Fate
Jeongguk sejak tadi diam tidak bergeming, kekasih Taehyung itu hanya menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, sambil sesekali mencium pipi kanan Taehyung dan memegang erat tangannya. Beberapa kali Taehyung merasakan beban pada bahu kirinya, kala kepala Jeongguk tersandar pada bahunya. Sekilas Taehyung melihat kekasihnya itu tertidur, mungkin kedua mata Jeongguk sudah lelah akibat terlalu lama bermain game yang ada dihandphone Taehyung. Pun Jimin yang duduk di sisi kanannya, memeluk lengan Taehyung dan membiarkan kepalanya bersandar nyaman di bahu sahabatnya itu.
Taehyung terkekeh, melihat dua orang penting dalam hidupnya, saat ini sedang terkulai lemas karena perjalanan yang cukup panjang dari Kyoto menuju Tokyo.
Laju Shinkansen melambat saat memasuki kawasan Tokyo. Gedung-gedung tinggi seperti berlomba mencakar langit, berjejer rapat-rapat, menjulang indah menghiasi pandangan mata Taehyung siang itu. Matahari tidak begitu terik, tertutup awan tebal yang membuat sinarnya sedikit redup dari biasanya. Sinarnya sedikit menembus kedalam kereta, walaupun pada akhirnya pendingin ruangan di kereta pun cukup membuat Taehyung nyaman. Ia, Jeongguk, dan Jimin menghabiskan perjalanan dari Kyoto ke Tokyo dengan istirahat, tertidur di kursi penumpang yang empuk. Taehyung sendiri merasa tidurnya cukup nyenyak, ia pun setengah menyadari bahwa sepertinya mulutnya sempat menganga dibalik masker hitam yang ia kenakan saat ia tertidur selama di kereta.
Dari balik jendela kaca kereta cepat itu, Taehyung sudah dapat merasakan hingar-bingar, kepadatan, dan keramaian kota Tokyo yang akan ia nikmati sepuluh hari kedepan. Rasanya ia ingin cepat-cepat turun dari kereta dan merasakan udara dan suasana ibukota Jepang itu.
Setelah tiga puluh menit dihabiskan dengan menghubungi driver Mama Jeon selama di Tokyo dan menitipkan koper mereka, akhirnya Taehyung, Jeongguk, dan Jimin melangkahkan kaki menjauh dari Tokyo Station. Jimin memutuskan untuk menjadi guide mereka siang ini dengan bantuan maps, karena handphone Jeongguk benar-benar tidak tertolong.
“Sayang, aku harus ke Apple Store dulu. Nggak apa, 'kan?” Jeongguk bertanya pada Taehyung sambil sesekali menoleh pada kekasihnya yang mengekor di belakangnya, menggandeng tangan Jeongguk. Sekitaran Tokyo Station siang ini cukup ramai, sepertinya orang-orang sedang plesiran karena ini adalah hari Minggu. Taehyung harus memegang tangan Jeongguk kalau tidak ingin terseret arus manusia yang berjalan lalu-lalang dengan sangat cepat dan gesit. Sedang Jimin sudah jalan agak jauh di depan, namun masih dengan jarak pandang Jeongguk.
Taehyung yang menempelkan tubuhnya di punggung Jeongguk hanya menggumam pelan di ceruk lehernya, sambil terus menggenggam erat tangan kekasihnya. “Iya, boleh, Ggukie. Mama sudah nyuruh kamu, 'kan? Lagipula dari sini hanya jalan kaki satu menit. Nggak masalah, kok.”
Kekasih Jeongguk itu hanya tersenyum hampir tertawa, mengingat kejadian konyol beberapa jam lalu yang menjadikan handphone Jeongguk sebagai korban. Ia tidak menyangka, permintaan sederhana Seojoon pada Taehyung benar-benar membuat Jeongguk cemburu. Padahal cerita diantara mereka berdua sudah menjadi lagu lama. Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk membuat mood Jeongguk kembali, setelah insiden Gunung Fuji dan handphonenya yang melorot, lepas dari tangannya.
Setelah sekitar dua menit berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di depan gerai Apple yang cukup membuat Jimin kagum. Sahabat Taehyung itu beberapa kali berdecak, hingga mendongakkan kepalanya melihat gedung di depannya menjulang tinggi. Gedung itu seperti rumah kaca, tembus pandang dengan lampu ruangan yang cukup terang. Sedangkan Taehyung, menikmati udara siang hari yang cukup dingin, menusuk kulitnya yang mengkilat seperti madu—kata Jeongguk setiap kali mendeskripsikan Taehyung. Jeongguk sedari tadi sibuk memotret suasana jalanan dan gedung-gedung tinggi yang menjulang di sekitarnya. Kamera pemberian Bunda Kim dikalungkan pada lehernya, mempermudah dirinya 'beraksi' dari balik lensa.
Saat Jeongguk akhirnya meminjam handphone Taehyung untuk mengabari Mama Jeon mengenai keberadaannya, Jimin mengedarkan pandangan matanya, melihat orang berlalu-lalang dengan gerak cepat di hadapannya, seperti sedang mengejar waktu. Tersenyum lebar menyadari bahwa ia dan Taehyung, serta Jeongguk, sekarang sudah benar-benar berada di Tokyo, kota yang sejak dulu ingin ia jajaki berdua dengan Taehyung.
Katakanlah Jimin memiliki mata elang, cukup tajam menangkap rupa orang-orang yang berada di sekelilingnya; apa pakaian yang mereka kenakan, bagaimana raut wajah mereka, dan barang apa yang mereka bawa serta.
Hingga akhirnya Jimin menangkap sesosok pria sedang berjalan ke arah mereka, mendekat, seperti seseorang yang ia dan Taehyung kenali. Pria itu mengedarkan pandangannya pula ke arah jalanan di depan gerai yang akan mereka kunjungi, sambil sesekali mengangkat tangan kanannya yang sedang memegang handphone, seperti mencari alamat. Raut wajah itu sangat Jimin kenali; ia tidak perlu memakai kacamatanya untuk tahu siapa yang sedang berjalan ke arahnya.
Yang ia tahu pasti, keberadaan pria itu akan menjadi air bah untuknya, Taehyung, dan juga Jeongguk beberapa menit dari sekarang.
Lelucon semesta macam apa ini?
—
Sejujurnya, Bogum rasanya seperti ingin menelan bulat-bulat bola khayalan yang ada di tenggorokannya saat ia bertemu mata dengan seseorang yang sudah lama tidak ia temui. Ia sebenarnya tahu persis bahwa sepasang sahabat yang ada di depan matanya ini sedang berlibur bersama ke Jepang, lengkap dengan kekasihnya. Yang sama sekali Bogum tidak sangka adalah kenyataan bahwa mereka akan bertemu di tempat seperti ini? Rasanya ia ingin berterima kasih pada dunia saat melihat Jimin menatap kedua mata Bogum sambil membelalakan matanya, menyikut lengan cinta monyetnya yang sedang berdiri di sampingnya tanpa bersuara.
Taehyung terlihat sangat lucu hari ini. Manis, seperti dahulu. Ia mengenakan cardigan tipis namun kebesaran, seperti bukan miliknya. Kedua tangannya bersembunyi dibalik lengannya yang terlalu panjang itu. Ia terlihat sedang memperhatikan layar handphonenya, menunduk di samping Jeongguk yang sedang merangkulnya dengan erat. Taehyung dan Jeongguk sepertinya tidak begitu memperhatikan Jimin, karena sepasang kekasih itu terlalu fokus pada sesuatu yang sedang mereka lakukan.
Langkah Bogum terhenti, memutuskan untuk meng-update sesuatu pada media sosial miliknya sambil tersenyum penuh arti, sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyum. Bogum benar-benar lupa akan janjinya pada Jeongguk beberapa waktu lalu, saat ia mengatakan bahwa tidak akan lagi mengganggu 'Taehyung-nya'.
Lantas jika semesta mempersilahkan seperti ini, apakah dia harus menolak?
Bogum akhirnya mempercepat langkahnya, berharap Jimin lengah dan tidak sempat memberitahu Taehyung dan Jeongguk akan gelombang air bah yang sebentar lagi akan 'menyerang' mereka. Namun sayang, sepertinya keinginannya belum direstui, kala Jeongguk akhirnya menoleh ke arah Jimin dan mengangkat kepalanya.
Kekasih Jeongguk itu terlihat terkejut bukan main, mengerjapkan sepasang matanya berkali-kali, seperti tidak percaya dengan sosoknya yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Bogum merasa sangat brengsek sekarang, mementingkan egonya sendiri. Ia ingin sekali melihat reaksi Taehyung secara langsung saat melihat dirinya di Jepang, di Tokyo, di kota yang seluas ini.
Kedua mata Jeongguk terlihat berkilat, wajahnya benar-benar tegang, dan kedua tangannya mengepal kuat disamping tubuhnya. Taehyung belum juga beralih dari handphonenya. Adik manisnya itu terlalu fokus dengan layar benda mati itu. Kedua alisnya bertaut, dahinya mengernyit tanda sedang berpikir.
Taehyung masih sama seperti dulu jika dilihat dari dekat.
Dengan segenap keberanian dan egonya yang tinggi, Bogum akhirnya mengambil langkah lebar-lebar. Ia hendak membuka suara saat akhirnya Taehyung dikejutkan dengan Jimin yang membuyarkan konsentrasinya. Saat hendak mengeluh pada Jimin, sepertinya Taehyung menyadari bahwa ada sosok lain yang mengokupasi social spacenya.
Adik manisnya itu mendongak, seketika terbelalak tidak percaya akan sesuatu yang dilihat dihadapannya.
“Halo, adik manis. What kind of fate is this?”