poetlady

magnolia ; i got you • 159

Sesaat setelah Taehyung membaca pesan dari Jeongguk dan membalasnya, ia langsung meminta izin pada Steve untuk kembali ke mejanya terlebih dahulu. Waktu telah menunjukkan hampir pukul dua belas siang saat itu, Taehyung dengan sigap langsung membuka browsernya di handphone dan mencari nomor telepon restoran yang disebut Jeongguk tadi dan me-reservasi meja untuk mereka berdua. Taehyung bergegas berjalan ke arah tangga gedung menuju lantai tiga, sambil tetap berkonsentrasi pada layar yang menunjukkan nomor telepon yang ia cari.

Taehyung sama sekali tidak tahu apa yang akan dibicarakan dengan Jeongguk, namun dengan penjelasan singkat Jeongguk yang mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan, Taehyung merasa lega dan sedikit bersemangat. Senyum tersungging di wajahnya, ia tidak sabar untuk segera sampai di lantai tiga gedung kantornya itu dan mengajak Jeongguk pergi.

Ruang kerja para staf Steve terdengar cukup ramai oleh Taehyung saat hendak memasuki ruangan. Ia mengernyitkan dahi, tidak seperti biasanya suara para rekan kerjanya akan terdengar sekencang ini jika belum menjelang jam istirahat kerja. Suara mereka seperti sedang berbincang dan tertawa, apa karena Steve tidak sedang di ruangan?

Saat Taehyung akhirnya membuka pintu kaca ruang kerja mereka, ia melihat Jeongguk sedang menyandarkan pantatnya di meja dengan Jimin yang duduk di kursi kerja agak jauh darinya, sedang mengobrol dengan Anggia, sang General Affair baru yang tadi pagi diperkenalkan oleh Steve padanya dan segenap tim. Taehyung hanya memutar kedua bola matanya dan berjalan ke arah Jeongguk, memperhatikan pria yang sepertinya sedang berkonsentrasi dengan apapun obrolan mereka, sehingga tidak melihat Taehyung datang.

“Gguk, sudah siap?” Tanya Taehyung sedikit kencang—berharap akan didengar, sambil mendekatkan tubuhnya ke Jeongguk dan menepuk bahu rekan kerjanya itu dan merangkul bahunya ramah. Jeongguk melonjak kaget karena suara Taehyung yang cukup keras, diikuti dengan kedua pipinya yang terlihat merah padam karena malu. Taehyung meringis kemudian, saat merasakan gigitan kecil yang terasa pedas pada lengannya.

Sedang Taehyung melirik ke arah Jimin yang terkekeh dan menutup mulutnya dengan telapak tangannya, menahan tawa. Rekan kerja mereka yang lain tidak begitu memperhatikan mereka, hanya sempat sekilas melirik ke arah Taehyung yang suaranya tadi terdengar cukup keras. Anggia yang posisi duduknya berada tepat di depan Jeongguk, lantas segera menggeser kursi kerja berodanya dan membenarkan duduknya. Taehyung, Jeongguk, dan juga Jimin tidak ada yang memperhatikan bahasa tubuh Anggia; semua perhatian tertuju pada Jeongguk yang sedang terlihat bersenda gurau dengan Taehyung dan melakukan sesi cubit-cubitan.

Ngagetin aja, sih?” Tanya Jeongguk dengan sedikit ketus namun terdengar suara tawanya kemudian oleh Taehyung, yang menurutnya, itu telah menjadi suara favorit Taehyung hari ini.

Mendengar Jeongguk mengeluh, Taehyung lantas menarik tangannya yang bertengger di bahu Jeongguk, memegang kedua bahu pria itu untuk menghadapnya. Jeongguk yang sedang berdiri di hadapan Taehyung itu hanya mengernyit bingung dan memiringkan kepalanya, melihat tingkah laku rekan kerjanya yang sangat aneh, tidak seperti biasanya. Taehyung sekilas mendengar suara siulan menggoda dari ujung ruangan yang ia tahu persis itu adalah suara Eunwoo dan Mingyu. Jimin terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya dan tergelak kemudian.

Taehyung tidak tahu apa yang membuatnya sangat berani hari ini, dengan spontan mendekatkan bibirnya ke arah telinga Jeongguk dan membisikkan sesuatu. “Ayo, sudah siap belum? Katanya mau lunch date berdua?”

Jeongguk hanya merespon dengan mencubit lengan Taehyung lagi, sambil memukul bahunya sedikit kuat. Taehyung meringis dibuatnya. Wajah Jeongguk sekarang terlihat memerah, seperti menghangat; pun kedua telinganya. Pria itu hanya bisa menggigit bibirnya dan mengangguk sambil menggelengkan kepalanya. Sedang Taehyung? Pria jahil itu hanya menyeringai sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun untuk menggoda Jeongguk.

Setelah momen saling goda yang terjadi persis di depan meja Taehyung dan Jimin itu, ia segera mengambil dompet dan kunci mobilnya di tas. Ia lalu berbisik dan pamit pada Jimin untuk pergi makan siang di luar kantor dan menawarkan jika sahabatnya itu ingin menitip sesuatu. Jimin lalu mengangguk dan memberitahu Taehyung bahwa ia akan melihat dulu di website dan akan mengirim pesan jika tertarik. Ia lalu berkata pada mereka berdua agar hati-hati di jalan dan segera duduk di kursi kerjanya lagi.

Anggia, wanita yang sejak tadi tidak diindahkan sama sekali sejak Taehyung menghampiri Jeongguk, akhirnya menghela napas berat saat melihat kedua rekan kerja barunya itu melangkah keluar dari ruangan sambil tersenyum pada satu sama lain. Wanita itu lalu menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya, seperti terkulai lemas dan melamun. Anggia tidak mengira bahwa Jimin mendengarnya dengan jelas. Pun batin Jimin bersuara, sepertinya ada yang harus kutanyakan.

“Bingung ya, Gi?” tanya Jimin kemudian, yang direspon oleh Anggia dengan menoleh padanya dan mengernyitkan dahinya bingung. “Emang modelan anak sini unik-unik, semoga lo betah ya sama tingkah laku kita,” sambung Jimin sambil terkekeh. Ia seperti melihat Anggia terkejut lalu tersenyum simpul, terkesan kikuk.

“Ah, nggak kok, Jimin.” Anggia menjawab dengan ragu-ragu, seperti ada yang ingin ditanyakan. Jimin hanya meresponnya dengan senyum, seperti tahu caranya memancing lawan bicaranya untuk membeberkan apa yang sedang ada didalam benaknya.

“Oh, oke deh. Kalau ada yang mau ditanyain, boleh lho. Since it's your first day,” Jimin membalas sambil berdecak, lalu mengetuk meja di depannya dengan jari-jarinya sebelum ia berdiri untuk pindah ke meja kerjanya.

Namun Jimin sepertinya menggerakkan hati dan benak Anggia yang sesak dengan banyak pertanyaan, karena setelahnya, Anggia memutar kursi kerjanya dan mencegat Jimin yang hendak kembali ke mejanya.

“Taehyung... dengan Jeongguk, pacaran ya, Jim?”

;

Jeongguk yang sudah sangat lapar segera membuka buku menu yang diberikan oleh pramusaji Okuzono dan mengincar beberapa makanan favoritnya untuk dipesan. Taehyung hanya tersenyum melihat tingkah laku rekan kerjanya itu sambil menggeser posisi handphone dan dompetnya hingga ke tembok kubikel tempatnya dan Jeongguk hendak makan siang. Taehyung tadi berhasil melakukan reservasi dan memilih meja yang diinginkan oleh Jeongguk. Kubikel mereka memang terlihat seperti rumah burung di atas pohon, karena membutuhkan beberapa anak tangga untuk sampai di meja mereka. Namun spot ini adalah tempat favorit Jeongguk, karena ia merasa privasinya terjaga.

Setelah menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk memilih menu dan memesan, akhirnya Jeongguk bisa menutup buku menunya dan menyerahkannya pada pramusaji untuk dibawa serta. Taehyung memesan Ruri Sushi Set untuk di-share dengan Jeongguk— merupakan jenis kohaku sushi yang menyajikan Kanpachi, Chirasi, dan Maguro Sushi Set dalam tiga mangkuk yang berbeda, dan Yakiniku Onigiri. Ia juga memesan Chirashi Don untuk dirinya sendiri. Sedangkan Jeongguk memilih untuk memesan cukup banyak menu untuknya sendiri, yakni Salmon Ikura Don dan Matsu Sashimi Mori yang merupakan sushi platter. Ia ingin menghabiskan waktu yang cukup lama dengan Taehyung hari ini. Jeongguk ingin bercerita seluruh 'rahasia'nya pada pria itu tanpa ada rasa gugup, yang menurutnya semua akan berlalu dengan lancar jika diiringi dengan makan siang.

“Taehyung, nanti gue mau dessert ya habis dari sini? Boleh? Kita ke Pison boleh, 'kan?” Jeongguk bertanya pelan sambil mengubah mode ponselnya menjadi silent, lalu menumpuknya diatas ponsel Taehyung di pinggir tembok. Jeongguk akhirnya mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk, menangkap basah Taehyung yang sedang memandangi wajahnya entah sejak kapan.

Something on my face ?” Tanya Jeongguk pelan sambil meraba-raba wajahnya, hendak mengambil handphonenya lagi untuk berkaca. Namun dengan sigap Taehyung meraih pelan pergelangan tangan Jeongguk dan meremasnya singkat, sebelum akhirnya ia letakkan kembali tangan pria itu diatas meja.

Taehyung lantas menggeleng sambil tersenyum teduh, membuat Jeongguk rasanya lemas karenanya. “Nggak. Instead, you look good today. Have I told you?”

“Taehyung, can you stop?! Please, don't do that so easily. Gue malu!” Jeongguk memekik pelan sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu menarik tangannya kembali dari wajahnya untuk menepuk-nepuk kedua pipinya. Terlihat keduanya memerah, membuat Taehyung terkekeh dan mengulurkan tangannya untuk menepuk pelan salah satu pipinya itu. Jeongguk hanya merespon dengan mendesis, seperti tidak yang diganggu, namun jelas Taehyung tidak takut dengannya.

“Iya, iya, maaf, Jeonggukie,” ujar Taehyung untuk meminta maaf sambil tetap menepuk pelan pipi Jeongguk yang duduk di hadapannya. “ But you look really good today. I miss you tho .”

Pria yang namanya barusan disebut dengan manisnya oleh Taehyung hanya dapat tersenyum dan membatin. Ia sangat suka dengan panggilan Jeonggukie. Namun, untuknya, hanya Taehyung yang akan ia perbolehkan untuk memanggilnya seperti itu. Cara Taehyung memanggil Jeongguk dengan lembut dan hati-hati layaknya madu yang diolesi diatas pancake favoritnya.

Sebenarnya, Taehyung ingin menarik tangan Jeongguk yang sedang menggantung di udara, menunggu untuk diraih; dan menggenggamnya. Namun Taehyung berusaha menahan dirinya, mengingat bahwa Jeongguk mengajaknya untuk makan siang bersama karena ada yang ingin ia ceritakan. Taehyung gugup. Ia penasaran dengan apa yang ingin Jeongguk ceritakan padanya.

Mereka berdua menghabiskan sekitar empat puluh lima menit untuk menghabiskan setengah makanan mereka. Terselip canda gurau dan cerita-cerita ringan saat menyantap makan siang mereka. Taehyung menunggu sampai Jeongguk siap. Ia tidak akan memancing Jeongguk terlebih dahulu. Kapanpun ia akan menunggu Jeongguk untuk mulai bercerita padanya.

“Tae, gue minta maaf, ya, kalau gue nggak ngerespon chat lo tadi pagi,” mulai Jeongguk tanpa aba-aba, yang membuat Taehyung tersedak makanannya saat mendengarnya dan dengan cepat menyambar gelas ocha dinginnya. Jeongguk pun dengan sigap mengambil beberapa lembar tisu dan menjulurkan tangannya untuk mengelap bibir Taehyung yang terlihat basah karena minumannya sedikit tumpah.

Jeongguk mencoba melemparkan senyum dan raut wajah sedang meminta maaf pada Taehyung, yang dibalas oleh pria di hadapannya dengan senyum sambil menepuk punggung tangan Jeongguk yang masih sibuk mengelap bibir Taehyung.

Thank you, Gguk,” balas Taehyung sambil tersenyum pada Jeongguk dan mengambil gumpalan tisu dari tangannya.

Setelah mereka berdua sudah sedikit tenang, Taehyung terkekeh akibat kejadian konyol yang baru saja terjadi, dan menularkan tawanya pada Jeongguk. Pria yang lebih muda usianya dari Taehyung itu akhirnya ikut tertawa. Mereka berdua merasa geli dan hanya dapat menggelengkan kepala.

Anyway, iya dimaafkan, kok. Gue juga minta maaf ya, Jeonggukie, kalau gue kelewatan. Gue tahu kok kalau gue memang benar kelewatan. I wasn't supposed to bombard your phone like that. I'm sorry.” Taehyung meminta maaf dengan tulus. Ia rasanya ingin cepat-cepat mengeluarkan semua keresahan dalam hatinya. Ia tidak ingin Jeongguk merasa tidak nyaman.

Semoga Taehyung tidak sampai membuat Jeongguk tidak nyaman seperti apa yang ada didalam pikirannya.

Jeongguk hanya membalasnya dengan menggumam, tanda mengerti akan apa yang diucapkan oleh Taehyung. Ia dengan tidak sadar sudah memainkan gelang yang ia pakai sampai hampir lepas. Jeongguk memiliki kebiasaan seperti ini jika sedang gugup. Entah gelang yang sedang ia pakai ini sudah gelang keberapa yang ia beli karena kebiasaannya yang membuat benda itu mudah molor dan rentan putus.

“Tahu nggak, Tae?” Jeongguk memulai dengan bertanya retoris pada Taehyung. Mungkin ini sudah saatnya menceritakan kekhawatirannya pada Taehyung. Ia ingat, kemarin adalah momen di mana ia yakin bahwa ia sudah mulai tertarik pada Taehyung.

“Ya, Jeonggukie? Tahu apa?” Respon Taehyung kemudian. Taehyung memandang Jeongguk lekat-lekat, sambil menopang dagunya dengan telapak tangannya. Ia seperti takut Jeongguk tiba-tiba akan hilang dari hadapannya.

I tend to push people away if I find them care too much about me.”

There.

Jeongguk akhirnya membeberkan hal yang selama ini dirinya sendiri takuti. Selama ini, Jeongguk hanya memendamnya dalam hati. Tidak satupun orang tahu tentang ini, bahkan Yugyeom. Ia tidak pernah secara gamblang mengeluarkan rahasia ini pada siapapun. Ia takut, ia khawatir. Jeongguk sudah menyadarinya sejak lama. Sebenarnya, salah seorang temannya dulu yang memberitahunya, yang membuatnya akhirnya sadar dan aware dengan hal ini.

“Oh.” Jawab Taehyung singkat kemudian. “I am aware, Gguk.”

Mendengar respon Taehyung, Jeongguk akhirnya menundukkan kepalanya. Tidak, ia belum selesai bicara. Ia tidak ingin Taehyung 'pergi' dan meninggalkannya, bahkan sebelum semuanya dimulai.

“Tapi gue tahu cerita lo belum selesai, Gguk. Go on, I'll be waiting until you're ready, okay?” Jelas Taehyung kemudian, yang tanpa Jeongguk sadari, puncak kepalanya merasakan kontak yang halus dan tersalur rasa sayang disana. Jeongguk akhirnya mengangkat kepalanya dan melihat Taehyung sedang tersenyum teduh ke arahnya sambil mengelus puncak kepalanya pelan.

Taehyung sangat pengertian. Jeongguk bisa melihat dari gestur dan pandangan sepasang manik hazel itu.

Yeah. A friend of mine once said, gue itu seperti orang yang sedang berdiri di pinggir pantai, sedangkan ombak dari laut mengguyur badan gue berkali-kali, tapi gue tetap bersikap masa bodoh.” Jeongguk akhirnya menjelaskan. Ia menghela napas berat sebelum akhirnya menyambung lagi. “Dia bilang, ombak yang 'nyerang' gue itu ibarat orang yang peduli sama gue, Tae. Sedangkan gue cuek aja gitu like there's nothing happened. No matter how bold they are, I won't care, at all.”

“Gue gampang tertarik sama orang, Tae. Jujur. Tapi, kalau mereka itu sudah menunjukkan kalau care sama gue sampai do anything yang menjurus seperti PDKT*, gue nggak akan segan to push them away from me.” Jeongguk menjelaskan sambil tertawa mengejek. Ia mengejek dirinya sendiri. Ia tidak tahu mengapa hal ini selalu terjadi padanya. Jeongguk benar-benar bingung. Ia berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya, namun tidak kunjung menemukannya.

“Gue takut, Tae. Di kepala gue isinya hanya pertanyaan ragu, apa mereka akhirnya akan ninggalin gue kalau tahu aslinya gue gimana? Itu yang selalu membuat gue cari cara apapun supaya bisa mendorong mereka jauh-jauh pergi dari hidup gue—”

“—tapi entah kenapa, hati gue bilang kalau dengan lo, semuanya akan beda, Tae. I don't know why I thought so, but I really want to keep you close to me.”

Tanpa sadar, Jeongguk sudah meraih tangan Taehyung dari puncak kepalanya dan menggenggamnya erat. Taehyung seperti tahu gestur itu, ia dengan sigap membalas genggaman Jeongguk erat. Ia meyakinkan Jeongguk bahwa ia tidak akan 'pergi' dalam waktu dekat. Justru sebaliknya, Taehyung rasanya ingin selalu berada didekat Jeongguk. Taehyung ingin Jeongguk mengizinkan dirinya untuk mencintai pria itu dengan sepenuh hati.

Taehyung akhirnya menghela napas lega sambil memandangi Jeongguk, sambil tanpa henti mengelus pelan buku-buku jari Jeongguk dengan ibu jarinya. “I will always be there for you, Jeonggukie. I promise, okay? I'm planning to stay for a long time, tho. Lo jangan khawatir. Ya?”

“Iya, Tae. Jangan pergi dari gue, ya?” Pinta Jeongguk pelan.

I won't. I promise.”

;

*PDKT = pendekatan

magnolia ; i got you • 137

Taehyung menstarter mobil Pajero Sport warna putihnya untuk memanaskan mesin. Ia sempat pamit untuk keluar dari restoran mendahului Jeongguk, yang sedang menunggu takeaway makanan untuknya di apartemen. Selama mereka berdua makan malam, tidak ada satupun raut kekecewaan muncul dari wajah Jeongguk, melainkan senyum lebar seperti kelinci dan tawa seperti habis menang lotre. Taehyung rasanya ingin berlama-lama mengulur waktu, sekadar untuk memandangi wajah pria yang ada di hadapannya tanpa ketahuan.

Memandangi wajah Jeongguk dan segala tingkah laku uniknya agaknya akan menjadi hobi barunya mulai saat ini. Taehyung rasanya geli dan aneh dengan dirinya sendiri. Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini saat dulu masih menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya. Walaupun hubungan tersebut berjalan hanya delapan bulan, namun selama itupun, ia tidak merasakan apapun yang membuat dirinya bahagia barang sedikitpun.

Kehadiran Jeongguk di kehidupan sehari-hari Taehyung layaknya fatamorgana yang muncul di aspal jalanan pada siang hari. Hidupnya yang selama ini menurutnya hanya berwarna abu dan monoton, dengan Jeongguk, menjadi berwarna.

Taehyung berharap, Jeongguk akan selalu seperti ini dalam waktu yang cukup lama.

;

“Tae, ngantuk ya?” Tanya Jeongguk pelan, memecah keheningan diantara keduanya, bisikannya bersaing dengan lantunan lagu dari handphone Jeongguk yang memenuhi seisi mobil. Sejak tadi mereka berdua bertolak dari restoran untuk pulang, Taehyung langsung menawarinya untuk menyambungkan telepon genggamnya itu pada music player di mobilnya. Tentu disambut dengan antusias oleh Jeongguk karena ia ingin sekali melakukan 'karaoke' di dalam mobil dengan pria yang lebih tua dua tahun darinya itu.

Jeongguk tidak tahu, Taehyung melakukan ini karena ia telah merencanakan beberapa langkah untuk lebih mantap mendekati Jeongguk. Salah satunya adalah dengan cara ini; ia ingin tahu selera musik pria itu tanpa bertanya sedikit pun. Anggaplah Taehyung gagap teknologi dan tidak mau repot, ia tidak pernah mencari tahu soal Jeongguk hingga sedalam itu (baca: kepo). Taehyung ingin mendekati Jeongguk dengan cara klasik, karena Taehyung tahu, Jeongguk pasti akan memberikan 'kejutan' untuknya dengan sendirinya.

Taehyung yang sedang berkonsentrasi sambil melihat kaca spion mobil untuk mengambil lajur kiri karena tidak sepadat lajur kanan, hanya merespon dengan menggumam. Jalanan hari Sabtu yang cukup padat mengakibatkan mereka menempuh jarak sepuluh kilometer dalam waktu hampir setengah jam.

“Nggak kok, Gguk,” jawab Taehyung sekenanya sambil melirik Jeongguk yang sedang memandangi dirinya. Taehyung merasa sorot sepasang manik hitam itu seperti sedang menembus kepalanya. Ia lalu melemparkan senyumnya yang teduh dan hangat pada Jeongguk sambil menaikkan salah satu alisnya sambil bertanya. “Kenapa, hmm? Bosen, ya, Gguk? Maaf ya, gue salah pilih jalan. Harusnya tadi kita lewat Semanggi aja, nggak Senopati gini.”

Tanpa sadar, Taehyung yang sedang tidak begitu aktif memegang setir karena jalanan yang macet, mengulurkan dan menaruh tangan kirinya pada sandaran kepala jok mobil yang persis berada di belakang kepala Jeongguk. Sedang tangan kanannya tetap memegang setir dan mengetuk-ngetukkan jarinya.

Jeongguk tidak kunjung menjawab pertanyaan Taehyung, ia terlihat sibuk dengan layar handphonenya, seperti sedang mencari lagu yang akan ia dengar selanjutnya.

“Hei, kok pertanyaan gue nggak dijawab?” Taehyung bertanya kemudian, sambil dengan refleks mengelus pelan puncak kepala Jeongguk yang tidak ditutupi beanie warna hitam, yang sempat ia pakai sejak siang tadi saat bertemu Taehyung di lobi apartemen.

Selang beberapa saat, akhirnya Jeongguk menghela napas dan tersenyum, seperti sudah menemukan apa yang ia cari. Ia lalu menoleh ke arah Taehyung dan menunjukkan deretan giginya, hendak menjawab pertanyaan Taehyung. “I am choosing the next songs, Taehyung. Tunggu dulu sebentar,” jawab Jeongguk sambil melirik tajam lalu memutar kedua bola matanya.

Taehyung tidak melewatkan geraman kecil yang keluar dari mulut Jeongguk. Ia lalu tergelak dan membalas jawaban Jeongguk dengan nada jahil.

“Galak banget, sih. Kalau lapar ngambek, kalau kekenyangan ngomel ya?” Goda Taehyung kemudian, yang seketika dibalas oleh Jeongguk dengan cubitan pedas di lengan kirinya. Taehyung hanya bisa meringis dan tertawa keras, melihat kedua pipi Jeongguk yang tiba-tiba memerah seperti terkena sinar matahari. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.

Sedangkan Jeongguk, hanya bisa tersenyum malu dengan wajah merah padam. Telinganya pun terasa menghangat, ia sudah tahu pasti keduanya sebentar lagi akan memerah seperti sedang direbus. Ia lalu menggumam, merespon pertanyaan Taehyung yang begitu personal untuknya. Hanya beberapa anggota keluarganya dan Yugyeom selaku sahabatnya, yang mengetahui kebiasaan Jeongguk sejak kecil. He's working on it.

“Iya, bisa dibilang begitu. Actually you've just unlocked another habit of mine, I guess, Tae,” jawab Jeongguk sambil terkekeh, merasakan gerakan telapak tangan Taehyung yang sudah kembali lagi mengusap puncak kepalanya dengan pelan. Jeongguk merasa nyaman dan aman. Entah, ia pun merasa senang berkesempatan untuk melihat sisi Taehyung yang lain, seberapa ia sangat hati-hati dan bersikap sangan lembut pada Jeongguk. Berbeda dengan segala tingkah laku dan sikapnya saat mereka bekerja di kantor.

Ia tahu, Taehyung adalah orang yang sangat profesional dalam bekerja, dan ia merasa beruntung bisa mengenal sisi lain Taehyung lebih dekat seperti saat ini. Walaupun singkat, namun ia merasa seperti sudah bisa menyelami lautan yang Taehyung miliki.

Jeongguk lalu menempelkan pipinya di sandaran kepala jok, lalu menarik kedua kakinya keatas jok untuk bersila, tentu sudah seijin Taehyung, dengan respon “do whatever you want to do, Gguk. I don't mind at all.” Jadi seperti inilah Jeongguk sekarang, dengan posisi yang nyaman dan memusatkan pandangannya pada Taehyung.

Untuk Jeongguk, hari ini sangat menyenangkan, ia dapat 'mengenal' Taehyung lebih jauh. Walaupun ia belum tahu, ke mana arah pertemanan diantara mereka ini.

Saat mereka berdua sedang membicarakan tentang suasana di kantor akhir-akhir ini, dengan diselingi tawa, Taehyung tiba-tiba mendengar speaker mobilnya melantunkan instrumen yang dimainkan dengan piano, ukulele, dan gitar. Ia sangat mengenal instrumen ini. Taehyung lantas memotong pembicaraan mereka, hendak mengalihkan pembicaraan sambil menoleh ke arah Jeongguk cepat.

“Keshi? Really? Lo juga suka sama dia, Gguk?” Tanya Taehyung dengan antusias, menunggu respon Jeongguk di sampingnya yang terlihat hanya tersenyum lebar padanya. Taehyung lantas tersenyum, lalu menyentuh pipi Jeongguk dengan jarinya sambil memencet kulit kenyalnya itu pelan.

Sederhana memang, sungguh sederhana. Namun hal ini, membuat Taehyung merasa seperti menemukan celah baru antara mereka yang siap untuk 'diisi'.

Taehyung ibarat potongan puzzle, dan Jeongguk adalah bidangnya.

Anak tunggal keluarga Jeon itu hanya mengangguk dan menatap Taehyung teduh. “Yeah, I guess we do, Tae. Gue suka banget Magnolia. Enak banget ya, instrumennya? I do like it a lot.”

Taehyung terdiam, mengambil jeda, lalu menjawab pertanyaan Jeongguk singkat.

It suits you, tho, Gguk,” balas Taehyung pelan, namun tetap terdengar oleh telinga Jeongguk dengan jelas.

Jeongguk merespon dengan nada bingung sambil mengernyitkan dahinya. “Huh? The song? Why?

Taehyung tidak pernah mengira sebelumnya, dan selamanya tidak akan mengira, bahwa jawabannya kemudian, membuat Jeongguk yakin bahwa ia benar sudah jatuh cinta dengan Taehyung.

Sesederhana satu kalimat itu, Jeongguk akhirnya mengakui didalam hatinya bahwa ia benar jatuh cinta pada pria itu.

Yeah, Magnolia suits you a lot, Jeongguk. Beautiful. You so are.”

magnolia ; i got you • 076

Yeah, jadi gitu lah ceritanya, kenapa dulu gue bisa terdampar kerja di sini, sampai sekarang. Aneh, emang. Tapi aneh begitu juga gue udah jalan kerja tahun ketiga, tahu nggak sih,” jelas Taehyung sambil tertawa kikuk. Jeongguk terlihat sangat tertarik dengan ceritanya, padahal menurut dirinya sendiri, cerita ini membosankan. Tidak ada menarik-menariknya sama sekali.

Kejadian beberapa saat lalu di lift membuat pikiran Jeongguk sedikit ringan. Ia hanya menghela napas panjang lalu mengangguk, menggerakkan tangannya untuk mengelus punggung Taehyung pelan, tanpa suara. Jeongguk ingin memberi sinyal pada Taehyung, bahwa kata-kata yang ia ucapkan sangat mujarab untuknya. Ia merasa senang? Lega? Entahlah. Mendengar seorang Taehyung yang notabene adalah teman sekaligus musuh sehari-hari memujinya, tentu membuat Jeongguk seharusnya mengernyitkan kening. Namun tidak. Jeongguk malah bersyukur karena memiliki Taehyung saat ini disampingnya. Ia ibarat sedang melihat sisi Taehyung yang lain. Taehyung tidak perlu tahu bahwa Jeongguk tengah tersenyum malu dan merasakan bulu kuduknya meremang disampingnya.

Jeongguk hanya menanggapi dengan menggumam, memainkan gelas wine di tangannya dengan memutar. Berpikir, dan berpikir. Cerita Taehyung cukup sederhana. Ia melamar di beberapa perusahaan dan that's it, dengan skill yang memadai, Steve dengan senang hati menerimanya untuk bergabung. Tidak butuh waktu lama hingga Taehyung akhirnya mengajukan surat pengunduran diri di agensi sebelumnya dan 'berpindah rumah' ke tempat kerjanya sekarang.

“Kalau lo, Gguk? Alasan lo milih kerja bareng Steve, apa?” Tanya Taehyung singkat sambil menyesap white wine dari gelas di tangannya, sambil menopangkan tangannya di sandaran sofa. Mereka berdua duduk menghadap ke arah jendela apartemen Jeongguk, terlihat kendaraan bermotor di luar jalan yang masih memancarkan sinar merah di kedua arah. Lalu lintas malam hari ini cukup padat. Taehyung beruntung menawarkan dirinya untuk mampir ke apartemen Jeongguk. Setidaknya, ia dapat menghindari macetnya hari Jumat malam di awal bulan yang membuatnya malas. Semua orang, garis bawahi, semua orang sepertinya benar-benar pergi di mal dan/atau restoran untuk menghabiskan uang.

Taehyung memandang wajah rekan kerja di hadapannya itu, meneliti letak beberapa tahi lalat kecil yang menghiasi kulit putih Jeongguk yang terlihat bersih. Ia sepertinya sempat mencuci muka saat pamit ke toilet tadi. Pun tidak terlewat, sekilas ia memperhatikan bekas luka di pipi kiri Jeongguk. Taehyung membatin, suatu saat mungkin ia akan bertanya pada Jeongguk, cerita dibalik bekas luka itu.

Jeongguk hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan sederhana itu, mengangkat rambutnya naik, yang menutupi dahi dan menyesap winenya. Ia mengecapnya tiga kali sebelum menjawab pertanyaan Taehyung.

“Gue tadinya mau ngelamar ke perusahaan tempat temannya Yugi kerja. Anyway as you already know, dia itu sahabat gue, udah lama banget.” Jawabnya santai sambil mengarahkan tubuhnya untuk menghadap Taehyung, refleks membuat senyum gigi kelincinya muncul dari bibir mungilnya. Ia sadar betul sempat melihat Taehyung tersenyum kikuk karenanya. Membuat Jeongguk merasakan kedua pipinya menghangat. Mungkin karena pengaruh wine ini, pikirnya.

“Terus, ya... waktu gue jemput Yugi di kantor, gue iseng bilang kalau gue mau ngelamar di sana. Well, bokapnya kayaknya langsung nyantol sama gue, jadi langsung deh, gue interview dengan Steve beberapa hari kemudian,” sambungnya sambil tertawa. “And the rest is history. Lucu, ya?” Jeongguk bertanya retoris. Selama ini, Jeongguk merahasiakan cerita itu dari siapapun, kecuali Yugyeom, sahabatnya. Ia tidak mau orang tahu bahwa bergabungnya Jeongguk ke perusahaan Steve memiliki unsur bantuan dari Yugyeom. Padahal, Steve sebelumnya sama sekali tidak tahu bahwa putranya dan Jeongguk bersahabat dekat. Keputusan Steve untuk menerima lamaran kerja Jeongguk adalah karena melihat resume Jeongguk yang sesuai dengan kriterianya. Tentu, Steve tidak pernah lupa untuk 'mengingatkan' Jeongguk setiap kali dirinya selesai mengerjakan kewajiban pekerjaannya.

Taehyung hanya menggelengkan kepala sambil tertawa renyah. Ia tahu persis cerita sebenarnya, karena Steve pernah memberitahunya beberapa waktu lalu saat beliau dan Taehyung sedang di salah satu restoran di bilangan Kuningan, persis setelah mereka berdua bertemu dengan salah satu klien lama perusahaan. Taehyung hanya berharap, semoga Jeongguk selalu ingat akan pencapaiannya selama ini, yang selalu membuat Steve bangga dan senang memiliki aset seperti Jeongguk di perusahaannya.

I believe you have something more and more than just being a friend of Yugi's, Gguk. Lo itu punya potensial yang besar, kok. I know that. Kerja bareng sama lo berkali-kali dan selalu satu tim setiap project, buat gue sudah lebih dari cukup untuk tahu dan sadar akan itu.” Taehyung beralih menjadi serius.

Ia ingin 'menyadarkan' Jeongguk bahwa dirinya lebih dari cukup. Walaupun Taehyung sering sekali 'menggoda' Jeongguk di kantor, namun ia selalu memperhatikan rekan kerjanya itu, pun dengan kebiasaannya. Bagaimana Jeongguk saat bekerja selalu fokus dan tidak peduli dengan keadaan sekitar, bagaimana Jeongguk yang perfeksionis selalu memastikan pekerjaannya akan sesuai dengan guidelines dan keinginannya, dan bagaimana Jeongguk selalu tersenyum saat pekerjaannya sudah selesai. Taehyung menyaksikan semuanya itu. Untuknya, Jeongguk adalah seseorang yang hampir selalu menjadi contoh yang ingin ia ikuti.

Taehyung lalu meletakkan gelas winenya di meja kaca di depan mereka, lalu mengarahkan tubuhnya untuk menghadap ke arah Jeongguk. Menggerakkan tangannya dan mengelus pelan bahu Jeongguk. Merasakan Jeongguk yang lebih menempelkan kepalanya pada punggung tangan Taehyung, terlihat nyaman dengan gestur sederhananya.

“Istirahat sebentar, take a time out for yourself. Don't force yourself too much, Gguk. Lo bakal stres sendiri nantinya. Gue tahu, gampang banget ngomong gini meanwhile gue mengalami hal yang sama, tapi nggak ada salahnya untuk step back for once in a while, kok.” Taehyung berkata pelan, ia takut melewati batas. Hell, ia saja tidak tahu seperti apa status hubungan pertemanannya dengan Jeongguk. Ia tidak ingin membuat Jeongguk tidak nyaman. Ia hanya ingin menjadi teman cerita Jeongguk malam ini.

“Ambil cuti, berapapun yang lo mau ambil. Steve kasih kebebasan kita untuk cuti kapanpun, 'kan? Sekarang, 'kan, kita belum ada project lagi. Nggak apa, take your time as long as you need. Even cuman di Jakarta.” Taehyung lalu menarik tangannya dan mengetuk pelan kening Jeongguk yang tertutup rambut hitam lebatnya. “This, needs to rest for a bit. Mesin juga butuh istirahat, Gguk. Bisa panas dan ngebul, even meledak kalau dipaksa kerja terus.”

Jeongguk hanya bisa diam seribu bahasa. Ia tidak tahu harus menanggapi Taehyung dengan jawaban seperti apa, because he knows Taehyung is right. Manusia tidak bisa serta merta bekerja terus-menerus tanpa henti. Jeongguk sendiri pun tahu ia mengutamakan pekerjaannya more than anything, more than his me time. Ia rasanya hanya dapat mengeluh sendiri selama ini. Semuanya yang ia alami hanya ia telan bulat-bulat, tanpa menceritakan pada siapapun, tidak terkecuali Yugyeom. Setiap kali sahabatnya itu bertanya keadaannya, ia hanya membalas bahwa dirinya baik-baik saja. Ia tidak ingin menunjukkan sisi vulnerablenya pada siapapun.

Namun Taehyung, mungkin rekan kerja Jeongguk itu ahli dalam membaca pikiran dan gestur tubuh seseorang, sehingga ia seakan dikupas oleh Taehyung layaknya bawang bombay yang berlapis. Hanya Taehyung yang bisa menembus labirin pikirannya hingga titik tengah. Jeongguk hanya bisa menghela napas berat sambil memijat kedua pelipisnya.

“Iya, Tae... I guess I should.” Jeongguk merasakan kata-kata Taehyung membuatnya nyaman dan rasanya, beban pikirannya jauh lebih berkurang. Jeongguk rasanya memang membutuhkan perhatian seperti ini, karena selama ini, ia merasa sendiri. Aneh, bukan? Ia memiliki cukup banyak teman, namun ia selalu merasa sendiri.

Taehyung hanya tersenyum dan lalu mengelus pelan puncak kepala Jeongguk, sebelum akhirnya menepuk pelan ubun-ubunnya. Jeongguk terlihat meringis, lalu memutar kedua bola matanya sambil mencubit lengannya. Taehyung hanya bisa tertawa sambil ikut meringis, dan mendengar Jeongguk mengaduh dan mengeluh.

“Sakit, Taehyung! Mulai lagi deh, malesin.” Jeongguk setengah berteriak sambil melirik tajam kearah Taehyung.

“Iya, iya, maaf. Iy— aduh, sakit, Gguk!” Ia meringis sambil tetap tertawa lebar, yang ternyata, tertular dengan cepat pada Jeongguk. Pria yang lebih muda usianya dua tahun dari Taehyung itu akhirnya tersenyum lebar dan tertawa karenanya.

And for Taehyung, it's totally okay, at least he already made Jeongguk happy tonight.

magnolia ; i got you • 073

Ini adalah kali kedua Taehyung berkunjung ke apartemen Jeongguk, yang pertama terjadi saat beberapa tahun lalu Taehyung adalah orang terakhir di kantor; ia masih berkutat dengan deadline yang sangat mendadak dari (mantan) atasannya, mengatakan bahwa desain grafis untuk project penting harus selesai esok hari. Ia melirik ke arah meja Jeongguk sambil meregangkan tubuhnya yang pegal, melihat tas kecil Jeongguk masih tertinggal diatas meja. Taehyung tahu persis, benda itu termasuk benda penting salah satu rekan sekantornya.

Saat itu, Taehyung belum menduduki jabatan Head Graphic Design seperti sekarang. Ia hanyalah seorang staf, jauh sebelum Jimin bergabung di perusahaan tempatnya bekerja dan membantunya. Membaca pesan singkat dari sang atasan, ia hanya dapat menanggapi dengan mendengus kasar. Tentu dengan melirik tajam ke arah meja atasannya dan berdoa didalam hatinya, semoga beliau tiba-tiba mengalami sakit perut dan tidak masuk kerja esok hari. Kelewatan, memang. Tetapi permintaan mendadak seperti ini sudah sangat sering terjadi.

Rasanya seperti durian runtuh mengenai kepalanya, saat Steve mengumumkan bahwa atasannya akan digantikan oleh Taehyung seorang. Seketika kepala Taehyung dihujani oleh beberapa pertanyaan, rejeki dan tantangan baru macam apa yang tiba-tiba menghampirinya? Bersyukur ia memiliki Yugyeom sebagai teman dekat di kantor, yang kebetulan adalah putra kedua dari Steve. Sang arsitek in-house kebanggaan Steve memberitahu Taehyung bahwa sang mantan atasan diputus kerja oleh ayahnya karena kepergok melakukan main belakang dengan beberapa klien. Efek yang dihasilkan pun sangat kuat, tagihan yang terbayar tidak sesuai dengan yang diharapkan; yang ternyata berbelok dan membuat pundi uang sang mantan atasan menggendut. Taehyung hanya bisa mengerjapkan sepasang mata hazelnya sembari membuka-tutup mulut layaknya ikan kehabisan napas. Baginya, sang mantan atasan selama ini terlihat jujur dan main bersih. Well, ternyata perkiraan Taehyung salah selama ini.

Taehyung sedang sibuk bermain game diponselnya sambil bersandar pada sofa empuk di outdoor kafe yang terletak di lobi apartemen Jeongguk, saat rekan kerjanya itu memberi kabar bahwa ia sudah sampai di apartemen. Taehyung hanya memesan cokelat hangat, yang ia rasa sangat tepat untuk membuat tubuhnya lebih rileks, pun sebagai penghangat dari cuaca dingin yang menyelimuti Jakarta hari ini.

Jujur, Taehyung hari ini sudah sangat lelah dan suntuk dengan pekerjaan yang tidak kunjung selesai di kantor. Desain yang hampir rampung dengan feedback yang diberikan oleh klien awalnya membuat Taehyung semangat, namun lama-kelamaan membuatnya muak. Entah mengapa, istri sang klien tiba-tiba menghubungi Taehyung (aneh, bukan?), memintanya untuk menambahkan beberapa aksen pada desain, yang menurut pendapat pribadinya, sangat absurd.

Namun, ya, apalah Taehyung? Ia hanya bisa menuruti dan mengkonsultasikannya pada Steve. Saat sang empunya kendali mengiyakan, tidak ada lagi yang bisa Taehyung lakukan selain mengikuti.

Ia lantas tersenyum, membalas pesan Jeongguk untuk bertemu dengannya di depan lift utama. Taehyung mengusulkan pada Jeongguk untuk tidak repot-repot berjalan ke arah lobi yang cukup jauh. Taehyung meregangkan tubuhnya sedikit, menyambar paper cup berisi cokelat panas diatas meja dan menegaknya hingga tandas dengan cepat. Ia khawatir Jeongguk menunggu terlalu lama. Taehyung lalu berdiri dari duduknya, mengambil tas laptop dan sling bag miliknya yang ia letakkan disampingnya tadi.

Taehyung berharap, dengan kehadirannya menemani Jeongguk akan cukup membuat rekan kerjanya itu merasa lebih baik.

Setidaknya, Taehyung berharap ketulusannya ini pun akan menjadi langkah awal yang baik.

;

“Tae, sori ya, lama banget gue sampainya. Macet parah di Blok M. Banyak yang ngetem di pinggir jalan,” keluh Jeongguk pelan sambil menghela napas, saat lift berhenti di lobi dan terbuka. Jeongguk melihat Taehyung berdiri di sisi luar lift, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Ia tahu Taehyung sudah lelah, terlihat jelas pada raut wajah tampannya. Namun entah apa yang ada di pikiran Jeongguk beberapa saat lalu, dengan nekatnya mengirim pesan singkat pada Taehyung, hanya untuk mengajak rekan kerjanya itu mengobrol. Ia butuh teman cerita, cukup lelah akan work load akhir-akhir ini yang membuatnya ingin berteriak. Bekerja seorang diri seperti one man standing sebenarnya perlahan membuat Jeongguk terbiasa. Namun entah mengapa, serangan bertubi-tubi yang datang hanya dalam rentang waktu kurang dari dua belas jam hari ini, membuatnya ingin muntah.

Pun seorang Jeongguk tidak menyangka, Taehyung menawarkan diri untuk menemaninya dengan berkunjung ke apartemennya. Rasanya segala beban yang sedang ia tanggung menjadi jauh lebih ringan.

Taehyung melangkah masuk kedalam lift, lalu menepuk pelan bahu Jeongguk saat berdiri bersisian. Senyum lebar merekah di wajahnya, menarik kedua ujung bibirnya keatas seperti bulan sabit, menampilkan senyum kotak, yang sangat khas Taehyung.

That's okay, Jeongguk. Tenang aja. Gue tadi juga pas lagi deket sini, kok.” Taehyung berkata, lalu menarik tangannya dari bahu Jeongguk yang tegang perlahan mengendur. Ia lalu melihat Jeongguk mengulurkan tangannya untuk memencet tombol angka lima belas. Jeongguk hanya menggumam, lalu perlahan tersenyum padanya.

Suasana dalam lift terasa sunyi. Lidah Taehyung seperti kelu, otaknya terasa membeku. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk memulai pembicaraan dengan Jeongguk. Hanya terdengar suara napas lelah diantara mereka berdua. Taehyung lalu berdehem dan melirik ke arah Jeongguk yang terlihat mengetuk-ngetuk jarinya di kedua pahanya. Ia berharap, kata-kata pujiannya kemudian dapat membuat seseorang disampingnya itu merasa lebih baik.

Has someone told that you've done a great job today, hmm?”

Seketika, Jeongguk menghentikan gerakan jarinya, menoleh cepat ke arah Taehyung dan menatapnya dengan sorot aneh. Jeongguk merasakan desiran aneh menjalar disekujur tubuhnya. Belum. Jawabannya adalah belum. Belum ada satupun orang yang mengatakan hal itu padanya. Jeongguk ingin menjawab, namun tidak ada satu patah katapun keluar dari mulutnya. Suaranya seperti macet dan buntu tepat dikerongkongannya.

Taehyung melihat reaksi Jeongguk itu dan merasa bersalah. Ia merasa seperti sudah kelewat batas, lalu memutuskan untuk membuka mulut dan menyambung kata-katanya.

“Eh, sori, gue kelewa—”

No, Taehyung. No one has,” potong Jeongguk cepat sambil menggeleng. Ia menghela napas kasar, suaranya tadi terasa seperti bergetar. Jeongguk lantas mengambil napas panjang dan mengatur raut wajahnya. Tidak ingin Taehyung melihat sisinya seperti ini. Ia tidak berencana untuk menunjukkan rasa sedihnya pada rekan kerjanya itu hari ini. Ia hanya ingin bersantai malam ini, duduk di sofa yang terletak didepan televisi yang menyala. Ia ingin bercerita tentang apapun dengan Taehyung. Ia sudah merencanakan akan memesan piza kesukaannya dan membuka satu botol wine favoritnya yang bertengger manis di wine chiller miliknya.

Namun Taehyung, dengan segala kelembutan dan kebaikannya, seperti mengetuk sisi lembut Jeongguk dan membuatnya ingin menyandarkan kepalanya saat ini juga pada bahu Taehyung. Ia tidak peduli dengan CCTV yang terarah pada mereka berdua didalam lift. Jeongguk rasanya ingin mengutarakan seluruh keluh kesahnya pada Taehyung saat ini juga.

Rekan kerja Jeongguk itu seperti mendengar suara hatinya, saat tiba-tiba Taehyung mengulurkan tangannya dan merangkul ramah bahunya. Layar petunjuk lift memperlihatkan angka sepuluh, tiga lantai lagi menuju flat apartemennya. Jeongguk hanya bisa menghela napas berat saat mendengar Taehyung berkata pelan di puncak kepalanya.

You've done a great job today, bud. And I'm so proud of you.”

magnolia ; i got you • 050

Menurut Jeongguk, hubungannya dengan Taehyung tergolong sesuatu yang sangat aneh. Entah itu pertemanan, permusuhan, atau per-per lainnya yang setiap hari selalu berubah. Dinamis. Rekan-rekan mereka berdua di kantor tak jarang berusaha untuk lebih 'mendekatkan' hubungan mereka berdua, yang pada awalnya, selalu dihindari oleh Jeongguk.

Karena menurutnya, adalah hal yang konyol jika ia jatuh cinta dengan rekan kerjanya sendiri.

Yang sialnya, omongan ucapan Jeongguk beberapa tahun lalu itu layaknya doa yang selalu ia rapalkan setiap hari.

Genap empat tahun sudah Jeongguk bergabung di perusahaan tempatnya bekerja dan bertemu dengan Taehyung beberapa bulan kemudian. Pada awalnya, Jeongguk bergabung dengan status menjadi staf marketing, yang tentu disambut dengan antusias olehnya. Saat melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, Jeongguk memang tidak mengharapkan apapun sama sekai. Singkat kata, ia tahu betul dirinya baru saja lulus dari jurusan Komunikasi di Universitas Indonesia, dengan program studi Marketing. Setidaknya, target Jeongguk untuk bekerja adalah mencari pengalaman untuk dirinya mengasah segala ilmu dan kemampuan yang ia dapat semasa kuliah.

Seiring berjalannya waktu, Jeongguk dipercayakan oleh perusahaan dan atasannya untuk menangani beberapa event dan program marketing untuk perusahaan. Tentu Jeongguk merasa beruntung karena dengan hal itu, basic skill yang ia miliki dalam hal networking dapat ia lakukan. Jika boleh jujur, Jeongguk bukanlah seseorang yang mudah untuk terbuka dan bercengkrama dengan orang lain. Namun ia bersyukur, lingkungan di perusahaan tempatnya bekerja ini membuatnya semakin terbuka dalam segala hal.

Maka tak heran, berkat kerja keras dan skill yang dimiliki, Jeongguk telah menjabat sebagai Head Marketing di perusahaan itu selama dua tahun. Rasanya ia tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan dan juga tantangan yang diberikan. Ia merasa belajar setiap hari. Ia pun beruntung memiliki atasan yang mendukungnya mengeksplor kemampuannya. 'Pak Bos', begitu sebutan pemilik perusahaan tersebut memang cukup dekat dengan para timnya dan selalu berusaha untuk menciptakan suasana yang damai dan positif.

Sampai pada akhirnya, Taehyung 'hadir' dalam 'ring' hidupnya, layaknya hujan badai di siang hari yang terik.

Hidupnya terlalu berwarna. Seperti pelangi.

Semua itu berawal saat setahun lalu, atasannya mulai mengekspansi bisnisnya yang membutuhkan Jeongguk sebagai pengendali marketing dalam project baru mereka, dan Taehyung, yang merupakan Head Graphic Designer perusahaan itu. Setelah Taehyung lulus dari jurusan desain grafis di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia sempat bekerja di beberapa agensi sampai akhirnya bergabung di perusahaan tempatnya bekerja sekarang.

Setelah sekitar enam bulan bekerja, Taehyung merasa membutuhkan bantuan dan akhirnya mengajak sahabatnya, Jimin, untuk bergabung. Saat itu, Jimin sedang dalam ambang resign dari tempat lamanya bekerja, karena beberapa hal yang semakin lama membuat sahabat Taehyung itu merasa tidak cocok. Akhirnya dengan berbagai proses dan interview, Jimin bergabung menjadi karyawan tetap dan di-assign untuk bekerja satu tim secara permanen dengan Taehyung.

Pada project pertama mereka, Jeongguk dan Taehyung ditunjuk oleh atasan mereka untuk menjadi penanggung jawab. Tidak membutuhkan waktu lama, hanya satu bulan mereka habiskan untuk berkomunikasi dan berkoordinasi secara intens satu sama lain hingga pilot project itu selesai. Hasil yang memuaskan dan banjir pujian tentu langsung dikantongi, menjadi poin penting dalam resume pribadi mereka yang wajib untuk dibanggakan.

Dalam kurun waktu satu bulan, Taehyung dan juga Jeongguk benar-benar lengket. Chemistry, komunikasi, dan kerja sama mereka seringkali dipuji oleh Steve, atasan mereka sekaligus pemilik perusahaan, bahkan rekan kerja satu lantai mereka. Tak terkecuali Jimin, yang selalu berperan sebagai 'pemanis' dalam hubungan profesional mereka. Jeongguk merasa beruntung, memiliki rekan kerja yang satu 'frekuensi' dengannya. Hal itu membuatnya merasa nyaman. Sebenarnya.

Namun Taehyung, seorang pria yang lebih tua dari Jeongguk dua tahun usianya, memang terkenal diantara mereka sangat jahil. Tak jarang keduanya tidak sengaja 'bertengkar', karena Taehyung mengusili Jeongguk hingga membuatnya kesal. Jimin seringkali menjadi 'penengah' jika kedua temannya itu sudah mulai meninggikan nada bicaranya saat berargumen. Sebenarnya, semua pertengkaran mereka berawal dari sahut-menyahut tentang hal yang sepele. Jeongguk yang tidak mau kalah, dan Taehyung yang tidak pernah menyerah dalam menjahilinya, membuat mereka sering 'bertengkar' hebat.

Dari sanalah, perjalanan 'cinta' mereka dimulai.

A Karma

Pagi ini, Taehyung sangat bersemangat untuk memulai harinya karena akan berkeliling Tokyo. Ia, Jeongguk, dan Jimin sudah memiliki list beberapa tempat menarik dan terkenal di Tokyo. Mereka sudah menyusun jadwal dan itinerary sedemikian rupa sehingga semua wishlist mereka tercapai. Mereka bertiga sudah berjanji pada satu sama lain sejak kemarin, bahwa hari ini akan bertolak dari hotel pukul delapan pagi. Bangun pagi adalah suatu keajaiban, mengingat mereka bertiga tidur sangat larut pada malam sebelumnya.

Setelah Bunda Kim memberitahu Taehyung bahwa Mama Jeon membawa makanan yang cukup banyak tadi malam, ia langsung berlari kecil menuju kamar mandi dan mengetuk pintu cukup kencang. Taehyung memberitahu Jeongguk bahwa Mamanya membawa banyak sekali oleh-oleh. Tentu Jeongguk langsung mempercepat kegiatannya di kamar mandi dan berhambur ke luar, masih dengan rambut yang basah karena sehabis keramas. Taehyung, Jeongguk, dan Jimin sebenarnya sempat menyantap makan malam di kedai ramen terkenal di Tokyo. Namun memang, menyantap ramen setelah menghabiskan waktu seharian bermain di Disney Sea Tokyo belum cukup bagi mereka. Maka Jeongguk sangat antusias saat mendengar bahwa Mamanya membawa makanan, yang ia tahu persis, beliau pasti membawakan favoritnya.

Setelah berpamitan dengan Mama Jeon dan Bunda Kim, mereka akhirnya keluar dari hotel dan disambut dengan udara sejuk pagi hari Tokyo. Tidak terlalu banyak orang yang berlalu-lalang di depan hotel mereka menginap, mengingat hari ini adalah hari Selasa, dan letak hotel mereka tidak begitu dekat dari pusat perkantoran.

Tersenyum lebar, Jeongguk lalu menggandeng tangan Taehyung yang tenggelam dibalik sweaternya, merasakan telapak tangan kekasihnya yang agak dingin.

“Tae, sayang, kamu kedinginan?” Tanya Jeongguk lembut, sambil menyelipkan hotpack pada telapak tangan mereka berdua yang tengah bertaut. Taehyung menggelengkan kepalanya, namun tetap meremas hotpack yang diberikan oleh kekasihnya itu. Jimin di sampingnya terlihat berjalan bersisian dengan mereka berdua sambil mengangkat handphonenya tinggi-tinggi. Tak sadar, Taehyung menarik tangan Jimin kemudian, ingin melihat apa yang sedang sahabatnya itu lakukan.

“Lo ngapain sih, Jim?” Taehyung menggeser tubuhnya dan mengintip ke arah layar handphone Jimin.

Sahabat Taehyung itu terkekeh kemudian, lalu melirik ke arahnya yang menatapnya kebingungan. Taehyung terlihat lucu, ia mengenakan baret berwarna mustard yang ia beli beberapa hari lalu di sebuah gerai terkenal yang menjual topi tersebut dengan beberapa warna. Taehyung tentu terkejut saat melihatnya tempo hari, dan melonjak-lonjak senang kemudian, saat melihat sebuah topi yang ia inginkan masih berstatus ready stock, terpampang di etalase toko.

Jeongguk diam-diam merekam tingkah kekasihnya itu sambil tersenyum lebar. Taehyung terlihat sangat menggemaskan saat mencoba model yang ia incar.

“Ini lho, gue lagi videoin jalanan. Biasa, buat Yoongi,” jawab Jimin sambil tersenyum malu-malu. Kedua pipinya terlihat memerah, entah karena rindu pada kekasihnya di Seoul atau karena udara dingin pagi ini.

Taehyung yang mendengar jawaban Jimin hanya memutar kedua bola matanya dan berkata dengan santai. “Dasar bucin banget deh, lo. Ggukie sama gue kayaknya nggak gitu-gitu banget?” Taehyung lalu menoleh ke arah Jeongguk sambil bertanya dengan mengerjapkan matanya beberapa kali. “Ya, 'kan, Ggukie?”

Jeongguk yang sedari tadi sedang memperhatikan layar handphone barunya untuk mencari rute ke arah stasiun kereta, mengangkat kepalanya dan tersenyum. Sejak tadi ia mengamati pembicaraan Taehyung dan Jimin sambil menggelengkan kepala, namun hal itu tidak disadari oleh Taehyung. “Kita berdua sama mereka, 'kan beda, Tae sayang. Kita sudah kayak orang pacaran dari kamu masih kelas delapan, bukan? Itu Jimin baru juga berapa minggu pacaran. Masih lengket banget, kayak lem nasi.”

Buyar sudah konsentrasi Jimin yang sedang mengambil video untuk Yoongi. Sahabat Taehyung yang baru saja diledek oleh Jeongguk itu langsung menyerang Jeongguk dengan melempar dua hotpack ke arah perut kekasih Taehyung itu. Memang kecil bentuknya, hanya seukuran telapak tangan Jeongguk, namun berhasil membuatnya kesakitan karena hotpack itu telah mengeras.

“Sialan, lo ya! Makan tuh hotpack!” Teriak Jimin sambil mendengus dan menarik tangan Taehyung menjauh, sedangkan Jeongguk tengah membungkuk meringis kesakitan, namun disusul dengan gelak tawa kemudian. Taehyung hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, tanda sudah menyerah dengan kedua orang penting dihidupnya ini. Sahabatnya dan kekasihnya itu sering sekali bertengkar.

Namun Taehyung benar-benar bersyukur, karena dengan hadirnya Jimin dan Jeongguk, hidupnya jadi lebih berwarna dan manis.

Tidak lagi pahit seperti dulu.

Ben, Kwan, dan Bogum akhirnya sampai di hotel tempat mereka bertiga dan sang partner akan bertemu. Malam hari sebelumnya, Ben sudah memberitahu beberapa poin penting tambahan yang akan mereka bahas dengan teman dekat Ben itu.

Hingga saat ini, Bogum belum juga mengetahui siapakah calon partner bisnis yang akan bekerja sama dengannya. Ben hanya memberikan clue bahwa teman dekatnya lah yang akan bekerja sama dengannya untuk Aetig di Tokyo. Sebenarnya, Bogum sangat menghindari hal ini. Baginya, ia merasa perlu untuk mengetahui identitas calon partnernya sebagai research purpose.

Entah, ia akan merasa lebih percaya diri jika ia 'mengenal' lebih dulu.

Ben akhirnya mengambil duduk di lobi hotel yang megah itu, mengajak Bogum dan Kwan untuk duduk bersisian dengannya. Bogum lalu mengedarkan pandangan. Hotel ini megah sekali, pikirnya. Terlihat meja resepsionis yang tidak begitu ramai, hanya terdapat satu-dua orang tamu hotel yang sedang berbincang dengan para staf, dengan koper yang bertengger di samping kaki mereka.

Seperti apa ya sosok partner Ben nanti? Bogum terus-menerus berpikir demikian. Ia penasaran, sekaligus gugup. Apakah beliau sangat terkenal sehingga Ben tidak ingin Bogum mengetahuinya sebelum meeting ini terjadi? Siapa tahu, Ben khawatir Bogum akan membocorkannya entah pada siapa. Yah, walaupun Bogum pun sudah tahu bahwa dirinya tidak akan membeberkannya pada siapapun. Namun, kemungkinan itulah yang paling kuat, yang dapat Bogum pikirkan.

Bogum sejak tadi sedang mengobrol mengenai tripnya di Tokyo sejak beberapa hari lalu dengan Kwan, menghadapkan tubuhnya ke arah beliau dan membelakangi Ben. Menceritakan bagaimana solo trip nya di Tokyo, ke mana saja ia berkunjung dan tentu, membahas soal kuliner. Kwan sempat meminta Bogum berjanji untuk mengajaknya ke restoran yang menurut anak muda itu hampir mengalahkan Aetig. Bogum tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakan Kwan dan sudah membuat janji temu dengannya esok hari.

Selang beberapa menit, Bogum dikejutkan dengan suara Ben yang menyapa seorang wanita, sepertinya mereka teman dekat. Terdengar dari sapaan heboh yang mereka tukar. Ben dan wanita itu menyapa layaknya teman lama yang sudah tidak lama bertemu. Bogum refleks menoleh dan membalikkan badannya. Ia lalu berdiri tegak dan membungkuk, menyapa seorang wanita itu yang ia belum sempat perhatikan wajahnya.

Bogum menegakkan tubuhnya kembali, lalu mengangkat wajahnya. Menatap lurus kedepan, dan tersadar kemudian. Ah, ternyata seorang wanita yang disapa Ben datang bersama dengan wanita lainnya, yang terlihat sedang menelepon. Bogum lalu dengan sigap mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan wanita yang sehabis berpelukan erat dengan Ben.

“Selamat siang. Perkenalkan, nama saya Park Bogum. Project Manager Aetig di Tokyo nanti. Senang bertemu dengan Anda, Nyonya...” Bogum rasanya terlihat sangat bodoh sekarang.

Ia tidak mengetahui nama partner Ben sama sekali!

“Ah, maaf. Saya belum memperkenalkan kalian. Maklum, saya dengan dia terlalu dekat. Bogum, ini Jeon Se-ah-ssi. Se-ah, kenalkan, ini Bogum-ssi,” kata Ben memperkenalkan dirinya pada calon partner mereka. Ben hanya tertawa tidak enak hati, sedangkan Kwan sudah menjabat tangan wanita itu dengan ramah. Sepertinya mereka bertiga sudah mengenal satu sama lain. Bogum lalu menyapa wanita yang bernama Jeon Se-ah itu sambil tersenyum ramah. Sedangkan seorang wanita yang satu, baru saja terlihat selesai berbicara di telepon.

Bogum lalu mengalihkan pandangannya dan mengulurkan tangannya lagi, saat seorang wanita itu berbalik dan memandang matanya.

Terakhir kali rasanya Bogum tersambar petir di siang bolong adalah saat di mana ia melihat Taehyung untuk pertama kalinya setelah enam tahun silam di Aetig, beberapa waktu lalu. Ia masih ingat. Ia masih bisa merasakan.

Namun sekarang, sepertinya ia benar-benar ditampar habis-habisan saat melihat sosok wanita yang selama ini ia hindari. Wajahnya, karirnya, dan bisnisnya terpampang nyata hampir di seluruh sudut kota Seoul, pun sampai ke New York. Selama enam tahun, Bogum berusaha untuk mengalihkan pikiran dan pandangnya setiap kali melihat nama dan/atau wajah wanita itu terpampang di hadapannya.

Ia malu dan entah, ia rasanya pun saat ini lemas. Lututnya terasa lemas dan hampir lepas, tenggorokannya kering, tangannya bergetar. Bogum beberapa kali mengerjapkan matanya tidak percaya, melihat sosok terpenting dalam hidup seseorang yang ia cintai dulu, berdiri dihadapannya.

Seseorang yang secara tidak langsung, sempat mengalami kesulitan karena dirinya dan keluarganya.

“Bogum, kenalkan, ini adalah sahabat saya, Kim Seo-ssi, CEO sekaligus Desainer ternama di Seoul. Kamu pasti sudah pernah melihat beliau, 'kan?” Se-ah berbicara dengan ramah pada Bogum, sambil terlihat memegang lengan wanita di sampingnya itu dan tersenyum. Sedang Kim Seo, menyunggingkan senyum simpulnya, mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Bogum yang tengah gemetar.

“Ah, Jeng, terima kasih,” katanya singkat membalas Se-ah. “Saya Kim Seo, Bogum-ssi. Senang berkenalan dengan Anda. Saya harap kita semua bisa bekerja sama dengan baik kedepannya.” Seo menjabat tangan Bogum dengan erat, persis menunjukkan gestur profesional yang biasa dilakukan saat pertama kali berkenalan dengan rekan bisnisnya.

Bogum hanya bisa mengangguk tanda paham, lalu tersenyum getir.

Siapa yang menyangka, seseorang yang dulu sempat 'hancur' karena keluarganya, sekarang akan menjadi business partnernya dan menjadi 'atasan'nya secara tidak langsung?

Karma really strikes him when he less expects.

Case closed

Taehyung rasanya ingin ditelan bumi saat ini juga. Bulu kuduknya meremang, bibirnya merah hampir luka akibat terlalu lama digigit. Ia tidak bisa berteriak di tengah keramaian seperti ini. Semesta rasanya benar-benar mempertemukan semua orang yang pernah menjadi masa lalunya di Jepang, ya? Belum 'pulih' benar dari kenyataan bahwa kakak perempuannya ingin bertemu dengannya, di Jepang, ditambah dengan kehadiran sosok yang sudah ia buang jauh-jauh dari memorinya beberapa hari lalu, berdiri tepat di depannya. Memang jaraknya tidak terlalu dekat, tentu melibatkan Jimin karena sahabatnya itu sudah berdiri di depannya, menghadang Bogum untuk mendekat. Sedangkan Jeongguk hanya berdiri di sampingnya dan menggenggam tangan Taehyung cepat. Taehyung merasakan genggaman Jeongguk perlahan mulai mengeras, tangannya gemetar. Ia hafal betul, Jeongguk akan seperti ini jika ia sedang marah.

Bogum terlihat sangat berbeda dengan yang dulu Taehyung ingat. Well, sudah enam tahun lamanya Taehyung tidak mengetahui kabarnya dan rupanya seperti apa. Bogum terlihat mengenakan kacamata baca, tinggi badannya melebihi Jeongguk dan Taehyung. Gaya berpakaiannya bisa dibilang cukup menarik; pakaiannya cukup sesuai dengan cuaca siang ini, tidak tabrak asal sana-sini yang membuat sakit mata. Paras Bogum memang dapat dikategorikan menarik dan tidak membosankan, setidaknya cukup membuat sebagian besar orang yang melihatnya akan benar-benar menoleh. Namun sayang, hatinya dan kepribadiannya, tidak akan pernah berubah menurut kacamata Taehyung. Kesan Bogum cukup membuat Taehyung selalu sakit perut jika mengingatnya.

Saat Bogum akhirnya mengangkat tangannya untuk melambaikan tangan pada mereka dan membuka suara, rasanya Taehyung ingin menutup matanya dan kedua telinganya saat itu juga. Bertemu dengan Bogum di Jepang seperti ini saja ia sudah mual, apalagi mendengar suaranya dan melihat senyum lebarnya yang dahulu sempat membuat Taehyung jatuh cinta? Rasanya ia ingin lari saja sekarang.

“Halo, adik manis. What kind of fate is this?” Sapa Bogum ramah sambil menyunggingkan senyum lebarnya.

Taehyung mendengar Jimin menanggapi Bogum dengan berbisik lirih “the fuck” dan mendengus kasar, sedangkan ia merasakan Jeongguk benar-benar menegang, khawatir sebentar lagi kekasihnya itu melepaskan genggamannya dan berakhir dengan melayangkan tinju ke wajah Bogum. Gila memang, berani-beraninya Bogum memanggilnya dengan sebutan yang membuat Taehyung sendiri ingin muntah? Ia meringis dan menghela napas kasar, berusaha untuk bersikap biasa saja, menunjukkan pada Bogum bahwa panggilan itu tidak akan mempengaruhinya sama sekali.

Jeongguk dengan cepat membalas sapaan Bogum pahit. “What the hell are you doing here? Aneh banget bisa-bisanya ketemu lo di Tokyo yang seluas ini. Bahkan di Jepang.” Taehyung hanya bisa tersenyum simpul dan tertawa dengan nada mengejek. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan Bogum di sini, lengkap bersama Jeongguk dan juga Jimin. Tidak sekalian saja mereka bertiga juga berpapasan dengan kak Yoona, supaya hari Taehyung menjadi semakin buruk?

Mendengar tanggapan dari Jeongguk, Bogum hanya tersenyum simpul sambil menunduk, menggelengkan kepalanya pelan, lalu mengangkat kepalanya lagi. Sepertinya ia benar-benar menikmati pertemuan ini, ya?

Fancy seeing you here as well, Jeongguk. Apa kabar? Seperti baru kemarin ya, kita bertemu di Aetig?” Bogum tersenyum penuh arti, yang Taehyung tahu persis itu adalah palsu. Entah apa yang Bogum harapkan dengan membahas pertemuannya dengan Jeongguk di Aetig. Sepertinya Bogum berharap akan ada perdebatan, mengira Jeongguk tidak bercerita pada Taehyung mengenai pertemuannya. Ia rasanya sudah kenyang jika harus mengingat lagi pertengkarannya dengan Jeongguk beberapa waktu lalu yang sangat dramatis, karena Bogum.

Fancy, my ass. Lo ngikutin kita ke Tokyo?” Jeongguk menjawab cepat dan mendengus, sudah melepaskan tangan Taehyung dari genggamannya. Leher Jeongguk terlihat memerah, seperti sudah menahan amarah yang ingin ia lampiaskan sekarang juga karena sikap Bogum saat ini.

Taehyung dengan sigap menarik lagi tangan Jeongguk dan mengelusnya pelan, berusaha untuk menenangkan kekasihnya yang rasanya, kalau mereka tidak sedang di negeri orang, Jeongguk pasti sudah melakukan sesuatu yang akan disesalinya. Ia tahu, emosi Jeongguk sangat sulit diatur, moodnya yang bisa berubah turun naik seperti rollercoaster membuat Taehyung khawatir. “Ggukie... tenang dulu,” bisik Taehyung di telinganya. Jeongguk rasanya seperti satu bongkah es batu saat ini dan seketika Taehyung adalah matahari yang benar-benar terik. Kedua bahunya yang tegang akhirnya lemas dan Jeongguk menghela napas berat.

Bogum menjawab dengan menggeleng sambil menaikkan alisnya sebelah, mengulum senyum mengejek yang membuat Taehyung kesal. “Business trip. Kalian liburan?” Bogum bertanya, mengarahkan tatapan matanya pada Jimin, tidak menghiraukan Taehyung dan Jeongguk yang sedang menatapnya dengan kilat amarah.

Seketika Jimin mengangkat bahu, berusaha untuk tidak menjawab pertanyaan seseorang yang sudah membuat masa lalu Taehyung cukup 'suram' dalam hal percintaan. Sekeras apapun Jimin berusaha, ia tidak tahu apa yang sahabatnya sebenarnya rasakan. Ia hanya bisa menjaga sebatas yang ia mampu. Jimin rasanya malas jika harus menanggapi pertanyaan basa-basi Bogum, yang ia tahu akan lari ke mana pembicaraan ini.

“Menurut lo aja, lah. Emang kelihatan kita lagi field trip dari sekolah? Please, deh, pertanyaan lo,” jawab Jimin cepat, sambil memutar kedua bola matanya. Taehyung sebenarnya ingin segera memotong pembicaraan mereka, karena jujur saja, pertemuan mereka dengan Bogum sudah menghabiskan waktu sepuluh menit. Dan menurut Taehyung, sepuluh menit saat berada di Jepang sangatlah penting. Bogum membuang sepuluh menit dari waktu liburan mereka untuk hal yang sia-sia.

Tidak mendapat jawaban langsung dari Bogum, akhirnya Taehyung membuka suara, berdeham sebelumnya, tidak ingin terdengar kecil di depan Bogum. “Bogum. Iya kita ke sini liburan. Can you cut it short? You really wasted our time for nothing for ten minutes now.” Taehyung menjawab dengan berani. Ia tidak akan membiarkan Bogum merusak liburannya. “Ada yang bisa dibantu? Kalau nggak, we really have tight schedules and we are in hurry,” sambung Taehyung lagi, kali ini dengan tegas.

Taehyung menyadari Jeongguk menoleh ke arahnya dan mengulum senyumnya; senyum bangga pada Taehyung karena telah membuat Bogum diam seribu bahasa kemudian. Taehyung memperhatikan Bogum yang membalasnya dengan tertawa kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang Taehyung tahu persis tidak gatal. Sedang Jimin yang berdiri di samping Taehyung hanya bisa menunduk dan menutup mulutnya, menahan tawa yang sebentar lagi akan meledak.

Jeongguk hendak melangkahkan kaki ke dalam gerai Apple dan menarik tangan Taehyung, saat tiba-tiba mendengar Bogum akhirnya membalas dengan suara pelan. “Taehyung, apa gue bisa minta waktu sebentar? Untuk... I don't know, talk? Sebentar saja. Gue rasa lo butuh penjelasan dari gue.” Bogum akhirnya berbicara dengan nada meminta pada Taehyung.

Apa Bogum sudah gila? batin Taehyung.

Please? Ten minutes tops, and I will leave your life forever,” sambung Bogum lagi, menatap Taehyung yang sedang melihat ke arah Bogum dengan tatapan aneh dan tidak nyaman.

Beberapa waktu lalu, Taehyung masih ingin bertemu dengan Bogum, mendengar penjelasan versinya, dan mengambil kesimpulan sendiri. Entah, rasanya menurut Taehyung tidak adil jika ia tidak mengetahui sisi Bogum. Saat itu.

Sekarang? Rasanya ia sudah tidak ingin. Nasi sudah menjadi bubur, dan bubur itu sudah basi. Semua sudah terlambat, Taehyung sudah berdamai dengan masa lalunya. Ia tidak ingin mengungkit-ungkit hal ini lagi. Ia sudah akan bahagia. Apa Taehyung perlu mendengar penjelasan Bogum? Apa yang seharusnya ia lakukan sekarang?

Belum sempat menjawab, Jeongguk sudah menarik tangan Taehyung, melangkah menjauh dari Bogum. Jimin yang sedang menggandeng tangan Taehyung pun akhirnya ikut tertarik menjauh dari tempat itu. Taehyung mengernyit dan membatin, Jeongguk pasti tidak akan memperbolehkan mereka bertiga berbicara. Ya, bertiga. Taehyung akan meminta Jimin untuk menemaninya.

Setelah melangkah agak jauh sekitar sepuluh meter, Jeongguk akhirnya menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Taehyung. Kekasih Jeongguk itu meraih kedua tangan Taehyung dan menatapnya lekat. “Sayang, kamu sudah tahu jawabannya? Kalau kamu mau, nggak apa. I will give you time to—”

Are you kidding?” Taehyung memotong Jeongguk cepat.

Jeongguk mengerjapkan matanya, terkejut. “—What?”

“Ggukie, do you even listen to yourself? What makes you think I still want to talk to him?” Taehyung membalas Jeongguk dengan nada kesal. Apa kekasihnya itu benar-benar masih menganggap bahwa dirinya akan tetap mengiyakan tawaran Bogum jika diajak berbicara seperti ini? Taehyung lalu menghela napas kasar dan melepas tangan Jeongguk dan melipatnya kemudian di depan dadanya.

Jimin yang mendengar Jeongguk dan Taehyung akan berdebat, memutar kedua bola matanya dan melihat ke arah Bogum. Terlihat pria itu tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah mereka. Jimin yang melihatnya hanya mengernyit lalu memalingkan wajahnya lagi.

Sial, sepertinya dia benar-benar menikmati situasi ini sebagai tontonannya, pikir Jimin.

Mengambil napas panjang dan menghelanya kemudian, Jeongguk akhirnya menjawab Taehyung dengan panjang lebar. Ia mencoba meyakinkan Taehyung. Walaupun sebenarnya Jeongguk tidak ingin Taehyung bertemu apalagi berbicara dengan Bogum, namun ia merasa ini adalah yang terbaik. Jeongguk berpikir, lebih baik Taehyung mengambil kesempatan yang diberikan oleh semesta agar semuanya segera berakhir. Jeongguk ingin Taehyung segera bahagia, tidak tersangkut oleh masa lalunya itu.

“Taehyung sayang, dengar aku dulu, okay? Alasan kenapa aku mempersilahkan kamu untuk bicara dengan Bogum adalah karena ini kesempatan yang aku pikir hanya datang sekali. Aku tahu, mungkin kamu memang benar-benar sudah berdamai dengan masa lalu. Tapi, apa kamu tetap nggak ingin tahu dari sisi Bogum?

“Sayang, aku hanya berharap kamu segera bahagia, nggak melulu dihantui pikiran dan andai-andai kamu. Karena menurut aku, kamu pun berhak untuk tahu ada apa sebenarnya.” Jeongguk mengambil napas, sambil mengelus pelan pipi Taehyung yang sedang ditangkupnya. “Kalau kamu memang benar-benar nggak mau, ya sudah, aku nggak akan maksa. We will tell him that we really have to go. Tapi kalau kamu memang berubah pikiran, I will let you three talk. Aku nggak akan ikut, because it's about your past. You and Jimin's.”

Jimin yang mendengar namanya disebut hanya bisa membalas dengan tatapan yakin dan mengangguk mantap. Jeongguk tahu bagaimana Jimin masih diselimuti rasa bersalah karena tidak bisa 'melindungi' hati sahabatnya enam tahun lalu. Namun jika memang Taehyung tidak ingin sama sekali, Jeongguk tidak akan memaksa. Bahkan ia tidak akan mengungkit soal Bogum lagi mulai dari sekarang.

Taehyung terlihat sedang berpikir sambil memegang tangan Jeongguk, memainkan cincin silver yang tersemat di jari kekasihnya itu. Jeongguk tidak peduli dengan Bogum. Laki-laki itu pasti akan menunggu. Bertemu secara tidak sengaja dengan Taehyung di Jepang mungkin malah menjadi kejutan durian runtuh untuknya.

Setelah sekitar lima menit berpikir keras, menimbang-nimbang akan apa yang harus ia pilih dan lakukan, Taehyung akhirnya mengangkat kepalanya dan menghela napas.

“Oke, Ggukie. Aku akan bicara dengan Bogum.”

Bogum melangkah memasuki pintu kafe kecil yang terletak tidak jauh dari tempat dirinya dan Taehyung bertemu. Kafe itu terletak di lantai dua sebuah gedung kecil, terukir logo botol berwarna biru, ciri khas dari coffee shop itu. Seharusnya ia sudah sampai di tujuan dua puluh menit yang lalu. Namun bagaimana ia bisa menolak jika dipertemukan dengan sepasang sahabat dan kekasih Taehyung tepat di depan gerai Apple beberapa waktu lalu? Kesempatan emas dan cukup aneh untuk Bogum. Ia tidak akan menyia-nyiakannya.

Setelah mempersilahkan Taehyung dan Jimin memilih tempat duduk dan menanyakan pesanan mereka, Bogum segera melangkahkan kaki ke arah bar dan menyapa barista dengan ramah. Bogum bersyukur, suasana kafe hari ini sangat tenang, padahal ini hari Minggu. Memang biasanya, kafe ini akan ramai saat sore menjelang malam. Benar-benar pas, pekik Bogum senang dalam hati.

Membutuhkan waktu lima menit untuk menunggu barista itu membuat pesanannya, akhirnya Bogum berjalan ke arah meja mereka, lengkap dengan tiga gelas minuman di tangan, sambil tersenyum kikuk. Bogum merasa gugup, padahal dirinya sendiri yang mengajak Taehyung dan Jimin untuk bicara dengannya, tanpa tahu apa yang akan terjadi sepuluh menit dari sekarang. Ia hanya berharap, semoga mereka tidak akan membuat keributan.

Here you go,” kata Bogum saat sampai di meja mereka, meletakkan tiga gelas kertas tersebut dan mengambil duduk di seberang Taehyung dan Jimin yang duduk berdampingan. Wajah Jimin tegang, pun dengan Taehyung yang sedari tadi terlihat sedang fokus dengan layar handphonenya.

Thanks,” kata Jimin singkat, yang dibalas oleh Bogum dengan satu anggukan.

Bogum mengambil duduk dengan nyaman, mengeluarkan handphonenya yang ada di saku celananya dan melepaskan sling bagnya, menaruh benda itu di kursi yang ada di sampingnya.

“Jadi, lo mau ngomong apa, Bogum?” Taehyung bertanya tanpa tedeng aling-aling. Singkat, padat, jelas. Ia tidak ingin berlama-lama duduk di satu ruangan, bahkan duduk semeja dengan masa lalunya yang membuat lidahnya seketika pahit. Taehyung tidak pernah menyangka, seumur hidupnya akan bertemu dengan Bogum; melafalkan namanya lagi sambil menatap kedua manik hitam itu, lagi.

Please slow down a bit, will you, Tae?” Jawab Bogum tersenyum, lalu meraih gelas minumannya dan menyeruput kopi panas itu pelan.

Don't ever call me Tae again, Bogum. It's Taehyung for you,” balas Taehyung cepat dan pahit. Ia tidak ingin bicara basa-basi dan bertele-tele. Taehyung ingin segera mendengar penjelasan Bogum. Kabarnya seperti apa, saat ini kehidupannya seperti apa, Taehyung tidak mau tahu. Ia pun tidak ingin memberitahu tentang dirinya pada Bogum.

Just cut the crap and tell us, everything, will you?” Potong Jimin sambil melipat kedua tangannya di dada. Rahangnya mengeras. “Waktu kita nggak banyak untuk dengar cerita lo, Bogum. So, let's speak.”

Bogum tertawa nanar, meletakkan gelas minumannya di meja dan menarik napas panjang.

Yeah, okay, dude. Jadi, sebenarnya.....”

Selama Bogum berbicara, Taehyung hanya sesekali mengerjapkan kedua matanya, menahan napasnya dan menggelengkan kepalanya. Sedang Jimin beberapa kali terdengar mengumpat sambil berbisik. Taehyung tahu Bogum bisa mendengar responnya dan Jimin, namun ia tidak peduli. Semua yang Bogum ceritakan akhirnya melengkapi puzzle yang beberapa bulan ini dirangkai didalam kepala Taehyung. Cerita yang Bogum beberkan akhirnya menjadi pelengkap cerita Jaebeom saat bertemu dengan dirinya dan Jimin saat di kafe Haru. Taehyung masih mengingat jelas akan beberapa bagian yang rasanya hilang dan janggal.

Saat mendengar penjelasan Bogum, Taehyung rasanya ingin muntah dan marah. Bagaimana dengan Jimin? Tentu Taehyung harus menahan tangan Jimin beberapa kali jika ia tidak ingin isi minumannya sendiri melayang mengguyur sekujur tubuh Bogum. Tidak. Taehyung tidak ingin membuat keributan dan menjadikan dirinya dan Jimin seperti orang yang tidak tahu etika.

Bogum menceritakan bagaimana semua taruhan itu bermula, bagaimana Luna—entah siapakah perempuan itu, Taehyung dan Jimin tidak tahu—membuat hidup Taehyung berantakan seperti gelas porselen yang pecah. Sebenarnya, Taehyung merasa cerita Bogum barusan tidak masuk akal, sama sekali. Hanya karena hubungan Bundanya dengan rekan kerjanya yang tidak berhasil, yang ternyata menjadi momok, sumber 'pahit'nya masa lalu Taehyung. Ia berusaha mencerna semua cerita Bogum, yang ia sendiri tidak tahu kebenarannya.

Namun Taehyung masih ingat dengan jelas, perbedaan jika Bogum memang jujur atau berbohong. Selama lima belas menit laki-laki itu menjelaskan, Taehyung tidak menemukan sorot kebohongan sedikitpun dari Bogum. Taehyung pun sejak tadi berusaha memasang-masangkan potongan cerita Bogum dengan puzzle cerita dari Jaebeom yang masih ia ingat dengan jelas. Lalu akhirnya Taehyung mengambil kesimpulan dan berharap, ia tidak akan bertemu dengan Luna, saudara sepupu Bogum yang membuat masa lalunya suram. Hell, Taehyung tidak bisa membayangkan apa jadinya jika ia dan Jimin bertemu dengan perempuan itu.

Can you both please say something?” Bogum berkata, membuyarkan lamunan Jimin dan Taehyung yang masih berusaha untuk mencerna cerita Bogum.

Taehyung akhirnya menegakkan duduknya, menghela napas dan menatap kedua mata Bogum lekat. Ia sebenarnya lega, seluruh pertanyaan Taehyung sejak enam tahun lalu, semuanya benar-benar terjawab lewat cerita Bogum. Ia tidak lagi ragu, tidak lagi berandai-andai, dan yang terpenting, Taehyung tidak lagi merasakan 'pahit' dalam hatinya.

“Bogum, jujur, gue benar-benar nggak tahu harus menanggapi apa. Semua sudah jelas. Gue hanya berterima kasih akhirnya lo sudah menjelaskan ke gue dan Jimin. Gue rasa, nggak ada lagi yang harus gue ucapkan selain terima kasih. Enam tahun memang lama, tapi lebih baik seperti ini daripada tidak sama sekali.” Taehyung menjawab mantap dan tegas, tanpa ada jeda, tanpa terbata-bata. Jauh didalam hatinya, Taehyung merasa bersyukur hari ini dipertemukan dengan Bogum. Benar kata Jeongguk, hanya dengan sepuluh menit, ia sudah bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang dimilikinya.

Apakah Taehyung akan melupakannya dalam waktu dekat? Tentu tidak. Cerita Bogum benar-benar membuatnya terkejut dan tidak habis pikir. Namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Bogum. Ia tidak ingin Bogum tahu bahwa kejadian ini membuatnya trauma dan sempat meragukan Jeongguk.

“Tapi, Bogum, cerita lo membuat gue sadar dan yakin, bahwa sebenarnya, pada dasarnya lo memang pengecut. Entah apa yang ada di pikiran lo saat itu, tapi gue berusaha untuk nggak kembali ke sana. Buruk. Gue lebih baik memikirkan masa depan gue, bagaimana gue dikelilingi orang-orang yang memang sayang sama gue, dan mencintai gue tanpa alasan. Gue bersyukur Jimin ada di samping gue, dan Jeongguk... dia datang di kehidupan gue, membukakan mata gue bahwa sebenarnya, lo, Bogum, benar-benar nggak pantas untuk menjaga hati gue,” sambung Taehyung kemudian, yang membuat Bogum benar-benar menundukkan kepalanya.

Taehyung mendengar laki-laki itu menangis. Taehyung tidak peduli. Ini adalah perasaannya. Ia berhak egois, sekali saja.

Jimin yang sedari tadi diam lalu meraih tangan Taehyung yang sedang gemetar, berusaha menenangkan sahabatnya, sekaligus memberikan dukungan padanya karena telah berani menumpahkan seluruh kepahitan hatinya pada Bogum. Menurut Jimin, Bogum pun pantas mendapatkan kejelasan dan akibat atas apa yang ia lakukan enam tahun lalu.

“Gue anggap masalah kita berdua sudah selesai. Case closed, Kak. Gue harap lo bisa bahagia dengan hidup lo sendiri. Tolong menghindar kalau lo merasa hubungan lo akan lo bangun dengan fondasi kebohongan. Cobalah introspeksi diri lo. Gue yakin lo nggak bodoh kok, untuk menyadari hal semacam itu.” Jelas Taehyung, memberikan ketok palu bahwa kisah mereka berdua benar-benar selesai.

Taehyung ingin mengakhiri dan mengubur—bahkan membakar chapter kisah cintanya yang benar-benar ingin dia lupakan.

Pelajaran berharga untuknya, untuk tidak cepat jatuh cinta terhadap seseorang yang ia lihat indahnya hanya dari luar.

Ia akhirnya menarik napas dan menghelanya dengan lega. Rasanya beban yang selama ini ia simpan rapat-rapat di hatinya akhirnya terangkat. Taehyung rasanya ingin menangis bahagia, berlari ke pelukan Jeongguk dan menangis bersama.

Akhirnya. Akhirnya selesai juga.

Setelah mengucapkan terima kasih pada Bogum, Taehyung beranjak berdiri dari duduknya dan memberi sinyal pada Jimin untuk segera pergi dari kafe itu. Ia akan membiarkan Bogum merenung sendiri di sini. Ia tidak akan berlama-lama bernapas satu ruangan dengan Bogum. Ia ingin Jeongguk. Ia butuh Jeongguk.

Taehyung menghentikan langkah kakinya saat merasakan Bogum menggengam pergelangan tangannya. Ia menoleh kemudian, melihat wajah Bogum yang sudah merah akibat menangis.

“Gue minta maaf, Taehyung. I am so sorry for everything,” kata Bogum lirih sambil menatap mata Taehyung, untuk terakhir kali. Taehyung sudah menegaskan pada Bogum bahwa ia tidak ingin bertemu lagi dengannya.

Mendengar Bogum, Taehyung hanya tersenyum simpul dan menjawab singkat.

I have already forgiven you long time ago, Kak. But yeah, I am sorry for myself too.”

Fate

Jeongguk sejak tadi diam tidak bergeming, kekasih Taehyung itu hanya menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, sambil sesekali mencium pipi kanan Taehyung dan memegang erat tangannya. Beberapa kali Taehyung merasakan beban pada bahu kirinya, kala kepala Jeongguk tersandar pada bahunya. Sekilas Taehyung melihat kekasihnya itu tertidur, mungkin kedua mata Jeongguk sudah lelah akibat terlalu lama bermain game yang ada dihandphone Taehyung. Pun Jimin yang duduk di sisi kanannya, memeluk lengan Taehyung dan membiarkan kepalanya bersandar nyaman di bahu sahabatnya itu.

Taehyung terkekeh, melihat dua orang penting dalam hidupnya, saat ini sedang terkulai lemas karena perjalanan yang cukup panjang dari Kyoto menuju Tokyo.

Laju Shinkansen melambat saat memasuki kawasan Tokyo. Gedung-gedung tinggi seperti berlomba mencakar langit, berjejer rapat-rapat, menjulang indah menghiasi pandangan mata Taehyung siang itu. Matahari tidak begitu terik, tertutup awan tebal yang membuat sinarnya sedikit redup dari biasanya. Sinarnya sedikit menembus kedalam kereta, walaupun pada akhirnya pendingin ruangan di kereta pun cukup membuat Taehyung nyaman. Ia, Jeongguk, dan Jimin menghabiskan perjalanan dari Kyoto ke Tokyo dengan istirahat, tertidur di kursi penumpang yang empuk. Taehyung sendiri merasa tidurnya cukup nyenyak, ia pun setengah menyadari bahwa sepertinya mulutnya sempat menganga dibalik masker hitam yang ia kenakan saat ia tertidur selama di kereta.

Dari balik jendela kaca kereta cepat itu, Taehyung sudah dapat merasakan hingar-bingar, kepadatan, dan keramaian kota Tokyo yang akan ia nikmati sepuluh hari kedepan. Rasanya ia ingin cepat-cepat turun dari kereta dan merasakan udara dan suasana ibukota Jepang itu.

Setelah tiga puluh menit dihabiskan dengan menghubungi driver Mama Jeon selama di Tokyo dan menitipkan koper mereka, akhirnya Taehyung, Jeongguk, dan Jimin melangkahkan kaki menjauh dari Tokyo Station. Jimin memutuskan untuk menjadi guide mereka siang ini dengan bantuan maps, karena handphone Jeongguk benar-benar tidak tertolong.

“Sayang, aku harus ke Apple Store dulu. Nggak apa, 'kan?” Jeongguk bertanya pada Taehyung sambil sesekali menoleh pada kekasihnya yang mengekor di belakangnya, menggandeng tangan Jeongguk. Sekitaran Tokyo Station siang ini cukup ramai, sepertinya orang-orang sedang plesiran karena ini adalah hari Minggu. Taehyung harus memegang tangan Jeongguk kalau tidak ingin terseret arus manusia yang berjalan lalu-lalang dengan sangat cepat dan gesit. Sedang Jimin sudah jalan agak jauh di depan, namun masih dengan jarak pandang Jeongguk.

Taehyung yang menempelkan tubuhnya di punggung Jeongguk hanya menggumam pelan di ceruk lehernya, sambil terus menggenggam erat tangan kekasihnya. “Iya, boleh, Ggukie. Mama sudah nyuruh kamu, 'kan? Lagipula dari sini hanya jalan kaki satu menit. Nggak masalah, kok.”

Kekasih Jeongguk itu hanya tersenyum hampir tertawa, mengingat kejadian konyol beberapa jam lalu yang menjadikan handphone Jeongguk sebagai korban. Ia tidak menyangka, permintaan sederhana Seojoon pada Taehyung benar-benar membuat Jeongguk cemburu. Padahal cerita diantara mereka berdua sudah menjadi lagu lama. Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk membuat mood Jeongguk kembali, setelah insiden Gunung Fuji dan handphonenya yang melorot, lepas dari tangannya.

Setelah sekitar dua menit berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di depan gerai Apple yang cukup membuat Jimin kagum. Sahabat Taehyung itu beberapa kali berdecak, hingga mendongakkan kepalanya melihat gedung di depannya menjulang tinggi. Gedung itu seperti rumah kaca, tembus pandang dengan lampu ruangan yang cukup terang. Sedangkan Taehyung, menikmati udara siang hari yang cukup dingin, menusuk kulitnya yang mengkilat seperti madu—kata Jeongguk setiap kali mendeskripsikan Taehyung. Jeongguk sedari tadi sibuk memotret suasana jalanan dan gedung-gedung tinggi yang menjulang di sekitarnya. Kamera pemberian Bunda Kim dikalungkan pada lehernya, mempermudah dirinya 'beraksi' dari balik lensa.

Saat Jeongguk akhirnya meminjam handphone Taehyung untuk mengabari Mama Jeon mengenai keberadaannya, Jimin mengedarkan pandangan matanya, melihat orang berlalu-lalang dengan gerak cepat di hadapannya, seperti sedang mengejar waktu. Tersenyum lebar menyadari bahwa ia dan Taehyung, serta Jeongguk, sekarang sudah benar-benar berada di Tokyo, kota yang sejak dulu ingin ia jajaki berdua dengan Taehyung.

Katakanlah Jimin memiliki mata elang, cukup tajam menangkap rupa orang-orang yang berada di sekelilingnya; apa pakaian yang mereka kenakan, bagaimana raut wajah mereka, dan barang apa yang mereka bawa serta.

Hingga akhirnya Jimin menangkap sesosok pria sedang berjalan ke arah mereka, mendekat, seperti seseorang yang ia dan Taehyung kenali. Pria itu mengedarkan pandangannya pula ke arah jalanan di depan gerai yang akan mereka kunjungi, sambil sesekali mengangkat tangan kanannya yang sedang memegang handphone, seperti mencari alamat. Raut wajah itu sangat Jimin kenali; ia tidak perlu memakai kacamatanya untuk tahu siapa yang sedang berjalan ke arahnya.

Yang ia tahu pasti, keberadaan pria itu akan menjadi air bah untuknya, Taehyung, dan juga Jeongguk beberapa menit dari sekarang.

Lelucon semesta macam apa ini?

Sejujurnya, Bogum rasanya seperti ingin menelan bulat-bulat bola khayalan yang ada di tenggorokannya saat ia bertemu mata dengan seseorang yang sudah lama tidak ia temui. Ia sebenarnya tahu persis bahwa sepasang sahabat yang ada di depan matanya ini sedang berlibur bersama ke Jepang, lengkap dengan kekasihnya. Yang sama sekali Bogum tidak sangka adalah kenyataan bahwa mereka akan bertemu di tempat seperti ini? Rasanya ia ingin berterima kasih pada dunia saat melihat Jimin menatap kedua mata Bogum sambil membelalakan matanya, menyikut lengan cinta monyetnya yang sedang berdiri di sampingnya tanpa bersuara.

Taehyung terlihat sangat lucu hari ini. Manis, seperti dahulu. Ia mengenakan cardigan tipis namun kebesaran, seperti bukan miliknya. Kedua tangannya bersembunyi dibalik lengannya yang terlalu panjang itu. Ia terlihat sedang memperhatikan layar handphonenya, menunduk di samping Jeongguk yang sedang merangkulnya dengan erat. Taehyung dan Jeongguk sepertinya tidak begitu memperhatikan Jimin, karena sepasang kekasih itu terlalu fokus pada sesuatu yang sedang mereka lakukan.

Langkah Bogum terhenti, memutuskan untuk meng-update sesuatu pada media sosial miliknya sambil tersenyum penuh arti, sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyum. Bogum benar-benar lupa akan janjinya pada Jeongguk beberapa waktu lalu, saat ia mengatakan bahwa tidak akan lagi mengganggu 'Taehyung-nya'.

Lantas jika semesta mempersilahkan seperti ini, apakah dia harus menolak?

Bogum akhirnya mempercepat langkahnya, berharap Jimin lengah dan tidak sempat memberitahu Taehyung dan Jeongguk akan gelombang air bah yang sebentar lagi akan 'menyerang' mereka. Namun sayang, sepertinya keinginannya belum direstui, kala Jeongguk akhirnya menoleh ke arah Jimin dan mengangkat kepalanya.

Kekasih Jeongguk itu terlihat terkejut bukan main, mengerjapkan sepasang matanya berkali-kali, seperti tidak percaya dengan sosoknya yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Bogum merasa sangat brengsek sekarang, mementingkan egonya sendiri. Ia ingin sekali melihat reaksi Taehyung secara langsung saat melihat dirinya di Jepang, di Tokyo, di kota yang seluas ini.

Kedua mata Jeongguk terlihat berkilat, wajahnya benar-benar tegang, dan kedua tangannya mengepal kuat disamping tubuhnya. Taehyung belum juga beralih dari handphonenya. Adik manisnya itu terlalu fokus dengan layar benda mati itu. Kedua alisnya bertaut, dahinya mengernyit tanda sedang berpikir.

Taehyung masih sama seperti dulu jika dilihat dari dekat.

Dengan segenap keberanian dan egonya yang tinggi, Bogum akhirnya mengambil langkah lebar-lebar. Ia hendak membuka suara saat akhirnya Taehyung dikejutkan dengan Jimin yang membuyarkan konsentrasinya. Saat hendak mengeluh pada Jimin, sepertinya Taehyung menyadari bahwa ada sosok lain yang mengokupasi social spacenya.

Adik manisnya itu mendongak, seketika terbelalak tidak percaya akan sesuatu yang dilihat dihadapannya.

“Halo, adik manis. What kind of fate is this?”

Coincidence

Taehyung membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyadari bahwa salah satu hal yang tidak ia sukai di dunia ini adalah dibohongi. Lagipula, siapa orang di dunia ini yang lebih memilih mendengar kebohongan daripada kejujuran? Selama hidupnya, keluarga kecil Kim selalu mengedepankan kejujuran, mengenai hal apapun. Maka Taehyung tidak heran jika rasanya ingin marah saat mengetahui bahwa Bundanya sempat bertemu dengan kakak perempuannya, Yoona, tadi malam. Tanpa memberitahu Taehyung.

Sebenarnya, Taehyung merasa sangat egois saat menghiraukan telepon dan pesan Bunda. Jujur saja, ia pun merasa sangat tidak adil jika berpikir bahwa sebenarnya Bunda membohonginya. Bunda pasti memiliki alasan mengapa tidak memberitahu Taehyung, 'kan? Hanya saja, rasa kecewanya sudah memenuhi hati dan pikirannya jauh sebelum Bunda memberi penjelasan.

Biar saja. Taehyung rasanya ingin sekali ini saja bersikap egois.

Saat tadi malam Taehyung menerima pesan dari seseorang, memorinya langsung terlempar kembali ke enam tahun lalu; saat terakhir kali bertemu dengan kedua orang yang sangat senang memanggil Taehyung dengan sebutan 'Taehyung kecil'. Kak Yoona dan Bogum sepertinya memiliki telepati luar biasa untuk memanggilnya dengan sebutan 'Taecil', padahal Taehyung tidak pernah mengizinkan Yoona dan Bogum bertemu selama ia dan laki-laki itu menjalin hubungan.

Kekhawatiran mulai muncul dan menjalar dalam kepala Taehyung, entah rasanya ingin berteriak jika yang memanggilnya tadi malam adalah Bogum. Namun tidak mungkin, dari mana pria itu akan mendapatkan nomornya? Rasanya ia tidak mempunyai teman dan/atau saudara yang mengenal laki-laki itu sekarang ini? Lagipula, nama itu perlahan sudah memudar dan meninggalkan memori Taehyung.

Kejadian beberapa minggu lalu dengan Jeongguk membuatnya seakan ditampar oleh kenyataan dan memutuskan untuk akhirnya pergi dari lubang hitam itu. Maka dengan berani, Taehyung membalas 'kakak', dan oh, rasanya ia lega sekaligus bingung saat mendapati kakak perempuannya menanyakan kabarnya.

Taehyung mengernyit, sejak kapan Kak Yoona tahu kontaknya?

Napas Taehyung tercekat saat ia melihat kakak perempuannya membombardir dirinya dengan pertanyaan yang sebenarnya sederhana, namun cukup membuatnya mulai berpikiran macam-macam. Mengapa kakaknya mengetahui nomornya, bagaimana bisa? Mengapa kakaknya tiba-tiba bertemu dengan Bunda; yang Taehyung tahu bahwa tidak pernah ada komunikasi diantara keduanya? Apa selama ini Bunda berbohong? Mengapa Bunda berbohong? Apakah Bundanya juga bertemu dengan Papa? Apa yang mereka rencanakan?

Rasanya kepala Taehyung penuh dengan pertanyaan dan pikiran-pikiran buruk yang membuatnya tidak bisa tidur hingga pukul dua dini hari. Jeongguk disampingnya sudah terlelap sejak beberapa jam lalu, kelelahan karena kegiatan hari kemarin yang cukup menguras energinya. Taehyung pun beberapa kali mengubah posisi rebahnya, yang menurutnya cukup berisik, namun kekasihnya itu tidak juga terbangun dari tidurnya.

Taehyung yang melihatnya hanya tersenyum sambil akhirnya menghadapkan tubuhnya pada Jeongguk, memainkan rambutnya dan mengusap pelan pipi kekasihnya itu. Setidaknya, ia tahu Jeongguk ada disampingnya, untuk membuat Taehyung sedikit lebih tenang.

Matahari masih bersembunyi dibalik awan saat Taehyung terbangun dari tidurnya yang sama sekali tidak nyenyak. Beberapa kali ia terbangun karena pikirannya yang kusut. Sepertinya ia hanya bisa terlelap selama dua jam. Selebihnya, Taehyung habiskan dengan mengganti posisi tidurnya ke kanan dan kiri.

Subuh tadi, ia sempat beranjak dari kasur, melangkah gontai ke arah pengatur pendingin ruangan yang tertanam di dinding dekat pintu kamar mandi, mematikannya yang sepertinya diatur sedemikian dingin oleh Jeongguk tadi malam. Ia mengenakan sweater milik kekasihnya yang kebesaran di tubuhnya, yang ternyata sedikit bermanfaat untuk menghalang udara dingin yang menusuk sekujur tubuhnya. Taehyung merasa sangat kedinginan, tubuhnya menggigil, padahal biasanya suhu serendah ini tidak membuatnya tersiksa saat tidur. Ia lalu kembali ke arah kasur dan merebahkan tubuhnya lagi. Rasanya Taehyung ingin waktu cepat berlalu hingga pagi datang. Ia ingin bertanya pada Bundanya, setidaknya mengobati rasa penasaran dan khawatirnya sejak semalam.

Waktu menunjukkan hampir pukul enam pagi saat Taehyung perlahan membuka kedua matanya dan menghela napas berat. Kepalanya pusing dan dadanya berdegup lebih kencang. Taehyung rasanya kesal jika harus mengalami hal seperti ini saat ia sedang berlibur di Jepang. Hari-harinya di Jepang seharusnya membawa kebahagiaan dan memori yang baik, bukan malahan diisi dengan pikiran-pikiran buruk yang akan membuat liburannya menjadi tidak menyenangkan.

Taehyung lalu menyambar handphonenya yang ia letakkan di nakas, mencari nama Bunda dan mengirimi beliau pesan. Ia memang terlihat tidak sopan pagi ini, saat bertanya pada Bunda tanpa menyapa selamat pagi, seperti yang biasanya Taehyung lakukan. Pertanyaan yang membanjiri isi kepalanya tadi malam membuatnya terburu-buru mengharapkan jawaban, berharap dirinya tidak dikecewakan dengan respon yang sebentar lagi dilontarkan oleh Bundanya.

Saat membaca pesan Bunda setelahnya, rasanya kepala Taehyung sebentar lagi akan pecah. Ia merasakan air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu, ekspektasi yang muncul di kepalanya akan membuatnya kecewa. Namun ia tetap melakukannya. Taehyung bodoh, untuk apa berharap akan sesuatu yang sebenarnya akan membuatmu kecewa, batinnya.

Benar saja, jawaban singkat Bunda membuatnya merasa demikian. Taehyung rasanya ingin keluar dari kamar ini, dari hotel ini, menghirup udara pagi Kyoto banyak-banyak dan berjalan tanpa memedulikan siapapun. Rasanya sesak. Taehyung ingin keluar.

Ia akhirnya dengan impulsif menyibakkan selimutnya, melepas sweater Jeongguk dan mengganti piyamanya dengan pakaian yang cukup rapi untuk pergi keluar. Ia mengenakan sepatunya asal sambil menjepit handphonenya diantara telinga dan bahu kanannya, mencoba menelepon Jimin. Ia sebenarnya tahu, mustahil jika sahabatnya sudah bangun sebelum alarm mengagetkannya. Semalam saja Jimin pamit untuk pergi tidur mendahuluinya dan Jeongguk karena sudah terlalu lelah mengeksplor Kyoto seharian. Beberapa detik menunggu, nada sambung itu akhirnya berubah menjadi suara seorang wanita diujung telepon.

Tidak membuahkan hasil, Taehyung hanya bisa mendesah pelan dan akhirnya memasukkan handphonenya ke saku celananya. Ia menengadahkan kepalanya, menahan air mata yang sudah diujung, akan tumpah jika ia mengedipkan mata barang sekali. Sepertinya pagi ini ia harus benar-benar pergi seorang diri.

Taehyung tidak ingin membangunkan Jeongguk. Kekasihnya itu terlihat sangat lelah dan tertidur pulas di sisi kiri kasur. Taehyung mendengar Jeongguk mendengkur halus sambil membenamkan wajahnya disela-sela bantal yang bertumpuk. Ia hanya bisa tersenyum sambil menyisir rambut yang menutupi kedua mata Jeongguk, rasanya tidak akan pernah berhenti mengucap syukur karena Tuhan telah mendatangkan kekasihnya di hidupnya? Mungkin menurut orang lain ini sangat klise, namun jujur, Jeongguk membuat hidupnya merasa lengkap. Taehyung selalu merasa aman dan dijaga, hal itu terlihat jelas dari gestur sederhana Jeongguk pada Taehyung.

Mencium kening Jeongguk kemudian, Taehyung akhirnya mengambil botol minumnya dan membawa serta dompet kecilnya. Pagi ini ia akan menjelajahi sekitaran hotel seorang diri, berharap akan menemukan kafe kecil yang menjual cokelat panas nikmat untuk menghangatkan diri dari udara Kyoto yang cukup dingin.

Jeongguk dibangunkan dengan suara telepon di kamarnya yang menggelegar memenuhi ruangan. Ia menggeram kemudian, masih dengan kedua matanya yang terpejam, lengket seperti tidak mau membuka diri. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa akan mengatur volume telepon menjadi yang paling kecil agar tidak mengganggu tidurnya dan Taehyung. Merangkak ke arah sisi lain kasurnya yang besar, ia akhirnya mengangkat wireless phone yang berdiri di nakas dan menyapa lawan bicaranya diujung telepon.

“H-halo?” Sapa Jeongguk pada entah siapapun lawan bicaranya dengan suara parau. Mungkin karena terlalu kelelahan semalam, suara 'pagi hari'nya terdengar serak. Ia harus minum air putih cukup banyak setelah ini, pikirnya.

“Gguk? Nak? Ini Bunda,” jawab suara diujung telepon yang membuat Jeongguk lantas terbelalak dan terduduk, menyibakkan selimutnya yang hampir basah. Panas sekali, apa AC kamar ini mati, batinnya. Sesaat Jeongguk akhirnya menyesali gerakan spontannya barusan yang membuat kepalanya sakit. Jeongguk meringis sambil memijat kepalanya dengan tangan kirinya.

“Oh iya, Bunda. Ada apa, Bun?” Tanya Jeongguk pada Bunda sambil merasakan sisi kasur yang sedang ia duduki sudah dingin. Taehyung ke mana? Tumben sekali ia tidak ada di kasur, pikir Jeongguk sambil melihat jam digital yang terletak di sebelah lampu tidur. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Matahari sudah mulai menunjukkan dirinya, walaupun Jeongguk bisa merasakan dari balik tirai bahwa di luar udaranya cukup sejuk, tidak terlalu panas. Ia sudah berencana akan mengajak Taehyung dan Jimin untuk pergi ke kedai es krim diujung jalan yang cukup ramai sejak kemarin, sebelum mereka bertolak ke Tokyo siang nanti.

Bunda terdengar menghela napas diujung telepon, yang berkata dengan nada khawatir kemudian. “Gguk, Tae apa ada di kamar?”

Jeongguk mengernyit. Mengapa Bunda menanyakan kekasihnya dengan nada yang sepertinya sedang cemas? “Hmm, maaf Bun, Gguk baru bangun. Tapi ini Tae nggak ada. Mungkin di kamar mandi...? Atau dapur? Mau Gguk panggilkan, Bun?” Jeongguk menjawab sambil menjulurkan kedua kakinya ke lantai, mengenakan sandal hotelnya dan berjalan ke arah kamar mandi. Tidak ada. Lantas ia melangkah ke arah dapur dan tidak menemukan Taehyung di sana. Nihil.

Taehyung ke mana?

“Ya sudah, Nak. Tae mungkin ke kamar Jimin. Makasih, sayang.” Belum sempat Jeongguk menjawab, Bunda sudah mematikan sambungan telepon. Aneh, tidak biasanya Bunda seperti ini, seperti terburu-buru. Jeongguk lalu berpikir, apa yang terjadi semalam sampai pagi tadi sebelum ia bangun?

Kekasih Taehyung itu langsung berlari ke arah nakas, berharap menemukan benda yang menandakan Taehyung hanya keluar ke kamar Jimin. Namun nihil—dompet, handphone, dan sepatu jalannya tidak ada. Sweater Jeongguk pun tidak dipakai oleh Taehyung.

Lantas Jeongguk segera menelepon Taehyung dan mengiriminya pesan, yang tidak kunjung ada jawaban dari kekasihnya itu. Jeongguk lalu menelepon Jimin, namun tidak ada jawaban. Ke mana Taehyung pergi?

Jeongguk tidak ingin panik. Jika ia panik, Taehyung otomatis akan lebih panik dan mungkin tidak akan memberitahu keberadaanya.

Selang beberapa menit setelah Jeongguk usai mencuci muka dan menggosok gigi, dengan tetap membawa handphonenya serta—kalau-kalau Taehyung membalas pesan dan teleponnya, handphonenya berbunyi, menandakan pesan masuk.

Itu Taehyung.

Taehyung sedang duduk di meja dekat jendela, di sebuah kafe kecil yang letaknya tersembunyi di sisi seberang hotel tempatnya menginap. Membutuhkan waktu lima belas menit untuknya sehingga ia sampai di sini, menikmati cokelat panas, seperti bayangannya tadi pagi. Sejak tadi Taehyung keluar dari hotel, ia langsung membuka catatan yang ia simpan dihandphonenya, tempat beberapa kafe tersembunyi di Kyoto yang sempat ia kumpulkan dengan Jimin beberapa hari lalu. Tidak banyak memang, namun cukup membuat Taehyung bingung karena ia ingin mengunjungi semuanya.

Setelah melihat alamat dan membukanya di aplikasi, ada satu kafe terdekat dari hotel yang memiliki jarak tempuh sekitar sepuluh menit. Jiwa petualang dan nekat Taehyung mendadak muncul dan akhirnya ia memutuskan akan pergi ke sana.

Udara Kyoto pagi ini cukup sejuk, membuat sekujur tubuh Taehyung beberapa kali merinding karena terpaan angin yang agak kencang saat tadi ia berjalan kaki menuju kafe. Sebenarnya, Taehyung sangat menyukai musim dingin, namun sepertinya pagi ini ia sedang tidak ingin menikmatinya. Beruntung kafe kecil ini memiliki penghangat ruangan yang cukup untuk menyelimuti dirinya. Taehyung menyesal tidak mengenakan sweater Jeongguk dan meninggalkannya di hotel.

Beberapa saat lalu, handphonenya dibombardir dengan telepon dan pesan masuk, yang ia tahu itu adalah dari Bunda. Suara itu saja sudah membuat Taehyung jengah, maka ia memutuskan untuk mengaturnya menjadi silent saat melihat pesan Jeongguk muncul di layar handphone. Senyum simpul lantas tersungging di wajah Taehyung. Jujur, ia sudah merindukan pelukan dan hujan kecupan dari Jeongguk, padahal mereka baru 'berpisah' selama dua jam lebih.

Taehyung menggelengkan kepalanya sambil setengah tertawa. Entah siapa diantara mereka yang lebih clingy, namun ia tidak peduli.

Setelah mengirimkan lokasi kafe pada Jeongguk, Taehyung lalu menyandarkan tubuhnya dan menengadahkan kepalanya. Semoga kekasihnya dapat memberikan solusi atas pikirannya yang berkecamuk. Disatu sisi, Taehyung ingin sekali bertemu dengan kakaknya. Sudah enam tahun lebih mereka tidak bertukar kabar. Well, kalau boleh jujur, Taehyung sendirilah yang meminta pada Bunda untuk tidak memberikan nomornya pada kakak sejak dulu. Saat itu, Taehyung hanya tidak ingin.

Ia tidak ingat apa sebenarnya alasan dirinya meminta pada Bundanya untuk tidak memberikan informasi apapun pada kakak perempuannya. Yang tentu membuatnya merasa kecewa pada Bunda, karena sekarang, kakak perempuannya itu menghubunginya, menanyakan kabar, setelah sekian lama? Selain itu, kenyataan bahwa Bunda dan kakaknya sudah beberapa kali bertemu dan bertukar kabar. Taehyung merasa dibohongi. Katakanlah ia kekanak-kanakan, ia tidak peduli.

Ia hanya ingin bersikap egois, sekali ini saja.

Jeongguk mengikuti ke mana arah maps memandunya untuk sampai ke kafe tempat Taehyung berada. Ia sama sekali tidak mengenal daerah ini, kafe itu terlalu tersembunyi, namun Jeongguk pernah mendengar kekasihnya dan Jimin membicarakan nama kafe ini dan berjanji akan pergi bersama. Ia salut pada Taehyung yang benar-benar berani mengeksplor Kyoto hingga ke seluk-beluk seperti ini sendirian. Jeongguk memprediksi, keadaanlah yang 'memaksa' Taehyung memberanikan diri.

Selang beberapa langkah, akhirnya Jeongguk sampai di gang kecil yang di sisi depannya terpampang papan kecil, menunjukkan arah kafe itu berada. Jeongguk sempat ragu saat berjalan memasuki gang tersebut, tidak ada banyak orang yang berlalu-lalang. Namun setelah ia menyusuri lebih dalam, sampailah ia pada sebuah kafe yang terlihat sangat homey. Jeongguk akhirnya berlari kecil ke arah pintu masuk saat bertemu mata dengan Taehyung—kekasihnya itu melambaikan tangan sambil melemparkan senyum lebarnya pada Jeongguk.

Suasana kafe sangat sunyi namun terkesan sangat nyaman. Jeongguk seketika itu juga menyukai pilihan Taehyung dan Jimin. Saat memasuki kafe, telinga Jeongguk disambut dengan lantunan lembut instrumen jazz yang memenuhi seluruh ruangan, sedang indera penciumannya disambut oleh wangi cokelat yang entah membuat dirinya tersenyum. Jeongguk tahu, Taehyung pasti menyukai tempat ini. Meja dan kursi untuk pengunjung tidak banyak disediakan, lagipula space kafe ini cukup kecil, namun Jeongguk sama sekali tidak merasa 'sesak'.

“Hai, Sayang,” sapa Jeongguk hangat saat menghampiri Taehyung yang sudah menyambutnya dengan senyum lebarnya. Mencium kedua pipi dan dahi Taehyung kemudian sebelum akhirnya Jeongguk mengambil duduk di sisi depan kekasihnya. “Maaf ya aku lama, tadi aku sempat salah cari jalan.”

Senyum lebar Taehyung membuat Jeongguk seketika tersenyum. “Iya, nggak apa, Ggukie. It's nice tho, being alone for a while.” Taehyung menjawab sambil memajukan tubuhnya dan mengulurkan tangannya, yang dengan sigap diraih Jeongguk untuk digenggam.

Jeongguk lalu mengulurkan tangannya dan mengelus pelan pipi Taehyung. “It is, Sayang. Are you happy?” Jeongguk bertanya pada kekasihnya yang memperlihatkan senyum sumringahnya. Taehyung seketika mengangguk cepat, membuat tangan Jeongguk terlepas dari pipinya. Namun Jeongguk dapat merasakan pipi kekasihnya itu bergetar, tanda ia kedinginan. Ia dengan sigap melepaskan sweaternya dan memberikannya pada Taehyung untuk dipakai. “Dipakai, Tae. Kamu kedinginan, 'kan, pasti.”

Yes, very. Jalan-jalan sendirian ternyata ada enaknya juga, Ggukie,” jawab Taehyung bersemangat sambil mengenakan sweater Jeongguk yang kebesaran di tubuhnya. Tetapi tidak apa, toh ia memerlukan penghangat yang melekat pada tubuhnya agar ia tidak terserang udara dingin berkali-kali yang dikhawatirkan akan membuatnya sakit. “Kamu mau pesan apa, Ggukie? You have to go there to order.” Taehyung menunjuk ke arah kasir yang sejajar dengan cake display dan bar tempat para barista membuat minuman.

Can you also get me those soft cookies, please, Ggukie? Aku tadi mau pesan tapi takut kekenyangan karena cokelat panasnya.” Kekasih Jeongguk itu menunjuk kearah mugnya dengan bibir yang sedikit maju. Jeongguk hanya terkekeh dan membalas 'okay' sebelum ia berjalan ke arah kasir.

Seorang barista di bar dengan sigap menyapa Jeongguk, tertera nametag di dadanya. Jeongguk tersenyum setelahnya, menyadari bahwa barista itu berkewarganegaraan sama dengannya. Barista yang bernama Hyun itu menjelaskan beberapa signature menu dan memberikan rekomendasi untuk Jeongguk.

Setelah memesan secangkir latte panas dan beberapa cookies untuknya dan Taehyung, Jeongguk bergeser ke arah pickup spot sambil memperhatikan Hyun memroses pesanannya.

“Liburan, Jeongguk-ssi?” Hyun bertanya sambil membaca struk pesanan, membaca nama customer yang tertera di kiri atas kertas. Ia terliha sedang menunggu biji kopi ter-grinding sampai halus. Suara mesin kopi itu cukup menyita perhatian Jeongguk, ia baru sadar jika Hyun mengajaknya bicara.

“Ah, iya. Fall trip, I guess. Hyun-ssi, sudah lama bekerja di sini?” Jeongguk membalas dengan ramah. Ia lalu memperhatikan kerja tangan Hyun yang cukup cekatan membuat latte panasnya. Jeongguk sambil berusaha menebak usia Hyun dalam pikirannya. Pria ini sepertinya jauh lebih tua dariku, berapa usianya, ya, batinnya.

Hyun tersenyum mendengar pertanyaan Jeongguk. Ia terlihat sedang mengambil beberapa buah cookies dengan capit dan meletakkannya di piring kecil. “Bisnis keluarga. Saya sudah cukup lama tinggal di Kyoto, Jeongguk-ssi.”

Jeongguk hanya menanggapi dengan mengangguk, sambil memperhatikan Taehyung yang sedang mengaduk-aduk cokelat panasnya dan melamun. Jeongguk mengernyit. Ada apa sebenarnya antara Bunda dengan kekasihnya? Tidak pernah Bunda menanyakan anaknya pada Jeongguk dengan nada khawatir seperti tadi. Apa Bunda Kim dan Taehyung sedang bertengkar?

Fokus Jeongguk buyar saat Hyun memanggil namanya dengan menyuguhkan secangkir latte panas dan cookies pesanannya. Jeongguk tersenyum kemudian dan mengucapkan terima kasih. Hyun membalas dengan terlalu ramah, yang membuat Jeongguk hampir mengernyitkan dahi. Apa Hyun ini mengenalnya dan Taehyung? Jeongguk tidak bodoh, sejak Jeongguk memasuki kafe dan menghampiri Taehyung, ia merasa Hyun beberapa kali melihat ke arahnya dan Taehyung.

Namun Jeongguk hanya tersenyum simpul dan menghiraukannya. Ia dan Taehyung, tidak akan bertemu dengan siapapun di Jepang, terutama Kyoto, 'kan? Kalaupun memang iya, dunia sempit sekali.

Setelah menikmati latte dan cookies yang ia pesan, akhirnya Taehyung membuka pembicaraan dengan Jeongguk, straight to the point. Kekasih Jeongguk itu tiba-tiba menyodorkan handphonenya, meminta Jeongguk untuk membaca pesan dari kakak perempuannya dan juga Bunda sejak malam tadi hingga pagi ini.

“Wow, okay... aku bingung harus menanggapi seperti apa,” respon Jeongguk saat selesai membaca. Kekasih Taehyung itu benar-benar memperlihatkan raut wajah keheranannya, yang membuat Taehyung bisa tertawa sedikit.

Taehyung hanya membalas Jeongguk dengan helaan napas berat dan berkata sambil mengunyah cookiesnya. “Aku pun juga bingung, Ggukie. Tiba-tiba banget? Yang sebetulnya membuat aku kesal adalah, kenapa sih Bunda nggak bilang? Aku kan sudah bukan kelas empat lagi.” Taehyung mengeluh, lengkap dengan bibirnya yang maju dan dahi yang mengernyit. “Kesal setengah mati, kamu tahu? Kalau dibohongi kayak gini.”

Jeongguk lalu menggeser cangkir dihadapannya dan menarik tangan Taehyung, menggenggamnya erat sambil mengelus pelan punggung tangannya.

“Sayang, mungkin Bunda bingung bagaimana caranya bicara sama kamu? Lalu ya, dari cerita-cerita kamu bagaimana kepribadian dan sifat kakak, juga dari pesan yang kakak dan Bunda kirim, sepertinya menurut aku, kakak yang inisiatif mencari kontak kamu dihandphone Bunda. No?” Jelas Jeongguk hati-hati. Ia ingin berpikiran netral, tidak memihak siapapun. Namun ia pun juga ingin memberi dukungan pada Taehyung, menunjukkan bahwa Jeongguk mengerti maksud kekasihnya itu.

“Iya, aku juga kepikiran seperti itu, Ggukie. Apa aku kelewat batas ya, jadi kayak tadi ke Bunda? Aku hanya kecewa saja, Ggukie. Ya kamu paham lah maksud aku,” ujar Taehyung sambil menghela napas dan kembali menyeruput cokelat panasnya. Sebenarnya, saat Taehyung melangkahkan kaki keluar hotel untuk 'kabur' sejenak, ia sudah menyesali perlakuannya pada Bundanya. Namun entah, rasanya ia ingin egois sedikit, mementingkan perasaannya dahulu.

“Wajar, Sayang. Nggak apa-apa, kok, Bunda pasti paham dan mengerti posisi kamu. Nanti bicara dan minta maaf sama Bunda, ya?” Jeongguk meyakinkan Taehyung dan kembali mengelus pelan pipi kekasihnya itu. Sebuah pertanyaan lalu melintas dikepala Jeongguk. “Tapi, Tae, kamu apa mau mengiyakan ajakan kakak? Apa kamu siap ketemu kakak tanpa Bunda, kalaupun kamu mau? Bunda kan sudah berangkat ke Tokyo,” tanya Jeongguk kemudian.

Taehyung mengernyit sejenak, lalu menggumam. “Aku lihat nanti deh, Ggukie. Lagipula, besok pagi-pagi banget kita ke Tokyo, 'kan? There's no chance to meet her, anyway. Mungkin ya, siapa tahu Bunda juga info ke kakak kalau kita akan ke sana?” Taehyung bertanya retorik pada Jeongguk, yang membuat kekasihnya hanya mengangguk pelan dan tersenyum.

“Oke, Tae. Aku dukung apapun keputusan kamu. Ya?” Jeongguk berkata sambil mengecup pelan telapak tangan Taehyung, membuat kekasihnya itu tersenyum lebar dan tersipu.

I love you, okay,” bisik Jeongguk pelan yang direspon Taehyung dengan memutar kedua bola matanya sambil tertawa.

I love you too, lover boy.”

Taehyung akhirnya memberi kabar pada Jimin yang sudah seperti kebakaran jenggot saat mengetahui Bundanya pun mencari dirinya ke Jimin. Mereka berdua hanya terkekeh melihat Jimin yang kalang kabut mencari Taehyung.

Setelah menghabiskan makanan dan minuman mereka, akhirnya Jeongguk mengajak Taehyung untuk kembali ke hotel, bergegas untuk bersiap mengeksplor Kyoto hingga larut malam, sebelum besok hari bertolak ke Tokyo dengan menggunakan Shinkansen.

Mereka berjalan bersisian menuju pintu kafe itu sambil tersenyum, sudah cukup drama pagi ini yang membuat beberapa orang khawatir karena Taehyung 'menghilang'. Lagipula, masih ada beberapa tempat yang ingin mereka kunjungi hari ini—kafe, pasar Nishiki yang adalah surga kuliner—menurut Jimin, dan beberapa kedai ramen favorit di Kyoto. Mereka pun sempat menyapa Hyun yang sedang berdiri di kasir, lalu berjalan keluar dari kafe dengan senyum lebar.

Sepasang kekasih itu tidak menyadari bahwa Hyun sedari tadi memperhatikan mereka berdua dengan tersenyum. Tak lama, ia menyapa tunangannya yang baru saja datang memasuki kafe dari pintu belakang.

“Yoona-ah, kamu tidak akan percaya siapa yang baru saja aku temui.”

Best Day Ever

Sibuk, sibuk dan sibuk, adalah satu kata yang sangat cocok untuk mendeskripsikan Taehyung beberapa minggu ini. Bagaimana tidak, Taehyung mencoba dan memaksimalkan segala cara untuk menyambut hari ulang tahun Jeongguk. Tahun ini, ia seperti meminta tolong pada seluruh dunia untuk membantunya, kalau kata Jimin. Tentu kata-kata Jimin menyebabkan dirinya dihadiahi jitakan kecil dari Taehyung sebagai jawaban. Taehyung hanya mendengus kasar karena ia mendengar tawa ejekan Jimin kemudian.

Taehyung itu kompetitif. Setelah mengetahui bahwa Bundanya akan memberi kado untuk Jeongguk dan dirinya jalan-jalan ke Jepang, selama lima belas hari pula, ia merasa ciut. Taehyung merasa surprise yang sudah ia susun dan rencanakan sedemikian rupa tidak seistimewa kado Bundanya bila keduanya dibandingkan. Taehyung tidak tahu, kehadirannya saja sudah lebih dari cukup untuk Jeongguk.

Jujur, saat Taehyung merencanakan ulang tahun Jeongguk tahun ini, ia tahu bahwa ia akan mengajak para sahabat kekasihnya untuk turut serta memberi kejutan. Ia pun tahu, mereka bertiga, terutama Yugyeom pasti akan mencetuskan ide yang cukup gila sehingga membuat mereka semua kewalahan. Taehyung hanya menggelengkan kepala dan terkekeh saat Yugyeom bercerita bahwa kekasihnya marah karena tidak diberitahu soal rencana liburan ke Jeju sebelumnya. Butuh tenaga ekstra untuk membohongi Jeongguk, karena kekasihnya itu sangat ahli dalam membaca situasi dan raut wajah seseorang jika sedang berbohong.

Beruntung Jeongguk akhirnya setuju setelah perdebatan alotnya dengan Yugyeom. Mereka berdua jarang sekali bertengkar. Sebenarnya, Jeongguk pun merasa sedikit aneh dengan ide Yugyeom yang mengajaknya pergi liburan tanpa seizinnya. Seakan-akan Yugyeom baru sebentar menjadi sahabatnya. Namun ia mengesampingkan pikiran itu dan menganggap bahwa Yugyeom mungkin lupa.

Hati kecil Taehyung pun berharap, semoga surprise ini berjalan seperti yang ia inginkan.

Setelah menghabiskan waktu santai mereka berempat di kafe Haru, akhirnya Yugyeom memutuskan untuk mengajak Jeongguk pulang. Sahabat mereka itu sudah terdiam dan menyandarkan tubuhnya di sofa sambil memainkan gelasnya sejak beberapa menit lalu. Benar kata Taehyung, kekasihnya itu akan mudah lelah jika seharian memforsir kegiatannya seperti ini. Apalagi penghujung harinya ditutup dengan menunjukkan bakat menyanyinya pada orang asing yang menjadi tamu kafe Haru malam ini.

Riuh para tamu kafe sejak sore tadi sebenarnya membuat adrenalinnya melonjak; Jeongguk merasa sangat bersemangat. Live music kafe Haru hari ini dipersembahkan oleh salah satu band terkenal yang namanya pernah ia dengar lewat radio. Pun Jeongguk sempat mendengar suara mereka secara langsung saat beberapa minggu lalu hunting kafe dan resto baru bersama Taehyung. Vokalis mereka yang Jeongguk ingat bernama Bambam itu, memiliki suara yang membuatnya kagum. Rasanya pria itu benar-benar menghipnotis Jeongguk untuk selalu bernyanyi mengikuti lagu apapun yang sedang ia bawakan.

Walaupun sebenarnya hari ini ia cukup kesal dengan panggilan 'spontan' dari atas panggung kecil di sisi kafe Haru yang membuatnya harus unjuk gigi di sana beberapa saat lalu.

Jeongguk tidak marah, tidak. Ia hanya kesal karena sama sekali tidak ada persiapan. Oh, mungkin tidak hanya itu. Ia kesal karena harus berdiri (lagi) di depan banyak orang seperti beberapa bulan lalu saat suaranya hanya untuk Taehyung. Dan yang lebih membuatnya kesal adalah kenyataan bahwa malam ini, kekasihnya itu sedang bersantai di rumah dan tidak berada di hadapannya saat ini.

Namun, rasa kesal perlahan itu luntur kala Jeongguk melihat antusias para tamu di kafe Haru memusatkan perhatian padanya saat ia berjalan ke arah panggung. Jeongguk bukanlah seseorang yang mudah untuk menuruti permintaan orang, apalagi sampai harus bernyanyi di depan puluhan—bahkan mungkin ratusan—orang seperti ini.

Ia lalu berpikir, kapan lagi akan melakukan hal seperti ini? Sebentar lagi—dalam hitungan jam—usianya akan bertambah. Mungkin ini saatnya untuk mencoba hal-hal baru dan melakukan sesuatu yang belum pernah—atau enggan—ia lakukan.

Sebelum bertambah usia, tidak ada salahnya, 'kan, pikirnya.

Beberapa saat lalu, ia merasa namanya dipanggil oleh vokalis band itu. Merasa bahwa bukan ia satu-satunya di muka bumi ini yang memiliki nama Jeongguk, ia hanya terdiam sambil asyik mengunyah beberapa potong nachos yang mereka pesan. Saat ia akhirnya mendengar samar-samar pria itu memanggil dengan nama lengkapnya, barulah ia mendongak dengan raut wajah keheranan. Jeongguk menghentikan kunyahnya, lalu mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk ke dadanya sambil memperhatikan Bambam. Pria itu mengangguk dan akhirnya menunjuk ke arah Jeongguk dari kejauhan, dan membuat Eunwoo sontak menggeser duduknya agar sahabatnya itu bisa melangkah keluar.

Jeongguk merasa mungkin pakaian yang ia kenakan hari ini cukup menarik perhatian—hoodie hitam dan celana jeans yang robek dibagian lutut, atau mungkin parasnya yang cukup tampan untuk ukuran anak muda seperti dirinya? Jeongguk lalu tersenyum, menunjukkan gigi kelincinya dan melihat kearah para sahabatnya yang sedang duduk manis di sofa dekat bar. Yugyeom terlihat menaikkan kedua alisnya heran, sedang Eunwoo terlihat sedang berbincang dengan Seokjin dan Namjoon.

Tunggu, sejak kapan mereka berdua juga ada di sini?

Seokjin dan Namjoon tiba-tiba menoleh ke arah panggung dan melambaikan tangan senang. Jeongguk hanya membalasnya dengan cengiran—ia malu, takut kedua teman seangkatannya itu akan mengolok-oloknya nanti.

Setelah berbincang sebentar dengan anggota band yang duduk dan menggenggam alat musiknya masing-masing, Jeongguk dikejutkan oleh sosok Mingyu yang menemaninya di pinggir panggung. Ia pun lalu teringat dan memanggil Mingyu kemudian. “Ming, tolong rekam gue, boleh? Mau gue tunjukkin Taehyung nanti,” katanya singkat sambil mengeluarkan handphonenya dari kantong hoodienya.

Sahabat Jeongguk itu lalu mengambil benda itu dari tangan Jeongguk dan mengangguk. Terdengar balasan Mingyu 'dasar bucin', yang hanya ditanggapi Jeongguk dengan mengangkat kedua tangannya sambil berkata “Pacar gue mesti tahu segalanya.”

Sebutlah Jeongguk clingy, ia tidak peduli, karena memang benar adanya.

Antusiasme para tamu di kafe Haru membuat Jeongguk senang. Rasanya ia tidak ingin cepat-cepat mengakhiri sesi spontanitasnya di atas panggung. Lagu yang ia bawakan hanya tiga, namun ketiganya terasa sangat spesial bagi Jeongguk. Ketiganya adalah lagu kesukaan kekasihnya. Andai saja Taehyung ada di sini, ia pasti akan lebih bahagia dari ini.

Jeongguk akhirnya duduk nyaman di jok belakang mobil Yugyeom sambil menyandarkan kepalanya pada kaca jendela disisinya. Ia terlalu lelah hari ini. Sejak pagi, ia sudah menemani Mamanya pergi brunch, menghabiskan waktu bersama sebelum akhirnya ia pamit untuk berangkat liburan ke Jeju. Jujur, ia sebenarnya ingin sekali mengajak Taehyung untuk berlibur ke sana. Namun ia menghargai niat Yugyeom yang ingin menghabiskan waktu hanya berempat sebelum mereka akhirnya lulus dari jenjang sekolah beberapa bulan lagi.

Ia melirik ke arah jam digital yang terletak di dashboard mobil Yugyeom yang menunjukkan waktu pukul 23:45. Lima belas menit lagi usianya akan bertambah satu tahun. Ia hanya tersenyum kemudian, sesaat sebelum kedua matanya memaksa untuk terpejam. Lelah. Sebenarnya ia menunggu Taehyung menelepon untuk mengucapkan selamat, namun Jeongguk sudah tidak kuat menahan kantuk yang menariknya untuk tertidur.

Jeongguk akhirnya pergi ke alam mimpi, terlalu pulas sehingga tidak sadar bahwa Eunwoo sedang susah payah memakaikan sleeping mask untuk menutupi kedua matanya.

Taehyung bernapas lega saat akhirnya dekorasi—empat, lebih tepatnya—untuk menyambut Jeongguk sudah selesai. Ia mengabadikan hasil karyanya dengan Jimin, Hoseok, dan juga Yoongi dari beberapa angle dengan handphonenya. Mama Jeon yang sedari tadi melihat Taehyung terlalu lincah hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, melihat ide-ide kekasih anak semata wayangnya yang membuatnya kagum. Taehyung hanya tertawa pelan dan mengucapkan terima kasih atas apresiasi Mama Jeon.

Jimin terlihat sedang duduk diatas karpet abu-abu yang melapisi seluruh ruangan sambil meluruskan kakinya, memijat-mijat kedua pahanya yang sangat pegal karena terlalu lama berdiri. Ia bingung dengan sahabatnya yang benar-benar seperti memiliki tenaga ekstra untuk berdiri selama dua jam lebih. Jimin sama sekali tidak mendengar Taehyung mengeluh. Sebaliknya, sahabatnya itu terlihat sumringah selama dua jam ini sambil mengerjakan dekorasi untuk surprise Jeongguk. Jimin hanya menggelengkan kepala heran sambil terkekeh. Sahabatnya itu memang sangat totalitas jika sedang melakukan sesuatu untuk orang yang spesial dihidupnya.

Ia lalu memutuskan untuk berdiri dari duduknya kala Hoseok dan Yoongi yang terlihat sedikit panik, berlari kecil ke arah ruang tengah. Hoseok lalu membuka suara, membuat Taehyung yang sedari tadi sedang asyik mengedit foto terkejut kemudian. “Jeongguk is here in 3 minutes! Eunwoo barusan chat digrup.”

Taehyung setengah memekik, lalu berlari ke kamar tidur Mama Jeon dan mengetuknya. Selang beberapa detik, Mama Jeon akhirnya membuka pintu kamar dan tersenyum kemudian. “Ada apa, Sayang? Gguk sudah sampai?”

Ia menunjukkan raut sesal di wajahnya saat melihat Mama Jeon menguap. “Belum Ma, sebentar lagi. Tiga menit katanya. Maaf Ma, Taehyung ngebangunin Mama, ya?”

Mama Jeon lalu menggeleng dan berkata, “Nggak kok, Sayang. Ini Mama habis cuci muka aja, kok.” Beliau lalu tersenyum dan mengangkat tangannya, mengelus kedua pipi Taehyung yang kenyal. Ia hanya tersenyum lebar menanggapi gestur ibu kekasihnya yang menenangkan, seperti tahu bahwa Taehyung khawatir kekasihnya tidak akan suka dengan surprise ini. Atau mungkin akan menganggap semua ini berlebihan. Sayangnya, semua kekhawatirannya itu terpancar dari wajahnya tanpa ia sadari. Mama Jeon lalu tersenyum. “Mama tahu, Gguk pasti akan suka, Sayang. Jadi Taeby nggak usah khawatir, okay?”

Mendengar itu, Taehyung perlahan dapat tersenyum dan bernapas lega.

“Oke, Mama. Taehyung percaya kalau gitu.”

Jeongguk merasakan laju mobil Yugyeom berhenti, namun ia masih enggan membuka mata. Kedua telinganya samar-samar menangkap suara orang berbisik-bisik, namun ia pun tidak ingin mendengar atau berusaha mencerna pembicaraan itu. Jeongguk benar-benar mengantuk, kedua matanya pun seperti lengket. Rasanya ia ingin meminta tolong pada teman-temannya untuk menggendongnya di punggung dan merebahkan tubuhnya diatas kasur Yugyeom—sudah sejak tadi di Haru ia membayangkan betapa nyamannya kasur yang dimiliki sahabatnya itu. Pun bantal dan guling yang Yugyeom punya. Juara.

Seseorang membuka pintu sisinya, lalu menyentuh bahunya dan menepuknya, seperti gestur membangunkannya dari tidur. Jeongguk merasakan tubuhnya pegal, ia mengangkat tangannya untuk meregangkan tubuhnya, dan memutar lehernya hingga mendengar bunyi 'kletak!' di telinganya. Ia mencoba untuk mengusap kedua matanya saat ia merasakan bahwa terdapat sleeping mask yang menghalangi jarak pandangnya. Jeongguk tidak mengingat mengenakan benda ini saat tadi bertolak dari Haru.

Pikiran dalam diamnya buyar saat ia mendengar Eunwoo di sampingnya berkata sambil menepuk bahunya. “Bro, bangun. Udah sampai.”

Ia mengernyit kemudian. Bagaimana ia bisa jalan ke luar dari mobil kalau indera penglihatannya tertutup benda ini? Selang beberapa detik, ia tersadar. Waktu pasti sudah memasuki hari ulang tahunnya. Ia lalu tersenyum simpul dan membalas Eunwoo. “Ini boleh gue lepas nggak, sleeping masknya? Tuntun gue, deh, kalau gitu. Mau ngasih surprise, 'kan, lo bertiga?”

Yugyeom yang mendengar hanya mendengus dan menyentil pelan belakang kepala Jeongguk. “Yeah, yeah. Kita memang ada rencana surprise lo. Kapan lagi kita bikin ginian buat lo, bro?”

Jeongguk akhirnya dituntun keluar dari mobil dan mendengar pintunya tertutup. Ia tidak tahu sekarang mereka ada di mana. Eunwoo dan Mingyu menuntunnya di sisi kanan dan kirinya. Ia berpikir barang sebentar, sampai akhirnya terlintas satu pertanyaan di otaknya. Ia bertanya sambil setengah berteriak karena kaget. “Nyet, kita belum sampai Jeju, 'kan?!”

Eunwoo yang di sampingnya lalu terbahak, memecah kesunyian yang menyelimuti malam itu. Jeongguk tidak tahu saat ini pukul berapa persisnya, namun dari angin malam yang menusuk kulitnya, ia menebak saat ini sudah pukul dua dini hari. “Ya, nggak lah, jir. Menurut lo aja. Kayak punya pesawat pribadi aja bisa langsung sampai Jeju.”

“Udah lo tenang aja, bro. Sini gue gendong belakang biar nggak kesandung. Hitung-hitung lo ulang tahun, gue kasih a gift in advance.” Jeongguk mendengar Mingyu berkata sambil berdiri di depannya, membuatnya terkekeh pelan dan lantas mengulurkan kedua tangannya untuk memegang kedua bahu Mingyu. Sahabat Jeongguk itu memang memiliki badan yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Yugyeom, Eunwoo, dan dirinya.

“Et, enteng banget lo, Gguk? Nge-gym kurang-kurangin, kali. Bisa ketiup angin lo besok-besok kalau lagi nyium Taehyung, di pinggir pantai gitu misal— aduh!” Ujar Mingyu enteng yang sontak membuat dua sahabat Jeongguk lainnya tertawa terbahak-bahak tidak berhenti. Mingyu lalu meringis kesakitan sesaat setelah mendapat pukulan yang cukup keras di bahu kanannya.

“Emang bangke lo, Ming. Udah buruan jalan!” Oceh Jeongguk sambil mendengus dan ikut tertawa kemudian.

Setelah Taehyung mendapat izin pada Mama Jeon untuk mematikan seluruh lampu yang ada di dalam rumah, maka ia segera berlari menuju beberapa sudut untuk mencari saklar lampu dan mematikannya. Mama Jeon sudah siap di posisinya, didampingi Jimin, Hoseok, dan juga Yoongi. Sedang Taehyung berdiri di tengah-tengah ruangan, persis berada di depan backdrop yang sudah didekorasi sedemikian rupa olehnya dan ketiga temannya. Semua peralatan yang akan Taehyung gunakan sudah siap, handphone yang ia genggam sudah tersambung dengan speaker miliknya yang ia bawa serta. Taehyung tersenyum hingga kedua pipinya pegal. Ia tidak sabar melihat reaksi Jeongguk atas surprise yang sudah disiapkan hampir dua minggu belakangan.

Taehyung melihat Jeongguk memasuki ruangan, digendong belakang oleh Mingyu dengan Eunwoo, Seokjin, dan Namjoon yang mengekor di belakang mereka. Sedang Yugyeom membimbing Mingyu dengan berbekal flashlight dari handphonenya.

“Anjir, gue di mana, sih? Kok wangi amat?” Taehyung mendengar kekasihnya itu bertanya dengan suara pelan. Ia tahu, Jeongguk suka dengan wangi lilin aromaterapi yang ia miliki, namun Taehyung tahu, kekasihnya tidak suka kesunyian seperti ini.

Tidak ada satupun dari mereka yang menjawab pertanyaan Jeongguk.

Taehyung mengambil napas panjang lalu memencet tombol play di aplikasi musiknya, memasukan handphonenya kemudian di saku celananya, dan melangkah pelan kearah kekasihnya. Berdiri terpisah jarak satu meter dengan Jeongguk. Taehyung akhirnya mendengar alunan lagu menyapa kedua telinganya dari sebuah speaker. Lagu itu sangat familiar olehnya. Intro lagu dengan genre jazz itu seketika membunuh seluruh kesunyian yang mereka rasakan.

Heaven, I'm in heaven And my heart beats so that I can hardly speak And I seem to find the happiness I seek When we're out together dancing cheek to cheek

Perlahan, Yugyeom yang sudah standby di sudut ruangan, akhirnya memutar setting lampu sehingga seluruh ruangan diterangi oleh lampu dim kuning yang hangat dan membuat suasana menjadi sendu.

Heaven, I'm in heaven And the cares that hung around me through the week Seem to vanish like a gambler's lucky streak When we're out together dancing cheek to cheek

Ia melihat Jeongguk tersenyum, menggerak-gerakkan tubuhnya ke sana kemari mengikuti irama, tanpa suara. Suara Louis Armstrong yang khas memenuhi ruangan, membuat Taehyung pun mengikuti gerakan Jeongguk. Ia lalu melangkah mendekat ke arah Jeongguk, menyisakan jarak enam puluh sentimeter diantara mereka. Ia membiarkan Jeongguk menikmati lagu favorit mereka berdua.

Oh I love to climb a mountain And reach the highest peak But it doesn't thrill (boot) me half as much As dancing cheek to cheek

Taehyung lalu mendekatkan tubuhnya pada Jeongguk, mengulurkan tangannya untuk merengkuh tubuh kekasihnya. Padahal baru dua hari mereka berpisah, namun rasanya seperti berminggu-minggu. Ia dengan pelan melingkarkan kedua tangannya pada belakang kepala Jeongguk dan menarik tubuh kekasihnya itu dan memeluknya. Sleeping mask yang menutupi kedua mata Jeongguk lepas, membuat kekasih Taehyung itu terkejut seketika saat terjadi kontak fisik diantara mereka berdua.

Happy birthday to you, Ggukie. I love you so much,” bisik Taehyung di telinga Jeongguk, yang membuat kekasihnya itu lantas bereaksi dengan meneteskan air mata dan menjauhkan tubuh mereka dan menangkup wajah Taehyung dengan kedua tangannya untuk menciumnya.