The Secret(s)
Jaebeom memarkirkan mobilnya di salah satu slot parkir kosong yang terletak persis di depan jendela kafe Haru; jendela yang beberapa hari lalu menjadi saksi bisu pembicaraan intens antara dirinya dengan Taehyung dan Jimin. Jika ia boleh mengingat bagaimana pembicaraan itu mengalir dengan sendirinya—terburu-buru if he may say—mengingat Jimin sangat terlihat bersemangat untuk meninju wajahnya dan Taehyung yang terlihat sangat sedih waktu itu.
Jujur, Jaebeom lebih memilih seperti itu daripada harus hidup dan berjalan dengan bayang-bayang masa lalunya. Walaupun sebenarnya, ia sendiri tidak tahu, pertemuan tidak sengaja antara mereka bertiga tempo hari apakah bisa dikatakan lancar? Namun, ia tahu sebenarnya tidak bisa dikatakan buruk. Ia hanya bingung dengan respon terakhir sepasang sahabat itu setelah mereka berbicara—Jimin hanya mengatakan permisi dan menarik tangan Taehyung untuk cepat-cepat keluar dari kafe itu. Taehyung sendiri? Well, dia terlihat 'berantakan'. Bagaimana tidak? Mengetahui bahwa seniornya yang notabene adalah sahabat mantan 'kekasih'nya ternyata menaruh hati juga padanya.
Taehyung terlihat overwhelmed hari itu, dan ya, tebakan Jaebeom memang betul.
Berusaha mengusir memori hari itu dari otaknya, Jaebeom menghela napas panjang dan melirik kearah handphonenya yang sedari tadi ia letakkan di dasbor mobil. Hari ini cuaca sedikit mendung—ia bersyukur handphone yang baru dibeli beberapa minggu lalu tidak panas seperti terbakar matahari. Ia menyalakan layarnya, terpampang pesan dari Bogum yang mengatakan bahwa ia sudah sampai di kafe itu sejak lima menit yang lalu.
Jaebeom tidak sadar ia menghela napas yang cukup panjang sekarang. Sejak kemarin Bogum mengirim pesan padanya dan meminta—tidak, 'sedikit' memaksa untuk bertemu dengannya, ia memang sudah ingin mengiyakan ajakan sahabatnya itu. Well, mungkin sudah tidak bisa dikatakan sahabat dekat. Mereka sudah cukup lama tidak bertukar kabar. Lalu tiba-tiba Bogum menyebutkan nama Luna—yang entah, masih terasa seperti kekasihnya atau bukan, Jaebeom semakin bertanya-tanya dan penasaran. Ada apa sebenarnya? Bukannya Bogum sendiri yang bilang bahwa dirinya dan Luna tidak pernah bertemu dan/atau menghubungi satu sama lain? Akhirnya, Jaebeom membuat pertemuan hari ini sebagai sarana untuknya mengulik apa yang sebenarnya ingin Bogum bicarakan.
Ia mematikan mesin, mengambil dompet di tas kecilnya, lalu keluar dari mobilnya. Kafe Haru terlihat gelap; lampu ruangan tidak menyala, maka Jaebeom tidak bisa melihat sosok Bogum duduk di mana. Ia pun tidak mau terlihat seperti orang yang linglung mencari-cari teman-temannya itu dari luar jendela. Jaebeom menyebutkan namanya pada seorang waiter yang berdiri menunggu di ambang pintu. Pria itu terlihat memakai earpiece dengan papan di tangan kirinya; terlihat beberapa nama reservasi yang tertulis rapi di kertas.
Ah, tidak ramai hari ini, pikir Jaebeom lega. Ia hanya tidak bisa memprediksi akan seperti apa pembicaraannya dengan Bogum berlangsung. Ia hanya tidak ingin kejadian dengan Jimin dan Taehyung terulang kembali.
Jaebeom berjalan mengikuti waiter itu sambil melihat sekeliling. Tidak ada satupun wajah yang familiar untuknya. Ia merasa lega. Setidaknya, ia bisa sedikit berpikir positif bahwa tidak ada yang mengikutinya sampai sini. Jujur saja, saat Luna dengan santainya membahas soal situasi dirinya, Taehyung, serta Jimin tempo hari; ia rasanya ingin menelepon Luna saat itu juga dan menanyakan apa maksudnya.
Namun ia terlalu mengenal wanita itu; Luna bisa dipastikan akan mengelak dan memutarbalikkan pembicaraan mereka. Kadang Jaebeom berpikir mengapa ia masih bertahan dengan Luna. Andai saja semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan Mamanya sendiri, ia mungkin sudah dari entah kapan mengakhirinya.
Setelah melewati beberapa meja, akhirnya sang waiter memperlambat jalannya dan mengatakan sesuatu yang ia tidak dengar jelas. Mungkin karena perhatian Jaebeom tersita dengan sekeliling—berusaha mencari siapa yang sepertinya mencurigakan. Akhirnya konsentrasi Jaebeom buyar saat ia melihat dari ujung matanya; berdiri seseorang yang selama ini ia kenal sebagai sahabatnya itu.
Suaranya yang khas; lembut dan menenangkan—begitu kata Taehyung beberapa tahun lalu saat mereka masih bersama.
“Jae, apa kabar?” Sapa Bogum melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.
—
“Thank you,” kata Bogum sambil tersenyum saat seorang waiter mengantarkan pesanannya dan Jaebeom lalu meletakkan di meja. Beberapa menit sebelumnya, Bogum memesan minuman untuk dirinya dan satu porsi burger untuk dirinya makan siang. Ia sedikit memberi info pada Jaebeom bahwa pagi ini ada urusan mendadak hingga siang, maka ia belum sempat brunch, begitu katanya tadi.
Pembicaraan mereka hanya sebatas basa-basi antara dua orang individu yang sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabar, apa kegiatan saat ini, bagaimana keadaan di rumah, bagaimana Bogum dengan kehidupannya di New York, bagaimana progress kuliah Jaebeom, dan beberapa tetek bengek lainnya yang biasa dibicarakan oleh mereka. Jaebeom menjawab dengan antusias, pun juga Bogum. Jujur, mereka berdua rindu dengan kehadiran satu sama lain—mereka tidak bersahabat barang sebentar. Mereka bersahabat sudah cukup lama—sedekat itu, sehingga Jaebeom dapat menyadari bahwa sosok yang sedang duduk di hadapannya ini seperti sedang tegang.
“Bo, santai aja kali. Lo kayak serius banget gitu? Kita ketemuan santai lho. Gue jadi bingung lo kaku gini.” Jaebeom tertawa kecil sambil mengambil beberapa potong kentang goreng yang ia pesan tadi. Hanya sebagai snack, dan juga sebagai pengalih kalau-kalau Bogum akan melontarkan pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
Bogum yang mendengar sahabatnya berkata seperti itu, akhirnya merasa tenang dan menghela napas lega. Entah mengapa, walaupun Jaebeom adalah teman dekatnya, namun ia tidak bisa berbohong; sosok di depannya saat ini terlihat sangat intimidating. Apakah jabatannya di kampus sebagai ketua Himpunan Mahasiswa berpengaruh terhadap auranya? Atau memang Jaebeom pada dasarnya seperti ini? Ia sendiri tidak tahu. Namun ia cukup lega bahwa Jaebeom sepertinya ingin menciptakan suasana yang santai siang ini.
“Haha, keliatan banget ya, Jae?” Jawab Bogum sekenanya sambil tertawa kikuk. Jujur, dirinya tidak pernah berencana untuk kembali ke Seoul setelah sekian lama 'melarikan diri' ke New York. Memori pahit yang ada di tempat kelahirannya ini pun sebenarnya tetap mengejarnya ke sana. Akan tetapi, Bogum seperti bisa menghirup udara lebih leluasa karena New York sangat berbeda dengan Seoul. Setidaknya, beberapa sudut kota Seoul tidak lagi menamparnya terus-terusan setiap kali ia melewati jalanan kota.
Jaebeom yang mendengar celetukan temannya itu hanya tertawa renyah dan mencoba mencairkan suasana dengan membahas kepulangan Bogum ke Seoul. Mereka berdua sempat tinggal bersama di New York selama satu tahun. Waktu itu, Jaebeom mengikuti studi yang mengharuskan dirinya pindah. Tentu pada saat itu, ia sudah berencana akan mencari tempat tinggal baru sementara. Toh, setahun bukanlah waktu yang lama, mungkin sewa apartemen tahunan akan jauh lebih murah, pikirnya.
Sampai tiba-tiba saat itu, Mamanya meminta Jaebeom untuk menghubungi Bogum; mengatakan bahwa dirinya akan tinggal dengan sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Bertukar kabar pun tidak. Jaebeom saat itu sudah protes—tidak ingin personal space nya diganggu. Hanya saja, Mamanya memberi alasan bahwa Bogum lah yang ingin Jaebeom tinggal di sana. Well, that's a bull—mengingat betapa terkejutnya Bogum saat melihat sosok yang sudah lama tidak ia temui, berdiri di depan pintu apartemennya dengan koper ekstra besar yang ia bawa di samping kakinya.
Kesimpulannya, Bogum hanya penat di New York. Pekerjaannya sebagai freelance—yang menjadi tambahan penyokong hidupnya merantau—dan kuliahnya adalah dua hal yang selalu mengisi otak dan kegiatannya sehari-hari. Tidak ada waktu untuk bernapas dan sendiri, katanya. Lantas ia mengambil langkah impulsif dengan memesan tiket pulang ke Seoul dan menyewa satu flat di apartemen untuknya tinggal. Bogum bilang, ia tidak ingin pulang ke rumahnya. Bahkan kalau bisa, kedatangannya kembali ke Seoul tidak perlu diketahui oleh orang tuanya, terutama Luna. Wanita itu yang kebetulan adalah kekasih Jaebeom ternyata turut menjadi alasan mengapa Bogum enggan memberitahu kedatangannya di Seoul.
“There's a big secret. Or secrets? I don't know, Jae. But I need to talk to you about this.” Kata Bogum memulai. Ia terlihat gugup, berdeham kemudian, menegak minumannya, lalu melanjut lagi. Dalam hatinya, ia berharap agar Jaebeom mau mendengar rahasia yang selama ini mengganjal dihatinya. “Please, semoga lo lebih percaya gue—sahabat lo sejak SMP—daripada sama pacar lo yang baru berapa lama itu. Walaupun dia saudara gue, but I despise her actions...”
Despise her actions? What the hell is he talking about?
“Sebentar, sebentar... Maksud lo? Gue kok nggak paham. Apa ada yang gue nggak tahu?” Kata Jaebeom memotong Bogum berbicara. Ia tidak peduli sopan santunnya sekarang ada di mana. Memotong orang lain sedang berbicara adalah hal yang sangat Jaebeom hindari. Namun berbeda dengan sekarang. Yang jelas, saat ini ia sangat kebingungan dengan kata-kata yang dilontarkan Bogum padanya. Raut wajahnya saat ini tidak bisa berbohong. Jujur, mengontrol mukanya sendiri adalah hal yang sulit; Jaebeom sadar akan hal itu.
Bogum terlihat seperti takut-takut saat mendengar Jaebeom menyelanya. Hilang sudah niatnya untuk membuat pertemuan ini menjadi santai. Ia sendiri yang memancing pembicaraan serius tanpa tedeng aling-aling. Namun ia sudah tidak bisa lagi menahannya. Ia harus segera memberitahu Jaebeom. Saudara sepupunya itu memang sudah kelewatan.
“Uh... jadi...,” kata Bogum memulai dengan terbata-bata. Ia melihat dari sepasang matanya, Jaebeom sudah mengernyitkan dahinya. Seperti ada tertulis dari raut wajahnya 'cepetan lo nggak usah basa-basi'. Akhirnya Bogum menyambung lagi. “Janji sama gue, lo bakal lebih percaya sama gue, Jae?”
Mendengar sahabatnya berkata demikian, Jaebeom hanya bisa menggeleng. Ia tidak akan menjanjikan apapun. Ia sendiri belum mendengar cerita apapun itu. “I won't promise what I can't keep, Bo. Gue bahkan belum dengar cerita lo. Gue sebisa mungkin netral. Kecuali cerita lo mencengangkan, baru gue berulah.” Jawab Jaebeom tegas. Bagaimana pun, ia tidak ingin bias. Hell, Bogum terlihat semakin ragu setelah mendengarnya berkata demikian. Tapi ia tidak peduli.
Lagipula, tidak akan ada hal yang akan membuat dia kaget setengah mati, kan?
“Oke, jadi... Luna kemarin ke apartemen gue.” Bogum berkata tanpa basi-basi. Ia berpikir, sudah tercebur, lebih baik sekalian menyelam.
Jaebeom yang sedang meminum ice coffee pesanannya seketika itu juga tersedak dan terbatuk. Sepasang matanya memerah dan tenggorokannya gatal. Minuman sialan, umpatnya. Tetapi, sebentar... Bukannya Bogum dan Luna tidak pernah bertemu lagi sekian lama? Apakah mereka berdua berbohong? Ada apa sebenarnya?
“Hah? Luna? Ke apartemen lo? Ngapain? Kok bisa?” Tanya Jaebeom bertubi-tubi tanpa jeda. Ia kaget bukan main. Tapi sebenarnya, Jaebeom tidak terlalu kaget dengan kenyataan bahwa 'kekasih'nya itu memang unik. Ia terlalu mengenal Luna luar-dalam. Hanya saja, hubungan itu tidak pernah dilandasi perasaan apapun. Selama ini, Jaebeom menganggap Luna hanya sebagai seorang teman. Ia tetap berusaha menghargai Luna sebagai seseorang yang sudah lama 'menemani'nya dalam hal apapun.
Jaebeom melihat Bogum merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphone nya. Mengutak-atik benda mati sebentar, seperti mencari sesuatu. Jaebeom mengernyit. Apa yang akan Bogum lakukan?
“She showed me this.” Bogum berbicara kemudian sambil menyodorkan handphonenya pada Jaebeom. Meja itu tidak terlalu lebar; tidak membutuhkan waktu lama untuk Bogum menggeser handphonenya dan menunjukkannya pada Jaebeom. Bogum rasanya mulas; rasanya ia ingin muntah saat itu juga. Ia tidak ingin inisiatifnya ini membuat Jaebeom menjadi marah padanya. Atau Luna. Atau akan sesuatu yang akan dilihatnya sebentar lagi.
Sahabat Bogum itu hanya mengernyit dan mengambil handphone miliknya hati-hati. Terlihat dari raut wajahnya, Jaebeom seperti khawatir dengan apapun yang akan dia lihat. Ini berhubungan dengan Luna, there's must be something weird, pikir Jaebeom. Bulu kuduknya seketika meremang; saat mengingat pesan Luna beberapa waktu lalu padanya—mengatakan bahwa ia melihat Jaebeom sempat bertemu dengan Taehyung dan Jimin.
Damn. Is this about them?
Jaebeom rasanya ingin menjambak rambutnya kala ia akhirnya melihat layar handphone Bogum dengan kedua matanya. Di layar, terpampang sebuah foto dengan situasi yang familiar. Di sana terpampang foto dirinya memunggungi entah siapa yang mengambil foto tersebut—sedang berhadapan dengan dua orang yang memancarkan emosi berbeda lewat wajahnya.
Itu Taehyung dan Jimin.
Shit.
Bogum tahu tentang ini semua? Bogum tahu tentang pertemuannya dengan Taehyung dan Jimin?
Oh tidak... Bogum tahu soal Taehyung?
“Yeah, I know everything, Jae. Please just... let me talk.” Kata Bogum kemudian, seperti bisa membaca raut wajah Jaebeom saat itu.
Jaebeom? Ia ingin berteriak saat itu juga.
—
“Luna kemarin ke apartemen gue; yang gue pun nggak tahu menahu dia bisa found out dari mana gue tinggal di sana.” Bogum memulai topik yang sudah terlalu lama ia tahan lantaran Jaebeom yang masih syok. Ia tidak enak hati—melihat sahabatnya seperti tidak bisa berkata-kata. Bogum yakin, Jaebeom tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan bertemu dengan Luna; yang sampai sekarang, Jaebeom belum tahu apa alasannya.
“Kayaknya dari nyokap gue. Hah, as usual. Stalking me with her so -called 'bodyguards'. Tracking me everywhere. Mungkin lo mikirnya berlebihan, memang. Tapi lo tahu sendiri, 'kan, keluarga gue kayak gimana? Gue dikekang banget dari dulu.” Sambung Bogum dengan tertawa nanar sambil memainkan cincin yang tersemat di jarinya telunjuknya.
Jaebeom berusaha mencerna semua kata-kata yang Bogum ucapkan sambil mencoba menyambungkan beberapa fakta yang dilontarkan padanya non-stop. Ia merasa hidupnya sudah cukup drama, ditambah lagi dengan cerita Bogum yang menurutnya hanya akan terjadi di drama berseri yang sering ditonton oleh Mamanya.
“Terus, hubungannya semua ini, apa, Bo? Gue nggak ngerti...” Jujur, sampai saat ini, isi otaknya terasa seperti benang kusut. Ia tidak bisa mengurai dan figure it out. Entah Jaebeom yang sedang tidak konsentrasi, atau memang semuanya ini terdengar absurd.
Bogum menghela napas panjang dan berat sebelumnya akhirnya berkata dengan pelan. Pergolakan hatinya tidak bisa dihindari. Ini semua harus ia jelaskan pada Jaebeom; mereka berdua sudah terlalu lama 'terkurung' dalam rahasia dan set up yang menurut Bogum—sangat konyol.
“Semua berawal dari pertama kali lo ke rumah gue, Jae. Lo inget, 'kan?” Bogum bertanya sambil memandang kedua mata Jaebeom yang terhalang kacamatanya. Sorot matanya memancarkan kebingungan, namun akhirnya sahabatnya itu mengangguk.
“That's the first time you met Luna, right?”
Bogum menyambung lagi.
“Setelah lo pulang, Luna bilang sama gue kalau dia naksir sama lo. I think back then kayak... apa ya, Jae? Yaudah, cinta monyet aja lah. Ngerti 'kan, lo? Like what I had... with Tae-taehyung.” Nama itu akhirnya lolos dari mulut Bogum. Sudah lama sekali ia tidak menyebutkan nama mantan cinta monyetnya itu dengan keras. Hell, ia tidak pernah berani menyebutkan nama orang yang pernah menjadi masa lalunya itu. Bogum merasa tidak pantas. Taehyung adalah orang yang baik, dulunya. Ia tidak tahu sekarang. Yang Bogum tahu pasti, mantannya itu pasti sangat membencinya sekarang.
“Oke... lalu?” Tanya Jaebeom cepat. Rasa penasarannya seperti sudah di kerongkongan. Sebentar lagi akan keluar dari mulutnya. Menjijikan, tapi benar adanya.
“Dari saat itu, Jae, gue tahu kalau she would go big or go home. Luna itu nekat, gue tahu. Tapi gue nggak nyangka dia senekat itu, sampai sekarang, dan lo masih nggak tahu. Ini semua ada hubungannya sama nyokap kita bertiga...” Kata Bogum lalu memperlambat kata-katanya. Ia sendiri ragu. Ia tahu, ia harus cepat-cepat mengeluarkan semuanya sebelum rasa takut dan khawatir menggerogotinya dan membatalkan niatnya untuk membeberkan fakta lainnya.
”...dan nyokapnya Taehyung, by the way.” Bogum melanjut lagi dengan suara pelan. Jaebeom tentu mendengarnya.
Jaebeom terbelalak mendengarnya. Rahangnya seperti akan jatuh dari tempatnya. Ia kaget. Mengapa Bogum menyebutkan nama Taehyung... dan ibunya?
“Apa?! M-maksud lo apa, Bo?” Suara Jaebeom terlalu keras; membuat tamu di sekeliling meja mereka berdua lantas menoleh ke sumber suara. Ia kemudian mengepalkan tangannya di bawah meja dan meminta maaf pada orang-orang asing itu kemudian.
Bogum lalu menghela napas. Ia tahu, cepat atau lambat, semuanya ini harus segera berakhir. Ia pun tahu, rahasia yang akan dibuka semakin lebar ini tentu akan membuat emosi Jaebeom melejit. Bogum sudah siap kapan saja jika sahabatnya itu menghajarnya nanti. Ia pantas mendapatkan itu.
“Iya, sebenarnya gue ada andil di sana. Gue tahu gue bodoh, tapi gue nggak nyangka aja bakal kayak gini... Gue tahu lo dulu suka sama Taehyung, Jae. I could see it through your eyes and actions. Walaupun lo terlihat selalu dingin.
“Waktu itu, gue rasanya pengen lo nggak dapetin semuanya. Lo... lo punya jabatan, lo pinter, banyak orang yang suka sama lo. Tapi akhirnya, siang itu, ada satu hal yang nggak bisa lo miliki. Itu Taehyung. I didn't like him at first, but I fell anyway. Gue jatuh cinta, malah setelah gue 'putus' sama dia.”
Jujur, Jaebeom frustrasi mendengarnya. Tanpa sadar, ia sudah menjambak rambutnya, alih-alih melayangkan tinjunya ke wajah Bogum. Ia butuh penjelasan secara tuntas—bukan perkelahian yang akan membuat semuanya jadi berantakan. Jaebeom harus mengontrol emosinya untuk penjelasan itu.
“Lantas, kenapa lo dulu mau pacaran sama Taehyung, Bo? I don't get it. Gue nggak ngerti kenapa lo mau nyakitin anak orang kayak gitu. Buat apa?” Nada Jaebeom sudah tidak bisa dikontrol. Emosinya sudah sampai di ujung kepalanya. Ini adalah kali pertama ia tidak bisa mengontrol dirinya sama sekali.
“Luna asked me to do it. The plan, the plot... it was all Luna's, Jae. Bukan gue, bukan temen gue, dan tentunya bukan lo. Itu semua Luna, Jae.”
Bogum menjelaskan dengan putus asa; dirinya selama ini terjebak dalam bayang-bayang 'label' sebagai seorang laki-laki yang berengsek. Ia tahu bahwa selama ini ia salah, tapi semua tuduhan terasa seperti mengarah padanya.
“Nyokapnya itu ex business partner nyokapnya Taehyung. Nyonya Kim. Beliau berdua kerja bareng, tapi ada masalah besar dan akhirnya membuat Nyonya Kim mutusin perjanjian kerja mereka berdua. Jadi headline di mana-mana, berminggu-minggu. Itu membuat keluarga dia suffer.
“Gue akhirnya tahu ini dari nyokapnya Luna. Nyokap gue somehow cerita ke nyokap dia kalau gue punya 'teman dekat'. And it was Taehyung. Tapi, Taehyung sama sekali nggak tahu soal ini. Hell, dulu kita semua masih kecil, no? But I didn't know why Luna was way steps ahead from us. Triknya, pikirannya... Sepupu gue itu dewasa sebelum waktunya. Kebanyakan drama hidupnya dari dulu, Jae.”
Bogum mengusak matanya dan kepalanya kasar. Rasanya berat sekali harus 'membangunkan' memorinya kembali dan mengingat masa lalunya yang buruk itu.
“Excuse me?” Jaebeom menjawab dengan nada tinggi. Ia dikejutkan lagi dengan fakta baru. Apa-apaan ini? Mengapa semuanya menjadi semakin rumit? Mengapa ternyata orang-orang berbohong di belakangnya?
“Yeah, actually she asked her mom to do something about it. Luna anak satu-satunya, Jae. She has to get it all, atau nggak dia akan do things. Dia dan nyokapnya berpikir gimana caranya supaya Nyonya Kim 'suffered' as well? Dan sialannya, nyokap gue benar-benar on board soal rencana itu. Gila, 'kan?
“Dan sialannya lagi, yang kena imbasnya anaknya, Jae. Through me. Mereka maksa gue.”
Bogum rasanya ingin melempar gelas kaca didepannya ke arah jendela. Kepalanya sakit, dadanya seperti sesak. Semua ini mungkin jika didengar oleh orang asing, mereka akan tertawa dan berpikir bahwa semuanya adalah script. Namun semua ini benar-benar terjadi, dan Bogum melewati semua itu sendirian.
“Dan soal sangkut pautnya sama lo—sebenarnya ini gue nggak etis mungkin ngebahas ini—tapi... ada satu lagi pihak yang ternyata sama-sama merasa 'dirugikan' oleh Nyonya Kim. Padahal sebenarnya, itu salah beliau dan nyokapnya Luna,” kata Bogum menyambung lagi.
Sebentar lagi ia akan membuka sesuatu layaknya boks Pandora. Sebentar lagi, suatu fakta akan terkuak.
“And... it was your Mom, Jae.”
Saat Jaebeom mendengar itu, rasanya ia seperti disambar petir di siang bolong. Kedua tangannya sudah mengepal, rahangnya mengeras, telinganya memerah, dan rasanya mual. Jaebeom pening. Ia tidak menyangka bahwa ada rahasia besar nan rendahan yang disembunyikan oleh Mamanya. Semua ini terjadi hanya untuk menghancurkan Nyonya Kim dan Taehyung. Terlalu berlebihan, tidak masuk akal, dan gila.
Ia tahu dan sadar bahwa bisa saja Bogum hanya mengada-ada untuk 'menyelamatkan' dirinya sendiri dari masalah. Tapi apakah itu tidak berlebihan jika memang itu adalah tujuan Bogum sedari awal?
Jaebeom terkulai lemas di duduknya; ia menggelengkan kepalanya berkali-kali tanda tidak percaya. Ia sudah akan mengangkat kedua tangannya yang tergenggam terlalu erat dari bawah meja. Namun ia mengurungkan niatnya. Ia harus mendengar semuanya. Ia harus mendengarkan hal-hal konyol lainnya yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu.
“Lo boleh komentar, boleh tonjok gue, boleh tampar gue, Jae. Tapi setelah gue jelasin semuanya. Please?” Pinta Bogum lemas. Ia tahu rasanya semua ini tidak masuk akal. Jika Jaebeom terasa pening saat ini, Bogum sendiri rasanya ingin lari ke toilet sekarang juga dan memuntahkan semua isi perutnya. Ia mual; tangannya gemetar, kepalanya pusing. Namun ia tahu, ia harus melanjutkan semua ini.
Ia ingin 'bebas' dari belenggu masa lalu yang sungguh buruk untuknya. Untuk Bogum saja sudah buruk, bagaimana dengan Taehyung?
“Maka dari itu, momen dimana gue tahu, gue putusin Taehyung saat itu juga. Gue tahu gue nyakitin dia—separah itu. I knew that. Tapi gue nggak mau nyakitin dia lebih jauh, Jae. Gue nggak tega. He didn't deserve any of that shit. On that age. Jesus...”
“Akhirnya, gue merasa nggak nyaman di rumah. Selalu apa-apa Luna membrondong gue dengan pertanyaan dan kata-kata yang nggak pantas buat Taehyung. Gue muak. Di rumah nggak ada yang mendukung gue. Nyokap gue, nyokap Luna, dan Luna sendiri; nggak ada yang peduli sama gue, Jae.
“That's why I moved to New York. I needed a 'new' life.”
“Gue moved on, Jae. Dari semuanya. Gue juga butuh healing myself. Gue ikut komunitas di sana, gue ke beberapa tempat yang membuat gue jadi ngerasa bisa 'bernapas'. Waktu lo akhirnya datang ke tempat gue, jujur itu gue baru selesai pulang dari pertemuan itu. I panicked. Nyokap gue nggak ada bahas sama sekali lo mau datang kapan. Beliau hanya tanya gue ada di apartemen atau nggak—via pesan dan gue pun nggak jemput lo di airport.”
Bogum mengambil napas setelah berbicara panjang lebar. Saat melirik ke arah Jaebeom, sahabatnya itu sudah menatap gelas didepannya dengan tatapan kosong.
“Nyokap gue nggak tahu gue ikut komunitas itu, by the way. Dia nggak peduli dengan gue sama sekali. Jadi ya, cara gue cope with things adalah cutting ties dengan keluarga gue. Termasuk Luna.
“That's why gue sama sekali nggak ada kontak dengan dia sejak gue berangkat ke New York. I am sorry to tell you, but, she is 'crazy', Jae.”
Jaebeom menatap Bogum dengan lemah. Energinya seperti disedot habis oleh keadaan ini. Ia rasanya lelah mencerna segala fakta yang dilontarkan oleh Bogum pada dirinya. Ia mencoba menarik napas dan membetulkan ritmenya. Ia meraih segelas air putih yang sempat ia pesan beberapa saat lalu dan meneguknya habis.
Dari ujung matanya, ia melihat Bogum seperti memiliki beban yang terangkat total dari kedua pundaknya. Semua itu terlihat jelas dari gestur Bogum memainkan cincin di jari tangannya itu sambil tersenyum tipis. Tidak ada raut kesedihan di wajahnya; hanya ada rasa lega setelah bertahun-tahun memendam semuanya ini sendiri.
“Mungkin part nyokap lo itu sudah bukan ranah gue, do talk to her. I can tell she had reasons why she was willing to do it back then. Tapi setahu gue, nyokap lo dan Luna itu sudah bersahabat jauh sebelum anak-anak beliau kenal satu sama lain, Jae... I'm so sorry.”
Hening. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Asing rasanya mendengar semuanya ini setelah sekian lama. Sekarang Jaebeom tahu mengapa Jimin benar-benar ingin 'melindungi' sahabatnya saat mereka bertemu di tempat ini—beberapa hari lalu. Ia tidak bisa membayangkan bahwa masa lalu Taehyung benar-benar terlalu buruk.
Ia bersyukur baru mengetahuinya sekarang. Ia tidak akan tega membeberkan semua rahasia ini pada Taehyung jika ia bertemu dengan Bogum lebih dulu. Memang betul, Jaebeom memerlukan closure dengan Taehyung, dan ia sudah mendapatkannya. Hanya saja, closure menurutnya membutuhkan kejujuran sampai habis. Ia tidak bisa membayangkan kalau saja kemarin Taehyung mengetahui ini semua.
Ia bisa memastikan, Jimin sudah meninjunya berkali-kali hingga babak belur. Luapan emosi yang ditujukan untuk Bogum, Jaebeom, Luna, dan keluarga mereka bertiga pasti akan dilampiaskan pada Jaebeom hari itu.
“Trus, hubungannya sama foto tadi apa, Bo?” Tanya Jaebeom sambil menunjuk kearah handphonenya didepannya. Ia masih belum tahu hubungan antara masa lalunya dengan foto mereka bertiga yang diambil dengan cara ilegal itu.
“Ya dia bilang, lo tiba-tiba nggak sengaja ketemu dengan mereka berdua. Dan dia bilang rahasia kita dulu masih aman. Dia nanya sama gue apakah lo tahu; dan ya gue jawab sejujurnya. Gue nggak pernah cerita apapun ke lo, karena gue belum siap. Tapi dari tatapannya, gue tahu Luna punya keinginan buat merusak hubungan Taehyung sama pacarnya sekarang, Jae. She's obsessed with Taehyung, God damn it. Gue mohon, tolong gue supaya dia nggak ngelakuin itu.
“Taehyung berhak buat bahagia, Jae. Termasuk kita berdua.”
Jaebeom menggelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir bahwa wanita yang selama ini menemaninya memiliki sifat jahat seperti ini. Ia memang emosi; karena Bogum, karena Luna, bahkan karena Mamanya. Tapi entah... untuk saat ini, Jaebeom sendiri lega? Ia bisa mengetahui semuanya secara jelas tanpa filter.
Masih banyak pertanyaan yang ingin ia utarakan pada Bogum, namun ia sadar, their plates are full already.
“Thank you for actually telling me all these shits, Bo. Gue percaya lo. Entah kenapa gue bisa semudah ini percaya setelah sekian lama kita on and off, tapi gue berterima kasih banget. Dan jujur, gue bersyukur lo akhirnya mau cerita sama gue. Pasti berat lo nyimpan semua sendiri selama ini; dan nggak ada satupun orang yang bisa jadi tempat lo berbagi.”
“Iya, it feels like hell, Jae. Tapi gue berterima kasih lo memilih untuk percaya sama gue. Gue nggak tahu nanti kedepannya lo kayak gimana sama Luna, tapi please, lo berhak untuk tahu dari sisi gue. Tolong reconsider hubungan lo sama dia, ya?” Pinta Bogum lirih. Ia tidak ingin sahabatnya terjebak dalam lingkaran 'setan' yang Luna bentuk sedari mereka kecil.
“Iya, Bo. Gue bakal minta penjelasan kok. Soon, ya. Soon... Demi kita berdua.” Kata Jaebeom akhirnya diiringi tertawa renyah, yang diikuti oleh suara tawa Bogum—yang akhirnya ia dengar setelah beberapa jam mereka berbicara.
“Anytime, Jae. Thank you, thank you so much.”
—