggukie.” Mendengar jawaban Taehyung, Jeongguk hanya bisa memutar kedua bola matanya. Taehyung lalu menarik tangan kekasihnya dan menepuknya pelan. “Iya-iya, maaf.”

Kekasih Taehyung itu akhirnya mengangguk dan tertawa renyah, beberapa saat sebelum dua orang waiter datang membawa pesanan mereka. Terlihat di tangan, mereka membawa chicken wings, tangsuyuk, french fries, dan burger slider masing-masing satu piring. Taehyung terlihat girang dan kedua matanya berbinar, sedang Jeongguk hanya melotot dan menggeleng sambil tertawa.

Kedua waiter itu lalu menaruh beberapa piring tersebut dan mempersilahkan mereka berdua untuk menikmatinya. Jeongguk hanya mengucapkan terima kasih, sedang Taehyung menjawab 'tentu!' dengan mantap—yang membuat waiter itu tersenyum lebar.

Jeongguk lalu menggeser handphonenya yang sedari tadi ia telungkupkan di island; memberi space yang cukup untuk Taehyung agar bisa dengan leluasa mencomot ini itu. Kekasihnya itu terlihat sedang menuangkan dua tetes hand sanitizer di kedua telapak tangannya untuk sterilisasi sebelum memulai menyantap camilan yang terhampar di depannya.

“Sayang, ayo makan! Kamu belum kenyang, 'kan, Ggukie?” Taehyung berkata sambil mengambil satu potong chicken wing goreng yang dibalur dengan saus madu itu dan memakannya. “Aku nggak mungkin makan sendiri.” Taehyung terlalu bersemangat untuk menyantap comfort food di island itu, hingga ia tidak sadar bahwa tidak ada jawaban satu pun dari Jeongguk. Taehyung lalu menoleh, mendapati kekasihnya itu sedang menopang dagu dengan kepalan tangannya di island, sambil tersenyum lebar.

Taehyung yang sedang serius mengunyah satu potong kentang goreng saat ini lalu berhenti. Ia mengernyitkan dahi sambil memandang Jeongguk. “Ggukie, kamu kenapa senyumnya sampai begitu? Aku cemong, ya?” Tidak ada jawaban, Taehyung lalu hendak mengambil sehelai tisu, sesaat sebelum akhirnya Jeongguk mengulurkan tangan kirinya. Menggunakan ibu jarinya untuk membersihkan ujung bibir Taehyung.

Refleks. Jeongguk nekat sekali. Ia ingat betul di meja lain sedang duduk Mamanya, Bunda Kim, dan Uncle Ben. Ia hanya tersenyum lebar sambil mencubit pelan pipi Taehyung dengan tangan kanannya.

Jeongguk lalu mengambil tisu yang ada di hadapannya dan membersihkan ibu jarinya. “Messy baby,” kata Jeongguk santai, tidak melihat Taehyung di sampingnya yang sudah tersenyum malu. Kedua pipinya sudah panas; merah merona seperti tomat rebus.

Stop that, oh my God, Ggukie!” Taehyung berbisik gemas sambil memutar kedua bola matanya dan memukul pelan lengan Jeongguk. Ia hanya bisa menunduk dan menyadari bahwa kekasihnya hanya terkekeh. “Lihat nih pipi aku, panas banget gini gara-gara kamu. Awas ya kamu nanti.”

“Iya, iya. Abis kamu makan berantakan gitu. Ya aku bersihin lah, tangan aku lagi nganggur ini.” Kata Jeongguk tidak berhenti menggodanya. Taehyung hanya membalasnya sambil menjulurkan lidahnya lalu melanjutkan makannya.

Tamu restoran sudah mulai sepi saat Taehyung hampir menghabiskan semua pesanannya sendiri. Selama itu, Jeongguk hanya mengambil tiga potong kentang goreng dan dua potong tangsuyuk. Ia sudah agak kenyang saat tadi mereka berdua pindah ke bar. Jeongguk melihat Taehyung di sampingnya sudah sedikit memundurkan tubuhnya pada sandaran bar stool yang didudukinya. Stool di bar ini memang terlalu nyaman; dudukan dan sandarannya pun empuk, membuat tamu yang duduk di sini merasa betah.

Sekitar tiga puluh menit waktu sudah berlalu; Taehyung dan Jeongguk habiskan dengan mengobrol dan bercanda sambil menyantap camilan yang kata Taehyung tadi 'terlalu enak, Ggukie. Aku mau pesan lagi tapi kok kayaknya udah kekenyangan, ya?' Jeongguk menjawab Taehyung dengan terkekeh dan mengatakan bahwa sepertinya kekasihnya itu hanya lapar mata.

Sudah lama Taehyung dan Jeongguk tidak berbincang seperti ini; dengan pakaian yang rapi dan di tempat yang seperti Aetig. Tidak, mungkin dapat dihitung dengan jari. Mereka lebih suka menghabiskan waktu di kafe dan/atau restoran yang biasa saja—tidak kelewat mewah seperti ini. Bahkan menurut Taehyung, jika lebih memungkinkan di rumah, ia prefer di rumah saja. Tidak perlu effort sama sekali.

Jeongguk pun hanya mengiyakan. Asal Taehyung-nya senang, ia pun akan senang.

Apapun akan Jeongguk lakukan agar Taehyung-nya selalu bahagia.

Jeongguk rasanya seperti digerogoti rasa penasaran. Sejak Uncle Ben menghampiri meja mereka, dirinya seperti gelisah. Bukan gelisah karena takut, namun karena risih? Ia merasa seperti ada yang memandang ke arahnya tanpa berkedip. Jeongguk tidak tahu, apakah yang sedang memandangnya dan keluarganya itu sedari tadi nyata atau tidak?

Bulu kuduknya seketika meremang.

Ia dapat melihat jelas dari ujung matanya, bahwa ada seorang pria yang sedang memandang ke arahnya. Namun Jeongguk tidak ingin menoleh sedari tadi. Ia khawatir akan bertemu mata dengan orang itu. Entah, rasanya ia tidak siap? Jujur, Jeongguk hanya merasakan itu lewat ujung matanya. Bisa saja ia salah.

Apa mungkin pria itu mengenal satu dari antara kami berlima? batin Jeongguk.

Namun Jeongguk tidak yakin. Pria itu seperti tidak berhenti menatap ke arah meja mereka. Sesekali Jeongguk dapat melihat dari ujung matanya bahwa pria itu kembali berbincang dengan lawan bicara di hadapannya. Pun Jeongguk memutuskan untuk mengabaikannya dan memfokuskan dirinya pada Uncle Ben yang sedang bercerita mengenai keluarganya pada Mamanya dan Bunda Kim.

Namun semakin lama, Jeongguk merasa tidak nyaman. Ia bingung, apa pria itu memang mengenalnya? Atau... sebenarnya sedari tadi ia sedang memperhatikan kekasihnya? Tiba-tiba Jeongguk menghela napas kasar dan tersadar. Ya, mungkin saja pria itu sedari tadi sebetulnya menatap kekasihnya hampir tanpa berkedip. Taehyung hari ini memang terlihat sangat tampan. Sisi posesif dan khawatirnya pun muncul.

Beruntunglah Uncle Ben tiba-tiba mengalihkan pembicaraan santainya dan mulai membahas bisnis restorannya; yang menurut Jeongguk, tidak penting juga untuk didengar oleh dirinya dan Taehyung. Walaupun Mamanya dan Bunda Kim seperti tidak masalah Jeongguk dan Taehyung mendengarnya. Namun menurut Jeongguk, ini adalah kesempatan bagus untuk pindah tempat duduk ke Bar. Lagipula, tadi kekasihnya sempat menyinggung bahwa ia ingin melihat-lihat ke section bar.

Maka dengan sigap Jeongguk mengusulkan untuk pindah ke Bar. Itu adalah alasan utama. Alasan kedua? Ia sempat mendengar pria yang sudah ia anggap sebagai pamannya sendiri sempat menyebutkan bahwa akan mengajak Mamanya dan Bunda Kim berbisnis.

Berbisnis, di Tokyo.

Jeongguk seketika melirik Taehyung di sampingnya yang sepertinya tidak mendengar atau menyimak percakapan mereka sama sekali. Akhirnya Jeongguk mengajak Taehyung duduk pindah ke bar, yang disambut dengan antusias oleh kekasihnya itu.

Setelah mereka berdua pindah duduk ke Bar, Jeongguk bersyukur karena akhirnya posisi duduknya tidak bisa melihat dan terlihat pria itu. Taehyung pun tidak merasa curiga sama sekali. Terkadang Jeongguk rasanya ingin memberitahu kekasihnya itu untuk sedikit lebih peka dengan situasi di sekelilingnya. Namun ia selalu urung—Jeongguk pikir, terkadang lebih baik Taehyung tidak mudah peka. Ia takut kekasihnya itu lantas memutar moodnya seratus delapan puluh derajat.

Ia tidak ingin hal itu terjadi.

Saat Taehyung dan Jeongguk sedang menertawakan satu cerita tentang kejadian lucu yang dialami oleh Jeongguk dan para sahabatnya, tiba-tiba ia melihat dari kejauhan sosok pria yang sejak tadi memandang meja mereka berdua. Jeongguk akui, pria itu berparas tampan—dilihat dari jauh. Ia memakai kacamata bulat dan kemeja rapi, namun cara berpakaiannya tidak seperti tamu lainnya. Saat melihat sekilas wajahnya dengan memicingkan mata, Jeongguk tidak mengenalinya sama sekali—walaupun pria itu berjalan dengan sangat lambat.

“Sayang, aku ke toilet sebentar boleh?” Jeongguk bertanya pada Taehyung cepat. Kekasihnya itu yang sedang menggenggam tangannya itu dan menaruhnya di pangkuannya. Sedari tadi, Taehyung terlihat memainkan gelang Jeongguk yang ia beli khusus untuk kembaran dengan kekasihnya itu.

Of course, Ggukie. I'll be fine. Aku mau chat Jims juga. Gih kamu ke toilet aja. Take your time.” Taehyung berkata sambil tangan kirinya menjulur dan mengambil satu gelas signature ice chocolate milik Aetig yang dipesannya tadi. Jeongguk mengangguk lalu mencium pelipis Taehyung dan segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan cepat ke arah toilet yang kebetulan letaknya berdekatan dengan pintu masuk Aetig.

Sekarang atau tidak sama sekali, pikirnya.

Jeongguk berjalan ke arah pintu masuk restoran. Sial, kenapa Aetig besar sekali sih, umpat Jeongguk kesal. Ia hanya ingin mengejar pria tadi untuk setidaknya melihat wajahnya.

Jika memang pria itu tidak mengenalnya, Jeongguk akan segera kembali ke mejanya dan menganggapnya seperti angin lalu.

Namun ternyata prediksinya salah, saat dari kejauhan, Jeongguk mendengar samar-samar suara pria itu sedang berbicara dengan seseorang di concierge saat dirinya masih berjalan ke arah pintu masuk.

Pria itu sedang berbicara santai dengan waiter yang sedari tadi melayani Mamanya dan Uncle Ben. Johanna terlihat akrab dengannya. Jeongguk tidak terlalu mendengarkan pembicaraan mereka. Ia hanya fokus memicingkan matanya, berusaha mencari tahu dan mengingat apakah pernah bertemu dengan pria ini sebelumnya.

Atau memang sebenarnya mereka tidak saling mengenal dan kejadian tadi hanya perasaannya saja?

Jeongguk masih berjalan dengan sangat pelan, tidak ingin pria itu memergokinya, kala waiter itu akhirnya mengucapkan salam dan menyebutkan nama pria itu.

Nama yang bagi Jeongguk akan selalu masuk dalam blacklist miliknya.

“Iya, baik. Sampai bertemu lain waktu, Park Bogum-ssi.”

Park Bogum-ssi?

“Bogum-ssi?” Panggil Jeongguk cepat sesaat setelah melihat pria itu akan melangkahkan kakinya keluar dari Aetig.

Bogum.

Jeongguk berani bersumpah, ia tidak pernah ingin menyebut nama pria itu lagi sejak pertama kali Taehyung menceritakan masa lalunya yang buruk pada Jeongguk. Walaupun Taehyung sudah seringkali menjelaskan padanya bahwa sosok Bogum sudah tidak penting di hidupnya, namun rasanya Jeongguk ingin meninju wajahnya saat itu.

Jika boleh, ia pun ingin melakukannya saat ini juga, jika mereka berdua tidak sedang di tempat umum seperti ini. Lengkap dengan Taehyung, Mamanya dan Bunda, serta Uncle Ben.

Rasanya ia ingin meneriaki Bogum saat Jeongguk melihat pria di depannya itu tidak mengenalnya sama sekali. Bogum terlihat bingung dan mengernyitkan dahinya. Menjawab Jeongguk dengan sopan—seperti tidak kenal.

“Ya. Maaf, Anda siapa, ya?”

Jeongguk akhirnya sadar, Bogum tidak mengenalinya. Bogum sedari tadi bukan melihat ke arah mejanya, bukan memperhatikan Mamanya dan Bunda Kim. Apalagi dirinya.

Bogum sedari tadi memperhatikan Taehyung.

Dan rasanya Jeongguk ingin meninju Bogum saat itu juga.

“Saya Jeongguk. Jeon Jeongguk. Apa Anda ada waktu sebentar untuk bicara dengan saya?”

Jeongguk tahu, nadanya saat ini sangat jauh dari kata sopan. Mamanya selalu mengajari Jeongguk untuk sopan kepada semua orang yang baru dikenalnya, dan ia selalu melakukannya. Ia mengingat perkataan Mamanya bahwa apa yang kamu tabur, itulah yang kamu tuai. Jeongguk selalu ingin memberikan kesan pertama yang baik terhadap orang-orang di sekelilingnya.

Namun saat ini, pengecualian. Jeongguk masa bodoh dengan sopan santunnya. Ia hanya ingin tahu sedang apa Bogum—cinta monyet kekasihnya dulu yang kebetulan berengsek dan sekarang berada di tempat yang sama dengannya dan Taehyung berada.

Sedari tadi dirinya merapalkan doa agar Taehyung tidak memiliki ide untuk menyusulnya ke toilet dan menemukan bahwa tidak ada Jeongguk di sana.

“Tentu. Duduk di sini saja ya, bagaimana?” Bogum menanggapi dengan santai, seperti sudah lama mengenal Jeongguk.

Sialan. Apa dia memang sengaja? Jeongguk mengumpat dalam hati. Rasanya ingin ia lontarkan saja pada Bogum, daripada membuatnya kesal sendiri.

Okay.” Jawab Jeongguk dingin.

Mereka akhirnya duduk di sudut kiri sebelah concierge Aetic. Johanna terlihat sudah menghilang; mungkin ia menyadari tegangnya situasi yang barusan dimulai. Jeongguk tidak peduli, dan tidak ingin peduli. Semoga saja Johanna tidak melakukan hal yang sedari tadi ia khawatirkan.

Bogum duduk di sofa yang berada di sisi tembok Aetig, sedang Jeongguk duduk di seberangnya. Ia ingin membuat jarak sejauh mungkin, khawatir dirinya tidak akan bisa mengontrol emosinya dan melayangkan tinjunya. Status tangannya saat ini? Sudah mengepal dan bukunya sudah memutih. Napas Jeongguk sangat berat; rasanya terengah-engah padahal sedari tadi ia hanya berdiri dan duduk, tidak sehabis lari pagi.

Ia akui, mengontrol emosi saat berhadapan dengan orang seperti Bogum membutuhkan usaha ekstra. Hal yang membuatnya lebih emosi lagi adalah cara Bogum berbicara dengannya dan gesturnya saat ini. Memang tidak cocky atau apalah. Hanya saja, ia terlihat santai, seperti sudah mengenal Jeongguk. Ramah. Apa memang orangnya seramah ini? Ia tidak yakin.

“Sebelumnya, maaf, Jeongguk-ssi... maaf. Boleh saya memanggil Anda demikian?” Tanya Bogum sopan. Jeongguk hanya memutar kedua bola matanya dan mengangguk.

Cara duduk Jeongguk saat ini tidak sopan sama sekali; menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kaki kanannya menumpang pada kaki kirinya. Kedua tangannya terlipat di depan dadanya. Jeongguk tahu betul Bogum lebih tua beberapa tahun dengannya. Namun ia sudah tidak peduli. Waktunya sudah terbuang lima menit dengan Bogum di sini. Taehyung pasti sudah menunggunya di meja dengan gelisah. Jeongguk tidak pernah menghabiskan waktu lebih dari lima menit di toilet jika mereka sedang bepergian.

“Baiklah. Saya hanya ingin bertanya, apakah saya mengenal Anda? Ini adalah pertama kalinya saya melihat Anda, Jeongguk-ssi.”

Jeongguk mengernyit. God, ia sangat muak dengan nada sopannya yang sama sekali tidak dibuat-buat. Apa memang dulu Bogum sehalus ini jika berbicara? Jika iya, pantas saja Taehyung dulu jatuh cinta padanya.

No, but you are about to. Yang saya ingin tanyakan pada Anda, Bogum-ssi” Jeongguk memberikan penekanan pada namanya. “Selama saya dan keluarga saya tadi makan siang di dalam, saya merasa Anda melihat ke arah meja kami terus. Maksud Anda apa, ya? Karena jujur saya merasa risih.”

“Ah. Itu.” Jawab Bogum dengan tenang. Ia lalu tersenyum simpul. “Maaf jika saya lancang dan membuat Anda terganggu. Saya seperti melihat teman lama saya di samping Anda. Kim Taehyung. Apakah saya benar?”

Rasanya petir menyambar Jeongguk di siang bolong ini. Teman lama, katanya? Yang benar saja. Apa Bogum sama sekali tidak mengingat dulu ia membuat Taehyung hancur berkeping-keping? Mendengar Bogum menyebut kekasihnya sebagai 'teman lama'nya membuat Jeongguk ingin muntah. Pria ini harus diajari cara keluar dari imajinasinya.

Your so-called old friend is not only my best friend, but also my boyfriend, Bogum-ssi. Saya tahu siapa Anda.” Nada bicara Jeongguk sudah meninggi. Tubuhnya sudah tidak lagi bersandar pada sofa itu. Tangannya sudah tidak lagi terlipat di dada. Jeongguk hampir berdiri dan menggebrak meja yang membatasi mereka jika ia tidak melihat ada beberapa tamu yang hendak memasuki pintu Aetig.

“Dan saya rasa, Anda tidak memiliki hak untuk memanggilnya 'teman lama'. Saya rasa dia pun tidak setuju jika dicap demikian. You were a jerk, sorry to say.”

Jeongguk sudah berdiri dan mengacungkan jari telunjuknya ke arah Bogum. Ia sudah tidak bisa menahan emosi yang membakar dada dan kepalanya.

That I know, Jeongguk-ssi.” Bogum hanya menjawab tiga kata dengan nada yang biasa, namun hal itu sukses membuat Jeongguk naik darah.

Bogum terlihat kaget saat Jeongguk sudah menjarah personal spacenya dengan menggenggam erat kerah pakaian Bogum. Jeongguk menariknya berdiri untuk berbisik di telinga Bogum dengan nada yang dingin—pelan namun penuh dengan amarah.

“Saya berharap dia tidak akan pernah bertemu Anda lagi, Bogum-ssi. Saya pun mengharapkan hal yang sama untuk kita berdua.”

Jeongguk lalu melepaskan kerah baju Bogum dan menatap sepasang mata yang dilapisi kaca itu.

“Percayalah, Jeongguk-ssi, hal itu adalah hal terakhir yang saya harapkan terjadi. Sudah cukup saya membuat Taehyung hancur enam tahun lalu.”

Thunder.

Welcome to Aetig, Sir.” Seorang waiter yang berdiri di ambang pintu masuk restoran fine dining itu menyapa Bogum dengan senyum yang ramah. Sejak ia mendapat pesan dari Mr. Kwan tadi pagi, Bogum sudah bergegas dan merencanakan untuk datang lebih awal—kebiasaan yang ia miliki sejak dulu. Setiap akan mendatangi tempat baru, ia selalu berusaha untuk datang lebih awal; untuk merasakan 'atmosfir' tempat itu—prinsipnya. Maka tak heran jika Bogum sudah sampai di restoran itu lima belas menit sebelum last minute interview dimulai.

Sebenarnya, dirinya sudah mendapatkan undangan untuk wawancara oleh tim manajemen restoran ini beberapa hari lalu. Koneksi pekerjaannya di New York memberikan nilai tambah untuknya sehingga ia bisa diundang untuk melakukan interview di Seoul. Mr. Ben—pemilik grup restoran yang merupakan teman dekat atasan Bogum di New York—meminta rekomendasi pada temannya, yang tentu disambut antusias oleh atasan Bogum. Beliau mengatakan, lebih baik talenta dan keahlian Bogum dimanfaatkan secara permanen.

Membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit dari Bogum memarkirkan mobilnya, merapikan barang-barangnya untuk keperluan interview, dan melangkahkan kakinya mantap hingga ia sampai di lantai tempat Aetig berada. Entah mengapa, menurutnya, interview hari ini akan berjalan dengan lancar. Ia sangat optimis akan hari ini; ia merasa seperti akan mendapatkan kabar baik.

Bogum tersenyum mantap, menegakkan tubuhnya dan akhirnya melangkah menuju pintu masuk Aetig. Sebelum ia berjalan mendekat, ia terpukau dengan pemandangan yang terpampang di depan kedua matanya. Interior Aetig sangat menonjol; memberikan kesan dingin namun elegan. Marmer yang melapisi dinding restoran itu dihiasi dengan sedikit sentuhan warna emas di beberapa sudut. Cahaya matahari yang menembus dinding kaca restoran itu pun memendar ke seluruh ruangan. Tempat ini cantik, pikirnya. Ia tidak sabar untuk segera masuk dan mengeksplor kecantikannya yang sudah terlihat walaupun hanya dari pintu masuk. Tak lupa Bogum mengabadikan foto dan menaruhnya di Twitter.

Waiter yang menyapanya itu bernama Johanna—terlihat dari nametag yang dipakai—tersenyum dan menyapa Bogum dengan ramah.

Hi, Ms. Johanna. I am Bogum. Park Bogum. I have an appointment with Mr. Ben and Mr. Kwan? He said we'll be having a meeting in table 12.” Kata Bogum membalas fasih dengan bahasa Inggrisnya. Wanita di depannya ini menyapanya dengan bahasa asing—tentu ia akan membalasnya dengan sama pula. First impression matters, menurut Bogum.

“Ah, Mr. Park Bogum. Baik, mari saya antar ke table Anda,” ujar wanita itu ramah sambil memegang earpiecenya dan menggumamkan kalimat yang tidak bisa ia dengar. Berbicara dengan entah siapa diujung lainnya sambil berjalan pelan, meminta Bogum untuk mengikutinya.

Oh, dia berbicara bahasa yang sama denganku. Baiklah, setidaknya aku sudah memberikan kesan yang baik diawal, pikirnya.

Bogum mengekor wanita itu berjalan memasuki ruangan restoran. Jujur, ia terpukau melihat setiap sudut tempat itu. Ajaibnya, belum genap sepuluh menit ia berada di Aetig, namun ia sudah nyaman—tidak, ia sudah merasa jatuh cinta dengan tempat ini. Keinginannya untuk diterima kerja di restoran ini rasanya semakin besar.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk Bogum akhirnya sampai di meja yang dijanjikan oleh Mr. Kwan—cukup tersembunyi; cocok untuk para tamu menginginkan privasi. Bogum tidak tahu siapa yang mendesain restoran ini dulu, namun ia berterima kasih karena orang tersebut sangat memperhatikan detail dan suasana yang ingin dirasakan oleh tamu. Bogum akhirnya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Ia mengambil duduk di sisi seberang dinding kaca gedung. Menurutnya, sisi ini adalah sisi yang pas sehingga wajah dan gesturnya akan terlihat saat interview nanti.

Ingat, small things matter, batinnya.

Entah sudah berapa kali Bogum merapalkan doa agar interview hari ini berjalan dengan lancar. Kata orang, jika seseorang merasa gugup saat akan melakukan sesuatu, itu bisa berarti dua hal; dan menurut Bogum, gugup yang ia rasakan saat ini cenderung terarah pada sesuatu yang positif.

Semoga prediksinya benar.

Selang beberapa menit, Bogum mendengar langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Bunyi geletak sepatu pantofel yang beradu dengan lantai itu semakin terdengar jelas kala ia menyadari bahwa seseorang sudah berdiri di sampingnya sambil tersenyum. Bogum lantas menoleh dengan cepat lalu berdiri. Membungkukkan badan dan menyambut jabat tangan pria itu dengan mantap.

'First thing, jabatlah tangan seseorang yang menurutmu penting dengan mantap dan kuat. Tunjukkan bahwa dirimu antusias bertemu dengan orang itu.' Kata-kata Jaebeom padanya dulu saat di New York tiba-tiba muncul di kepalanya. Tentu kalimat itu adalah hal yang selalu tertanam dalam memorinya dan ia lakukan kapanpun saat Bogum melamar pekerjaan. Jujur, Jaebeom memang memiliki pengaruh yang positif untuk dirinya. Ia akui itu. Sahabatnya itu pun selalu mendukungnya saat ia masih tinggal di New York dulu.

Pria yang saat ini berdiri di hadapannya menunjukkan senyum lebarnya, yang sudah tahu bahwa beliau adalah Mr. Kwan. Bogum sempat melakukan research sederhana mengenai Aetig dan grup yang menaungi restoran itu. Mr. Kwan menjabat sebagai Head Manager di Seoul, sedangkan Mr. Ben adalah Director & Founder dari Aetig. Kebetulan, sang pemilik Aetig sedang berlibur ke Seoul, sekaligus mengunjungi keluarganya yang tinggal di sini. Well, Bogum tahu hal ini justru dari atasannya yang merupakan teman dekat beliau. Terkadang Bogum memiliki 'pekerjaan sampingan' yaitu menjadi teman ngobrol atasannya di New York.

“Halo, Park Bogum. Saya Mr. Kwan, welcome to our not-so-big restaurant.” Pria itu memulai dengan santai sambil menarik kursinya dan duduk. Mr. Kwan tidak terlihat setua yang ia bayangkan. Bogum menerka, sepertinya pria yang ada di depannya ini berumur empat puluhan. Bogum mengagumi orang-orang yang masih muda tetapi memiliki semangat kerja yang tinggi. Ah, another lessons for today, pikirnya.

“Ah, this place is so nice yet exquisite. Desain interiornya saya acungi jempol, Mr. Kwan. It feels warm yet elegant, kalau saya boleh berpendapat.” Bogum menjawab dengan sopan tanpa sugarcoating. Kejujuran adalah hal nomor satu untuknya, dan Aetig memang terlihat seperti apa yang dideskripsikan oleh Bogum pada beliau.

Mr. Kwan membalasnya dengan tersenyum dan mengangguk. Terdapat sinyal positif di sana.

“Ah, terima kasih Bogum. Ini semua berkat kerja keras Mr. Ben dan ide-ide briliannya. So anyway, dia akan sedikit telat. Please tell me about yourself. Saya ingin dengar cerita dan pengalaman kamu.”

“Mam, please kindly help me to call Aetig? Taeby sama Bunda katanya sudah on the way ke atas. Gguk minta tolong diinfo aja kalau mereka sudah mau sampai,” kata Jeongguk meminta tolong pada Mamanya sambil menyerahkan handphonenya. Jalanan hari ini agak macet, tentu karena hari itu bertepatan dengan weekend. Padahal rumahnya dan rumah Taehyung berdekatan; tapi mungkin hari ini supir kekasihnya itu meluncur terlalu cepat. Jeongguk memilih melajukan mobilnya dengan santai hari ini; yang berakibat dirinya dan Mama Jeon akan sedikit terlambat.

Mamanya mengangguk sambil menyambar handphone Jeongguk dan menelepon Aetig. Ia akui, anak semata wayangnya itu memang terlalu terorganisir. Jeongguk adalah seseorang yang perfeksionis. Ia ingin semua rencananya berjalan dengan lancar. Bahkan ia merasa perlu untuk memberitahu pihak Aetig bahwa kekasihnya dan Bundanya sebentar lagi akan sampai. Mama Jeon hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum simpul. Jeongguk memang menuruni sifat uniknya.

Tidak lama setelah Mama Jeon selesai menelepon Aetig, mobil Jeongguk akhirnya memasuki kawasan gedung tempat restoran itu berada. Sekilas ia melihat lahan parkir yang sudah penuh—beruntunglah tadi Taehyung menawarkan agar supirnya yang memarkirkan mobil Jeongguk saat sudah sampai. Hitung-hitung akan mengurangi waktu keterlambatan dirinya dan Mama Jeon.

Jeongguk melihat dari kejauhan supir Taehyung yang sudah menunggunya di lobi. Ia lalu membunyikan klakson pelan untuk memberi sinyal pada beliau. Sebelum turun dari mobil, Mama Jeon dengan cepat mengambil clutchnya dari jok belakang dan mengambil lipstik mauve favoritnya; tak lupa menyemprotkan parfum di ceruk leher dan pergelangan tangannya. Jeongguk lalu membuka pintu mobil dan menyapa supir Taehyung. Mengobrol barang sebentar dan mengucapkan terima kasih. Akhirnya Jeongguk dan Mama Jeon memasuki gedung dan berjalan menuju lift.

Aetig sudah tidak asing ditelinga Jeongguk; Mamanya sering menyebutkan nama restoran itu hampir setiap minggu. Memang, Aetig adalah salah satu restoran ternama di Seoul yang sudah running di food and beverages industry sejak dua tahun silam. Selama itu pun, Jeongguk sudah melihat nama Aetig dan grup restorannya seliweran di layar kaca. Namun, belum pernah sekalipun baik Jeongguk maupun Taehyung mampir ke sana. Alasan yang paling utama adalah: terlalu mahal. Uang saku pribadi mereka berdua belum cukup untuk dihabiskan di tempat ini. Menurut Taehyung, asal dengan Jeongguk, semua tempat akan terasa lebih nyaman.

Sesampainya di depan pintu Aetig, Jeongguk disapa oleh seorang waiter wanita; ia melihat tersemat nametag bertuliskan Johanna di dada. Wanita itu lalu menyapa mereka berdua dengan ramah dan menanyakan nama reservasi untuk hari ini. Saat Mama Jeon menyebutkan namanya, wanita itu langsung menyunggingkan senyum lebarnya dan berkata dengan lembut. “Ah, Nyonya Jeon, mari, saya antar ke table. Nyonya Kim dan putranya sudah datang.”

Mama Jeon dan Jeongguk lalu berjalan mengekor wanita itu yang membawa mereka berkeliling restoran terlebih dahulu. Jeongguk yang senang dengan artistik dan desain interior restoran dan kafe langsung teringat akan kekasihnya. Taehyung pasti senang sekali hari ini mengunjungi Aetig. Jeongguk bertaruh dengan dirinya sendiri, kemungkinan besar kekasihnya itu akan mengajaknya berkeliling ke setiap sudut restoran untuk mengabadikan desain interior yang menghiasi seluruh restoran.

Jeongguk pun mengedarkan pandangan sekali lagi. Jujur, Aetig jauh lebih indah dan terlihat luxurious jika dibandingkan dengan yang ia lihat di layar kaca dan lewat cerita Mamanya. Pantas saja ia sering melihat beberapa artis papan atas dan rentetan nama konglomerat diberitakan sedang menghabiskan waktu dengan kolega dan/atau keluarganya di restoran ini.

Dari kejauhan, Jeongguk dapat melihat Bunda Kim dan Taehyung di table mereka. Taehyung terlihat sangat tampan; ia memakai suit berwarna biru langit yang kebesaran, sedang Bunda memakai kemeja putih yang dibalut dengan suit serupa dengan Taehyung berwarna hitam. Mereka berdua terlihat sedang duduk berhadapan sambil berbincang. Tidak seperti dalam pembicaraan serius. Justru sebaliknya, Taehyung terlihat tersenyum dan tertawa lebar, menunjukkan giginya. Walaupun tidak terdengar, namun Jeongguk seperti bisa merasakan selebar apa tawa kekasihnya itu.

Kadang ia berpikir, seberapa besar cintanya pada Taehyung; kekasih sekaligus sahabatnya selama lima tahun silam. Tujuan hidupnya saat ini hanya dua; membahagiakan Mama Jeon dan Taehyung.

Tanpa sadar, Jeongguk ikut tersenyum melihat Taehyung tertawa lebar, sampai ia tidak sadar bahwa kekasihnya itu sudah melambaikan tangan padanya sambil menunjukkan senyum kotaknya. Jeongguk lalu tersadar dan melambaikan tangan, membalas senyum kekasihnya sambil setengah berlari ke arah table mereka. Mama Jeon hanya bisa menggeleng sambil tertawa, lalu mengucapkan terima kasih pada sang waiter yang berdiri bersisian dengannya.

“Hai, sayang.” Sapa Jeongguk lembut lalu mengecup pelan kedua pipi Taehyung, tidak ketinggalan membubuhkan satu kecup di dahi kekasihnya. Belum sempat Jeongguk menyapa Bunda Kim, Taehyung sudah mengulurkan kedua tangannya dan memeluk leher Jeongguk untuk menariknya lagi. Terdengar cekikikan Taehyung di telinga Jeongguk yang membuat bulu kuduknya meremang.

Hell, Jeongguk memang sudah kepalang rindu dengan kekasih manisnya itu.

“Hei, Ggukie! I miss you!” Pekik Taehyung sambil membalas Jeongguk dengan mencium pipi kanannya. Ia lalu terkekeh melihat kedua pipi Jeongguk memerah karena aksi kecil darinya. Dari ujung matanya, Taehyung melihat Bundanya menggelengkan kepala seperti Mama Jeon tadi; melihat dua sejoli yang rasanya seperti baru kemarin menjalin status pacaran.

Jeongguk lantas mencubit pelan pipi Taehyung setelah menerima satu hadiah di pipinya, lalu menyapa Bunda Kim sambil memeluk beliau erat. “Hi, Bunda. Apologize karena Taeby narik Jeongguk duluan. Kebelet banget kayaknya minta cium.” Kata Jeongguk sesaat setelah Bunda melepaskan pelukannya. Bunda Kim hanya tertawa pelan, sedang Mamanya hanya tersenyum.

That's okay, Gguk. Bunda tahu pasti kamu udah kangen. Tae juga daritadi whining terus. Rewel nanya kamu udah sampai mana.” Kata Bunda sambil melihat Taehyung dan Jeongguk bergantian. Anak laki-laki Bunda Kim itu hanya memutar kedua bola matanya lalu menunduk. Taehyung malu. Namun, tak berapa lama, Jeongguk hanya terkekeh pelan sambil mengulurkan tangan kanannya dan mengelus pelan punggung tangan Taehyung.

“Hehe, I miss him, indeed, Bunda.”

Mama Jeon akhirnya memanggil Johanna kembali setelah sekitar sepuluh menit mereka menghabiskan waktu untuk memilih lunch package yang akan dinikmati untuk makan siang. Jeongguk mengobrol dengan Taehyung sambil sesekali mencium pipi kekasihnya itu; sedang Bunda Kim dan Mamanya sedari tadi terdengar membicarakan keseharian mereka, diselingi dengan pembicaraan bisnis yang sedang mereka jalani.

Waiter yang bertugas melayani mereka itu akhirnya mencatat pilihan package didalam otaknya, lalu tersenyum sambil mengangguk tanda ia sudah paham. Namun, tiba-tiba Johanna—sepertinya Mama Jeon sudah mengenal wanita ini dengan baik, terlihat dari gestur dan gaya bicara Mama yang santai dengannya—bertanya pelan pada beliau. “Maaf, Nyonya, Jeon, Mr. Ben is here already. Apa Anda mau bertemu sekarang?”

Jeongguk yang mendengar nama sang pemilik restoran itu pun lantas memalingkan wajahnya dari Taehyung dan menyela pembicaraan antara Johanna dan Mamanya. Ben adalah salah satu orang yang membantu bisnis Mamanya hingga sekarang. Beberapa kali dirinya mendengar Mamanya berbicara soal bisnis via telepon dengan Ben. Jeongguk pun sudah dua kali bertemu langsung dengan pria yang menurut Mamanya adalah 'sahabat bisnis' beliau itu. “Whoa, Uncle Ben is here, Mam? Gguk mau ketemu dong.”

Taehyung mengernyit kala mendengar nama yang asing untuknya. Ia tidak pernah memperhatikan nama orang. Ia hanya hafal dengan wajah mereka. Taehyung akui, ia sering lupa dengan beberapa nama orang penting, namun saat melihat wajahnya, ia pasti ingat. Sekilas ia melirik ke arah Bundanya, tidak ada raut bingung terlukis diwajah cantiknya itu. Apa hanya Taehyung yang tidak tahu Uncle Ben itu siapa?

“Ggukie, beliau itu siapa?” Tanyanya singkat dengan polosnya. Manik hazelnya membesar, kedua matanya mengerjap bingung.

Jeongguk lalu menoleh ke arah Taehyung lalu mengelus pipinya pelan. God, I love him so much, batinnya. “He is the founder of Aetig, sayang. Yang kamu sering lihat di televisi. I know kamu pasti nggak inget nama, tapi inget sama mukanya deh, nanti.” Jelas Jeongguk pelan sambil tersenyum. Ia melihat Taehyung terbelalak, kedua manik hazelnya memancarkan sinar ragu namun hanya menggumam; memberi sinyal tanda mengerti.

Lagipula menurut Jeongguk, sosok Uncle Ben tidak begitu penting untuk Taehyung. Ia hanya ingin memperkenalkan kekasihnya pada seseorang yang sudah ia anggap seperti pamannya sendiri; walaupun memang, Jeongguk baru bertemu dengan beliau dua kali dan selebihnya hanya bertegur sapa via telepon. Jeongguk teringat bahwa dirinya belum pernah menceritakan sosok Ben pada kekasihnya.

Bunda dan Mama yang sedang mengobrol asyik berdua tidak menyadari bahwa Taehyung dan Jeongguk pun sedang tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Kedua Ibu mereka membicarakan mengenai bisnis masing-masing—Taehyung tidak mengerti. Ia hanya tersenyum melihat Bunda begitu antusias menjelaskan bisnisnya yang sedang berjalan sekarang.

Taehyung tiba-tiba teringat dengan keadaan keluarganya beberapa tahun silam; Bunda dan Papa yang selalu bertengkar hampir setiap hari—memperdebatkan soal bisnis Bunda yang sedang memburuk, Papa yang selalu pulang malam dan sibuk dengan bisnisnya. Bunda tidak pernah membicarakan mengenai bisnisnya. Bunda pun tidak meminta tolong sampai titik terakhir; walaupun Papa adalah suaminya sendiri. Beliau hanya pernah bercerita bahwa partner bisnisnya mundur karena suatu dan lain hal—Taehyung pernah dengan tidak sengaja mendengar pembicaraan Bunda dengan seorang wanita diujung telepon kala itu.

Memutuskan untuk bercerai agar beliau berdua dapat 'bernapas' adalah keputusan yang sulit, Taehyung tahu. Tapi rasanya, melihat Bundanya sendiri sekarang bahagia dengan hidupnya, itu adalah hal yang terpenting untuk Taehyung. Rasanya bahagia adalah satu-satunya tujuan hidup Taehyung, karena pada kenyataannya, hidupnya sekarang hanya berdua dengan Bunda.

Taehyung bersyukur, semesta mempertemukannya dengan Jeongguk lima tahun lalu. Siapa sangka, seseorang yang berkenalan dengannya di mobil antar jemput sekolah adalah sahabatnya yang setia ada disampingnya—selain Jimin, tentunya—dan sekarang sudah menjadi kekasihnya. Taehyung adalah seorang yang visioner; membayangkan bagaimana jika ini terjadi, bagaimana jika itu terjadi—dan beruntunglah, hampir semua vision Taehyung akan hidupnya sesuai dengan apa yang ia bayangkan.

Kecuali vision nya soal Bogum.

Ah... apa kabarnya ya dia sekarang? Taehyung tidak mau munafik; beberapa kali sejak pertemuan dirinya dan Jimin dengan Jaebeom di kafe Haru, ia teringat akan sosok Bogum. Bohong memang kalau Taehyung berkata bahwa ia sudah melupakan seseorang yang entah... bisa disebut mantan kekasih atau tidak? Hell, Taehyung masih kelas empat waktu itu. Namun Bogum adalah salah satu orang yang memiliki memori dengannya. Walaupun memori yang Taehyung miliki dengan Bogum hanya memori pahit, tapi Bogum memiliki andil yang cukup besar untuk hidupnya sekarang.

Kontradiktif? Jelas. Namun Taehyung berusaha memikirkannya menjadi suatu hal yang positif.

Ia tidak sadar sudah melamun selama tiga menit saat Jeongguk mencolek pipinya dan tertawa kecil. “—hyung? Sayang?” Kekasihnya itu memanggilnya lembut. “Kok ngelamun? Mikirin apa?”

Taehyung hanya menyunggingkan senyum kotaknya sambil tertawa renyah. “Nggak apa, Ggukie. Cuman kepikiran sesuatu aja.” Ia menjawab singkat. Beruntung Jeongguk hanya menganggukan kepalanya lalu mengalihkan pembicaraan lain.

Selang tiga puluh menit berlalu, akhirnya Johanna datang menghampiri table mereka dengan membawa dua piring terlebih dahulu untuk menyajikan pesanan Bunda dan Mama; diikuti oleh dua orang waiter di belakangnya yang membawa pesanan Jeongguk dan Taehyung. Berhubung sudah sangat lapar—ya, Taehyung sudah mengeluh tiga kali—kekasih Jeongguk itu memekik pelan sambil tersenyum lebar. Sudah ada dalam bayangannya bahwa ia akan menyantap five course yang menurut Mama dan Bunda masing-masing sangat enak.

Selama makan siang, mereka berempat saling bersenda gurau dan bercerita tentang keseharian Jeongguk dan Taehyung beberapa hari belakangan. Ritual makan siang bersama setiap hari Minggu di rumah Taehyung dan/atau Jeongguk sempat tertunda, lantaran kedua anak mereka memiliki jadwal sendiri dan Mama serta Bunda sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Jeongguk beberapa kali menoleh ke arah Taehyung yang sedang asyik sendiri dengan makanannya. Jeongguk tidak dapat menghitung dengan jarinya sudah berapa kali Taehyung melenguh karena makanan hari ini sangat enak—katanya tadi dengan memejamkan mata sambil mengunyah satu potong steak yang menjadi course terakhir sebelum dessert dikeluarkan. Wajahnya sangat lucu saat berbicara pada Jeongguk tadi; Taehyung bilang mereka berdua harus makan di Aetig lagi nanti saat Jeongguk berulang tahun. Padahal masih dua bulan lagi, tapi Taehyung sudah bersemangat. Jeongguk mengiyakan dengan mengangguk mantap lalu meneguk air mineralnya hingga habis.

Apapun untuk Taehyungnya, batin Jeongguk.

Hari Minggu merupakan hari yang cukup favorit di Aetig; tidak terasa mereka berempat sudah dikelilingi oleh beberapa tamu yang terus berdatangan. Menjadi ramai memang; tidak sesepi beberapa jam sebelumnya saat mereka baru datang, namun, tata interior Aetig diatur sedemikian rupa oleh Ben sehingga setiap tamu masih memiliki privasi.

Jeongguk dengan Mama serta Bunda sedang asyik berbincang bertiga saat Taehyung baru saja kembali ke meja sehabis dari toilet. Mereka bertiga tidak sadar bahwa sudah ada sesosok pria seumuran Mama Jeon yang berjalan menghampiri meja mereka. Taehyung yang pertama kali melihat pria itu melempar senyum ramah padanya. Taehyung yang merasa canggung hanya membalas dengan senyum simpul namun wajahnya tidak bisa menyembunyikan raut penasarannya. Kok orang ini terlihat tidak asing ya, pikirnya.

Pria itu mengenakan pakaian yang cukup santai; kemeja putih dibalut dengan casual top suit warna abu gelap dan celana jins hitam, serta pantofel warna hitam. Pakaiannya berbeda dengan para tamu yang cenderung seperti orang yang mau pergi pesta—kata Taehyung tadi pada Jeongguk.

Saat pria itu sampai dan berdiri di pinggir meja mereka, akhirnya ia buka suara.

“Hai, Se-ah. Apa kabar?” Sapa pria itu ramah memanggil nama kecil Mama Jeon.

Mama Jeon yang sedang sibuk tertawa dengan Bunda Kim seketika menoleh dan selang beberapa detik, terlukis senyum lebar di wajah beliau.

Oh my God, Ben!” Mama Jeon membalas dengan sedikit memekik lalu berdiri dan memeluk pria itu, yang Taehyung tebak, inilah Uncle Ben yang dibicarakan sejak tadi.

Ben, owner and founder Aetig. Pantas saja Taehyung sering melihat pria ini muncul beberapa kali saat menonton program favoritnya di televisi. Ben sering muncul jika sang host dari program itu sedang ke New York.

Mr. Kwan dan Bogum sedang berbincang selama sepuluh menit, kala seseorang yang Bogum tahu bernama Mr. Ben menghampiri meja mereka dengan seseorang yang terlihat seperti sekretarisnya. Ben terlihat ramah dan mengenakan pakaian yang cukup santai untuk ukuran Aetig. Bogum mengagumi Ben sejak beberapa tahun lalu; passion nya dalam menaungi restaurant group Aetig patut diacungi jempol—terlebih lagi, Bogum merasa Ben perlu dianugerahi penghargaan khusus. Walaupun Aetig baru seumur jagung, namun namanya sudah dikenal di setiap sudut New York dan juga Seoul—kota tempat Aetig pertama kali berdiri.

“Hi, guys.” Ben menyapa mereka berdua lalu menarik kursi di depan Bogum. Ia lantas berdiri, pun Mr. Kwan untuk memberi salam pada Mr. Ben. Beliau lalu melihat ke arah Bogum sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Bogum dengan sigap meraih tangan beliau untuk bersalaman.

“Halo, Mr. Ben. Nice to meet you, saya Park Bogum.” Ia menggenggam erat dan memberikan senyum tulusnya.

Mr. Ben lalu membalas senyumnya sambil menjawab dengan santai. “Wow, strong grip, young man. So Aetig. I like you already.” Beliau lalu duduk di kursinya sambil mengeluarkan handphonenya dari saku celananya.

Mendengar compliment di hari interviewnya adalah salah satu hal yang tidak ia sangka akan terjadi. Bogum hanya tersenyum lalu membalas dengan mantap. “Ah, terima kasih, Mr. Ben.”

Mr. Kwan lalu terlihat sedang berbincang dengan sekretaris Mr. Ben. Entah apa yang dibicarakan dan Bogum juga tidak ingin menguping. Hanya saja, Bogum sekilas mendengar Mr. Kwan mengatakan pada sekretaris Mr. Ben untuk memanggil Johanna dan membawakan minuman untuknya. Sekretaris itu mengangguk kemudian, hendak beranjak pergi dari meja itu, kala Ben tiba-tiba memanggilnya.

“Sebentar ya, Bogum—” katanya pada Bogum sebelum akhirnya memanggil nama sekretarisnya. “Soo-ssi, tolong info Johanna kalau bill Mrs. Jeon and family dimasukkan ke bill saya saja. And please tell Johanna to serve them one hundred percent. She's my dear friend. Tolong dilayani dengan baik ya, thanks.” Kata Ben cepat, yang langsung dipahami oleh sekretarisnya. Soo mengangguk dan mengatakan permisi, saat Ben memanggilnya lagi.

“Ah, tolong bilang juga saya ada tamu dulu, nanti saya akan ke meja mereka.”

Bogum mendengar Soo menjawab “Baik, Mr. Ben” lalu pergi meninggalkan mereka bertiga. Mr. Ben terlihat sangat ramah dengan Soo maupun Mr. Kwan. Tidak terlihat Ben seperti bersikap bossy atau sombong seperti yang media ceritakan. Auranya pun terasa sangat positif dan tidak mengintimidasi. Namun Bogum tahu dari atasannya di New York, Ben adalah orang yang cukup tegas dan disegani. Bogum dapat melihat itu dari cara Mr. Kwan dan Soo berkomunikasi dengan beliau. Ia hanya berharap dapat memberikan first impression yang baik pada Ben.

“Jadi bagaimana, Kwan? Sudah ngobrol dengan Bogum?” Tanya Mr. Ben kemudian sesaat setelah menegak air mineral dingin di hadapannya. Bogum yang duduk menghadap ke luar gedung dapat merasakan terik matahari yang terasa menyengat. Namun entah, lagi-lagi Bogum dibuat takjub dengan cara founder Aetig di hadapannya ini membuat suhu di Aetig tetap sejuk dan membuat suasana nyaman untuk para tamunya.

Mr. Kwan lalu tertawa kecil sambil mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu kiri Bogum. “Yeah, I did. He's competent enough. I only talked for... ten minutes maybe? Kamu bisa menanyakan hal lain, Ben. Bebas. You're the owner and founder, tho.”

Mr. Ben hanya tertawa lalu mengangguk. Ia sudah mengenal Mr. Kwan jauh sebelum Aetig dan restaurant group nya berdiri. Mr. Kwan adalah adik tingkatnya dulu semasa kuliah di New York; sama-sama orang asing dari Korea Selatan untuk menimba ilmu selama beberapa tahun. Pertemuan mereka sampai saat ini masih sering menjadi bahan candaan antara keduanya.

The New York Public Library menjadi saksi bagaimana rasanya Mr. Ben dan Mr. Kwan seperti saudara jauh yang sudah lama tidak bertemu. Heboh. Rasanya seperti menemukan jarum di tengah jerami—well, karena sebenarnya mereka berdua sama-sama tidak mengenal siapapun warga negara Korea Selatan di New York. Beruntunglah mereka bertemu di Perpustakaan itu. Menjalin persahabatan yang cukup lama—berbekal percaya dan akhirnya bekerja bersama.

Well, kalau Kwan mengatakan seperti itu, saya percaya dengan dia. Saya hanya butuh tahu beberapa hal. Apa yang membuat kamu tertarik bergabung di Aetig, Bogum?” Tanya beliau santai sambil menyilangkan kaki kirinya diatas kaki kanan. Mr. Kwan hanya tersenyum. Ia cukup mengenal Mr. Ben. Jika sahabatnya sudah melakukan gestur seperti ini, tandanya ia sudah membuka diri dengan siapapun lawan bicaranya.

Mr. Ben sempat bercerita pada Mr. Kwan bahwa Bogum adalah salah satu karyawan yang sedang freelance dibawah naungan sahabatnya di New York. Sangking teladannya, Bogum terkadang mementingkan pekerjaannya dibandingkan kuliahnya di sana—salah satu alasan mengapa atasan Bogum di New York belum menaikkan status Bogum menjadi karyawan tetap; Sahabat Mr. Ben hanya tidak ingin anak pintar, cerdas, dan apik seperti Bogum lebih mementingkan pekerjaannya daripada studinya. Apalagi ia tahu, bahwa living cost di New York sangat tinggi. Pun alasan kedua adalah, sahabat Mr. Ben belum mampu membayar gaji Bogum sebagai karyawan tetap. Nilai jual Bogum pasti akan tinggi sekali.

Tahu bahwa Bogum adalah mahasiswa rantau dari Korea Selatan, maka sahabatnya itu merekomendasikan anak muda itu pada Mr. Ben. Ia tahu, Bogum adalah seseorang yang pas dan pantas untuk bekerja dengan Mr. Ben. Bogum akan menjadi sukses berada dibawah naungan beliau dan empirenya.

Bogum yang mendengar pertanyaan itu menarik napas dan mengatur dirinya sebelum menjawab Mr. Ben. “Sebelumnya saya berterima kasih, karena Anda berkenan mewawancara saya. Jujur, Mr. Ben, saya pertama kali mengenal Aetig via televisi dan baca beberapa buku Anda. Selebihnya, saya tahu Anda dari atasan saya. Selama setahun saya bekerja secara freelance di sana, I enjoyed it every single day. Namun seperti yang Anda tahu sebelumnya, my boss wanted me to grow, so yeah, I came here.”

Jawaban Bogum terkadang bisa dinilai orang sebagai jawaban monoton yang tidak memiliki daya tarik sama sekali. Namun itulah ciri khas dirinya. Tidak pernah sugarcoating, because it will strike you someday. Entah, kata-kata Jaebeom—lagi—senantiasa melekat di memorinya. Jaebeom memiliki kenangan tersendiri sepertinya.

Mr. Ben mengangguk lalu tersenyum puas dengan jawaban Bogum. “Kamu benar-benar segambar dengan apa yang sahabat saya ceritakan, Bogum. Impressive. But, do you really want to join us?”

Pertanyaan Ben seketika membuat senyum Bogum terangkat.

Does he really want to join? Of course he does. Ia merasa bahwa ini adalah salah satu opportunity yang semesta berikan untuknya agar dirinya dapat berkembang lebih baik. Lagipula, New York hambar untuknya jika hanya dengan pergi-pulang ke kampus setiap hari. Ia butuh kegiatan lain. Jujur, freelance nya saat ini di New York sedang sepi job. Memang, waktu kosong tersebut dihabiskan olehnya dengan jalan-jalan sekitar New York dan ke beberapa tempat unik. Namun bagi Bogum, itu semua tidak cukup.

Belum sempat Bogum menjawab, Mr. Ben menyelanya. (Calon) bosnya itu sepertinya bisa membaca pikirannya. “Bogum, kamu tidak perlu jawab sekarang, saya tahu kamu concern terhadap beberapa hal. Tapi yang ingin saya tahu dari kamu, apakah kamu ada ketertarikan? Karena, setelah dua bulan summer break kamu—ya, saya tahu dari sahabat saya—saya akan memboyong kamu untuk bekerja di Aetig New York. And I'm planning to open another one in Tokyo with my business partner. Jadi, ya, no rush, Bogum. Tidak perlu sekarang, tenang saja.”

Setelah menjelaskan pada Bogum, Mr. Ben terlihat tersenyum sambil meneguk segelas air mineral dingin yang sedari tadi sudah beberapa kali di-refill oleh Johanna. Ia tahu, Bogum akan tertarik dengan tawarannya. Ia sebenarnya ingin mendapatkan jawaban sekarang juga. Namun sepertinya, Bogum bukan tipe orang yang bisa dipaksa. Anak muda ini, menurutnya, harus memiliki kemauan sendiri.

Mr. Kwan di sampingnya hanya bisa mengulum senyum dari balik kepalan tangannya. Mr. Ben memang sudah sejak lama 'mengincar' Bogum untuk bergabung dengan Aetig. Yang Bogum tidak tahu adalah, hasil kerjanya di New York sudah banyak beredar di kalangan perusahaan kelas atas, termasuk beberapa kompetitor sahabat Mr. Ben. Sahabatnya merasa, Mr. Ben lebih 'memerlukan' Bogum dibandingkan dirinya.

Seperti dihujani berkat bertubi-tubi, Bogum tidak sadar bahwa kedua matanya sudah terbelalak. Ia tidak menyangka bahwa niat awalnya ingin mencari pekerjaan selama ia pulang ke Seoul akan berbuah seperti ini. Bogum bukan seseorang yang terlalu ambisius dengan hidupnya, namun ia tahu tujuan hidupnya. Bogum sudah merencanakan matang-matang masa depannya. Menjadi bagian dalam kesuksesan para pengusaha kelas atas dan bisa terbang keliling dunia untuk bekerja adalah impiannya sedari kecil.

Namun Bogum tidak ingin serta merta menjawab tawaran beliau. Ia merasa akan terlihat seperti seseorang yang kurang ajar; terlihat tertarik setelah ditawari ini-itu. Bogum memang sudah memutuskan dari sejak awal mengobrol dengan Mr. Kwan bahwa ia akan bergabung dengan Mr. Ben dan Aetig.

Thank you, Mr. Ben. Saya berterima kasih atas tawarannya yang sungguh, di luar dugaan saya. Tapi, apa saya bisa menjawab paling lambat besok? Apa diperbolehkan?” Tanya Bogum hati-hati. Biarlah ia dianggap terlalu besar gengsinya, namun Bogum hanya ingin bersikap sopan. Namun dalam hatinya, ia sedikit takut juga dengan jawaban Mr. Ben setelahnya. Apakah tawaran beliau akan hangus? Bogum sesegera mungkin membuang pikiran negatif dari otaknya.

Mr. Ben di depannya lalu menghela napas lega. Ia merasa Bogum adalah seseorang yang tahu nilai diri sendiri. Tidak mudah mengiyakan tawaran yang diberikan.

It's more than okay. It takes a lot of consideration, tho, Bogum. Nggak apa, saya akan tunggu jawabannya kapanpun. Kamu bisa kabari Kwan saja, ya?” Mr. Ben menjawab dengan ramah sebelum akhirnya ia mengecek handphonenya yang ditelungkupkan selama interview tadi. Tidak terasa sudah satu jam Bogum berbincang dengan Mr. Ben dan Mr. Kwan. “And anyway, don't call us by Mister, ya, Bogum. We're fine with just Ben and Kwan. Feel free. Saya tidak ada masalah dengan honorifik.”

Bogum lalu tersenyum dan mengangguk paham. Ia senang dirinya seperti sudah 'diterima' oleh keluarga Aetig. Rasanya segala stereotip mengenai Mr. Ben yang beredar di luar sana terhapus dari memori otaknya.

Bogum yakin, ia akan memberikan jawaban untuk bergabung di Aetig besok pagi.

Mr. Kwan dan Bogum akhirnya berbincang santai berdua karena Mr. Ben terlihat sibuk dengan handphonenya untuk memanggil Soo. Bogum teringat, Mr. Ben akan bertemu dengan temannya di sini. Mrs. Jeon namanya—kalau Bogum tidak salah dengar tadi. Dari kejauhan, terlihat Soo berlari kecil untuk memberitahu Mr. Ben bahwa Mrs. Jeon sudah mencarinya sejak tadi. Mr. Ben lalu mengangguk dan tertawa kecil sambil berkomentar. “Dasar dia tidak sabaran.”

Melihat Mr. Ben seperti akan beranjak dari duduknya, Bogum lalu dengan sigap berdiri dan memberi hormat pada Mr. Ben. Sedang beliau lalu menepuk pundak Bogum dan memberi senyum ramah. “Saya pamit dulu. Teman saya sudah mencari saya. Thank you so much, Bogum. Semoga saya bisa mendengar kabar baik dari kamu kapanpun itu.”

The pleasure is all mine, Mr... I mean, Ben.” Bogum tersenyum kaku lalu mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Mr. Ben. Spontan, lawan bicaranya itu lalu menjabat tangan Bogum erat dan menepuk punggung tangannya kemudian. Ia lalu mengisyaratkan pada Mr. Kwan untuk mengajak Bogum sekalian makan siang di Aetig. Pun tidak lupa, Mr. Ben menginfokan Johanna yang sedari tadi sudah berdiri di radius dekat meja mereka untuk memasukkan bill meja mereka ke bill Mr. Ben.

Mr. Ben pun berlalu dari meja mereka, diikuti oleh Soo dan Johanna. Beliau terlihat berjalan dengan pelan sambil mengontrol situasi Aetig siang hari ini. Bogum lalu mengalihkan pandangannya ke arah seorang waiter lainnya yang hendak menyodorkan buku menu untuknya dan Mr. Kwan.

Bogum sedang asyik menelusuri buku menu itu dan sesekali berbincang dengan Mr. Kwan, saat ia mendengar seorang wanita memekik dengan cukup keras dari kejauhan, terdengar dari mejanya. Seketika ia menoleh ke arah suara yang berkata seperti “oh my God, Ben!”

Bogum melihat Ben sedang memeluk seorang wanita berambut pendek, yang mungkin usianya sebaya Mamanya. Ia tersenyum melihatnya. Sepertinya Mr. Ben sudah lama tidak bertemu dengan temannya—dilihat dari seberapa erat mereka berpelukan. Walaupun jarak dari tempatnya duduk dan meja keluarga itu, Bogum bisa merasakan.

Namun ia tidak pernah menyangka, siang hari akan merasa seperti disambar petir, kala seorang wanita lainnya berdiri di samping Mrs. Jeon. Ia mengenali sosok itu. Sosok yang selama ini ada dalam bayang-bayang hidupnya. Sejauh apapun ia berlari ke New York, rasanya gravitasi akan selalu menariknya pada kejadian beberapa tahun silam.

Jujur, Bogum sangat enggan memicingkan matanya; ingin melihat dua sosok laki-laki yang sekilas sempat tertangkap oleh kedua matanya—duduk di hadapan Mrs. Jeon dan wanita itu.

Namun sayang, belum sempat Bogum menata jantungnya yang berdetak serasa ia sedang dikejar seekor Harimau, saat akhirnya Mr. Ben mengambil duduk di sisi kepala meja, diikuti oleh Mrs. Jeon dan wanita itu kemudian.

Terlihat dua sosok laki-laki; ia tidak mengenal yang satu sebelumnya. Lalu Bogum dengan lambat, menggerakkan kedua bola matanya untuk melihat siapa sosok lain yang ada di sampingnya. Dari ujung matanya, ia melihat laki-laki itu tersenyum dengan gigi kotaknya; ear to ear. Menjulurkan tangan pada Mr. Ben untuk berkenalan.

Bogum tidak perlu mendengar nama pemilik senyum itu.

Ia sudah hafal sejak dulu. Sejak enam tahun lalu, senyum itu menjadi bayang-bayang mimpinya siang dan malam.

Itu Taehyung.

The Secret(s)

Jaebeom memarkirkan mobilnya di salah satu slot parkir kosong yang terletak persis di depan jendela kafe Haru; jendela yang beberapa hari lalu menjadi saksi bisu pembicaraan intens antara dirinya dengan Taehyung dan Jimin. Jika ia boleh mengingat bagaimana pembicaraan itu mengalir dengan sendirinya—terburu-buru if he may say—mengingat Jimin sangat terlihat bersemangat untuk meninju wajahnya dan Taehyung yang terlihat sangat sedih waktu itu.

Jujur, Jaebeom lebih memilih seperti itu daripada harus hidup dan berjalan dengan bayang-bayang masa lalunya. Walaupun sebenarnya, ia sendiri tidak tahu, pertemuan tidak sengaja antara mereka bertiga tempo hari apakah bisa dikatakan lancar? Namun, ia tahu sebenarnya tidak bisa dikatakan buruk. Ia hanya bingung dengan respon terakhir sepasang sahabat itu setelah mereka berbicara—Jimin hanya mengatakan permisi dan menarik tangan Taehyung untuk cepat-cepat keluar dari kafe itu. Taehyung sendiri? Well, dia terlihat 'berantakan'. Bagaimana tidak? Mengetahui bahwa seniornya yang notabene adalah sahabat mantan 'kekasih'nya ternyata menaruh hati juga padanya.

Taehyung terlihat overwhelmed hari itu, dan ya, tebakan Jaebeom memang betul.

Berusaha mengusir memori hari itu dari otaknya, Jaebeom menghela napas panjang dan melirik kearah handphonenya yang sedari tadi ia letakkan di dasbor mobil. Hari ini cuaca sedikit mendung—ia bersyukur handphone yang baru dibeli beberapa minggu lalu tidak panas seperti terbakar matahari. Ia menyalakan layarnya, terpampang pesan dari Bogum yang mengatakan bahwa ia sudah sampai di kafe itu sejak lima menit yang lalu.

Jaebeom tidak sadar ia menghela napas yang cukup panjang sekarang. Sejak kemarin Bogum mengirim pesan padanya dan meminta—tidak, 'sedikit' memaksa untuk bertemu dengannya, ia memang sudah ingin mengiyakan ajakan sahabatnya itu. Well, mungkin sudah tidak bisa dikatakan sahabat dekat. Mereka sudah cukup lama tidak bertukar kabar. Lalu tiba-tiba Bogum menyebutkan nama Luna—yang entah, masih terasa seperti kekasihnya atau bukan, Jaebeom semakin bertanya-tanya dan penasaran. Ada apa sebenarnya? Bukannya Bogum sendiri yang bilang bahwa dirinya dan Luna tidak pernah bertemu dan/atau menghubungi satu sama lain? Akhirnya, Jaebeom membuat pertemuan hari ini sebagai sarana untuknya mengulik apa yang sebenarnya ingin Bogum bicarakan.

Ia mematikan mesin, mengambil dompet di tas kecilnya, lalu keluar dari mobilnya. Kafe Haru terlihat gelap; lampu ruangan tidak menyala, maka Jaebeom tidak bisa melihat sosok Bogum duduk di mana. Ia pun tidak mau terlihat seperti orang yang linglung mencari-cari teman-temannya itu dari luar jendela. Jaebeom menyebutkan namanya pada seorang waiter yang berdiri menunggu di ambang pintu. Pria itu terlihat memakai earpiece dengan papan di tangan kirinya; terlihat beberapa nama reservasi yang tertulis rapi di kertas.

Ah, tidak ramai hari ini, pikir Jaebeom lega. Ia hanya tidak bisa memprediksi akan seperti apa pembicaraannya dengan Bogum berlangsung. Ia hanya tidak ingin kejadian dengan Jimin dan Taehyung terulang kembali.

Jaebeom berjalan mengikuti waiter itu sambil melihat sekeliling. Tidak ada satupun wajah yang familiar untuknya. Ia merasa lega. Setidaknya, ia bisa sedikit berpikir positif bahwa tidak ada yang mengikutinya sampai sini. Jujur saja, saat Luna dengan santainya membahas soal situasi dirinya, Taehyung, serta Jimin tempo hari; ia rasanya ingin menelepon Luna saat itu juga dan menanyakan apa maksudnya.

Namun ia terlalu mengenal wanita itu; Luna bisa dipastikan akan mengelak dan memutarbalikkan pembicaraan mereka. Kadang Jaebeom berpikir mengapa ia masih bertahan dengan Luna. Andai saja semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan Mamanya sendiri, ia mungkin sudah dari entah kapan mengakhirinya.

Setelah melewati beberapa meja, akhirnya sang waiter memperlambat jalannya dan mengatakan sesuatu yang ia tidak dengar jelas. Mungkin karena perhatian Jaebeom tersita dengan sekeliling—berusaha mencari siapa yang sepertinya mencurigakan. Akhirnya konsentrasi Jaebeom buyar saat ia melihat dari ujung matanya; berdiri seseorang yang selama ini ia kenal sebagai sahabatnya itu.

Suaranya yang khas; lembut dan menenangkan—begitu kata Taehyung beberapa tahun lalu saat mereka masih bersama.

“Jae, apa kabar?” Sapa Bogum melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.

Thank you,” kata Bogum sambil tersenyum saat seorang waiter mengantarkan pesanannya dan Jaebeom lalu meletakkan di meja. Beberapa menit sebelumnya, Bogum memesan minuman untuk dirinya dan satu porsi burger untuk dirinya makan siang. Ia sedikit memberi info pada Jaebeom bahwa pagi ini ada urusan mendadak hingga siang, maka ia belum sempat brunch, begitu katanya tadi.

Pembicaraan mereka hanya sebatas basa-basi antara dua orang individu yang sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabar, apa kegiatan saat ini, bagaimana keadaan di rumah, bagaimana Bogum dengan kehidupannya di New York, bagaimana progress kuliah Jaebeom, dan beberapa tetek bengek lainnya yang biasa dibicarakan oleh mereka. Jaebeom menjawab dengan antusias, pun juga Bogum. Jujur, mereka berdua rindu dengan kehadiran satu sama lain—mereka tidak bersahabat barang sebentar. Mereka bersahabat sudah cukup lama—sedekat itu, sehingga Jaebeom dapat menyadari bahwa sosok yang sedang duduk di hadapannya ini seperti sedang tegang.

“Bo, santai aja kali. Lo kayak serius banget gitu? Kita ketemuan santai lho. Gue jadi bingung lo kaku gini.” Jaebeom tertawa kecil sambil mengambil beberapa potong kentang goreng yang ia pesan tadi. Hanya sebagai snack, dan juga sebagai pengalih kalau-kalau Bogum akan melontarkan pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.

Bogum yang mendengar sahabatnya berkata seperti itu, akhirnya merasa tenang dan menghela napas lega. Entah mengapa, walaupun Jaebeom adalah teman dekatnya, namun ia tidak bisa berbohong; sosok di depannya saat ini terlihat sangat intimidating. Apakah jabatannya di kampus sebagai ketua Himpunan Mahasiswa berpengaruh terhadap auranya? Atau memang Jaebeom pada dasarnya seperti ini? Ia sendiri tidak tahu. Namun ia cukup lega bahwa Jaebeom sepertinya ingin menciptakan suasana yang santai siang ini.

“Haha, keliatan banget ya, Jae?” Jawab Bogum sekenanya sambil tertawa kikuk. Jujur, dirinya tidak pernah berencana untuk kembali ke Seoul setelah sekian lama 'melarikan diri' ke New York. Memori pahit yang ada di tempat kelahirannya ini pun sebenarnya tetap mengejarnya ke sana. Akan tetapi, Bogum seperti bisa menghirup udara lebih leluasa karena New York sangat berbeda dengan Seoul. Setidaknya, beberapa sudut kota Seoul tidak lagi menamparnya terus-terusan setiap kali ia melewati jalanan kota.

Jaebeom yang mendengar celetukan temannya itu hanya tertawa renyah dan mencoba mencairkan suasana dengan membahas kepulangan Bogum ke Seoul. Mereka berdua sempat tinggal bersama di New York selama satu tahun. Waktu itu, Jaebeom mengikuti studi yang mengharuskan dirinya pindah. Tentu pada saat itu, ia sudah berencana akan mencari tempat tinggal baru sementara. Toh, setahun bukanlah waktu yang lama, mungkin sewa apartemen tahunan akan jauh lebih murah, pikirnya.

Sampai tiba-tiba saat itu, Mamanya meminta Jaebeom untuk menghubungi Bogum; mengatakan bahwa dirinya akan tinggal dengan sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Bertukar kabar pun tidak. Jaebeom saat itu sudah protes—tidak ingin personal space nya diganggu. Hanya saja, Mamanya memberi alasan bahwa Bogum lah yang ingin Jaebeom tinggal di sana. Well, that's a bull—mengingat betapa terkejutnya Bogum saat melihat sosok yang sudah lama tidak ia temui, berdiri di depan pintu apartemennya dengan koper ekstra besar yang ia bawa di samping kakinya.

Kesimpulannya, Bogum hanya penat di New York. Pekerjaannya sebagai freelance—yang menjadi tambahan penyokong hidupnya merantau—dan kuliahnya adalah dua hal yang selalu mengisi otak dan kegiatannya sehari-hari. Tidak ada waktu untuk bernapas dan sendiri, katanya. Lantas ia mengambil langkah impulsif dengan memesan tiket pulang ke Seoul dan menyewa satu flat di apartemen untuknya tinggal. Bogum bilang, ia tidak ingin pulang ke rumahnya. Bahkan kalau bisa, kedatangannya kembali ke Seoul tidak perlu diketahui oleh orang tuanya, terutama Luna. Wanita itu yang kebetulan adalah kekasih Jaebeom ternyata turut menjadi alasan mengapa Bogum enggan memberitahu kedatangannya di Seoul.

There's a big secret. Or secrets? I don't know, Jae. But I need to talk to you about this.” Kata Bogum memulai. Ia terlihat gugup, berdeham kemudian, menegak minumannya, lalu melanjut lagi. Dalam hatinya, ia berharap agar Jaebeom mau mendengar rahasia yang selama ini mengganjal dihatinya. “Please, semoga lo lebih percaya gue—sahabat lo sejak SMP—daripada sama pacar lo yang baru berapa lama itu. Walaupun dia saudara gue, but I despise her actions...”

Despise her actions? What the hell is he talking about?

“Sebentar, sebentar... Maksud lo? Gue kok nggak paham. Apa ada yang gue nggak tahu?” Kata Jaebeom memotong Bogum berbicara. Ia tidak peduli sopan santunnya sekarang ada di mana. Memotong orang lain sedang berbicara adalah hal yang sangat Jaebeom hindari. Namun berbeda dengan sekarang. Yang jelas, saat ini ia sangat kebingungan dengan kata-kata yang dilontarkan Bogum padanya. Raut wajahnya saat ini tidak bisa berbohong. Jujur, mengontrol mukanya sendiri adalah hal yang sulit; Jaebeom sadar akan hal itu.

Bogum terlihat seperti takut-takut saat mendengar Jaebeom menyelanya. Hilang sudah niatnya untuk membuat pertemuan ini menjadi santai. Ia sendiri yang memancing pembicaraan serius tanpa tedeng aling-aling. Namun ia sudah tidak bisa lagi menahannya. Ia harus segera memberitahu Jaebeom. Saudara sepupunya itu memang sudah kelewatan.

“Uh... jadi...,” kata Bogum memulai dengan terbata-bata. Ia melihat dari sepasang matanya, Jaebeom sudah mengernyitkan dahinya. Seperti ada tertulis dari raut wajahnya 'cepetan lo nggak usah basa-basi'. Akhirnya Bogum menyambung lagi. “Janji sama gue, lo bakal lebih percaya sama gue, Jae?”

Mendengar sahabatnya berkata demikian, Jaebeom hanya bisa menggeleng. Ia tidak akan menjanjikan apapun. Ia sendiri belum mendengar cerita apapun itu. “I won't promise what I can't keep, Bo. Gue bahkan belum dengar cerita lo. Gue sebisa mungkin netral. Kecuali cerita lo mencengangkan, baru gue berulah.” Jawab Jaebeom tegas. Bagaimana pun, ia tidak ingin bias. Hell, Bogum terlihat semakin ragu setelah mendengarnya berkata demikian. Tapi ia tidak peduli.

Lagipula, tidak akan ada hal yang akan membuat dia kaget setengah mati, kan?

“Oke, jadi... Luna kemarin ke apartemen gue.” Bogum berkata tanpa basi-basi. Ia berpikir, sudah tercebur, lebih baik sekalian menyelam.

Jaebeom yang sedang meminum ice coffee pesanannya seketika itu juga tersedak dan terbatuk. Sepasang matanya memerah dan tenggorokannya gatal. Minuman sialan, umpatnya. Tetapi, sebentar... Bukannya Bogum dan Luna tidak pernah bertemu lagi sekian lama? Apakah mereka berdua berbohong? Ada apa sebenarnya?

“Hah? Luna? Ke apartemen lo? Ngapain? Kok bisa?” Tanya Jaebeom bertubi-tubi tanpa jeda. Ia kaget bukan main. Tapi sebenarnya, Jaebeom tidak terlalu kaget dengan kenyataan bahwa 'kekasih'nya itu memang unik. Ia terlalu mengenal Luna luar-dalam. Hanya saja, hubungan itu tidak pernah dilandasi perasaan apapun. Selama ini, Jaebeom menganggap Luna hanya sebagai seorang teman. Ia tetap berusaha menghargai Luna sebagai seseorang yang sudah lama 'menemani'nya dalam hal apapun.

Jaebeom melihat Bogum merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphone nya. Mengutak-atik benda mati sebentar, seperti mencari sesuatu. Jaebeom mengernyit. Apa yang akan Bogum lakukan?

She showed me this.” Bogum berbicara kemudian sambil menyodorkan handphonenya pada Jaebeom. Meja itu tidak terlalu lebar; tidak membutuhkan waktu lama untuk Bogum menggeser handphonenya dan menunjukkannya pada Jaebeom. Bogum rasanya mulas; rasanya ia ingin muntah saat itu juga. Ia tidak ingin inisiatifnya ini membuat Jaebeom menjadi marah padanya. Atau Luna. Atau akan sesuatu yang akan dilihatnya sebentar lagi.

Sahabat Bogum itu hanya mengernyit dan mengambil handphone miliknya hati-hati. Terlihat dari raut wajahnya, Jaebeom seperti khawatir dengan apapun yang akan dia lihat. Ini berhubungan dengan Luna, there's must be something weird, pikir Jaebeom. Bulu kuduknya seketika meremang; saat mengingat pesan Luna beberapa waktu lalu padanya—mengatakan bahwa ia melihat Jaebeom sempat bertemu dengan Taehyung dan Jimin.

Damn. Is this about them?

Jaebeom rasanya ingin menjambak rambutnya kala ia akhirnya melihat layar handphone Bogum dengan kedua matanya. Di layar, terpampang sebuah foto dengan situasi yang familiar. Di sana terpampang foto dirinya memunggungi entah siapa yang mengambil foto tersebut—sedang berhadapan dengan dua orang yang memancarkan emosi berbeda lewat wajahnya.

Itu Taehyung dan Jimin.

Shit.

Bogum tahu tentang ini semua? Bogum tahu tentang pertemuannya dengan Taehyung dan Jimin?

Oh tidak... Bogum tahu soal Taehyung?

Yeah, I know everything, Jae. Please just... let me talk.” Kata Bogum kemudian, seperti bisa membaca raut wajah Jaebeom saat itu.

Jaebeom? Ia ingin berteriak saat itu juga.

“Luna kemarin ke apartemen gue; yang gue pun nggak tahu menahu dia bisa found out dari mana gue tinggal di sana.” Bogum memulai topik yang sudah terlalu lama ia tahan lantaran Jaebeom yang masih syok. Ia tidak enak hati—melihat sahabatnya seperti tidak bisa berkata-kata. Bogum yakin, Jaebeom tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan bertemu dengan Luna; yang sampai sekarang, Jaebeom belum tahu apa alasannya.

“Kayaknya dari nyokap gue. Hah, as usual. Stalking me with her so -called 'bodyguards'. Tracking me everywhere. Mungkin lo mikirnya berlebihan, memang. Tapi lo tahu sendiri, 'kan, keluarga gue kayak gimana? Gue dikekang banget dari dulu.” Sambung Bogum dengan tertawa nanar sambil memainkan cincin yang tersemat di jarinya telunjuknya.

Jaebeom berusaha mencerna semua kata-kata yang Bogum ucapkan sambil mencoba menyambungkan beberapa fakta yang dilontarkan padanya non-stop. Ia merasa hidupnya sudah cukup drama, ditambah lagi dengan cerita Bogum yang menurutnya hanya akan terjadi di drama berseri yang sering ditonton oleh Mamanya.

“Terus, hubungannya semua ini, apa, Bo? Gue nggak ngerti...” Jujur, sampai saat ini, isi otaknya terasa seperti benang kusut. Ia tidak bisa mengurai dan figure it out. Entah Jaebeom yang sedang tidak konsentrasi, atau memang semuanya ini terdengar absurd.

Bogum menghela napas panjang dan berat sebelumnya akhirnya berkata dengan pelan. Pergolakan hatinya tidak bisa dihindari. Ini semua harus ia jelaskan pada Jaebeom; mereka berdua sudah terlalu lama 'terkurung' dalam rahasia dan set up yang menurut Bogum—sangat konyol.

“Semua berawal dari pertama kali lo ke rumah gue, Jae. Lo inget, 'kan?” Bogum bertanya sambil memandang kedua mata Jaebeom yang terhalang kacamatanya. Sorot matanya memancarkan kebingungan, namun akhirnya sahabatnya itu mengangguk.

That's the first time you met Luna, right?”

Bogum menyambung lagi.

“Setelah lo pulang, Luna bilang sama gue kalau dia naksir sama lo. I think back then kayak... apa ya, Jae? Yaudah, cinta monyet aja lah. Ngerti 'kan, lo? Like what I had... with Tae-taehyung.” Nama itu akhirnya lolos dari mulut Bogum. Sudah lama sekali ia tidak menyebutkan nama mantan cinta monyetnya itu dengan keras. Hell, ia tidak pernah berani menyebutkan nama orang yang pernah menjadi masa lalunya itu. Bogum merasa tidak pantas. Taehyung adalah orang yang baik, dulunya. Ia tidak tahu sekarang. Yang Bogum tahu pasti, mantannya itu pasti sangat membencinya sekarang.

“Oke... lalu?” Tanya Jaebeom cepat. Rasa penasarannya seperti sudah di kerongkongan. Sebentar lagi akan keluar dari mulutnya. Menjijikan, tapi benar adanya.

“Dari saat itu, Jae, gue tahu kalau she would go big or go home. Luna itu nekat, gue tahu. Tapi gue nggak nyangka dia senekat itu, sampai sekarang, dan lo masih nggak tahu. Ini semua ada hubungannya sama nyokap kita bertiga...” Kata Bogum lalu memperlambat kata-katanya. Ia sendiri ragu. Ia tahu, ia harus cepat-cepat mengeluarkan semuanya sebelum rasa takut dan khawatir menggerogotinya dan membatalkan niatnya untuk membeberkan fakta lainnya.

”...dan nyokapnya Taehyung, by the way.” Bogum melanjut lagi dengan suara pelan. Jaebeom tentu mendengarnya.

Jaebeom terbelalak mendengarnya. Rahangnya seperti akan jatuh dari tempatnya. Ia kaget. Mengapa Bogum menyebutkan nama Taehyung... dan ibunya?

“Apa?! M-maksud lo apa, Bo?” Suara Jaebeom terlalu keras; membuat tamu di sekeliling meja mereka berdua lantas menoleh ke sumber suara. Ia kemudian mengepalkan tangannya di bawah meja dan meminta maaf pada orang-orang asing itu kemudian.

Bogum lalu menghela napas. Ia tahu, cepat atau lambat, semuanya ini harus segera berakhir. Ia pun tahu, rahasia yang akan dibuka semakin lebar ini tentu akan membuat emosi Jaebeom melejit. Bogum sudah siap kapan saja jika sahabatnya itu menghajarnya nanti. Ia pantas mendapatkan itu.

“Iya, sebenarnya gue ada andil di sana. Gue tahu gue bodoh, tapi gue nggak nyangka aja bakal kayak gini... Gue tahu lo dulu suka sama Taehyung, Jae. I could see it through your eyes and actions. Walaupun lo terlihat selalu dingin.

“Waktu itu, gue rasanya pengen lo nggak dapetin semuanya. Lo... lo punya jabatan, lo pinter, banyak orang yang suka sama lo. Tapi akhirnya, siang itu, ada satu hal yang nggak bisa lo miliki. Itu Taehyung. I didn't like him at first, but I fell anyway. Gue jatuh cinta, malah setelah gue 'putus' sama dia.”

Jujur, Jaebeom frustrasi mendengarnya. Tanpa sadar, ia sudah menjambak rambutnya, alih-alih melayangkan tinjunya ke wajah Bogum. Ia butuh penjelasan secara tuntas—bukan perkelahian yang akan membuat semuanya jadi berantakan. Jaebeom harus mengontrol emosinya untuk penjelasan itu.

“Lantas, kenapa lo dulu mau pacaran sama Taehyung, Bo? I don't get it. Gue nggak ngerti kenapa lo mau nyakitin anak orang kayak gitu. Buat apa?” Nada Jaebeom sudah tidak bisa dikontrol. Emosinya sudah sampai di ujung kepalanya. Ini adalah kali pertama ia tidak bisa mengontrol dirinya sama sekali.

“Luna asked me to do it. The plan, the plot... it was all Luna's, Jae. Bukan gue, bukan temen gue, dan tentunya bukan lo. Itu semua Luna, Jae.”

Bogum menjelaskan dengan putus asa; dirinya selama ini terjebak dalam bayang-bayang 'label' sebagai seorang laki-laki yang berengsek. Ia tahu bahwa selama ini ia salah, tapi semua tuduhan terasa seperti mengarah padanya.

“Nyokapnya itu ex business partner nyokapnya Taehyung. Nyonya Kim. Beliau berdua kerja bareng, tapi ada masalah besar dan akhirnya membuat Nyonya Kim mutusin perjanjian kerja mereka berdua. Jadi headline di mana-mana, berminggu-minggu. Itu membuat keluarga dia suffer.

“Gue akhirnya tahu ini dari nyokapnya Luna. Nyokap gue somehow cerita ke nyokap dia kalau gue punya 'teman dekat'. And it was Taehyung. Tapi, Taehyung sama sekali nggak tahu soal ini. Hell, dulu kita semua masih kecil, no? But I didn't know why Luna was way steps ahead from us. Triknya, pikirannya... Sepupu gue itu dewasa sebelum waktunya. Kebanyakan drama hidupnya dari dulu, Jae.”

Bogum mengusak matanya dan kepalanya kasar. Rasanya berat sekali harus 'membangunkan' memorinya kembali dan mengingat masa lalunya yang buruk itu.

Excuse me?” Jaebeom menjawab dengan nada tinggi. Ia dikejutkan lagi dengan fakta baru. Apa-apaan ini? Mengapa semuanya menjadi semakin rumit? Mengapa ternyata orang-orang berbohong di belakangnya?

Yeah, actually she asked her mom to do something about it. Luna anak satu-satunya, Jae. She has to get it all, atau nggak dia akan do things. Dia dan nyokapnya berpikir gimana caranya supaya Nyonya Kim 'suffered' as well? Dan sialannya, nyokap gue benar-benar on board soal rencana itu. Gila, 'kan?

“Dan sialannya lagi, yang kena imbasnya anaknya, Jae. Through me. Mereka maksa gue.”

Bogum rasanya ingin melempar gelas kaca didepannya ke arah jendela. Kepalanya sakit, dadanya seperti sesak. Semua ini mungkin jika didengar oleh orang asing, mereka akan tertawa dan berpikir bahwa semuanya adalah script. Namun semua ini benar-benar terjadi, dan Bogum melewati semua itu sendirian.

“Dan soal sangkut pautnya sama lo—sebenarnya ini gue nggak etis mungkin ngebahas ini—tapi... ada satu lagi pihak yang ternyata sama-sama merasa 'dirugikan' oleh Nyonya Kim. Padahal sebenarnya, itu salah beliau dan nyokapnya Luna,” kata Bogum menyambung lagi.

Sebentar lagi ia akan membuka sesuatu layaknya boks Pandora. Sebentar lagi, suatu fakta akan terkuak.

And... it was your Mom, Jae.”

Saat Jaebeom mendengar itu, rasanya ia seperti disambar petir di siang bolong. Kedua tangannya sudah mengepal, rahangnya mengeras, telinganya memerah, dan rasanya mual. Jaebeom pening. Ia tidak menyangka bahwa ada rahasia besar nan rendahan yang disembunyikan oleh Mamanya. Semua ini terjadi hanya untuk menghancurkan Nyonya Kim dan Taehyung. Terlalu berlebihan, tidak masuk akal, dan gila.

Ia tahu dan sadar bahwa bisa saja Bogum hanya mengada-ada untuk 'menyelamatkan' dirinya sendiri dari masalah. Tapi apakah itu tidak berlebihan jika memang itu adalah tujuan Bogum sedari awal?

Jaebeom terkulai lemas di duduknya; ia menggelengkan kepalanya berkali-kali tanda tidak percaya. Ia sudah akan mengangkat kedua tangannya yang tergenggam terlalu erat dari bawah meja. Namun ia mengurungkan niatnya. Ia harus mendengar semuanya. Ia harus mendengarkan hal-hal konyol lainnya yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu.

“Lo boleh komentar, boleh tonjok gue, boleh tampar gue, Jae. Tapi setelah gue jelasin semuanya. Please?” Pinta Bogum lemas. Ia tahu rasanya semua ini tidak masuk akal. Jika Jaebeom terasa pening saat ini, Bogum sendiri rasanya ingin lari ke toilet sekarang juga dan memuntahkan semua isi perutnya. Ia mual; tangannya gemetar, kepalanya pusing. Namun ia tahu, ia harus melanjutkan semua ini.

Ia ingin 'bebas' dari belenggu masa lalu yang sungguh buruk untuknya. Untuk Bogum saja sudah buruk, bagaimana dengan Taehyung?

“Maka dari itu, momen dimana gue tahu, gue putusin Taehyung saat itu juga. Gue tahu gue nyakitin dia—separah itu. I knew that. Tapi gue nggak mau nyakitin dia lebih jauh, Jae. Gue nggak tega. He didn't deserve any of that shit. On that age. Jesus...”

“Akhirnya, gue merasa nggak nyaman di rumah. Selalu apa-apa Luna membrondong gue dengan pertanyaan dan kata-kata yang nggak pantas buat Taehyung. Gue muak. Di rumah nggak ada yang mendukung gue. Nyokap gue, nyokap Luna, dan Luna sendiri; nggak ada yang peduli sama gue, Jae.

That's why I moved to New York. I needed a 'new' life.”

“Gue moved on, Jae. Dari semuanya. Gue juga butuh healing myself. Gue ikut komunitas di sana, gue ke beberapa tempat yang membuat gue jadi ngerasa bisa 'bernapas'. Waktu lo akhirnya datang ke tempat gue, jujur itu gue baru selesai pulang dari pertemuan itu. I panicked. Nyokap gue nggak ada bahas sama sekali lo mau datang kapan. Beliau hanya tanya gue ada di apartemen atau nggak—via pesan dan gue pun nggak jemput lo di airport.”

Bogum mengambil napas setelah berbicara panjang lebar. Saat melirik ke arah Jaebeom, sahabatnya itu sudah menatap gelas didepannya dengan tatapan kosong.

“Nyokap gue nggak tahu gue ikut komunitas itu, by the way. Dia nggak peduli dengan gue sama sekali. Jadi ya, cara gue cope with things adalah cutting ties dengan keluarga gue. Termasuk Luna.

That's why gue sama sekali nggak ada kontak dengan dia sejak gue berangkat ke New York. I am sorry to tell you, but, she is 'crazy', Jae.”

Jaebeom menatap Bogum dengan lemah. Energinya seperti disedot habis oleh keadaan ini. Ia rasanya lelah mencerna segala fakta yang dilontarkan oleh Bogum pada dirinya. Ia mencoba menarik napas dan membetulkan ritmenya. Ia meraih segelas air putih yang sempat ia pesan beberapa saat lalu dan meneguknya habis.

Dari ujung matanya, ia melihat Bogum seperti memiliki beban yang terangkat total dari kedua pundaknya. Semua itu terlihat jelas dari gestur Bogum memainkan cincin di jari tangannya itu sambil tersenyum tipis. Tidak ada raut kesedihan di wajahnya; hanya ada rasa lega setelah bertahun-tahun memendam semuanya ini sendiri.

“Mungkin part nyokap lo itu sudah bukan ranah gue, do talk to her. I can tell she had reasons why she was willing to do it back then. Tapi setahu gue, nyokap lo dan Luna itu sudah bersahabat jauh sebelum anak-anak beliau kenal satu sama lain, Jae... I'm so sorry.”

Hening. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Asing rasanya mendengar semuanya ini setelah sekian lama. Sekarang Jaebeom tahu mengapa Jimin benar-benar ingin 'melindungi' sahabatnya saat mereka bertemu di tempat ini—beberapa hari lalu. Ia tidak bisa membayangkan bahwa masa lalu Taehyung benar-benar terlalu buruk.

Ia bersyukur baru mengetahuinya sekarang. Ia tidak akan tega membeberkan semua rahasia ini pada Taehyung jika ia bertemu dengan Bogum lebih dulu. Memang betul, Jaebeom memerlukan closure dengan Taehyung, dan ia sudah mendapatkannya. Hanya saja, closure menurutnya membutuhkan kejujuran sampai habis. Ia tidak bisa membayangkan kalau saja kemarin Taehyung mengetahui ini semua.

Ia bisa memastikan, Jimin sudah meninjunya berkali-kali hingga babak belur. Luapan emosi yang ditujukan untuk Bogum, Jaebeom, Luna, dan keluarga mereka bertiga pasti akan dilampiaskan pada Jaebeom hari itu.

“Trus, hubungannya sama foto tadi apa, Bo?” Tanya Jaebeom sambil menunjuk kearah handphonenya didepannya. Ia masih belum tahu hubungan antara masa lalunya dengan foto mereka bertiga yang diambil dengan cara ilegal itu.

“Ya dia bilang, lo tiba-tiba nggak sengaja ketemu dengan mereka berdua. Dan dia bilang rahasia kita dulu masih aman. Dia nanya sama gue apakah lo tahu; dan ya gue jawab sejujurnya. Gue nggak pernah cerita apapun ke lo, karena gue belum siap. Tapi dari tatapannya, gue tahu Luna punya keinginan buat merusak hubungan Taehyung sama pacarnya sekarang, Jae. She's obsessed with Taehyung, God damn it. Gue mohon, tolong gue supaya dia nggak ngelakuin itu.

“Taehyung berhak buat bahagia, Jae. Termasuk kita berdua.”

Jaebeom menggelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir bahwa wanita yang selama ini menemaninya memiliki sifat jahat seperti ini. Ia memang emosi; karena Bogum, karena Luna, bahkan karena Mamanya. Tapi entah... untuk saat ini, Jaebeom sendiri lega? Ia bisa mengetahui semuanya secara jelas tanpa filter.

Masih banyak pertanyaan yang ingin ia utarakan pada Bogum, namun ia sadar, their plates are full already.

Thank you for actually telling me all these shits, Bo. Gue percaya lo. Entah kenapa gue bisa semudah ini percaya setelah sekian lama kita on and off, tapi gue berterima kasih banget. Dan jujur, gue bersyukur lo akhirnya mau cerita sama gue. Pasti berat lo nyimpan semua sendiri selama ini; dan nggak ada satupun orang yang bisa jadi tempat lo berbagi.”

“Iya, it feels like hell, Jae. Tapi gue berterima kasih lo memilih untuk percaya sama gue. Gue nggak tahu nanti kedepannya lo kayak gimana sama Luna, tapi please, lo berhak untuk tahu dari sisi gue. Tolong reconsider hubungan lo sama dia, ya?” Pinta Bogum lirih. Ia tidak ingin sahabatnya terjebak dalam lingkaran 'setan' yang Luna bentuk sedari mereka kecil.

“Iya, Bo. Gue bakal minta penjelasan kok. Soon, ya. Soon... Demi kita berdua.” Kata Jaebeom akhirnya diiringi tertawa renyah, yang diikuti oleh suara tawa Bogum—yang akhirnya ia dengar setelah beberapa jam mereka berbicara.

Anytime, Jae. Thank you, thank you so much.”

Finally?

“Tete, mau ikutan kita pada makan-makan nggak? Kak Jin ada mau traktir, nih.” Jimin berkata sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit basah oleh keringat. Handuk kecil yang dibawanya sedari tadi hanya menjadi hiasan di pundak sebelah kirinya. Sedang Hoseok berdiri tidak jauh dari Taehyung dan Jimin untuk mengambil foto pemandangan Sungai Han siang ini.

Seojoon hari ini membatalkan janji olahraga bersama dengan mereka bertiga lantaran ia sudah memiliki janji untuk tanding futsal dengan teman-temannya. Jimin akhirnya hanya menyetujui dengan santai sambil menodong janji pada Seojoon agar dapat ikut olahraga jika ada rencana berikutnya.

Cuaca hari ini cukup bersahabat; tidak ada panas terik yang membuat mereka kepanasan, namun tidak juga mendung. Langit sepertinya cukup mengerti akan kegiatan mereka bertiga hari ini.

Kemarin sore, Jimin berinisiatif untuk mengajak kedua sahabatnya untuk berolahraga. Kata Jimin, hitung-hitung sebagai kegiatan untuk menghabiskan waktu; daripada mereka hanya 'berolahraga' dengan menghabiskan uang—bahasa Jimin untuk mengartikan kata belanja. Taehyung hanya menggelengkan kepalanya heran kemarin. Tidak biasanya sahabatnya itu mengajaknya berolahraga. Serajin-rajinnya mereka berdua—dua kali seminggu; itupun jika Taehyung dan Jimin tidak dilanda rasa malas dan jadwal mereka berdua yang cukup padat— jauh lebih rajin Jeongguk untuk urusan berolahraga.

Taehyung menjawab dengan senyum di wajahnya. Ia tahu, hari ini dirinya tidak akan ikut bergabung dengan Jimin karena akan bertemu dengan Jeongguk. Lima hari berpisah dengan kekasihnya itu membuatnya mati rasa—rindunya ibarat air bendungan; sebentar lagi akan jebol. “Nggak bisa, Jims. Mau ketemu pacar. Udah kangen banget. Banget.” Taehyung menjawab dengan nada penekanan pada akhir kata.

Jujur, ia sangat ingin bertemu dengan Jeongguk; melepas rindu lewat telepon dan/atau video call tidaklah cukup. Beberapa kali Taehyung ingin mengingkari janjinya dengan mengunjungi rumah kekasihnya itu, namun akhirnya ia mengurungkan niatnya.

Hitung-hitung, ini latihan kalau nanti bakalan tinggal jauh beneran, pikir Taehyung beberapa hari lalu.

Jimin yang sedang berkonsentrasi dan sibuk mengotak-atik aplikasi edit yang lately ia gunakan, lantas menoleh seketika dan mengernyit. “Te, lo beneran udah baikan sama Jeon?” Jimin bertanya hati-hati sambil meletakkan handphonenya di pangkuan. Mereka bertiga sudah duduk di bench kayu yang terletak tidak jauh dari check point mereka tadi pagi. Kebetulan hari ini Jimin dan Taehyung diantar oleh supir Jimin, sedang Hoseok diantar oleh supir pribadinya.

Hoseok yang sedang asyik menonton video pemandangan yang ia ambil hari ini pun langsung bergabung kedalam percakapan Jimin dan Taehyung. Walaupun Hoseok baru mengenal mereka berdua, namun ia sudah dianggap sebagai teman dekat. Mereka bertiga pun tidak membutuhkan waktu lama untuk akhirnya cocok dalam segala hal dan berteman baik.

“Iya, Taehyungie serius udah baikan?” Hoseok bertanya sambil menatap lekat sepasang manik hazel itu. Ia tahu sepenggal ceritanya dari Taehyung melalui pesan yang dikirim di group chat mereka kemarin.

“Iya, yakin kok kita udah baikan. Lagian, hari ini dia udah selesai TO. Sooner or later, gue pasti bakalan ketemu Ggukie. Nggak apa juga lah, gue udah kangen banget soalnya.” Taehyung menjawab sambil mengulum senyum kecut. Sebenarnya kalau boleh jujur, Taehyung juga memiliki kekhawatiran akan apa yang bisa saja terjadi hari ini. Bukan pesimis, namun ia juga mencoba realistis. Jeongguk sama sekali tidak memaksanya untuk menceritakan apapun. Kekasihnya itu hanya menanggapi dengan kata-kata yang masih Taehyung ingat sampai saat ini; menempel di kepalanya.

'Aku percaya kamu. Kamu juga percaya aku, kan?'

Taehyung bukan tidak percaya pada Jeongguk. Hell, justru sebaliknya; ia sangat percaya dengan kekasihnya itu. Sejak berpacaran dengan Jeongguk, Taehyung selalu 'merasakan' kasih sayang dan cinta yang sungguh sangat besar. Ia tidak pernah merasa kecil, ia tidak pernah merasa tidak dicintai, ia tidak pernah merasa hubungannya membosankan. Walaupun umur hubungan kekasih antara mereka berdua masih seumur jagung, namun Taehyung bisa merasakan itu tanpa Jeongguk melakukan apapun.

Actions speak louder than words, and Taehyung feels that.

Sahabat Taehyung di sampingnya itu hanya bisa mengangguk-angguk mengerti. Kejadian tempo hari di kafe Haru membuatnya kembali merinding. Bagaimana tidak; hari mereka berdua saat weekend terganggu dengan bertemunya Jaebeom dengan mereka yang tidak disengaja. Rasanya Jimin ingin mengutuk hari pada saat itu, tapi ia tidak bisa. Mungkin benar apa yang dikatakan Taehyung, closure itu perlu. Cepat atau lambat, mungkin mereka akan bertemu.

Namun Jimin yang bukan pemeran dari drama kali ini saja bingung, bagaimana dengan Taehyung? Ia tidak pernah merasa sedih seperti kemarin saat Jaebeom menjelaskan sisinya. Dirinya dan Taehyung tidak menyangka seseorang yang sudah Taehyung 'kubur dalam-dalam' dari permukaan memorinya, tiba-tiba mencuat dan memberikan fakta baru.

Jimin mengerti—sungguh sangat mengerti—bahwa tidak ada yang bisa melawan takdir. Jika dunia memang ingin mereka bertiga bertemu dan 'membuka' luka lama, ya berarti memang hal itulah yang harus terjadi. Ia mengingat betapa Taehyung hanya menyorotkan tatapan horor saat Jaebeom tiba-tiba memanggil namanya di kafe Haru sore itu.

Berusaha untuk mengusir jauh-jauh memori mereka beberapa hari lalu, Jimin akhirnya membalas ucapan Taehyung dengan genggaman mantap pada tangannya—yang dengan refleks sudah dipegang oleh Taehyung ternyata beberapa menit lalu—dan menyunggingkan senyum terbaiknya. Jimin akan dengan setia mendukung Taehyung bagaimana pun caranya—walaupun hanya dukungan moril yang bisa ia berikan pada sahabatnya saat ini.

“Oke, Te. I will always be with you if you need me, okay?” Jimin meyakinkan Taehyung.

Sedang Taehyung hanya tersenyum lembut sambil mengangguk ke arah sahabatnya. “I know you do, Jimin. I know.”

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, akhirnya Taehyung dan Jimin memasuki kawasan sekolahnya. Supir Jimin memperlambat laju mobilnya dan mencoba mencari slot parkir yang dekat dengan gerbang sekolah. Hoseok sudah mendahului mereka tadi dengan supir pribadinya. Jimin sudah mengabari Seokjin saat di perjalanan bahwa hari ini hanya akan ada dirinya dan Hoseok yang bergabung untuk makan di salah satu restoran korea pilihan seniornya itu.

Seokjin sama sekali tidak memberitahu akan mengajak siapa saja selain mereka bertiga—dalam hati kecilnya, Jimin berharap seniornya itu akan mengajak Yoongi juga. Ya, Kak Yoongi yang sudah beberapa bulan ini seperti mengokupasi lahan baru dalam otaknya. Jimin belum bercerita pada siapapun, termasuk Taehyung. Namun sepertinya, sahabatnya itu sudah merasakan ada hal aneh.

Cenayang; begitu sebutan Jimin untuk Taehyung yang sudah tahu dirinya luar dalam.

Sebelum mereka berdua keluar dari mobil, Jimin sekali lagi menggenggam tangan Taehyung erat dan berbisik—tidak mau supirnya mendengar pembicaraan mereka. “Ready, Te? Kalau ada apa-apa, please langsung telepon gue. Gue bakal langsung pulang. Oke?” Jimin bertanya dengan nada khawatir. Ia hanya tidak ingin sahabatnya menangis sendirian nanti. Well, walaupun sejak tadi, Jimin merapalkan doa macam-macam agar pembicaraan Taehyung dan kekasihnya hari ini berjalan lancar tanpa halangan apapun. Masalahnya adalah, Taehyung akan membongkar rahasia tentangnya dulu dan fakta yang baru ia temukan beberapa hari lalu pada Jeongguk; seperti merobek lagi luka lama yang sudah susah payah ia tutup.

Taehyung hanya tertawa kecil sambil menjulurkan tangannya yang satu dan mengusak rambut Jimin yang sudah kering oleh pendingin mobil. “Iya, iya. Doain lancar ya, Jims. Gue sama sekali nggak tahu apa yang Ggukie udah tahu.” Taehyung menjawab sambil berbisik pula sambil mengacungi kedua ibu jarinya. Jimin yang duduk di sampingnya hanya tertawa sambil menepis kedua jari Taehyung yang terangkat itu lalu akhirnya membuka pintu di sisinya untuk turun dari mobil.

Suasana sekolah cukup sepi karena Tryout yang dilaksanakan selama dua hari. Sunyi sekali; berbeda saat siswa kelas X dan XI turut memenuhi seluruh gedung dengan suara riuh. Mereka berjalan bersisian, dengan Taehyung yang sudah membawa tas olahraganya di pundak. Ia lalu merapikan rambutnya yang terjuntai dan membenarkan snapbacknya. Surai silver miliknya yang sekarang cenderung terlihat seperti blonde itu sudah agak kering; tidak sebasah tadi saat mereka selesai jogging di sisi Sungai Han.

Sepasang manik hazel itu mencari sosok kekasihnya di sekitaran lapangan. Jimin dan Taehyung akhirnya menemukan segerombolan siswa yang sedang duduk di bench dekat lapangan upacara yang terletak persis di bawah pohon beringin sekolah. Hoseok yang melihat mereka berdua memasuki kawasan lapangan akhirnya melambaikan tangan untuk memberi isyarat bahwa ia ada di sana. Sepasang matanya menangkap sosok Seokjin, Namjoon, dan juga Yoongi di sana. Jimin yang ada di sampingnya tak sadar bahwa dirinya tersenyum lebar—Taehyung hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Namun, dirinya kembali mencari sosok kekasihnya yang tak kunjung terlihat.

Taehyung terkejut saat tiba-tiba sepasang lengan melingkar di pinggangnya dan dagu seseorang menopang di pundaknya. Rasa nyaman dan hangat langsung tersalur ke sekujur tubuhnya, namun ia cepat-cepat memandang sekeliling. Ini masih lingkungan sekolah, ia takut mereka berdua akan mendapat masalah jika kedapatan sedang berpelukan seperti ini.

“Tenang aja, sayang. Guru udah pada pulang. Di sekolah cuman ada kita-kita ini.” Jeongguk mempererat pelukannya; membuat Taehyung secara otomatis memundurkan tubuhnya untuk menempel pada tubuh Jeongguk lebih nyaman.

Rasanya, beban rindu yang ada di hati, dada, pikiran, dan pundaknya lantas luntur saat Jeongguk dengan segera semakin memeluk Taehyung erat dan berbisik pelan di telinganya. “I missed you so much, baby. Can I kiss you now?”

Dirinya yang saat ini sedang dipeluk oleh Jeongguk lantas mencubit lengannya dan sedikit berteriak. “Ggukie! Ih!” Taehyung yang mendengar pertanyaan kekasihnya itu langsung membalikkan badannya dan menyentil dahinya pelan. Sedangkan Jeongguk hanya terkekeh sambil berusaha memeluk Taehyung kembali.

Rindu ini harus segera disalurkan, kalau tidak, Jeongguk bisa gila.

“Pipi kamu merah banget, Tae. Malu tapi mau ya?” Jeongguk menggodanya sambil terkekeh dan mengelus pelan kedua pipi Taehyung. Kekasihnya itu terlihat sangat lucu hari ini dibalik balutan hoodie merahnya. Snapback yang sedari tadi dipakainya kini sudah berpindah ke tangan Jeongguk. Taehyung menanggapi Jeongguk hanya dengan mendengus namun terukir senyum lebar di wajahnya.

“Aku peluk sama cium nanti yang banyak, tapi nggak di sini. Pulang yuk? Pengen kangen-kangenan tapi nggak diliatin orang. Aku kan masih punya malu, Ggukie, nggak kayak kamu.” Taehyung membalas setengah mengomel sambil membalas Jeongguk dengan mencubit hidungnya. Ia rasanya ingin cepat-cepat pulang ke rumah Jeongguk; walaupun Taehyung tahu, ada hal besar yang menanti dirinya dan Jeongguk. Segalanya harus ia bongkar hari ini, untuk hubungannya yang lebih baik.

Sahabat mereka berdua yang berada di bawah pohon beringin itu hanya menggelengkan kepala mereka sambil berseru nyaring. Beruntunglah sudah tidak ada orang di gedung sekolah kecuali beberapa Security yang bertugas menjaga di kawasan sekolah.

“Udah cepet balik, habis nanti waktunya buat cium-cium!” Seokjin berteriak dari kejauhan membuat teman-temannya tertawa, sedang Jeongguk dan Taehyung mengacungkan kepalan tangan ke arah mereka sambil bergandengan tangan menuju parkiran.

Sesampainya di rumah Jeongguk, Taehyung langsung membuka alas kakinya dan berjalan ke arah ruang tengah. Jika boleh dibandingkan, memang rumah Jeongguk tidak seluas rumah Taehyung. Namun rumah ini menjadi saksi beberapa kejadian selama hidup Jeongguk. Sejak lahir ia tinggal di rumah ini dengan Mama Jeon dan mendiang Papa Jeon—yang sudah lebih dulu meninggalkan mereka. Taehyung tidak pernah bosan memperhatikan beberapa foto keluarga yang dipajang oleh Mama Jeon di dinding rumahnya. Sebagai anak tunggal, foto Jeongguk mendominasi dinding ruang tamu dan ruang tengah. Mama Jeon memajangnya sedemikian rupa, sehingga setiap orang yang berkunjung dapat melihat perkembangan seorang Jeon Jeongguk dari sejak lahir hingga saat ini.

Mama Jeon yang sedang duduk santai sambil menghadap ke arah televisi berukuran 40 inch itu. Beliau terlihat sedang serius menonton drama korea yang beberapa hari lalu baru selesai dirilis. Sangking terlalu berkonsentrasi, beliau tidak menyadari bahwa terdapat dua individu lain yang mengokupasi ruangan itu.

“Mam! Gguk pulang. Liat nih, Gguk ditemenin siapa.” Jeongguk menyapa Mamanya setengah berteriak agar beliau menoleh ke arahnya dan Taehyung. Benar saja, setelah mendengar suara anak laki-lakinya memanggil namanya, beliau refleks membalikkan badannya dan mengintip dari balik sofa besarnya. Sepasang mata itu bertemu dengan Taehyung, yang lantas langsung beranjak dari duduknya dan memanggil nama kesayangannya dari Mama Jeon.

“Taeby sayang!” Beliau terdengar memanggil Taehyung lalu berjalan ke arah kekasih anak semata wayangnya itu. Jeongguk yang sedang berdiri tepat di samping Taehyung hanya memutar kedua bola matanya lalu mengeluh pada Mamanya.

“Kenapa cuman Taeby doang sih yang disapa? Gguk ditanya dong tadi TO nya gimana?” Jeongguk terdengar protes saat Mamanya terlihat sedang memeluk Taehyung erat dan mengecup kedua pipinya dengan sayang. Mamanya lalu menjulurkan lidahnya—meledek anaknya. Taehyung tidak dapat menahan tawanya.

Mama Jeon lalu melepaskan pelukannya dari tubuh Taehyung lalu menggeser tubuhnya dan berdiri tepat di depan anaknya. Mamanya lalu memeluk Jeongguk lebih erat sambil berbicara, yang cukup didengar olehnya dan Taehyung.

“Mama yakin kamu bisa. Tadi pagi ditelepon malaikat inisial KTH, 'kan?”

Taehyung hanya tersenyum simpul, sedangkan Jeongguk otomatis meraih tangannya lalu menelusupkan tangannya ke pinggang Taehyung. Ia tersenyum lalu mengecup pelan pipi Taehyung.

“Oh jelas, dong. Bukan malaikatnya yang terbang tapi, Mam. Gguk yang malah melayang-layang!”

“Sayang, mandi dulu gih. Aku lagi pesan makan siang buat kita. Ya? Mama udah makan sendiri tadi sebelum kita sampai.” Jeongguk menawarkan Taehyung untuk bebersih sehabis berolahraga tadi pagi. Sejujurnya, ia masih ingin memeluk Taehyung; ia rindu wangi natural tubuh kekasihnya itu. Sambil berpikir, Jeongguk mengambilkan baju dan handuk Taehyung yang memiliki section tersendiri dalam lemarinya. Menyerahkan baju dan handuk kekasihnya, akhirnya Taehyung mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi; meninggalkan Jeongguk sendirian di kamarnya.

Jeongguk akhirnya duduk di kasur dan mengeluarkan handphonenya dari saku celananya. Ia merebahkan dirinya sambil mencari restoran langganan mereka berdua yang tidak jauh dari komplek perumahan mereka.

Setelah menghabiskan sekitar sepuluh menit untuk memesan makanan melalui telepon, Jeongguk lalu beranjak dari duduknya dan mengganti bajunya cepat. Ia hampir melupakan tujuan utama mereka datang ke rumah Jeongguk; dirinya dan Taehyung akan bicara empat mata mengenai Jaebeom dan segala kejadian entah apa yang terjadi hari Sabtu lalu. Jeongguk lalu mempersiapkan handphonenya dengan membuka pesan dari siapapun itu tempo hari dan menaruhnya di nakas berwarna broken white yang terletak di sebelah kasurnya.

Taehyung akhirnya keluar dari kamar mandi dengan balutan piyama kesayangannya dan handuk yang tersampir di pundaknya. Rambutnya masih basah; Jeongguk tidak memiliki pengering rambut untuk digunakan oleh Taehyung. Pun ia tahu, Mama Jeon memilikinya. Namun Taehyung tidak enak hati jika harus meminjam peralatan dari ibu kekasihnya itu.

Ia melihat Jeongguk sedang merebahkan dirinya sambil memejamkan mata. Taehyung melihatnya dari ambang pintu kamar mandi sambil bersandar. Senyum di wajahnya lantas merekah saat Jeongguk menyadari bahwa Taehyung dari tadi sedang memperhatikannya. Kekasihnya itu lantas mengulurkan tangannya, yang langsung diraih oleh Taehyung. Jeongguk menggeser tubuhnya untuk memberi space yang cukup untuk Taehyung merebahkan dirinya.

Jeongguk menarik tangan Taehyung untuk merebahkan diri sejenak. Terlihat kekasihnya itu menggunakan handuknya untuk membungkus rambut basahnya lalu merebahkan kepalanya pada lengan Jeongguk yang terlipat. Jeongguk memberikan lengannya sebagai bantal untuk Taehyung.

“Mau cium boleh nggak, Ggukie?” Tanya Taehyung spontan saat mereka sudah bertatapan. Jeongguk yang sedang mengelus pelan pipi Taehyung lalu terbelalak—mendengar kekasihnya berinisiatif duluan.

“Kok pake ijin? Boleh, dong,” jawab Jeongguk sekenanya. Ia tidak tahu bahwa sepersekian detik kemudian, Taehyung sudah menutup jarak antara mereka berdua dengan mendekatkan bibirnya pada bibir Jeongguk. Napas hangat yang keluar dari hidung Taehyung menimbulkan rasa yang aneh pada sekujur tubuh Jeongguk. Ia tidak mengerti mengapa dirinya gugup berlebihan seperti ini? Biasanya Jeongguk yang berinisiatif untuk mencium kekasihnya itu.

Taehyung lalu dengan mantap mengecup bibir Jeongguk pelan sambil memejamkan mata. Ia rindu dengan segala hal yang dimiliki kekasihnya itu. Rasa rindunya sudah tersalurkan sekarang. Sepuluh detik berlalu—ya, Taehyung menghitungnya—akhirnya ia memutuskan untuk menarik bibirnya dari Jeongguk. Mengecupnya sekali lagi, lalu menarik bibirnya dan tersenyum.

“Udah puas belum ciumnya?” Tanya Taehyung polos sambil terkekeh. Jeongguk terlihat mematung; tidak menyangka kekasihnya berinisiatif untuk menciumnya duluan.

Jeongguk lalu menjawab sambil menjilat bibirnya cepat. “Udah, udah puas. Nanti gantian aku yang cium ya, Tae. Boleh?” Tanya Jeongguk memastikan, yang disambut oleh Taehyung dengan anggukan mantap.

“Iya, boleh, Ggukie! Mau, mau, mau!” Jawab Taehyung bersemangat sambil memeluk tubuh Jeongguk erat.

Setelah menyantap makan siang di kamar Jeongguk, akhirnya mereka berdua membereskan sisa makanannya lalu kembali masuk ke kamar. Tak terasa mereka sudah sampai di waktu inti untuk membicarakan mengenai kejadian hari Sabtu kemarin. Taehyung tidak menyadari bahwa kakinya sudah bergerak-gerak seperti orang sedang menggenjot mesin jahit. Sedang Jeongguk masih sibuk merapikan kasurnya agar mereka berdua dapat mengobrol dengan nyaman.

Taehyung memutuskan untuk mengobrol dengan Jeongguk sambil rebahan. Jujur, dirinya tidak tahu harus memulai dari mana. Namun ia tahu, perkenalan dirinya dengan Jaebeom bisa dipastikan lebih dulu terjadi daripada Jeongguk. Toh, Jeongguk baru mengenal seniornya itu baru-baru ini, saat ia sibuk mengurusi pendaftaran beasiswa jurusan Hukum.

Jeongguk yang menyadari kekasihnya sedang canggung, akhirnya menghampirinya dan mengusap lembut pipi gembulnya itu. “Sayang mau ngomong sekarang? Rebahan aja, ya?”

Seperti bisa membaca pikiran Taehyung, akhirnya ia mengangguk dan mengambil tempat untuk merebahkan dirinya dan memposisikan tubuhnya dengan nyaman. Jeongguk melihat kekasihnya lalu tersenyum dan merangkak naik untuk merebahkan dirinya di samping Taehyung.

Kekasihnya itu terlihat gugup; Taehyung hanya menunduk, tidak ingin melihat sepasang mata Jeongguk yang sepertinya sudah siap mendengarkan cerita Taehyung secara lengkap. Suasana hening itu Jeongguk gunakan untuk mengatur napas dan menyiapkan speech dan pertanyaan yang sudah tersusun rapi di otaknya.

'Semoga, semua terbuka hari ini. No more secret, right?' batin Jeongguk dalam hati.

Beberapa waktu berselang, akhirnya Taehyung mengangkat wajahnya dan mencoba meraih tangan Jeongguk. Ia refleks mengulurkan tangannya. Jeongguk merasakan kekasih manisnya itu menggenggam tangannya terlalu erat. Ia khawatir Taehyung sebentar lagi akan menangis. Ia sendiri pun tidak tahu ada apa dengan Taehyung. Jeongguk rasanya ingin meringis, namun ia urungkan. Sebaliknya, akhirnya ia mengulurkan tangan satunya untuk mengelus lembut pipi Taehyung. Jeongguk melihat Taehyung memejamkan matanya kemudian. Sepertinya, sentuhan hangat nan sederhana itu membuat Taehyung tenang.

“Sayang udah siap? Take your time, baby.” Jeongguk berkata, memberikan waktu untuk Taehyung sebanyak-banyaknya. Ia punya waktu sepanjang apapun untuk mendengarkan kekasihnya. Kapanpun ia siap, Jeongguk membatin.

Taehyung lalu mengangguk kemudian dan mengucapkan kata-kata pertamanya. “Namanya Jaebeom, Ggukie... d-dia...” Kekasih Jeongguk terdengar terbata-bata. Jeongguk menunggu Taehyung dengan sabar. Ia tidak ingin mendorong Taehyung untuk mengatakan apapun itu padanya. Ketenangan adalah hal yang ia lihat sangat dibutuhkan oleh Taehyung saat ini.

Jeongguk hanya mengangguk sambil mengelus pelan punggung tangan Taehyung, sambil tangan lainnya kembali mengelus pipi Taehyung dengan sayang.

“Jaebeom itu, sahabatnya Bo-bogum dulu, Ggukie... dan ya... kita ketemu kemarin hari Sabtu di Haru.” Taehyung akhirnya menyelesaikan kalimatnya. Sedang Jeongguk? Ia hanya mematung; elusan sayang untuk Taehyung terhenti sejenak—berusaha mencerna fakta yang baru dibeberkan oleh Taehyung sekarang. Fakta yang ternyata, berhubungan dengan nama sialan yang sama sekali ingin Jeongguk hapuskan dari memori Taehyung.

Ia tidak sadar bahwa rahangnya sudah mengeras, matanya memancarkan emosi yang membuat Taehyung sedikit takut. Taehyung mencoba menarik tangannya dari genggaman Jeongguk, saat tiba-tiba kekasihnya itu mencoba tetap memegang tangannya.

“Sori, sayang. Emosi denger nama orang itu. Dilanjut, boleh? Kapanpun kamu siap.” Jeongguk memberi pengertian pada Taehyung, yang sesaat kemudian disambut oleh anggukan pelan dari kekasihnya.

“Tolong jangan potong aku ya, Ggukie? Aku mau nyerocos panjang lebar. Sampai aku lega.” Kata Taehyung meminta. Jeongguk yang mendengarnya hanya mengangguk dan mempersilahkan Taehyung bicara.

“Iya, Jaebeom itu sahabat Bogum waktu dulu. Waktu dulu aku naksir Bogum. Seperti yang kamu tahu, kita kenalan di lapangan basket. Jaebeom ada di sana waktu itu, dia Kapten. Well, waktu itu aku semangat minta dikenalin sama Jimin ke Bogum. Pada masanya, Jaebeom orangnya dingin gitu. Ya aku karena emang tertarik sama Bogum, aku nanggepin dia banget. Tapi ternyata, ada orang di samping Bogum, yang suka sama aku, literally and wholeheartedly...”

Jeongguk berusaha mencerna dan mulai menyusun kalimat yang Taehyung lontarkan padanya. Berusaha untuk menggambar secara abstrak dalam otaknya; mencari benang merah antara Jaebeom, Bogum, Taehyung, dan dirinya sendiri.

What? Jaebeom memiliki rasa pada Taehyung? Sudah gila dunia ini, jeritnya dalam hati.

“Ya terus... kejadian putus itu—yang udah kamu tahu juga, aku males cerita lagi—, bikin hubungan aku jadi parah sama Bogum. Apalagi Jimin. Dia dari dulu aku kecil, selalu pengen ngelindungin aku. Tahu aku digituin—di depan dia pula, makin emosi lah Jimin. Sampai akhirnya beberapa hari kemudian, menyebar di seantero sekolah kalau yang nyuruh Bogum begitu adalah Jaebeom... drama banget ya, Ggukie?” Taehyung mencoba tersenyum; walaupun kecut. Ia masih memperhatikan sepasang mata Jeongguk yang tidak dapat ditebak. Kedua alisnya bertaut, dahinya mengernyit; namun mata Jeongguk, Taehyung tidak bisa membacanya.

“Ya aku lagi terpuruk, denger berita yang macem itu, ditambah lagi dengan fakta bahwa waktu Bogum made scene di depan sekolah, Jaebeom sama sekali nggak ada. He wasn't there. Ya, my past self langsung emosi. Jimin was more. Dia nyamperin Jaebeom terus nyiram air dingin ke mukanya. Drama banget, memang. Tapi kita berdua nggak nyangka aja dia bisa jahat begitu.

“Sayang, please jangan gini. Aku takut, Ggukie.” Taehyung tiba-tiba berbicara pelan sambil berusaha menenangkan Jeongguk yang sudah mengepalkan tangannya. Telinganya merah, wajahnya tegang—tanda sebentar lagi kekasihnya itu akan 'meledak' sewaktu-waktu.

Jeongguk refleks merenggangkan otot emosinya dan menarik napas panjang. Ia tidak ingin membuat Taehyung tidak nyaman. Posisi Taehyung saat ini harus dimengerti; hal ini sangat sulit untuk ia ceritakan. Jeongguk harus mengerti bahwa Taehyung berusaha sangat keras untuk memberanikan diri menceritakan semuanya, tanpa terkecuali—Taehyung sempat berkata tadi saat di mobil. Kekasih Jeongguk itu ingin menceritakan semuanya; tidak lebih dan tidak kurang.

“Oke, maaf-maaf, sayang. Lanjut lagi, ayo.” Jeongguk berkata sambil mengecup pelan hidung Taehyung. Kekasihnya itu hanya tersenyum teduh sambil tertawa pelan.

Taehyung akhirnya melanjutkan lagi. Ia tidak ingin lebih lama menyembunyikannya dari Jeongguk.

Ia menceritakannya lengkap pada Jeongguk, persis seperti apa yang diceritakan Jaebeom padanya dan Jimin. Jeongguk berusaha untuk mencari benang merah dari seluruh cerita yang disampaikan oleh Taehyung. Jeongguk menggaris bawahi poin-poin penting yang dapat diambil intisarinya.

Taehyung suka dengan Bogum saat itu. Jaebeom suka dengan Taehyung saat itu. Taehyung dan Jaebeom putus beberapa minggu kemudian. Jaebeom digosipkan adalah orang dibalik rencana busuk itu.

Sudah lima menit lamanya Jeongguk hanya terdiam; ia seperti sedang menyimpan dalam memorinya mengenai perjalanan cerita antara kekasihnya, sahabat kekasihnya, dan seniornya itu. Setelah akhirnya mengerti, Jeongguk lalu mempersilahkan Taehyung melanjutkan lagi. Yang Jeongguk sampai saat ini tidak mengerti, adalah fakta bahwa selama Taehyung bercerita, ia tidak menangis.

Apakah ada cerita yang lebih mencengangkan daripada ini? tanya Jeongguk dalam hati.

Taehyung lalu menarik napas panjang dan membuangnya pelan. Ia melanjutkan lagi ceritanya. “Lalu, sampailah hari Sabtu kemarin dia nyamperin mejaku; dia cerita panjang lebar. Dia cerita versi dia, bahwa itu semua bukan dia yang ngelakuin. Itu semua kerjaan temen-temen sialannya Bogum.

“Sebelumnya, dia bilang kalau dia udah lihat aku... dari foto aku yang kamu pajang di exhibition, Ggukie. Terus ya, dia bilang dia kenal kamu. T-terus... Dia bilang kalau dia masih suka kepikiran aku, Ggukie...” Taehyung berkata pelan. Suaranya hampir tidak terdengar kalau saja bukan Jeongguk yang saat ini ada di sampingnya.

But, ya... aku setidaknya dapet closure sih. Walaupun cuman dari Jaebeom aja, tapi setidaknya aku lega banget? Karena dia udah ceritain sisi dia. Bukan maksud aku pengen denger versi aslinya dari si brengsek ya. Cuman ya, gitu lah. Kamu tau maksud aku kan, Ggukie?”

Taehyung menjelaskan tanpa henti sambil bertanya pada Jeongguk. Jujur, dirinya tidak tahu sebelumnya bahwa menceritakan masa lalunya pada Jeongguk seperti tidak ada jeda? Semuanya mengalir begitu saja dari mulutnya. Atau memang, Taehyung sudah mati rasa dengan masa lalunya? Ia tidak merasa nyeri atau merasakan hal aneh lainnya di dadanya. Malahan, Taehyung merasa sangat lega karenanya.

Sedang Jeongguk? Tidak ada raut marah atau emosi terpancar dari kedua matanya. Sebaliknya, ia hanya tersenyum ke arah Taehyung sambil menggenggam tangannya erat. Taehyung bingung dengan reaksi Jeongguk yang aneh ini. Ia masih bisa berlaku biasa saja padahal Taehyung baru saja membeberkan bahwa seniornya itu—yang kebetulan menjadi bagian dalam masa lalunya—masih sering memikirkan juniornya semasa SMP dulu.

“Ggukie? Kok kamu senyum-senyum begitu, sih?” Taehyung akhirnya bertanya; ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Kenapa kekasihnya jadi senyum-senyum seperti ini? Bukannya seharusnya dia marah, atau apalah, kecewa mungkin?

“Sayang... kamu pernah kepikiran dia nggak?” Tanya Jeongguk terlihat asal, namun ia tahu pertanyaan ini sudah ingin ia lontarkan sejak tadi.

Kekasih Jeongguk itu lalu memundurkan tubuhnya dan berkata, “Ya nggak lah! Kamu kan denger tadi, aku nyerempet benci sama dia?” Taehyung terlihat sebentar lagi sepasang matanya akan copot dari tempatnya. Terdengar nada jengkel menghiasi jawaban Taehyung tadi. Jeongguk hanya terkekeh dan mencium lembut bibir Taehyung kemudian.

“Ya sudah, nggak ada masalah menurut aku. Dia kepikiran kamu, itu urusan dia. Yang penting kamu sekarang adalah pacar sekaligus sahabat aku. Cuman boleh aku yang ada di pikiran kamu. Okay, baby?” kata Jeongguk tegas namun terdengar lembut.

Mendengar jawaban asal seperti itu, Taehyung lalu mencubit hidung Jeongguk keras, yang membuat si empunya manik hitam itu meringis dan mengusap-usap hidungnya.

“Tae kok nyubit, sih? Sakit, tau.” Jeongguk mengeluh; berbeda dengan Taehyung yang saat ini terlihat sebal karena kekasihnya sama sekali tidak menunjukkan rasa kesal... atau cemburu.

“Ggukie... nggak ada rasa cemburu atau kesel gitu?” Ia bertanya dengan hati-hati. Sekarang gantian Taehyung lah yang merasa penasaran dengan tanggapan Jeongguk.

Jeongguk hanya menggelengkan kepala pelan sambil mengusap pelan lengan Taehyung. Hari ini, Jeongguk butuh memberikan perhatian ekstra untuk kekasih manisnya. Kekasihnya itu sudah melalui bagian berat dengan menceritakan semuanya lengkap pada Jeongguk. Ia sangat mengapresiasi dan menghargai keberanian Taehyung. Ia bangga pada kekasihnya itu. Maka, Jeongguk berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan meluapkan emosi di depan Taehyung.

Yah, walaupun saat mendengar nama Bogum, rasa ingin meninju wajah laki-laki itu muncul kembali.

“Nggak ada, sayang. I trust you, remember?” Jeongguk menjawab sambil mengecup hidung Taehyung yang mancung itu tiga kali. Kekasihnya itu tertawa kecil dibuatnya.

Merasakan suasana di kamar sudah menjadi lebih baik, akhirnya Taehyung mengarahkan tubuhnya menghadap langit-langit kamar. Jeongguk akhirnya mengikuti kemudian. Niatnya untuk menanyakan soal pesan dari entah siapa di handphonenya ia abaikan. Mungkin ia akan menghapus pesan itu? Ia tidak tahu. Yang jelas, Jeongguk membatalkan keinginannya tadi sebelum berbicara dengan Taehyung.

Untuk apa? pikirnya. Toh semuanya sudah dibeberkan dengan jelas dan padat oleh Taehyung.

“Oh ya, Ggukie... kamu... kenal kak Jaebeom baru akhir-akhir ini?” Taehyung bertanya penasaran tanpa ada nada menuduh dibaliknya. Ia ingin tahu seberapa jauh mereka saling mengenal satu sama lain. Dan sepertinya, Jaebeom betul-betul tidak tahu bahwa ia adalah kekasih Jeongguk.

“Iya, sayang. Jujur, aku baru kenal dia waktu di kampus itu. Inget kan? Padahal ya, Tae, aku mau ngenalin ke kamu saat exhibition kemarin. Aku bilang sama dia, mau ngenalin sahabat plus pacar. Dia setuju aja padahal terakhir kita chat, sampai akhirnya pada saat hari H, dia nggak bisa. Katanya ada urusan.

“Tapi ya sudah, toh yang mau aku kenalin ternyata udah kenal dia duluan,” jawab Jeongguk sekenanya. Ia melirik ke sampingnya, Taehyung hanya tersenyum dengan sorot mata yang sayu. Pembicaraan ini memang sangat melelahkan, tapi dalam hati, mereka berdua tahu, bahwa ini semua worth it.

Taehyung tiba-tiba teringat dengan perkataan Jaebeom bahwa dirinya sempat berbicara di telepon dengan Jeongguk.

By the way, Ggukie, dia cerita katanya kamu sama dia teleponan tadi ya?”

Jeongguk lalu menoleh dan mengarahkan tubuhnya menghadap Taehyung. Tangannya meraih pinggang Taehyung untuk dipeluk, lalu ia membenamkan wajahnya pada pundak Taehyung. Nyaman, seperti rumah.

“Ah iya, cuman cerita soal jurusan Hukum itu, Tae. Nggak cerita detail sih, cuman ya aku cerita ke dia soalnya kan dia yang selama ini aku tanyain ini-itu soal kuliah di sana.” Jelas Jeongguk tanpa mengurangi dan menambahi.

Kekasih Jeongguk itu hanya mengangguk paham lalu memajukan tubuhnya, mendekatkan bibirnya pada ujung bibir Jeongguk.

“Finally, Ggukie? Rasanya lega bisa berdamai sama masa lalu. Makasih ya udah selalu di samping aku? Aku sayang banget sama Ggukie. Selamanya kalau bisa.”

“Iya. Aku bangga sama kamu. Makasih ya udah percaya sama aku, Tae. Nggak gampang untuk ceritain masa lalu yang pengen kamu tutup rapat-rapat itu.”

Jeongguk akhirnya menutup jarak antara Taehyung dan dirinya kembali, kali ini cukup lama, dengan berbisik; yang membuat Taehyung rasanya sebentar lagi akan pingsan.

“Aku juga sayang kamu, selamanya. Dan harus bisa.”

His Side — A (Half) Truth

Yugyeom tidak mengerti apa yang sedang terjadi antara sahabatnya dengan kekasihnya. Jeongguk tidak seperti biasanya khawatir berlebihan pada Taehyung. Sejak siang tadi dirinya dan Eunwoo serta Mingyu tiba di rumahnya, Jeongguk terlihat tidak bersemangat. Ia mengira, ini adalah gejala-gejala rindu akut yang dialami oleh sahabatnya itu.

Namun sepertinya, tebakan Yugyeom kali ini salah.

Jeongguk terlihat murung sejak tadi; beberapa kali mengecek handphone nya yang sama sekali tidak bersuara. Tidak bergeming. Tidak ada satupun pesan dan/atau telepon masuk dari Taehyung. Yugyeom sesekali melirik kearah sahabatnya yang sedari tadi menggerakkan kakinya seperti sedang menggowes mesin jahit. Eunwoo dan Mingyu sedang pergi ke luar beberapa menit lalu; memutuskan membeli beberapa minuman untuk menghabiskan Sabtu malam bersama.

“Gguk. Lo kenapa sih? There's something wrong, I can tell,” tebak Yugyeom yang sedang duduk di sebelahnya sambil memainkan pensilnya di tangan. Selama bersahabat dengan Jeongguk, ia sudah hafal kebiasaan Jeongguk jika sedang khawatir. Salah satunya seperti sekarang ini.

“Uh... kangen Taehyung, Gyeom. Udah dua hari nggak ketemu. Rasanya gini amat, ya?” Jeongguk menjawab sambil tertawa nanar. Ia kembali mengecek handphonenya; yang sama sekali kosong akan notifikasi. Hanya terpampang foto Taehyung di home screen, sedang tersenyum lebar ke arahnya; menunjukkan senyum kotaknya dan sepasang mata indahnya yang menyipit.

Yugyeom menanggapi dengan senyum lalu menepuk pundak sahabatnya itu; gestur yang selalu ia berikan untuk Jeongguk saat sedang dalam kondisi seperti ini. Tidak membantu banyak memang, Yugyeom tahu, tapi setidaknya, ia tahu gestur itu memberikan sinyal pada Jeongguk bahwa Yugyeom mengerti apa yang sahabatnya itu rasakan.

“Liatin foto yang tadi di-post sama Jimin aja, Gguk. Lumayan bisa ngurangin kangen dikit.” Yugyeom memberi ide, lalu menyambung lagi. “Emangnya, lo bener-bener janjian nggak mau saling ketemu?”

Jeongguk hanya menaikkan kedua bahunya yang terlihat lemas. “Yeah, made a promise, actually. Biar nggak ketergantungan terus, Gyeom. Lagian, latihan juga nggak sih? Nggak ketemu tiap hari. Dia juga pasti kangen main sama Jimin, Hoseok. Ngobrol sama Bunda. He needs his me time, too, I guess.” Jeongguk menatap Yugyeom dan menjawab lirih sambil tersenyum seadanya.

Kangen sama Taehyung... gini banget ya? batin Jeongguk.

Beberapa menit berlalu, sampai handphone Jeongguk berbunyi, tanda pesan masuk. Ia langsung dengan sigap menyambar benda itu; berharap Taehyung yang membalas pesannya. Yang jelas, ternyata, dunia sedang tidak berpihak padanya. Pengirim pesan itu adalah Eunwoo; menanyakan sesuatu di group chat yang akhirnya hanya diabaikan oleh Jeongguk.

Yugyeom yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya lalu membalas pesan Eunwoo.

Hati kecilnya pun berharap, Taehyung segera membalas pesan dan/atau telepon sahabatnya itu. Gejala rindu akut Jeongguk sepertinya sedikit memburuk.

Eunwoo dan Mingyu kembali ke rumah Jeongguk tepat dua puluh menit kemudian; sudah dengan membawa dua krat soju—pesanan khusus Jeongguk—dan beberapa lauk untuk makan malam yang dibeli dari restoran langganan mereka.

Mama Jeon memberitahu Jeongguk tadi pagi bahwa hari ini beliau memiliki jadwal dengan teman-teman kuliahnya dulu. Anak laki-laki Mama Jeon itu hanya mengiyakan dan berpesan untuk tidak pulang terlalu larut. Mamanya yang mendengar anaknya seperti memberi petuah kepada beliau hanya menanggapi dengan menyentil dahinya dengan keras. Jeongguk meringis dibuatnya. Mamanya hanya tertawa keras lalu mengecup pelan pipi anaknya, sebelum akhirnya bergegas pergi dengan mobilnya.

Memutuskan untuk menyudahi sesi belajar hari ini, akhirnya Jeongguk dan Yugyeom keluar ke ruang makan untuk membantu Eunwoo dan Mingyu menata makanan dan beberapa botol soju untuk malam ini. Jeongguk rasanya ingin sekali melepas penat dan kekhawatirannya hari ini. Mungkin ini hanya sebatas firasat anehnya saja.

Jeongguk tahu kebiasaan Taehyung dan Jimin jika sedang bepergian. Pun ia tahu bagaimana cara me-reach mereka berdua jika ada keperluan darurat. Supir Jimin selalu siap sedia membantu siapapun yang ingin menghubungi salah satu dari mereka berdua. Namun sejak pertama kali Jeongguk mengetahui kebiasaan mereka sampai sekarang, ia tidak pernah menggunakan advantage itu. Jeongguk tahu bahwa kekasihnya dan Jimin sangat menghargai quality time mereka berdua.

Akhirnya Jeongguk mengurungkan niatnya untuk menghubungi supir Jimin dan akan menelepon Bunda instead.

Namun ia mengurungkan niat, saat handphonenya bergetar empat kali. Jeongguk dengan cepat bergerak untuk meraihnya; dengan senyum yang merekah di wajahnya. Taehyung membalas pesan gue, thank God finally, batinnya; sesaat sebelum senyum itu luntur dan menimbulkan kerutan di dahinya kelak.

Seseorang yang entah Jeongguk tahu siapa, mengirimkan pesan dengan sebuah foto di akhir. Siapa ini? pikir Jeongguk, sebelum akhirnya Jeongguk membuka foto itu dan memperbesarnya.

Terlihat Taehyung dan Jimin sedang duduk berdampingan. Terlihat kekasihnya yang tampak indah hari ini dibalut hoodie berwarna putih susu sedang menggenggam tangan Jimin. Taehyung terlihat menunduk, sedang tampak Jimin memancarkan raut amarah dari wajahnya. Jeongguk mengernyitkan dahinya. Ada apa ini?

Jeongguk bingung, sesaat sebelum akhirnya memperhatikan sosok yang berada persis di depan Taehyung; sedang duduk sambil mengaitkan kedua tangannya di pangkuan. Jari-jari itu terlihat

Jeongguk lantas terbelalak, tidak menyangka seseorang yang selama ini menjadi teman bicara di kampus—dan yang ingin ia perkenalkan pada Taehyung, saat ini sedang bersama dengan kekasihnya dan juga Jimin. Intimacy yang terlihat—walaupun sangat negatif, membuat Jeongguk terheran dan sempat tidak berkedip.

Jaebeom.

Jeongguk tetiba tersadar, dari sebuah foto, dapat terlihat bahwa Taehyung dan Jimin sudah lebih dulu mengenal Jaebeom, jauh sebelum dirinya mengenal mereka bertiga.

“—gguk?” Yugyeom memanggil sahabatnya berkali-kali, namun sahabatnya itu tidak bergeming sama sekali. Ia hanya memandangi layar handphonenya dengan kerutan dalam di dahi. Yugyeom memutuskan untuk mengintipnya pula; berpikir bahwa setidaknya, ia bisa membantu Jeongguk mengurai benang kusut di dalam otaknya yang terlihat hanya dari tautan kedua alisnya.

Is that... Taehyung and Jimin? Kok ada Jaebeom?” Yugyeom mencoba bertanya pada Jeongguk—sambil 'membantu' sahabatnya untuk berpikir logis. Ia terlalu mengenal Jeongguk. Ia terlalu tahu bahwa Jeongguk mudah berpikir yang macam-macam hingga otaknya macet.

Hanya dari sebuah foto, Jeongguk bisa mengartikan menjadi banyak hal dan kemungkinan. Yugyeom tidak ingin Jeongguk membawa dirinya sendiri ke arah itu.

Eunwoo dan Mingyu yang mendengar nama Taehyung dan Jimin lantas langsung menoleh dari arah dapur. Mereka berdua tahu, Jeongguk hari ini terlihat tidak bersemangat karena Taehyung tidak mengabari dirinya sejak siang hari tadi.

I don't even fucking know, Gyeom. But I trust Taehyung. I trust him so much I don't even know what to think. He must have an explanation... right?”

Jeongguk mencoba meyakinkan dirinya. Namun ia sendiri tahu, kalimatnya barusan terdengar ragu-ragu. Ia tahu betul.

Jeongguk tidak sadar, tangannya sudah meremas benda mati itu terlalu kencang.

I am so sorry, Taehyung. I really mean it.” Jaebeom berkata setelah keheningan menyelimuti meja itu. Taehyung terlihat masih menunduk, sedang Jimin memalingkan wajahnya dan mendengus kasar. Jujur, ia tidak ingin harinya dengan sahabatnya rusak hanya karena sosok di hadapannya saat ini.

Taehyung yang mendengar Jaebeom berbicara hanya bisa mengernyitkan dahinya dan akhirnya mengangkat wajahnya. “Why are you still sorry, Kak? It's been years. Gue juga udah nggak inget kok.” Taehyung menjawab sambil tetap menggenggam tangan Jimin erat. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini akan bertemu dengan Jaebeom—sahabat Bogum sekaligus seseorang yang, 'rumor'nya, meminta Bogum untuk berpacaran dengannya beberapa tahun silam.

Terlalu banyak kemungkinan yang mendukung rumor tersebut; pertama, Jaebeom adalah kapten klub basket itu pada masanya. Kedua, ia adalah sahabat Bogum. Ketiga, Taehyung ingat—terlalu jelas terekam di dalam otaknya—bagaimana dinginnya Jaebeom saat pertama kali menyebutkan namanya saat berkenalan dengan dirinya dan Jimin. Pun menurut kacamata Taehyung, Jaebeom terlihat tidak menyukai dirinya; dalam arti sesungguhnya.

Maka Taehyung menyimpulkan, rumor yang ia dan sahabatnya dengar beberapa tahun silam adalah benar adanya.

Are you willing to hear my side, Taehyung? Please?” Jaebeom berkata; singkat tanpa tedeng aling-aling. Ia ingin segera pergi dari sini dan mengantongi kata 'damai' dengan masa lalu. Ia sudah lelah dengan beban yang ia bawa di dalam hatinya sejak beberapa tahun silam. Kejadian itu sudah sangat lama, namun seperti masih menjadi batu yang diikat di pergelangan kaki Jaebeom, ke mana pun ia pergi.

Jimin menoleh ke arah Taehyung cepat—ia mencari sorot ragu dari sepasang mata sahabatnya. Namun nihil. Jimin lantas membelalakan matanya dan menganga, saat ia melihat kerling mata Taehyung malah memancarkan tatapan antusias; walaupun terdapat sedikit rasa sakit dari hazel maniknya.

Yeah, let us know your side, Kak Jaebeom. I've been dying to know since years ago. I think we both deserve an explanation.” Taehyung menjawab dan menghela napas, sambil mempersiapkan dirinya, sebelum menyambung lagi.

Especially me.”

“Gguk, ayo makan.” Eunwoo mengarahkan sumpitnya dan mengibaskan di depan wajah Jeongguk. Sahabatnya itu sudah lima belas menit hanya melamun dan memainkan makanannya dengan sendok. Sama sekali tidak ada makanan yang masuk ke dalam perutnya; sejak tadi, Jeongguk malah sudah menegak beberapa teguk soju yang ia tuang ke sloki.

Jeongguk hanya menoleh sebentar ke arah Eunwoo; sebelum akhirnya tersenyum seadanya dan berniat menuang soju ke sloki, sesaat sebelum Yugyeom menyambar botol sojunya dan menjauhkan dari tangan Jeongguk.

“Bro, ayo lah. Makan dulu. This is not healthy. Kita hari Senin bakalan TO, lho. Come on! Taehyung bakal tambah marah besar sama lo kalau lo kayak gini.” Yugyeom dengan tegas membentak sahabatnya, berusaha untuk 'mengembalikan' pikiran jernihnya sebelum melakukan hal bodoh yang akan merugikan dirinya sendiri. Seumur-umur, Jeongguk tidak pernah gegabah seperti ini.

Eunwoo dan Mingyu yang memperhatikan Jeongguk hanya bisa menepuk bahunya sambil menawarkan sahabatnya untuk meminum cola instead. Mereka berdua menyerahkan seluruhnya pada Yugyeom, untuk 'mengembalikan' Jeongguk untuk berpikir jernih.

Pertama kali selama bersahabat dengan Yugyeom, Jeongguk mendengar sahabatnya itu membentaknya dan berusaha 'menyadarkannya'. Sepertinya ia sudah kelewat batas.

“Oke, oke. Sori.” Jeongguk akhirnya mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum ia merasa kepalanya seperti diguyur air dingin. Hati kecilnya dan otaknya seperti berusaha mengingatkannya untuk tidak melakukan hal-hal yang bodoh.

Ia lalu teringat akan kekasihnya yang sepertinya masih berada di Kafe Haru dengan Jimin dan juga Jaebeom. Sejak tadi, Jeongguk berusaha untuk mencari benang merah antara Taehyung dan seniornya yang baru ia kenal beberapa bulan kebelakang. Ia hanya berusaha mengingat; apakah ada cerita dari Taehyung dan Jaebeom yang ia lewatkan. Jeongguk mengurungkan niatnya untuk mencari lebih jauh di media sosial. Ia tidak ingin kecewa. Namun lebih dari itu, ia masih sangat menyayangi Taehyung dan menaruh kepercayaan pada kekasihnya itu.

Jeongguk tiba-tiba teringat; akan trust yang sangat Taehyung hargai di dalam hidupnya. Betapa kekasihnya itu sangat mengagungkan kepercayaan sebagai salah satu kunci dalam sebuah hubungan. Jeongguk tahu persis; sebelum menjadi kekasih Taehyung, ia adalah sahabat pemilik surai silver itu. Lima tahun bersahabat adalah waktu yang cukup lama untuk mengenal Taehyung luar dalam. Jauh dalam lubuk hati Jeongguk, ia ingin berlari, menjemput kekasihnya itu dan menenangkannya. Ia mengingat betapa Taehyung terlihat 'kecil' hanya dari foto yang dikirim ke handphonenya oleh entah siapa.

Ia ingin berlari, 'menyelamatkan' Taehyung dari apapun yang sedang dialami saat ini oleh kekasihnya. Namun, Jeongguk yakin, Taehyung akan membuka 'kotak' padanya saat ia siap. Jeongguk harus mengerti, dan Jeongguk berusaha untuk mengerti Taehyung.

It takes two to tango, and Jeongguk is willing to do that.

“Te sayang, are you okay?” Tanya Jimin hati-hati saat mereka dalam perjalanan pulang dari Kafe Haru menuju rumah Taehyung. Jimin sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini segala rahasia dan teka-teki terungkap; dan semuanya meluncur dari seseorang yang sangat mereka hindari sejak saat kejadian itu.

Sesaat setelah Jaebeom mengantongi persetujuan dari Taehyung, ia segera membeberkan semua kartu rahasia yang selama ini menjadi beban yang ia bawa ke manapun ia pergi. Jaebeom menceritakan cerita versi dirinya lengkap; mulai dari A hingga Z, persis seperti apa yang ia ceritakan pada Tere tempo hari. Jaebeom baru kali ini merasa seperti berbicara dengan tembok saat menceritakan seluruh isi hatinya pada Taehyung dan Jimin.

Dan yang menjadi seperti kejutan di akhir adalah saat Jaebeom mengakui bahwa ia masih menyimpan rasa pada Taehyung. Selama bertahun-tahun, Jaebeom berusaha mengesampingkan rasanya itu dan memfokuskan pikirannya untuk dirinya sendiri dan juga Luna. Namun semuanya itu runtuh saat Luna mengirimkan foto hasil karya Jeongguk padanya. Denial. Itulah yang Jaebeom lakukan selama ini untuk membuang jauh-jauh perasaannya—membuang jauh-jauh cinta bertepuk sebelah tangannya.

Taehyung tidak pernah terkejut sedemikian rupa selama hidupnya. Jika ada hal yang membuatnya terkesiap dan kaget, ia hanya memendam semua reaksinya dan menelannya habis. Hanya kepada orang-orang terdekatnya saja, ia membuka dan memuntahkannya terang-terangan. Hanya Bunda, Jimin, dan Jeongguk yang tahu betul apa isi hati dan pikiran seorang Taehyung.

Namun hal itu tidak dapat dibendungnya, saat ia mendengar bahwa selama ini, Jaebeom pun menyimpan rasa padanya. Rasanya langit seperti runtuh diatasnya, seember air dingin seperti diguyur ke atas kepalanya, petir seperti menyambar dirinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan rumit seperti ini. Selama Jaebeom berbicara, Taehyung hanya meremas tangan Jimin sekencang mungkin. Ia tahu mungkin sahabatnya akan melayangkan surat tagihan rumah sakit atau klinik karena tangannya memar dan bengkak akibat remasan Taehyung yang terlalu keras selama mereka berbicara tadi.

Jimin hanya meringis; rasa sakit yang disalurkan Taehyung lewat tangannya tidak seberapa dengan apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu saat ini. Kenyataan yang dilayangkan bertubi-tubi seperti hujan es membuat Jimin sendiri pun kewalahan; walaupun ia bukan pemeran utama dari kisah Taehyung di masa lalu. Ia hanya pemeran pembantu—pelengkap, akan semua cerita Taehyung yang Jimin sendiri pun tahu, sahabatnya itu berusaha untuk menutupnya erat-erat.

Hell, bahkan Jimin tahu Taehyung ingin sekali membakar memori itu dan melupakannya.

Taehyung yang sedang duduk di sampingnya terlihat lesu; sahabatnya itu menyandarkan kepalanya pada kaca jendela. Ia memejamkan matanya, menghela napas berat sambil mencoba mengatur napasnya pendek-pendek. Entah mengapa, Taehyung sama sekali tidak menangis. Tidak ada satu tetespun air mata yang jatuh saat selesai mendengar Jaebeom membeberkan semua cerita versinya. Taehyung pun tahu, untuk apa menangisi sesuatu hal yang sangat ingin ia akhiri sekian lama?

Sebaliknya, Taehyung lega. Ia rasanya malah ingin tertawa bahagia karena kisah masa lalunya sudah berakhir. Rahasia yang selama ini ingin ia ketahui dan kejutan lainnya itu pun sudah terpampang di depannya. Di dalam hatinya, Taehyung bersyukur, hari ini ia seperti mendapatkan closure atas masa lalunya. Untuk apa dia bersedih? Ia justru senang, ada perasaan tenang yang timbul di dadanya. Taehyung sudah memiliki Jeongguk di hidupnya. Kekasihnya itu adalah hal terindah yang ia miliki saat ini—setelah Bunda, Jimin, dan teman-teman terdekatnya.

Berusaha memecah keheningan, Taehyung akhirnya menjawab pertanyaan Jimin. “I'm very okay, actually, Jims. Lega... lega banget.” Ia menjawab sambil tersenyum dan memandang langit malam yang bertabur bintang. Terdapat bulan sabit tersenyum ke arahnya.

Jujur, ia sangat merindukan Jeongguk. Kekasihnya itu baru berpisah dengannya dua hari, namun rasanya ia ingin menangis. Taehyung tidak ingin menangis karena kejadian hari ini; ia ingin menangis karena sangat merindukan Jeongguk.

Taehyung lalu teringat, ia tidak mengabari Jeongguk sama sekali setelah dirinya dan Jimin sampai di kafe. Ia lantas merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphonenya. Menekan tombol; akhirnya ia tersadar bahwa ia masih memasang airplane mode. Taehyung lalu mendengus kasar, membuat Jimin akhirnya menoleh ke arahnya.

“Ada apa, Te?” Jimin bertanya sambil mengernyitkan dahi. Perjalanan ke rumah Taehyung masih menempuh sekitar setengah jam. Jalanan pada hari Sabtu malam pun tidak bisa diprediksi; dan hari ini jalanan cukup macet untuk mereka sampai di rumah Taehyung lebih cepat.

“Pak, Bunda atau Jeongguk ada telepon Bapak, nggak?” Taehyung bertanya cepat pada supir Jimin. Ia merasa bodoh, sampai saat ini tidak menyadari bahwa mungkin ada beberapa orang yang akan mencari mereka berdua karena tidak ada kabar sama sekali.

Jimin di samping Taehyung lalu mengeluarkan handphone nya dan menepuk dahinya sendiri keras. Ia tidak sadar bahwa dirinya juga belum mengubah mode teleponnya. Shit, this is going to be bad, I guess, batin Jimin.

Supir Jimin yang mendengar Taehyung bertanya, langsung lekas menjawab dengan yakin. “Saya nggak ada terima pesan dan/atau telepon dari Bunda dan/atau Mas Jeongguk, Mas Tae. Terakhir saya cek handphone saya sebelum kita pulang dari Kafe Haru.” Supir Jimin menjawab dengan sopan dan ramah sambil tetap memperhatikan jalan di depan. Saat ini, jalanan sedang macet. Suasana hening kembali hadir di dalam mobil Jimin.

Taehyung mengernyit. Tidak ada satupun pesan dan/atau telepon dari Bunda dan juga Jeongguk mencari dirinya dan Jimin lewat supirnya? Apakah Bunda dan Jeongguk sedang sibuk?

Ia lalu segera mengecek handphonenya yang tak lama kemudian berdering sana sini tanda pesan masuk. Taehyung lalu melihat beberapa pesan menghujani layarnya; Jeongguk meninggalkan setidaknya lima belas pesan padanya, sedang Bunda hanya dua pesan. Bunda Kim hanya memberitahu bahwa akan pergi dengan Mama Jeon dan menyuruhnya untuk mengabari saat sudah pulang.

Sedang Jeongguk, tercermin dari pesan yang dikirim oleh kekasihnya itu bahwa ia khawatir. Kekasihnya itu hampir menelepon Bunda dan supir Jimin sepertinya, namun menurut beliau, tidak ada satupun telepon dan/atau pesan masuk dari Jeongguk.

Menghela napas berat, Taehyung tidak sadar bahwa ia sebentar lagi akan menangis. Dengan tangan yang bergetar, ia memencet tombol angka dua; speed dial Jeongguk di handphonenya. Bibirnya bergetar, air mata sudah menggenang di ujung matanya. Menunggu nada dering telepon Jeongguk; menunggu suara kekasihnya muncul dari ujung telepon.

Dua kali dering, Taehyung akhirnya mendengar suara Jeongguk.

“Sayang?”

“Ggukie... G-gukie...” Taehyung memanggil Jeongguk dengan lirih.

Jesus Christ, I am so fucking worried, Taehyung! Are you okay, baby? Kamu di mana? Sudah pulang?” Jeongguk bertanya bertubi-tubi; tidak mendengar suara tangis Taehyung di ujung telepon.

Taehyung menarik napas panjang sambil menangis. Ia sangat merindukan Jeongguk. Ia ingin berlari sekarang juga, memeluk kekasihnya yang baru berpisah dengannya selama dua hari.

Baby. Ada apa? Kok nangis?” Tanya Jeongguk lagi; suara khawatir terdengar jelas di telinga Taehyung.

Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak tahu harus memulai dari mana.

Lantas Taehyung menjawab; yang ia tidak tahu, bahwa jawabannya membuat Jeongguk sangat ketakutan.

“G-gukie, I love you. So much. Kamu tahu, 'kan?”

Encounter (Part 2)

Tidak terasa sudah genap tiga jam Jaebeom menghabiskan waktu di kafe Haru seorang diri. Entahlah, menurutnya, hari Sabtu nya ini sudah berjalan dengan baik dari sejak pagi tadi ia bangun dari tidurnya. Pertanyaan adiknya siang tadi membuatnya berpikir sebelum ia bertolak dari rumah.

Jujur, hari ini ia sedang tidak ingin bertemu dengan Luna. Karena bosan, mungkin? Atau pada dasarnya, keinginan untuk bertemu pun sama sekali tidak ada.

Awal perkenalan Jaebeom dan Luna adalah saat dirinya beberapa tahun silam berkunjung ke rumah Bogum selepas pulang sekolah. Pertemuan itu tidak disengaja, lantaran Jaebeom pada awalnya memang berniat untuk mengantar sahabatnya itu pulang sehabis mereka mengikuti latihan basket.

Siapa yang tahu, awal pertemuan itu menjadi sebuah beban yang cukup berat untuk Jaebeom. Hingga saat ini.

Mungkin, Jaebeom akan menceritakannya lain kali.

Langit sore itu terlihat cantik; semburat warna favorit Tere memancar dari balik bongkah awan yang bertengger di tengah-tengah. Jaebeom mengingatnya sambil tersenyum; ia hafal betul ketertarikan adik perempuannya itu pada langit.

Beberapa kali Tere mencetak hasil jepretan langit di beberapa negara yang mereka kunjungi—untuk dipajang di dinding kamarnya. Jaebeom yang awalnya mengusulkan ide itu; membuat Tere kelewat girang karena kakak laki-lakinya setuju untuk membiayai seluruh keperluannya.

Jaebeom lalu mengeluarkan handphonenya, dan membidik pemandangan itu lewat kameranya. Lagu Take a Walk karya OFFSHORE terdengar lembut di telinganya—cocok dengan suasana kafe dan hatinya saat ini. Ia merasa tenang. Beruntunglah dirinya hari ini tidak lupa membawa earphone ter-ciamik miliknya—pemberian Tere beberapa bulan lalu saat ulang tahunnya.

Pesan Tere selalu tersimpan dalam memorinya; tertulis di secarik kertas yang berbunyi 'gue beliin lo earphone supaya lo nggak rewel tiap kali gue teriak-teriakin idola gue nongol di tv. Gue beliin lo lengkap dengan noise cancelling. Dan ya... supaya lo nggak sakit kuping aja tiap Luna ngerepet. LOL. Love you so much, Bro!'

Tentu saja ia menyimpan surat itu dengan aman di laci lemari bajunya. Jaebeom tidak ingin memperparah hubungan antara Tere dan Luna dengan menaruh surat itu asal.

Mengirimkan beberapa foto pemandangan itu cepat pada Tere sambil menghujani pesan adiknya dengan beberapa emoji, Jaebeom memutuskan untuk mengakhiri sesi sendirinya hari ini. Ia ingin menghabiskan Sabtu malam di rumah saja dengan adiknya.

Jaebeom lalu teringat akan pesan Tere untuk membelikannya cronuts dan segelas ice coffee. Segera ia memanggil seorang waiter dan memesan cepat; tak lupa memberi note bahwa keduanya akan ia bawa pulang.

Beberapa menit berselang, akhirnya Jaebeom membereskan barang-barangnya. Tak lupa mematikan laptopnya dan mengumpulkan highlighter yang berserakan di sisi benda itu; melepas earphone dan menggulungnya rapi.

Lumayan, pikirnya, hari ini ia sudah mendapatkan beberapa jurnal yang dapat digunakan sebagai bahan presentasinya minggu depan.

Akhir-akhir ini, tugas kuliah dan beberapa kegiatan di kampus membuatnya pening. Sebagai seseorang yang cukup perfeksionis, Jaebeom selalu mengedepankan kesempurnaan dalam segala hal yang ia kerjakan. Kesehatan dan waktu tidurnya selalu menjadi nomor sekian. Beberapa kali Tere dan Mamanya mengingatkan, namun hanya dianggap seperti angin lalu.

Ia tidak peduli. Ia hanya ingin mengejar kesempurnaan. Untuk kepuasan diri sendiri tentu saja, bukan sebagai hal yang harus ia pamerkan. Poin itu... bukan tujuan akhir Jaebeom.

Waiter tadi akhirnya menghampiri meja Jaebeom dengan membawa satu paper bag yang cukup besar. Tercium wangi cronuts yang ia rasa, Tere akan menyukainya.

Mumpung masih panas, sebaiknya gue harus cepat pulang, batinnya.

Beranjak dari duduknya sambil menggendong tas laptop miliknya yang baru ia beli beberapa hari lalu, Jaebeom membalikkan badannya menuju pintu masuk kafe Haru.

Sesaat setelah melangkah, ia mendengar suara yang terdengar dari radius pendek didekatnya; menyebutkan panggilan kesayangan yang sering ia dengar beberapa tahun silam.

Suara itu, ia mengenal dengan jelas; mulai dari pitch hingga pelafalan, yang begitu tajam di kedua telinganya. Pemilik suara itu hanya mengatakan dua kata, namun rasanya gelombang memori mulai menghujani pikirannya tanpa henti; saat kedua matanya akhirnya bertemu dengan sepasang mata yang selama ini ia rindukan. Kerling dan tatapan sepasang manik hazel itu; lemah selama tiga detik sebelum akhirnya terbelalak kemudian. Jaebeom sebenarnya tahu, pertemuan ini akan segera terjadi, cepat atau lambat. Namun sepertinya, takdir memutuskan untuk mengejutkan Jaebeom lebih cepat.

Lebih cepat—sehingga ia sama sekali tidak memiliki persiapan dan pertahanan, saat bibirnya terbuka lebih dulu; bekerja lebih cepat daripada otaknya dan memanggil sosok di depannya dengan terbata.

“Ta—Taehyung?”

Taehyung tidak pernah menyangka bahwa sebenarnya, seberapa cepat dan keras usaha kamu untuk berlari dari sesuatu, suatu saat dirimu pasti akan bertemu lagi dengannya. Entah, takdir seperti tahu caranya menguji—apakah kamu akan terpengaruh lagi dengannya jika bertemu lagi? Atau kamu akan benar-benar menanggapi seolah tidak pernah bertemu sebelumnya?

Sepasang matanya bertemu dengan kedua manik hitam itu; bersembunyi dari balik kacamata pemiliknya. Taehyung tidak mengerti apa yang harus ia lakukan—ia hanya berakhir dengan terbelalak dan mulutnya terbuka. Ia khawatir sebentar lagi rahangnya akan lepas dari tempatnya. Betapa terkejut Taehyung, melihat sosok yang pernah menjadi 'bagian' dari kisah sedihnya dulu. Well, walaupun sosok ini bukanlah pemeran utama yang bersanding dengannya di kisahnya dulu.

Jimin segera menoleh saat mendengar suara itu lagi; bulu kuduknya meremang dan ia yakin, dirinya tidak pernah secepat ini menolehkan kepalanya. Lehernya nyeri, tapi ia tidak peduli. Jimin lebih memikirkan lelucon macam apa yang diberikan oleh dunia saat mendengar sang pemilik suara memanggil nama sahabatnya dengan terbata, namun jelas terdengar di telinganya.

Kedua matanya pun terbelalak, kala melihat sesosok di depannya adalah benar Jaebeom—kakak kelas mereka dulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Kakak kelas mereka... yang merupakan sahabat dari seseorang yang sama sekali tidak ingin Jimin ucapkan namanya. Kakak kelas mereka... yang punya peran cukup penting namun antagonis—walaupun Jimin sendiri tidak tahu kebenarannya seperti apa.

Sampai saat ini, yang ia tahu adalah seluruh ide gila yang membuat Taehyung hancur berkeping-keping beberapa tahun silam berasal dari sosok di hadapannya ini.

Ia berdiri dari duduknya; tak terasa mengepalkan kedua tangannya hingga buku-bukunya memutih. Raut amarah muncul dari wajah Jimin, sesaat sebelum dirinya mendengar sahabatnya membalas dengan lirih.

“Kak Jae, is that really you?” Taehyung bertanya retoris. Ia tahu persis, seorang pria yang saat ini sama terkejutnya dengan dirinya adalah Jaebeom—sahabat baik Bogum pada masanya. Taehyung tidak ingin mencari tahu apakah saat ini mereka masih bersahabat; ia hanya ingin tahu, ujian apa yang sedang dunia berikan padanya.

Lucu memang, saat Taehyung sadar bahwa seringkali ia mendengar sebuah perumpamaan “jika kamu tertawa terlalu berlebihan, hati-hatilah, itu tandanya kamu akan menangis”, dan sepertinya, hal itu akan terjadi padanya sore ini.

Jaebeom di hadapannya hanya mengerjapkan matanya terkejut beberapa kali; ia terlihat seperti tidak tahu harus menjawab apa. Taehyung melirik ke arah Jimin; sahabatnya itu terlihat sebentar lagi akan melayangkan tinjunya ke arah Jaebeom. Buku-buku tangannya terlihat memutih—Taehyung hafal gelagat Jimin seperti ini, ia tahu sahabatnya akan marah sebentar lagi. Jimin bukan seseorang yang mudah marah; namun jika sesuatu hal sudah keterlaluan, ia akan meledak pada waktunya.

Taehyung dengan sigap menenangkan Jimin dengan meraih tangannya untuk membuka kepalannya. Sahabatnya itu segera menoleh kemudian dan menatap Taehyung. Jimin hanya bisa menanggapi dengan lirih. “Tae, please...”

Mendengar itu, Taehyung hanya tersenyum simpul. It doesn't even reach his beautiful eyes. Jimin sadar penuh. Namun kedua mata Taehyung memancarkan kerling gusar dan rasa penasaran yang terlihat jelas dari manik hazelnya. Jimin hanya bisa mendengus dan menghela napas kasar.

Hari ini adalah hari yang menyenangkan; ia tidak ingin seorang Jaebeom merusaknya. Tugasnya adalah menjaga Taehyung. Sampai kapanpun. Hanya itu yang ingin Jimin lakukan saat ini.

What the hell are you doing here?” Jimin bertanya tanpa tedeng aling-aling. Ia butuh jawaban cepat dan masuk akal. Ia tidak peduli bahwa “scene” ini sudah menarik perhatian beberapa tamu yang duduk di sekitar mejanya.

Jaebeom terlihat menggaruk belakang lehernya. Sejujurnya, tidak ada hal apapun yang ingin ia lakukan selain mencari tempat dan waktu untuk dirinya sendiri. Ia sendiri pun terkejut; rasanya bukan hal ini yang ingin ia lalui di hari Sabtu nya yang indah sedari pagi.

“_Well, I was about to go back home and we accidentally met. As simple as that, I guess, Jimin...” Jaebeom menjawab setenang mungkin. Taehyung dan Jimin tidak boleh tahu bahwa suara bergetarnya sedang mencoba untuk keluar dari persembunyiannya.

Taehyung hanya mengangguk seolah-olah paham dan membuka suara. Jimin rasanya menyesal kemudian—mengapa ia tidak melayangkan tinjunya saja sedari tadi, saat mendengar Taehyung menjawab, “Ah, of course. Kak Jae, duduk dulu. Kita udah lama nggak ketemu. Please?”

Sahabat Jimin itu berusaha menjawab dan meminta dengan seramah mungkin. Tidak ada getar dibalik suaranya; namun ternyata getar itu merambat sampai ke kedua tangan halusnya. Jimin melihat kedua tangan Taehyung gemetar. Senyum Taehyung yang biasanya lebar, saat ini tidak terlihat di wajahnya.

Jaebeom mengangguk lalu menarik kursi di sebelah Jimin. Taehyung memberikan kode pada Jimin untuk duduk di sampingnya; yang langsung ditanggapi dengan sigap olehnya. Jimin mengambil duduk di sebelah Taehyung dan langsung meraih tangan sahabatnya; memberikan gestur untuk menenangkan sahabatnya.

Kedua tangan mereka bertaut; Jimin beberapa kali meremas tangan Taehyung dan mengelus pelan punggung tangannya. Ia berharap sahabatnya dapat mengurangi kegelisahannya dengan gestur darinya.

Suasana di meja itu diam; Jaebeom terlihat menunduk, sedang Taehyung masih terlihat kaget. Ia tiba-tiba teringat pada hari terakhir di mana mereka bertemu; saat Taehyung baru beberapa hari 'berpisah' dengan Bogum di lapangan itu.

Suasana hening ini membuat Taehyung kembali membuka kotak memorinya yang tertutup rapat di ujung seluk hati entah di mana. Taehyung tidak menyangka, kotak ini akan kembali lagi dengan kondisi menganga—lebih besar daripada saat terakhir kali ia memutuskan untuk membuang jauh-jauh memorinya.

Suasana ini, membuatnya ingin pulang sekarang juga; ingin berlari pada kekasihnya yang sangat ia cintai. Taehyung membutuhkan Jeongguk untuk menenangkannya. Taehyung butuh kekasihnya untuk memberitahu, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kekasihnya itu selalu tahu bagaimana cara membuat segalanya menjadi lebih baik.

Timbul rasa sesal dari dalam diri Taehyung; apa yang sebenarnya ia lakukan?

Jaebeom tidak tahan dengan keheningan yang menyelimuti meja ini; ia melirik ke arah Taehyung, seorang laki-laki di depannya ini masih terdiam dengan tatapan kosong. Sedang Jimin, sedari tadi sudah melayangkan tatapan marah padanya. Jaebeom lalu buka suara, mencoba untuk mencairkan suasana.

“Kalian berdua... apa kabar?”

Jimin terdengar mendengus. Ia kesal dengan encounter ini. Sahabatnya yang sedang menatap gelas sisa ice chocolate miliknya itu lalu mengangkat kepalanya dan menatap Jaebeom hangat.

Jaebeom melihat tatapan dari pemilik manik hazel itu seperti memancarkan sorot sedih dan lesu. Taehyung terlihat energy drained hanya dari tatapannya.

We've been okay. Kak Jae gimana?” Jimin merasakan tangannya diremas dengan kuat oleh Taehyung. Ia lalu dengan sigap mengelus pelan punggung tangan sahabatnya lagi.

Jaebeom menjawab dengan senyuman tulus. “Gue juga baik, Taehyung. You look good as always...” Menarik napas panjang, sambil akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. “Saw your photos hanging at the exhibition hall weeks ago.”

Jimin terbelalak mendengarnya. Emosinya yang tadinya sudah agak mereda, kembali melejit lagi bagaikan wahana menyeramkan di taman bermain. Bagaimana bisa? “You saw what?”

Taehyung hanya menaikkan sebelah alisnya sambil terheran. Bagaimana bisa ia melihat foto Taehyung di exhibition? Apakah ada seseorang di sekolahnya yang mengenal Jaebeom? Lelucon apa lagi ini?

“Ah... I visited your school event that week. Campus visit, remember? Gue jadi salah satu senior yang datang. Setelah itu, gue lihat sekilas foto lo dipajang, Taehyung.” Jaebeom terpaksa berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan soal dirinya mengetahui dari Luna, 'kan? Yang Jaebeom dapat tebak persis, cerita itu akan berakhir dengan membicarakan masa lalu Taehyung. Ia tidak ingin memperburuk suasana saat ini.

Berbohong sedikit lebih baik daripada ia harus mengorbankan apa yang sudah terjadi saat ini.

Jimin mendengarkan penjelasan Jaebeom sambil mengernyit. Memangnya, dunia benar-benar sekecil itu ya? Mengapa dari sekian milyar orang, harus Jaebeom ini yang menjadi salah satu senior yang hadir?

Namun dirinya mencoba mengingat, tidak mungkin seorang Jimin tidak menyadari sosok seperti Jaebeom di lingkungan sekolahnya. Menurutnya, hal itu kelewat aneh.

“Dan ya... do you know Tere from Photography club? She's my biological younger sister.” Jaebeom menyambung lagi.

Jaebeom tidak sadar, menyebut nama Tere sama saja dengan membuka kotak Pandora yang selama ini masih tertutup rapat.

Mendengar nama Tere, Taehyung rasanya ingin muntah saat itu juga. Dunia memang benar sedang bercanda dengannya. Sudah lama Taehyung tidak mengalami kejutan yang konyol seperti ini.

Tere—seseorang yang pernah mengidolakan kekasihnya gila-gilaan. Tere—seseorang yang membuatnya bertengkar dengan Jeongguk. Tere—seseorang yang—

Tunggu sebentar— Tere?

“Tere?” Hanya itu yang bisa Taehyung katakan dari bibir mungilnya, sesaat sebelum ia rasanya ingin pingsan saat itu juga. Kepalanya terasa panas; khawatir sebentar lagi akan meledak. Secara bertubi-tubi, memori yang ada di dalam kotak Pandora di otaknya keluar dengan cepat tanpa rem.

Taehyung rasanya tidak yakin bahwa ia dapat memproses fakta itu dengan cepat. Taehyung tidak sanggup.

Tere adalah adik kandung Jaebeom. Adik kandung.

Jeongguk memberitahunya saat itu, bahwa Tere adalah adik kandung dari senior di kampusnya yang ia kenal.

Tidak mungkin... ini bercanda, 'kan?

Taehyung rasanya ingin berteriak. Genggaman tangannya di tangan Jimin mengeras; ia merasakan sahabatnya itu meringis sambil beberapa kali membisikkan namanya. Ia tidak ingin mengetahui fakta selanjutnya. Namun pertanyaan krusial itu sudah sampai di ujung lidah Taehyung, memaksa untuk keluar dari mulutnya.

Ia merasa seperti dibohongi. Mengapa Jeongguk tidak pernah menyebutkan namanya, atau minimal menginfokan namanya?

Apakah ada yang kekasihnya sembunyikan?

Apakah... selama ini Jeongguk tahu cerita dibalik seorang Jaebeom?

Taehyung rasanya pening; kepalanya pusing. Ia harus bertanya. Ia hanya ingin memastikan. Walaupun dalam hati kecilnya, ia tahu betul akan tahu apa jawabannya.

“Kak Jae... do you know- do you know Jeongguk?”

Jaebeom yang ditanya hanya menggumam, lalu menjawab dengan santai; sama sekali tidak menyadari bahwa jawabannya itu akan berujung menyakiti si empunya pertanyaan. Jawabannya akan meruntuhkan kepercayaan itu lagi yang sudah Taehyung bangun sejak lama.

“Jeongguk? Jeon Jeongguk? Tentu gue kenal dia. Dia junior di sekolah yang gue kenal. Gue beberapa jam lalu sempat telfonan sama dia. Ada apa, Taehyung? Do you know him?” Tanyanya pada Taehyung dengan polosnya.