Thunder.
“Welcome to Aetig, Sir.” Seorang waiter yang berdiri di ambang pintu masuk restoran fine dining itu menyapa Bogum dengan senyum yang ramah. Sejak ia mendapat pesan dari Mr. Kwan tadi pagi, Bogum sudah bergegas dan merencanakan untuk datang lebih awal—kebiasaan yang ia miliki sejak dulu. Setiap akan mendatangi tempat baru, ia selalu berusaha untuk datang lebih awal; untuk merasakan 'atmosfir' tempat itu—prinsipnya. Maka tak heran jika Bogum sudah sampai di restoran itu lima belas menit sebelum last minute interview dimulai.
Sebenarnya, dirinya sudah mendapatkan undangan untuk wawancara oleh tim manajemen restoran ini beberapa hari lalu. Koneksi pekerjaannya di New York memberikan nilai tambah untuknya sehingga ia bisa diundang untuk melakukan interview di Seoul. Mr. Ben—pemilik grup restoran yang merupakan teman dekat atasan Bogum di New York—meminta rekomendasi pada temannya, yang tentu disambut antusias oleh atasan Bogum. Beliau mengatakan, lebih baik talenta dan keahlian Bogum dimanfaatkan secara permanen.
Membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit dari Bogum memarkirkan mobilnya, merapikan barang-barangnya untuk keperluan interview, dan melangkahkan kakinya mantap hingga ia sampai di lantai tempat Aetig berada. Entah mengapa, menurutnya, interview hari ini akan berjalan dengan lancar. Ia sangat optimis akan hari ini; ia merasa seperti akan mendapatkan kabar baik.
Bogum tersenyum mantap, menegakkan tubuhnya dan akhirnya melangkah menuju pintu masuk Aetig. Sebelum ia berjalan mendekat, ia terpukau dengan pemandangan yang terpampang di depan kedua matanya. Interior Aetig sangat menonjol; memberikan kesan dingin namun elegan. Marmer yang melapisi dinding restoran itu dihiasi dengan sedikit sentuhan warna emas di beberapa sudut. Cahaya matahari yang menembus dinding kaca restoran itu pun memendar ke seluruh ruangan. Tempat ini cantik, pikirnya. Ia tidak sabar untuk segera masuk dan mengeksplor kecantikannya yang sudah terlihat walaupun hanya dari pintu masuk. Tak lupa Bogum mengabadikan foto dan menaruhnya di Twitter.
Waiter yang menyapanya itu bernama Johanna—terlihat dari nametag yang dipakai—tersenyum dan menyapa Bogum dengan ramah.
“Hi, Ms. Johanna. I am Bogum. Park Bogum. I have an appointment with Mr. Ben and Mr. Kwan? He said we'll be having a meeting in table 12.” Kata Bogum membalas fasih dengan bahasa Inggrisnya. Wanita di depannya ini menyapanya dengan bahasa asing—tentu ia akan membalasnya dengan sama pula. First impression matters, menurut Bogum.
“Ah, Mr. Park Bogum. Baik, mari saya antar ke table Anda,” ujar wanita itu ramah sambil memegang earpiecenya dan menggumamkan kalimat yang tidak bisa ia dengar. Berbicara dengan entah siapa diujung lainnya sambil berjalan pelan, meminta Bogum untuk mengikutinya.
Oh, dia berbicara bahasa yang sama denganku. Baiklah, setidaknya aku sudah memberikan kesan yang baik diawal, pikirnya.
Bogum mengekor wanita itu berjalan memasuki ruangan restoran. Jujur, ia terpukau melihat setiap sudut tempat itu. Ajaibnya, belum genap sepuluh menit ia berada di Aetig, namun ia sudah nyaman—tidak, ia sudah merasa jatuh cinta dengan tempat ini. Keinginannya untuk diterima kerja di restoran ini rasanya semakin besar.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Bogum akhirnya sampai di meja yang dijanjikan oleh Mr. Kwan—cukup tersembunyi; cocok untuk para tamu menginginkan privasi. Bogum tidak tahu siapa yang mendesain restoran ini dulu, namun ia berterima kasih karena orang tersebut sangat memperhatikan detail dan suasana yang ingin dirasakan oleh tamu. Bogum akhirnya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Ia mengambil duduk di sisi seberang dinding kaca gedung. Menurutnya, sisi ini adalah sisi yang pas sehingga wajah dan gesturnya akan terlihat saat interview nanti.
Ingat, small things matter, batinnya.
Entah sudah berapa kali Bogum merapalkan doa agar interview hari ini berjalan dengan lancar. Kata orang, jika seseorang merasa gugup saat akan melakukan sesuatu, itu bisa berarti dua hal; dan menurut Bogum, gugup yang ia rasakan saat ini cenderung terarah pada sesuatu yang positif.
Semoga prediksinya benar.
Selang beberapa menit, Bogum mendengar langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Bunyi geletak sepatu pantofel yang beradu dengan lantai itu semakin terdengar jelas kala ia menyadari bahwa seseorang sudah berdiri di sampingnya sambil tersenyum. Bogum lantas menoleh dengan cepat lalu berdiri. Membungkukkan badan dan menyambut jabat tangan pria itu dengan mantap.
'First thing, jabatlah tangan seseorang yang menurutmu penting dengan mantap dan kuat. Tunjukkan bahwa dirimu antusias bertemu dengan orang itu.' Kata-kata Jaebeom padanya dulu saat di New York tiba-tiba muncul di kepalanya. Tentu kalimat itu adalah hal yang selalu tertanam dalam memorinya dan ia lakukan kapanpun saat Bogum melamar pekerjaan. Jujur, Jaebeom memang memiliki pengaruh yang positif untuk dirinya. Ia akui itu. Sahabatnya itu pun selalu mendukungnya saat ia masih tinggal di New York dulu.
Pria yang saat ini berdiri di hadapannya menunjukkan senyum lebarnya, yang sudah tahu bahwa beliau adalah Mr. Kwan. Bogum sempat melakukan research sederhana mengenai Aetig dan grup yang menaungi restoran itu. Mr. Kwan menjabat sebagai Head Manager di Seoul, sedangkan Mr. Ben adalah Director & Founder dari Aetig. Kebetulan, sang pemilik Aetig sedang berlibur ke Seoul, sekaligus mengunjungi keluarganya yang tinggal di sini. Well, Bogum tahu hal ini justru dari atasannya yang merupakan teman dekat beliau. Terkadang Bogum memiliki 'pekerjaan sampingan' yaitu menjadi teman ngobrol atasannya di New York.
“Halo, Park Bogum. Saya Mr. Kwan, welcome to our not-so-big restaurant.” Pria itu memulai dengan santai sambil menarik kursinya dan duduk. Mr. Kwan tidak terlihat setua yang ia bayangkan. Bogum menerka, sepertinya pria yang ada di depannya ini berumur empat puluhan. Bogum mengagumi orang-orang yang masih muda tetapi memiliki semangat kerja yang tinggi. Ah, another lessons for today, pikirnya.
“Ah, this place is so nice yet exquisite. Desain interiornya saya acungi jempol, Mr. Kwan. It feels warm yet elegant, kalau saya boleh berpendapat.” Bogum menjawab dengan sopan tanpa sugarcoating. Kejujuran adalah hal nomor satu untuknya, dan Aetig memang terlihat seperti apa yang dideskripsikan oleh Bogum pada beliau.
Mr. Kwan membalasnya dengan tersenyum dan mengangguk. Terdapat sinyal positif di sana.
“Ah, terima kasih Bogum. Ini semua berkat kerja keras Mr. Ben dan ide-ide briliannya. So anyway, dia akan sedikit telat. Please tell me about yourself. Saya ingin dengar cerita dan pengalaman kamu.”
—
“Mam, please kindly help me to call Aetig? Taeby sama Bunda katanya sudah on the way ke atas. Gguk minta tolong diinfo aja kalau mereka sudah mau sampai,” kata Jeongguk meminta tolong pada Mamanya sambil menyerahkan handphonenya. Jalanan hari ini agak macet, tentu karena hari itu bertepatan dengan weekend. Padahal rumahnya dan rumah Taehyung berdekatan; tapi mungkin hari ini supir kekasihnya itu meluncur terlalu cepat. Jeongguk memilih melajukan mobilnya dengan santai hari ini; yang berakibat dirinya dan Mama Jeon akan sedikit terlambat.
Mamanya mengangguk sambil menyambar handphone Jeongguk dan menelepon Aetig. Ia akui, anak semata wayangnya itu memang terlalu terorganisir. Jeongguk adalah seseorang yang perfeksionis. Ia ingin semua rencananya berjalan dengan lancar. Bahkan ia merasa perlu untuk memberitahu pihak Aetig bahwa kekasihnya dan Bundanya sebentar lagi akan sampai. Mama Jeon hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum simpul. Jeongguk memang menuruni sifat uniknya.
Tidak lama setelah Mama Jeon selesai menelepon Aetig, mobil Jeongguk akhirnya memasuki kawasan gedung tempat restoran itu berada. Sekilas ia melihat lahan parkir yang sudah penuh—beruntunglah tadi Taehyung menawarkan agar supirnya yang memarkirkan mobil Jeongguk saat sudah sampai. Hitung-hitung akan mengurangi waktu keterlambatan dirinya dan Mama Jeon.
Jeongguk melihat dari kejauhan supir Taehyung yang sudah menunggunya di lobi. Ia lalu membunyikan klakson pelan untuk memberi sinyal pada beliau. Sebelum turun dari mobil, Mama Jeon dengan cepat mengambil clutchnya dari jok belakang dan mengambil lipstik mauve favoritnya; tak lupa menyemprotkan parfum di ceruk leher dan pergelangan tangannya. Jeongguk lalu membuka pintu mobil dan menyapa supir Taehyung. Mengobrol barang sebentar dan mengucapkan terima kasih. Akhirnya Jeongguk dan Mama Jeon memasuki gedung dan berjalan menuju lift.
Aetig sudah tidak asing ditelinga Jeongguk; Mamanya sering menyebutkan nama restoran itu hampir setiap minggu. Memang, Aetig adalah salah satu restoran ternama di Seoul yang sudah running di food and beverages industry sejak dua tahun silam. Selama itu pun, Jeongguk sudah melihat nama Aetig dan grup restorannya seliweran di layar kaca. Namun, belum pernah sekalipun baik Jeongguk maupun Taehyung mampir ke sana. Alasan yang paling utama adalah: terlalu mahal. Uang saku pribadi mereka berdua belum cukup untuk dihabiskan di tempat ini. Menurut Taehyung, asal dengan Jeongguk, semua tempat akan terasa lebih nyaman.
Sesampainya di depan pintu Aetig, Jeongguk disapa oleh seorang waiter wanita; ia melihat tersemat nametag bertuliskan Johanna di dada. Wanita itu lalu menyapa mereka berdua dengan ramah dan menanyakan nama reservasi untuk hari ini. Saat Mama Jeon menyebutkan namanya, wanita itu langsung menyunggingkan senyum lebarnya dan berkata dengan lembut. “Ah, Nyonya Jeon, mari, saya antar ke table. Nyonya Kim dan putranya sudah datang.”
Mama Jeon dan Jeongguk lalu berjalan mengekor wanita itu yang membawa mereka berkeliling restoran terlebih dahulu. Jeongguk yang senang dengan artistik dan desain interior restoran dan kafe langsung teringat akan kekasihnya. Taehyung pasti senang sekali hari ini mengunjungi Aetig. Jeongguk bertaruh dengan dirinya sendiri, kemungkinan besar kekasihnya itu akan mengajaknya berkeliling ke setiap sudut restoran untuk mengabadikan desain interior yang menghiasi seluruh restoran.
Jeongguk pun mengedarkan pandangan sekali lagi. Jujur, Aetig jauh lebih indah dan terlihat luxurious jika dibandingkan dengan yang ia lihat di layar kaca dan lewat cerita Mamanya. Pantas saja ia sering melihat beberapa artis papan atas dan rentetan nama konglomerat diberitakan sedang menghabiskan waktu dengan kolega dan/atau keluarganya di restoran ini.
Dari kejauhan, Jeongguk dapat melihat Bunda Kim dan Taehyung di table mereka. Taehyung terlihat sangat tampan; ia memakai suit berwarna biru langit yang kebesaran, sedang Bunda memakai kemeja putih yang dibalut dengan suit serupa dengan Taehyung berwarna hitam. Mereka berdua terlihat sedang duduk berhadapan sambil berbincang. Tidak seperti dalam pembicaraan serius. Justru sebaliknya, Taehyung terlihat tersenyum dan tertawa lebar, menunjukkan giginya. Walaupun tidak terdengar, namun Jeongguk seperti bisa merasakan selebar apa tawa kekasihnya itu.
Kadang ia berpikir, seberapa besar cintanya pada Taehyung; kekasih sekaligus sahabatnya selama lima tahun silam. Tujuan hidupnya saat ini hanya dua; membahagiakan Mama Jeon dan Taehyung.
Tanpa sadar, Jeongguk ikut tersenyum melihat Taehyung tertawa lebar, sampai ia tidak sadar bahwa kekasihnya itu sudah melambaikan tangan padanya sambil menunjukkan senyum kotaknya. Jeongguk lalu tersadar dan melambaikan tangan, membalas senyum kekasihnya sambil setengah berlari ke arah table mereka. Mama Jeon hanya bisa menggeleng sambil tertawa, lalu mengucapkan terima kasih pada sang waiter yang berdiri bersisian dengannya.
“Hai, sayang.” Sapa Jeongguk lembut lalu mengecup pelan kedua pipi Taehyung, tidak ketinggalan membubuhkan satu kecup di dahi kekasihnya. Belum sempat Jeongguk menyapa Bunda Kim, Taehyung sudah mengulurkan kedua tangannya dan memeluk leher Jeongguk untuk menariknya lagi. Terdengar cekikikan Taehyung di telinga Jeongguk yang membuat bulu kuduknya meremang.
Hell, Jeongguk memang sudah kepalang rindu dengan kekasih manisnya itu.
“Hei, Ggukie! I miss you!” Pekik Taehyung sambil membalas Jeongguk dengan mencium pipi kanannya. Ia lalu terkekeh melihat kedua pipi Jeongguk memerah karena aksi kecil darinya. Dari ujung matanya, Taehyung melihat Bundanya menggelengkan kepala seperti Mama Jeon tadi; melihat dua sejoli yang rasanya seperti baru kemarin menjalin status pacaran.
Jeongguk lantas mencubit pelan pipi Taehyung setelah menerima satu hadiah di pipinya, lalu menyapa Bunda Kim sambil memeluk beliau erat. “Hi, Bunda. Apologize karena Taeby narik Jeongguk duluan. Kebelet banget kayaknya minta cium.” Kata Jeongguk sesaat setelah Bunda melepaskan pelukannya. Bunda Kim hanya tertawa pelan, sedang Mamanya hanya tersenyum.
“That's okay, Gguk. Bunda tahu pasti kamu udah kangen. Tae juga daritadi whining terus. Rewel nanya kamu udah sampai mana.” Kata Bunda sambil melihat Taehyung dan Jeongguk bergantian. Anak laki-laki Bunda Kim itu hanya memutar kedua bola matanya lalu menunduk. Taehyung malu. Namun, tak berapa lama, Jeongguk hanya terkekeh pelan sambil mengulurkan tangan kanannya dan mengelus pelan punggung tangan Taehyung.
“Hehe, I miss him, indeed, Bunda.”
Mama Jeon akhirnya memanggil Johanna kembali setelah sekitar sepuluh menit mereka menghabiskan waktu untuk memilih lunch package yang akan dinikmati untuk makan siang. Jeongguk mengobrol dengan Taehyung sambil sesekali mencium pipi kekasihnya itu; sedang Bunda Kim dan Mamanya sedari tadi terdengar membicarakan keseharian mereka, diselingi dengan pembicaraan bisnis yang sedang mereka jalani.
Waiter yang bertugas melayani mereka itu akhirnya mencatat pilihan package didalam otaknya, lalu tersenyum sambil mengangguk tanda ia sudah paham. Namun, tiba-tiba Johanna—sepertinya Mama Jeon sudah mengenal wanita ini dengan baik, terlihat dari gestur dan gaya bicara Mama yang santai dengannya—bertanya pelan pada beliau. “Maaf, Nyonya, Jeon, Mr. Ben is here already. Apa Anda mau bertemu sekarang?”
Jeongguk yang mendengar nama sang pemilik restoran itu pun lantas memalingkan wajahnya dari Taehyung dan menyela pembicaraan antara Johanna dan Mamanya. Ben adalah salah satu orang yang membantu bisnis Mamanya hingga sekarang. Beberapa kali dirinya mendengar Mamanya berbicara soal bisnis via telepon dengan Ben. Jeongguk pun sudah dua kali bertemu langsung dengan pria yang menurut Mamanya adalah 'sahabat bisnis' beliau itu. “Whoa, Uncle Ben is here, Mam? Gguk mau ketemu dong.”
Taehyung mengernyit kala mendengar nama yang asing untuknya. Ia tidak pernah memperhatikan nama orang. Ia hanya hafal dengan wajah mereka. Taehyung akui, ia sering lupa dengan beberapa nama orang penting, namun saat melihat wajahnya, ia pasti ingat. Sekilas ia melirik ke arah Bundanya, tidak ada raut bingung terlukis diwajah cantiknya itu. Apa hanya Taehyung yang tidak tahu Uncle Ben itu siapa?
“Ggukie, beliau itu siapa?” Tanyanya singkat dengan polosnya. Manik hazelnya membesar, kedua matanya mengerjap bingung.
Jeongguk lalu menoleh ke arah Taehyung lalu mengelus pipinya pelan. God, I love him so much, batinnya. “He is the founder of Aetig, sayang. Yang kamu sering lihat di televisi. I know kamu pasti nggak inget nama, tapi inget sama mukanya deh, nanti.” Jelas Jeongguk pelan sambil tersenyum. Ia melihat Taehyung terbelalak, kedua manik hazelnya memancarkan sinar ragu namun hanya menggumam; memberi sinyal tanda mengerti.
Lagipula menurut Jeongguk, sosok Uncle Ben tidak begitu penting untuk Taehyung. Ia hanya ingin memperkenalkan kekasihnya pada seseorang yang sudah ia anggap seperti pamannya sendiri; walaupun memang, Jeongguk baru bertemu dengan beliau dua kali dan selebihnya hanya bertegur sapa via telepon. Jeongguk teringat bahwa dirinya belum pernah menceritakan sosok Ben pada kekasihnya.
Bunda dan Mama yang sedang mengobrol asyik berdua tidak menyadari bahwa Taehyung dan Jeongguk pun sedang tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Kedua Ibu mereka membicarakan mengenai bisnis masing-masing—Taehyung tidak mengerti. Ia hanya tersenyum melihat Bunda begitu antusias menjelaskan bisnisnya yang sedang berjalan sekarang.
Taehyung tiba-tiba teringat dengan keadaan keluarganya beberapa tahun silam; Bunda dan Papa yang selalu bertengkar hampir setiap hari—memperdebatkan soal bisnis Bunda yang sedang memburuk, Papa yang selalu pulang malam dan sibuk dengan bisnisnya. Bunda tidak pernah membicarakan mengenai bisnisnya. Bunda pun tidak meminta tolong sampai titik terakhir; walaupun Papa adalah suaminya sendiri. Beliau hanya pernah bercerita bahwa partner bisnisnya mundur karena suatu dan lain hal—Taehyung pernah dengan tidak sengaja mendengar pembicaraan Bunda dengan seorang wanita diujung telepon kala itu.
Memutuskan untuk bercerai agar beliau berdua dapat 'bernapas' adalah keputusan yang sulit, Taehyung tahu. Tapi rasanya, melihat Bundanya sendiri sekarang bahagia dengan hidupnya, itu adalah hal yang terpenting untuk Taehyung. Rasanya bahagia adalah satu-satunya tujuan hidup Taehyung, karena pada kenyataannya, hidupnya sekarang hanya berdua dengan Bunda.
Taehyung bersyukur, semesta mempertemukannya dengan Jeongguk lima tahun lalu. Siapa sangka, seseorang yang berkenalan dengannya di mobil antar jemput sekolah adalah sahabatnya yang setia ada disampingnya—selain Jimin, tentunya—dan sekarang sudah menjadi kekasihnya. Taehyung adalah seorang yang visioner; membayangkan bagaimana jika ini terjadi, bagaimana jika itu terjadi—dan beruntunglah, hampir semua vision Taehyung akan hidupnya sesuai dengan apa yang ia bayangkan.
Kecuali vision nya soal Bogum.
Ah... apa kabarnya ya dia sekarang? Taehyung tidak mau munafik; beberapa kali sejak pertemuan dirinya dan Jimin dengan Jaebeom di kafe Haru, ia teringat akan sosok Bogum. Bohong memang kalau Taehyung berkata bahwa ia sudah melupakan seseorang yang entah... bisa disebut mantan kekasih atau tidak? Hell, Taehyung masih kelas empat waktu itu. Namun Bogum adalah salah satu orang yang memiliki memori dengannya. Walaupun memori yang Taehyung miliki dengan Bogum hanya memori pahit, tapi Bogum memiliki andil yang cukup besar untuk hidupnya sekarang.
Kontradiktif? Jelas. Namun Taehyung berusaha memikirkannya menjadi suatu hal yang positif.
Ia tidak sadar sudah melamun selama tiga menit saat Jeongguk mencolek pipinya dan tertawa kecil. “—hyung? Sayang?” Kekasihnya itu memanggilnya lembut. “Kok ngelamun? Mikirin apa?”
Taehyung hanya menyunggingkan senyum kotaknya sambil tertawa renyah. “Nggak apa, Ggukie. Cuman kepikiran sesuatu aja.” Ia menjawab singkat. Beruntung Jeongguk hanya menganggukan kepalanya lalu mengalihkan pembicaraan lain.
Selang tiga puluh menit berlalu, akhirnya Johanna datang menghampiri table mereka dengan membawa dua piring terlebih dahulu untuk menyajikan pesanan Bunda dan Mama; diikuti oleh dua orang waiter di belakangnya yang membawa pesanan Jeongguk dan Taehyung. Berhubung sudah sangat lapar—ya, Taehyung sudah mengeluh tiga kali—kekasih Jeongguk itu memekik pelan sambil tersenyum lebar. Sudah ada dalam bayangannya bahwa ia akan menyantap five course yang menurut Mama dan Bunda masing-masing sangat enak.
Selama makan siang, mereka berempat saling bersenda gurau dan bercerita tentang keseharian Jeongguk dan Taehyung beberapa hari belakangan. Ritual makan siang bersama setiap hari Minggu di rumah Taehyung dan/atau Jeongguk sempat tertunda, lantaran kedua anak mereka memiliki jadwal sendiri dan Mama serta Bunda sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Jeongguk beberapa kali menoleh ke arah Taehyung yang sedang asyik sendiri dengan makanannya. Jeongguk tidak dapat menghitung dengan jarinya sudah berapa kali Taehyung melenguh karena makanan hari ini sangat enak—katanya tadi dengan memejamkan mata sambil mengunyah satu potong steak yang menjadi course terakhir sebelum dessert dikeluarkan. Wajahnya sangat lucu saat berbicara pada Jeongguk tadi; Taehyung bilang mereka berdua harus makan di Aetig lagi nanti saat Jeongguk berulang tahun. Padahal masih dua bulan lagi, tapi Taehyung sudah bersemangat. Jeongguk mengiyakan dengan mengangguk mantap lalu meneguk air mineralnya hingga habis.
Apapun untuk Taehyungnya, batin Jeongguk.
Hari Minggu merupakan hari yang cukup favorit di Aetig; tidak terasa mereka berempat sudah dikelilingi oleh beberapa tamu yang terus berdatangan. Menjadi ramai memang; tidak sesepi beberapa jam sebelumnya saat mereka baru datang, namun, tata interior Aetig diatur sedemikian rupa oleh Ben sehingga setiap tamu masih memiliki privasi.
Jeongguk dengan Mama serta Bunda sedang asyik berbincang bertiga saat Taehyung baru saja kembali ke meja sehabis dari toilet. Mereka bertiga tidak sadar bahwa sudah ada sesosok pria seumuran Mama Jeon yang berjalan menghampiri meja mereka. Taehyung yang pertama kali melihat pria itu melempar senyum ramah padanya. Taehyung yang merasa canggung hanya membalas dengan senyum simpul namun wajahnya tidak bisa menyembunyikan raut penasarannya. Kok orang ini terlihat tidak asing ya, pikirnya.
Pria itu mengenakan pakaian yang cukup santai; kemeja putih dibalut dengan casual top suit warna abu gelap dan celana jins hitam, serta pantofel warna hitam. Pakaiannya berbeda dengan para tamu yang cenderung seperti orang yang mau pergi pesta—kata Taehyung tadi pada Jeongguk.
Saat pria itu sampai dan berdiri di pinggir meja mereka, akhirnya ia buka suara.
“Hai, Se-ah. Apa kabar?” Sapa pria itu ramah memanggil nama kecil Mama Jeon.
Mama Jeon yang sedang sibuk tertawa dengan Bunda Kim seketika menoleh dan selang beberapa detik, terlukis senyum lebar di wajah beliau.
“Oh my God, Ben!” Mama Jeon membalas dengan sedikit memekik lalu berdiri dan memeluk pria itu, yang Taehyung tebak, inilah Uncle Ben yang dibicarakan sejak tadi.
Ben, owner and founder Aetig. Pantas saja Taehyung sering melihat pria ini muncul beberapa kali saat menonton program favoritnya di televisi. Ben sering muncul jika sang host dari program itu sedang ke New York.
—
Mr. Kwan dan Bogum sedang berbincang selama sepuluh menit, kala seseorang yang Bogum tahu bernama Mr. Ben menghampiri meja mereka dengan seseorang yang terlihat seperti sekretarisnya. Ben terlihat ramah dan mengenakan pakaian yang cukup santai untuk ukuran Aetig. Bogum mengagumi Ben sejak beberapa tahun lalu; passion nya dalam menaungi restaurant group Aetig patut diacungi jempol—terlebih lagi, Bogum merasa Ben perlu dianugerahi penghargaan khusus. Walaupun Aetig baru seumur jagung, namun namanya sudah dikenal di setiap sudut New York dan juga Seoul—kota tempat Aetig pertama kali berdiri.
“Hi, guys.” Ben menyapa mereka berdua lalu menarik kursi di depan Bogum. Ia lantas berdiri, pun Mr. Kwan untuk memberi salam pada Mr. Ben. Beliau lalu melihat ke arah Bogum sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Bogum dengan sigap meraih tangan beliau untuk bersalaman.
“Halo, Mr. Ben. Nice to meet you, saya Park Bogum.” Ia menggenggam erat dan memberikan senyum tulusnya.
Mr. Ben lalu membalas senyumnya sambil menjawab dengan santai. “Wow, strong grip, young man. So Aetig. I like you already.” Beliau lalu duduk di kursinya sambil mengeluarkan handphonenya dari saku celananya.
Mendengar compliment di hari interviewnya adalah salah satu hal yang tidak ia sangka akan terjadi. Bogum hanya tersenyum lalu membalas dengan mantap. “Ah, terima kasih, Mr. Ben.”
Mr. Kwan lalu terlihat sedang berbincang dengan sekretaris Mr. Ben. Entah apa yang dibicarakan dan Bogum juga tidak ingin menguping. Hanya saja, Bogum sekilas mendengar Mr. Kwan mengatakan pada sekretaris Mr. Ben untuk memanggil Johanna dan membawakan minuman untuknya. Sekretaris itu mengangguk kemudian, hendak beranjak pergi dari meja itu, kala Ben tiba-tiba memanggilnya.
“Sebentar ya, Bogum—” katanya pada Bogum sebelum akhirnya memanggil nama sekretarisnya. “Soo-ssi, tolong info Johanna kalau bill Mrs. Jeon and family dimasukkan ke bill saya saja. And please tell Johanna to serve them one hundred percent. She's my dear friend. Tolong dilayani dengan baik ya, thanks.” Kata Ben cepat, yang langsung dipahami oleh sekretarisnya. Soo mengangguk dan mengatakan permisi, saat Ben memanggilnya lagi.
“Ah, tolong bilang juga saya ada tamu dulu, nanti saya akan ke meja mereka.”
Bogum mendengar Soo menjawab “Baik, Mr. Ben” lalu pergi meninggalkan mereka bertiga. Mr. Ben terlihat sangat ramah dengan Soo maupun Mr. Kwan. Tidak terlihat Ben seperti bersikap bossy atau sombong seperti yang media ceritakan. Auranya pun terasa sangat positif dan tidak mengintimidasi. Namun Bogum tahu dari atasannya di New York, Ben adalah orang yang cukup tegas dan disegani. Bogum dapat melihat itu dari cara Mr. Kwan dan Soo berkomunikasi dengan beliau. Ia hanya berharap dapat memberikan first impression yang baik pada Ben.
“Jadi bagaimana, Kwan? Sudah ngobrol dengan Bogum?” Tanya Mr. Ben kemudian sesaat setelah menegak air mineral dingin di hadapannya. Bogum yang duduk menghadap ke luar gedung dapat merasakan terik matahari yang terasa menyengat. Namun entah, lagi-lagi Bogum dibuat takjub dengan cara founder Aetig di hadapannya ini membuat suhu di Aetig tetap sejuk dan membuat suasana nyaman untuk para tamunya.
Mr. Kwan lalu tertawa kecil sambil mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu kiri Bogum. “Yeah, I did. He's competent enough. I only talked for... ten minutes maybe? Kamu bisa menanyakan hal lain, Ben. Bebas. You're the owner and founder, tho.”
Mr. Ben hanya tertawa lalu mengangguk. Ia sudah mengenal Mr. Kwan jauh sebelum Aetig dan restaurant group nya berdiri. Mr. Kwan adalah adik tingkatnya dulu semasa kuliah di New York; sama-sama orang asing dari Korea Selatan untuk menimba ilmu selama beberapa tahun. Pertemuan mereka sampai saat ini masih sering menjadi bahan candaan antara keduanya.
The New York Public Library menjadi saksi bagaimana rasanya Mr. Ben dan Mr. Kwan seperti saudara jauh yang sudah lama tidak bertemu. Heboh. Rasanya seperti menemukan jarum di tengah jerami—well, karena sebenarnya mereka berdua sama-sama tidak mengenal siapapun warga negara Korea Selatan di New York. Beruntunglah mereka bertemu di Perpustakaan itu. Menjalin persahabatan yang cukup lama—berbekal percaya dan akhirnya bekerja bersama.
“Well, kalau Kwan mengatakan seperti itu, saya percaya dengan dia. Saya hanya butuh tahu beberapa hal. Apa yang membuat kamu tertarik bergabung di Aetig, Bogum?” Tanya beliau santai sambil menyilangkan kaki kirinya diatas kaki kanan. Mr. Kwan hanya tersenyum. Ia cukup mengenal Mr. Ben. Jika sahabatnya sudah melakukan gestur seperti ini, tandanya ia sudah membuka diri dengan siapapun lawan bicaranya.
Mr. Ben sempat bercerita pada Mr. Kwan bahwa Bogum adalah salah satu karyawan yang sedang freelance dibawah naungan sahabatnya di New York. Sangking teladannya, Bogum terkadang mementingkan pekerjaannya dibandingkan kuliahnya di sana—salah satu alasan mengapa atasan Bogum di New York belum menaikkan status Bogum menjadi karyawan tetap; Sahabat Mr. Ben hanya tidak ingin anak pintar, cerdas, dan apik seperti Bogum lebih mementingkan pekerjaannya daripada studinya. Apalagi ia tahu, bahwa living cost di New York sangat tinggi. Pun alasan kedua adalah, sahabat Mr. Ben belum mampu membayar gaji Bogum sebagai karyawan tetap. Nilai jual Bogum pasti akan tinggi sekali.
Tahu bahwa Bogum adalah mahasiswa rantau dari Korea Selatan, maka sahabatnya itu merekomendasikan anak muda itu pada Mr. Ben. Ia tahu, Bogum adalah seseorang yang pas dan pantas untuk bekerja dengan Mr. Ben. Bogum akan menjadi sukses berada dibawah naungan beliau dan empirenya.
Bogum yang mendengar pertanyaan itu menarik napas dan mengatur dirinya sebelum menjawab Mr. Ben. “Sebelumnya saya berterima kasih, karena Anda berkenan mewawancara saya. Jujur, Mr. Ben, saya pertama kali mengenal Aetig via televisi dan baca beberapa buku Anda. Selebihnya, saya tahu Anda dari atasan saya. Selama setahun saya bekerja secara freelance di sana, I enjoyed it every single day. Namun seperti yang Anda tahu sebelumnya, my boss wanted me to grow, so yeah, I came here.”
Jawaban Bogum terkadang bisa dinilai orang sebagai jawaban monoton yang tidak memiliki daya tarik sama sekali. Namun itulah ciri khas dirinya. Tidak pernah sugarcoating, because it will strike you someday. Entah, kata-kata Jaebeom—lagi—senantiasa melekat di memorinya. Jaebeom memiliki kenangan tersendiri sepertinya.
Mr. Ben mengangguk lalu tersenyum puas dengan jawaban Bogum. “Kamu benar-benar segambar dengan apa yang sahabat saya ceritakan, Bogum. Impressive. But, do you really want to join us?”
Pertanyaan Ben seketika membuat senyum Bogum terangkat.
Does he really want to join? Of course he does. Ia merasa bahwa ini adalah salah satu opportunity yang semesta berikan untuknya agar dirinya dapat berkembang lebih baik. Lagipula, New York hambar untuknya jika hanya dengan pergi-pulang ke kampus setiap hari. Ia butuh kegiatan lain. Jujur, freelance nya saat ini di New York sedang sepi job. Memang, waktu kosong tersebut dihabiskan olehnya dengan jalan-jalan sekitar New York dan ke beberapa tempat unik. Namun bagi Bogum, itu semua tidak cukup.
Belum sempat Bogum menjawab, Mr. Ben menyelanya. (Calon) bosnya itu sepertinya bisa membaca pikirannya. “Bogum, kamu tidak perlu jawab sekarang, saya tahu kamu concern terhadap beberapa hal. Tapi yang ingin saya tahu dari kamu, apakah kamu ada ketertarikan? Karena, setelah dua bulan summer break kamu—ya, saya tahu dari sahabat saya—saya akan memboyong kamu untuk bekerja di Aetig New York. And I'm planning to open another one in Tokyo with my business partner. Jadi, ya, no rush, Bogum. Tidak perlu sekarang, tenang saja.”
Setelah menjelaskan pada Bogum, Mr. Ben terlihat tersenyum sambil meneguk segelas air mineral dingin yang sedari tadi sudah beberapa kali di-refill oleh Johanna. Ia tahu, Bogum akan tertarik dengan tawarannya. Ia sebenarnya ingin mendapatkan jawaban sekarang juga. Namun sepertinya, Bogum bukan tipe orang yang bisa dipaksa. Anak muda ini, menurutnya, harus memiliki kemauan sendiri.
Mr. Kwan di sampingnya hanya bisa mengulum senyum dari balik kepalan tangannya. Mr. Ben memang sudah sejak lama 'mengincar' Bogum untuk bergabung dengan Aetig. Yang Bogum tidak tahu adalah, hasil kerjanya di New York sudah banyak beredar di kalangan perusahaan kelas atas, termasuk beberapa kompetitor sahabat Mr. Ben. Sahabatnya merasa, Mr. Ben lebih 'memerlukan' Bogum dibandingkan dirinya.
Seperti dihujani berkat bertubi-tubi, Bogum tidak sadar bahwa kedua matanya sudah terbelalak. Ia tidak menyangka bahwa niat awalnya ingin mencari pekerjaan selama ia pulang ke Seoul akan berbuah seperti ini. Bogum bukan seseorang yang terlalu ambisius dengan hidupnya, namun ia tahu tujuan hidupnya. Bogum sudah merencanakan matang-matang masa depannya. Menjadi bagian dalam kesuksesan para pengusaha kelas atas dan bisa terbang keliling dunia untuk bekerja adalah impiannya sedari kecil.
Namun Bogum tidak ingin serta merta menjawab tawaran beliau. Ia merasa akan terlihat seperti seseorang yang kurang ajar; terlihat tertarik setelah ditawari ini-itu. Bogum memang sudah memutuskan dari sejak awal mengobrol dengan Mr. Kwan bahwa ia akan bergabung dengan Mr. Ben dan Aetig.
“Thank you, Mr. Ben. Saya berterima kasih atas tawarannya yang sungguh, di luar dugaan saya. Tapi, apa saya bisa menjawab paling lambat besok? Apa diperbolehkan?” Tanya Bogum hati-hati. Biarlah ia dianggap terlalu besar gengsinya, namun Bogum hanya ingin bersikap sopan. Namun dalam hatinya, ia sedikit takut juga dengan jawaban Mr. Ben setelahnya. Apakah tawaran beliau akan hangus? Bogum sesegera mungkin membuang pikiran negatif dari otaknya.
Mr. Ben di depannya lalu menghela napas lega. Ia merasa Bogum adalah seseorang yang tahu nilai diri sendiri. Tidak mudah mengiyakan tawaran yang diberikan.
“It's more than okay. It takes a lot of consideration, tho, Bogum. Nggak apa, saya akan tunggu jawabannya kapanpun. Kamu bisa kabari Kwan saja, ya?” Mr. Ben menjawab dengan ramah sebelum akhirnya ia mengecek handphonenya yang ditelungkupkan selama interview tadi. Tidak terasa sudah satu jam Bogum berbincang dengan Mr. Ben dan Mr. Kwan. “And anyway, don't call us by Mister, ya, Bogum. We're fine with just Ben and Kwan. Feel free. Saya tidak ada masalah dengan honorifik.”
Bogum lalu tersenyum dan mengangguk paham. Ia senang dirinya seperti sudah 'diterima' oleh keluarga Aetig. Rasanya segala stereotip mengenai Mr. Ben yang beredar di luar sana terhapus dari memori otaknya.
Bogum yakin, ia akan memberikan jawaban untuk bergabung di Aetig besok pagi.
Mr. Kwan dan Bogum akhirnya berbincang santai berdua karena Mr. Ben terlihat sibuk dengan handphonenya untuk memanggil Soo. Bogum teringat, Mr. Ben akan bertemu dengan temannya di sini. Mrs. Jeon namanya—kalau Bogum tidak salah dengar tadi. Dari kejauhan, terlihat Soo berlari kecil untuk memberitahu Mr. Ben bahwa Mrs. Jeon sudah mencarinya sejak tadi. Mr. Ben lalu mengangguk dan tertawa kecil sambil berkomentar. “Dasar dia tidak sabaran.”
Melihat Mr. Ben seperti akan beranjak dari duduknya, Bogum lalu dengan sigap berdiri dan memberi hormat pada Mr. Ben. Sedang beliau lalu menepuk pundak Bogum dan memberi senyum ramah. “Saya pamit dulu. Teman saya sudah mencari saya. Thank you so much, Bogum. Semoga saya bisa mendengar kabar baik dari kamu kapanpun itu.”
“The pleasure is all mine, Mr... I mean, Ben.” Bogum tersenyum kaku lalu mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Mr. Ben. Spontan, lawan bicaranya itu lalu menjabat tangan Bogum erat dan menepuk punggung tangannya kemudian. Ia lalu mengisyaratkan pada Mr. Kwan untuk mengajak Bogum sekalian makan siang di Aetig. Pun tidak lupa, Mr. Ben menginfokan Johanna yang sedari tadi sudah berdiri di radius dekat meja mereka untuk memasukkan bill meja mereka ke bill Mr. Ben.
Mr. Ben pun berlalu dari meja mereka, diikuti oleh Soo dan Johanna. Beliau terlihat berjalan dengan pelan sambil mengontrol situasi Aetig siang hari ini. Bogum lalu mengalihkan pandangannya ke arah seorang waiter lainnya yang hendak menyodorkan buku menu untuknya dan Mr. Kwan.
Bogum sedang asyik menelusuri buku menu itu dan sesekali berbincang dengan Mr. Kwan, saat ia mendengar seorang wanita memekik dengan cukup keras dari kejauhan, terdengar dari mejanya. Seketika ia menoleh ke arah suara yang berkata seperti “oh my God, Ben!”
Bogum melihat Ben sedang memeluk seorang wanita berambut pendek, yang mungkin usianya sebaya Mamanya. Ia tersenyum melihatnya. Sepertinya Mr. Ben sudah lama tidak bertemu dengan temannya—dilihat dari seberapa erat mereka berpelukan. Walaupun jarak dari tempatnya duduk dan meja keluarga itu, Bogum bisa merasakan.
Namun ia tidak pernah menyangka, siang hari akan merasa seperti disambar petir, kala seorang wanita lainnya berdiri di samping Mrs. Jeon. Ia mengenali sosok itu. Sosok yang selama ini ada dalam bayang-bayang hidupnya. Sejauh apapun ia berlari ke New York, rasanya gravitasi akan selalu menariknya pada kejadian beberapa tahun silam.
Jujur, Bogum sangat enggan memicingkan matanya; ingin melihat dua sosok laki-laki yang sekilas sempat tertangkap oleh kedua matanya—duduk di hadapan Mrs. Jeon dan wanita itu.
Namun sayang, belum sempat Bogum menata jantungnya yang berdetak serasa ia sedang dikejar seekor Harimau, saat akhirnya Mr. Ben mengambil duduk di sisi kepala meja, diikuti oleh Mrs. Jeon dan wanita itu kemudian.
Terlihat dua sosok laki-laki; ia tidak mengenal yang satu sebelumnya. Lalu Bogum dengan lambat, menggerakkan kedua bola matanya untuk melihat siapa sosok lain yang ada di sampingnya. Dari ujung matanya, ia melihat laki-laki itu tersenyum dengan gigi kotaknya; ear to ear. Menjulurkan tangan pada Mr. Ben untuk berkenalan.
Bogum tidak perlu mendengar nama pemilik senyum itu.
Ia sudah hafal sejak dulu. Sejak enam tahun lalu, senyum itu menjadi bayang-bayang mimpinya siang dan malam.
Itu Taehyung.
—