Coincidence
Taehyung membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyadari bahwa salah satu hal yang tidak ia sukai di dunia ini adalah dibohongi. Lagipula, siapa orang di dunia ini yang lebih memilih mendengar kebohongan daripada kejujuran? Selama hidupnya, keluarga kecil Kim selalu mengedepankan kejujuran, mengenai hal apapun. Maka Taehyung tidak heran jika rasanya ingin marah saat mengetahui bahwa Bundanya sempat bertemu dengan kakak perempuannya, Yoona, tadi malam. Tanpa memberitahu Taehyung.
Sebenarnya, Taehyung merasa sangat egois saat menghiraukan telepon dan pesan Bunda. Jujur saja, ia pun merasa sangat tidak adil jika berpikir bahwa sebenarnya Bunda membohonginya. Bunda pasti memiliki alasan mengapa tidak memberitahu Taehyung, 'kan? Hanya saja, rasa kecewanya sudah memenuhi hati dan pikirannya jauh sebelum Bunda memberi penjelasan.
Biar saja. Taehyung rasanya ingin sekali ini saja bersikap egois.
Saat tadi malam Taehyung menerima pesan dari seseorang, memorinya langsung terlempar kembali ke enam tahun lalu; saat terakhir kali bertemu dengan kedua orang yang sangat senang memanggil Taehyung dengan sebutan 'Taehyung kecil'. Kak Yoona dan Bogum sepertinya memiliki telepati luar biasa untuk memanggilnya dengan sebutan 'Taecil', padahal Taehyung tidak pernah mengizinkan Yoona dan Bogum bertemu selama ia dan laki-laki itu menjalin hubungan.
Kekhawatiran mulai muncul dan menjalar dalam kepala Taehyung, entah rasanya ingin berteriak jika yang memanggilnya tadi malam adalah Bogum. Namun tidak mungkin, dari mana pria itu akan mendapatkan nomornya? Rasanya ia tidak mempunyai teman dan/atau saudara yang mengenal laki-laki itu sekarang ini? Lagipula, nama itu perlahan sudah memudar dan meninggalkan memori Taehyung.
Kejadian beberapa minggu lalu dengan Jeongguk membuatnya seakan ditampar oleh kenyataan dan memutuskan untuk akhirnya pergi dari lubang hitam itu. Maka dengan berani, Taehyung membalas 'kakak', dan oh, rasanya ia lega sekaligus bingung saat mendapati kakak perempuannya menanyakan kabarnya.
Taehyung mengernyit, sejak kapan Kak Yoona tahu kontaknya?
Napas Taehyung tercekat saat ia melihat kakak perempuannya membombardir dirinya dengan pertanyaan yang sebenarnya sederhana, namun cukup membuatnya mulai berpikiran macam-macam. Mengapa kakaknya mengetahui nomornya, bagaimana bisa? Mengapa kakaknya tiba-tiba bertemu dengan Bunda; yang Taehyung tahu bahwa tidak pernah ada komunikasi diantara keduanya? Apa selama ini Bunda berbohong? Mengapa Bunda berbohong? Apakah Bundanya juga bertemu dengan Papa? Apa yang mereka rencanakan?
Rasanya kepala Taehyung penuh dengan pertanyaan dan pikiran-pikiran buruk yang membuatnya tidak bisa tidur hingga pukul dua dini hari. Jeongguk disampingnya sudah terlelap sejak beberapa jam lalu, kelelahan karena kegiatan hari kemarin yang cukup menguras energinya. Taehyung pun beberapa kali mengubah posisi rebahnya, yang menurutnya cukup berisik, namun kekasihnya itu tidak juga terbangun dari tidurnya.
Taehyung yang melihatnya hanya tersenyum sambil akhirnya menghadapkan tubuhnya pada Jeongguk, memainkan rambutnya dan mengusap pelan pipi kekasihnya itu. Setidaknya, ia tahu Jeongguk ada disampingnya, untuk membuat Taehyung sedikit lebih tenang.
Matahari masih bersembunyi dibalik awan saat Taehyung terbangun dari tidurnya yang sama sekali tidak nyenyak. Beberapa kali ia terbangun karena pikirannya yang kusut. Sepertinya ia hanya bisa terlelap selama dua jam. Selebihnya, Taehyung habiskan dengan mengganti posisi tidurnya ke kanan dan kiri.
Subuh tadi, ia sempat beranjak dari kasur, melangkah gontai ke arah pengatur pendingin ruangan yang tertanam di dinding dekat pintu kamar mandi, mematikannya yang sepertinya diatur sedemikian dingin oleh Jeongguk tadi malam. Ia mengenakan sweater milik kekasihnya yang kebesaran di tubuhnya, yang ternyata sedikit bermanfaat untuk menghalang udara dingin yang menusuk sekujur tubuhnya. Taehyung merasa sangat kedinginan, tubuhnya menggigil, padahal biasanya suhu serendah ini tidak membuatnya tersiksa saat tidur. Ia lalu kembali ke arah kasur dan merebahkan tubuhnya lagi. Rasanya Taehyung ingin waktu cepat berlalu hingga pagi datang. Ia ingin bertanya pada Bundanya, setidaknya mengobati rasa penasaran dan khawatirnya sejak semalam.
Waktu menunjukkan hampir pukul enam pagi saat Taehyung perlahan membuka kedua matanya dan menghela napas berat. Kepalanya pusing dan dadanya berdegup lebih kencang. Taehyung rasanya kesal jika harus mengalami hal seperti ini saat ia sedang berlibur di Jepang. Hari-harinya di Jepang seharusnya membawa kebahagiaan dan memori yang baik, bukan malahan diisi dengan pikiran-pikiran buruk yang akan membuat liburannya menjadi tidak menyenangkan.
Taehyung lalu menyambar handphonenya yang ia letakkan di nakas, mencari nama Bunda dan mengirimi beliau pesan. Ia memang terlihat tidak sopan pagi ini, saat bertanya pada Bunda tanpa menyapa selamat pagi, seperti yang biasanya Taehyung lakukan. Pertanyaan yang membanjiri isi kepalanya tadi malam membuatnya terburu-buru mengharapkan jawaban, berharap dirinya tidak dikecewakan dengan respon yang sebentar lagi dilontarkan oleh Bundanya.
Saat membaca pesan Bunda setelahnya, rasanya kepala Taehyung sebentar lagi akan pecah. Ia merasakan air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu, ekspektasi yang muncul di kepalanya akan membuatnya kecewa. Namun ia tetap melakukannya. Taehyung bodoh, untuk apa berharap akan sesuatu yang sebenarnya akan membuatmu kecewa, batinnya.
Benar saja, jawaban singkat Bunda membuatnya merasa demikian. Taehyung rasanya ingin keluar dari kamar ini, dari hotel ini, menghirup udara pagi Kyoto banyak-banyak dan berjalan tanpa memedulikan siapapun. Rasanya sesak. Taehyung ingin keluar.
Ia akhirnya dengan impulsif menyibakkan selimutnya, melepas sweater Jeongguk dan mengganti piyamanya dengan pakaian yang cukup rapi untuk pergi keluar. Ia mengenakan sepatunya asal sambil menjepit handphonenya diantara telinga dan bahu kanannya, mencoba menelepon Jimin. Ia sebenarnya tahu, mustahil jika sahabatnya sudah bangun sebelum alarm mengagetkannya. Semalam saja Jimin pamit untuk pergi tidur mendahuluinya dan Jeongguk karena sudah terlalu lelah mengeksplor Kyoto seharian. Beberapa detik menunggu, nada sambung itu akhirnya berubah menjadi suara seorang wanita diujung telepon.
Tidak membuahkan hasil, Taehyung hanya bisa mendesah pelan dan akhirnya memasukkan handphonenya ke saku celananya. Ia menengadahkan kepalanya, menahan air mata yang sudah diujung, akan tumpah jika ia mengedipkan mata barang sekali. Sepertinya pagi ini ia harus benar-benar pergi seorang diri.
Taehyung tidak ingin membangunkan Jeongguk. Kekasihnya itu terlihat sangat lelah dan tertidur pulas di sisi kiri kasur. Taehyung mendengar Jeongguk mendengkur halus sambil membenamkan wajahnya disela-sela bantal yang bertumpuk. Ia hanya bisa tersenyum sambil menyisir rambut yang menutupi kedua mata Jeongguk, rasanya tidak akan pernah berhenti mengucap syukur karena Tuhan telah mendatangkan kekasihnya di hidupnya? Mungkin menurut orang lain ini sangat klise, namun jujur, Jeongguk membuat hidupnya merasa lengkap. Taehyung selalu merasa aman dan dijaga, hal itu terlihat jelas dari gestur sederhana Jeongguk pada Taehyung.
Mencium kening Jeongguk kemudian, Taehyung akhirnya mengambil botol minumnya dan membawa serta dompet kecilnya. Pagi ini ia akan menjelajahi sekitaran hotel seorang diri, berharap akan menemukan kafe kecil yang menjual cokelat panas nikmat untuk menghangatkan diri dari udara Kyoto yang cukup dingin.
—
Jeongguk dibangunkan dengan suara telepon di kamarnya yang menggelegar memenuhi ruangan. Ia menggeram kemudian, masih dengan kedua matanya yang terpejam, lengket seperti tidak mau membuka diri. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa akan mengatur volume telepon menjadi yang paling kecil agar tidak mengganggu tidurnya dan Taehyung. Merangkak ke arah sisi lain kasurnya yang besar, ia akhirnya mengangkat wireless phone yang berdiri di nakas dan menyapa lawan bicaranya diujung telepon.
“H-halo?” Sapa Jeongguk pada entah siapapun lawan bicaranya dengan suara parau. Mungkin karena terlalu kelelahan semalam, suara 'pagi hari'nya terdengar serak. Ia harus minum air putih cukup banyak setelah ini, pikirnya.
“Gguk? Nak? Ini Bunda,” jawab suara diujung telepon yang membuat Jeongguk lantas terbelalak dan terduduk, menyibakkan selimutnya yang hampir basah. Panas sekali, apa AC kamar ini mati, batinnya. Sesaat Jeongguk akhirnya menyesali gerakan spontannya barusan yang membuat kepalanya sakit. Jeongguk meringis sambil memijat kepalanya dengan tangan kirinya.
“Oh iya, Bunda. Ada apa, Bun?” Tanya Jeongguk pada Bunda sambil merasakan sisi kasur yang sedang ia duduki sudah dingin. Taehyung ke mana? Tumben sekali ia tidak ada di kasur, pikir Jeongguk sambil melihat jam digital yang terletak di sebelah lampu tidur. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Matahari sudah mulai menunjukkan dirinya, walaupun Jeongguk bisa merasakan dari balik tirai bahwa di luar udaranya cukup sejuk, tidak terlalu panas. Ia sudah berencana akan mengajak Taehyung dan Jimin untuk pergi ke kedai es krim diujung jalan yang cukup ramai sejak kemarin, sebelum mereka bertolak ke Tokyo siang nanti.
Bunda terdengar menghela napas diujung telepon, yang berkata dengan nada khawatir kemudian. “Gguk, Tae apa ada di kamar?”
Jeongguk mengernyit. Mengapa Bunda menanyakan kekasihnya dengan nada yang sepertinya sedang cemas? “Hmm, maaf Bun, Gguk baru bangun. Tapi ini Tae nggak ada. Mungkin di kamar mandi...? Atau dapur? Mau Gguk panggilkan, Bun?” Jeongguk menjawab sambil menjulurkan kedua kakinya ke lantai, mengenakan sandal hotelnya dan berjalan ke arah kamar mandi. Tidak ada. Lantas ia melangkah ke arah dapur dan tidak menemukan Taehyung di sana. Nihil.
Taehyung ke mana?
“Ya sudah, Nak. Tae mungkin ke kamar Jimin. Makasih, sayang.” Belum sempat Jeongguk menjawab, Bunda sudah mematikan sambungan telepon. Aneh, tidak biasanya Bunda seperti ini, seperti terburu-buru. Jeongguk lalu berpikir, apa yang terjadi semalam sampai pagi tadi sebelum ia bangun?
Kekasih Taehyung itu langsung berlari ke arah nakas, berharap menemukan benda yang menandakan Taehyung hanya keluar ke kamar Jimin. Namun nihil—dompet, handphone, dan sepatu jalannya tidak ada. Sweater Jeongguk pun tidak dipakai oleh Taehyung.
Lantas Jeongguk segera menelepon Taehyung dan mengiriminya pesan, yang tidak kunjung ada jawaban dari kekasihnya itu. Jeongguk lalu menelepon Jimin, namun tidak ada jawaban. Ke mana Taehyung pergi?
Jeongguk tidak ingin panik. Jika ia panik, Taehyung otomatis akan lebih panik dan mungkin tidak akan memberitahu keberadaanya.
Selang beberapa menit setelah Jeongguk usai mencuci muka dan menggosok gigi, dengan tetap membawa handphonenya serta—kalau-kalau Taehyung membalas pesan dan teleponnya, handphonenya berbunyi, menandakan pesan masuk.
Itu Taehyung.
—
Taehyung sedang duduk di meja dekat jendela, di sebuah kafe kecil yang letaknya tersembunyi di sisi seberang hotel tempatnya menginap. Membutuhkan waktu lima belas menit untuknya sehingga ia sampai di sini, menikmati cokelat panas, seperti bayangannya tadi pagi. Sejak tadi Taehyung keluar dari hotel, ia langsung membuka catatan yang ia simpan dihandphonenya, tempat beberapa kafe tersembunyi di Kyoto yang sempat ia kumpulkan dengan Jimin beberapa hari lalu. Tidak banyak memang, namun cukup membuat Taehyung bingung karena ia ingin mengunjungi semuanya.
Setelah melihat alamat dan membukanya di aplikasi, ada satu kafe terdekat dari hotel yang memiliki jarak tempuh sekitar sepuluh menit. Jiwa petualang dan nekat Taehyung mendadak muncul dan akhirnya ia memutuskan akan pergi ke sana.
Udara Kyoto pagi ini cukup sejuk, membuat sekujur tubuh Taehyung beberapa kali merinding karena terpaan angin yang agak kencang saat tadi ia berjalan kaki menuju kafe. Sebenarnya, Taehyung sangat menyukai musim dingin, namun sepertinya pagi ini ia sedang tidak ingin menikmatinya. Beruntung kafe kecil ini memiliki penghangat ruangan yang cukup untuk menyelimuti dirinya. Taehyung menyesal tidak mengenakan sweater Jeongguk dan meninggalkannya di hotel.
Beberapa saat lalu, handphonenya dibombardir dengan telepon dan pesan masuk, yang ia tahu itu adalah dari Bunda. Suara itu saja sudah membuat Taehyung jengah, maka ia memutuskan untuk mengaturnya menjadi silent saat melihat pesan Jeongguk muncul di layar handphone. Senyum simpul lantas tersungging di wajah Taehyung. Jujur, ia sudah merindukan pelukan dan hujan kecupan dari Jeongguk, padahal mereka baru 'berpisah' selama dua jam lebih.
Taehyung menggelengkan kepalanya sambil setengah tertawa. Entah siapa diantara mereka yang lebih clingy, namun ia tidak peduli.
Setelah mengirimkan lokasi kafe pada Jeongguk, Taehyung lalu menyandarkan tubuhnya dan menengadahkan kepalanya. Semoga kekasihnya dapat memberikan solusi atas pikirannya yang berkecamuk. Disatu sisi, Taehyung ingin sekali bertemu dengan kakaknya. Sudah enam tahun lebih mereka tidak bertukar kabar. Well, kalau boleh jujur, Taehyung sendirilah yang meminta pada Bunda untuk tidak memberikan nomornya pada kakak sejak dulu. Saat itu, Taehyung hanya tidak ingin.
Ia tidak ingat apa sebenarnya alasan dirinya meminta pada Bundanya untuk tidak memberikan informasi apapun pada kakak perempuannya. Yang tentu membuatnya merasa kecewa pada Bunda, karena sekarang, kakak perempuannya itu menghubunginya, menanyakan kabar, setelah sekian lama? Selain itu, kenyataan bahwa Bunda dan kakaknya sudah beberapa kali bertemu dan bertukar kabar. Taehyung merasa dibohongi. Katakanlah ia kekanak-kanakan, ia tidak peduli.
Ia hanya ingin bersikap egois, sekali ini saja.
—
Jeongguk mengikuti ke mana arah maps memandunya untuk sampai ke kafe tempat Taehyung berada. Ia sama sekali tidak mengenal daerah ini, kafe itu terlalu tersembunyi, namun Jeongguk pernah mendengar kekasihnya dan Jimin membicarakan nama kafe ini dan berjanji akan pergi bersama. Ia salut pada Taehyung yang benar-benar berani mengeksplor Kyoto hingga ke seluk-beluk seperti ini sendirian. Jeongguk memprediksi, keadaanlah yang 'memaksa' Taehyung memberanikan diri.
Selang beberapa langkah, akhirnya Jeongguk sampai di gang kecil yang di sisi depannya terpampang papan kecil, menunjukkan arah kafe itu berada. Jeongguk sempat ragu saat berjalan memasuki gang tersebut, tidak ada banyak orang yang berlalu-lalang. Namun setelah ia menyusuri lebih dalam, sampailah ia pada sebuah kafe yang terlihat sangat homey. Jeongguk akhirnya berlari kecil ke arah pintu masuk saat bertemu mata dengan Taehyung—kekasihnya itu melambaikan tangan sambil melemparkan senyum lebarnya pada Jeongguk.
Suasana kafe sangat sunyi namun terkesan sangat nyaman. Jeongguk seketika itu juga menyukai pilihan Taehyung dan Jimin. Saat memasuki kafe, telinga Jeongguk disambut dengan lantunan lembut instrumen jazz yang memenuhi seluruh ruangan, sedang indera penciumannya disambut oleh wangi cokelat yang entah membuat dirinya tersenyum. Jeongguk tahu, Taehyung pasti menyukai tempat ini. Meja dan kursi untuk pengunjung tidak banyak disediakan, lagipula space kafe ini cukup kecil, namun Jeongguk sama sekali tidak merasa 'sesak'.
“Hai, Sayang,” sapa Jeongguk hangat saat menghampiri Taehyung yang sudah menyambutnya dengan senyum lebarnya. Mencium kedua pipi dan dahi Taehyung kemudian sebelum akhirnya Jeongguk mengambil duduk di sisi depan kekasihnya. “Maaf ya aku lama, tadi aku sempat salah cari jalan.”
Senyum lebar Taehyung membuat Jeongguk seketika tersenyum. “Iya, nggak apa, Ggukie. It's nice tho, being alone for a while.” Taehyung menjawab sambil memajukan tubuhnya dan mengulurkan tangannya, yang dengan sigap diraih Jeongguk untuk digenggam.
Jeongguk lalu mengulurkan tangannya dan mengelus pelan pipi Taehyung. “It is, Sayang. Are you happy?” Jeongguk bertanya pada kekasihnya yang memperlihatkan senyum sumringahnya. Taehyung seketika mengangguk cepat, membuat tangan Jeongguk terlepas dari pipinya. Namun Jeongguk dapat merasakan pipi kekasihnya itu bergetar, tanda ia kedinginan. Ia dengan sigap melepaskan sweaternya dan memberikannya pada Taehyung untuk dipakai. “Dipakai, Tae. Kamu kedinginan, 'kan, pasti.”
“Yes, very. Jalan-jalan sendirian ternyata ada enaknya juga, Ggukie,” jawab Taehyung bersemangat sambil mengenakan sweater Jeongguk yang kebesaran di tubuhnya. Tetapi tidak apa, toh ia memerlukan penghangat yang melekat pada tubuhnya agar ia tidak terserang udara dingin berkali-kali yang dikhawatirkan akan membuatnya sakit. “Kamu mau pesan apa, Ggukie? You have to go there to order.” Taehyung menunjuk ke arah kasir yang sejajar dengan cake display dan bar tempat para barista membuat minuman.
“Can you also get me those soft cookies, please, Ggukie? Aku tadi mau pesan tapi takut kekenyangan karena cokelat panasnya.” Kekasih Jeongguk itu menunjuk kearah mugnya dengan bibir yang sedikit maju. Jeongguk hanya terkekeh dan membalas 'okay' sebelum ia berjalan ke arah kasir.
Seorang barista di bar dengan sigap menyapa Jeongguk, tertera nametag di dadanya. Jeongguk tersenyum setelahnya, menyadari bahwa barista itu berkewarganegaraan sama dengannya. Barista yang bernama Hyun itu menjelaskan beberapa signature menu dan memberikan rekomendasi untuk Jeongguk.
Setelah memesan secangkir latte panas dan beberapa cookies untuknya dan Taehyung, Jeongguk bergeser ke arah pickup spot sambil memperhatikan Hyun memroses pesanannya.
“Liburan, Jeongguk-ssi?” Hyun bertanya sambil membaca struk pesanan, membaca nama customer yang tertera di kiri atas kertas. Ia terliha sedang menunggu biji kopi ter-grinding sampai halus. Suara mesin kopi itu cukup menyita perhatian Jeongguk, ia baru sadar jika Hyun mengajaknya bicara.
“Ah, iya. Fall trip, I guess. Hyun-ssi, sudah lama bekerja di sini?” Jeongguk membalas dengan ramah. Ia lalu memperhatikan kerja tangan Hyun yang cukup cekatan membuat latte panasnya. Jeongguk sambil berusaha menebak usia Hyun dalam pikirannya. Pria ini sepertinya jauh lebih tua dariku, berapa usianya, ya, batinnya.
Hyun tersenyum mendengar pertanyaan Jeongguk. Ia terlihat sedang mengambil beberapa buah cookies dengan capit dan meletakkannya di piring kecil. “Bisnis keluarga. Saya sudah cukup lama tinggal di Kyoto, Jeongguk-ssi.”
Jeongguk hanya menanggapi dengan mengangguk, sambil memperhatikan Taehyung yang sedang mengaduk-aduk cokelat panasnya dan melamun. Jeongguk mengernyit. Ada apa sebenarnya antara Bunda dengan kekasihnya? Tidak pernah Bunda menanyakan anaknya pada Jeongguk dengan nada khawatir seperti tadi. Apa Bunda Kim dan Taehyung sedang bertengkar?
Fokus Jeongguk buyar saat Hyun memanggil namanya dengan menyuguhkan secangkir latte panas dan cookies pesanannya. Jeongguk tersenyum kemudian dan mengucapkan terima kasih. Hyun membalas dengan terlalu ramah, yang membuat Jeongguk hampir mengernyitkan dahi. Apa Hyun ini mengenalnya dan Taehyung? Jeongguk tidak bodoh, sejak Jeongguk memasuki kafe dan menghampiri Taehyung, ia merasa Hyun beberapa kali melihat ke arahnya dan Taehyung.
Namun Jeongguk hanya tersenyum simpul dan menghiraukannya. Ia dan Taehyung, tidak akan bertemu dengan siapapun di Jepang, terutama Kyoto, 'kan? Kalaupun memang iya, dunia sempit sekali.
Setelah menikmati latte dan cookies yang ia pesan, akhirnya Taehyung membuka pembicaraan dengan Jeongguk, straight to the point. Kekasih Jeongguk itu tiba-tiba menyodorkan handphonenya, meminta Jeongguk untuk membaca pesan dari kakak perempuannya dan juga Bunda sejak malam tadi hingga pagi ini.
“Wow, okay... aku bingung harus menanggapi seperti apa,” respon Jeongguk saat selesai membaca. Kekasih Taehyung itu benar-benar memperlihatkan raut wajah keheranannya, yang membuat Taehyung bisa tertawa sedikit.
Taehyung hanya membalas Jeongguk dengan helaan napas berat dan berkata sambil mengunyah cookiesnya. “Aku pun juga bingung, Ggukie. Tiba-tiba banget? Yang sebetulnya membuat aku kesal adalah, kenapa sih Bunda nggak bilang? Aku kan sudah bukan kelas empat lagi.” Taehyung mengeluh, lengkap dengan bibirnya yang maju dan dahi yang mengernyit. “Kesal setengah mati, kamu tahu? Kalau dibohongi kayak gini.”
Jeongguk lalu menggeser cangkir dihadapannya dan menarik tangan Taehyung, menggenggamnya erat sambil mengelus pelan punggung tangannya.
“Sayang, mungkin Bunda bingung bagaimana caranya bicara sama kamu? Lalu ya, dari cerita-cerita kamu bagaimana kepribadian dan sifat kakak, juga dari pesan yang kakak dan Bunda kirim, sepertinya menurut aku, kakak yang inisiatif mencari kontak kamu dihandphone Bunda. No?” Jelas Jeongguk hati-hati. Ia ingin berpikiran netral, tidak memihak siapapun. Namun ia pun juga ingin memberi dukungan pada Taehyung, menunjukkan bahwa Jeongguk mengerti maksud kekasihnya itu.
“Iya, aku juga kepikiran seperti itu, Ggukie. Apa aku kelewat batas ya, jadi kayak tadi ke Bunda? Aku hanya kecewa saja, Ggukie. Ya kamu paham lah maksud aku,” ujar Taehyung sambil menghela napas dan kembali menyeruput cokelat panasnya. Sebenarnya, saat Taehyung melangkahkan kaki keluar hotel untuk 'kabur' sejenak, ia sudah menyesali perlakuannya pada Bundanya. Namun entah, rasanya ia ingin egois sedikit, mementingkan perasaannya dahulu.
“Wajar, Sayang. Nggak apa-apa, kok, Bunda pasti paham dan mengerti posisi kamu. Nanti bicara dan minta maaf sama Bunda, ya?” Jeongguk meyakinkan Taehyung dan kembali mengelus pelan pipi kekasihnya itu. Sebuah pertanyaan lalu melintas dikepala Jeongguk. “Tapi, Tae, kamu apa mau mengiyakan ajakan kakak? Apa kamu siap ketemu kakak tanpa Bunda, kalaupun kamu mau? Bunda kan sudah berangkat ke Tokyo,” tanya Jeongguk kemudian.
Taehyung mengernyit sejenak, lalu menggumam. “Aku lihat nanti deh, Ggukie. Lagipula, besok pagi-pagi banget kita ke Tokyo, 'kan? There's no chance to meet her, anyway. Mungkin ya, siapa tahu Bunda juga info ke kakak kalau kita akan ke sana?” Taehyung bertanya retorik pada Jeongguk, yang membuat kekasihnya hanya mengangguk pelan dan tersenyum.
“Oke, Tae. Aku dukung apapun keputusan kamu. Ya?” Jeongguk berkata sambil mengecup pelan telapak tangan Taehyung, membuat kekasihnya itu tersenyum lebar dan tersipu.
“I love you, okay,” bisik Jeongguk pelan yang direspon Taehyung dengan memutar kedua bola matanya sambil tertawa.
“I love you too, lover boy.”
—
Taehyung akhirnya memberi kabar pada Jimin yang sudah seperti kebakaran jenggot saat mengetahui Bundanya pun mencari dirinya ke Jimin. Mereka berdua hanya terkekeh melihat Jimin yang kalang kabut mencari Taehyung.
Setelah menghabiskan makanan dan minuman mereka, akhirnya Jeongguk mengajak Taehyung untuk kembali ke hotel, bergegas untuk bersiap mengeksplor Kyoto hingga larut malam, sebelum besok hari bertolak ke Tokyo dengan menggunakan Shinkansen.
Mereka berjalan bersisian menuju pintu kafe itu sambil tersenyum, sudah cukup drama pagi ini yang membuat beberapa orang khawatir karena Taehyung 'menghilang'. Lagipula, masih ada beberapa tempat yang ingin mereka kunjungi hari ini—kafe, pasar Nishiki yang adalah surga kuliner—menurut Jimin, dan beberapa kedai ramen favorit di Kyoto. Mereka pun sempat menyapa Hyun yang sedang berdiri di kasir, lalu berjalan keluar dari kafe dengan senyum lebar.
Sepasang kekasih itu tidak menyadari bahwa Hyun sedari tadi memperhatikan mereka berdua dengan tersenyum. Tak lama, ia menyapa tunangannya yang baru saja datang memasuki kafe dari pintu belakang.
“Yoona-ah, kamu tidak akan percaya siapa yang baru saja aku temui.”