Finally?

“Tete, mau ikutan kita pada makan-makan nggak? Kak Jin ada mau traktir, nih.” Jimin berkata sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit basah oleh keringat. Handuk kecil yang dibawanya sedari tadi hanya menjadi hiasan di pundak sebelah kirinya. Sedang Hoseok berdiri tidak jauh dari Taehyung dan Jimin untuk mengambil foto pemandangan Sungai Han siang ini.

Seojoon hari ini membatalkan janji olahraga bersama dengan mereka bertiga lantaran ia sudah memiliki janji untuk tanding futsal dengan teman-temannya. Jimin akhirnya hanya menyetujui dengan santai sambil menodong janji pada Seojoon agar dapat ikut olahraga jika ada rencana berikutnya.

Cuaca hari ini cukup bersahabat; tidak ada panas terik yang membuat mereka kepanasan, namun tidak juga mendung. Langit sepertinya cukup mengerti akan kegiatan mereka bertiga hari ini.

Kemarin sore, Jimin berinisiatif untuk mengajak kedua sahabatnya untuk berolahraga. Kata Jimin, hitung-hitung sebagai kegiatan untuk menghabiskan waktu; daripada mereka hanya 'berolahraga' dengan menghabiskan uang—bahasa Jimin untuk mengartikan kata belanja. Taehyung hanya menggelengkan kepalanya heran kemarin. Tidak biasanya sahabatnya itu mengajaknya berolahraga. Serajin-rajinnya mereka berdua—dua kali seminggu; itupun jika Taehyung dan Jimin tidak dilanda rasa malas dan jadwal mereka berdua yang cukup padat— jauh lebih rajin Jeongguk untuk urusan berolahraga.

Taehyung menjawab dengan senyum di wajahnya. Ia tahu, hari ini dirinya tidak akan ikut bergabung dengan Jimin karena akan bertemu dengan Jeongguk. Lima hari berpisah dengan kekasihnya itu membuatnya mati rasa—rindunya ibarat air bendungan; sebentar lagi akan jebol. “Nggak bisa, Jims. Mau ketemu pacar. Udah kangen banget. Banget.” Taehyung menjawab dengan nada penekanan pada akhir kata.

Jujur, ia sangat ingin bertemu dengan Jeongguk; melepas rindu lewat telepon dan/atau video call tidaklah cukup. Beberapa kali Taehyung ingin mengingkari janjinya dengan mengunjungi rumah kekasihnya itu, namun akhirnya ia mengurungkan niatnya.

Hitung-hitung, ini latihan kalau nanti bakalan tinggal jauh beneran, pikir Taehyung beberapa hari lalu.

Jimin yang sedang berkonsentrasi dan sibuk mengotak-atik aplikasi edit yang lately ia gunakan, lantas menoleh seketika dan mengernyit. “Te, lo beneran udah baikan sama Jeon?” Jimin bertanya hati-hati sambil meletakkan handphonenya di pangkuan. Mereka bertiga sudah duduk di bench kayu yang terletak tidak jauh dari check point mereka tadi pagi. Kebetulan hari ini Jimin dan Taehyung diantar oleh supir Jimin, sedang Hoseok diantar oleh supir pribadinya.

Hoseok yang sedang asyik menonton video pemandangan yang ia ambil hari ini pun langsung bergabung kedalam percakapan Jimin dan Taehyung. Walaupun Hoseok baru mengenal mereka berdua, namun ia sudah dianggap sebagai teman dekat. Mereka bertiga pun tidak membutuhkan waktu lama untuk akhirnya cocok dalam segala hal dan berteman baik.

“Iya, Taehyungie serius udah baikan?” Hoseok bertanya sambil menatap lekat sepasang manik hazel itu. Ia tahu sepenggal ceritanya dari Taehyung melalui pesan yang dikirim di group chat mereka kemarin.

“Iya, yakin kok kita udah baikan. Lagian, hari ini dia udah selesai TO. Sooner or later, gue pasti bakalan ketemu Ggukie. Nggak apa juga lah, gue udah kangen banget soalnya.” Taehyung menjawab sambil mengulum senyum kecut. Sebenarnya kalau boleh jujur, Taehyung juga memiliki kekhawatiran akan apa yang bisa saja terjadi hari ini. Bukan pesimis, namun ia juga mencoba realistis. Jeongguk sama sekali tidak memaksanya untuk menceritakan apapun. Kekasihnya itu hanya menanggapi dengan kata-kata yang masih Taehyung ingat sampai saat ini; menempel di kepalanya.

'Aku percaya kamu. Kamu juga percaya aku, kan?'

Taehyung bukan tidak percaya pada Jeongguk. Hell, justru sebaliknya; ia sangat percaya dengan kekasihnya itu. Sejak berpacaran dengan Jeongguk, Taehyung selalu 'merasakan' kasih sayang dan cinta yang sungguh sangat besar. Ia tidak pernah merasa kecil, ia tidak pernah merasa tidak dicintai, ia tidak pernah merasa hubungannya membosankan. Walaupun umur hubungan kekasih antara mereka berdua masih seumur jagung, namun Taehyung bisa merasakan itu tanpa Jeongguk melakukan apapun.

Actions speak louder than words, and Taehyung feels that.

Sahabat Taehyung di sampingnya itu hanya bisa mengangguk-angguk mengerti. Kejadian tempo hari di kafe Haru membuatnya kembali merinding. Bagaimana tidak; hari mereka berdua saat weekend terganggu dengan bertemunya Jaebeom dengan mereka yang tidak disengaja. Rasanya Jimin ingin mengutuk hari pada saat itu, tapi ia tidak bisa. Mungkin benar apa yang dikatakan Taehyung, closure itu perlu. Cepat atau lambat, mungkin mereka akan bertemu.

Namun Jimin yang bukan pemeran dari drama kali ini saja bingung, bagaimana dengan Taehyung? Ia tidak pernah merasa sedih seperti kemarin saat Jaebeom menjelaskan sisinya. Dirinya dan Taehyung tidak menyangka seseorang yang sudah Taehyung 'kubur dalam-dalam' dari permukaan memorinya, tiba-tiba mencuat dan memberikan fakta baru.

Jimin mengerti—sungguh sangat mengerti—bahwa tidak ada yang bisa melawan takdir. Jika dunia memang ingin mereka bertiga bertemu dan 'membuka' luka lama, ya berarti memang hal itulah yang harus terjadi. Ia mengingat betapa Taehyung hanya menyorotkan tatapan horor saat Jaebeom tiba-tiba memanggil namanya di kafe Haru sore itu.

Berusaha untuk mengusir jauh-jauh memori mereka beberapa hari lalu, Jimin akhirnya membalas ucapan Taehyung dengan genggaman mantap pada tangannya—yang dengan refleks sudah dipegang oleh Taehyung ternyata beberapa menit lalu—dan menyunggingkan senyum terbaiknya. Jimin akan dengan setia mendukung Taehyung bagaimana pun caranya—walaupun hanya dukungan moril yang bisa ia berikan pada sahabatnya saat ini.

“Oke, Te. I will always be with you if you need me, okay?” Jimin meyakinkan Taehyung.

Sedang Taehyung hanya tersenyum lembut sambil mengangguk ke arah sahabatnya. “I know you do, Jimin. I know.”

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, akhirnya Taehyung dan Jimin memasuki kawasan sekolahnya. Supir Jimin memperlambat laju mobilnya dan mencoba mencari slot parkir yang dekat dengan gerbang sekolah. Hoseok sudah mendahului mereka tadi dengan supir pribadinya. Jimin sudah mengabari Seokjin saat di perjalanan bahwa hari ini hanya akan ada dirinya dan Hoseok yang bergabung untuk makan di salah satu restoran korea pilihan seniornya itu.

Seokjin sama sekali tidak memberitahu akan mengajak siapa saja selain mereka bertiga—dalam hati kecilnya, Jimin berharap seniornya itu akan mengajak Yoongi juga. Ya, Kak Yoongi yang sudah beberapa bulan ini seperti mengokupasi lahan baru dalam otaknya. Jimin belum bercerita pada siapapun, termasuk Taehyung. Namun sepertinya, sahabatnya itu sudah merasakan ada hal aneh.

Cenayang; begitu sebutan Jimin untuk Taehyung yang sudah tahu dirinya luar dalam.

Sebelum mereka berdua keluar dari mobil, Jimin sekali lagi menggenggam tangan Taehyung erat dan berbisik—tidak mau supirnya mendengar pembicaraan mereka. “Ready, Te? Kalau ada apa-apa, please langsung telepon gue. Gue bakal langsung pulang. Oke?” Jimin bertanya dengan nada khawatir. Ia hanya tidak ingin sahabatnya menangis sendirian nanti. Well, walaupun sejak tadi, Jimin merapalkan doa macam-macam agar pembicaraan Taehyung dan kekasihnya hari ini berjalan lancar tanpa halangan apapun. Masalahnya adalah, Taehyung akan membongkar rahasia tentangnya dulu dan fakta yang baru ia temukan beberapa hari lalu pada Jeongguk; seperti merobek lagi luka lama yang sudah susah payah ia tutup.

Taehyung hanya tertawa kecil sambil menjulurkan tangannya yang satu dan mengusak rambut Jimin yang sudah kering oleh pendingin mobil. “Iya, iya. Doain lancar ya, Jims. Gue sama sekali nggak tahu apa yang Ggukie udah tahu.” Taehyung menjawab sambil berbisik pula sambil mengacungi kedua ibu jarinya. Jimin yang duduk di sampingnya hanya tertawa sambil menepis kedua jari Taehyung yang terangkat itu lalu akhirnya membuka pintu di sisinya untuk turun dari mobil.

Suasana sekolah cukup sepi karena Tryout yang dilaksanakan selama dua hari. Sunyi sekali; berbeda saat siswa kelas X dan XI turut memenuhi seluruh gedung dengan suara riuh. Mereka berjalan bersisian, dengan Taehyung yang sudah membawa tas olahraganya di pundak. Ia lalu merapikan rambutnya yang terjuntai dan membenarkan snapbacknya. Surai silver miliknya yang sekarang cenderung terlihat seperti blonde itu sudah agak kering; tidak sebasah tadi saat mereka selesai jogging di sisi Sungai Han.

Sepasang manik hazel itu mencari sosok kekasihnya di sekitaran lapangan. Jimin dan Taehyung akhirnya menemukan segerombolan siswa yang sedang duduk di bench dekat lapangan upacara yang terletak persis di bawah pohon beringin sekolah. Hoseok yang melihat mereka berdua memasuki kawasan lapangan akhirnya melambaikan tangan untuk memberi isyarat bahwa ia ada di sana. Sepasang matanya menangkap sosok Seokjin, Namjoon, dan juga Yoongi di sana. Jimin yang ada di sampingnya tak sadar bahwa dirinya tersenyum lebar—Taehyung hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Namun, dirinya kembali mencari sosok kekasihnya yang tak kunjung terlihat.

Taehyung terkejut saat tiba-tiba sepasang lengan melingkar di pinggangnya dan dagu seseorang menopang di pundaknya. Rasa nyaman dan hangat langsung tersalur ke sekujur tubuhnya, namun ia cepat-cepat memandang sekeliling. Ini masih lingkungan sekolah, ia takut mereka berdua akan mendapat masalah jika kedapatan sedang berpelukan seperti ini.

“Tenang aja, sayang. Guru udah pada pulang. Di sekolah cuman ada kita-kita ini.” Jeongguk mempererat pelukannya; membuat Taehyung secara otomatis memundurkan tubuhnya untuk menempel pada tubuh Jeongguk lebih nyaman.

Rasanya, beban rindu yang ada di hati, dada, pikiran, dan pundaknya lantas luntur saat Jeongguk dengan segera semakin memeluk Taehyung erat dan berbisik pelan di telinganya. “I missed you so much, baby. Can I kiss you now?”

Dirinya yang saat ini sedang dipeluk oleh Jeongguk lantas mencubit lengannya dan sedikit berteriak. “Ggukie! Ih!” Taehyung yang mendengar pertanyaan kekasihnya itu langsung membalikkan badannya dan menyentil dahinya pelan. Sedangkan Jeongguk hanya terkekeh sambil berusaha memeluk Taehyung kembali.

Rindu ini harus segera disalurkan, kalau tidak, Jeongguk bisa gila.

“Pipi kamu merah banget, Tae. Malu tapi mau ya?” Jeongguk menggodanya sambil terkekeh dan mengelus pelan kedua pipi Taehyung. Kekasihnya itu terlihat sangat lucu hari ini dibalik balutan hoodie merahnya. Snapback yang sedari tadi dipakainya kini sudah berpindah ke tangan Jeongguk. Taehyung menanggapi Jeongguk hanya dengan mendengus namun terukir senyum lebar di wajahnya.

“Aku peluk sama cium nanti yang banyak, tapi nggak di sini. Pulang yuk? Pengen kangen-kangenan tapi nggak diliatin orang. Aku kan masih punya malu, Ggukie, nggak kayak kamu.” Taehyung membalas setengah mengomel sambil membalas Jeongguk dengan mencubit hidungnya. Ia rasanya ingin cepat-cepat pulang ke rumah Jeongguk; walaupun Taehyung tahu, ada hal besar yang menanti dirinya dan Jeongguk. Segalanya harus ia bongkar hari ini, untuk hubungannya yang lebih baik.

Sahabat mereka berdua yang berada di bawah pohon beringin itu hanya menggelengkan kepala mereka sambil berseru nyaring. Beruntunglah sudah tidak ada orang di gedung sekolah kecuali beberapa Security yang bertugas menjaga di kawasan sekolah.

“Udah cepet balik, habis nanti waktunya buat cium-cium!” Seokjin berteriak dari kejauhan membuat teman-temannya tertawa, sedang Jeongguk dan Taehyung mengacungkan kepalan tangan ke arah mereka sambil bergandengan tangan menuju parkiran.

Sesampainya di rumah Jeongguk, Taehyung langsung membuka alas kakinya dan berjalan ke arah ruang tengah. Jika boleh dibandingkan, memang rumah Jeongguk tidak seluas rumah Taehyung. Namun rumah ini menjadi saksi beberapa kejadian selama hidup Jeongguk. Sejak lahir ia tinggal di rumah ini dengan Mama Jeon dan mendiang Papa Jeon—yang sudah lebih dulu meninggalkan mereka. Taehyung tidak pernah bosan memperhatikan beberapa foto keluarga yang dipajang oleh Mama Jeon di dinding rumahnya. Sebagai anak tunggal, foto Jeongguk mendominasi dinding ruang tamu dan ruang tengah. Mama Jeon memajangnya sedemikian rupa, sehingga setiap orang yang berkunjung dapat melihat perkembangan seorang Jeon Jeongguk dari sejak lahir hingga saat ini.

Mama Jeon yang sedang duduk santai sambil menghadap ke arah televisi berukuran 40 inch itu. Beliau terlihat sedang serius menonton drama korea yang beberapa hari lalu baru selesai dirilis. Sangking terlalu berkonsentrasi, beliau tidak menyadari bahwa terdapat dua individu lain yang mengokupasi ruangan itu.

“Mam! Gguk pulang. Liat nih, Gguk ditemenin siapa.” Jeongguk menyapa Mamanya setengah berteriak agar beliau menoleh ke arahnya dan Taehyung. Benar saja, setelah mendengar suara anak laki-lakinya memanggil namanya, beliau refleks membalikkan badannya dan mengintip dari balik sofa besarnya. Sepasang mata itu bertemu dengan Taehyung, yang lantas langsung beranjak dari duduknya dan memanggil nama kesayangannya dari Mama Jeon.

“Taeby sayang!” Beliau terdengar memanggil Taehyung lalu berjalan ke arah kekasih anak semata wayangnya itu. Jeongguk yang sedang berdiri tepat di samping Taehyung hanya memutar kedua bola matanya lalu mengeluh pada Mamanya.

“Kenapa cuman Taeby doang sih yang disapa? Gguk ditanya dong tadi TO nya gimana?” Jeongguk terdengar protes saat Mamanya terlihat sedang memeluk Taehyung erat dan mengecup kedua pipinya dengan sayang. Mamanya lalu menjulurkan lidahnya—meledek anaknya. Taehyung tidak dapat menahan tawanya.

Mama Jeon lalu melepaskan pelukannya dari tubuh Taehyung lalu menggeser tubuhnya dan berdiri tepat di depan anaknya. Mamanya lalu memeluk Jeongguk lebih erat sambil berbicara, yang cukup didengar olehnya dan Taehyung.

“Mama yakin kamu bisa. Tadi pagi ditelepon malaikat inisial KTH, 'kan?”

Taehyung hanya tersenyum simpul, sedangkan Jeongguk otomatis meraih tangannya lalu menelusupkan tangannya ke pinggang Taehyung. Ia tersenyum lalu mengecup pelan pipi Taehyung.

“Oh jelas, dong. Bukan malaikatnya yang terbang tapi, Mam. Gguk yang malah melayang-layang!”

“Sayang, mandi dulu gih. Aku lagi pesan makan siang buat kita. Ya? Mama udah makan sendiri tadi sebelum kita sampai.” Jeongguk menawarkan Taehyung untuk bebersih sehabis berolahraga tadi pagi. Sejujurnya, ia masih ingin memeluk Taehyung; ia rindu wangi natural tubuh kekasihnya itu. Sambil berpikir, Jeongguk mengambilkan baju dan handuk Taehyung yang memiliki section tersendiri dalam lemarinya. Menyerahkan baju dan handuk kekasihnya, akhirnya Taehyung mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi; meninggalkan Jeongguk sendirian di kamarnya.

Jeongguk akhirnya duduk di kasur dan mengeluarkan handphonenya dari saku celananya. Ia merebahkan dirinya sambil mencari restoran langganan mereka berdua yang tidak jauh dari komplek perumahan mereka.

Setelah menghabiskan sekitar sepuluh menit untuk memesan makanan melalui telepon, Jeongguk lalu beranjak dari duduknya dan mengganti bajunya cepat. Ia hampir melupakan tujuan utama mereka datang ke rumah Jeongguk; dirinya dan Taehyung akan bicara empat mata mengenai Jaebeom dan segala kejadian entah apa yang terjadi hari Sabtu lalu. Jeongguk lalu mempersiapkan handphonenya dengan membuka pesan dari siapapun itu tempo hari dan menaruhnya di nakas berwarna broken white yang terletak di sebelah kasurnya.

Taehyung akhirnya keluar dari kamar mandi dengan balutan piyama kesayangannya dan handuk yang tersampir di pundaknya. Rambutnya masih basah; Jeongguk tidak memiliki pengering rambut untuk digunakan oleh Taehyung. Pun ia tahu, Mama Jeon memilikinya. Namun Taehyung tidak enak hati jika harus meminjam peralatan dari ibu kekasihnya itu.

Ia melihat Jeongguk sedang merebahkan dirinya sambil memejamkan mata. Taehyung melihatnya dari ambang pintu kamar mandi sambil bersandar. Senyum di wajahnya lantas merekah saat Jeongguk menyadari bahwa Taehyung dari tadi sedang memperhatikannya. Kekasihnya itu lantas mengulurkan tangannya, yang langsung diraih oleh Taehyung. Jeongguk menggeser tubuhnya untuk memberi space yang cukup untuk Taehyung merebahkan dirinya.

Jeongguk menarik tangan Taehyung untuk merebahkan diri sejenak. Terlihat kekasihnya itu menggunakan handuknya untuk membungkus rambut basahnya lalu merebahkan kepalanya pada lengan Jeongguk yang terlipat. Jeongguk memberikan lengannya sebagai bantal untuk Taehyung.

“Mau cium boleh nggak, Ggukie?” Tanya Taehyung spontan saat mereka sudah bertatapan. Jeongguk yang sedang mengelus pelan pipi Taehyung lalu terbelalak—mendengar kekasihnya berinisiatif duluan.

“Kok pake ijin? Boleh, dong,” jawab Jeongguk sekenanya. Ia tidak tahu bahwa sepersekian detik kemudian, Taehyung sudah menutup jarak antara mereka berdua dengan mendekatkan bibirnya pada bibir Jeongguk. Napas hangat yang keluar dari hidung Taehyung menimbulkan rasa yang aneh pada sekujur tubuh Jeongguk. Ia tidak mengerti mengapa dirinya gugup berlebihan seperti ini? Biasanya Jeongguk yang berinisiatif untuk mencium kekasihnya itu.

Taehyung lalu dengan mantap mengecup bibir Jeongguk pelan sambil memejamkan mata. Ia rindu dengan segala hal yang dimiliki kekasihnya itu. Rasa rindunya sudah tersalurkan sekarang. Sepuluh detik berlalu—ya, Taehyung menghitungnya—akhirnya ia memutuskan untuk menarik bibirnya dari Jeongguk. Mengecupnya sekali lagi, lalu menarik bibirnya dan tersenyum.

“Udah puas belum ciumnya?” Tanya Taehyung polos sambil terkekeh. Jeongguk terlihat mematung; tidak menyangka kekasihnya berinisiatif untuk menciumnya duluan.

Jeongguk lalu menjawab sambil menjilat bibirnya cepat. “Udah, udah puas. Nanti gantian aku yang cium ya, Tae. Boleh?” Tanya Jeongguk memastikan, yang disambut oleh Taehyung dengan anggukan mantap.

“Iya, boleh, Ggukie! Mau, mau, mau!” Jawab Taehyung bersemangat sambil memeluk tubuh Jeongguk erat.

Setelah menyantap makan siang di kamar Jeongguk, akhirnya mereka berdua membereskan sisa makanannya lalu kembali masuk ke kamar. Tak terasa mereka sudah sampai di waktu inti untuk membicarakan mengenai kejadian hari Sabtu kemarin. Taehyung tidak menyadari bahwa kakinya sudah bergerak-gerak seperti orang sedang menggenjot mesin jahit. Sedang Jeongguk masih sibuk merapikan kasurnya agar mereka berdua dapat mengobrol dengan nyaman.

Taehyung memutuskan untuk mengobrol dengan Jeongguk sambil rebahan. Jujur, dirinya tidak tahu harus memulai dari mana. Namun ia tahu, perkenalan dirinya dengan Jaebeom bisa dipastikan lebih dulu terjadi daripada Jeongguk. Toh, Jeongguk baru mengenal seniornya itu baru-baru ini, saat ia sibuk mengurusi pendaftaran beasiswa jurusan Hukum.

Jeongguk yang menyadari kekasihnya sedang canggung, akhirnya menghampirinya dan mengusap lembut pipi gembulnya itu. “Sayang mau ngomong sekarang? Rebahan aja, ya?”

Seperti bisa membaca pikiran Taehyung, akhirnya ia mengangguk dan mengambil tempat untuk merebahkan dirinya dan memposisikan tubuhnya dengan nyaman. Jeongguk melihat kekasihnya lalu tersenyum dan merangkak naik untuk merebahkan dirinya di samping Taehyung.

Kekasihnya itu terlihat gugup; Taehyung hanya menunduk, tidak ingin melihat sepasang mata Jeongguk yang sepertinya sudah siap mendengarkan cerita Taehyung secara lengkap. Suasana hening itu Jeongguk gunakan untuk mengatur napas dan menyiapkan speech dan pertanyaan yang sudah tersusun rapi di otaknya.

'Semoga, semua terbuka hari ini. No more secret, right?' batin Jeongguk dalam hati.

Beberapa waktu berselang, akhirnya Taehyung mengangkat wajahnya dan mencoba meraih tangan Jeongguk. Ia refleks mengulurkan tangannya. Jeongguk merasakan kekasih manisnya itu menggenggam tangannya terlalu erat. Ia khawatir Taehyung sebentar lagi akan menangis. Ia sendiri pun tidak tahu ada apa dengan Taehyung. Jeongguk rasanya ingin meringis, namun ia urungkan. Sebaliknya, akhirnya ia mengulurkan tangan satunya untuk mengelus lembut pipi Taehyung. Jeongguk melihat Taehyung memejamkan matanya kemudian. Sepertinya, sentuhan hangat nan sederhana itu membuat Taehyung tenang.

“Sayang udah siap? Take your time, baby.” Jeongguk berkata, memberikan waktu untuk Taehyung sebanyak-banyaknya. Ia punya waktu sepanjang apapun untuk mendengarkan kekasihnya. Kapanpun ia siap, Jeongguk membatin.

Taehyung lalu mengangguk kemudian dan mengucapkan kata-kata pertamanya. “Namanya Jaebeom, Ggukie... d-dia...” Kekasih Jeongguk terdengar terbata-bata. Jeongguk menunggu Taehyung dengan sabar. Ia tidak ingin mendorong Taehyung untuk mengatakan apapun itu padanya. Ketenangan adalah hal yang ia lihat sangat dibutuhkan oleh Taehyung saat ini.

Jeongguk hanya mengangguk sambil mengelus pelan punggung tangan Taehyung, sambil tangan lainnya kembali mengelus pipi Taehyung dengan sayang.

“Jaebeom itu, sahabatnya Bo-bogum dulu, Ggukie... dan ya... kita ketemu kemarin hari Sabtu di Haru.” Taehyung akhirnya menyelesaikan kalimatnya. Sedang Jeongguk? Ia hanya mematung; elusan sayang untuk Taehyung terhenti sejenak—berusaha mencerna fakta yang baru dibeberkan oleh Taehyung sekarang. Fakta yang ternyata, berhubungan dengan nama sialan yang sama sekali ingin Jeongguk hapuskan dari memori Taehyung.

Ia tidak sadar bahwa rahangnya sudah mengeras, matanya memancarkan emosi yang membuat Taehyung sedikit takut. Taehyung mencoba menarik tangannya dari genggaman Jeongguk, saat tiba-tiba kekasihnya itu mencoba tetap memegang tangannya.

“Sori, sayang. Emosi denger nama orang itu. Dilanjut, boleh? Kapanpun kamu siap.” Jeongguk memberi pengertian pada Taehyung, yang sesaat kemudian disambut oleh anggukan pelan dari kekasihnya.

“Tolong jangan potong aku ya, Ggukie? Aku mau nyerocos panjang lebar. Sampai aku lega.” Kata Taehyung meminta. Jeongguk yang mendengarnya hanya mengangguk dan mempersilahkan Taehyung bicara.

“Iya, Jaebeom itu sahabat Bogum waktu dulu. Waktu dulu aku naksir Bogum. Seperti yang kamu tahu, kita kenalan di lapangan basket. Jaebeom ada di sana waktu itu, dia Kapten. Well, waktu itu aku semangat minta dikenalin sama Jimin ke Bogum. Pada masanya, Jaebeom orangnya dingin gitu. Ya aku karena emang tertarik sama Bogum, aku nanggepin dia banget. Tapi ternyata, ada orang di samping Bogum, yang suka sama aku, literally and wholeheartedly...”

Jeongguk berusaha mencerna dan mulai menyusun kalimat yang Taehyung lontarkan padanya. Berusaha untuk menggambar secara abstrak dalam otaknya; mencari benang merah antara Jaebeom, Bogum, Taehyung, dan dirinya sendiri.

What? Jaebeom memiliki rasa pada Taehyung? Sudah gila dunia ini, jeritnya dalam hati.

“Ya terus... kejadian putus itu—yang udah kamu tahu juga, aku males cerita lagi—, bikin hubungan aku jadi parah sama Bogum. Apalagi Jimin. Dia dari dulu aku kecil, selalu pengen ngelindungin aku. Tahu aku digituin—di depan dia pula, makin emosi lah Jimin. Sampai akhirnya beberapa hari kemudian, menyebar di seantero sekolah kalau yang nyuruh Bogum begitu adalah Jaebeom... drama banget ya, Ggukie?” Taehyung mencoba tersenyum; walaupun kecut. Ia masih memperhatikan sepasang mata Jeongguk yang tidak dapat ditebak. Kedua alisnya bertaut, dahinya mengernyit; namun mata Jeongguk, Taehyung tidak bisa membacanya.

“Ya aku lagi terpuruk, denger berita yang macem itu, ditambah lagi dengan fakta bahwa waktu Bogum made scene di depan sekolah, Jaebeom sama sekali nggak ada. He wasn't there. Ya, my past self langsung emosi. Jimin was more. Dia nyamperin Jaebeom terus nyiram air dingin ke mukanya. Drama banget, memang. Tapi kita berdua nggak nyangka aja dia bisa jahat begitu.

“Sayang, please jangan gini. Aku takut, Ggukie.” Taehyung tiba-tiba berbicara pelan sambil berusaha menenangkan Jeongguk yang sudah mengepalkan tangannya. Telinganya merah, wajahnya tegang—tanda sebentar lagi kekasihnya itu akan 'meledak' sewaktu-waktu.

Jeongguk refleks merenggangkan otot emosinya dan menarik napas panjang. Ia tidak ingin membuat Taehyung tidak nyaman. Posisi Taehyung saat ini harus dimengerti; hal ini sangat sulit untuk ia ceritakan. Jeongguk harus mengerti bahwa Taehyung berusaha sangat keras untuk memberanikan diri menceritakan semuanya, tanpa terkecuali—Taehyung sempat berkata tadi saat di mobil. Kekasih Jeongguk itu ingin menceritakan semuanya; tidak lebih dan tidak kurang.

“Oke, maaf-maaf, sayang. Lanjut lagi, ayo.” Jeongguk berkata sambil mengecup pelan hidung Taehyung. Kekasihnya itu hanya tersenyum teduh sambil tertawa pelan.

Taehyung akhirnya melanjutkan lagi. Ia tidak ingin lebih lama menyembunyikannya dari Jeongguk.

Ia menceritakannya lengkap pada Jeongguk, persis seperti apa yang diceritakan Jaebeom padanya dan Jimin. Jeongguk berusaha untuk mencari benang merah dari seluruh cerita yang disampaikan oleh Taehyung. Jeongguk menggaris bawahi poin-poin penting yang dapat diambil intisarinya.

Taehyung suka dengan Bogum saat itu. Jaebeom suka dengan Taehyung saat itu. Taehyung dan Jaebeom putus beberapa minggu kemudian. Jaebeom digosipkan adalah orang dibalik rencana busuk itu.

Sudah lima menit lamanya Jeongguk hanya terdiam; ia seperti sedang menyimpan dalam memorinya mengenai perjalanan cerita antara kekasihnya, sahabat kekasihnya, dan seniornya itu. Setelah akhirnya mengerti, Jeongguk lalu mempersilahkan Taehyung melanjutkan lagi. Yang Jeongguk sampai saat ini tidak mengerti, adalah fakta bahwa selama Taehyung bercerita, ia tidak menangis.

Apakah ada cerita yang lebih mencengangkan daripada ini? tanya Jeongguk dalam hati.

Taehyung lalu menarik napas panjang dan membuangnya pelan. Ia melanjutkan lagi ceritanya. “Lalu, sampailah hari Sabtu kemarin dia nyamperin mejaku; dia cerita panjang lebar. Dia cerita versi dia, bahwa itu semua bukan dia yang ngelakuin. Itu semua kerjaan temen-temen sialannya Bogum.

“Sebelumnya, dia bilang kalau dia udah lihat aku... dari foto aku yang kamu pajang di exhibition, Ggukie. Terus ya, dia bilang dia kenal kamu. T-terus... Dia bilang kalau dia masih suka kepikiran aku, Ggukie...” Taehyung berkata pelan. Suaranya hampir tidak terdengar kalau saja bukan Jeongguk yang saat ini ada di sampingnya.

But, ya... aku setidaknya dapet closure sih. Walaupun cuman dari Jaebeom aja, tapi setidaknya aku lega banget? Karena dia udah ceritain sisi dia. Bukan maksud aku pengen denger versi aslinya dari si brengsek ya. Cuman ya, gitu lah. Kamu tau maksud aku kan, Ggukie?”

Taehyung menjelaskan tanpa henti sambil bertanya pada Jeongguk. Jujur, dirinya tidak tahu sebelumnya bahwa menceritakan masa lalunya pada Jeongguk seperti tidak ada jeda? Semuanya mengalir begitu saja dari mulutnya. Atau memang, Taehyung sudah mati rasa dengan masa lalunya? Ia tidak merasa nyeri atau merasakan hal aneh lainnya di dadanya. Malahan, Taehyung merasa sangat lega karenanya.

Sedang Jeongguk? Tidak ada raut marah atau emosi terpancar dari kedua matanya. Sebaliknya, ia hanya tersenyum ke arah Taehyung sambil menggenggam tangannya erat. Taehyung bingung dengan reaksi Jeongguk yang aneh ini. Ia masih bisa berlaku biasa saja padahal Taehyung baru saja membeberkan bahwa seniornya itu—yang kebetulan menjadi bagian dalam masa lalunya—masih sering memikirkan juniornya semasa SMP dulu.

“Ggukie? Kok kamu senyum-senyum begitu, sih?” Taehyung akhirnya bertanya; ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Kenapa kekasihnya jadi senyum-senyum seperti ini? Bukannya seharusnya dia marah, atau apalah, kecewa mungkin?

“Sayang... kamu pernah kepikiran dia nggak?” Tanya Jeongguk terlihat asal, namun ia tahu pertanyaan ini sudah ingin ia lontarkan sejak tadi.

Kekasih Jeongguk itu lalu memundurkan tubuhnya dan berkata, “Ya nggak lah! Kamu kan denger tadi, aku nyerempet benci sama dia?” Taehyung terlihat sebentar lagi sepasang matanya akan copot dari tempatnya. Terdengar nada jengkel menghiasi jawaban Taehyung tadi. Jeongguk hanya terkekeh dan mencium lembut bibir Taehyung kemudian.

“Ya sudah, nggak ada masalah menurut aku. Dia kepikiran kamu, itu urusan dia. Yang penting kamu sekarang adalah pacar sekaligus sahabat aku. Cuman boleh aku yang ada di pikiran kamu. Okay, baby?” kata Jeongguk tegas namun terdengar lembut.

Mendengar jawaban asal seperti itu, Taehyung lalu mencubit hidung Jeongguk keras, yang membuat si empunya manik hitam itu meringis dan mengusap-usap hidungnya.

“Tae kok nyubit, sih? Sakit, tau.” Jeongguk mengeluh; berbeda dengan Taehyung yang saat ini terlihat sebal karena kekasihnya sama sekali tidak menunjukkan rasa kesal... atau cemburu.

“Ggukie... nggak ada rasa cemburu atau kesel gitu?” Ia bertanya dengan hati-hati. Sekarang gantian Taehyung lah yang merasa penasaran dengan tanggapan Jeongguk.

Jeongguk hanya menggelengkan kepala pelan sambil mengusap pelan lengan Taehyung. Hari ini, Jeongguk butuh memberikan perhatian ekstra untuk kekasih manisnya. Kekasihnya itu sudah melalui bagian berat dengan menceritakan semuanya lengkap pada Jeongguk. Ia sangat mengapresiasi dan menghargai keberanian Taehyung. Ia bangga pada kekasihnya itu. Maka, Jeongguk berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan meluapkan emosi di depan Taehyung.

Yah, walaupun saat mendengar nama Bogum, rasa ingin meninju wajah laki-laki itu muncul kembali.

“Nggak ada, sayang. I trust you, remember?” Jeongguk menjawab sambil mengecup hidung Taehyung yang mancung itu tiga kali. Kekasihnya itu tertawa kecil dibuatnya.

Merasakan suasana di kamar sudah menjadi lebih baik, akhirnya Taehyung mengarahkan tubuhnya menghadap langit-langit kamar. Jeongguk akhirnya mengikuti kemudian. Niatnya untuk menanyakan soal pesan dari entah siapa di handphonenya ia abaikan. Mungkin ia akan menghapus pesan itu? Ia tidak tahu. Yang jelas, Jeongguk membatalkan keinginannya tadi sebelum berbicara dengan Taehyung.

Untuk apa? pikirnya. Toh semuanya sudah dibeberkan dengan jelas dan padat oleh Taehyung.

“Oh ya, Ggukie... kamu... kenal kak Jaebeom baru akhir-akhir ini?” Taehyung bertanya penasaran tanpa ada nada menuduh dibaliknya. Ia ingin tahu seberapa jauh mereka saling mengenal satu sama lain. Dan sepertinya, Jaebeom betul-betul tidak tahu bahwa ia adalah kekasih Jeongguk.

“Iya, sayang. Jujur, aku baru kenal dia waktu di kampus itu. Inget kan? Padahal ya, Tae, aku mau ngenalin ke kamu saat exhibition kemarin. Aku bilang sama dia, mau ngenalin sahabat plus pacar. Dia setuju aja padahal terakhir kita chat, sampai akhirnya pada saat hari H, dia nggak bisa. Katanya ada urusan.

“Tapi ya sudah, toh yang mau aku kenalin ternyata udah kenal dia duluan,” jawab Jeongguk sekenanya. Ia melirik ke sampingnya, Taehyung hanya tersenyum dengan sorot mata yang sayu. Pembicaraan ini memang sangat melelahkan, tapi dalam hati, mereka berdua tahu, bahwa ini semua worth it.

Taehyung tiba-tiba teringat dengan perkataan Jaebeom bahwa dirinya sempat berbicara di telepon dengan Jeongguk.

By the way, Ggukie, dia cerita katanya kamu sama dia teleponan tadi ya?”

Jeongguk lalu menoleh dan mengarahkan tubuhnya menghadap Taehyung. Tangannya meraih pinggang Taehyung untuk dipeluk, lalu ia membenamkan wajahnya pada pundak Taehyung. Nyaman, seperti rumah.

“Ah iya, cuman cerita soal jurusan Hukum itu, Tae. Nggak cerita detail sih, cuman ya aku cerita ke dia soalnya kan dia yang selama ini aku tanyain ini-itu soal kuliah di sana.” Jelas Jeongguk tanpa mengurangi dan menambahi.

Kekasih Jeongguk itu hanya mengangguk paham lalu memajukan tubuhnya, mendekatkan bibirnya pada ujung bibir Jeongguk.

“Finally, Ggukie? Rasanya lega bisa berdamai sama masa lalu. Makasih ya udah selalu di samping aku? Aku sayang banget sama Ggukie. Selamanya kalau bisa.”

“Iya. Aku bangga sama kamu. Makasih ya udah percaya sama aku, Tae. Nggak gampang untuk ceritain masa lalu yang pengen kamu tutup rapat-rapat itu.”

Jeongguk akhirnya menutup jarak antara Taehyung dan dirinya kembali, kali ini cukup lama, dengan berbisik; yang membuat Taehyung rasanya sebentar lagi akan pingsan.

“Aku juga sayang kamu, selamanya. Dan harus bisa.”