Shattered

Jeongguk mengirimkan pesan singkat pada Taehyung, memberitahu bahwa ia sedang duduk santai di teras belakang. Jujur, selama ia menjalin hubungan pacaran dengan Taehyung, baru kali ini Jeongguk merasa bingung harus bagaimana. Rasanya tidak mungkin jika ia tiba-tiba dengan gamblang memberitahu pada kekasihnya itu bahwa ia bertemu dengan Bogum di Aetig dan sempat terjadi kontak fisik antara dia dan pria itu.

Satu-satunya hal yang Jeongguk lakukan untuk menghindari kesalah pahaman adalah dengan diam, yang Jeongguk tahu persis sebenarnya hal itu akan memperkeruh keadaan. Bagaimana tidak? Setelah Jeongguk 'bertemu' dengan Bogum, tiba-tiba ia berjalan cepat ke arah Bar untuk mengajak Taehyung pulang.

Kekasihnya itu bingung—terlihat dari raut wajahnya saat menyapa Jeongguk dan mendengar kemudian bahwa mereka akan pulang lebih awal. Taehyung akhirnya mengiyakan, lalu mereka berjalan ke arah meja sebelum pindah ke Bar. Jeongguk dengan sopan memberitahu Mamanya dan Bunda Kim bahwa mereka akan pulang, meminta maaf pada Ben, dan menyambar barang miliknya dan Taehyung yang tertinggal di sana.

Butuh waktu dua menit untuk Jeongguk dan Taehyung melakukan itu semua dan langsung melangkahkan kaki ke luar Aetig. Jeongguk bernapas lega—yang terdengar seperti dengusan kasar—saat ia tidak melihat Bogum di pintu masuk Aetig. Beruntunglah pria itu sudah pulang. Ia tidak ingin tiba-tiba ada 'drama' yang mengharuskan Taehyung bertemu dengan pria sialan itu.

“Ggukie, do you want to tell me what is going on? Why are we in a rush?” Pertanyaan Taehyung membuyarkan lamunannya saat mereka berdua memasuki lift. Tidak ada orang selain mereka di sana, maka Taehyung berani menanyakan rasa penasarannya pada Jeongguk—masih dengan suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.

Jeongguk rasanya ingin memberitahu Taehyung saat itu juga. Namun menyebut nama Bogum lagi akan membuatnya mual. Lagipula, ia tidak ingin jika nama itu akan membuat mood Taehyung berubah 180 derajat dan merusak harinya. Tidak, ia tidak akan membahasnya sekarang.

Kepala Jeongguk rasanya masih seperti habis direbus—panas dan mendidih. Ia tidak akan mengambil resiko yang akan mengakibatkan mood Taehyung dan dirinya juga memburuk. Jeongguk merasa, ia masih bisa menahannya sampai nanti.

Nanti sore? Nanti malam? Nanti beberapa hari lagi? Nanti beberapa minggu lagi? Entahlah. Namun ia juga tidak ingin memendamnya sendiri. Satu-satunya orang selain Taehyung yang memiliki 'history' dengan Bogum adalah Jimin.

Mungkin setelah sampai di rumah Taehyung, ia akan memberitahu Jimin via pesan singkat.

“Nggak ada apa-apa, Sayang. No need to worry,” kata Jeongguk lalu menarik tangannya untuk merangkul pundak Taehyung. Layaknya magnet, kekasihnya itu langsung secara otomatis mendorong dirinya ke dekapan Jeongguk—tempat yang selalu ia rasa sebagai 'rumah' keduanya; setelah Bundanya.

Taehyung hanya membalas dengan menggumam, berusaha untuk tidak terlihat terlalu penasaran, walaupun sejak Jeongguk tadi menghampirinya di Bar, Taehyung tahu ada sesuatu yang salah. Sebelum Jeongguk berlenggang ke toilet—begitu ijinnya tadi—wajahnya tidak terlihat dingin dan pucat seperti saat ini.

Seketika terlintas di kepala Taehyung, apakah Jeongguk sehabis bertemu dengan seseorang atau masa lalunya yang tidak ingin Taehyung tahu? Berbagai khayalan dan andai-andai berputar-putar di otaknya. Ia ingin bertanya sekali lagi, memastikan apakah kekasihnya itu baik-baik saja. Namun sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat. Ia memutuskan untuk mengikuti kemauan Jeongguk.

Kekasihnya itu pasti akan memberitahunya saat ia siap, 'kan?

Sesampainya mereka di lobi, Taehyung segera menelpon supirnya untuk membawa mobil Jeongguk serta—menginfokan bahwa ia dan Jeongguk akan pulang terlebih dahulu. Supirnya dengan sigap menjawab lalu mengakhiri sambungan telepon.

Lobi gedung itu luas; Taehyung mengedarkan pandangan dan melihat terdapat kafe yang tidak terlalu besar namun nyaman. Ia melihat banyak sekali pengunjung di sana. Segera Taehyung mengecek layar handphonenya dan menyadari bahwa hari sudah mulai sore. Matahari tidak secerah tadi saat ia masih di Aetig; sekarang langit terlihat mendung. Taehyung khawatir hujan akan segera turun. Ia tidak mau menghabiskan waktu di jalan bermacet-macetan di hari Minggu sore.

Tidak. Rasanya ia sekarang ingin segera merebahkan dirinya di jok mobil Jeongguk dan tertidur. Cuaca mendung selalu membuatnya otomatis mengantuk.

Tidak membutuhkan waktu lama sampai supir Taehyung tiba di lobi dengan mengendarai mobil Jeongguk. Kekasihnya itu mengucapkan terima kasih pada beliau dan segera masuk ke dalam mobil. Taehyung pun sama; dengan ditambahkan pesan untuk berhati-hati saat mengantar Bundanya dan Mama Jeon nanti, karena sepertinya hujan akan segera turun dengan deras.

Setelah Taehyung masuk ke dalam mobil dan menaikkan suhu penghangat di dalam mobil agar tidak terlalu dingin, akhirnya Jeongguk mengangguk dan membawa mobilnya melesat meninggalkan lobi gedung.

Mungkin saat ini, Semesta sedang berpihak pada Taehyung, karena selama dirinya tadi menunggu di lobi dengan Jeongguk, ia tidak menyadari sepasang mata memperhatikan mereka dari kejauhan.

Seorang pria sedang duduk menyesap kopi panasnya sambil berbisik pada dirinya sendiri sambil tersenyum simpul.

God, it's really Kim Taehyung. Adik manisku.”

Taehyung sudah menyampirkan handuk tebal dan lebar miliknya di pundak, lengkap dengan piyama ganti kesayangannya yang ia dekap untuk dibawa ke kamar mandi. Rasanya ia ingin cepat-cepat bebersih karena hari ini tidak terasa seharian dirinya dan Jeongguk menghabiskan waktu di luar rumah. Taehyung senang sekali hari ini, entah karena hari ini ia makan enak seharian tanpa henti—walaupun beberapa kali dilarang Jeongguk karena ia sedang sedikit batuk—atau memang karena akhirnya mereka dapat menghabiskan waktu sekeluarga lengkap di luar rumah.

Biasanya ritual makan siang atau malam on weekend sering dilakukan di rumah. Taehyung senang karena hari ini mengabadikan foto makanan dan interior Aetig yang ia sadar sudah menghabiskan storage yang cukup banyak dihandphonenya.

Speaking of his phone, Taehyung memiliki kebiasaan untuk membawa handphonenya ke mana pun ia pergi, termasuk saat mandi. Tidak heran jika Taehyung dijuluki dengan orang yang paling lama menghabiskan waktu untuk mandi karena ia sambil berendam dan menyetel musik jazz dan slow R&B untuk menemaninya bebersih.

Beberapa kali Bunda Kim mendapati Taehyung membawa mini speakernya ke kamar mandi untuk disambungkan via bluetooth agar lagu favoritnya bisa dinikmati lebih kencang. Kedua telinga Taehyung rasanya sudah kebas saat Bunda melihat Taehyung membawa benda mati itu ke kamar mandi, lengkap dengan omelan seperti 'nanti kamu kesetrum, Nak' atau 'nanti bisa rusak' dan sebagainya. Taehyung yang sudah hafal bahwa Bundanya tidak akan berhenti mengomel jika tidak dituruti, maka kebiasaannya itu pun akhirnya dihentikan. Pun tetap, handphonenya selalu ia bawa ke mana-mana untuk menemaninya.

Kata Taehyung suatu hari, jika mandi tidak dengan diiringi lagu favoritnya, ia seperti sedang mandi di rumah sendirian. Rasanya sepi dan membuatnya merinding, katanya pada Jeongguk yang membuat kekasihnya itu tertawa terbahak.

Saat Taehyung membaca pesan Jeongguk tadi, ia hanya mendesah sambil melangkahkan kaki ke kamar mandi. Ia tidak ingin pikirannya semakin melalang-buana memikirkan kemungkinan ini itu yang akan membuatnya stres.

Tujuan Taehyung sekarang adalah membersihkan diri, menikmati me timenya dengan bubble bath, lalu menyusul Jeongguk ke teras belakang.

Semoga semuanya baik-baik saja.

Jeongguk sedang memainkan game baru dihandphonenya dengan serius saat Taehyung yang sudah wangi dan nyaman dengan piyama warna silvernya melangkahkan kaki ke teras belakang. Dari jauh, Taehyung bisa melihat betapa kekasihnya itu terlalu fokus dan serius pada layar handphone, tidak menyadari keberadaannya. Taehyung akhirnya tersenyum sambil melepas sandal empuknya di dalam ruangan, dan mengganti alas kakinya yang ia biasa kenakan untuk berjalan-jalan di teras. Taehyung melangkah dengan berjinjit supaya Jeongguk tidak mendengarnya. Berhasil, Jeongguk tidak menyadari bahwa Taehyung sudah berdiri di belakangnya saat ini dan merangkul lehernya dengan kedua tangannya. Menaruh dagunya di perpotongan leher Jeongguk dan mencium pipi kekasihnya itu kemudian. Jeongguk selalu wangi, dan Taehyung rasanya betah jika harus memeluknya sepanjang hari.

Jeongguk seketika refleks mendongak dan membalas Taehyung dengan mengecup pipinya-lama. Taehyung hanya tertawa—no, he's giggling and Jeongguk is so madly in love with him all over again.

Taehyung lalu menarik pelukannya dan mengitari sofa panjangnya untuk duduk di samping Jeongguk. Ia memiliki kebiasaan untuk mengisi sofa dengan bantal-bantal empuk—alasannya pada Bunda supaya siapapun yang duduk di sofa itu akan merasa nyaman. Padahal, sofa ini sudah hampir terisi penuh oleh bantal pilihan Taehyung yang membuat sesak. Bundanya beberapa kali merayu untuk memindahkan bantal-bantal ke ruang tengah, yang langsung direspon Taehyung dengan menggeleng cepat dua kali. Bunda tidak pernah merayu Taehyung lagi sejak itu.

“Wangi banget sayang aku?” Jeongguk memulai pembicaraan dengan memuji Taehyung sambil tersenyum. Taehyung melihat Jeongguk mengatur mode handphonenya menjadi silent dan meletakkan benda itu di meja kecil sisi sebelah Jeongguk duduk. Melihat itu, Taehyung pun akhirnya berinisiatif untuk melakukan hal yang sama dan menyelipkannya di sela-sela bantal yang bertengger di sebelah kirinya.

Mungkin malam ini, mereka akan menghabiskan waktu berdua tanpa handphone? Taehyung tidak tahu, but he's looking forward to it.

Mereka membicarakan topik ringan selama beberapa menit sebelum akhirnya Mas Tris datang dengan membawa segelas kopi panas untuk Jeongguk dan cokelat panas lengkap dengan marshmallow untuk Taehyung. Angin malam ini sangat dingin, entah mengapa Taehyung terlalu malas untuk mengambil hoodienya di kamar dan mengenakannya supaya tidak kedinginan. Instead, Taehyung mengambil mantol hangat milik Bunda yang terselip di antara bantal-bantalnya. Bundanya memang sering duduk di teras belakang untuk bekerja, maka tidak heran jika mantol milik Bunda ada di sini. Taehyung lalu membuka mantol itu lebar-lebar dan mengenakannya, menghangatkan diri sambil memegang mug cokelat panas di tangan.

Ia lalu meniup-niup cairan cokelat itu agar cepat menghangat. Hingga saat ini, Jeongguk hanya tersenyum dan tidak aktif berbicara seperti biasanya. Taehyung rasanya sudah gatal ingin menanyakan hal itu pada Jeongguk, namun ia tidak ingin merusak suasana? Atau ya... setidaknya ingin mencoba untuk pengertian dan menunggu Jeongguk untuk membuka diri padanya.

Taehyung hanya berdoa pada Tuhan semoga tidak ada hal aneh yang terjadi padanya tadi di Aetig sehingga membuat Jeongguk hampir diam seribu bahasa sejak tadi mereka pulang dari sana hingga duduk di teras belakang rumah Taehyung.

Setelah Mas Tris beranjak dari sana, keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. Suara jangkrik dan serangga malam mulai terdengar di telinga Taehyung, berusaha mengisi keheningan. Ia kembali menyeruput cokelat panasnya yang sudah tercampur dengan marshmallow favoritnya. Sedang Jeongguk terlihat dari ujung mata Taehyung bahwa kekasihnya itu sedang memandangi halaman belakang rumahnya dengan tatapan kosong.

Kopi panas yang ada di hadapannya tidak tersentuh—Taehyung masih dapat melihat uap panas dari cangkir itu menguar keluar.

Tidak biasanya kekasihnya seperti ini? Ada apa dengan Jeongguk-nya?

“Tae, I met Bogum earlier.” Kata Jeongguk lirih sambil menunduk, tidak menatap Taehyung sama sekali. Suara Jeongguk bergetar, dirinya sendiri tidak tahu mengapa rasanya pahit membeberkan fakta itu pada Taehyung. Ia tidak ingin sosok pria itu menghantui pikiran dan hari-hari kekasihnya lagi. Namun rasanya, jika Jeongguk memendamnya sendiri, ia merasa menyembunyikan sesuatu yang besar dan penting dari Taehyung.

Jeongguk hanya bisa mengira-ngira, ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi setelah Taehyung mengetahui hal ini. Gambling? Tentu saja. Akan ada satu kemungkinan terjadi dari antara beberapa kemungkinan yang sedari tadi lalu-lalang di kepalanya. Dan Jeongguk sama sekali tidak tahu kemungkinan mana yang akan menjadi respon Taehyung.

Taehyung yang sedang menyesap cokelat panasnya lantas tersedak cukup keras dan membuatnya memuntahkan minuman hangat itu dari mulutnya. Bibirnya lengket karena perpaduan cokelat panas dan marshmallow yang menempel, terlihat bercak cokelat di beberapa spot pada mantol Bunda, dan Taehyung rasanya ingin berteriak.

How come his boyfriend met Park Bogum here in Seoul?

Jeongguk dengan sigap mengambil beberapa helai tisu kering yang tersedia di meja di hadapannya dan membuka tempat tisu basah—yang entah mengapa juga tersedia di sana, seakan-akan tahu Taehyung akan tersedak—dan membantu Taehyung membersihkan bibirnya dan beberapa titik—sofa, mantol, dan meja—dari bercak susu cokelat itu. Jeongguk lantas diam sambil membantu Taehyung, sedang kekasihnya? Hanya termangu memandangi Jeongguk dengan tatapan horornya. Tenggorokan Taehyung rasanya tercekat, ia butuh dua gelas air putih untuk membasahinya; ingin melayangkan seribu pertanyaan pada Jeongguk.

Ingin mendapat kepastian. Ingin tahu. Ingin tahu. Ingin tahu.

“Ggukie, are you serious?” Taehyung bertanya dengan lirih. Dari seluruh pertanyaan yang tersusun berantakan di kepalanya dan sudah sampai ujung lidah, hanya pertanyaan ini yang lolos keluar dari mulut Taehyung. Ia enggan menyebutkan nama itu lagi.

Tanggal berapakah ini? Bukan April Mop juga, dan ya... yang paling masuk akal adalah, untuk apa Jeongguk bercanda jika guyonan yang ia lontarkan tidak lucu sama sekali?

Yeah, I am dead serious.” Jeongguk menjawab pelan, terdengar seperti frustrasi.

“Kenapa? Kenapa dia bisa ada di Aetig? What was he doing? Was he stalking us? Wha...” Gelenyar panik merambat di sekujur tubuh Taehyung. Pertanyaan demi pertanyaan akhirnya lolos dari mulutnya. Bulu kuduknya meremang. Kepalanya pusing. Ia tidak menyangka akan mendengar seseorang terdekatnya mengatakan bahwa mereka bertemu dengan 'masa lalu'nya yang sudah susah payah ia singkirkan dari memori. Namun ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia butuh semua jawaban atas pertanyaan itu.

Hey baby, stop. Stop.” Jeongguk menarik tangan Taehyung dengan sigap dan membawa kekasihnya itu dalam pelukannya. “Sayang, you are rambling. Tenang dulu, ya?” pinta Jeongguk sambil berbisik lirih di telinga Taehyung. Ia teringat akan beberapa bulan lalu, persis seperti ini; Jeongguk berusaha menenangkan Taehyung yang menangis histeris di kamar depan. Keduanya masih berstatus sahabat waktu itu.

Waktu memang terlalu cepat berlalu, seperti tiupan angin.

Butuh beberapa menit untuk Taehyung akhirnya tenang dan dapat mengatur ritme napasnya. Awalnya memang sulit, tapi ia harus mencoba. Taehyung seketika merasa bodoh. Bisa-bisanya ia masih memiliki reaksi seperti ini terhadap satu nama yang bisa dikategorikan sebagai orang brengsek—menurut Jimin. Padahal ia saat ini sedang terkedap erat dalam pelukan kekasihnya sendiri? Taehyung merasa kasihan dengan dirinya sendiri.

Keterpurukan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus menggerogoti pikiran dan dirinya. Taehyung akan mundur seribu langkah jika tidak keluar dari insecurity bubblenya.

Jeongguk tidak henti-hentinya membisikkan kata-kata di telinga Taehyung untuk menenangkannya. Ia merutuki dirinya sendiri, this is too fast. I shouldn't let him know before I could form my words.

Ia sekarang menyesal, karena jujur ia sendiri tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan yang sebenarnya ingin dihindari?

“Maaf, Ggukie.” Taehyung menggumam sambil tetap mengatur ritme napasnya. Jeongguk masih berusaha menenangkannya dengan mengelus pelan punggungnya yang dingin. Piyama kekasihnya itu terlalu tipis. Ia dapat merasakan tubuh Taehyung seperti bergetar dan menggigil karena sehabis meracau dan tertusuk udara dingin malam hari.

“Maaf untuk apa, Tae?” Tanya Jeongguk dengan dahi yang mengernyit. Ia tidak paham mengapa kekasihnya meminta maaf padanya. Bukannya seharusnya dirinya yang meminta maaf pada Taehyung karena tidak jujur sejak tadi siang mereka memutuskan untuk pulang dari Aetig lebih dulu? Jeongguk merasakan pelukan Taehyung mengendur. Kekasihnya itu menarik diri dari pelukannya dengan pelan. Jeongguk dapat melihat kedua bahu Taehyung masih bergetar; ingin rasanya ia mendekap Taehyung kembali.

Namun sepertinya kekasihnya itu ingin berbicara empat mata dengannya sambil saling tatap.

Mata adalah jendela hati, begitu yang pernah Jeongguk dengar.

“Maaf... kalau aku bereaksi berlebihan. Aku cuman... nggak tahu? Rasanya nggak percaya aja kamu bisa ketemu dia.” Taehyung menghela napas berat, terdengar suaranya masih bergetar. “And the fact that he's here in Seoul, you know? It's just... I don't know, Ggukie. Apa itu nggak aneh buat kamu?” Taehyung berkata lirih sambil menunduk. Jemari panjangnya memilin ujung piyamanya dengan kasar. Jeongguk khawatir sebentar lagi kain piyama itu akan robek.

Mendengar kata maaf dari Taehyung, Jeongguk dengan segera menangkup kedua pipi kekasihnya itu dengan tangannya, sesekali mengelusnya dengan ibu jarinya. Ia takut. Jeongguk takut akan ketakutan Taehyung yang diam-diam hendak menyeruak kembali lagi. Memang normal adanya, namun ia tidak mau melihat kekasihnya murung berkepanjangan—yang ia tahu persis, Taehyung akan dengan mudahnya tertarik seribu langkah dari tempatnya berpijak sekarang kedalam lubang hitam itu.

Mereka sudah berjuang bersama. Taehyung sudah berjuang sebisa mungkin. Jeongguk tidak akan membiarkan Taehyung kembali ke lubang itu.

Why are you sorry, Sayang? Itu normal, kok. Nggak perlu minta maaf. Oke?” Jeongguk berusaha meyakinkan Taehyung bahwa tidak perlu meminta maaf. Namun sejujurnya, kedua telinga Jeongguk seperti diteriaki oleh sekujur tubuhnya. Ia bisa mendengar pikirannya berbicara; yang membuat Jeongguk ingin mencari Bogum entah di mana, dan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan tadi siang.

Bodoh, seharusnya Jeongguk sudah melayangkan tinjunya tadi. Hanya dengan mendengar namanya saja Taehyung sudah seperti ini, bagaimana jika tadi siang mereka berdua bertemu? Jeongguk tidak bisa membayangkan, ia sendiri mual.

Ia tidak ingin membayangkannya.

Pertama kalinya dalam hidup Jeongguk—well selama ia bersahabat dan berpacaran dengan Taehyung—ia mendengar kekasihnya menghela napas kasar sambil mengumpat. “For God's sake, Ggukie. Stop saying it was okay because it's not! Damn.” Taehyung membanting bantal yang tadinya ia jadikan sandaran ke lantai. Sepasang matanya seperti berkilat. Nadanya terdengar sangat putus asa.

Taehyung seperti akan marah.

“Apa aku boleh tahu, definisi kamu 'ketemu' dia itu kayak apa?” Tidak ada nada lembut dan ramah Taehyung biasanya di sana. Taehyung-nya benar-benar marah. Jeongguk mendesah. Ia harus menahan emosi jika tidak ingin meledak bak petasan banting yang sering menjadi mainan anak kecil saat sore hari di kompleks rumah mereka.

Okay, Tiger. Calm down.” Jeongguk akhirnya membalas dengan nada santai. Ia tidak ingin tersulut emosi, walaupun rasanya ujung lidahnya sudah akan membalas Taehyung dengan nada dingin. Salah satu harus mengalah jika tidak ingin Mas Tris dan beberapa tetangga mendatangi mereka karena saling berteriak. Jeongguk berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia tahu persis Taehyung seperti apa. Kekasihnya itu jarang sekali marah—bisa dihitung jari.

Jika Taehyung sudah mengeluarkan 'urat' emosinya saat ini, lebih baik tidak memberi saran seperti 'sabar ya' atau bahkan 'tenang dulu, Taehyung'.

Tidak. Taehyung-nya akan semakin marah.

Hal ini pula yang menjadi ketakutan Jeongguk. Rasanya beberapa kemungkinan yang ia pikirkan tadi sudah mulai kelihatan yang mana yang akan muncul. Dan ya, prediksi Jeongguk benar, sepertinya pembicaraan ini akan berakhir dengan tidak baik.

Terkadang Jeongguk ingin mengeluh pada Tuhan, mengapa setiap firasatnya selalu berakhir benar.

Kekasih Jeongguk itu terlihat gelisah. Sorot matanya seperti meminta penjelasan secepatnya. Entah apakah cokelat panas yang dicampur dengan marshmallow dapat mempengaruhi barometer emosimu, especially Taehyung's.

Okay so yeah, tadi siang Bogum ada di Aetig. Dia duduk jauh di ujung, Tae. I did not recognize him at all at first. Sampai akhirnya, ya, aku sadar kalau dia lagi ngeliatin kita dari ujung sana.” Jeongguk menghela napas berat. “He's so different now, jadi aku nggak sadar. Lalu, ya, aku ajak kamu pindah ke Bar supaya kamu nggak risih, alasan kedua. Alasan pertama karena kamu memang mau pindah ke sana.”

“Oke, terus?” Ujar Taehyung singkat.

Jeongguk mengernyit kemudian. Taehyung tidak pernah seperti ini—kekasihnya tidak pernah seperti ini. Ke mana Taehyung-nya yang lembut dan penyabar? Jeongguk tidak pernah menyangka bahwa saat ini, ia berhadapan dengan sisi Taehyung-nya yang lain. Ia sudah bisa mengantisipasi jika kekasihnya menangis atau malah diam.

Tetapi ia tidak siap menghadapi Taehyung-nya yang seperti ini.

God, it's going to be a long night, batin Jeongguk.

“Aku mau cerita, tapi please dengerin aku sampai selesai. Oke, Tae?” Jeongguk menjawab, meminta pengertian Taehyung.

Kekasih Jeongguk pun hanya mengangguk kemudian. Taehyung menyandarkan tubuhnya lemas di sandaran sofa, tangannya memeluk bantal empuk yang tidak terkena bercak minuman hangatnya tadi. Tatapannya kosong melihat halaman belakang rumahnya yang disinari oleh cahaya kuning di beberapa titik.

Sedang Jeongguk di sampingnya memposisikan duduknya nyaman, menaruh tangannya menjulur di kepala sofa; memainkan rambut Taehyung yang hitam dan hampir panjang itu.

Ia menghela napas sesaat sebelum menyambung ceritanya, mencoba untuk tidak terbawa emosi mengingat kejadian tadi siang di Aetig. “Long story short, aku sadar dari kejauhan kalau dia bakal pulang? I don't know, it's my gut. So yeah I told you I wanted to go to the restroom. Maaf aku bohong. Aku cuman mau nyamperin orang itu? Because the way he looked at us, it was not polite, Sayang. Kamu tau itu.

“Aku pernah bilang sama kamu, kalau aku nggak suka ada orang or even some strangers looking at us that obvious. Dan aku merasa terganggu. Jadi ya aku mau tahu aja dia siapa. Toh, kalau memang dia adalah teman Mama, I wouldn't mind. Mungkin dia pangling sama Mama so he was staring.

“Tapi ternyata dia Bogum, so yeah... I talked to him.” Jelas Jeongguk panjang lebar tanpa jeda. Jeongguk saat ini ibarat es batu yang sedang disejajarkan dengan nyala api. Taehyung terlalu 'panas', namun ia hanya diam tidak bergeming.

You talked to him?”

Dari semua penjelasan yang Jeongguk berikan, hanya ada satu pertanyaan yang keluar dari mulut Taehyung. Jeongguk hanya bisa menghela napas sambil menjelaskan kembali.

Ia hanya ingin pembicaraan ini segera selesai.

Kalau Jeongguk boleh jujur, ia ingin marah. Marah pada Semesta? Marah pada Bogum? Jeongguk tidak tahu.

Bogum rasanya kembali mengokupasi celah yang ada di dalam kepala Taehyung, dan itu adalah hal terakhir yang Jeongguk inginkan terjadi.

Yes, and we had a physical contact. Sedikit.” Jeongguk berbisik dan Taehyung memajukan tubuhnya, bangun dari posisi ia bersandar. Sepasang manik hazelnya membesar, kedua alisnya bertaut. Ia menoleh cepat pada Jeongguk dan hendak membuka mulutnya sesaat sebelum Jeongguk menyela. “Tae, please?”

Taehyung akhirnya menghela napas dan mengangguk, mempersilahkan Jeongguk untuk meneruskan ceritanya. Jeongguk tahu, Taehyung sudah tidak sabar mengetahui akhir ceritanya.

Apakah mereka berbicara dengan santai? Apakah terjadi baku hantam? Apakah terjadi adu mulut? Taehyung sangat penasaran.

Akhirnya Jeongguk bercerita sangat detail, mulai dari ia memanggil Bogum saat akan melangkah pergi dari Aetig, hingga saat Bogum 'terdengar' seperti berjanji bahwa tidak akan bertemu dengan Taehyung lagi. Jeongguk menjelaskan tanpa jeda, ia takut akan berhenti jika menatap Taehyung terlalu lama.

Damn, Jeongguk tidak pernah menyangka hari ini akan tiba; Bogum hadir di garis kehidupannya dan Taehyung (lagi).

Pikiran Jeongguk berkecamuk sejak ia bertemu dengan Bogum hari ini. Jeongguk tidak ingin munafik, ada sedikit rasa takut yang menguar dari hatinya. Bukan karena Jeongguk ragu pada hati Taehyung, bukan. Ia takut akan kata-kata Bogum bahwa pria itu tidak akan bertemu dengan Taehyung lagi. Jeongguk khawatir, pertahanan Taehyung yang sudah kokoh terbangun akan runtuh saat bertemu dengan Bogum lagi.

Bertemu, dalam arti yang sesungguhnya.

“Jadi... dia nggak ada tanya tentang aku sama sekali, Ggukie?” Tanya Taehyung. Jeongguk tahu, ada rasa penasaran yang tinggi dibalik pertanyaan yang dilontarkan padanya itu.

“Hmm? Nggak ada, sama sekali. Dia hanya bilang dengan bangganya kalau kamu adalah teman lama dia.” Jeongguk menjawab pertanyaan kekasihnya jujur.

Which was true.” Taehyung menjawab cepat.

Kekasih Taehyung itu hanya bisa mengernyit. “Iya aku tahu. But the way he was so cocky while saying that? God damn, I hate him, Tae,” jawab Jeongguk ketus. Gagal. Jeongguk gagal mengatur nada bicaranya.

“Kenapa kamu mau tahu dia nanya tentang kamu atau nggak?” Kekasih Taehyung itu berbicara lagi, kali ini dengan nada yang tidak enak. Jeongguk sudah tidak peduli nadanya terdengar seperti apa.

“Maksud kamu, Ggukie? I was just asking.” Jawab Taehyung defensif.

Jeongguk diam seketika. Ia tahu dan sadar bahwa reaksinya atas pertanyaan Taehyung terlalu berlebihan. Tapi ada rasa jealous di sana. Memangnya untuk apa Taehyung tahu Bogum menanyakan tentang dirinya atau tidak?

“Ggukie, apa menurut kamu sebaiknya aku ketemu dia? Untuk terakhir kali?” Jeongguk menoleh cepat dan menaikkan alisnya saat mendengar Taehyung bertanya demikian.

“Untuk apa, Tae?”

For closure, no?”

You don't need to meet him, Sayang.” Jeongguk putus asa dan jujur, ia sudah tidak bisa menahan emosinya lebih jauh. “He's irrelevant now, okay? Lagipula kamu sendiri yang bilang kalau closure dari Jaebeom sudah cukup?”

Taehyung mengatur napasnya. Ia tidak ingin bertengkar dengan Jeongguk. Namun dengan rasa penasarannya, banyak pertanyaan yang ada di kepalanya, dan fakta bahwa cinta lamanya dulu bertemu dengan kekasihnya sekarang, kepala Taehyung rasanya berputar sepuluh kali lebih cepat. Dan Taehyung tahu, mulutnya akan lebih cepat bekerja daripada pikirannya.

I feel like I need that, Ggukie.” Taehyung menekankan. Ia merasa butuh untuk bertemu dengan Bogum. Ia tidak tahu alasannya. Ia hanya merasa bahwa itu adalah jalan yang paling tepat untuk mengakhiri semua rasa penasarannya selama enam tahun ini?

Taehyung tahu ini sangat tidak adil untuk Jeongguk. Tapi, apakah tidak boleh jika Taehyung ingin tahu cerita dari sisi Bogum? Jaebeom adalah sahabatnya, bukan Bogum sendiri.

Taehyung juga berhak tahu semuanya, 'kan?

Why are you so persistent you want to meet him? Aku rasa nggak perlu, and it's final.” Jeongguk memutuskan. Ia tahu mungkin saat ini ia sudah kelewatan; mengatur Taehyung sesuka hatinya karena ingin melindungi hati Taehyung. Ia tidak ingin melihat kekasihnya kembali ke lubang itu, dan Jeongguk akan melakukan segala cara agar Taehyung 'aman dan selamat'.

BECAUSE I NEED THAT CLOSURE, JEONGGUK!” Taehyung akhirnya berteriak. Ia menegakkan tubuhnya sambil membanting bantal yang sejak tadi ia peluk ke lantai. Mug cokelat panas di meja hampir tersambar oleh kencangnya bantingan Taehyung. Napas Taehyung memburu, matanya berkilat, kedua pipinya memerah. Taehyung marah. Ia tidak ingin diatur. Mungkin hanya saat ini. Akan tetapi, Taehyung lelah jika harus 'disetir' oleh Bundanya dan kekasihnya sendiri soal masa lalunya. Ia punya banyak pertanyaan. Ia ingin memutuskan harus berbuat apa saat ini sendiri.

Ia sudah tahu resiko yang akan terjadi dan ia akan menghadapinya, sendiri.

Please, Ggukie, please... jangan atur aku untuk hal ini. Jangan tahan aku.”

Jeongguk terbelalak. Baru pertama kali setelah sekian lama Taehyung memanggilnya dengan nama 'Jeongguk'. Ia pun melihat sepasang manik hazel itu hampir tertutup dengan air mata.

Namun Jeongguk... Jeongguk tidak bisa menahan emosinya yang sedari tadi sudah tertahan diujung lidahnya.

Jesus Christ, Taehyung. IS THIS BECAUSE YOU ARE STILL THINKING ABOUT HIM BEHIND MY BACK?!” Jeongguk berteriak membalas Taehyung. Ia sudah tidak bisa menahan emosi dan amarahnya sejak tadi. Masa bodoh jika Jeongguk terlihat petty saat ini. Ia hanya ingin Taehyung menangkap maksud dan tujuannya melarang kekasihnya. Jeongguk memang sulit mengutarakan maksudnya jika sedang terdesak seperti saat ini—dan Jeongguk akan berubah menjadi 'sumbu pendek' untuk melampiaskan kekesalannya.

“Ggu-ggukie, aku nggak pernah...” Air mata Taehyung yang sudah ditahannya sejak tadi akhirnya lolos. Satu titik, dua titik, dan akhirnya turun dengan deras. Taehyung sudah tidak kuat dengan adu mulut ini.

Hatinya lelah, pikirannya lelah, tubuhnya lelah; apalagi adu mulut ini terjadi antara dirinya dan Jeongguk. Kedua kaki Taehyung lemas, rasanya ia sudah ingin berlutut dan bersandar pada kaki sofa saat ini. Taehyung tidak mengira bahwa Jeongguk akan melemparkan tuduhan itu padanya disaat seperti ini.

Ia tidak pernah memikirkan Bogum lagi. Setiap hari dan setiap saat, hanya ada Jeongguk di kepalanya.

Sampai akhirnya Jeongguk beberapa saat lalu bercerita bahwa ia bertemu dengan Bogum siang tadi.

Taehyung berani bersumpah. Namun rasanya seberapa keras Taehyung mencoba meyakinkan Jeongguk, kekasihnya itu akan sulit percaya. Suasana malam ini menjadi panas dan negatif. Taehyung rasanya ingin segera berbaring di kasurnya dan menangis semalaman.

Besok pagi seharusnya mereka masuk sekolah, namun Taehyung rasanya ingin bolos saja. Ia tidak mau menjadi bahan omongan di sekolah karena matanya bengkak dan hidungnya merah. Toh Taehyung sudah yakin bahwa ia tidak akan fokus menghadapi hari esok. Ia juga sedang tidak ingin membicarakan hal apapun dengan Jimin maupun Hoseok—yang ia yakin seratus persen akan menanyakan apakah Taehyung baik-baik saja.

“Maaf... maaf aku masuk dulu, Ggukie... Aku minta maaf kalau dari kata-kata aku tadi jadi membuat kamu berpikir dan ragu sama aku. I'm truly sorry.”

Jeongguk lalu berdiri, berusaha untuk menghentikan Taehyung yang seperti akan lari dari sana. Jeongguk merutuki dirinya sendiri. Selama ini ia tidak pernah membentak apalagi berteriak jika berbicara dengan Taehyung. Jeongguk bingung, ia frustrasi. Ia tahu ia salah, namun ia bingung bagaimana memperbaikinya. Jeongguk sudah mengulurkan tangannya untuk meraih lengan Taehyung, namun kekasihnya itu melangkah mundur dan menggeleng.

Shit, he fucked up, didn't he?

“Sayang... please. Aku minta maaf.” Jeongguk memohon. Tenggorokannya kering. Ia hanya bisa berdiri mematung melihat Taehyung menahan tangisnya sambil mengatur napasnya yang patah-patah. Jeongguk merasa bodoh, saat seharusnya ia menjadi sandaran untuk kekasihnya, ia malah membuat Taehyung semakin menjauh.

Taehyung menggeleng cepat sambil menghapus air matanya kasar, mengambil handphonenya cepat dan berlari masuk ke kamar tidurnya.

Jeongguk seriously fucked up.