magnolia ; i got you • 073
Ini adalah kali kedua Taehyung berkunjung ke apartemen Jeongguk, yang pertama terjadi saat beberapa tahun lalu Taehyung adalah orang terakhir di kantor; ia masih berkutat dengan deadline yang sangat mendadak dari (mantan) atasannya, mengatakan bahwa desain grafis untuk project penting harus selesai esok hari. Ia melirik ke arah meja Jeongguk sambil meregangkan tubuhnya yang pegal, melihat tas kecil Jeongguk masih tertinggal diatas meja. Taehyung tahu persis, benda itu termasuk benda penting salah satu rekan sekantornya.
Saat itu, Taehyung belum menduduki jabatan Head Graphic Design seperti sekarang. Ia hanyalah seorang staf, jauh sebelum Jimin bergabung di perusahaan tempatnya bekerja dan membantunya. Membaca pesan singkat dari sang atasan, ia hanya dapat menanggapi dengan mendengus kasar. Tentu dengan melirik tajam ke arah meja atasannya dan berdoa didalam hatinya, semoga beliau tiba-tiba mengalami sakit perut dan tidak masuk kerja esok hari. Kelewatan, memang. Tetapi permintaan mendadak seperti ini sudah sangat sering terjadi.
Rasanya seperti durian runtuh mengenai kepalanya, saat Steve mengumumkan bahwa atasannya akan digantikan oleh Taehyung seorang. Seketika kepala Taehyung dihujani oleh beberapa pertanyaan, rejeki dan tantangan baru macam apa yang tiba-tiba menghampirinya? Bersyukur ia memiliki Yugyeom sebagai teman dekat di kantor, yang kebetulan adalah putra kedua dari Steve. Sang arsitek in-house kebanggaan Steve memberitahu Taehyung bahwa sang mantan atasan diputus kerja oleh ayahnya karena kepergok melakukan main belakang dengan beberapa klien. Efek yang dihasilkan pun sangat kuat, tagihan yang terbayar tidak sesuai dengan yang diharapkan; yang ternyata berbelok dan membuat pundi uang sang mantan atasan menggendut. Taehyung hanya bisa mengerjapkan sepasang mata hazelnya sembari membuka-tutup mulut layaknya ikan kehabisan napas. Baginya, sang mantan atasan selama ini terlihat jujur dan main bersih. Well, ternyata perkiraan Taehyung salah selama ini.
Taehyung sedang sibuk bermain game diponselnya sambil bersandar pada sofa empuk di outdoor kafe yang terletak di lobi apartemen Jeongguk, saat rekan kerjanya itu memberi kabar bahwa ia sudah sampai di apartemen. Taehyung hanya memesan cokelat hangat, yang ia rasa sangat tepat untuk membuat tubuhnya lebih rileks, pun sebagai penghangat dari cuaca dingin yang menyelimuti Jakarta hari ini.
Jujur, Taehyung hari ini sudah sangat lelah dan suntuk dengan pekerjaan yang tidak kunjung selesai di kantor. Desain yang hampir rampung dengan feedback yang diberikan oleh klien awalnya membuat Taehyung semangat, namun lama-kelamaan membuatnya muak. Entah mengapa, istri sang klien tiba-tiba menghubungi Taehyung (aneh, bukan?), memintanya untuk menambahkan beberapa aksen pada desain, yang menurut pendapat pribadinya, sangat absurd.
Namun, ya, apalah Taehyung? Ia hanya bisa menuruti dan mengkonsultasikannya pada Steve. Saat sang empunya kendali mengiyakan, tidak ada lagi yang bisa Taehyung lakukan selain mengikuti.
Ia lantas tersenyum, membalas pesan Jeongguk untuk bertemu dengannya di depan lift utama. Taehyung mengusulkan pada Jeongguk untuk tidak repot-repot berjalan ke arah lobi yang cukup jauh. Taehyung meregangkan tubuhnya sedikit, menyambar paper cup berisi cokelat panas diatas meja dan menegaknya hingga tandas dengan cepat. Ia khawatir Jeongguk menunggu terlalu lama. Taehyung lalu berdiri dari duduknya, mengambil tas laptop dan sling bag miliknya yang ia letakkan disampingnya tadi.
Taehyung berharap, dengan kehadirannya menemani Jeongguk akan cukup membuat rekan kerjanya itu merasa lebih baik.
Setidaknya, Taehyung berharap ketulusannya ini pun akan menjadi langkah awal yang baik.
;
“Tae, sori ya, lama banget gue sampainya. Macet parah di Blok M. Banyak yang ngetem di pinggir jalan,” keluh Jeongguk pelan sambil menghela napas, saat lift berhenti di lobi dan terbuka. Jeongguk melihat Taehyung berdiri di sisi luar lift, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Ia tahu Taehyung sudah lelah, terlihat jelas pada raut wajah tampannya. Namun entah apa yang ada di pikiran Jeongguk beberapa saat lalu, dengan nekatnya mengirim pesan singkat pada Taehyung, hanya untuk mengajak rekan kerjanya itu mengobrol. Ia butuh teman cerita, cukup lelah akan work load akhir-akhir ini yang membuatnya ingin berteriak. Bekerja seorang diri seperti one man standing sebenarnya perlahan membuat Jeongguk terbiasa. Namun entah mengapa, serangan bertubi-tubi yang datang hanya dalam rentang waktu kurang dari dua belas jam hari ini, membuatnya ingin muntah.
Pun seorang Jeongguk tidak menyangka, Taehyung menawarkan diri untuk menemaninya dengan berkunjung ke apartemennya. Rasanya segala beban yang sedang ia tanggung menjadi jauh lebih ringan.
Taehyung melangkah masuk kedalam lift, lalu menepuk pelan bahu Jeongguk saat berdiri bersisian. Senyum lebar merekah di wajahnya, menarik kedua ujung bibirnya keatas seperti bulan sabit, menampilkan senyum kotak, yang sangat khas Taehyung.
“That's okay, Jeongguk. Tenang aja. Gue tadi juga pas lagi deket sini, kok.” Taehyung berkata, lalu menarik tangannya dari bahu Jeongguk yang tegang perlahan mengendur. Ia lalu melihat Jeongguk mengulurkan tangannya untuk memencet tombol angka lima belas. Jeongguk hanya menggumam, lalu perlahan tersenyum padanya.
Suasana dalam lift terasa sunyi. Lidah Taehyung seperti kelu, otaknya terasa membeku. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan untuk memulai pembicaraan dengan Jeongguk. Hanya terdengar suara napas lelah diantara mereka berdua. Taehyung lalu berdehem dan melirik ke arah Jeongguk yang terlihat mengetuk-ngetuk jarinya di kedua pahanya. Ia berharap, kata-kata pujiannya kemudian dapat membuat seseorang disampingnya itu merasa lebih baik.
“Has someone told that you've done a great job today, hmm?”
Seketika, Jeongguk menghentikan gerakan jarinya, menoleh cepat ke arah Taehyung dan menatapnya dengan sorot aneh. Jeongguk merasakan desiran aneh menjalar disekujur tubuhnya. Belum. Jawabannya adalah belum. Belum ada satupun orang yang mengatakan hal itu padanya. Jeongguk ingin menjawab, namun tidak ada satu patah katapun keluar dari mulutnya. Suaranya seperti macet dan buntu tepat dikerongkongannya.
Taehyung melihat reaksi Jeongguk itu dan merasa bersalah. Ia merasa seperti sudah kelewat batas, lalu memutuskan untuk membuka mulut dan menyambung kata-katanya.
“Eh, sori, gue kelewa—”
“No, Taehyung. No one has,” potong Jeongguk cepat sambil menggeleng. Ia menghela napas kasar, suaranya tadi terasa seperti bergetar. Jeongguk lantas mengambil napas panjang dan mengatur raut wajahnya. Tidak ingin Taehyung melihat sisinya seperti ini. Ia tidak berencana untuk menunjukkan rasa sedihnya pada rekan kerjanya itu hari ini. Ia hanya ingin bersantai malam ini, duduk di sofa yang terletak didepan televisi yang menyala. Ia ingin bercerita tentang apapun dengan Taehyung. Ia sudah merencanakan akan memesan piza kesukaannya dan membuka satu botol wine favoritnya yang bertengger manis di wine chiller miliknya.
Namun Taehyung, dengan segala kelembutan dan kebaikannya, seperti mengetuk sisi lembut Jeongguk dan membuatnya ingin menyandarkan kepalanya saat ini juga pada bahu Taehyung. Ia tidak peduli dengan CCTV yang terarah pada mereka berdua didalam lift. Jeongguk rasanya ingin mengutarakan seluruh keluh kesahnya pada Taehyung saat ini juga.
Rekan kerja Jeongguk itu seperti mendengar suara hatinya, saat tiba-tiba Taehyung mengulurkan tangannya dan merangkul ramah bahunya. Layar petunjuk lift memperlihatkan angka sepuluh, tiga lantai lagi menuju flat apartemennya. Jeongguk hanya bisa menghela napas berat saat mendengar Taehyung berkata pelan di puncak kepalanya.
“You've done a great job today, bud. And I'm so proud of you.”