A Karma

Pagi ini, Taehyung sangat bersemangat untuk memulai harinya karena akan berkeliling Tokyo. Ia, Jeongguk, dan Jimin sudah memiliki list beberapa tempat menarik dan terkenal di Tokyo. Mereka sudah menyusun jadwal dan itinerary sedemikian rupa sehingga semua wishlist mereka tercapai. Mereka bertiga sudah berjanji pada satu sama lain sejak kemarin, bahwa hari ini akan bertolak dari hotel pukul delapan pagi. Bangun pagi adalah suatu keajaiban, mengingat mereka bertiga tidur sangat larut pada malam sebelumnya.

Setelah Bunda Kim memberitahu Taehyung bahwa Mama Jeon membawa makanan yang cukup banyak tadi malam, ia langsung berlari kecil menuju kamar mandi dan mengetuk pintu cukup kencang. Taehyung memberitahu Jeongguk bahwa Mamanya membawa banyak sekali oleh-oleh. Tentu Jeongguk langsung mempercepat kegiatannya di kamar mandi dan berhambur ke luar, masih dengan rambut yang basah karena sehabis keramas. Taehyung, Jeongguk, dan Jimin sebenarnya sempat menyantap makan malam di kedai ramen terkenal di Tokyo. Namun memang, menyantap ramen setelah menghabiskan waktu seharian bermain di Disney Sea Tokyo belum cukup bagi mereka. Maka Jeongguk sangat antusias saat mendengar bahwa Mamanya membawa makanan, yang ia tahu persis, beliau pasti membawakan favoritnya.

Setelah berpamitan dengan Mama Jeon dan Bunda Kim, mereka akhirnya keluar dari hotel dan disambut dengan udara sejuk pagi hari Tokyo. Tidak terlalu banyak orang yang berlalu-lalang di depan hotel mereka menginap, mengingat hari ini adalah hari Selasa, dan letak hotel mereka tidak begitu dekat dari pusat perkantoran.

Tersenyum lebar, Jeongguk lalu menggandeng tangan Taehyung yang tenggelam dibalik sweaternya, merasakan telapak tangan kekasihnya yang agak dingin.

“Tae, sayang, kamu kedinginan?” Tanya Jeongguk lembut, sambil menyelipkan hotpack pada telapak tangan mereka berdua yang tengah bertaut. Taehyung menggelengkan kepalanya, namun tetap meremas hotpack yang diberikan oleh kekasihnya itu. Jimin di sampingnya terlihat berjalan bersisian dengan mereka berdua sambil mengangkat handphonenya tinggi-tinggi. Tak sadar, Taehyung menarik tangan Jimin kemudian, ingin melihat apa yang sedang sahabatnya itu lakukan.

“Lo ngapain sih, Jim?” Taehyung menggeser tubuhnya dan mengintip ke arah layar handphone Jimin.

Sahabat Taehyung itu terkekeh kemudian, lalu melirik ke arahnya yang menatapnya kebingungan. Taehyung terlihat lucu, ia mengenakan baret berwarna mustard yang ia beli beberapa hari lalu di sebuah gerai terkenal yang menjual topi tersebut dengan beberapa warna. Taehyung tentu terkejut saat melihatnya tempo hari, dan melonjak-lonjak senang kemudian, saat melihat sebuah topi yang ia inginkan masih berstatus ready stock, terpampang di etalase toko.

Jeongguk diam-diam merekam tingkah kekasihnya itu sambil tersenyum lebar. Taehyung terlihat sangat menggemaskan saat mencoba model yang ia incar.

“Ini lho, gue lagi videoin jalanan. Biasa, buat Yoongi,” jawab Jimin sambil tersenyum malu-malu. Kedua pipinya terlihat memerah, entah karena rindu pada kekasihnya di Seoul atau karena udara dingin pagi ini.

Taehyung yang mendengar jawaban Jimin hanya memutar kedua bola matanya dan berkata dengan santai. “Dasar bucin banget deh, lo. Ggukie sama gue kayaknya nggak gitu-gitu banget?” Taehyung lalu menoleh ke arah Jeongguk sambil bertanya dengan mengerjapkan matanya beberapa kali. “Ya, 'kan, Ggukie?”

Jeongguk yang sedari tadi sedang memperhatikan layar handphone barunya untuk mencari rute ke arah stasiun kereta, mengangkat kepalanya dan tersenyum. Sejak tadi ia mengamati pembicaraan Taehyung dan Jimin sambil menggelengkan kepala, namun hal itu tidak disadari oleh Taehyung. “Kita berdua sama mereka, 'kan beda, Tae sayang. Kita sudah kayak orang pacaran dari kamu masih kelas delapan, bukan? Itu Jimin baru juga berapa minggu pacaran. Masih lengket banget, kayak lem nasi.”

Buyar sudah konsentrasi Jimin yang sedang mengambil video untuk Yoongi. Sahabat Taehyung yang baru saja diledek oleh Jeongguk itu langsung menyerang Jeongguk dengan melempar dua hotpack ke arah perut kekasih Taehyung itu. Memang kecil bentuknya, hanya seukuran telapak tangan Jeongguk, namun berhasil membuatnya kesakitan karena hotpack itu telah mengeras.

“Sialan, lo ya! Makan tuh hotpack!” Teriak Jimin sambil mendengus dan menarik tangan Taehyung menjauh, sedangkan Jeongguk tengah membungkuk meringis kesakitan, namun disusul dengan gelak tawa kemudian. Taehyung hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, tanda sudah menyerah dengan kedua orang penting dihidupnya ini. Sahabatnya dan kekasihnya itu sering sekali bertengkar.

Namun Taehyung benar-benar bersyukur, karena dengan hadirnya Jimin dan Jeongguk, hidupnya jadi lebih berwarna dan manis.

Tidak lagi pahit seperti dulu.

Ben, Kwan, dan Bogum akhirnya sampai di hotel tempat mereka bertiga dan sang partner akan bertemu. Malam hari sebelumnya, Ben sudah memberitahu beberapa poin penting tambahan yang akan mereka bahas dengan teman dekat Ben itu.

Hingga saat ini, Bogum belum juga mengetahui siapakah calon partner bisnis yang akan bekerja sama dengannya. Ben hanya memberikan clue bahwa teman dekatnya lah yang akan bekerja sama dengannya untuk Aetig di Tokyo. Sebenarnya, Bogum sangat menghindari hal ini. Baginya, ia merasa perlu untuk mengetahui identitas calon partnernya sebagai research purpose.

Entah, ia akan merasa lebih percaya diri jika ia 'mengenal' lebih dulu.

Ben akhirnya mengambil duduk di lobi hotel yang megah itu, mengajak Bogum dan Kwan untuk duduk bersisian dengannya. Bogum lalu mengedarkan pandangan. Hotel ini megah sekali, pikirnya. Terlihat meja resepsionis yang tidak begitu ramai, hanya terdapat satu-dua orang tamu hotel yang sedang berbincang dengan para staf, dengan koper yang bertengger di samping kaki mereka.

Seperti apa ya sosok partner Ben nanti? Bogum terus-menerus berpikir demikian. Ia penasaran, sekaligus gugup. Apakah beliau sangat terkenal sehingga Ben tidak ingin Bogum mengetahuinya sebelum meeting ini terjadi? Siapa tahu, Ben khawatir Bogum akan membocorkannya entah pada siapa. Yah, walaupun Bogum pun sudah tahu bahwa dirinya tidak akan membeberkannya pada siapapun. Namun, kemungkinan itulah yang paling kuat, yang dapat Bogum pikirkan.

Bogum sejak tadi sedang mengobrol mengenai tripnya di Tokyo sejak beberapa hari lalu dengan Kwan, menghadapkan tubuhnya ke arah beliau dan membelakangi Ben. Menceritakan bagaimana solo trip nya di Tokyo, ke mana saja ia berkunjung dan tentu, membahas soal kuliner. Kwan sempat meminta Bogum berjanji untuk mengajaknya ke restoran yang menurut anak muda itu hampir mengalahkan Aetig. Bogum tanpa berpikir panjang langsung mengiyakan ajakan Kwan dan sudah membuat janji temu dengannya esok hari.

Selang beberapa menit, Bogum dikejutkan dengan suara Ben yang menyapa seorang wanita, sepertinya mereka teman dekat. Terdengar dari sapaan heboh yang mereka tukar. Ben dan wanita itu menyapa layaknya teman lama yang sudah tidak lama bertemu. Bogum refleks menoleh dan membalikkan badannya. Ia lalu berdiri tegak dan membungkuk, menyapa seorang wanita itu yang ia belum sempat perhatikan wajahnya.

Bogum menegakkan tubuhnya kembali, lalu mengangkat wajahnya. Menatap lurus kedepan, dan tersadar kemudian. Ah, ternyata seorang wanita yang disapa Ben datang bersama dengan wanita lainnya, yang terlihat sedang menelepon. Bogum lalu dengan sigap mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan wanita yang sehabis berpelukan erat dengan Ben.

“Selamat siang. Perkenalkan, nama saya Park Bogum. Project Manager Aetig di Tokyo nanti. Senang bertemu dengan Anda, Nyonya...” Bogum rasanya terlihat sangat bodoh sekarang.

Ia tidak mengetahui nama partner Ben sama sekali!

“Ah, maaf. Saya belum memperkenalkan kalian. Maklum, saya dengan dia terlalu dekat. Bogum, ini Jeon Se-ah-ssi. Se-ah, kenalkan, ini Bogum-ssi,” kata Ben memperkenalkan dirinya pada calon partner mereka. Ben hanya tertawa tidak enak hati, sedangkan Kwan sudah menjabat tangan wanita itu dengan ramah. Sepertinya mereka bertiga sudah mengenal satu sama lain. Bogum lalu menyapa wanita yang bernama Jeon Se-ah itu sambil tersenyum ramah. Sedangkan seorang wanita yang satu, baru saja terlihat selesai berbicara di telepon.

Bogum lalu mengalihkan pandangannya dan mengulurkan tangannya lagi, saat seorang wanita itu berbalik dan memandang matanya.

Terakhir kali rasanya Bogum tersambar petir di siang bolong adalah saat di mana ia melihat Taehyung untuk pertama kalinya setelah enam tahun silam di Aetig, beberapa waktu lalu. Ia masih ingat. Ia masih bisa merasakan.

Namun sekarang, sepertinya ia benar-benar ditampar habis-habisan saat melihat sosok wanita yang selama ini ia hindari. Wajahnya, karirnya, dan bisnisnya terpampang nyata hampir di seluruh sudut kota Seoul, pun sampai ke New York. Selama enam tahun, Bogum berusaha untuk mengalihkan pikiran dan pandangnya setiap kali melihat nama dan/atau wajah wanita itu terpampang di hadapannya.

Ia malu dan entah, ia rasanya pun saat ini lemas. Lututnya terasa lemas dan hampir lepas, tenggorokannya kering, tangannya bergetar. Bogum beberapa kali mengerjapkan matanya tidak percaya, melihat sosok terpenting dalam hidup seseorang yang ia cintai dulu, berdiri dihadapannya.

Seseorang yang secara tidak langsung, sempat mengalami kesulitan karena dirinya dan keluarganya.

“Bogum, kenalkan, ini adalah sahabat saya, Kim Seo-ssi, CEO sekaligus Desainer ternama di Seoul. Kamu pasti sudah pernah melihat beliau, 'kan?” Se-ah berbicara dengan ramah pada Bogum, sambil terlihat memegang lengan wanita di sampingnya itu dan tersenyum. Sedang Kim Seo, menyunggingkan senyum simpulnya, mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Bogum yang tengah gemetar.

“Ah, Jeng, terima kasih,” katanya singkat membalas Se-ah. “Saya Kim Seo, Bogum-ssi. Senang berkenalan dengan Anda. Saya harap kita semua bisa bekerja sama dengan baik kedepannya.” Seo menjabat tangan Bogum dengan erat, persis menunjukkan gestur profesional yang biasa dilakukan saat pertama kali berkenalan dengan rekan bisnisnya.

Bogum hanya bisa mengangguk tanda paham, lalu tersenyum getir.

Siapa yang menyangka, seseorang yang dulu sempat 'hancur' karena keluarganya, sekarang akan menjadi business partnernya dan menjadi 'atasan'nya secara tidak langsung?

Karma really strikes him when he less expects.