His Side — A (Half) Truth

Yugyeom tidak mengerti apa yang sedang terjadi antara sahabatnya dengan kekasihnya. Jeongguk tidak seperti biasanya khawatir berlebihan pada Taehyung. Sejak siang tadi dirinya dan Eunwoo serta Mingyu tiba di rumahnya, Jeongguk terlihat tidak bersemangat. Ia mengira, ini adalah gejala-gejala rindu akut yang dialami oleh sahabatnya itu.

Namun sepertinya, tebakan Yugyeom kali ini salah.

Jeongguk terlihat murung sejak tadi; beberapa kali mengecek handphone nya yang sama sekali tidak bersuara. Tidak bergeming. Tidak ada satupun pesan dan/atau telepon masuk dari Taehyung. Yugyeom sesekali melirik kearah sahabatnya yang sedari tadi menggerakkan kakinya seperti sedang menggowes mesin jahit. Eunwoo dan Mingyu sedang pergi ke luar beberapa menit lalu; memutuskan membeli beberapa minuman untuk menghabiskan Sabtu malam bersama.

“Gguk. Lo kenapa sih? There's something wrong, I can tell,” tebak Yugyeom yang sedang duduk di sebelahnya sambil memainkan pensilnya di tangan. Selama bersahabat dengan Jeongguk, ia sudah hafal kebiasaan Jeongguk jika sedang khawatir. Salah satunya seperti sekarang ini.

“Uh... kangen Taehyung, Gyeom. Udah dua hari nggak ketemu. Rasanya gini amat, ya?” Jeongguk menjawab sambil tertawa nanar. Ia kembali mengecek handphonenya; yang sama sekali kosong akan notifikasi. Hanya terpampang foto Taehyung di home screen, sedang tersenyum lebar ke arahnya; menunjukkan senyum kotaknya dan sepasang mata indahnya yang menyipit.

Yugyeom menanggapi dengan senyum lalu menepuk pundak sahabatnya itu; gestur yang selalu ia berikan untuk Jeongguk saat sedang dalam kondisi seperti ini. Tidak membantu banyak memang, Yugyeom tahu, tapi setidaknya, ia tahu gestur itu memberikan sinyal pada Jeongguk bahwa Yugyeom mengerti apa yang sahabatnya itu rasakan.

“Liatin foto yang tadi di-post sama Jimin aja, Gguk. Lumayan bisa ngurangin kangen dikit.” Yugyeom memberi ide, lalu menyambung lagi. “Emangnya, lo bener-bener janjian nggak mau saling ketemu?”

Jeongguk hanya menaikkan kedua bahunya yang terlihat lemas. “Yeah, made a promise, actually. Biar nggak ketergantungan terus, Gyeom. Lagian, latihan juga nggak sih? Nggak ketemu tiap hari. Dia juga pasti kangen main sama Jimin, Hoseok. Ngobrol sama Bunda. He needs his me time, too, I guess.” Jeongguk menatap Yugyeom dan menjawab lirih sambil tersenyum seadanya.

Kangen sama Taehyung... gini banget ya? batin Jeongguk.

Beberapa menit berlalu, sampai handphone Jeongguk berbunyi, tanda pesan masuk. Ia langsung dengan sigap menyambar benda itu; berharap Taehyung yang membalas pesannya. Yang jelas, ternyata, dunia sedang tidak berpihak padanya. Pengirim pesan itu adalah Eunwoo; menanyakan sesuatu di group chat yang akhirnya hanya diabaikan oleh Jeongguk.

Yugyeom yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya lalu membalas pesan Eunwoo.

Hati kecilnya pun berharap, Taehyung segera membalas pesan dan/atau telepon sahabatnya itu. Gejala rindu akut Jeongguk sepertinya sedikit memburuk.

Eunwoo dan Mingyu kembali ke rumah Jeongguk tepat dua puluh menit kemudian; sudah dengan membawa dua krat soju—pesanan khusus Jeongguk—dan beberapa lauk untuk makan malam yang dibeli dari restoran langganan mereka.

Mama Jeon memberitahu Jeongguk tadi pagi bahwa hari ini beliau memiliki jadwal dengan teman-teman kuliahnya dulu. Anak laki-laki Mama Jeon itu hanya mengiyakan dan berpesan untuk tidak pulang terlalu larut. Mamanya yang mendengar anaknya seperti memberi petuah kepada beliau hanya menanggapi dengan menyentil dahinya dengan keras. Jeongguk meringis dibuatnya. Mamanya hanya tertawa keras lalu mengecup pelan pipi anaknya, sebelum akhirnya bergegas pergi dengan mobilnya.

Memutuskan untuk menyudahi sesi belajar hari ini, akhirnya Jeongguk dan Yugyeom keluar ke ruang makan untuk membantu Eunwoo dan Mingyu menata makanan dan beberapa botol soju untuk malam ini. Jeongguk rasanya ingin sekali melepas penat dan kekhawatirannya hari ini. Mungkin ini hanya sebatas firasat anehnya saja.

Jeongguk tahu kebiasaan Taehyung dan Jimin jika sedang bepergian. Pun ia tahu bagaimana cara me-reach mereka berdua jika ada keperluan darurat. Supir Jimin selalu siap sedia membantu siapapun yang ingin menghubungi salah satu dari mereka berdua. Namun sejak pertama kali Jeongguk mengetahui kebiasaan mereka sampai sekarang, ia tidak pernah menggunakan advantage itu. Jeongguk tahu bahwa kekasihnya dan Jimin sangat menghargai quality time mereka berdua.

Akhirnya Jeongguk mengurungkan niatnya untuk menghubungi supir Jimin dan akan menelepon Bunda instead.

Namun ia mengurungkan niat, saat handphonenya bergetar empat kali. Jeongguk dengan cepat bergerak untuk meraihnya; dengan senyum yang merekah di wajahnya. Taehyung membalas pesan gue, thank God finally, batinnya; sesaat sebelum senyum itu luntur dan menimbulkan kerutan di dahinya kelak.

Seseorang yang entah Jeongguk tahu siapa, mengirimkan pesan dengan sebuah foto di akhir. Siapa ini? pikir Jeongguk, sebelum akhirnya Jeongguk membuka foto itu dan memperbesarnya.

Terlihat Taehyung dan Jimin sedang duduk berdampingan. Terlihat kekasihnya yang tampak indah hari ini dibalut hoodie berwarna putih susu sedang menggenggam tangan Jimin. Taehyung terlihat menunduk, sedang tampak Jimin memancarkan raut amarah dari wajahnya. Jeongguk mengernyitkan dahinya. Ada apa ini?

Jeongguk bingung, sesaat sebelum akhirnya memperhatikan sosok yang berada persis di depan Taehyung; sedang duduk sambil mengaitkan kedua tangannya di pangkuan. Jari-jari itu terlihat

Jeongguk lantas terbelalak, tidak menyangka seseorang yang selama ini menjadi teman bicara di kampus—dan yang ingin ia perkenalkan pada Taehyung, saat ini sedang bersama dengan kekasihnya dan juga Jimin. Intimacy yang terlihat—walaupun sangat negatif, membuat Jeongguk terheran dan sempat tidak berkedip.

Jaebeom.

Jeongguk tetiba tersadar, dari sebuah foto, dapat terlihat bahwa Taehyung dan Jimin sudah lebih dulu mengenal Jaebeom, jauh sebelum dirinya mengenal mereka bertiga.

“—gguk?” Yugyeom memanggil sahabatnya berkali-kali, namun sahabatnya itu tidak bergeming sama sekali. Ia hanya memandangi layar handphonenya dengan kerutan dalam di dahi. Yugyeom memutuskan untuk mengintipnya pula; berpikir bahwa setidaknya, ia bisa membantu Jeongguk mengurai benang kusut di dalam otaknya yang terlihat hanya dari tautan kedua alisnya.

Is that... Taehyung and Jimin? Kok ada Jaebeom?” Yugyeom mencoba bertanya pada Jeongguk—sambil 'membantu' sahabatnya untuk berpikir logis. Ia terlalu mengenal Jeongguk. Ia terlalu tahu bahwa Jeongguk mudah berpikir yang macam-macam hingga otaknya macet.

Hanya dari sebuah foto, Jeongguk bisa mengartikan menjadi banyak hal dan kemungkinan. Yugyeom tidak ingin Jeongguk membawa dirinya sendiri ke arah itu.

Eunwoo dan Mingyu yang mendengar nama Taehyung dan Jimin lantas langsung menoleh dari arah dapur. Mereka berdua tahu, Jeongguk hari ini terlihat tidak bersemangat karena Taehyung tidak mengabari dirinya sejak siang hari tadi.

I don't even fucking know, Gyeom. But I trust Taehyung. I trust him so much I don't even know what to think. He must have an explanation... right?”

Jeongguk mencoba meyakinkan dirinya. Namun ia sendiri tahu, kalimatnya barusan terdengar ragu-ragu. Ia tahu betul.

Jeongguk tidak sadar, tangannya sudah meremas benda mati itu terlalu kencang.

I am so sorry, Taehyung. I really mean it.” Jaebeom berkata setelah keheningan menyelimuti meja itu. Taehyung terlihat masih menunduk, sedang Jimin memalingkan wajahnya dan mendengus kasar. Jujur, ia tidak ingin harinya dengan sahabatnya rusak hanya karena sosok di hadapannya saat ini.

Taehyung yang mendengar Jaebeom berbicara hanya bisa mengernyitkan dahinya dan akhirnya mengangkat wajahnya. “Why are you still sorry, Kak? It's been years. Gue juga udah nggak inget kok.” Taehyung menjawab sambil tetap menggenggam tangan Jimin erat. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini akan bertemu dengan Jaebeom—sahabat Bogum sekaligus seseorang yang, 'rumor'nya, meminta Bogum untuk berpacaran dengannya beberapa tahun silam.

Terlalu banyak kemungkinan yang mendukung rumor tersebut; pertama, Jaebeom adalah kapten klub basket itu pada masanya. Kedua, ia adalah sahabat Bogum. Ketiga, Taehyung ingat—terlalu jelas terekam di dalam otaknya—bagaimana dinginnya Jaebeom saat pertama kali menyebutkan namanya saat berkenalan dengan dirinya dan Jimin. Pun menurut kacamata Taehyung, Jaebeom terlihat tidak menyukai dirinya; dalam arti sesungguhnya.

Maka Taehyung menyimpulkan, rumor yang ia dan sahabatnya dengar beberapa tahun silam adalah benar adanya.

Are you willing to hear my side, Taehyung? Please?” Jaebeom berkata; singkat tanpa tedeng aling-aling. Ia ingin segera pergi dari sini dan mengantongi kata 'damai' dengan masa lalu. Ia sudah lelah dengan beban yang ia bawa di dalam hatinya sejak beberapa tahun silam. Kejadian itu sudah sangat lama, namun seperti masih menjadi batu yang diikat di pergelangan kaki Jaebeom, ke mana pun ia pergi.

Jimin menoleh ke arah Taehyung cepat—ia mencari sorot ragu dari sepasang mata sahabatnya. Namun nihil. Jimin lantas membelalakan matanya dan menganga, saat ia melihat kerling mata Taehyung malah memancarkan tatapan antusias; walaupun terdapat sedikit rasa sakit dari hazel maniknya.

Yeah, let us know your side, Kak Jaebeom. I've been dying to know since years ago. I think we both deserve an explanation.” Taehyung menjawab dan menghela napas, sambil mempersiapkan dirinya, sebelum menyambung lagi.

Especially me.”

“Gguk, ayo makan.” Eunwoo mengarahkan sumpitnya dan mengibaskan di depan wajah Jeongguk. Sahabatnya itu sudah lima belas menit hanya melamun dan memainkan makanannya dengan sendok. Sama sekali tidak ada makanan yang masuk ke dalam perutnya; sejak tadi, Jeongguk malah sudah menegak beberapa teguk soju yang ia tuang ke sloki.

Jeongguk hanya menoleh sebentar ke arah Eunwoo; sebelum akhirnya tersenyum seadanya dan berniat menuang soju ke sloki, sesaat sebelum Yugyeom menyambar botol sojunya dan menjauhkan dari tangan Jeongguk.

“Bro, ayo lah. Makan dulu. This is not healthy. Kita hari Senin bakalan TO, lho. Come on! Taehyung bakal tambah marah besar sama lo kalau lo kayak gini.” Yugyeom dengan tegas membentak sahabatnya, berusaha untuk 'mengembalikan' pikiran jernihnya sebelum melakukan hal bodoh yang akan merugikan dirinya sendiri. Seumur-umur, Jeongguk tidak pernah gegabah seperti ini.

Eunwoo dan Mingyu yang memperhatikan Jeongguk hanya bisa menepuk bahunya sambil menawarkan sahabatnya untuk meminum cola instead. Mereka berdua menyerahkan seluruhnya pada Yugyeom, untuk 'mengembalikan' Jeongguk untuk berpikir jernih.

Pertama kali selama bersahabat dengan Yugyeom, Jeongguk mendengar sahabatnya itu membentaknya dan berusaha 'menyadarkannya'. Sepertinya ia sudah kelewat batas.

“Oke, oke. Sori.” Jeongguk akhirnya mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum ia merasa kepalanya seperti diguyur air dingin. Hati kecilnya dan otaknya seperti berusaha mengingatkannya untuk tidak melakukan hal-hal yang bodoh.

Ia lalu teringat akan kekasihnya yang sepertinya masih berada di Kafe Haru dengan Jimin dan juga Jaebeom. Sejak tadi, Jeongguk berusaha untuk mencari benang merah antara Taehyung dan seniornya yang baru ia kenal beberapa bulan kebelakang. Ia hanya berusaha mengingat; apakah ada cerita dari Taehyung dan Jaebeom yang ia lewatkan. Jeongguk mengurungkan niatnya untuk mencari lebih jauh di media sosial. Ia tidak ingin kecewa. Namun lebih dari itu, ia masih sangat menyayangi Taehyung dan menaruh kepercayaan pada kekasihnya itu.

Jeongguk tiba-tiba teringat; akan trust yang sangat Taehyung hargai di dalam hidupnya. Betapa kekasihnya itu sangat mengagungkan kepercayaan sebagai salah satu kunci dalam sebuah hubungan. Jeongguk tahu persis; sebelum menjadi kekasih Taehyung, ia adalah sahabat pemilik surai silver itu. Lima tahun bersahabat adalah waktu yang cukup lama untuk mengenal Taehyung luar dalam. Jauh dalam lubuk hati Jeongguk, ia ingin berlari, menjemput kekasihnya itu dan menenangkannya. Ia mengingat betapa Taehyung terlihat 'kecil' hanya dari foto yang dikirim ke handphonenya oleh entah siapa.

Ia ingin berlari, 'menyelamatkan' Taehyung dari apapun yang sedang dialami saat ini oleh kekasihnya. Namun, Jeongguk yakin, Taehyung akan membuka 'kotak' padanya saat ia siap. Jeongguk harus mengerti, dan Jeongguk berusaha untuk mengerti Taehyung.

It takes two to tango, and Jeongguk is willing to do that.

“Te sayang, are you okay?” Tanya Jimin hati-hati saat mereka dalam perjalanan pulang dari Kafe Haru menuju rumah Taehyung. Jimin sama sekali tidak menyangka bahwa hari ini segala rahasia dan teka-teki terungkap; dan semuanya meluncur dari seseorang yang sangat mereka hindari sejak saat kejadian itu.

Sesaat setelah Jaebeom mengantongi persetujuan dari Taehyung, ia segera membeberkan semua kartu rahasia yang selama ini menjadi beban yang ia bawa ke manapun ia pergi. Jaebeom menceritakan cerita versi dirinya lengkap; mulai dari A hingga Z, persis seperti apa yang ia ceritakan pada Tere tempo hari. Jaebeom baru kali ini merasa seperti berbicara dengan tembok saat menceritakan seluruh isi hatinya pada Taehyung dan Jimin.

Dan yang menjadi seperti kejutan di akhir adalah saat Jaebeom mengakui bahwa ia masih menyimpan rasa pada Taehyung. Selama bertahun-tahun, Jaebeom berusaha mengesampingkan rasanya itu dan memfokuskan pikirannya untuk dirinya sendiri dan juga Luna. Namun semuanya itu runtuh saat Luna mengirimkan foto hasil karya Jeongguk padanya. Denial. Itulah yang Jaebeom lakukan selama ini untuk membuang jauh-jauh perasaannya—membuang jauh-jauh cinta bertepuk sebelah tangannya.

Taehyung tidak pernah terkejut sedemikian rupa selama hidupnya. Jika ada hal yang membuatnya terkesiap dan kaget, ia hanya memendam semua reaksinya dan menelannya habis. Hanya kepada orang-orang terdekatnya saja, ia membuka dan memuntahkannya terang-terangan. Hanya Bunda, Jimin, dan Jeongguk yang tahu betul apa isi hati dan pikiran seorang Taehyung.

Namun hal itu tidak dapat dibendungnya, saat ia mendengar bahwa selama ini, Jaebeom pun menyimpan rasa padanya. Rasanya langit seperti runtuh diatasnya, seember air dingin seperti diguyur ke atas kepalanya, petir seperti menyambar dirinya. Ia tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan rumit seperti ini. Selama Jaebeom berbicara, Taehyung hanya meremas tangan Jimin sekencang mungkin. Ia tahu mungkin sahabatnya akan melayangkan surat tagihan rumah sakit atau klinik karena tangannya memar dan bengkak akibat remasan Taehyung yang terlalu keras selama mereka berbicara tadi.

Jimin hanya meringis; rasa sakit yang disalurkan Taehyung lewat tangannya tidak seberapa dengan apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu saat ini. Kenyataan yang dilayangkan bertubi-tubi seperti hujan es membuat Jimin sendiri pun kewalahan; walaupun ia bukan pemeran utama dari kisah Taehyung di masa lalu. Ia hanya pemeran pembantu—pelengkap, akan semua cerita Taehyung yang Jimin sendiri pun tahu, sahabatnya itu berusaha untuk menutupnya erat-erat.

Hell, bahkan Jimin tahu Taehyung ingin sekali membakar memori itu dan melupakannya.

Taehyung yang sedang duduk di sampingnya terlihat lesu; sahabatnya itu menyandarkan kepalanya pada kaca jendela. Ia memejamkan matanya, menghela napas berat sambil mencoba mengatur napasnya pendek-pendek. Entah mengapa, Taehyung sama sekali tidak menangis. Tidak ada satu tetespun air mata yang jatuh saat selesai mendengar Jaebeom membeberkan semua cerita versinya. Taehyung pun tahu, untuk apa menangisi sesuatu hal yang sangat ingin ia akhiri sekian lama?

Sebaliknya, Taehyung lega. Ia rasanya malah ingin tertawa bahagia karena kisah masa lalunya sudah berakhir. Rahasia yang selama ini ingin ia ketahui dan kejutan lainnya itu pun sudah terpampang di depannya. Di dalam hatinya, Taehyung bersyukur, hari ini ia seperti mendapatkan closure atas masa lalunya. Untuk apa dia bersedih? Ia justru senang, ada perasaan tenang yang timbul di dadanya. Taehyung sudah memiliki Jeongguk di hidupnya. Kekasihnya itu adalah hal terindah yang ia miliki saat ini—setelah Bunda, Jimin, dan teman-teman terdekatnya.

Berusaha memecah keheningan, Taehyung akhirnya menjawab pertanyaan Jimin. “I'm very okay, actually, Jims. Lega... lega banget.” Ia menjawab sambil tersenyum dan memandang langit malam yang bertabur bintang. Terdapat bulan sabit tersenyum ke arahnya.

Jujur, ia sangat merindukan Jeongguk. Kekasihnya itu baru berpisah dengannya dua hari, namun rasanya ia ingin menangis. Taehyung tidak ingin menangis karena kejadian hari ini; ia ingin menangis karena sangat merindukan Jeongguk.

Taehyung lalu teringat, ia tidak mengabari Jeongguk sama sekali setelah dirinya dan Jimin sampai di kafe. Ia lantas merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphonenya. Menekan tombol; akhirnya ia tersadar bahwa ia masih memasang airplane mode. Taehyung lalu mendengus kasar, membuat Jimin akhirnya menoleh ke arahnya.

“Ada apa, Te?” Jimin bertanya sambil mengernyitkan dahi. Perjalanan ke rumah Taehyung masih menempuh sekitar setengah jam. Jalanan pada hari Sabtu malam pun tidak bisa diprediksi; dan hari ini jalanan cukup macet untuk mereka sampai di rumah Taehyung lebih cepat.

“Pak, Bunda atau Jeongguk ada telepon Bapak, nggak?” Taehyung bertanya cepat pada supir Jimin. Ia merasa bodoh, sampai saat ini tidak menyadari bahwa mungkin ada beberapa orang yang akan mencari mereka berdua karena tidak ada kabar sama sekali.

Jimin di samping Taehyung lalu mengeluarkan handphone nya dan menepuk dahinya sendiri keras. Ia tidak sadar bahwa dirinya juga belum mengubah mode teleponnya. Shit, this is going to be bad, I guess, batin Jimin.

Supir Jimin yang mendengar Taehyung bertanya, langsung lekas menjawab dengan yakin. “Saya nggak ada terima pesan dan/atau telepon dari Bunda dan/atau Mas Jeongguk, Mas Tae. Terakhir saya cek handphone saya sebelum kita pulang dari Kafe Haru.” Supir Jimin menjawab dengan sopan dan ramah sambil tetap memperhatikan jalan di depan. Saat ini, jalanan sedang macet. Suasana hening kembali hadir di dalam mobil Jimin.

Taehyung mengernyit. Tidak ada satupun pesan dan/atau telepon dari Bunda dan juga Jeongguk mencari dirinya dan Jimin lewat supirnya? Apakah Bunda dan Jeongguk sedang sibuk?

Ia lalu segera mengecek handphonenya yang tak lama kemudian berdering sana sini tanda pesan masuk. Taehyung lalu melihat beberapa pesan menghujani layarnya; Jeongguk meninggalkan setidaknya lima belas pesan padanya, sedang Bunda hanya dua pesan. Bunda Kim hanya memberitahu bahwa akan pergi dengan Mama Jeon dan menyuruhnya untuk mengabari saat sudah pulang.

Sedang Jeongguk, tercermin dari pesan yang dikirim oleh kekasihnya itu bahwa ia khawatir. Kekasihnya itu hampir menelepon Bunda dan supir Jimin sepertinya, namun menurut beliau, tidak ada satupun telepon dan/atau pesan masuk dari Jeongguk.

Menghela napas berat, Taehyung tidak sadar bahwa ia sebentar lagi akan menangis. Dengan tangan yang bergetar, ia memencet tombol angka dua; speed dial Jeongguk di handphonenya. Bibirnya bergetar, air mata sudah menggenang di ujung matanya. Menunggu nada dering telepon Jeongguk; menunggu suara kekasihnya muncul dari ujung telepon.

Dua kali dering, Taehyung akhirnya mendengar suara Jeongguk.

“Sayang?”

“Ggukie... G-gukie...” Taehyung memanggil Jeongguk dengan lirih.

Jesus Christ, I am so fucking worried, Taehyung! Are you okay, baby? Kamu di mana? Sudah pulang?” Jeongguk bertanya bertubi-tubi; tidak mendengar suara tangis Taehyung di ujung telepon.

Taehyung menarik napas panjang sambil menangis. Ia sangat merindukan Jeongguk. Ia ingin berlari sekarang juga, memeluk kekasihnya yang baru berpisah dengannya selama dua hari.

Baby. Ada apa? Kok nangis?” Tanya Jeongguk lagi; suara khawatir terdengar jelas di telinga Taehyung.

Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak tahu harus memulai dari mana.

Lantas Taehyung menjawab; yang ia tidak tahu, bahwa jawabannya membuat Jeongguk sangat ketakutan.

“G-gukie, I love you. So much. Kamu tahu, 'kan?”