magnolia ; i got you • 076
“Yeah, jadi gitu lah ceritanya, kenapa dulu gue bisa terdampar kerja di sini, sampai sekarang. Aneh, emang. Tapi aneh begitu juga gue udah jalan kerja tahun ketiga, tahu nggak sih,” jelas Taehyung sambil tertawa kikuk. Jeongguk terlihat sangat tertarik dengan ceritanya, padahal menurut dirinya sendiri, cerita ini membosankan. Tidak ada menarik-menariknya sama sekali.
Kejadian beberapa saat lalu di lift membuat pikiran Jeongguk sedikit ringan. Ia hanya menghela napas panjang lalu mengangguk, menggerakkan tangannya untuk mengelus punggung Taehyung pelan, tanpa suara. Jeongguk ingin memberi sinyal pada Taehyung, bahwa kata-kata yang ia ucapkan sangat mujarab untuknya. Ia merasa senang? Lega? Entahlah. Mendengar seorang Taehyung yang notabene adalah teman sekaligus musuh sehari-hari memujinya, tentu membuat Jeongguk seharusnya mengernyitkan kening. Namun tidak. Jeongguk malah bersyukur karena memiliki Taehyung saat ini disampingnya. Ia ibarat sedang melihat sisi Taehyung yang lain. Taehyung tidak perlu tahu bahwa Jeongguk tengah tersenyum malu dan merasakan bulu kuduknya meremang disampingnya.
Jeongguk hanya menanggapi dengan menggumam, memainkan gelas wine di tangannya dengan memutar. Berpikir, dan berpikir. Cerita Taehyung cukup sederhana. Ia melamar di beberapa perusahaan dan that's it, dengan skill yang memadai, Steve dengan senang hati menerimanya untuk bergabung. Tidak butuh waktu lama hingga Taehyung akhirnya mengajukan surat pengunduran diri di agensi sebelumnya dan 'berpindah rumah' ke tempat kerjanya sekarang.
“Kalau lo, Gguk? Alasan lo milih kerja bareng Steve, apa?” Tanya Taehyung singkat sambil menyesap white wine dari gelas di tangannya, sambil menopangkan tangannya di sandaran sofa. Mereka berdua duduk menghadap ke arah jendela apartemen Jeongguk, terlihat kendaraan bermotor di luar jalan yang masih memancarkan sinar merah di kedua arah. Lalu lintas malam hari ini cukup padat. Taehyung beruntung menawarkan dirinya untuk mampir ke apartemen Jeongguk. Setidaknya, ia dapat menghindari macetnya hari Jumat malam di awal bulan yang membuatnya malas. Semua orang, garis bawahi, semua orang sepertinya benar-benar pergi di mal dan/atau restoran untuk menghabiskan uang.
Taehyung memandang wajah rekan kerja di hadapannya itu, meneliti letak beberapa tahi lalat kecil yang menghiasi kulit putih Jeongguk yang terlihat bersih. Ia sepertinya sempat mencuci muka saat pamit ke toilet tadi. Pun tidak terlewat, sekilas ia memperhatikan bekas luka di pipi kiri Jeongguk. Taehyung membatin, suatu saat mungkin ia akan bertanya pada Jeongguk, cerita dibalik bekas luka itu.
Jeongguk hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan sederhana itu, mengangkat rambutnya naik, yang menutupi dahi dan menyesap winenya. Ia mengecapnya tiga kali sebelum menjawab pertanyaan Taehyung.
“Gue tadinya mau ngelamar ke perusahaan tempat temannya Yugi kerja. Anyway as you already know, dia itu sahabat gue, udah lama banget.” Jawabnya santai sambil mengarahkan tubuhnya untuk menghadap Taehyung, refleks membuat senyum gigi kelincinya muncul dari bibir mungilnya. Ia sadar betul sempat melihat Taehyung tersenyum kikuk karenanya. Membuat Jeongguk merasakan kedua pipinya menghangat. Mungkin karena pengaruh wine ini, pikirnya.
“Terus, ya... waktu gue jemput Yugi di kantor, gue iseng bilang kalau gue mau ngelamar di sana. Well, bokapnya kayaknya langsung nyantol sama gue, jadi langsung deh, gue interview dengan Steve beberapa hari kemudian,” sambungnya sambil tertawa. “And the rest is history. Lucu, ya?” Jeongguk bertanya retoris. Selama ini, Jeongguk merahasiakan cerita itu dari siapapun, kecuali Yugyeom, sahabatnya. Ia tidak mau orang tahu bahwa bergabungnya Jeongguk ke perusahaan Steve memiliki unsur bantuan dari Yugyeom. Padahal, Steve sebelumnya sama sekali tidak tahu bahwa putranya dan Jeongguk bersahabat dekat. Keputusan Steve untuk menerima lamaran kerja Jeongguk adalah karena melihat resume Jeongguk yang sesuai dengan kriterianya. Tentu, Steve tidak pernah lupa untuk 'mengingatkan' Jeongguk setiap kali dirinya selesai mengerjakan kewajiban pekerjaannya.
Taehyung hanya menggelengkan kepala sambil tertawa renyah. Ia tahu persis cerita sebenarnya, karena Steve pernah memberitahunya beberapa waktu lalu saat beliau dan Taehyung sedang di salah satu restoran di bilangan Kuningan, persis setelah mereka berdua bertemu dengan salah satu klien lama perusahaan. Taehyung hanya berharap, semoga Jeongguk selalu ingat akan pencapaiannya selama ini, yang selalu membuat Steve bangga dan senang memiliki aset seperti Jeongguk di perusahaannya.
“I believe you have something more and more than just being a friend of Yugi's, Gguk. Lo itu punya potensial yang besar, kok. I know that. Kerja bareng sama lo berkali-kali dan selalu satu tim setiap project, buat gue sudah lebih dari cukup untuk tahu dan sadar akan itu.” Taehyung beralih menjadi serius.
Ia ingin 'menyadarkan' Jeongguk bahwa dirinya lebih dari cukup. Walaupun Taehyung sering sekali 'menggoda' Jeongguk di kantor, namun ia selalu memperhatikan rekan kerjanya itu, pun dengan kebiasaannya. Bagaimana Jeongguk saat bekerja selalu fokus dan tidak peduli dengan keadaan sekitar, bagaimana Jeongguk yang perfeksionis selalu memastikan pekerjaannya akan sesuai dengan guidelines dan keinginannya, dan bagaimana Jeongguk selalu tersenyum saat pekerjaannya sudah selesai. Taehyung menyaksikan semuanya itu. Untuknya, Jeongguk adalah seseorang yang hampir selalu menjadi contoh yang ingin ia ikuti.
Taehyung lalu meletakkan gelas winenya di meja kaca di depan mereka, lalu mengarahkan tubuhnya untuk menghadap ke arah Jeongguk. Menggerakkan tangannya dan mengelus pelan bahu Jeongguk. Merasakan Jeongguk yang lebih menempelkan kepalanya pada punggung tangan Taehyung, terlihat nyaman dengan gestur sederhananya.
“Istirahat sebentar, take a time out for yourself. Don't force yourself too much, Gguk. Lo bakal stres sendiri nantinya. Gue tahu, gampang banget ngomong gini meanwhile gue mengalami hal yang sama, tapi nggak ada salahnya untuk step back for once in a while, kok.” Taehyung berkata pelan, ia takut melewati batas. Hell, ia saja tidak tahu seperti apa status hubungan pertemanannya dengan Jeongguk. Ia tidak ingin membuat Jeongguk tidak nyaman. Ia hanya ingin menjadi teman cerita Jeongguk malam ini.
“Ambil cuti, berapapun yang lo mau ambil. Steve kasih kebebasan kita untuk cuti kapanpun, 'kan? Sekarang, 'kan, kita belum ada project lagi. Nggak apa, take your time as long as you need. Even cuman di Jakarta.” Taehyung lalu menarik tangannya dan mengetuk pelan kening Jeongguk yang tertutup rambut hitam lebatnya. “This, needs to rest for a bit. Mesin juga butuh istirahat, Gguk. Bisa panas dan ngebul, even meledak kalau dipaksa kerja terus.”
Jeongguk hanya bisa diam seribu bahasa. Ia tidak tahu harus menanggapi Taehyung dengan jawaban seperti apa, because he knows Taehyung is right. Manusia tidak bisa serta merta bekerja terus-menerus tanpa henti. Jeongguk sendiri pun tahu ia mengutamakan pekerjaannya more than anything, more than his me time. Ia rasanya hanya dapat mengeluh sendiri selama ini. Semuanya yang ia alami hanya ia telan bulat-bulat, tanpa menceritakan pada siapapun, tidak terkecuali Yugyeom. Setiap kali sahabatnya itu bertanya keadaannya, ia hanya membalas bahwa dirinya baik-baik saja. Ia tidak ingin menunjukkan sisi vulnerablenya pada siapapun.
Namun Taehyung, mungkin rekan kerja Jeongguk itu ahli dalam membaca pikiran dan gestur tubuh seseorang, sehingga ia seakan dikupas oleh Taehyung layaknya bawang bombay yang berlapis. Hanya Taehyung yang bisa menembus labirin pikirannya hingga titik tengah. Jeongguk hanya bisa menghela napas berat sambil memijat kedua pelipisnya.
“Iya, Tae... I guess I should.” Jeongguk merasakan kata-kata Taehyung membuatnya nyaman dan rasanya, beban pikirannya jauh lebih berkurang. Jeongguk rasanya memang membutuhkan perhatian seperti ini, karena selama ini, ia merasa sendiri. Aneh, bukan? Ia memiliki cukup banyak teman, namun ia selalu merasa sendiri.
Taehyung hanya tersenyum dan lalu mengelus pelan puncak kepala Jeongguk, sebelum akhirnya menepuk pelan ubun-ubunnya. Jeongguk terlihat meringis, lalu memutar kedua bola matanya sambil mencubit lengannya. Taehyung hanya bisa tertawa sambil ikut meringis, dan mendengar Jeongguk mengaduh dan mengeluh.
“Sakit, Taehyung! Mulai lagi deh, malesin.” Jeongguk setengah berteriak sambil melirik tajam kearah Taehyung.
“Iya, iya, maaf. Iy— aduh, sakit, Gguk!” Ia meringis sambil tetap tertawa lebar, yang ternyata, tertular dengan cepat pada Jeongguk. Pria yang lebih muda usianya dua tahun dari Taehyung itu akhirnya tersenyum lebar dan tertawa karenanya.
And for Taehyung, it's totally okay, at least he already made Jeongguk happy tonight.