Encounter (Part 2)

Tidak terasa sudah genap tiga jam Jaebeom menghabiskan waktu di kafe Haru seorang diri. Entahlah, menurutnya, hari Sabtu nya ini sudah berjalan dengan baik dari sejak pagi tadi ia bangun dari tidurnya. Pertanyaan adiknya siang tadi membuatnya berpikir sebelum ia bertolak dari rumah.

Jujur, hari ini ia sedang tidak ingin bertemu dengan Luna. Karena bosan, mungkin? Atau pada dasarnya, keinginan untuk bertemu pun sama sekali tidak ada.

Awal perkenalan Jaebeom dan Luna adalah saat dirinya beberapa tahun silam berkunjung ke rumah Bogum selepas pulang sekolah. Pertemuan itu tidak disengaja, lantaran Jaebeom pada awalnya memang berniat untuk mengantar sahabatnya itu pulang sehabis mereka mengikuti latihan basket.

Siapa yang tahu, awal pertemuan itu menjadi sebuah beban yang cukup berat untuk Jaebeom. Hingga saat ini.

Mungkin, Jaebeom akan menceritakannya lain kali.

Langit sore itu terlihat cantik; semburat warna favorit Tere memancar dari balik bongkah awan yang bertengger di tengah-tengah. Jaebeom mengingatnya sambil tersenyum; ia hafal betul ketertarikan adik perempuannya itu pada langit.

Beberapa kali Tere mencetak hasil jepretan langit di beberapa negara yang mereka kunjungi—untuk dipajang di dinding kamarnya. Jaebeom yang awalnya mengusulkan ide itu; membuat Tere kelewat girang karena kakak laki-lakinya setuju untuk membiayai seluruh keperluannya.

Jaebeom lalu mengeluarkan handphonenya, dan membidik pemandangan itu lewat kameranya. Lagu Take a Walk karya OFFSHORE terdengar lembut di telinganya—cocok dengan suasana kafe dan hatinya saat ini. Ia merasa tenang. Beruntunglah dirinya hari ini tidak lupa membawa earphone ter-ciamik miliknya—pemberian Tere beberapa bulan lalu saat ulang tahunnya.

Pesan Tere selalu tersimpan dalam memorinya; tertulis di secarik kertas yang berbunyi 'gue beliin lo earphone supaya lo nggak rewel tiap kali gue teriak-teriakin idola gue nongol di tv. Gue beliin lo lengkap dengan noise cancelling. Dan ya... supaya lo nggak sakit kuping aja tiap Luna ngerepet. LOL. Love you so much, Bro!'

Tentu saja ia menyimpan surat itu dengan aman di laci lemari bajunya. Jaebeom tidak ingin memperparah hubungan antara Tere dan Luna dengan menaruh surat itu asal.

Mengirimkan beberapa foto pemandangan itu cepat pada Tere sambil menghujani pesan adiknya dengan beberapa emoji, Jaebeom memutuskan untuk mengakhiri sesi sendirinya hari ini. Ia ingin menghabiskan Sabtu malam di rumah saja dengan adiknya.

Jaebeom lalu teringat akan pesan Tere untuk membelikannya cronuts dan segelas ice coffee. Segera ia memanggil seorang waiter dan memesan cepat; tak lupa memberi note bahwa keduanya akan ia bawa pulang.

Beberapa menit berselang, akhirnya Jaebeom membereskan barang-barangnya. Tak lupa mematikan laptopnya dan mengumpulkan highlighter yang berserakan di sisi benda itu; melepas earphone dan menggulungnya rapi.

Lumayan, pikirnya, hari ini ia sudah mendapatkan beberapa jurnal yang dapat digunakan sebagai bahan presentasinya minggu depan.

Akhir-akhir ini, tugas kuliah dan beberapa kegiatan di kampus membuatnya pening. Sebagai seseorang yang cukup perfeksionis, Jaebeom selalu mengedepankan kesempurnaan dalam segala hal yang ia kerjakan. Kesehatan dan waktu tidurnya selalu menjadi nomor sekian. Beberapa kali Tere dan Mamanya mengingatkan, namun hanya dianggap seperti angin lalu.

Ia tidak peduli. Ia hanya ingin mengejar kesempurnaan. Untuk kepuasan diri sendiri tentu saja, bukan sebagai hal yang harus ia pamerkan. Poin itu... bukan tujuan akhir Jaebeom.

Waiter tadi akhirnya menghampiri meja Jaebeom dengan membawa satu paper bag yang cukup besar. Tercium wangi cronuts yang ia rasa, Tere akan menyukainya.

Mumpung masih panas, sebaiknya gue harus cepat pulang, batinnya.

Beranjak dari duduknya sambil menggendong tas laptop miliknya yang baru ia beli beberapa hari lalu, Jaebeom membalikkan badannya menuju pintu masuk kafe Haru.

Sesaat setelah melangkah, ia mendengar suara yang terdengar dari radius pendek didekatnya; menyebutkan panggilan kesayangan yang sering ia dengar beberapa tahun silam.

Suara itu, ia mengenal dengan jelas; mulai dari pitch hingga pelafalan, yang begitu tajam di kedua telinganya. Pemilik suara itu hanya mengatakan dua kata, namun rasanya gelombang memori mulai menghujani pikirannya tanpa henti; saat kedua matanya akhirnya bertemu dengan sepasang mata yang selama ini ia rindukan. Kerling dan tatapan sepasang manik hazel itu; lemah selama tiga detik sebelum akhirnya terbelalak kemudian. Jaebeom sebenarnya tahu, pertemuan ini akan segera terjadi, cepat atau lambat. Namun sepertinya, takdir memutuskan untuk mengejutkan Jaebeom lebih cepat.

Lebih cepat—sehingga ia sama sekali tidak memiliki persiapan dan pertahanan, saat bibirnya terbuka lebih dulu; bekerja lebih cepat daripada otaknya dan memanggil sosok di depannya dengan terbata.

“Ta—Taehyung?”

Taehyung tidak pernah menyangka bahwa sebenarnya, seberapa cepat dan keras usaha kamu untuk berlari dari sesuatu, suatu saat dirimu pasti akan bertemu lagi dengannya. Entah, takdir seperti tahu caranya menguji—apakah kamu akan terpengaruh lagi dengannya jika bertemu lagi? Atau kamu akan benar-benar menanggapi seolah tidak pernah bertemu sebelumnya?

Sepasang matanya bertemu dengan kedua manik hitam itu; bersembunyi dari balik kacamata pemiliknya. Taehyung tidak mengerti apa yang harus ia lakukan—ia hanya berakhir dengan terbelalak dan mulutnya terbuka. Ia khawatir sebentar lagi rahangnya akan lepas dari tempatnya. Betapa terkejut Taehyung, melihat sosok yang pernah menjadi 'bagian' dari kisah sedihnya dulu. Well, walaupun sosok ini bukanlah pemeran utama yang bersanding dengannya di kisahnya dulu.

Jimin segera menoleh saat mendengar suara itu lagi; bulu kuduknya meremang dan ia yakin, dirinya tidak pernah secepat ini menolehkan kepalanya. Lehernya nyeri, tapi ia tidak peduli. Jimin lebih memikirkan lelucon macam apa yang diberikan oleh dunia saat mendengar sang pemilik suara memanggil nama sahabatnya dengan terbata, namun jelas terdengar di telinganya.

Kedua matanya pun terbelalak, kala melihat sesosok di depannya adalah benar Jaebeom—kakak kelas mereka dulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Kakak kelas mereka... yang merupakan sahabat dari seseorang yang sama sekali tidak ingin Jimin ucapkan namanya. Kakak kelas mereka... yang punya peran cukup penting namun antagonis—walaupun Jimin sendiri tidak tahu kebenarannya seperti apa.

Sampai saat ini, yang ia tahu adalah seluruh ide gila yang membuat Taehyung hancur berkeping-keping beberapa tahun silam berasal dari sosok di hadapannya ini.

Ia berdiri dari duduknya; tak terasa mengepalkan kedua tangannya hingga buku-bukunya memutih. Raut amarah muncul dari wajah Jimin, sesaat sebelum dirinya mendengar sahabatnya membalas dengan lirih.

“Kak Jae, is that really you?” Taehyung bertanya retoris. Ia tahu persis, seorang pria yang saat ini sama terkejutnya dengan dirinya adalah Jaebeom—sahabat baik Bogum pada masanya. Taehyung tidak ingin mencari tahu apakah saat ini mereka masih bersahabat; ia hanya ingin tahu, ujian apa yang sedang dunia berikan padanya.

Lucu memang, saat Taehyung sadar bahwa seringkali ia mendengar sebuah perumpamaan “jika kamu tertawa terlalu berlebihan, hati-hatilah, itu tandanya kamu akan menangis”, dan sepertinya, hal itu akan terjadi padanya sore ini.

Jaebeom di hadapannya hanya mengerjapkan matanya terkejut beberapa kali; ia terlihat seperti tidak tahu harus menjawab apa. Taehyung melirik ke arah Jimin; sahabatnya itu terlihat sebentar lagi akan melayangkan tinjunya ke arah Jaebeom. Buku-buku tangannya terlihat memutih—Taehyung hafal gelagat Jimin seperti ini, ia tahu sahabatnya akan marah sebentar lagi. Jimin bukan seseorang yang mudah marah; namun jika sesuatu hal sudah keterlaluan, ia akan meledak pada waktunya.

Taehyung dengan sigap menenangkan Jimin dengan meraih tangannya untuk membuka kepalannya. Sahabatnya itu segera menoleh kemudian dan menatap Taehyung. Jimin hanya bisa menanggapi dengan lirih. “Tae, please...”

Mendengar itu, Taehyung hanya tersenyum simpul. It doesn't even reach his beautiful eyes. Jimin sadar penuh. Namun kedua mata Taehyung memancarkan kerling gusar dan rasa penasaran yang terlihat jelas dari manik hazelnya. Jimin hanya bisa mendengus dan menghela napas kasar.

Hari ini adalah hari yang menyenangkan; ia tidak ingin seorang Jaebeom merusaknya. Tugasnya adalah menjaga Taehyung. Sampai kapanpun. Hanya itu yang ingin Jimin lakukan saat ini.

What the hell are you doing here?” Jimin bertanya tanpa tedeng aling-aling. Ia butuh jawaban cepat dan masuk akal. Ia tidak peduli bahwa “scene” ini sudah menarik perhatian beberapa tamu yang duduk di sekitar mejanya.

Jaebeom terlihat menggaruk belakang lehernya. Sejujurnya, tidak ada hal apapun yang ingin ia lakukan selain mencari tempat dan waktu untuk dirinya sendiri. Ia sendiri pun terkejut; rasanya bukan hal ini yang ingin ia lalui di hari Sabtu nya yang indah sedari pagi.

“_Well, I was about to go back home and we accidentally met. As simple as that, I guess, Jimin...” Jaebeom menjawab setenang mungkin. Taehyung dan Jimin tidak boleh tahu bahwa suara bergetarnya sedang mencoba untuk keluar dari persembunyiannya.

Taehyung hanya mengangguk seolah-olah paham dan membuka suara. Jimin rasanya menyesal kemudian—mengapa ia tidak melayangkan tinjunya saja sedari tadi, saat mendengar Taehyung menjawab, “Ah, of course. Kak Jae, duduk dulu. Kita udah lama nggak ketemu. Please?”

Sahabat Jimin itu berusaha menjawab dan meminta dengan seramah mungkin. Tidak ada getar dibalik suaranya; namun ternyata getar itu merambat sampai ke kedua tangan halusnya. Jimin melihat kedua tangan Taehyung gemetar. Senyum Taehyung yang biasanya lebar, saat ini tidak terlihat di wajahnya.

Jaebeom mengangguk lalu menarik kursi di sebelah Jimin. Taehyung memberikan kode pada Jimin untuk duduk di sampingnya; yang langsung ditanggapi dengan sigap olehnya. Jimin mengambil duduk di sebelah Taehyung dan langsung meraih tangan sahabatnya; memberikan gestur untuk menenangkan sahabatnya.

Kedua tangan mereka bertaut; Jimin beberapa kali meremas tangan Taehyung dan mengelus pelan punggung tangannya. Ia berharap sahabatnya dapat mengurangi kegelisahannya dengan gestur darinya.

Suasana di meja itu diam; Jaebeom terlihat menunduk, sedang Taehyung masih terlihat kaget. Ia tiba-tiba teringat pada hari terakhir di mana mereka bertemu; saat Taehyung baru beberapa hari 'berpisah' dengan Bogum di lapangan itu.

Suasana hening ini membuat Taehyung kembali membuka kotak memorinya yang tertutup rapat di ujung seluk hati entah di mana. Taehyung tidak menyangka, kotak ini akan kembali lagi dengan kondisi menganga—lebih besar daripada saat terakhir kali ia memutuskan untuk membuang jauh-jauh memorinya.

Suasana ini, membuatnya ingin pulang sekarang juga; ingin berlari pada kekasihnya yang sangat ia cintai. Taehyung membutuhkan Jeongguk untuk menenangkannya. Taehyung butuh kekasihnya untuk memberitahu, bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kekasihnya itu selalu tahu bagaimana cara membuat segalanya menjadi lebih baik.

Timbul rasa sesal dari dalam diri Taehyung; apa yang sebenarnya ia lakukan?

Jaebeom tidak tahan dengan keheningan yang menyelimuti meja ini; ia melirik ke arah Taehyung, seorang laki-laki di depannya ini masih terdiam dengan tatapan kosong. Sedang Jimin, sedari tadi sudah melayangkan tatapan marah padanya. Jaebeom lalu buka suara, mencoba untuk mencairkan suasana.

“Kalian berdua... apa kabar?”

Jimin terdengar mendengus. Ia kesal dengan encounter ini. Sahabatnya yang sedang menatap gelas sisa ice chocolate miliknya itu lalu mengangkat kepalanya dan menatap Jaebeom hangat.

Jaebeom melihat tatapan dari pemilik manik hazel itu seperti memancarkan sorot sedih dan lesu. Taehyung terlihat energy drained hanya dari tatapannya.

We've been okay. Kak Jae gimana?” Jimin merasakan tangannya diremas dengan kuat oleh Taehyung. Ia lalu dengan sigap mengelus pelan punggung tangan sahabatnya lagi.

Jaebeom menjawab dengan senyuman tulus. “Gue juga baik, Taehyung. You look good as always...” Menarik napas panjang, sambil akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. “Saw your photos hanging at the exhibition hall weeks ago.”

Jimin terbelalak mendengarnya. Emosinya yang tadinya sudah agak mereda, kembali melejit lagi bagaikan wahana menyeramkan di taman bermain. Bagaimana bisa? “You saw what?”

Taehyung hanya menaikkan sebelah alisnya sambil terheran. Bagaimana bisa ia melihat foto Taehyung di exhibition? Apakah ada seseorang di sekolahnya yang mengenal Jaebeom? Lelucon apa lagi ini?

“Ah... I visited your school event that week. Campus visit, remember? Gue jadi salah satu senior yang datang. Setelah itu, gue lihat sekilas foto lo dipajang, Taehyung.” Jaebeom terpaksa berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan soal dirinya mengetahui dari Luna, 'kan? Yang Jaebeom dapat tebak persis, cerita itu akan berakhir dengan membicarakan masa lalu Taehyung. Ia tidak ingin memperburuk suasana saat ini.

Berbohong sedikit lebih baik daripada ia harus mengorbankan apa yang sudah terjadi saat ini.

Jimin mendengarkan penjelasan Jaebeom sambil mengernyit. Memangnya, dunia benar-benar sekecil itu ya? Mengapa dari sekian milyar orang, harus Jaebeom ini yang menjadi salah satu senior yang hadir?

Namun dirinya mencoba mengingat, tidak mungkin seorang Jimin tidak menyadari sosok seperti Jaebeom di lingkungan sekolahnya. Menurutnya, hal itu kelewat aneh.

“Dan ya... do you know Tere from Photography club? She's my biological younger sister.” Jaebeom menyambung lagi.

Jaebeom tidak sadar, menyebut nama Tere sama saja dengan membuka kotak Pandora yang selama ini masih tertutup rapat.

Mendengar nama Tere, Taehyung rasanya ingin muntah saat itu juga. Dunia memang benar sedang bercanda dengannya. Sudah lama Taehyung tidak mengalami kejutan yang konyol seperti ini.

Tere—seseorang yang pernah mengidolakan kekasihnya gila-gilaan. Tere—seseorang yang membuatnya bertengkar dengan Jeongguk. Tere—seseorang yang—

Tunggu sebentar— Tere?

“Tere?” Hanya itu yang bisa Taehyung katakan dari bibir mungilnya, sesaat sebelum ia rasanya ingin pingsan saat itu juga. Kepalanya terasa panas; khawatir sebentar lagi akan meledak. Secara bertubi-tubi, memori yang ada di dalam kotak Pandora di otaknya keluar dengan cepat tanpa rem.

Taehyung rasanya tidak yakin bahwa ia dapat memproses fakta itu dengan cepat. Taehyung tidak sanggup.

Tere adalah adik kandung Jaebeom. Adik kandung.

Jeongguk memberitahunya saat itu, bahwa Tere adalah adik kandung dari senior di kampusnya yang ia kenal.

Tidak mungkin... ini bercanda, 'kan?

Taehyung rasanya ingin berteriak. Genggaman tangannya di tangan Jimin mengeras; ia merasakan sahabatnya itu meringis sambil beberapa kali membisikkan namanya. Ia tidak ingin mengetahui fakta selanjutnya. Namun pertanyaan krusial itu sudah sampai di ujung lidah Taehyung, memaksa untuk keluar dari mulutnya.

Ia merasa seperti dibohongi. Mengapa Jeongguk tidak pernah menyebutkan namanya, atau minimal menginfokan namanya?

Apakah ada yang kekasihnya sembunyikan?

Apakah... selama ini Jeongguk tahu cerita dibalik seorang Jaebeom?

Taehyung rasanya pening; kepalanya pusing. Ia harus bertanya. Ia hanya ingin memastikan. Walaupun dalam hati kecilnya, ia tahu betul akan tahu apa jawabannya.

“Kak Jae... do you know- do you know Jeongguk?”

Jaebeom yang ditanya hanya menggumam, lalu menjawab dengan santai; sama sekali tidak menyadari bahwa jawabannya itu akan berujung menyakiti si empunya pertanyaan. Jawabannya akan meruntuhkan kepercayaan itu lagi yang sudah Taehyung bangun sejak lama.

“Jeongguk? Jeon Jeongguk? Tentu gue kenal dia. Dia junior di sekolah yang gue kenal. Gue beberapa jam lalu sempat telfonan sama dia. Ada apa, Taehyung? Do you know him?” Tanyanya pada Taehyung dengan polosnya.