A Diamond

Bogum membereskan segala dokumen tetek-bengek yang membuatnya lupa waktu sore itu dan segera mandi. Ia sangat sibuk beberapa hari ini. Pekerjaannya di Aetig cukup menyita waktu Bogum—membuatnya lupa akan masalahnya sendiri dan pikirannya yang sedang bercabang. Tentu ia bersyukur karenanya. Membuat dirinya sendiri sibuk adalah hal yang selalu ia lakukan untuk mengalihkan fokusnya pada hal yang lebih penting.

Butuh waktu setengah jam untuk Bogum bersiap diri sembari memasukkan beberapa barang-barang penting di dalam tas kecilnya. Ia hari ini memutuskan untuk bekerja setengah hari saja—sudah berencana dari jauh hari agar dapat mengurus beberapa dokumen yang ia perlukan untuk bulan depan. Ben dan Kwan pun langsung mengiyakan. Bogum merasa seperti anak emas di sini. Padahal, ia baru bergabung menjadi bagian dari Aetig sebulan yang lalu.

Tiga jam sejak ia pulang dari tempatnya bekerja, ia manfaatkan untuk pergi ke kantor Aetig Group berada, bertemu dengan divisi HRD untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya saat ini dan project mendatang.

Gedung kantor Aetig tidak terlalu besar seperti perusahaan yang bergerak dibidang food & beverages pada umumnya. Kantor Aetig Group terletak di gedung lima tingkat—memang tinggi, namun tidak terkesan 'dingin'. Justru suasana di dalam sangat nyaman. Bogum merasa kagum dengan Ben yang benar-benar merancangnya sedemikian rupa oleh otak cerdasnya.

Mengingat semua itu, ia sangat tidak sabar untuk bertemu dengan sahabatnya, Jungki, dan menceritakan semuanya. Bogum merasa beruntung, memiliki sahabat sekaligus sosok yang ia sudah anggap seperti kakaknya sendiri. Beberapa hari ini ia sangat sibuk, sehingga lupa bertukar pesan sekadar untuk menanyakan kabar. Sejak Jungki tahu bahwa Bogum tinggal sendiri di apartemennya sekarang, pria itu sempat merasa khawatir. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa keluarga Bogum sama sekali tidak ada yang mengetahui tempat tinggalnya, kecuali Luna.

Pekerjaan Bogum yang menyita waktu dan tenaga itu membuat Jungki beberapa kali menawarkan Bogum untuk tinggal dengannya saja. Yang tentu, langsung ditolak mentah-mentah oleh Bogum. Waktu tinggalnya di Seoul hanya dua bulan, dan ia tidak ingin menjadi parasit di tempat tinggal Jungki, apalagi dengan keadaan bahwa sahabat Bogum itu sedang dalam masa break. Ia tidak ingin semakin merepotkan dengan pergi kerja pagi hari dan pulang larut malam, seperti tidak mempunyai tanggung jawab yang seimbang dengan pemilik tempat tinggal.

Bogum memilih pakaian yang ia rasa sudah sesuai dengan konsep restoran yang akan ia kunjungi—salah satu restoran yang terkenal seperti Aetig. Jungki memilih tempat itu tanpa heads up apapun darinya. Ia hanya menghela napas, berharap tidak ada yang mengenalinya di sana.

Ben dan Kwan memang pernah menggarisbawahi bahwa mereka berdua tidak akan menginvasi urusan pribadi Bogum—mereka pernah mengatakan bahwa tidak ada masalah jika ingin mengunjungi tempat selain Aetig, that's your life, sambil tersenyum tulus. Bogum bersyukur karenanya. Ia mengetahui sebuah informasi dari pihak HRD—saat hari pertama ia diajak berkeliling oleh Ben, memperkenalkan seluruh bagian dibawah naungan empirenya. Seorang staf HRD mengatakan bahwa menjadi staf Ben memiliki banyak keberuntungan. Selain mereka memiliki atasan yang sangat baik, mereka juga diberikan kebebasan. Perusahaan lain yang bergerak dibidang yang sama dengan Aetig & Group, melarang para stafnya untuk berkunjung ke restoran dan/atau bisnis kompetitor perusahaannya jika masih menjadi staf perusahaan yang bersangkutan.

Bogum hanya mengangguk tanda paham, namun dalam hati, ia bingung. Perusahaan macam apa yang mengatur kebebasan para stafnya?

Ia lalu menggelengkan kepala, tersadar dari lamunannya dan mengecek jarum jam dinding yang bertengger di sana. Kedua matanya terbelalak.

Shit, empat puluh menit lagi.

Bogum lalu segera memakai parfumnya, menyambar handphone dan tasnya, lalu melangkah keluar dari apartemennya. Ia sudah memesan taksi beberapa menit lalu, yang akan tiba tiga menit lagi.

Membutuhkan waktu tiga puluh lima menit dari apartemennya hingga ia sampai di sebuah restoran yang sudah dipilih Jungki. Ia segera membayar tarif taksinya dengan beberapa lembar uang, mengucapkan terima kasih, lalu melangkah keluar dari mobil itu. Suasana di depan restoran itu cukup ramai, Bogum bisa melihat jelas beberapa mobil yang terparkir rapi, lengkap dengan beberapa pria yang terlihat seperti para driver tamu restoran itu sedang bercengkrama di ruang merokok.

Restoran pilihan Jungki ini terlihat sangat sederhana—berada di sebuah gedung sendiri yang terlihat seperti restoran pada umumnya; terletak di pinggir jalan raya—tidak berada di dalam gedung tinggi seperti Aetig.

Bogum lalu melangkahkan kaki ke arah pintu masuk restoran itu—yang jujur ia sendiri lupa namanya—dan melihat seorang waiter membukakan pintu untuk dirinya. Mengucapkan terima kasih kemudian dan menyebutkan nama sahabatnya. Waiter itu pun tersenyum lalu mengajaknya melangkah ke dalam restoran itu. Bogum terkesima dengan interior dan layout restoran ini. Terlihat dan terasa sangat homey. Ia salut dengan pilihan sahabatnya. Bogum tahu ia akan betah berlama-lama duduk di restoran ini, sambil menikmati sebotol red wine yang menangkap perhatiannya tadi saat ia masuk restoran ini.

Jungki terlihat sedang fokus mengetik dilayar handphonenya. Sepertinya sahabatnya itu sudah mulai agak sibuk—dibuktikan dengan komentarnya siang tadi bahwa ia sehabis bertemu dengan Managernya. Jungki pernah beberapa kali mengatakan, sekujur tubuhnya seperti mati rasa jika tidak melakukan apapun, apalagi saat break. Biasanya ia selalu bepergian ke luar negeri. Namun hal itu diurungkan karena Bogum, sahabatnya sejak beberapa tahun lalu, sedang pulang ke Seoul.

“Hei, Kak. I am in time. Gila benar-benar jam tujuh gue sampai sini,” sapa Bogum sambil menepuk pelan lengan Jungki, mengagetkan sahabatnya itu yang sedang fokus dengan handphonenya. Jungki lalu menoleh dan tersenyum lebar, meletakkan benda mati itu, lalu menjulurkan tangannya untuk memeluk Bogum.

That's okay. Santai. Gue juga baru duduk lima menit di sini. Macet?” Balas Jungki saat ia melepaskan pelukannya dan kembali duduk. Sahabat Bogum itu terlihat sangat rapi malam ini. Walaupun ia tidak mengenakan tuxedo, namun cukup membuat Bogum mulai menyesali pilihan pakaiannya sekarang. “Gue habis ketemu sama my Manager somewhere else, maksa gue untuk dress up. Lo nggak salah kostum, kok.” Jungki berkata, seakan bisa membaca raut wajah dan pikiran Bogum sekarang.

Bogum lalu tertawa dan menghela napas kasar seolah-olah lega, yang membuat Jungki pun tertawa kemudian. “Damn, gue kira gue yang salah kostum, dong. By the way, iya macet. Gila deh hari Minggu dan sudah jam segini padahal.” Kata Bogum setengah mengomel lalu menyambung lagi. “And anyway, this place is nice. I like it,” pujinya sambil meletakkan tas kecilnya di dalam keranjang tas yang sudah tersedia, terletak di samping kakinya.

I know right. Have you been?” Jungki bertanya sambil terlihat mengubah mode handphonenya menjadi silent dan menelungkupkannya disamping tangan kirinya.

Bogum tersenyum dan melakukan hal yang sama. “No, this is my first time.” Ia tidak sempat mencari tahu saat tadi Jungki mengirimkan nama dan lokasi ini padanya. “Well, surprise me then, Kak. Seems like you've been here too many times.” Bogum tersenyum lebar, memperlihatkan giginya.

Jungki tertawa dan mengangguk. “Okay, the Owner is my dear friend, tho. I will introduce you both after we finished. Or maybe when he passes by later.”

Mereka berdua mempercayakan malam hari ini pada teman Jungki, yang ternyata sudah diberitahu beberapa jam sebelumnya bahwa dirinya akan mengundang sahabatnya untuk menghabiskan malam di sini. Bogum berterima kasih pada Jungki karena telah berusaha sejauh ini sehingga mereka dapat menghabiskan hari Minggu malam bersama.

“Jadi, gimana cerita lo, Bo? Gue nggak sabar, nih.” Jungki bertanya pelan seperti berbisik pada Bogum, sambil menyesap segelas red house wine yang dipilih oleh temannya tadi. Beberapa tamu yang tadinya duduk di sisi kanan kiri mereka akhirnya lambat laun berkurang. Jam di tangan Bogum pun sudah menunjukkan waktu pukul sembilan malam.

The night is still young, but he has to work tomorrow, pikirnya.

Bogum lalu menegakkan duduknya, memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua sikunya di meja. Ia sedari tadi sebenarnya sudah berusaha untuk tidak berbicara kearah sana. Jujur, Bogum rasanya akan terdengar seperti orang yang kurang bersyukur? Mungkin, berita ini termasuk berita baik menurut orang lain. Hanya berita baik, tidak ada berita buruk. Seharusnya. Namun Bogum tidak mengerti harus mengkategorikannya seperti apa. Ia merasa butuh bantuan dan saran dari Jungki, yang ia tahu sahabatnya itu akan membantunya untuk mencari solusi.

Good news or bad news first, Kak?” Bogum bertanya-ingin mengulur waktu yang ada. Ia rasanya ingin mengabaikan saja kata-katanya kemarin. Mungkin, ini adalah kabar baik? Keduanya adalah kabar baik. Mungkin semua pikiran negatif itu hanya ada di dalam kepalanya saja.

“Terserah lo. Gue siap mendengarkan, dan memberi saran, kalau lo perlu, tentunya.” Jawab Jungki mantap sambil tersenyum, seperti tahu apa yang sedang berkecamuk di kepala Bogum.

Ia akhirnya menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Semoga Jungki bisa memberikan saran yang membuatnya lega, atau bahkan membuatnya melupakan kegundahannya beberapa hari ini.

“Jadi, Ben minggu lalu info gue... kalau gue bakalan dipromosikan di Aetig yang baru? That's the good news.”

Mendengarnya, Jungki terbelalak dan bertepuk tangan kecil, tanpa suara-tahu bahwa mereka masih di restoran yang benar-benar mementingkan privasi para tamu. Sahabat Bogum itu terlihat tersenyum lebar, seperti bangga terhadap Bogum yang benar-benar bisa mengantongi kepercayaan Ben dan memutuskan untuk mempromosikan dirinya.

That's great, oh my God! Congrats ya, Bo,” kata Jungki terlalu bersemangat lalu mengambil gelas red winenya dan mengajak Bogum untuk bersulang. Bogum hanya tertawa lebar sambil mengangkat gelasnya. Kedua gelas yang bertemu itu menimbulkan suara yang cukup pelan lalu mereka berdua menyesap red wine masing-masing.

But...?” Tanya Jungki kemudian, tahu bahwa kabar selanjutnya yang ingin sahabatnya itu katakan adalah berita yang menurut Bogum cukup buruk untuk dirinya.

But... it's in Tokyo, Kak, not in New York.” Kata Bogum kemudian sambil menghela napas berat. Walaupun jarak dari Seoul ke Tokyo jauh lebih dekat dibandingkan dengan ke New York, namun ia seperti tidak bisa meninggalkan tempat yang sudah menjadi 'rumah' keduanya.

Lagipula, ini semua terjadi saat summer break. Setelah libur musim panasnya selesai, ia harus kembali ke New York dan melanjutkan kuliahnya.

Ia tidak tahu apakah ada cara lain untuk meyakinkan, atau bahkan melobi Ben untuk tidak mempercayakan Aetig Tokyo padanya.

“Serius, Bo? Tapi kuliah lo? New York? How?” Jungki bertanya bertubi-tubi tanpa jeda. Namun sepersekian detik, akhirnya ia berdehem dan menutup mulutnya saat melihat Bogum sekilas memutar kedua bola matanya.

“Justru itu kabar buruknya. Ben tahu gue masih punya kewajiban untuk menyelesaikan kuliah gue. So, why did he choose me to go there?”

Bogum tahu ia terdengar sangat egois sekarang? Atau terdengar besar kepala. Bagi sebagian orang di Aetig Group, mungkin ia akan terdengar demikian. Tapi bagi Jungki, di hadapannya ini adalah hanya seorang Bogum yang sangat mementingkan pendidikan dibandingkan dengan pekerjaannya. Pindah ke New York dan mendapatkan kesempatan untuk masuk ke salah satu universitas ternama di sana adalah bukan yang hal yang mudah. Jungki tahu semua perjuangan pria didepannya yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri ini.

Jungki lalu terdiam sekitar lima menit, berpikir jika ia berada di posisi Bogum. Apa yang akan ia lakukan? Bogum tidak akan bercerita jika menurut dirinya sendiri hal ini adalah masalah sepele; masalah yang menurutnya bisa dipecahkan sendiri.

“Buat gue, lo adalah berlian yang selama ini mereka cari. Lo sendiri, 'kan, yang bilang kalau beberapa kali bos lo di New York benar-benar ngerekomendasiin lo ke Ben? He saw and recognized your potential, so he trusted you to handle Tokyo.” Jungki menjelaskan, lengkap dengan perumpamaan yang Bogum tahu, itu adalah trademark sahabatnya saat menasihatinya. Bogum tersenyum mendengarnya, hanya dengan beberapa kalimat, Jungki bisa sedikit menenangkannya dan mengurangi tingkat kenegatifan pikirannya.

But, wait. Did Ben really ask you to move? Atau cuman visit aja? Memangnya, yang di Tokyo sudah buka?”

Ah, that.” Bogum lalu menggigit bibirnya, berusaha mencerna kata-kata Jungki, dan seketika mengumpat.

Damn, benar juga, pikirnya.

Ben tidak memintanya untuk pindah ke New York kemarin saat mereka berbincang. Ben hanya meminta Bogum untuk mendampinginya, melihat bagaimana Aetig di Tokyo dibangun seiring berjalannya waktu. Selain itu, Ben pun hanya meminta Bogum untuk melakukan kontrol perkembangan pembangunan dan memastikan bahwa Aetig akan berjalan sesuai dengan standar yang dimiliki di Seoul dan New York.

Jungki lalu menaikkan alisnya sebelah dan tertawa. “Lo pasti cuman overthinking, 'kan? Padahal lo belum tahu Ben maunya bagaimana.” Katanya lalu menyendok tiramisu yang dipesan oleh dirinya dan Bogum sebagai dessert.

“Bogum, stop thinking too far. Itu juga bisa membuat lo nggak berpikir jernih. Tenang aja, oke? Kalau gue prediksi dari cerita lo soal Ben orangnya seperti apa, kayaknya beliau nggak akan dengan 'sengaja' meminta lo untuk pindah ke Tokyo secepat itu. Dia benar-benar 'menjaga aset', dan aset itu lo. Sesederhana itu, Bo.”

Bogum lalu menghela napas, mengangguk tanda setuju dan tersenyum simpul. Entah, rasanya mendengar Jungki berkata dengan tulus seperti itu saja sudah membuat dirinya senang. Tidak pernah ada orang lain yang benar-benar memujinya dengan tulus seperti ini, bahkan ibunya sendiri. Selama ini, Bogum memang masuk dalam kategori seseorang yang menutup diri. Temannya tidak banyak di New York, bisa dihitung dengan jari. Sedangkan di Seoul? Ia tidak ingin menghubungi teman-temannya lagi, yang bisa dipastikan hanya menanyakan kabar dan hal basa-basi lainnya. Ia tidak mau.

Hanya Jungki, yang ia sudah anggap seperti kakak sendiri, yang benar-benar mengapresiasi dan menyayanginya tanpa embel-embel apapun. Bogum merasa beruntung saat itu bertemu dengan Jungki, beberapa tahun lalu.

“Ah, ya, thanks ya, Kak. Lo selalu tahu gimana caranya membuat gue benar-benar menghilangkan my overthinking thoughts.”

“Haha, sama-sama. Lo memang butuh dengar itu dari orang lain. Gue tahu hati lo keras, begitupun kepala lo. Lo butuh orang lain untuk menerobos. Kalau nggak, lo akan begini terus seumur hidup.” Canda Jungki, yang disambut dengan tertawa renyah dari Bogum.

Setidaknya, Bogum bisa bernapas lega sekarang dan mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang membuatnya tidak fokus.

“Ngomong-ngomong, partner Ben di Tokyo, siapa namanya, Bo?” Tanya Jungki sesaat setelah ia menyerahkan kartu kreditnya pada seorang waiter untuk membayar bill mereka malam ini. Sahabat Bogum itu ternyata memiliki diskon khusus dari teman dekatnya, sang pemilik restoran yang bernama In Sung. Beliau ramah. Bogum sempat berbincang sebentar dengannya tadi saat Jungki pergi ke toilet.

“Uh, kemarin Ben bilang, teman dekatnya saja sih. Wanita. Sudah lama bersahabat, sepertinya. Ben and I are going to meet her in Tokyo next month, kalau jadi.” Bogum berusaha mengingat apa saja yang Ben bicarakan padanya. Namun, nihil. Ia sudah cukup banyak minum malam ini, kepalanya terasa sangat ringan. Lagipula, Ben tidak pernah memberitahunya tentang siapa teman dekat wanitanya yang akan menjadi partnernya dibisnis Tokyo.

Damn, I'm so excited now! I can't wait, Kak!”