Ghost

Matahari yang sedari tadi bersinar sangat terik dan menembus kaca gedung tinggi tempat Aetig berada itu akhirnya lambat laun meredup. Mungkin cenderung hilang, karena tiba-tiba awan gelap mendominasi langit siang itu.

Mendung. Aneh. Namun, Bogum memang merasa dirinya sudah tersambar petir di siang hari.

Bagaimana tidak? Ia melihat sosok laki-laki yang selama ini ia hindari sampai ke New York. Semesta memang jarang bercanda dengannya. Namun sepertinya, hari ini Bogum sedang diuji oleh Semesta. Ini... sebuah kebetulan, 'kan?

Bogum memperhatikan gerak-gerik sosok itu dengan kedua matanya tanpa berkedip. Bagaimana ia tertawa, tersenyum, hingga sepasang manik hazel itu tenggelam dari balik kelopak matanya—menyipit saat tertawa. Senyum kotaknya masih seperti dulu.

Tawanya masih sama, senyumnya masih sama, dan kedua jendela hatinya masih sama.

Taehyung masih sama.

Hanya semuanya terlihat sangat berbeda untuk Bogum. Kali ini, senyum itu terlihat sangat tulus. Alami, tidak dibuat-buat. Tidak ada unsur paksaan—apalagi pancar sedih dari senyumnya.

Tidak seperti lima tahun lalu saat mereka 'berteman'.

Lamunan Bogum buyar saat Kwan seperti memanggil namanya. Terlalu serius ia memperhatikan Taehyung dan 'keluarga'nya di sana, ia takut di-cap seperti creep.

“—gum? Park Bogum?” Kwan butuh memanggilnya namanya dua kali sampai akhirnya ia mengerjap dan menoleh ke arah Kwan.

“Ah, iya. Ba-bagaimana Mr... sorry, Kwan-ssi?” Bogum menjawab Kwan dengan terbata. Ia merasa bodoh—memperhatikan orang lain dan tidak mengindahkan Kwan yang masih ada di hadapannya. Damn, bahkan mereka akan makan siang. Dan Kwan adalah (calon) atasannya nanti. Entah rasanya Bogum merasa sangat tidak profesional sekarang.

Kwan hanya mengernyitkan dahi sambil tertawa kecil. Seperti ada rasa maklum dibaliknya. Mungkin hanya perasaan Bogum saja? Rasanya ia ingin meminta maaf sebanyak-banyaknya karena merasa tidak sopan.

“Nggak apa, Bogum. Saya hanya heran saja. Kamu seperti sedang melihat hantu.” Kwan berkata dengan santai sambil menyerahkan buku menu pada waiter yang sedang mencatat pesanan mereka. Bogum sekilas mendengar Kwan menyebut 'menu saya seperti biasa' pada waiter itu tadi, saat kedua matanya terlalu fokus pada Taehyung. Setelahnya, Bogum tidak mendengar lagi. Ia terlalu fokus pada sosok laki-laki di ujung sana yang benar kata Kwan—terlihat seperti hantu. “Apa ada sesuatu di sana? Saya harus memanggil orang pintar jika iya.” Tanya Kwan lagi sambil tertawa, mencoba untuk bercanda—yang untungnya membuat Bogum menghela napas lega.

“Tidak ada, Kwan-ssi. Tenang saja.” Jawab Bogum tersenyum kecut kemudian. “Tadi saya seperti melihat seseorang yang saya kenal, namun sepertinya saya salah. Maaf kalau saya tadi tidak dengar Anda memanggil saya.” Bogum berbohong. Tentu ia memilih untuk berbohong. Ia tidak akan mengaku pada Kwan kalau dirinya sedang memandangi cinta monyetnya yang sekarang sedang duduk di ujung sana dengan kekasihnya—tebakan Bogum—dengan kedua orang tua mereka; yang notabene adalah teman dekat Ben, 'kan? Yang ternyata adalah teman dari wanita yang selama ini 'dirugikan' oleh keluarganya?

Konyol. Rasanya Bogum saat ini ingin tertawa keras dan berteriak kencang; kalau saja ia berada di sini bukan sehabis 'berjuang' untuk mendapatkan posisi di Aetig.

Bercanda. Semesta bercanda sekali hari ini.

Butuh waktu lama untuk Bogum akhirnya kembali fokus pada cerita-cerita Kwan yang membuat obrolan mereka berdua mengalir. Kwan tadinya terlihat sibuk dengan Johanna—membicarakan beberapa hal sambil sesekali meninggalkan meja mereka. Waktu emas itu dipergunakan Bogum untuk melihat ke arah meja Taehyung lagi.

Jujur, ia takut tiba-tiba Taehyung menyadari bahwa ada yang sedang memperhatikannya. Bogum memang berubah cukup signifikan—tidak seperti enam tahun lalu saat masih duduk di bangku sekolah. Ia sekarang sudah mengenakan kacamata—blame on tugas kuliahnya yang sangat berat dan menyita waktunya untuk memperhatikan layar komputer sepuluh jam sehari—rahangnya lebih tajam, badannya lebih berbentuk, dan suaranya lebih berat, tentu. Mungkin jika Taehyung memperhatikan dengan jeli sambil memicingkan mata, ia akan sadar. Namun Bogum berpikir, lebih baik Taehyung tidak melihatnya daripada terjadi yang tidak-tidak. Ia harus menghindar.

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat—makan siang yang ia santap dengan Kwan tadi terlalu enak. Namun Bogum tetap memperhatikan mannernya saat masih berada di hadapan Kwan. Ia tidak mau terlihat kelaparan—padahal ya, orang normal pun bisa melihat bahwa Bogum tadi terlalu antusias dengan makanannya. Kwan sebenarnya sudah menyadari, namun ia menghiraukan. Toh, sesi interview atau sesi resmi dengan pemuda tampan dan pintar di depannya ini sudah berakhir sejak Ben meninggalkan meja mereka.

Saat Kwan pamit akan meninggalkan meja dan pergi dari Aetig, akhirnya Bogum pun memutuskan untuk pamit pulang. Berterima kasih pada Kwan karena kesempatan hari ini dan tidak lupa pada Johanna karena sudah dilayani bak seorang tamu di Aetig. Tentu Bogum pun memberi info pada sang Manager bahwa akan mengabari mereka per email besok pagi.

Bogum sudah tidak sabar untuk bergabung di Aetig.

Setelah Bogum akhirnya duduk seorang diri di meja, ia segera mengambil handphonenya yang ia selipkan di saku celananya dan mengetik pesan ke Joong Ki dengan cepat. Memberitahukan bahwa ia bertemu dengan Taehyung—dan tentu untuk menjemputnya di Aetig. Ia harus sesegera mungkin pergi dari sini sebelum dilihat sebagai creep karena tidak henti-hentinya melirik ke arah meja keluarga itu.

Sahabatnya itu akhirnya menjawab bahwa akan sampai di Aetig dan menjemputnya sekitar dua puluh menit lagi. Masih ada banyak waktu yang dapat ia luangkan di coffee shop lobi gedung—tempat di mana Joong Ki berjanji akan menjemputnya.

Bogum akhirnya berdiri dan berjalan menyusuri meja-meja tamu dengan hati-hati; memutuskan untuk mengambil jalan pintas yang tidak akan kelihatan oleh Taehyung.

Terlebih lagi, tidak akan terlihat oleh Ben, karena ia khawatir Ben akan melambaikan tangan atau entah apalah—yang akan membuat semua orang di meja itu menoleh ke arahnya.

Ia harus menghindar. Ia tidak ingin moodnya hari ini rusak. Pun ia tidak ingin melihat mood Taehyung lebih hancur darinya akibat sama-sama menyadari kehadiran satu sama lain.

Ya, it's so fucking scary because it's like seeing a ghost in front of you.

“Mam, Gguk sama Taeby pindah ke Bar aja, ya? Supaya kalian lebih leluasa ngobrolnya.” Jeongguk menyela untuk berbicara saat Mama, Bunda Kim, dan Ben sedang tertawa terbahak-bahak. Ia dan Taehyung pun sedari tadi asyik sendiri dengan dunianya, dan Jeongguk merasa mereka berdua tidak perlu tahu dengan topik berat yang menurutnya tidak penting untuk Taehyung. Dan ya tentunya, ia tidak bisa mengobrol leluasa dengan kekasihnya. Sedari tadi mereka berdua hanya bisa berbicara dengan suara kecil dan terkekeh pelan—takut mengganggu kedua ibu mereka yang sedang berbicara dengan Ben.

Jeongguk sempat mendengar Mamanya berbicara 'apa yang akan kamu lakukan nanti di Tokyo, Ben? Memangnya belum pusing mengurusi dua restoran—di sini dan New York?' yang hanya dibalas oleh Ben dengan tertawa sambil menyisip red wine dari gelas yang ada di tangannya. Jeongguk pun sempat menguping jawaban Ben yang terdengar antusias namun tetap humble—'yah, tidak ada salahnya, toh, Se-ah, kalau aku ingin buka lagi di Tokyo? Tapi itu masih lama, kok. Apa kamu mau ikut bergabung? Mungkin Seo-ssi mau ikut juga.'

Kata-kata Ben membuat Jeongguk melirik ke arah Bunda, yang sudah tersenyum simpul namun ragu—beliau terlihat sedang memikirkan sesuatu saat Tokyo disebut.

Tokyo.

Shit. Jeongguk tiba-tiba teringat sesuatu.

Maka dari itu, Jeongguk tidak ingin berlama-lama duduk di sini. Ia merasa tidak perlu mendengar diskusi bisnis Mamanya dan Bunda. Lagipula, siang ini seharusnya dihabiskan hanya berempat—tanpa Ben. Ia pun tidak ingin Taehyung tiba-tiba teringat dengan kota impiannya yang sudah pupus sejak Papanya dan kak Yoona meninggalkan dirinya dan Bunda Kim beberapa tahun lalu.

Mamanya sepertinya lupa dengan detail ini—terlalu asyik membicarakan bisnis dengan Ben yang terlihat sudah menyita perhatiannya sejak beberapa menit lalu.

Jeongguk melihat Bunda Kim mengangguk cepat—setuju dengan usulannya. Sedangkan Mamanya hanya menjawab 'oke, Nak. We won't be long'; Ben hanya tersenyum dan mempersilahkan mereka berdua sebelum akhirnya Jeongguk mengajak Taehyung untuk berdiri dan beranjak ke Bar.

Untungnya Taehyung tidak menolak—malahan kekasih Jeongguk itu mengangguk kegirangan waktu dirinya mengusulkan untuk pindah ke Bar. Jujur, Jeongguk memang melihat Taehyung sedari tadi seperti sudah tidak sabar untuk duduk di sana. 'Setnya bagus, Ggukie. Aku mau duduk di sana.' Karenanya, Jeongguk hanya tersenyum sambil mengecup pipi kekasihnya tadi.

Bar Aetig justru terlihat sepi tamu hari ini—siang ini, to be exact. Mungkin para tamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan makan siang daripada minum di Bar. Namun Taehyung lebih senang seperti ini. Rasanya section bar hanya untuk mereka berdua saja. Bar stools yang ada di sana tidak tersentuh sama sekali, hanya bertengger rapi dibawah bar island yang berlapiskan marmer.

Taehyung memutuskan untuk memesan finger foods yang sedari tadi sudah ia 'incar' saat memilih desserts—seperti sudah tahu bahwa siang masih panjang. Rasa laparnya tidak bisa dikalahkan dengan five courses meal yang dipilih oleh Mama dan Bundanya tadi. Saat Jeongguk tahu bahwa kekasihnya masih ingin ngemil, ia hanya bisa terkekeh meledek, namun tetap ikut memesan—Jeongguk akhrinya dihadiahi cubitan dan sikutan di pinggangnya oleh Taehyung.

Setelah memesan pada waiter—butuh waktu sepuluh menit untuk Taehyung memilih—karena banyak sekali, ditambah dilarang oleh Jeongguk secara halus karena Taehyung sedang agak batuk—, akhirnya mereka melanjutkan obrolan yang terpotong beberapa saat lalu di meja.

“Ggukie, by the way, nanti malem nginep di rumah aku ya, mau nggak?” Tanya Taehyung sambil menyesap soda yang ia pesan langsung pada Bartender yang sedang lalu lalang di Bar. Jeongguk hanya memesan air putih dingin; terlalu banyak minum soda sejak tadi sebelum mereka mulai makan siang.

Jeongguk yang mendengar pertanyaan kekasihnya itu hanya menoleh sekilas ke arah meja mereka tadi dan menggumam—Jeongguk sedang berpikir. “Aku tanya Mama dulu boleh, Sayang? Kalau memang Mama hari ini bakal ada meeting sama Uncle Ben lagi sampai larut, ya, aku nginep di rumah kamu. Gimana, Tae?”

Jujur, Jeongguk mulai jarang menghabiskan waktu dengan Mamanya sendiri karena beliau terlalu sibuk bekerja. Lagi dan lagi. Hanya Taehyung dan Yugyeom yang tahu kebiasaan Mamanya akhir-akhir ini. Mama Jeon memang sangat workaholic. Rasanya sesekali Jeongguk ingin menegur Mamanya agar seminggu saja mengambil cuti untuk berdiam di rumah. Namun ia tahu, Mamanya tidak akan setuju, apalagi betah. Tentu ujung-ujungnya perlu andil Jeongguk —ya, Jeongguk harus merelakan waktunya pula untuk mengajak liburan ke luar negeri berdua saja, misalnya.

Beruntunglah Taehyung adalah seorang sahabat dan kekasih yang sudah mengenal Jeongguk luar dalam. Kekasih Jeongguk itu tidak pernah—garis bawahi—tidak pernah memaksa Jeongguk untuk melakukan sesuatu di luar kemauannya. Taehyung sudah mengalami sendiri—bagaimana rasanya 'dipaksa' oleh 'keadaan' untuk melakukannya. Hal itu seringkali terjadi saat keluarganya masih utuh dulu. Jeongguk tentu tahu soal itu—Taehyung masih sesekali breakdown dan meneleponnya sambil terisak.

Taehyung lalu mengangguk tanda setuju. “Nggak apa, bebas kok. Lagian aku baru inget, Mama kayaknya lately sibuk banget. Aku nggak maksa kok, Ggukie. Rumah kamu ke rumahku juga cuman selemparan kancut.” Katanya santai sambil menegak sodanya habis.

Mendengar kekasihnya berkata seperti itu, Jeongguk langsung menoleh ke arahnya dan menatapnya horor. “Selemparan what?”

Kancut, Ggukie. Emang kamu nggak pernah denger?” Taehyung menjawabnya cepat sambil berbisik dan memajukan tubuhnya sedikit ke arah Jeongguk.

Jeongguk hanya bisa menggeleng kencang—masih dengan tatapan horornya. “I know, have heard Gyeom, Wowo, and Kiming used it so many times.” Jawab Jeongguk cepat. “Kamu diajarin siapa kayak begitu? Ngomongnya, Sayang.” Jeongguk menyambung lagi, namun dengan nada yang lembut sambil mengusap pelan pipi kekasihnya itu dengan punggung tangannya.

Taehyung hanya terkekeh sambil mengerlingkan matanya. “Siapa lagi lah. Aku denger dari Jims, Ggukie.” Mendengar jawaban Taehyung, Jeongguk hanya bisa memutar kedua bola matanya. Taehyung lalu menarik tangan kekasihnya dan menepuknya pelan. “Iya-iya, maaf.”

Kekasih Taehyung itu akhirnya mengangguk dan tertawa renyah, beberapa saat sebelum dua orang waiter datang membawa pesanan mereka. Terlihat di tangan, mereka membawa chicken wings, tangsuyuk, french fries, dan burger slider masing-masing satu piring. Taehyung terlihat girang dan kedua matanya berbinar, sedang Jeongguk hanya melotot dan menggeleng sambil tertawa.

Kedua waiter itu lalu menaruh beberapa piring tersebut dan mempersilahkan mereka berdua untuk menikmatinya. Jeongguk hanya mengucapkan terima kasih, sedang Taehyung menjawab 'tentu!' dengan mantap—yang membuat waiter itu tersenyum lebar.

Jeongguk lalu menggeser handphonenya yang sedari tadi ia telungkupkan di island; memberi space yang cukup untuk Taehyung agar bisa dengan leluasa mencomot ini itu. Kekasihnya itu terlihat sedang menuangkan dua tetes hand sanitizer di kedua telapak tangannya untuk sterilisasi sebelum memulai menyantap camilan yang terhampar di depannya.

“Sayang, ayo makan! Kamu belum kenyang, 'kan, Ggukie?” Taehyung berkata sambil mengambil satu potong chicken wing goreng yang dibalur dengan saus madu itu dan memakannya. “Aku nggak mungkin makan sendiri.” Taehyung terlalu bersemangat untuk menyantap comfort food di island itu, hingga ia tidak sadar bahwa tidak ada jawaban satu pun dari Jeongguk. Taehyung lalu menoleh, mendapati kekasihnya itu sedang menopang dagu dengan kepalan tangannya di island, sambil tersenyum lebar.

Taehyung yang sedang serius mengunyah satu potong kentang goreng saat ini lalu berhenti. Ia mengernyitkan dahi sambil memandang Jeongguk. “Ggukie, kamu kenapa senyumnya sampai begitu? Aku cemong, ya?” Tidak ada jawaban, Taehyung lalu hendak mengambil sehelai tisu, sesaat sebelum akhirnya Jeongguk mengulurkan tangan kirinya. Menggunakan ibu jarinya untuk membersihkan ujung bibir Taehyung.

Refleks. Jeongguk nekat sekali. Ia ingat betul di meja lain sedang duduk Mamanya, Bunda Kim, dan Uncle Ben. Ia hanya tersenyum lebar sambil mencubit pelan pipi Taehyung dengan tangan kanannya.

Jeongguk lalu mengambil tisu yang ada di hadapannya dan membersihkan ibu jarinya. “Messy baby,” kata Jeongguk santai, tidak melihat Taehyung di sampingnya yang sudah tersenyum malu. Kedua pipinya sudah panas; merah merona seperti tomat rebus.

Stop that, oh my God, Ggukie!” Taehyung berbisik gemas sambil memutar kedua bola matanya dan memukul pelan lengan Jeongguk. Ia hanya bisa menunduk dan menyadari bahwa kekasihnya hanya terkekeh. “Lihat nih pipi aku, panas banget gini gara-gara kamu. Awas ya kamu nanti.”

“Iya, iya. Abis kamu makan berantakan gitu. Ya aku bersihin lah, tangan aku lagi nganggur ini.” Kata Jeongguk tidak berhenti menggodanya. Taehyung hanya membalasnya sambil menjulurkan lidahnya lalu melanjutkan makannya.

Tamu restoran sudah mulai sepi saat Taehyung hampir menghabiskan semua pesanannya sendiri. Selama itu, Jeongguk hanya mengambil tiga potong kentang goreng dan dua potong tangsuyuk. Ia sudah agak kenyang saat tadi mereka berdua pindah ke bar. Jeongguk melihat Taehyung di sampingnya sudah sedikit memundurkan tubuhnya pada sandaran bar stool yang didudukinya. Stool di bar ini memang terlalu nyaman; dudukan dan sandarannya pun empuk, membuat tamu yang duduk di sini merasa betah.

Sekitar tiga puluh menit waktu sudah berlalu; Taehyung dan Jeongguk habiskan dengan mengobrol dan bercanda sambil menyantap camilan yang kata Taehyung tadi 'terlalu enak, Ggukie. Aku mau pesan lagi tapi kok kayaknya udah kekenyangan, ya?' Jeongguk menjawab Taehyung dengan terkekeh dan mengatakan bahwa sepertinya kekasihnya itu hanya lapar mata.

Sudah lama Taehyung dan Jeongguk tidak berbincang seperti ini; dengan pakaian yang rapi dan di tempat yang seperti Aetig. Tidak, mungkin dapat dihitung dengan jari. Mereka lebih suka menghabiskan waktu di kafe dan/atau restoran yang biasa saja—tidak kelewat mewah seperti ini. Bahkan menurut Taehyung, jika lebih memungkinkan di rumah, ia prefer di rumah saja. Tidak perlu effort sama sekali.

Jeongguk pun hanya mengiyakan. Asal Taehyung-nya senang, ia pun akan senang.

Apapun akan Jeongguk lakukan agar Taehyung-nya selalu bahagia.

Jeongguk rasanya seperti digerogoti rasa penasaran. Sejak Uncle Ben menghampiri meja mereka, dirinya seperti gelisah. Bukan gelisah karena takut, namun karena risih? Ia merasa seperti ada yang memandang ke arahnya tanpa berkedip. Jeongguk tidak tahu, apakah yang sedang memandangnya dan keluarganya itu sedari tadi nyata atau tidak?

Bulu kuduknya seketika meremang.

Ia dapat melihat jelas dari ujung matanya, bahwa ada seorang pria yang sedang memandang ke arahnya. Namun Jeongguk tidak ingin menoleh sedari tadi. Ia khawatir akan bertemu mata dengan orang itu. Entah, rasanya ia tidak siap? Jujur, Jeongguk hanya merasakan itu lewat ujung matanya. Bisa saja ia salah.

Apa mungkin pria itu mengenal satu dari antara kami berlima? batin Jeongguk.

Namun Jeongguk tidak yakin. Pria itu seperti tidak berhenti menatap ke arah meja mereka. Sesekali Jeongguk dapat melihat dari ujung matanya bahwa pria itu kembali berbincang dengan lawan bicara di hadapannya. Pun Jeongguk memutuskan untuk mengabaikannya dan memfokuskan dirinya pada Uncle Ben yang sedang bercerita mengenai keluarganya pada Mamanya dan Bunda Kim.

Namun semakin lama, Jeongguk merasa tidak nyaman. Ia bingung, apa pria itu memang mengenalnya? Atau... sebenarnya sedari tadi ia sedang memperhatikan kekasihnya? Tiba-tiba Jeongguk menghela napas kasar dan tersadar. Ya, mungkin saja pria itu sedari tadi sebetulnya menatap kekasihnya hampir tanpa berkedip. Taehyung hari ini memang terlihat sangat tampan. Sisi posesif dan khawatirnya pun muncul.

Beruntunglah Uncle Ben tiba-tiba mengalihkan pembicaraan santainya dan mulai membahas bisnis restorannya; yang menurut Jeongguk, tidak penting juga untuk didengar oleh dirinya dan Taehyung. Walaupun Mamanya dan Bunda Kim seperti tidak masalah Jeongguk dan Taehyung mendengarnya. Namun menurut Jeongguk, ini adalah kesempatan bagus untuk pindah tempat duduk ke Bar. Lagipula, tadi kekasihnya sempat menyinggung bahwa ia ingin melihat-lihat ke section bar.

Maka dengan sigap Jeongguk mengusulkan untuk pindah ke Bar. Itu adalah alasan utama. Alasan kedua? Ia sempat mendengar pria yang sudah ia anggap sebagai pamannya sendiri sempat menyebutkan bahwa akan mengajak Mamanya dan Bunda Kim berbisnis.

Berbisnis, di Tokyo.

Jeongguk seketika melirik Taehyung di sampingnya yang sepertinya tidak mendengar atau menyimak percakapan mereka sama sekali. Akhirnya Jeongguk mengajak Taehyung duduk pindah ke bar, yang disambut dengan antusias oleh kekasihnya itu.

Setelah mereka berdua pindah duduk ke Bar, Jeongguk bersyukur karena akhirnya posisi duduknya tidak bisa melihat dan terlihat pria itu. Taehyung pun tidak merasa curiga sama sekali. Terkadang Jeongguk rasanya ingin memberitahu kekasihnya itu untuk sedikit lebih peka dengan situasi di sekelilingnya. Namun ia selalu urung—Jeongguk pikir, terkadang lebih baik Taehyung tidak mudah peka. Ia takut kekasihnya itu lantas memutar moodnya seratus delapan puluh derajat.

Ia tidak ingin hal itu terjadi.

Saat Taehyung dan Jeongguk sedang menertawakan satu cerita tentang kejadian lucu yang dialami oleh Jeongguk dan para sahabatnya, tiba-tiba ia melihat dari kejauhan sosok pria yang sejak tadi memandang meja mereka berdua. Jeongguk akui, pria itu berparas tampan—dilihat dari jauh. Ia memakai kacamata bulat dan kemeja rapi, namun cara berpakaiannya tidak seperti tamu lainnya. Saat melihat sekilas wajahnya dengan memicingkan mata, Jeongguk tidak mengenalinya sama sekali—walaupun pria itu berjalan dengan sangat lambat.

“Sayang, aku ke toilet sebentar boleh?” Jeongguk bertanya pada Taehyung cepat. Kekasihnya itu yang sedang menggenggam tangannya itu dan menaruhnya di pangkuannya. Sedari tadi, Taehyung terlihat memainkan gelang Jeongguk yang ia beli khusus untuk kembaran dengan kekasihnya itu.

Of course, Ggukie. I'll be fine. Aku mau chat Jims juga. Gih kamu ke toilet aja. Take your time.” Taehyung berkata sambil tangan kirinya menjulur dan mengambil satu gelas signature ice chocolate milik Aetig yang dipesannya tadi. Jeongguk mengangguk lalu mencium pelipis Taehyung dan segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan cepat ke arah toilet yang kebetulan letaknya berdekatan dengan pintu masuk Aetig.

Sekarang atau tidak sama sekali, pikirnya.

Jeongguk berjalan ke arah pintu masuk restoran. Sial, kenapa Aetig besar sekali sih, umpat Jeongguk kesal. Ia hanya ingin mengejar pria tadi untuk setidaknya melihat wajahnya.

Jika memang pria itu tidak mengenalnya, Jeongguk akan segera kembali ke mejanya dan menganggapnya seperti angin lalu.

Namun ternyata prediksinya salah, saat dari kejauhan, Jeongguk mendengar samar-samar suara pria itu sedang berbicara dengan seseorang di concierge saat dirinya masih berjalan ke arah pintu masuk.

Pria itu sedang berbicara santai dengan waiter yang sedari tadi melayani Mamanya dan Uncle Ben. Johanna terlihat akrab dengannya. Jeongguk tidak terlalu mendengarkan pembicaraan mereka. Ia hanya fokus memicingkan matanya, berusaha mencari tahu dan mengingat apakah pernah bertemu dengan pria ini sebelumnya.

Atau memang sebenarnya mereka tidak saling mengenal dan kejadian tadi hanya perasaannya saja?

Jeongguk masih berjalan dengan sangat pelan, tidak ingin pria itu memergokinya, kala waiter itu akhirnya mengucapkan salam dan menyebutkan nama pria itu.

Nama yang bagi Jeongguk akan selalu masuk dalam blacklist miliknya.

“Iya, baik. Sampai bertemu lain waktu, Park Bogum-ssi.”

Park Bogum-ssi?

“Bogum-ssi?” Panggil Jeongguk cepat sesaat setelah melihat pria itu akan melangkahkan kakinya keluar dari Aetig.

Bogum.

Jeongguk berani bersumpah, ia tidak pernah ingin menyebut nama pria itu lagi sejak pertama kali Taehyung menceritakan masa lalunya yang buruk pada Jeongguk. Walaupun Taehyung sudah seringkali menjelaskan padanya bahwa sosok Bogum sudah tidak penting di hidupnya, namun rasanya Jeongguk ingin meninju wajahnya saat itu.

Jika boleh, ia pun ingin melakukannya saat ini juga, jika mereka berdua tidak sedang di tempat umum seperti ini. Lengkap dengan Taehyung, Mamanya dan Bunda, serta Uncle Ben.

Rasanya ia ingin meneriaki Bogum saat Jeongguk melihat pria di depannya itu tidak mengenalnya sama sekali. Bogum terlihat bingung dan mengernyitkan dahinya. Menjawab Jeongguk dengan sopan—seperti tidak kenal.

“Ya. Maaf, Anda siapa, ya?”

Jeongguk akhirnya sadar, Bogum tidak mengenalinya. Bogum sedari tadi bukan melihat ke arah mejanya, bukan memperhatikan Mamanya dan Bunda Kim. Apalagi dirinya.

Bogum sedari tadi memperhatikan Taehyung.

Dan rasanya Jeongguk ingin meninju Bogum saat itu juga.

“Saya Jeongguk. Jeon Jeongguk. Apa Anda ada waktu sebentar untuk bicara dengan saya?”

Jeongguk tahu, nadanya saat ini sangat jauh dari kata sopan. Mamanya selalu mengajari Jeongguk untuk sopan kepada semua orang yang baru dikenalnya, dan ia selalu melakukannya. Ia mengingat perkataan Mamanya bahwa apa yang kamu tabur, itulah yang kamu tuai. Jeongguk selalu ingin memberikan kesan pertama yang baik terhadap orang-orang di sekelilingnya.

Namun saat ini, pengecualian. Jeongguk masa bodoh dengan sopan santunnya. Ia hanya ingin tahu sedang apa Bogum—cinta monyet kekasihnya dulu yang kebetulan berengsek dan sekarang berada di tempat yang sama dengannya dan Taehyung berada.

Sedari tadi dirinya merapalkan doa agar Taehyung tidak memiliki ide untuk menyusulnya ke toilet dan menemukan bahwa tidak ada Jeongguk di sana.

“Tentu. Duduk di sini saja ya, bagaimana?” Bogum menanggapi dengan santai, seperti sudah lama mengenal Jeongguk.

Sialan. Apa dia memang sengaja? Jeongguk mengumpat dalam hati. Rasanya ingin ia lontarkan saja pada Bogum, daripada membuatnya kesal sendiri.

Okay.” Jawab Jeongguk dingin.

Mereka akhirnya duduk di sudut kiri sebelah concierge Aetic. Johanna terlihat sudah menghilang; mungkin ia menyadari tegangnya situasi yang barusan dimulai. Jeongguk tidak peduli, dan tidak ingin peduli. Semoga saja Johanna tidak melakukan hal yang sedari tadi ia khawatirkan.

Bogum duduk di sofa yang berada di sisi tembok Aetig, sedang Jeongguk duduk di seberangnya. Ia ingin membuat jarak sejauh mungkin, khawatir dirinya tidak akan bisa mengontrol emosinya dan melayangkan tinjunya. Status tangannya saat ini? Sudah mengepal dan bukunya sudah memutih. Napas Jeongguk sangat berat; rasanya terengah-engah padahal sedari tadi ia hanya berdiri dan duduk, tidak sehabis lari pagi.

Ia akui, mengontrol emosi saat berhadapan dengan orang seperti Bogum membutuhkan usaha ekstra. Hal yang membuatnya lebih emosi lagi adalah cara Bogum berbicara dengannya dan gesturnya saat ini. Memang tidak cocky atau apalah. Hanya saja, ia terlihat santai, seperti sudah mengenal Jeongguk. Ramah. Apa memang orangnya seramah ini? Ia tidak yakin.

“Sebelumnya, maaf, Jeongguk-ssi... maaf. Boleh saya memanggil Anda demikian?” Tanya Bogum sopan. Jeongguk hanya memutar kedua bola matanya dan mengangguk.

Cara duduk Jeongguk saat ini tidak sopan sama sekali; menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kaki kanannya menumpang pada kaki kirinya. Kedua tangannya terlipat di depan dadanya. Jeongguk tahu betul Bogum lebih tua beberapa tahun dengannya. Namun ia sudah tidak peduli. Waktunya sudah terbuang lima menit dengan Bogum di sini. Taehyung pasti sudah menunggunya di meja dengan gelisah. Jeongguk tidak pernah menghabiskan waktu lebih dari lima menit di toilet jika mereka sedang bepergian.

“Baiklah. Saya hanya ingin bertanya, apakah saya mengenal Anda? Ini adalah pertama kalinya saya melihat Anda, Jeongguk-ssi.”

Jeongguk mengernyit. God, ia sangat muak dengan nada sopannya yang sama sekali tidak dibuat-buat. Apa memang dulu Bogum sehalus ini jika berbicara? Jika iya, pantas saja Taehyung dulu jatuh cinta padanya.

No, but you are about to. Yang saya ingin tanyakan pada Anda, Bogum-ssi” Jeongguk memberikan penekanan pada namanya. “Selama saya dan keluarga saya tadi makan siang di dalam, saya merasa Anda melihat ke arah meja kami terus. Maksud Anda apa, ya? Karena jujur saya merasa risih.”

“Ah. Itu.” Jawab Bogum dengan tenang. Ia lalu tersenyum simpul. “Maaf jika saya lancang dan membuat Anda terganggu. Saya seperti melihat teman lama saya di samping Anda. Kim Taehyung. Apakah saya benar?”

Rasanya petir menyambar Jeongguk di siang bolong ini. Teman lama, katanya? Yang benar saja. Apa Bogum sama sekali tidak mengingat dulu ia membuat Taehyung hancur berkeping-keping? Mendengar Bogum menyebut kekasihnya sebagai 'teman lama'nya membuat Jeongguk ingin muntah. Pria ini harus diajari cara keluar dari imajinasinya.

Your so-called old friend is not only my best friend, but also my boyfriend, Bogum-ssi. Saya tahu siapa Anda.” Nada bicara Jeongguk sudah meninggi. Tubuhnya sudah tidak lagi bersandar pada sofa itu. Tangannya sudah tidak lagi terlipat di dada. Jeongguk hampir berdiri dan menggebrak meja yang membatasi mereka jika ia tidak melihat ada beberapa tamu yang hendak memasuki pintu Aetig.

“Dan saya rasa, Anda tidak memiliki hak untuk memanggilnya 'teman lama'. Saya rasa dia pun tidak setuju jika dicap demikian. You were a jerk, sorry to say.”

Jeongguk sudah berdiri dan mengacungkan jari telunjuknya ke arah Bogum. Ia sudah tidak bisa menahan emosi yang membakar dada dan kepalanya.

That I know, Jeongguk-ssi.” Bogum hanya menjawab tiga kata dengan nada yang biasa, namun hal itu sukses membuat Jeongguk naik darah.

Bogum terlihat kaget saat Jeongguk sudah menjarah personal spacenya dengan menggenggam erat kerah pakaian Bogum. Jeongguk menariknya berdiri untuk berbisik di telinga Bogum dengan nada yang dingin—pelan namun penuh dengan amarah.

“Saya berharap dia tidak akan pernah bertemu Anda lagi, Bogum-ssi. Saya pun mengharapkan hal yang sama untuk kita berdua.”

Jeongguk lalu melepaskan kerah baju Bogum dan menatap sepasang mata yang dilapisi kaca itu.

“Percayalah, Jeongguk-ssi, hal itu adalah hal terakhir yang saya harapkan terjadi. Sudah cukup saya membuat Taehyung hancur enam tahun lalu.”