poetlady

Vincent tidak bisa tidur.

Jarum pada jam dindingnya sudah menunjukkan pukul dua dini hari, namun ia masih terjaga, tidak bisa memejamkan matanya untuk beristirahat. Vincent sedari tadi sudah merebahkan tubuhnya diatas kasur, mencari posisi nyaman sambil meletakkan kepalanya pada bantal miliknya yang tebal dan empuk. Ia sudah mematikan lampu kamarnya, pendingin ruangan sudah diatur sedemikian rupa agar ia tidak kegerahan, pun tirai kamar tidurnya sudah ditutup rapat, khawatir dengan sinar matahari pagi yang terbit beberapa jam lagi akan masuk menembus jendela kamarnya dan membuat matanya silau.

Beberapa saat lalu, ia sempat menangkap samar-samar suara Sebastian dan Tobias di ruang tengah, sepertinya kedua temannya itu baru saja tiba dari restoran. Suara keduanya terdengar semakin dekat dengan kamarnya, membuat Vincent lantas melirik sebentar ke arah pintu, bersiap jika kedua temannya itu mengetuknya untuk mengecek apakah dirinya sudah tidur. Vincent hanya berdecak dan mengangkat kedua bahunya saat dirinya tidak kunjung mendengar ketukan pada pintu itu, merasakan suara kedua temannya semakin menjauh dan akhirnya tidak terdengar lagi.

Tak terasa dua jam telah berlalu, sejak ia membaca pesan terakhir dari Timothy, yang berhasil membuatnya terjaga. Sepasang matanya memandangi langit-langit kamarnya dengan lekat, berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Timothy. Sedari tadi, Vincent merasa mesin yang ada didalam kepalanya tidak berhenti bekerja. Mungkin sebentar lagi kepalanya akan terasa panas dan kedua telinganya akan mengeluarkan asap tebal.

Vincent lalu menghela napas berat, memposisikan kedua tangannya dibelakang kepalanya. Ia menautkan jari-jemarinya, sesekali meremas rambut panjangnya yang masih terikat dengan rapi membentuk bonggol.

Ini adalah pertama kalinya Vincent merasakan gelenyar aneh dalam dadanya saat membaca pertanyaan dari sahabatnya itu; seperti ada yang menggelitiknya namun seperti ada yang memukul dadanya berulang kali, membuatnya berdegup sedikit lebih kencang.

Saat Timothy melemparkan dua pertanyaan pertama padanya, Vincent merasa tidak perlu untuk memikirkan jawabannya terlalu lama. Ia pun sudah menceritakan jawabannya pada sahabatnya itu beberapa waktu lalu, tentang bagaimana perasaannya saat pertama kali bertemu dengan Gregory; pria yang lebih muda darinya dua tahun itu, pria yang selalu mengenakan pakaian serba hitam, pria yang tinggi badannya hanya berbeda tipis dengannya, pria yang menyunggingkan senyum lebar membentuk seiris buah apel saat pertemuan pertama di Page 35, pria yang terlihat menyembunyikan banyak rahasia dibalik sorot matanya, dan pria yang selalu penuh dengan kejutan—Vincent seperti menyaksikan pertunjukan kembang api di lapangan kosong seorang diri setiap berada didekatnya.

Gregory adalah seseorang yang mampu membuat Vincent perlahan mencoba untuk memikirkan perasaan orang lain setiap kali dirinya berbicara. Ia sesekali memikirkan kata-kata yang ingin ia ucapkan, apakah secara tidak langsung ia akan menyakiti lawan bicaranya? Gregory adalah satu-satunya orang—dari sekian banyak teman-teman dan sahabatnya—yang secara gamblang “menegur” Vincent tentang hal itu.

Pria itu seakan tidak peduli dengan respon yang akan diberikan oleh Vincent setiap kali ia mengoreksinya, karena ia tahu ia benar.

And Vincent likes it; the way Gregory just simply glared at him and scolded him whenever he said something that tend to be hurtful without him knowing.

Terakhir, Gregory adalah pria yang menyenangkan. Pria itu tidak pernah membuat Vincent merasa bosan saat mereka berdua sedang membicarakan banyak hal, dari sesuatu yang tidak penting sampai yang penting sekalipun. Gregory seperti memiliki sensasi dan daya tarik tersendiri, membuat Vincent rasanya ingin terus-menerus bertukar pikiran dengan pria itu tanpa jeda.

Vincent sadar betul, Gregory sepertinya akan memiliki pengaruh yang besar terhadap dirinya. Ia bukanlah seseorang yang mudah tertarik pada suatu hal, Timothy pun mengakuinya. Namun entah mengapa, pria itu dengan mudahnya membuat Vincent seperti 'terhipnotis' olehnya. Setiap kali Gregory terlihat tersenyum, ia pun akan ikut menyunggingkan senyumnya. Pun jika pria itu sedang mengernyitkan keningnya saat mereka berdua membicarakan hal yang serius, secara tidak sadar Vincent akan melakukan hal yang sama.

Vincent seperti menemukan cermin dirinya yang selama ini hilang.

Ia lantas tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan suara yang tiba-tiba muncul dari dalam kepalanya. Ia melepaskan genggaman kedua tangannya dari belakang kepalanya untuk memijat batang hidungnya.

“Oh, Gregory, what did you do to me?”

Vincent mengucapkan pertanyaan retoris itu dari mulutnya, bertanya pada keheningan malam yang sedang menemaninya. Ia tidak bisa mengelak, ada sedikit rasa rindu yang muncul dari dalam dadanya, perlahan membuat bulu kuduk disekujur tubuhnya lantas meremang, memaksa seluruh anggota tubuhnya yang lain untuk merasakan hal yang sama.

Ia merindukan suara pria itu saat berbicara dan saat tertawa dengannya, terdengar renyah seperti kudapan manis yang selalu menemaninya setiap pagi saat ia menikmati tehnya sambil mendengarkan gramofonnya memutar lagu favoritnya.

Vincent ingin segera mengosongkan waktunya, mencari celah diantara jadwalnya yang padat untuk mengajak pria itu bertemu. Berbicara via teks dengan Gregory sebenarnya membuat ia sedikit canggung dan khawatir dengan kata-kata sendiri yang tidak bernada itu. Vincent benar-benar ingin mengurangi adanya potensi terjadinya salah paham diantara mereka berdua.

Ia ingin sekali menanyakan kabar Gregory; bagaimana harinya, apa saja yang ia lakukan selama sehari penuh. Ia pun berharap pria menghubunginya lebih dulu, menanyakan bagaimana kabarnya, atau membicarakan hal lain.

Vincent lantas merasa bodoh, mengapa ia tidak melakukannya sejak pagi atau bahkan sore tadi?

Ia melirik ke arah jam dinding kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Vincent sebenarnya ingin menghubungi pria itu sekarang, ia sudah tidak bisa menahan rasa rindunya pada Gregory. Namun apakah elok jika ia mengirim pesan atau bahkan menelepon pria itu sekarang?

Akan tetapi, mungkin saja, pria itu baru selesai bekerja dan masih terjaga seperti dirinya, 'kan?

Maka dengan cepat Vincent meraba sisi kasur sebelah kanannya, mencoba mengambil handphonenya yang terletak agak jauh dari jangkauan tangannya. Saat ia berhasil meraih benda itu, tiba-tiba ia teringat akan pertanyaan terakhir yang dilontarkan oleh Timothy dua jam lalu, yang membuatnya sempat menghentikan gerakan kedua ibu jarinya untuk membalas pesan sahabatnya itu.

Pertanyaan yang sedari tadi dibaca oleh Vincent berulang kali. Ia berusaha untuk menemukan jawabannya.

Pertanyaan yang sebenarnya menjadi sumber alasan mengapa ia tidak menghubungi Gregory kemarin, sebelum akhirnya Timothy dengan blak-blakan menanyakan hal itu padanya.

'Why Gregory, of all people?'

Vincent merebahkan tubuhnya lagi pada posisi semula, mengangkat handphonenya sejajar dengan wajahnya, tangan kanannya mengusap-usap pipinya sendiri. Ia menghela napas berat sambil membuka pesan dari sahabatnya itu lagi, hendak membacanya ulang. Timothy tanpa tedeng aling-aling bertanya, apa yang membuat Gregory begitu spesial, sehingga Vincent dengan mudahnya memainkan dua instrumen dengan piano miliknya dan merekamnya, lalu memberikannya pada pria itu.

Ia lantas menggeram, mengambil bantal yang ada disampingnya dan meremas sarungnya hingga kusut. Jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya sudah ia berikan pada Gregory, sesaat setelah pria itu mendengarkan keduanya dan bertanya apa maksud dan tujuan Vincent sebenarnya.

Alasan mengapa Vincent memilih kedua instrumen favoritnya itu untuk dimainkan ulang dan diberikan pada Gregory adalah karena dahulu, ia meraih gelar master musiknya dengan pujian yang luar biasa karena berhasil memainkan keduanya saat ujian akhir. Momen penting itu sempat membuatnya merasa sangat bahagia—Timothy selalu ada disampingnya saat itu, mendukungnya—maka ia berharap, Gregory dapat merasakan bahagia yang sama dengannya.

Vincent hanya ingin memberitahu Gregory, bahwa ia akan terus berada disamping pria itu, mendukungnya sampai ia mencapai titik bahagianya.

Namun sekarang, jawabannya itu terdengar sangat tidak masuk akal. Mana mungkin Gregory bisa tahu jika Vincent tidak menjelaskannya dengan detail? Apakah rasa gugup yang ia rasakan kemarin membuatnya menjadi terlihat aneh dan mencurigakan?

Seketika kedua pipi dan leher Vincent terasa panas. Ia merasa seperti baru saja keluar dari ruang sauna. Ia merasa malu.

Oh, mon Dieu! Apakah itu menjadi salah satu alasan mengapa Gregory sejak kemarin tidak menghubunginya?

Tapi tidak, tidak. Tunggu. Vincent tidak ingin membuat asumsi-asumsi kosong yang tidak perlu. Ia tidak ingin berandai-andai yang akan berakhir dengan memunculkan pikiran-pikiran buruk yang sebenarnya tidak ada sedari awal.

Ia sedari tadi masih menggenggam handphonenya sambil mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya pada benda itu.

Apakah ia harus menghubungi pria itu sekarang?

tw // insecurities, self-doubt


Jika setiap kali Gregory lupa mengedipkan kedua mata bulatnya saat Vincent melakukan sesuatu yang menarik perhatiannya akan menghasilkan uang, mungkin ia sebentar lagi akan kaya raya. Ia sadar betul, apapun yang dilakukan oleh sang konduktor orkestra itu rasanya menghipnotis dirinya sampai titik terbawah tingkat kesadarannya.

Sedari tadi, ia tidak bisa menghindari keinginan kedua matanya untuk mengikuti setiap gestur yang Vincent lakukan, bagaimana cara pria membenarkan letak kacamatanya, bagaimana pria itu menarik lengan bajunya saat hendak memegang biola dan bow miliknya, dan bagaimana raut wajah pria saat membaca partitur yang diletakkan pada stand partitur di hadapannya.

Gregory sama sekali tidak membuka suaranya, atau bahkan mengajak Vincent mengobrol selama pria itu berlatih, memainkan saxophone dan biolanya. Ia hanya menunggu dan memperhatikan pria itu sambil duduk bersandar pada sofa yang terletak dekat pintu masuk studio musik miliknya.

“Ayo, Gregory. Sudah siap? Maaf saya jadi membuat kamu menunggu terlalu lama,” kata Vincent membuyarkan lamunan Gregory.

Pria yang diajak bicara oleh sang konduktor orkestra itu lantas menengadahkan kepalanya, melihat pria yang berdiri tepat di depannya itu tersenyum lebar, membuat kedua lutut Gregory seketika lemas. Bulu kuduknya meremang, hanya karena seulas senyum.

Sepertinya Gregory sudah gila.

Vincent memperhatikan gerak-gerik Gregory sambil menarik gulungan lengan pakaiannya sendiri untuk menutupi seluruh lengannya. Ia tak sadar sudah menaikkan salah satu alisnya yang tebal itu sambil memperhatikan Gregory.

“Kamu mau naik taksi atau metro saja, Gregory? Saya ikut.”

Pria yang ditanyai oleh Vincent itu berpikir sejenak sambil menggumam, mengetuk-ngetuk pipi kanannya dengan jemari tangannya. Ia masih terduduk manis di sofa. “Boleh naik metro saja? Is it okay with you? Tapi kita masih harus jalan kaki sampai Château d'Eau station, sekitar sepuluh menit,” balasnya sambil menengadahkan kepala.

Sekilas kedua mata bulatnya bersirobok dengan sorot mata Vincent yang teduh.

Apa alasan Gregory lebih memilih pergi ke restoran Indo Pride menggunakan metro? Ia ingin mengobrol dan berlama-lama dengan Vincent, sambil berharap dalam hati agar pria itu tidak menyadarinya.

“Nggak apa, saya dari kemarin juga naik metro. Santai saja.” Vincent melihat Gregory mengangguk sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah samping, menghindari kontak mata dengannya. Ia lantas menyadarinya dan tersenyum. “Nanti kita turun di Odéon station ya, dan juga harus jalan kaki sekitar enam menit.”

Gregory lantas berdiri dari duduknya, merapikan pakaiannya yang berbahan flanel itu dan mengambil tasnya yang ia letakkan di sampingnya tadi. “Sure. Yuk? Gue saja yang ngunci pintunya,” katanya sambil mempersilahkan Vincent keluar dari ruangan untuk mendahuluinya.

Mereka berdua akhirnya melangkah ke luar dari ruangan itu, setelah Gregory mematikan saklar lampu ruangan. Saat ia melihat Vincent menggendong tas berisi biola dan saxophone pada kedua bahu, ia lantas menawarkan diri untuk membantu pria itu membawa salah satu tas miliknya. “Eh, Vin, mau dibantu? Tas gue kebetulan ringan. Sini, yang mana saja boleh.”

Vincent yang sedang memperhatikan foto-foto para musisi favorit Gregory yang berjejer di dinding luar ruang studio itu sambil memasukkan kedua tangannya pada saku celananya, seketika menoleh dan menggeleng. Ia tersenyum lalu menolak dengan halus. “Nggak perlu, Gregory, thank you though. Saya sudah biasa kok.”

Berdecak sekilas sambil tertawa renyah, Gregory akhirnya membalas dengan santai. “Ya oke, baiklah. Tapi kalau lo nanti ngerasa pegel, gue nggak mau bantuin ya!”

Pria yang berdiri di sampingnya itu hanya tersenyum lebar sambil mengangguk pelan. “Okay, Gregory.”

Sedang pria yang baru saja disebut namanya oleh Vincent, rasanya ingin berteriak dan melayangkan tinjunya ke udara.

Lama-lama gue bisa gila hanya karena dia menyebut nama gue, batin Gregory.

Mereka berdua akhirnya keluar dari gedung yang berada diantara sebuah minimarket dan art gallery itu, lalu berjalan menyusuri jalan Rue Richer yang terlihat ramai. Perjalanan menuju stasiun metro terdekat dapat ditempuh sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki, selisih jaraknya hanya seratus meter, bila dibandingkan dengan jarak antara Rue de la Ferronnerie dan Museum Louvre.

Namun perjalanan yang lumayan jauh itu tidak terasa berat, karena Vincent dan Gregory sedari tadi sibuk membicarakan segala macam hal yang membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Mereka berdua tidak mempedulikan lirikan para pejalan kaki yang terheran melihat interaksi mereka.

Selama sepuluh menit menghabiskan waktu dengan berjalan kaki, mereka berdua sudah bertukar cerita tentang pengalaman tidak enak sampai yang paling menyenangkan yang pernah terjadi selama mereka berdua hidup di Paris.

Vincent sempat menceritakan bagaimana usahanya beradaptasi dengan kehidupan di Paris yang berbeda dari saat ia tinggal di London, membuat mesin dalam kepala Gregory rasanya berputar ratusan kali, berusaha mencerna cerita Vincent yang terdengar seperti cerita yang sempurna itu.

Ia tahu betul pria yang sedang berjalan bersisian dengannya itu sejak dulu sudah berjuang keras sampai pada titik ini. Namun rasanya, Gregory merasa iri saat memikirkan tentang nasibnya sendiri selama ini.

Berbanding terbalik sekali kehidupan mereka, batin Gregory dalam hati, sambil memperhatikan gestur Vincent saat menceritakan sesuatu. Pria itu sepertinya mau bercerita panjang lebar dengan orang lain jika topik pembicaraannya menarik. Ia selalu menggambarkan sesuatu dengan menggerakkan kedua tangannya yang dihiasi beberapa aksesoris itu. Gregory pun melihat garis urat tercetak jelas dari balik kulitnya, pada jari-jemarinya yang panjang tersemat beberapa cincin polos dan tipis berwarna silver.

Lambat laun akhirnya Gregory sejenak berhasil mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Proses hidup yang sudah ia lalui cukup berat tidak penting untuk dipikirkan sekarang. Ia tidak perlu mengingat-ingat hal itu saat ini.

Gregory hanya dapat menyunggingkan senyumnya, merasa semakin lama mulai mengenal latar belakang hidup pria yang berjalan bersisian dengannya itu.


Descend à gauche*.”

Suara seorang wanita samar-samar terdengar dari balik pengeras suara kereta, membuat Vincent dan Gregory lantas menghentikan obrolannya. Sejak tadi mereka menunggu kereta di peron stasiun, keduanya tidak berhenti mengobrol. Jujur, Vincent pun baru kali ini merasa betah untuk berinteraksi dengan seseorang yang bukan merupakan teman dekatnya.

Gregory dengan mudahnya mencairkan suasana yang sedikit canggung diantara mereka, lewat cara bicaranya dan suara tawanya. Ia membuat Vincent menggerakkan seluruh mesin yang ada dalam kepalanya untuk merekam suara pria itu dan menyimpannya rapat-rapat.

Satu hal yang membuat Vincent terkejut adalah bagaimana pria itu dengan mudahnya sedikit demi sedikit dapat melenturkan sifat kaku yang selama ini seperti “mengungkung” dirinya. Menurutnya pula, pria yang lebih muda dua tahun darinya itu terlihat lebih santai, senyumnya terlihat sedikit lebih tulus. Kedua mata bulatnya pun tak lagi kosong seperti beberapa waktu lalu saat pertama kali Vincent bertemu dengan pria itu di Page 35.

Vincent merasa sedikit bersyukur, setidaknya pria yang sedari tadi berdiri berhadapan dengannya dekat pintu kereta selama perjalanan mereka menuju stasiun Odéon tidak terlihat sedih.

Saat pintu kereta terbuka, akhirnya mereka turun dan mencari jalan keluar dari stasiun untuk berjalan kaki menuju Indo Pride. Gregory sempat hendak berjalan mendahului Vincent saat teringat bahwa ia sebelumnya memberitahu pria itu bahwa ia belum pernah berkunjung ke restoran itu.

Maka ia kembali berjalan bersisian dengan Vincent, yang terlihat serius sedang mengetik sesuatu pada handphonenya.

Kesempatan itu Gregory gunakan untuk memperhatikan Vincent, sambil berjalan mengikuti ke arah mana pria itu melangkah. Pria yang di sampingnya itu memiliki rahang yang tegas, hidungnya yang mancung dihiasi tahi lalat kecil diujungnya, surainya yang berwarna hitam pekat sudah sedikit berantakan, membuat Gregory ingin sekali merapikan rambut pria itu dan menyelipkannya pada belakang telinganya. Atau ya, ia ingin melihat bagaimana potongan wajah Vincent yang tampan itu dengan rambut yang terurai. Ia belum pernah melihat pria itu melepas ikat rambutnya, bahkan saat pertama kali bertemu. Cahaya area outdoor restoran yang minim serta rasa gugupnya saat itu membuatnya tidak berhasil menangkap keindahan Vincent saat mengurai rambut panjangnya itu.

“—gory? Hei?”

Vincent melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Gregory yang sedari tadi terlihat mengamatinya dengan kedua matanya yang bulat seperti kelinci. “Kok melamun? Ada apa? Saya khawatir kamu tadi bakal menabrak sesuatu.”

Gregory mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya ia melamun.

“Ah, sorry. Lagi mikir sesuatu. Lo tadi ngomong apa, Vin? Maaf gue nggak fokus,” balas Gregory menggaruk tengkuknya dan tersadar, bahwa mereka sudah keluar dari stasiun kereta itu.

Vincent tersenyum, memiringkan kepalanya sambil membenahi letak kacamatanya. “No worries. Saya hanya bilang barusan kalau kita sudah dekat. Yuk, keburu malam. Pasti kamu sudah lapar.”

“Tahu aja kalau gue sudah lapar,” jawab Gregory cepat sambil terkekeh, lalu melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh lima malam. “Oh iya, sudah setengah sembilan. Yuk, lead the way, please!”

Pria yang berdiri di sampingnya mengangguk, lalu mengajaknya berjalan bersisian dengannya. Gregory lantas menyusul Vincent dan mengambil posisi berjalan di sisi luar jalan.

Sadar akan hal itu, Vincent dengan sigap menarik lengan Gregory pelan dan secara tersirat memintanya untuk berjalan di sisi dalam trotoar.

Gestur sederhana itu, lagi-lagi membuatnya hati Gregory terenyuh dan membuat senyumnya sendiri mengembang seperti balon.

Ia hari ini senang sekali, menghabiskan waktu dengan Vincent, mengenal pria itu lebih dekat lewat pembicaraan ringan mereka. Sudah lama sekali Gregory tidak merasakan seperti ini; sebebas dan selepas ini, menertawakan hal yang sepele dengan seseorang yang sepertinya akan memiliki tempat tersendiri dalam hatinya.

Gregory terlalu senang malam ini, hingga dengan spontan ia membalikkan tubuhnya dan berhadapan Vincent, sambil berjalan mundur. Ia tidak peduli jika nanti akan menabrak seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Pun jikalau hal itu terjadi, ia yakin Vincent akan menolongnya.

Aksi Gregory itu menyita perhatian Vincent yang sedang memperhatikan jalanan dan banyaknya orang yang berlalu lalang.

Seketika kedua manik hazelnya terlihat terbelalak dari balik kacamata bulatnya.

“Gregory, what are you doing?” Pria itu bertanya dengan nada yang sedikit khawatir. Well, Vincent tidak bisa menyembunyikannya.

I used to hate Paris so much, you know,” mulai Gregory santai, tetap melangkahkan kakinya berjalan mundur, sambil tersenyum lebar dan memainkan kancing paling bawah pakaiannya yang berwarna hitam itu.

Ia merasakan kedekatannya beberapa hari ini dengan Vincent sudah cukup intim untuk mulai menceritakan isi hatinya selama ini.

He used to hate Paris, but now? Not anymore.

Vincent ber-oh-ria, bibirnya yang kecil membentuk huruf 'O'. Pria itu terlihat penasaran dan tertawa kecil, membuat kedua mata hazelnya menyipit. Pria itu memicingkan matanya, dahinya terlihat mengernyit, kedua alis tebalnya hampir menyatu.

Oh Tuhan, apakah aku sudah mengucapkan terima kasih pada-Mu karena sudah melihat senyum itu lagi hari ini?

Oh? What was the reason, Gregory?”

Pria yang dilempari pertanyaan oleh Vincent itu lantas tersenyum lebar, sebentar lagi kedua pipinya sepertinya akan nyeri karena terlalu sering tersenyum.

I always thought, why people always called Paris as a city of love? Wouldn't you find the exact meaning anywhere else?” Pria yang sedang berjalan berhadapan dengan Vincent itu berkata retoris. “Terlalu mainstream aja menurut gue.”

Vincent lantas berdehem, menanggapi kata-kata pria itu, berusaha menelaah apakah terdapat makna dibalik statement yang Gregory katakan.

But not anymore?” Ia bertanya.

Gregory lantas mengangguk, menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu tersenyum. Tahi lalat yang berada tepat dibawah bibirnya terekspos.

Sang konduktor orkestra beberapa kali mengerjapkan kedua matanya, ia masih belum menangkap maksud Gregory. “Why is that if I may ask?”

Sepasang mata Gregory terus menatap Vincent penuh arti.

I think you already know the answer, Vin.”


“Bas, kenalkan ini Gregory, teman baru gue. Sahabat dan teman dekat Timothy and Max. Ah, and Warren, too.”

Vincent memperkenalkan Gregory pada Sebastian, saat mereka berdua baru saja sampai di restoran Indonesia milik kedua sahabatnya itu. Restoran Indo Pride terlihat cukup ramai, hanya terlihat dua meja yang kosong. Selebihnya sudah diisi dengan beberapa warga Paris, ada juga beberapa tamu langganan yang sering Vincent jumpai setiap kali berkunjung ke sana.

Sebastian lantas menggosok tangannya dengan napkin yang ditaruhnya pada kantong apron yang ia kenakan. Ia lalu mengulurkan tangannya sambil tersenyum simpul. “Ah, salam kenal, Gregory. Nama gue Sebastian,” katanya singkat. “Anggap rumah sendiri, ya. Sama-sama anak perantauan. Tobias is taking care of something. Sebentar lagi mungkin selesai.”

Mendengar lawan bicaranya yang sepertinya pendiam itu, Gregory hanya membalas dengan menjabat tangan pria yang bernama Sebastian itu sambil tersenyum kikuk. “Ah iya, thanks. Nice place, by the way—”

Of course it's a nice place, bro,” kata seorang pria yang rambutnya terlihat seperti coklat karamel itu tiba-tiba, langsung menjabat tangan Gregory dengan cengkraman yang kuat sambil tersenyum. “Nama gue Tobias, salam kenal ya. Meja lo berdua sudah gue siapkan di belakang.”

Tingkah kedua sahabatnya itu membuat Vincent hanya bisa memutar kedua bola matanya dan melipat tangannya didada. Ia yakin betul, sebenarnya mulut Sebastian dan Tobias benar-benar sudah gatal dan ingin mengomentarinya dengan Gregory.

Pasalnya, Vincent tidak pernah mengajak siapapun selain sahabatnya ke restoran ini.

Okay, enough talking,” sela Vincent kemudian sambil berdecak. “Gue dan Gregory sudah lapar banget, nih. Hari ini lo lagi masak apa, Bas?”

Tobias hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya, ia hafal betul bahwa ini adalah hal yang Vincent lakukan jika dirinya sudah agak kesal. “Hari ini kita lagi masak gulai kambing. Mau, kah? Lo mau, Gregory?” Tobias menawari tamu mereka itu. “Bas' gulai kambing is the best, by the way.”

Seketika perut Gregory berbunyi saat mendengar Tobias berkata demikian. Suara itu pun tidak luput dari telinga Vincent dan juga kedua sahabatnya, membuat mereka semua akhirnya tertawa.

“Mau banget, please. Gue sudah lapar sekali!” Kata Gregory menjawab sambil menyunggingkan senyumnya kikuk.

Tak lama kemudian, Vincent mengajak Gregory melangkah ke arah dalam restoran, agak jauh dari pintu masuk. Mereka harus melewati bar kecil yang ada di sana untuk sampai di meja yang telah disediakan. Sepertinya spot ini adalah tempat favorit di restoran itu, karena letaknya yang agak tersembunyi.

This place is really nice, though, membuat rasa rindu dengan Indonesia agak terobati sedikit, ya nggak sih, Vin?” Gregory bertanya pada Vincent saat mereka sudah duduk berhadapan di meja itu. Ia lalu melepaskan jaketnya dan membalikkan tubuhnya sedikit untuk menyampirkannya pada sandaran kursi yang didudukinya.

Vincent yang sedari tadi sedang memperhatikan gerak gerik Gregory lantas mengangguk dan menggumam. “Yes, a little bit. Saya salut dengan Sebastian dan Tobias, benar-benar membuat restoran ini dari nol, sampai sekarang menjadi sukses seperti ini.”

Gregory mengangguk, hanya bisa merespon dengan melempar senyum simpul, lalu ia diam seribu bahasa, tenggelam dalam kekhawatirannya sendiri.

Apalah dirinya dibandingkan dengan Vincent dan teman-temannya, yang semuanya sudah terlihat sukses dan mapan, tanpa terkecuali?

Beberapa menit berlalu, mereka habiskan dengan diam seribu bahasa. Perubahan mendadak Gregory membuat Vincent merasa panik, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya, merapikan poninya, dan menyelipkan pada belakang telinganya, hanya untuk memancing Gregory keluar dari lamunannya.

Sedang pria itu, ia terlalu fokus dengan pikirannya. Jika didalam kepalanya terdapat mesin berpikir, mungkin suara deru mesin itu sudah terdengar sampai ke seluruh ruangan.

“Gregory,” panggil Vincent pelan sambil menjentikkan jarinya didepan wajah pria di hadapannya itu. “Apa saya ada salah bicara lagi? Kamu hanya diam saja dari tadi.”

Pria bermata bulat itu lantas kembali ke realita, mengerjapkan kedua matanya terkejut. Ia lalu menggeleng sambil tersenyum.

Ia tidak mungkin menceritakannya pada Vincent, 'kan?

“Nggak kok, gue melamun karena ngantuk saja,” jawabnya terkekeh. “Dan tiba-tiba teringat, besok malam gue mulai kerja, manggung live music.”

Sekaku apapun dan setinggi apapun tingkat ketidak pekaan Vincent, ia lambat laun sudah bisa mengamati dan mengerti akan gerak gerik dan gestur Gregory.

Ia berusaha memahami emosi pria itu yang mudah sekali berubah.

Vincent lalu berpikir, sepertinya Gregory sedang berbohong dan menyembunyikan sesuatu darinya? Namun ia tidak mungkin serta merta menuding hal yang belum tentu benar adanya, 'kan?

Maka ia memutuskan untuk tidak lagi menanyakan hal itu dan berusaha mencari topik pembicaraan lain.

“Ah iya, saya belum tanya soal tempat kamu bekerja. Di mana, kah? Saya mau mampir untuk nonton kamu sewaktu-waktu,” kata Vincent sambil mengeluarkan handphonenya dari dalam saku celananya. Sepertinya pria itu ingin menyimpan nama bar tempat Gregory akan bekerja mulai besok pada aplikasi notes yang ada dalam handphonenya.

Vincent lalu menatap kedua mata Gregory lekat-lekat, mencoba memberikan seluruh atensinya pada pria itu. Ia terlihat meletakkan handphonenya diatas meja, menunggu jawaban Gregory.

Gregory secara tidak sadar menyunggingkan senyum saat mendengar janji Vincent barusan. Pria itu akan mengunjunginya saat sedang bekerja. Pria itu juga akan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya hanya untuk menonton dirinya.

Ia rasanya ingin menggigit jaketnya saat ini juga.

Les Disquaires, Vin. Lo tahu? Daerah Rue des Taillandiers.”

Vincent lantas mengangguk cepat sambil tersenyum, tanda ia mengetahui tempat itu.

Ada rasa senang yang tiba-tiba menyeruak dalam dada Gregory.

“Ah, saya tahu! Saya biasanya ke sana karena bar itu sering ada live music dengan genre jazz. Sebisa mungkin saya akan luangkan waktu untuk menonton kamu di sana, okay?”

Tanpa Gregory sadari, bersamaan dengan kalimat itu, ia merasakan sentuhan lembut pada lengannya. Hanya beberapa detik, sebelum akhirnya Vincent menyadari raut wajah Gregory yang tidak bisa terbaca dan menarik kembali tangannya.

Namun, Vincent mungkin tidak akan pernah tahu bahwa sentuhan pada lengannya itu, membuat Gregory rasanya ingin mengulurkan kedua tangannya dan mengalungkannya pada leher pria itu untuk memeluknya.

Sudah lama sekali ia tidak merasakan hal seperti ini. Sentuhan lembut dari Vincent terasa berbeda, seperti memiliki ciri khas tersendiri.

Gregory menyunggingkan senyumnya yang lebar sambil menopang dagunya dengan telapak tangan kanannya yang terbuka. Ia berusaha menyembunyikan semburat merah muda pada kedua pipinya.

Sepertinya ia benar-benar sudah gila karena seseorang bernama Vincentius.

Okay, Vin. Thank you for your support, I really appreciate it.”

Vincent tersenyum dan berkata, membuat dirinya yakin bahwa dengan janjinya pada Gregory itu, mungkin ia sudah bisa membuat pria itu merasa senang hari ini.

I'll do anything to make you feel happy again, Gregory.”


*Descend à gauche: Please get off the train on the left in French

Merde*!”

Vincent untuk pertama kalinya mengumpat di depan teman-teman anggota orkestranya. Jujur saja, ia kelepasan. Ia tidak pernah seperti ini, membiarkan emosi pribadi dan isi kepalanya sendiri mempengaruhinya saat sedang latihan orkestra, membuatnya menjadi terlihat sangat tidak profesional.

Ia selalu, garis bawahi, selalu tahu bagaimana cara mengubah mode dirinya, menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Ia bisa menjadi Vincentius yang tegas saat sedang latihan orkestra, ia bisa menjadi Vincentius yang disegani sekaligus menyeramkan saat sedang memimpin orkestra, dan ia bisa menjadi Vincentius yang kaku namun humoris saat sedang bersama teman-temannya. Ia tahu kapan harus bersikap santai, kapan harus bersikap tegas layaknya pemimpin.

Namun sepertinya, prinsipnya sendiri sedang menertawainya? Vincent tidak mengenal dirinya sendiri saat ini. Ia sadar betul beberapa temannya yang duduk di depan podium kecil tempatnya berdiri untuk memimpin latihan sudah meliriknya dengan tatapan aneh.

Seorang Vincentius yang pembawaannya selalu tenang dan fokus saat latihan, hari ini terlihat berbeda dari biasanya.

Tidak mungkin keanehan yang ia rasakan dalam hati dan pikirannya saat ini hanya karena kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dan Gregory, 'kan? Hanya beberapa hari berselang sejak mereka mengenal satu sama lain, mengapa rasanya Vincent sudah merasa kesulitan untuk memahami sifat pria yang lebih muda darinya dua tahun itu? Vincent paham, ia adalah seseorang yang kaku, ia tidak butuh diingatkan lagi oleh teman-temannya. Ia yang pembawaannya selalu tenang merasa seperti sedang berhadapan dengan seseorang yang memiliki mood seperti petasan banting.

Satu hal yang dapat Vincent simpulkan setelah beberapa hari ini berinteraksi dengan Gregory, bahwa pria itu mudah sekali mengambil kesimpulan, yang mengakibatkan kesalahpahaman terjadi.

Apa yang Vincent katakan hampir selalu disalahartikan, membuatnya harus selalu berhati-hati saat berbicara dengan Gregory. Ia khawatir dengan hal-hal atau bahkan kata-kata yang terucap dari mulutnya akan menyakiti hati pria itu.

Padahal, membuat Gregory seperti ini tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Ingat tentang buku catatan kecilnya yang ia miliki sejak kecil, yang berisi torehan cita-cita ingin menjadi konduktor orkestra terbaik di dunia? Ya, beberapa lembar buku itu sudah menjadi kamus kecil berisi hal-hal yang berkaitan dengan Gregory.

Vincent menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan sejenak pria itu dari dalam pikirannya. Ia harus fokus, ia tidak bisa membiarkan hal sepele semacam ini mengganggunya. Ia tidak ingin teman-temannya berpikir bahwa ia tidak bisa bersikap profesional. Ia harus segera kembali pada “mode” konduktornya dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Vincent tidak akan membiarkan dirinya berlarut-larut dalam labirin pikirannya dan membuang waktu yang sudah diluangkan oleh teman-temannya untuk berlatih hari ini.

Sang konduktor orkestra itu berkacak pinggang sambil menghela napas berat. Ia mencengkram baton stick miliknya yang berwarna coklat tua itu dengan tangan kanannya, sedang tangannya yang lain bersandar pada stand partitur di hadapannya.

Hari ini mereka akan berlatih satu lagu saja, melakukan pemanasan karena belum pernah memainkan lagu Swan Lake sebelumnya. Partitur yang Vincent dapatkan beberapa tahun lalu dari konduktor senior yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi itu benar-benar disimpan olehnya untuk dijadikan sebuah kejutan suatu hari nanti.

Ia bersyukur akhirnya dapat membawakan lagu tersebut di hadapan ribuan orang dalam konser yang akan diselenggarakan enam bulan mendatang.

Can we start from the beginning? It's far from perfect,” kata Vincent pada teman-temannya yang duduk berbaris dengan formasi membentuk bulan sabit di hadapannya. Vincent sedari tadi berdiri diatas podium kecil berbentuk kotak, dengan stand partitur di hadapannya.

Ia menghela napas berat, ia merasa latihan mereka hari ini tidak sesempurna biasanya. Sepertinya hal itu pun dipengaruhi oleh pikirannya yang sedang berkecamuk saat ini.

Mendengar Vincent berkata demikian, salah satu teman dekatnya dalam klub orkestra, Eléonore, yang memiliki posisi memegang alat musik cello, menengadahkan kepalanya, melihat ke arah Vincent sambil tersenyum simpul. “Alright.”

Wanita itu lantas menegakkan duduknya, bersiap dengan alat musik miliknya yang besarnya hampir menutupi tubuhnya yang mungil itu. Eléonore membenahi letak cello yang ia letakkan diantara kedua kakinya itu, sambil tangan kirinya sudah menekan senar pada leher alat musik itu dan tangan kanannya memegang bow* dengan posisi siap.

I'm ready, Vincent. Let's go.”

Vincent merespon dengan mengangguk dan tersenyum. Ia lalu membalikkan badannya ke arah kursi penonton gedung pertunjukan orkestra yang terlihat kosong, menarik napas panjang sambil memejamkan matanya.

Ia lantas mengubah mode pikirannya dan fokusnya kembali menjadi Vincentius, sang konduktor orkestra.

Selama lima belas detik Vincent luangkan untuk menenangkan pikirannya dan mengatur napasnya, ia akhirnya merasa siap dan membalikkan tubuhnya ke arah panggung dan mengangkat baton sticknya diudara.

Ia tersenyum pada teman-temannya yang sudah siap dengan alat musik masing-masing. Bagian selo, biola, terompet, trombon, piano, bass drum, flute dan bass pun terlihat menunggu aba-aba dari Vincent sambil berfokus pada partitur yang masing-masing terlihat di depan mereka.

Sang konduktor muda itu mengayunkan stik miliknya dan mengarahkannya pada bagian selo untuk memulai melodi instrumen klasik Swan Lake itu. Terlihat Eléonore menggesekkan bownya pada senar selo miliknya sambil kedua mata wanita itu melirik ke arahnya dan partitur bergantian, mengikuti gerakan tangan sang konduktor. Vincent lalu mengarahkan baton sticknya ke bagian terompet, mendengarkan dengung suara alat musik itu melebur jadi satu dengan suara selo dan biola.

Vincent lalu memejamkan matanya sambil tetap mengayunkan baton sticknya, merasakan barisan not balok itu dalam partitur instrumen klasik itu melantunkan melodi yang indah dan membelai telinganya.

Ia berhasil menyingkirkan Gregory dari pikirannya dan berfokus dengan partitur dan gerakan tangannya, memimpin grup orkestranya melantunkan instrumen klasik itu sampai selesai dengan sempurna.

This is where his heart and mind belong right now.


Timothy dengan cepat menutup pintu apartemen Vincent setelah berhasil masuk dengan kunci cadangan yang diberikan oleh Sebastian beberapa menit yang lalu. Sebelum sahabat Vincent itu berangkat dari apartemennya yang terletak di daerah Boulevard de Clichy menuju apartemen Vincent, ia sempat menghubungi Sebastian via pesan dan memberitahu bahwa ia akan mampir ke restoran miliknya untuk mengambil kunci.

Tanpa berlama-lama, teman satu apartemen Vincent itu pun mengiyakan permintaannya dan berjanji akan menunggunya di restoran.

Ia lalu memasuki apartemen Vincent dan menaruh beberapa barang bawaannya di sofa dekat jendela kaca apartemen itu. Ia sempat membeli makanan dari restoran milik Sebastian dan Tobias, bermaksud untuk menyantap makan siangnya di apartemen sahabatnya saja, khawatir kalau Vincent akan tiba di apartemennya lebih dulu.

Sahabat Vincent itu berjalan ke arah dapur, membuka lemari yang terletak diatas dan meraih sebuah gelas miliknya untuk mengambil minum.

Persahabatan mereka berdua yang sudah terjalin selama lebih dari enam tahun itu sempat membuatnya tinggal di apartemen sahabatnya itu. Sebelum akhirnya beberapa tahun lalu ia tidak sengaja berkenalan dengan Maximillian pada saat menonton pertunjukan opera. Timothy saat itu sedang mendukung temannya dengan hadir untuk menonton pertunjukan opera. Seorang pria duduk bersebelahan dengan dirinya, yang akhirnya ia ketahui namanya. Maximillian.

Beberapa bulan kemudian, ia menjalin hubungan dengan sang art curator itu dan memutuskan untuk tinggal bersama di apartemen Maximillian setahun setelahnya.

Vincent sempat tidak ingin berbicara padanya selama tiga hari, karena Timothy memberitahunya tiga hari sebelum kepindahannya dari apartemen miliknya. Membutuhkan usaha yang ekstra untuk membujuk Vincent, karena bagi Vincent, sebelum Sebastian dan Tobias menjadi temannya dan “masuk” dalam hidupnya, satu-satunya teman yang selalu siap sedia menemaninya adalah Timothy.

Namun selama tiga hari itu, Vincent gunakan untuk merenung dan memikirkan keputusan sahabatnya. Vincent akhirnya berhasil menurunkan egonya dan memahami keputusan Timothy untuk pindah dari apartemennya dan tinggal dengan Maximillian.

Ruangan tengah apartemen itu terlihat sangat rapi, mengingat tiga sekawan yang sudah tinggal di sana selama beberapa tahun terakhir memang tidak tahan jika melihat barang-barang yang berantakan.

Timothy lalu melangkahkan kaki ke arah pintu kamar Vincent sambil melepas coat yang ia kenakan dan menggantungnya pada gantungan pakaian yang terletak di dekat pintu kamar sahabatnya itu. Ia melihat pintu kamar Vincent terlihat sedikit terbuka, mengintipnya sebentar sambil melihat keadaan kamar sahabatnya itu.

Rapi, tidak ada yang berantakan.

Ia lantas menutup pintu kamar Vincent, lalu memutuskan untuk menyantap makan siangnya sekarang, sebelum sahabatnya itu datang.

Apa yang akan dibicarakan oleh Vincent, ya?

Timothy memikirkannya sejak tadi ia menempuh perjalanan menuju restoran Indo Pride, sebelum akhirnya bertolak ke apartemen Vincent. Ia tidak tahu menahu tentang apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu.

Terakhir kali Vincent secara tersirat memintanya untuk datang dan menemaninya adalah saat beberapa tahun lalu lamarannya menjadi konduktor orkestra ditolak oleh salah satu pengelola sebuah klub orkestra. Baru kali itu Timothy melihat dengan mata kepalanya sendiri, sahabatnya menangis dalam diam dan tidak menanggapi pertanyaannya sama sekali. Baru kali itu, Timothy melihat sisi rapuh sahabatnya yang sedang berusaha menerima kenyataan bahwa ia baru saja gagal dalam proses mencapai cita-citanya.

Maka Maximillian tidak heran saat kekasihnya menghubunginya dan meminta maaf karena akan membatalkan janji temu mereka untuk pergi ke apartemen Vincent. Kekasih Timothy itu tahu betul mengenai cerita kegagal Vincent beberapa tahun lalu, maka ia lantas mengiyakan permintaan Timothy, mengingat Sebastian dan Tobias pasti akan sibuk dengan pekerjaan mereka.

Timothy hanya khawatir kejadian itu terulang kembali, karena ia tahu Vincent sedang melakukan latihan dengan teman-teman anggota klub orkestranya yang akan menggelar konser enam bulan lagi.

Walaupun sebenarnya, Timothy sendiri ragu akan firasatnya itu.

Apa yang sedang mengganggu pikiran sahabatnya itu? Vincent jarang sekali memintanya bertemu untuk menceritakan hal yang sepele. Biasanya sahabatnya itu bahkan hanya mengajaknya bicara lewat telepon atau sekedar mengirim pesan.

Ia lantas menghela napas sambil melirik ke arah jam tangan yang dipakainya pada pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, seharusnya sebentar lagi Vincent tiba di apartemen.

Maka dengan sigap ia membereskan sisa makanannya yang ada diatas meja, lalu membawanya ke dapur dan dibuang ke tempat sampah yang tersembunyi dibawah kitchen island.


Saat Timothy hendak memasukkan alat makan yang sudah dicuci kedalam dryer, ia mendengar suara gemerincing kunci dari luar pintu, menandakan bahwa Vincent sudah sampai. Ia lantas dengan cepat menutup mesin itu dan mengatur waktu untuk mengeringkan alat makannya tadi, lalu melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah pintu.

Terlihat Vincent menutup pintu dengan sikunya asal, bahu kanannya membawa case biola miliknya, sedang bahu kirinya tersampir tali postman bag yang selalu dipakainya saat pergi latihan. Rambut Vincent sudah berantakan, terlihat ikatan rambutnya sudah longgar, pun kacamatanya sudah diatas kepalanya, dijadikan penyangga rambut yang agaknya sudah terlalu panjang dan menghalangi matanya.

Vincent melepaskan sepatunya sambil menghela napas lelah, belum menyadari bahwa sedari tadi Timothy sudah memperhatikannya dari kejauhan.

“Vin?” Timothy memanggil namanya riang, membuat Vincent seketika menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Timothy tersenyum lebar sambil berjalan ke arahnya. “Bonjour! Capek, ya?”

Ia hanya tersenyum simpul. “Lumayan. Metro hari ini penuh. Untung hanya beberapa perhentian sampai sini,” balasnya sambil melangkah ke arah ruang tengah apartemen, lalu melepaskan tas pribadinya dan tas biolanya dari kedua bahunya dan meletakkannya di sofa.

“Lo sudah makan ya?” Vincent bertanya tanpa menoleh pada sahabatnya yang sedang berjalan mengekor dibelakangnya. “Gue lapar sekali, lo ada beli makanan, nggak, Tim?”

Timothy akhirnya duduk di sofa, memperhatikan raut wajah Vincent yang sepertinya sudah sangat lelah. Dahinya pun berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia lantas menjentikkan jarinya di depan wajah sahabatnya sambil tertawa renyah. “Ada. Gue belikan nasi gorengnya Tobias tadi, nggak apa, 'kan?”

Seketika perut Vincent berbunyi, seperti merespon pertanyaan Timothy. Ia mendengar sahabatnya yang sedang duduk bersila itu tertawa keras suara perutnya.

Vincent hanya bisa memutar kedua bola matanya sambil melepaskan kacamatanya dan menaruhnya pada nakas terdekat.

Okay, I assume it's okay. Lo mau mandi atau makan dulu?” Tanya Timothy sambil berdiri dari duduknya, bermaksud menyiapkan makanan yang dibelinya tadi untuk ditaruh pada piring. “Lo ganti baju dulu saja, deh, gue yang siapkan. Atau kalau mau, lo mandi dulu,” usul Timothy cepat. You stink, just so you know,” sambung Timothy mengejek, sambil buru-buru berlari ke arah dapur, takut Vincent akan melemparinya dengan bantal karena ucapannya barusan.

“Sialan,” balas Vincent malas sambil melepas ikat rambutnya yang sudah longgar. Ia menyugar rambutnya yang sudah terasa lengket. Sepertinya ia harus segera keramas. Ia lalu berkata pada Timothy, setengah berteriak agar sahabatnya itu mendengar. “Gue mandi dulu ya, Tim. Be right back.”

Timothy menyahut dengan suaranya yang agak keras dari arah dapur apartemennya. “Alright!”


Tidak membutuhkan waktu lama untuk Vincent menghabiskan makanannya itu karena ia sudah sangat lapar. Ia lalu berdiri dan membawa sisa makanannya ke dapur, dengan cepat membersihkan piring dan cutleriesnya. Ia tidak ingin membuang waktu Timothy hingga larut malam.

Setelah selesai dengan kegiatannya di dapur, ia lantas melangkah ke arah sofa abu miliknya dan duduk di samping Timothy.

So, what's going on?” Timothy membenarkan duduknya, menarik kedua kakinya keatas sofa.

Vincent menarik napas dan menghembuskannya perlahan. “We had a misunderstanding. Me and Gregory both.”

Mendengarnya, Timothy lantas menegakkan tubuhnya, memposisikan duduknya untuk menghadap ke arah Vincent yang terlihat sedang memijat batang hidungnya. “Hah? Lagi? What happened?”

Vincent mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Ia menyisir rambutnya kebelakang, membuat dahinya yang lebar dan kedua alisnya yang tebal terpampang jelas. “I don't know either, bro. Awalnya kami bicara soal some kind of deal between us, we once had discussed the topic when we went to Louvre. Setelah itu, gue balas pesannya, and at the end he said I'm different thru text.”

“Ah...,” balas Timothy sekenanya sambil tersenyum kikuk. “Gue paham.”

“Gue nggak paham harus bagaimana, Tim. I mean, what should I do to be able to read his mind, though? Setiap kali gue bicara, gue benar-benar memikirkan pilihan kata yang harus gue pakai supaya somehow it won't hurt him.”

Timothy menanggapi dengan menggumam, memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan pada sahabatnya yang terlihat sedang memejamkan sepasang matanya itu.

Sebenarnya, setelah Timothy memperkenalkan keduanya di Page 35 beberapa hari lalu itu, saat perjalanan pulang, seketika muncul kekhawatiran dari dalam hatinya. Ia betul-betul mengenal sifat keduanya; Vincent yang pendiam dengan Gregory yang ceria dan ekspresif, Vincent yang kaku dengan Gregory yang benar-benar seperti gelang elastis, Vincent yang hampir selalu serius dengan Gregory yang pembawaannya santai, sering sekali menanggapi sesuatu dengan candaan.

Perbedaan terbesar itu saja sudah membuat Timothy meringis saat itu, khawatir akan kedua temannya yang kepribadiannya sangat bertolak belakang akan clash kapanpun.

Namun ia masih mencoba untuk berpikir positif, walaupun ia tahu, jika keduanya disatukan rasanya sulit.

Mereka berdua ibarat minyak dan air.

Akan tetapi, suatu saat, pasti mereka berdua akan melebur jadi satu, 'kan?

“Apa gue harus mencoba merubah pola pikir gue, prinsip gue, dan kebiasaan gue berbicara seperti Gregory, ya, Tim, supaya kami berdua bisa klik?” Vincent bertanya sambil menengadahkan kepalanya, memandang langit-langit ruang tengah apartemennya.

Timothy hanya bisa membelalakkan kedua matanya dan bertanya pada Vincent dengan nada tajam. “Excuse me?! Do you even hear yourself?”

Apa Vincent sudah gila? Sejak kapan ia mau melakukan hal seperti itu hanya untuk bisa berbicara dan klik dengan orang lain?

Yell at me, please, Tim. I don't even know myself anymore since he came. Since I shook his hand days ago at Page 35.”

Okay,” balas Timothy cepat sambil memutar kedua bola matanya. Berlebihan sekali sahabatnya ini barusan. “Lo berlebihan sih kalau sampai mikir lo nggak mengenal diri lo sendiri lagi.” Timothy menyambung lagi, sebelum akhirnya Vincent melempar bantal sofa kecil ke arahnya. Ia mengumpat. “Sialan! But, I am right, no?” Timothy lalu bertanya pada Vincent sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena dilempari bantal.

“Maksud lo gue lebay, begitu?” Vincent bertanya, melirik ke arah Timothy sambil tertawa melihat sahabatnya itu. “Maka itu gue tanya, gue harus bagaimana supaya gue paham apa isi kepalanya? Lo tahu sendiri gue baru kali ini bertemu orang seperti dia, berbeda dengan lo yang punya banyak teman seperti dia.”

Timothy lantas berdeham dan memulai bicara. “Menurut gue, lo hanya harus berkomunikasi dengan dia lebih sering, sih. Dan lo harus memberi dia pengertian bahwa lo nggak paham maksud dia apa.”

Ia berusaha menjelaskan pada Vincent dengan bahasa yang sederhana, tidak ingin berbelit-belit yang dikhawatirkan akan berujung dengan melihat sahabatnya itu mengernyitkan dahi dan memutuskan untuk menyudahi pembicaraan ini.

“Gue tahu, memang salah satu harus ada yang “mengalah”, tapi bukan berarti lo kehilangan jati diri lo sendiri, sih. Sebuah hubungan, walaupun hanya berteman, lo pasti akan menyesuaikan diri dengan sendirinya, 'kan? Ini menurut gue, lo berdua masih kaget saja, dan it's too fast, no? Baru juga beberapa hari, Vin, nggak mungkin lo dengan dia langsung klik.

“Yang penting, lo dan dia sama-sama tidak kehilangan “diri sendiri” saja, menurut gue itu sudah langkah awal yang baik. Perbanyak komunikasi saja.”

Vincent hanya menggumam. Timothy tidak bisa membaca raut wajah sahabatnya itu.

“Gue ingin jadi sosok yang bisa membuat dirinya jadi lebih baik, Timothy. Menurut lo, apa gue bisa?”

Timothy mengernyitkan dahinya bingung sambil memiringkan kepalanya. “Wow, that's... wow? Mengapa lo punya keinginan seperti itu?”

Sahabatnya itu hanya menghela napas pelan sambil mengangkat kedua bahunya. “I don't know. There's something about him that hypnotizes me. I want him to let his sorrow and pain go, and maybe his doubts, his fear, his insecurities? I want to see his happy side. I know he'll be so beautiful and his life will be too. No?

Do you think I'll be able to help him to reach that happiness, Timothy?” Vincent bertanya pada sahabatnya, memandang sepasang mata itu dengan penuh harap.

Because I really want to, Tim. I really do.”


*Merde: cuss word in French *Bow: alat penggesek alat musik cello dan biola

Entah apa yang sedang membelenggu pikiran Gregory siang tadi, sehingga ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke studionya dengan misi baru.

Sebelum sampai di studio, ia sempat mampir ke salah satu minimarket terdekat dan membeli peralatan untuk bebersih, tidak lupa membeli pengharum ruangan dan beberapa wangi varian aromaterapi yang ia rasa cocok dengan selera Vincent. Ia menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit hanya untuk meminta penjaga minimarket menjelaskan satu persatu varian aromaterapi yang dijual di sana.

Gregory bersyukur Thomas tidak tahu bahwa sahabatnya itu sedang berbelanja barang-barang yang bukan untuk dirinya sendiri, membuatnya harus merogoh kocek yang lumayan dalam hanya untuk membuat pria yang lebih tua dua tahun darinya itu merasa nyaman saat latihan di studio miliknya.

Ia menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil saat membayar barang belanjaannya di kasir. Segala hal yang ia lakukan hanya untuk seorang Vincentius, pria misterius dan kaku yang baru dikenalnya kemarin di sebuah restoran yang cukup mahal. Seorang pria yang ternyata adalah salah satu konduktor orkestra yang namanya sudah terdengar di kalangan musisi dan klub orkestra yang berkarya di Paris.

Seorang pria, yang rasanya membuat Gregory penasaran setengah mati hanya dengan melihat sebuah foto yang dikirim oleh Timothy beberapa hari lalu. Sejak saat itu, pikirannya selalu diisi dengan wajah Vincent dan imajinasinya, seperti apakah sifat pria itu, bagaimanakah pembawaan pria itu, dan seperti apa perawakannya jika ia bertemu langsung.

Jawaban akan segudang pertanyaan yang ada dalam kepalanya akhirnya terjawab saat ia akhirnya bertemu dengan Vincent tadi malam.

Tidak pernah seumur hidupnya, ia melihat pria sesempurna sang konduktor orkestra itu. Pria dengan paras yang tampan, hidung yang mancung, rahang yang tegas, alis hitam yang tebal, kedua kelopak mata yang lipatannya berbeda, sorot mata yang tajam namun tidak ada kesan menuduh, dan kacamata dengan frame bulat yang tidak terkesan kuno; bertengger manis pada batang hidungnya.

Malam itu, ia menyembunyikan rasa hangat yang seketika menjalar pada pipinya dan dadanya yang terasa seperti dihinggapi kupu-kupu dengan mengulurkan tangannya cepat pada Vincent. Ia mengajak pria yang berdiri di hadapannya itu berjabat tangan.

Saat pertama kali hangatnya telapak tangan pria itu menyentuh tangannya yang dingin akibat udara Paris malam itu, gelenyar aneh mengalir keseluruh anggota tubuhnya.

Gregory tidak bisa berbohong. Ia rasanya ingin terus-menerus merasakan kehangatan itu.

Sebenarnya, ia bukanlah pria yang mudah tertarik dengan seseorang. Baginya, mempercayakan hatinya pada orang lain bukanlah hal yang mudah. Ia harus ekstra hati-hati jika ingin melakukannya. Ia tidak ingin jika hatinya yang sudah susah payah dijaga oleh dirinya sendiri, akan dihancurkan begitu saja oleh sembarang orang.

Kekecewaan yang pernah dialami sebelumnya membuatnya belajar untuk tidak mudah percaya dengan siapapun.

Namun Vincentius, oh pria itu, membuat Gregory rasanya seperti terhipnotis, seketika prinsip itu luntur bersamaan dengan senyum simpul yang tersungging pada wajah Vincent kemarin.

Seketika prinsip yang selalu ia tancapkan pada dinding labirin pikirannya itu jatuh hingga ke dasar.

Ia berpikir, sepertinya jatuh cinta dengan Vincentius semudah membalikkan telapak tangannya dan semudah memetik senar gitar miliknya.

Gregory merasa, kehadiran Vincent di hidupnya bukan hanya sesaat dan hanya kebetulan.

Perasaannya tidak akan salah, 'kan?


Saat Gregory sampai di studionya, ia langsung membereskan barang-barangnya dan membersihkan ruangan itu agar Vincent dapat dengan leluasa menggunakannya untuk latihan esok hari. Ia memang termasuk individu yang sangat mementingkan kebersihan dan kerapian, namun hari ini, ia membersihkan apartemennya seperti orang kesetanan. Semua peralatan musiknya disemprot dengan cairan khusus untuk membersihkan alat-alat musik, digosok dengan lap basah hingga mengkilap, pun dengan kursi yang biasa diduduki oleh Gregory.

Semuanya bersih, seperti baru.

Lima jam ia habiskan di studio musik dengan tidak mengindahkan handphonenya yang sedari tadi berbunyi, tanda ada pesan masuk. Ia terlalu seru dengan kegiatannya, sampai melupakan fakta bahwa ia sedang menunggu pesan balasan dari Vincent. Tadi malam, pria itu mengirim pesan, namun ia baru sempat membacanya pagi hari tadi karena sudah terlalu lelah.

Seluruh tubuhnya sudah lengket karena keringat, kaos oblong warna hitamnya sudah menempel pada punggungnya, tanda ia harus segera mandi agar tidak masuk angin. Dahinya pun bercucuran keringat. Beruntung hari ini ia memakai headbandnya agar rambut hitamnya tidak menempel pada dahinya.

Gregory mengangkat ujung bajunya ke atas untuk menyeka keringat yang sudah membasahi wajahnya, lalu berjalan ke arah kursi tempat ia meletakkan handphonenya tadi.

Napasnya masih tidak beraturan karena lelah. Ia lalu duduk di lantai dan menyandarkan tubuhnya pada dinding studio sebelum akhirnya meraih handphonenya.

Ia mengernyit, terpampang pesan terakhir dari Vincent, yang membuat hatinya rasanya mencelos. Ia merasa usahanya untuk membersihkan studionya hingga terlihat seperti baru itu hanya sia-sia saja.

'Oh, nggak apa, Gregory. Saya hanya tanya. Maksud saya, kalau kamu ada di sana, mungkin saya lebih baik tidak latihan.'

Apa maksud pria itu membalas pesannya seperti ini?

Seketika kepalanya pusing, ia memejamkan kedua matanya dan menekuk kakinya sehingga kedua lututnya menyentuh wajahnya yang sedang menunduk.

Seperti inikah rasanya harapanmu dijatuhkan dari atap sebuah gedung ke dasar tanah? Mengapa sepertinya pria itu tidak ingin bertemu dengannya?

Balasan seperti itu tidak mungkin hanya sekedar basa-basi. Tidak.

Namun Gregory tiba-tiba teringat akan kata-kata Timothy, betapa pria itu memang sangat kaku. Orang-orang yang hidup di sekitar pria itulah yang harus mencoba mengerti dan menurunkan ego mereka.

Akan tetapi, haruskah ia mencoba untuk mengerti akan respon spontan dan datar yang selalu dilontarkan oleh Vincent, demi bisa mendekatkan diri dengan pria itu?

Apa ia harus mengabaikan perasaannya sendiri?

Gregory lantas menghela napas berat. dan memencet tombol untuk mengunci layar handphonenya. Ia menengadahkan kepalanya dan memandang langit-langit ruang studionya yang berwarna putih gading itu.

Sejak kapan setiap respon yang diberikan oleh Vincent memengaruhi dirinya sampai seperti ini? Ia tidak ingat kapan dirinya pernah menghiraukan respon seseorang yang baru saja ia kenal.

Tidak pernah sama sekali, sampai Vincent datang ke hidupnya.

Ada apa dengan dirinya?


Gregory memiliki sifat keras kepala yang hampir parah, Thomas pernah mengeluhkan sifatnya itu secara terang-terangan padanya. Menurut sahabatnya itu, sulit sekali memberi pengertian pada Gregory untuk tidak ceroboh melakukan sesuatu hal yang ia inginkan. Pada akhirnya, Thomas pun akan selalu mengeluarkan kata-kata andalannya setiap kali Gregory bercerita padanya, bahwa ia gagal dan/atau hal itu tidak sesuai dengan yang ia harapkan.

'I told you so.'

Ia membaca kata-kata itu lagi pada layar handphonenya saat ini, saat ia memberitahu Thomas bahwa ia akan pergi ke apartemen Vincent tanpa memberitahu pria itu terlebih dahulu. Rasanya Thomas ingin sekali menyeret sahabatnya itu dan membatalkan keinginannya yang terlihat sangat terburu-buru.

Hal itu terjadi karena alasan yang benar-benar sepele pula. Hanya karena Vincent mengatakan padanya bahwa sepasang matanya akan terlihat lebih indah jika ia melepaskan segala luka dan kesedihan yang ia rasakan.

Gregory yang saat itu sedang menyusuri jalanan dari studio musiknya menuju stasiun metro terdekat, benar-benar menghentikan langkahnya untuk menepi di pinggir jalan.

Lagi-lagi ia mengernyitkan dahinya. Apa lagi maksud Vincent mengatakan hal seperti itu? Hatinya seharian ini seperti sedang dibawa naik wahana pontang-panting. Pria itu membuat kepalanya pusing, membuat dadanya berdegup kencang, dan tentu, membuatnya mabuk.

Gregory tidak bisa tidur dengan rasa penasaran yang menghuni hatinya. Ia tidak ingin menebak-nebak sesuatu yang tidak pasti.

Satu hal yang ia dapat simpulkan setelah mengenal Vincent selama beberapa jam belakangan, pria itu tidak bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan pesan.

Maka di sinilah Gregory, duduk di salah satu kafe yang terletak di jalan Rue de la Ferronnerie, di daerah apartemen Vincent berada. Ia sama sekali tidak menghiraukan larangan Thomas beberapa saat lalu.

Ia belum mau memikirkan apa yang akan ia lakukan, itu bisa diurus olehnya nanti.

Tujuannya saat ini adalah bertemu dengan Vincent untuk sekedar berbicara dengan pria itu. Rasanya obrolan mereka saat pertemuan pertama kemarin belum cukup.

Gregory merasa ingin bertemu dengan Vincent lagi secepatnya. Ia tidak bisa menunggu sampai pria itu mendatangi studio musiknya untuk latihan.

Ia tidak sabar.

Ia lalu meraih handphonenya yang diletakkan di meja dan mengirim pesan singkat pada Vincent.

Ia berharap, pria itu segera membalas pesannya dan usahanya untuk mengajak Vincent berbicara tidak sia-sia.


Vincent merasa bersalah saat membaca ulang balasan yang ia kirimkan pada Gregory beberapa saat lalu. Ia hanya merasa terkejut. Dari mana pria itu tahu daerah tempat tinggalnya? Apakah ia mengetahuinya dari Timothy dan/atau Maximillian? Atau dirinya sendirilah yang secara tidak sengaja memberitahu pria itu?

Tidak. Vincent ingat betul bahwa pembicaraan mereka tadi malam tidak sampai sejauh itu. Maka ia tidak heran jika dirinya mengirimkan balasan datar tak bernada itu pada Gregory, yang ternyata diinterpretasikan dengan arti yang berbeda oleh pria itu.

Vincent lantas merutuki dirinya sendiri.

Bodoh sekali kau, Vincentius. Kau terlihat seperti orang yang keterlaluan hanya lewat pesanmu itu.

Ia lantas mengirim pesan berkali-kali pada Gregory, berharap pria itu tidak langsung pulang dan bersedia untuk menunggunya. Ia harus meminta maaf pada pria itu karena balasannya beberapa saat lalu.

Saat ia mengetahui bahwa Gregory menunggu di Au coeur couronne, kafe yang berada persis di seberang apartemennya, ia langsung berlari ke arah kamar mandi untuk segera mandi dan bebersih dengan cepat.

Ia tidak ingin membuat Gregory menunggu terlalu lama dan berakhir meninggalkan kafe itu untuk pulang ke apartemennya.

Tidak sampai sepuluh menit, ia akhirnya menyelesaikan kegiatannya dan mengambil pakaiannya yang masih tergantung pada gantungan pakaian dekat pintu kamarnya. Ia menyugar rambutnya yang kering, menyisirnya asal dan menguncirnya hingga berbentuk bulat. Ia lalu berjalan ke arah nakasnya, mengambil sebotol parfum miliknya, menyemprotkan isinya pada ceruk leher dan kedua nadi tangannya. Tak lupa ia memakai kacamatanya sebelum keluar dari kamar tidurnya.

Vincent tidak pernah secepat itu berlari ke arah luar apartemennya untuk bertemu dengan seseorang, bahkan untuk bertemu dengan Timothy atau Maximillian.

Tidak pernah.

Ia berlari-lari kecil menuju kafe itu sambil melihat sekelilingnya. Jalanan di sekitaran apartemennya sudah terlihat semakin ramai. Ia yakin, kafe di depan gedung apartemennya pun pasti sudah dipenuhi pengunjung.

Sekilas sebuah pertanyaan muncul dalam kepalanya.

Apa Gregory sudah pulang karena tempat itu sudah semakin ramai?

Vincent memicingkan matanya untuk mencari sosok Gregory di area outdoor kafe itu. Ia merapalkan doa dalam hati, berharap pria itu masih ada di sana untuk menemuinya.

Tidak memerlukan waktu yang lama hingga ia akhirnya menangkap sosok Gregory dengan kedua matanya. Pria itu terlihat mengenakan jaket kulit hitamnya lagi. Kedua kakinya yang jenjang dibalut celana jins berwarna hitam, senada dengan sepatu keds yang ia kenakan.

Gregory duduk menyamping, hampir membelakanginya, membuat Vincent dapat melihat jelas rahangnya yang tegas. Ia melihat anting bulat berwarna silver tersemat pada cuping telinga pria itu.

Ia terlihat sedang fokus memandangi handphonenya, sepertinya sedang bertukar pesan dengan seseorang. Di hadapannya terlihat segelas es kopi yang setengah isinya sudah berkurang. Vincent merasa tidak enak hati, pasti pria itu sudah terlalu lama menunggunya.

Ia lantas mempercepat langkahnya dan menghampiri pria yang sekarang sedang terlihat menyeruput es kopinya itu hingga tandas.

“Gregory? Bonsoir.” Vincent menyapa pria itu sambil menepuk bahunya. Pria yang memiliki nama itu lantas menengadahkan kepalanya. Sepasang manik Vincent dari balik kacamatanya menatap sepasang mata bulat itu.

Vincent lalu menarik tangannya dari bahu Gregory, lalu menarik kursi yang berada persis di hadapan pria itu.

Gregory tersenyum tipis, hampir tidak terlihat oleh Vincent. Kedua matanya menunjukkan sorot aneh. Entah lelah atau sedih.

Shit.

“Saya minta maaf kalau kamu menunggu lama,” sambung Vincent sopan dan mengambil duduk.

Ia mendengar pria itu tertawa kecil, menyeka mulutnya sehabis meminum es kopinya tadi. “Bonsoir, Vincent. It's okay.”

Vincent melihat pria di hadapannya seperti kikuk, melihat ke arah gelas minumannya yang sudah kosong. Gregory menghindari kontak mata dengan dirinya.

“Sebenarnya, gue mau mengajak lo jalan-jalan malam ini.” Gregory memulai pembicaraan dengan nada datar. “Apa lo mau menemani gue sampai ke Louvre?”

Oh?

“Oh, tentu. Saya malam ini free, Gregory. Saya bersedia menemani kemanapun kamu ingin pergi,” jawab Vincent sambil tersenyum, lalu membenahi letak kacamatanya. “Apakah kamu mau pergi sekarang?”

Gregory mengangguk tanpa suara lalu mengangkat tangannya ke udara untuk memanggil seorang pelayan kafe. Ia bermaksud meminta bill pesanannya. Tak lama pelayan datang dengan membawa bill dan menyerahkannya pada Gregory. Ia lalu membuka dompet kecilnya yang berwarna hitam polos itu, mengeluarkan beberapa lembar pecahan uang Euro dan menyerahkannya pada pelayan itu sambil tersenyum. “Merci, garder le changement.” Gregory meminta pelayan itu untuk menyimpan kembaliannya.

Melihat Gregory sudah siap, Vincent lantas berdiri dari duduknya dan memasukkan kursinya lagi seperti semula. Ia melihat Gregory tersenyum, mengajaknya untuk berjalan berdampingan dengannya. Vincent dengan cepat melangkah untuk berjalan bersisian dengan Gregory, akan menemani pria itu berjalan kaki dari daerah apartemennya hingga Museum Louvre berada.

It's going to be fun, batin Vincent sambil menyunggingkan senyumnya pada Gregory yang akhirnya menatap matanya itu.


Jarak antara jalan Rue de la Ferronnerie dan Museum Louvre hanya sejauh tujuh ratus meter, dapat ditempuh hanya dalam waktu sembilan menit jika berjalan biasa. Sepertinya, mereka akan menempuh perjalanan lebih dari biasanya.

Namun Vincent tidak peduli, ia justru malah lebih menyukai ini, berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan Rue des Déchargeurs yang tidak seramai jalanan di depan gedung apartemennya.

Mereka berdua berjalan bersisian dalam diam, tidak ada satupun yang membuka suara untuk memulai pembicaraan. Beberapa kali Vincent berusaha melihat raut wajah Gregory dengan ekor matanya, namun ia tidak berhasil.

Vincent tidak bisa hanya diam seperti ini. Ia merasa canggung.

Maka ia menarik napasnya panjang, sebelum menghembuskannya dan mulai berbicara.

I want to say sorry if I somehow hurt your feelings earlier. It was never my intention.”

Gregory yang sedang memandang lurus ke depan, seketika menolehkan kepalanya. Matanya kembali bertemu dengan Vincent.

Ia hanya tersenyum simpul sambil menyelipkan surai pendeknya dibelakang telinganya, sedari tadi melambai ke sana kemari karena ditiup angin. “Nggak apa, Vincent. Gue juga minta maaf. Tidak seharusnya gue main datang ke daerah apartemen lo dan mengajak untuk bertemu mendadak.”

Mendengarnya, Vincent hanya menggeleng. “Tidak apa. Saya hanya kaget. Itu saja, kok,” balasnya sambil memberi sinyal pada Gregory untuk berbelok ke kanan, memasuki jalan Rue de Rivoli yang terlihat ramai. Banyak sekali orang berlalu-lalang, pun kendaraan yang memenuhi jalan yang cukup padat.

“Saya pikir, mungkin kamu mendapatkan alamat saya dari Timothy atau Max. Ternyata tidak.” Vincent mengambil posisi untuk berjalan di sisi luar trotoar itu, mempersilahkan Gregory untuk berdiri di sisi dalam. “But, it's okay. It doesn't matter anymore.”

Gregory melirik ke arah Vincent, tersenyum karena gesturnya yang mempersilahkan dirinya berjalan di sisi dalam trotoar. Matanya bertemu lagi dengan pria itu. Ia baru menyadari, mata Vincent berwarna coklat alami, seperti hazel.

“Ah, itu. Gue tahu karena dulu gue sempat mencari apartemen di daerah tempat lo tinggal. Surprisingly, it's yours now. Masalah gue tahu dari mana, Timmy once tweeted that he was in your apartment. I had a dream to live there, but I couldn't afford it, so yeah, that's why I knew. Once again I'm sorry.”

Vincent menoleh ke arah Gregory, yang sedari tadi sudah memperhatikannya. Ia melihat pria itu tersenyum lebar. Ia menyadari ada tahi lalat kecil persis dibagian bawah bibir Gregory yang kecil itu. “Ah, kebetulan sekali? Mungkin kapan-kapan, kamu bisa datang ke apartemen saya. Feel free to come, though.”

Ia dapat mendengar suara dari dalam kepalanya.

Feel free to come, Vincentius? That's so weird coming from a man like you.

Thank you, Vincent, but I'm okay,” jawab Gregory sambil tertawa renyah.

Vincent hanya tersenyum, menundukkan kepalanya sambil menggeleng.

Can you laugh again, Gregory? It sounds beautiful.

Ia sepertinya sudah benar-benar gila. Ia sama sekali tidak mengenali dirinya saat ini.

Setelah sekitar lima belas menit mereka lewati untuk menyusuri jalan Rue de Rivoli yang dipadati banyak sekali warga Paris, akhirnya mereka melihat Museum Louvre dari kejauhan. Gedung museum dengan kaca sebagai atapnya dan berbentuk seperti piramid itu terlihat indah, cahaya lampunya terang berwarna putih.

Gregory lantas menyunggingkan senyumnya lebar. Louvre selalu menghipnotis mata dan raganya untuk berdiri berlama-lama, memandangi museum itu.

Vincent memandang Gregory dengan sorot mata yang teduh. Mata bulatnya berbinar, seperti semua bebannya lepas dari sana. Ia ingin bertanya pada Gregory, namun ia urungkan. Ia tidak mau bersikap lancang seperti tadi siang, membuatnya panik setengah mati karena pria di sampingnya itu tak kunjung membalas pesannya.

Mereka berdua lalu menyeberangi jalan tepat di depan kawasan museum. Mencari tempat yang nyaman untuk berdiri sambil memandangi piramid kaca itu. Vincent mengajak Gregory melangkah sedikit menjauh, mencari tempat sepi agar mereka bisa mengobrol.

Gregory akan mengajaknya berbicara, 'kan?

Namun sepertinya pria yang lebih muda darinya itu bisa membaca pikirannya, karena tak lama setelahnya, Gregory mengambil posisi berdiri di hadapannya lalu berdeham.

“Vincent, apa gue boleh tahu maksud pesan lo tadi siang?” Tanya Gregory tanpa basa-basi, namun tidak ada nada marah terdengar di sana. Ia hanya penasaran, bagaimana bisa pria dengan paras tampan itu tahu isi hati dan pikirannya hanya dalam sekali bertemu.

Do my eyes really hold sorrow and pain?”

Lawan bicara Gregory tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya. Ia terkejut, tidak menyangka bahwa Gregory benar-benar akan menanyakan itu padanya.

Suasana di sekitaran Louvre tidak begitu ramai, membuat Vincent bisa merasakan keheningan diantara mereka berdua.

Apakah ia harus menjawabnya?

That's... just my guess. I'm sorry if it's wrong,” jawab Vincent akhirnya. “Saya minta maaf kalau saya terkesan sok tahu. Maaf kalau kata-kata saya membuatmu tidak nyaman—”

Stop saying sorry, will you? I'm okay, Vincent. I really am. I'm just curious.” Gregory menyela kalimat Vincent sambil tertawa dan mengibaskan tangannya tepat di depan wajah pria itu. Bisakah Vincent berhenti mengucapkan kata maaf? “Gue benar-benar hanya ingin bertanya. Please, jangan terlalu kaku dengan gue.”

Vincent lalu mengangguk dan menjawab sekenanya. “Alright, then. Can I start now?”

Gregory mengangguk pula dan tersenyum lebar, mengiyakan pertanyaan Vincent.

“Saat saya pertama kali bertemu mata dengan kamu dan mengobrol, rasanya saya melihat kesedihan dan luka yang sedang kamu tanggung, Gregory,” mulai Vincent sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku celananya. Malam ini dingin sekali, tangannya rasanya hampir kaku. “And that kind of pain and sorrow, I felt like you're unhappy. I had once asked Timothy about you. He sent me your photo, before we finally met. And I remember I told him that you're such a 'free' person. Hidup kamu seperti tidak ada beban.

But then, I met you for the first time yesterday and your eyes told me otherwise.”

Kedua mata Gregory terbelalak.

Vincent pernah melihat dirinya dalam foto sebelumnya?

Dan tunggu, dari mana pria itu tahu bahwa selama ini, ia belum menemukan titik bahagianya?

How do you know if I am unhappy, Vincent? Do my eyes tell that much?” Gregory bertanya sambil menghela napas berat. Sekarang bukan hanya Thomas yang tahu dan mengerti bahwa dirinya belum pernah menemukan kebahagian.

Gregory memandang sepasang mata Vincent lekat, sambil memainkan kepala resleting jaket kulitnya dengan jari tangannya.

Kedua mata Vincent layaknya magnet yang menariknya terus menerus.

Your eyes tell, Gregory. Mata adalah jendela hati setiap orang, bukan?” Vincent bertanya dengan hati-hati. Ia tidak ingin terdengar menuduh atau bahkan menggurui pria bermata bulat itu.

Sekilas, Vincent menyunggingkan senyum lebar, melihat mata bulat Gregory yang mengerjap-ngerjap lucu.

God, he's so beautiful like this.

God. Is this really my mind talking right now?

Gregory diam seribu bahasa, berusaha memikirkan jawaban yang harus ia berikan pada Vincent. Pria itu baru saja bertemu dengannya kemarin, namun mengapa ia merasa sudah mengenalnya selama berbulan-bulan?

Pria itu tahu bahwa dirinya tidak bahagia. Bagaimana bisa?

Apa matanya benar-benar memancarkan sedih dan luka itu?

Ia pun ingin tahu apa yang ada dalam pikiran Vincent tentang dirinya. Ia ingin tahu isi kepala dan hati Vincent yang sepertinya sudah terkotak-kotakkan sesuai dengan porsinya. Rasanya Vincent hanya tinggal mengeluarkan jawaban yang dibutuhkan saat kau memberikan pertanyaan padanya.

Tiba-tiba terbersit ide gila dari dalam kepala Gregory.

Apakah ia akan berhasil?

About my eyes, Vincent, I have an idea,” katanya ceria sambil mengacungkan jari telunjuknya di udara.

Vincent tersenyum lebar melihatnya. “What kind of idea, Gregory?”

How about you teach me to find my happiness, and I will give you free access to my music studio. Deal?”

Vincent akhirnya merebahkan tubuhnya yang lelah akibat kegiatannya yang padat hari ini diatas kasurnya yang empuk. Lampu penerang ruangan sengaja belum dinyalakan, ia ingin memejamkan kedua matanya barang sebentar, sebelum membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Seluruh tubuhnya terasa pegal, apalagi bagian punggungnya akibat hampir seharian membungkuk. Rasanya ia ingin meminta Sebastian atau Tobias untuk bisa menginjak-injakkan kaki mereka pada punggungnya, alih-alih pergi ke tempat refleksi untuk menghilangkan rasa pegal. Namun kedua temannya itu masih sibuk bekerja di restoran, kabarnya hari ini ada reservasi yang cukup banyak yang sebagian besar didominasi oleh para turis.

Ia menghela napas berat kemudian. Terlihat pada jam dinding berwarna abu yang sepadan dengan warna sofa di kamarnya, waktu masih menunjukkan pukul enam sore. Sinar matahari di luar lambat laun memudar, membuat Vincent rasanya sudah ingin pergi tidur. Walaupun ia tahu, ia masih harus melakukan beberapa kewajibannya; membereskan ruang tengah, mencuci pakaiannya dengan mesin, dan merapikan beberapa lembar partitur yang tadi dipakai saat latihan untuk disimpan lagi dalam laci nakas di kamarnya.

Hari ini secara resmi klub orkestranya memulai latihan rutin untuk mempersiapkan konser yang akan diselenggarakan pada enam bulan mendatang. Vincent tahu betul, sebagai konduktor orkestra, ia memiliki banyak tanggung jawab yang harus diemban. Bukan hal yang mudah untuk menjadi pemimpin sekaligus pembimbing klubnya untuk mencapai keselarasan yang sempurna. Sebagai konduktor, ia harus memastikan semua berjalan sesuai dengan keinginannya dan tentu, memimpin orkestranya untuk menghasilkan lantunan simfoni yang indah. Bahkan, ia harus memastikan bahwa komunikasi antar anggota klub berjalan dua arah.

Vincent akui, hal ini adalah hal tersulit yang harus ia lakukan. Bergelut dalam dunia orkestra selama tiga tahun, membuatnya perlahan mengerti bagaimana caranya “berinteraksi” dan “bekerja” dengan orang lain. Selama hidupnya, ia lebih senang berlatih dan/atau bermain musik sendiri. Entah mengapa ia selalu enggan berbagi waktu untuk melakukannya dengan siapapun. Seringkali ia dicap teman-teman semasa duduk di bangku sekolah sebagai individu yang angkuh, strict dan kaku. Sebagai seseorang yang bersifat cuek dan masa bodoh dengan perkataan orang lain, ia hanya menganggapnya sebagai angin lalu.

Menurut Vincent, ia hanya akan mengikuti apa kata hatinya. Kedua orang tuanya pun benar-benar memberikan kebebasan pada dirinya sejak kecil. Akan tetapi, orang tuanya memberikan kepercayaan pada Vincent untuk selalu bertanggung jawab atas semua keputusan dan tindakan yang ia ambil.

Maka itu, ia merasa sudah bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Ia tidak membutuhkan “orang lain” di sampingnya. Baginya, mengurus emosi dan tanggung jawab diri sendiri saja sulit, apalagi mengurusi orang lain?

Namun semenjak Vincent akhirnya benar-benar “terjun” dalam dunia musik dan orkestra di London, mau tidak mau, ia harus mencoba untuk berinteraksi dengan orang lain. Sepertinya Tuhan memang menghendaki kejadian beberapa tahun lalu di perpustakaan itu terjadi, saat ia mendengar suara tawa seseorang bernama Timothy yang membuatnya jengkel.

Bertemu dengan pria itu, sosok yang benar-benar berbeda dengan dirinya dalam segi apapun, membuat kedua matanya seakan “terbuka” pada kenyataan bahwa dunia dan seisinya itu kompleks. Sahabatnya itu pun membuatnya sadar, bahwa serumit dan sesulit apapun hidupnya, ia tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Suatu saat, ia pasti akan membutuhkan orang lain.

Vincent tiba-tiba teringat akan kata-kata Timothy hari itu, saat mereka pertama kali bertemu dan berkenalan di perpustakaan kampus. Kata-kata itu, yang sampai saat ini masih terbaca jelas di buku catatan kecilnya, bersamaan dengan coretan impiannya semasa kecil.

I guarantee, you will need help from others someday. Nobody is perfect, Vincentius. It is cliché but it is true.”

Sejak saat itu, Vincent merasa keputusannya untuk mengejar mimpinya sampai ke Eropa memberikan pelajaran yang sangat penting untuk hidupnya. Ia bersyukur, Tuhan mempertemukannya dengan seseorang yang akhirnya dapat membuatnya mengerti, apa arti hidup dengan orang lain.

Ya, walaupun orang tuanya pun selalu mengajarkannya hal yang sama. Namun sepertinya, keberadaannya di London beberapa tahun lalu baru membuatnya tersadar.

Bagi Vincent, dibutuhkan usaha yang ekstra untuk perlahan beradaptasi dengan perubahan hidupnya. Ia pun berusaha untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekelilingnya. Tidak hanya dari perilakunya, namun juga prinsip hidupnya yang perlahan mulai berubah. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Timothy yang benar-benar sabar dan tulus menghadapi dirinya yang benar-benar kaku seperti kawat besi.

Ia tidak dapat membayangkan jika ia tidak bertemu dengan pria itu beberapa tahun lalu di perpustakaan kampus. Mungkin hingga sekarang, ia tidak akan bertemu dengan Maximillian, Sebastian, Tobias, Warren, dan Gregory.

Gregory.

Ah, memikirkan nama pria itu seketika membuat Vincent tersenyum sambil menggelengkan kepala. Pria itu, yang sepasang matanya seperti langit malam ini; gelap dan muram. Tidak ada cahaya bintang atau kerling indah yang menghiasi jendela hatinya itu. Vincent tahu dan sadar betul, pertemuan yang singkat dengan Gregory sebenarnya biasa saja. Seharusnya, tidak ada yang istimewa. Bertemu dengan seseorang yang merupakan teman dari para sahabatnya seharusnya menjadi hal yang biasa saja, bukan?

Namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, rasanya ingin sekali tahu apa isi hati dan mata pria itu.

Mengapa sepasang mata indah itu tidak bersinar? Mengapa senyum yang diperlihatkan padanya tadi malam itu terlihat sedih?

Vincent lantas menghela napas, melepaskan kacamatanya yang sedari tadi masih bertengger pada batang hidungnya, lalu meletakkannya di nakas. Ia menegakkan tubuhnya kemudian, menggeser posisinya untuk duduk dipinggir kasur.

Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mengusapnya kasar.

Mengapa ia tiba-tiba memikirkan Gregory?

Ia bingung. Sejak pertemuan pertama mereka tadi malam, kepalanya hanya dipenuhi dengan nama pria itu.

Gregory, Gregory, dan Gregory.

Vincent akhirnya berdiri dari duduknya, menarik kuncir rambutnya, membiarkan surai hitamnya terurai jatuh hingga menyentuh bahunya. Ia lalu menyugar rambutnya yang menutupi matanya sambil menoleh ke arah luar jendela apartemen. Terlihat cahaya lampu jalan berwarna kuning hangat menerangi sekitaran gedung. Ia mendengar samar-samar suara orang sedang mengobrol dan bersenda gurau, sepertinya dari kedai kopi yang terletak persis di seberang tempat apartemennya berada.

Ia mengangkat bahunya dan hendak berjalan ke arah kamar mandi saat handphonenya yang masih berada diatas kasur berbunyi sekali, tanda ada pesan masuk.

Ia meraih benda itu dan membaca pesan yang terpampang jelas pada layar handphonenya. Ia memicingkan matanya kemudian, berusaha membaca ulang kata demi kata.

Pesan dari Gregory.

The one and only Gregory.

Bonsoir, Vincent. Apa lo ada di apartemen? Kalau lo tidak keberatan, apa boleh kalau gue minta untuk ke luar sebentar? Gue ada di bawah.

Seperti biasa, jalanan kota Paris malam ini agak sedikit padat, mengingat bahwa hari ini adalah hari Sabtu. Warga kota Paris pasti akan pergi ke luar rumah untuk meluangkan waktu dengan kerabat, teman, bahkan mungkin hanya seorang diri. Hal itulah yang membuat Maximillian hanya dapat menghela napas berat saat melihat lalu lintas di depannya. Sinar merah lampu rem kendaraan lama-kelamaan membuat matanya sakit dan kepalanya pusing.

Namun, ia tidak bisa menolak ajakan Vincent untuk pergi makan malam hari ini. Sahabatnya itu sudah memberitahukan rencananya pada Timothy dari jauh hari, katanya Vincent ingin menghabiskan malam bersama.

Entah dalam rangka apa, mereka berdua juga tidak tahu. Hanya Vincent dan Tuhan yang tahu jalan pikiran sang konduktor orkestra itu.

Hari ini adalah giliran Maximillian menyetir, dan mereka sedang dalam perjalanan menuju Page 35, salah satu restoran favorit Vincent yang menyajikan masakan Perancis di daerah 4 rue du Parc Royal.

Beberapa hari sebelumnya, Vincent sudah sempat membuat reservasi untuk mereka bertiga. Ia memang sengaja mengajak para sahabatnya itu untuk pergi pada malam hari, karena setiap weekend, jadwal mereka memang selalu padat.

Sebenarnya, alasan Vincent mengajak Timothy dan Maximillian makan malam bersama hari ini adalah karena ia telah mendapat berita baik beberapa hari yang lalu. Sebastian dan Tobias sudah lebih dulu tahu berita itu pada hari yang sama. Vincent menceritakannya pada kedua teman satu apartemennya itu saat sedang makan malam di tempat tinggal mereka. Sebastian dan Tobias hanya bisa menganga saat mendengar berita baik itu, lalu mengucapkan selamat pada Vincent berkali-kali, tak terhitung jumlahnya.

Maka sekarang adalah gilirannya untuk menceritakan hal itu pada Timothy dan Maximillian. Ia tahu, para sahabatnya itu pasti akan merespon lebih histeris bila dibandingkan dengan duo pemilik restoran 'Indo Pride' itu. Terutama Timothy, pria yang selalu mendampingi dan mendukungnya sejak ia masih berjuang di London.

Saat Vincent mengetahui bahwa Timothy mengajak Warren dan Gregory—ya, Gregory—ikut bergabung untuk makan malam, ia dengan cepat mengirim pesan ke pemilik resto dan dicarikan meja serta kursi tambahan.

Ia tidak ingin acara makan malamnya hari menjadi berantakan. Tidak. Selain karena ia ingin membicarakan mengenai berita baik yang akan terjadi enam bulan dari sekarang para para sahabatnya, namun juga sebentar lagi ia akan bertemu dengan Gregory.

Pria itu, yang membuat Vincent sempat tidak berkedip beberapa detik karena memperhatikan foto yang dikirim oleh Timothy. Ini adalah pertama kalinya, setelah sekian lama, ia memiliki hubungan spesial dengan seseorang.

Timothy tahu persis bagaimana “keras” dan “kaku” sahabatnya itu. Ia tahu persis, bagaimana Vincent selalu mengesampingkan urusan percintaan dan menaruhnya paling bawah. Bagi Vincent, cita-cita dan impiannya harus selalu berada di posisi teratas bucket list hidupnya.

Namun Vincent tidak bodoh, ia tahu dan sadar betul apa yang sedang Timothy coba lakukan akhir-akhir ini. Vincent tahu, sahabatnya itu ingin memperkenalkan Gregory padanya, dan mencoba peruntungan, siapa tahu, Gregory dapat menjadi seseorang yang spesial, yang bisa memindah-mindahkan posisi bucket list hidup milik Vincent.

Akan tetapi, selama ini Vincent merasa mampu melakukan apapun sendiri, tanpa bantuan siapapun. Ia merasa, dirinya belum membutuhkan seseorang yang spesial di hidupnya untuk ikut memperhatikan dirinya. Ia pun merasa, dirinya belum perlu membagi pikirannya untuk memikirkan orang lain selain dirinya sendiri.

Vincent tidak mempunyai energi untuk membagi fokusnya dengan orang lain.

Intinya, Vincent belum merasa perlu.

Ia lantas menghela napas berat lalu menggelengkan kepalanya cepat, berusaha menyingkirkan pikiran aneh itu. Vincent lalu menolehkan kepalanya ke arah depan, melihat Timothy dan Maximillian sepertinya sedang berbincang. Sedari tadi ia tidak mendengarkan apapun ditelinganya selain instrumen milik Beethoven yang melantun indah dari earbudsnya.

Beruntunglah Timothy tidak menyadari bahwa sedari tadi, ia melamun, memperhatikan jalanan kota Paris yang dipenuhi oleh banyak orang.

Untuk apa memikirkan hal yang belum terjadi? Bisa saja, semua hal yang beberapa hari ini sedang singgah dalam pikirannya itu, hanya bagian dari imajinasinya saja, 'kan?


Sesampainya mereka di Page 35, Vincent langsung melangkahkan kaki ke arah front counter untuk berbicara dengan seorang waiter. Terlihat sudah banyak sekali orang yang berdiri di depan restoran, sedang menunggu untuk dipanggil dan diantar ke meja mereka masing-masing. Restoran yang menyajikan masakan Perancis itu memang tidak seramai biasanya, namun meja dan kursi di area outdoor restoran sudah hampir terisi penuh. Hanya terlihat satu meja dengan enam kursi yang masih kosong, sepertinya itu adalah reservasi atas nama Vincent.

Seorang wanita muda yang sedang berdiri di ambang pintu masuk restoran menyapa Vincent dengan ramah sambil tersenyum. “Bonsoir, Monsieur. Combien de personnes?” Wanita itu menanyakan padanya berapa jumlah orang yang akan makan malam di sana.

Vincent lalu menjawab dengan bahasa Perancisnya yang fasih. “J’ai déjà appelé Carlos tout à l’heure. C’est sous le nom de Vincentius. Pour cinq personnes.” Ia sebelumnya sudah menelepon Carlos, sang pemilik restoran. Ia mereservasi atas namanya sendiri dan memesan tempat untuk lima orang.

Sambil menunggu jawaban dari waiter itu di depan pintu masuk, Vincent membalikkan tubuhnya ke belakang, mengedarkan pandangannya ke sekeliling area outdoor restoran. Sepasang matanya lalu menangkap sosok Timothy seperti sedang menelepon seseorang, sedang Maximillian berdiri di sampingnya untuk menemani. Ia mendengar sekilas sahabatnya itu menyebut nama Gregory kepada lawan bicaranya ditelepon.

Seketika ia merasakan dadanya berdegup sedikit lebih cepat, pun bulu kuduknya meremang.

Aneh. Ada apa sebenarnya dengan dirinya? Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Apa ini rasanya jika dirimu sedang gugup? Atau, ini adalah firasat buruknya yang sedang berbicara?

Ia bahkan belum pernah bertemu dengan Gregory. Ia hanya melihat dari foto, dari layar handphonenya. Mendengar nama Gregory disebut dan mengetahui bahwa pria itu adalah teman dekat Timothy di Paris pun baru beberapa hari yang lalu.

Namun ia merasakan ada sedikit, sedikit sekali, keinginan agar waktu dapat berlalu lebih cepat, sampai akhirnya ia bertemu dengan pria itu.

Tanpa sadar, Vincent sedikit berharap dalam hatinya bahwa ia ingin mempunyai first impression yang baik dimata Gregory.

Ia bisa memastikan Timothy akan melakukan koprol depan di jalan sambil berteriak histeris saat ini juga jika ia mengetahui pikiran sahabatnya itu.

Setelah menunggu sekitar lima menit, akhirnya seorang waiter tadi mengantar Vincent dan kedua sahabatnya ke meja yang sudah disediakan untuk mereka. Vincent lantas mengucapkan terima kasih, lalu mengambil duduk bersisian dengan Timothy. Maximillian sudah duduk menghadap ke arah Timothy dan menyisakan satu kursi kosong di hadapan Vincent untuk tempat duduk Gregory nanti.

“Vin, they will be arriving in three minutes. Apa makanan dan minuman mereka lo yang pesankan saja? 'Kan, malam ini, lo yang punya acara.” Timothy bertanya pada sahabatnya, sambil membaca buku menu yang tertulis dalam bahasa Perancis itu. Maximillian terlihat masih berkutat dengan layar handphonenya sejak tadi, sepertinya ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan saat ini juga.

Vincent lalu menoleh ke arah Timothy sambil membenarkan letak kacamatanya yang agak merosot dari batang hidungnya. “Nggak apa, mereka saja yang pilih. I don't know what they like, Timothy. It's okay.”

Timothy menggumam tanda mengerti. “Baiklah, gue pesan menu seperti biasa ya untuk kita bertiga? Bagaimana?” Ia bertanya sambil memandang Vincent dan Maximillian bergantian. Kedua pria itu hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya.

Tak lama kemudian, saat Timothy sudah siap dengan pesanannya, ia akhirnya memanggil seorang waiter untuk memesan makanan dan minuman untuk mereka. Ia berbicara pada waiter itu menggunakan bahasa Perancisnya yang terdengar sangat fasih. Vincent hanya tersenyum mendengar Timothy, ternyata sesi belajar yang ia berikan pada sahabatnya itu setiap dua kali seminggu benar-benar membuahkan hasil.

Vincent lantas melirik ke arah layar handphonenya, sudah tiga menit berlalu dari sejak Timothy memberitahu bahwa Warren dan Gregory akan segera datang. Maka dengan cepat is menarik kuncir rambutnya hingga lepas, dan membiarkan rambutnya terurai. Hanya sesaat, sebelum akhirnya Vincent menyisir kembali rambut panjangnya dengan rapi menggunakan jemari tangannya untuk dikuncir lagi. Ia tidak pernah membiarkan rambut sebahunya terurai saat berada di tempat umum, bahkan saat ia sedang latihan dengan anggota klub orkestranya.

Baginya, hanya orang-orang terdekatnya saja yang diperbolehkan melihat sisi lain Vincent jika ia sedang mengurai rambutnya.

Namun sepertinya Vincent terlambat, saat ia mengangkat kepalanya dan bertemu mata dengan seorang pria yang terlihat mengenakan bucket hat yang hampir menutup kedua matanya.

Tanpa melihat sepasang mata itu pun, Vincent tahu siapa pria itu.

“Ah, bonsoir, gentlemen. Maaf gue dan Warren terlambat,” sapa Gregory ceria sambil menepuk bahu Maximillian yang sedari tadi sedang fokus dengan handphonenya. Pria yang lebih tua dari Gregory itu lantas menoleh, lalu berdiri untuk menyapanya dan Warren.

Sedang Vincent? Pertama kalinya ia menangkap suara pria yang sedang berpelukan dengan Maximillian itu, dengan kedua telinganya.

Damn, sepertinya baru kali ini ia mendengar suara seseorang terasa manis dan lengket seperti madu, setiap tetesnya mengalir turun tepat ditelingamu.

Ia pun berdiri dari duduknya untuk menyapa Gregory. Jujur, sekujur tubuhnya terasa kaku, lidahnya kelu, melihat pria yang ada di hadapannya itu tersenyum lebar dan menatapnya dengan kikuk.

Beruntung, beruntung sekali, kali ini Vincent tidak lupa untuk mengedipkan kedua matanya.

Bonsoir,” balas Vincent dengan suara beratnya, sambil mengulurkan tangannya ke arah Gregory. Ia melihat dari ekor matanya, Timothy yang berdiri di sisinya, sedang ternganga tidak percaya. Ia sadar bahwa sahabatnya itu sedang terbelalak, melihat tingkah laku Vincent yang benar-benar tidak pernah terjadi, setelah sekian lama. “Nama saya Vincentius, salam kenal.”

Gregory dengan cepat menjabat tangan Vincent dan meremasnya tegas. “Oh, iya, temannya Timmy, ya? Nama gue Gregory. Salam kenal, Vincent,” jawabnya sambil tersenyum lebar. Sepasang matanya berbinar, bak lautan bertabur bintang. “Thank you for letting us join you.”

Sure, no problem, Gregory. The more, the merrier. Ayo duduk,” ajak Vincent sambil tersenyum lebar.

Timothy melihat sahabatnya itu sedang tersenyum lebar pada orang yang baru ia kenal!

Apa dunia sedang terbalik hari ini?


Vincent bersyukur telah memilih meja di area outdoor, karena saat ini, mereka ditemani oleh kelompok live music istimewa yang sedang menyanyikan lagu berbahasa Spanyol. Kebetulan sekali, lagu yang dinyanyikan adalah lagu favorit Vincent. Sang vokalis sepertinya berasal dari sana, pelafalan yang diucapkan sepanjang ia bernyanyi sangat khas. Suaranya pun indah. Vincent rasanya ingin berdiri dari duduknya untuk lebih menikmati lagu itu.

Jika boleh jujur, hari ini rasanya adalah hari yang terbaik selama ia tinggal di Eropa? Vincent tidak dapat menahan rasa rindu yang menyeruak dari dalam hatinya. Sudah lama sekali ia tidak meluangkan waktu dengan para sahabatnya seperti malam ini? Bersenda gurau tanpa kenal waktu, menyantap makanan tanpa henti, dan membicarakan apapun tanpa filter.

Tidak ketinggalan, ia merasakan adanya sedikit, sedikit rasa senang karena bisa berkenalan dengan seseorang seperti Gregory.

Hanya dalam waktu setengah jam, Vincent dapat membaca dan menilai seperti apa Gregory sebenarnya. Waktu sesingkat itu digunakan dengan baik oleh Gregory untuk menanyakan banyak hal pada Vincent; mulai dari pendidikannya hingga profesinya di Paris.

Hanya dalam waktu setengah jam, Vincent pun tahu apa profesi Gregory selama ia tinggal di Paris seorang diri.

Dan hanya dalam waktu setengah jam, Vincent dapat tertawa lepas dengan Gregory.

Saat pria yang mengenakan pakaian serba hitam itu sedang tertawa lepas hingga membuat matanya tenggelam dibalik bucket hatnya, Vincent lantas menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan wajah Gregory. Ia ingin memindai senyum itu, paras tampan itu, dan tawa itu untuk ia simpan dalam otaknya.

Ia akui, momen yang sedang terjadi saat ini sangatlah langka. Ia sendiri pun tidak menyangka, hidupnya yang selama ini kaku seperti kawat dan lurus seperti baton stick, dapat ia lupakan sejenak.

Semua itu hanya karena Gregory.

Aneh, aneh sekali.

Namun entah mengapa, Vincent mulai berusaha menerima kenyataan bahwa mungkin, Gregory bisa menjadi seorang teman untuknya.

Ya. Seorang teman.

cw ⚠️ internal family problems, financial problems


Gregory tidak pernah mengerti mengapa hampir semua orang yang ia pernah temui, menganggap bahwa Paris adalah kota penuh cinta. Menurutnya, cinta bisa ditemui dimanapun. Benar, bukan?

Entah apa yang membuat Gregory begitu “memandang rendah” ibukota Perancis itu. Ia sendiri pun tidak tahu. Apakah karena semakin sering kau mendengar tentang sesuatu, semakin besar pula rasa ingin mengenyahkan hal itu dari pikiranmu?

Satu-satunya orang yang tahu bagaimana ia dulu membenci kota Paris adalah Thomas, sahabatnya sejak duduk di bangku kuliah. Gregory pernah mengatakan padanya, bahwa kota Paris itu sangat mainstream. Thomas yang sudah pernah beberapa kali pergi berlibur bersama dengan keluarganya ke Paris, hanya tertawa sambil menggelengkan kepala. Ia ingat, respon pertama yang ia katakan pada Gregory adalah:

Mungkin lo karena belum pernah ke sana saja, Gre. You will fall in love with Paris. And maybe, someday, you will find your love there as well.”

Gregory tidak pernah secepat itu melempar buku catatan kuliahnya ke arah Thomas.

Jujur, ia tidak pernah bermimpi untuk tinggal dan hidup di Paris, kota yang dijuluki kota penuh cinta itu. Tidak pernah sama sekali. Baginya, Paris tidak termasuk dalam list panjang yang dimilikinya sebagai kota yang nyaman untuk menjadi tempat tinggal, apalagi untuk mencari pekerjaan. Menurutnya, Paris adalah kota yang hanya cocok didatangi untuk plesiran. Tidak kurang dan tidak lebih.

Namun rasanya, semakin kau membenci sesuatu, maka semesta akan semakin mendekatkan hal itu padamu?

Rasanya ia ingin tertawa keras dan menggelengkan kepala tidak percaya, saat suatu hari ayah dan ibunya mengajaknya bicara di ruang tamu rumahnya. Gregory hafal betul gerak gerik ayahnya jika beliau sedang stres dan waswas. Ayahnya akan lebih sering menyeka keringatnya yang membasahi keningnya, pun ibunya yang berkali-kali melirik ke arah ayahnya.

Singkat cerita, ayahnya memulai pembicaraan dengan membahas kakak sepupu laki-laki Gregory yang terlihat memiliki banyak peluang setelah menempuh pendidikan di luar negeri. Harmless statement itu secara tidak sadar membuat Gregory menggerutu dan memberontak dalam hatinya.

Ia berpikir, apa segala sesuatu harus dicapai di luar negeri? Apalagi di Eropa, yang jaraknya sangat jauh dari Indonesia.

Lagipula, ia tidak pernah memiliki impian untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana? Mengapa sekarang hal itu menjadi penting?

Ayah dan ibunya, tanpa tedeng aling-aling, tiba-tiba mengusulkan—bukan, mereka memaksa—Gregory untuk mendaftar di ESCP Business School di Paris untuk mengambil pendidikan pascasarjana dan meraih gelar magister komunikasi.

Gregory yang saat itu hanyalah seorang laki-laki yang baru saja lulus dengan predikat mahasiswa terbaik di FISIP, Universitas Indonesia, hanya dapat duduk termangu. Sepasang mata bulatnya membola, menatap kedua orang tuanya yang duduk berhadapan dengannya bergantian.

Ia mengernyitkan dahi, mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya. Rasanya ada dering alarm dalam kepalanya yang membuatnya pusing.

ESCP? Apa itu? Mengambil magister komunikasi di Paris?

Ada apa ini sebenarnya?

Ia tidak bisa memahami jalan pikiran kedua orang tuanya. Ekonomi keluarga mereka hanya dapat dikatakan cukup, namun tidak berlebihan sampai bisa menyisihkan uang untuk pergi berlibur ke luar Indonesia setahun sekali, seperti Thomas.

Mengapa tiba-tiba orang tuanya mencetuskan ide itu seakan-akan pindah ke Paris dan menempuh pendidikan pascasarjana semudah pergi ke warung dekat rumahnya?

Konsentrasinya buyar, ia sudah tidak lagi mendengarkan apa yang ayahnya bicarakan. Pikirannya berkecamuk. Apa ia benar-benar harus meninggalkan Indonesia? Untuk apa dan apa alasannya?

Mengapa semua sangat tiba-tiba?

Apa harus seperti itu?

Namun sepertinya, ia tidak bisa menolak dan melawan sama sekali. Tidak, saat tiba-tiba ibunya berdiri dari duduknya di ruang tamu dan berjalan ke arah kamar. Tak perlu waktu lima menit sampai ibunya kembali ke ruang tengah dengan membawa beberapa berkas kelengkapan riwayat hidupnya. Pada bagian depan map berkas berwarna coklat tua itu, terpampang jelas namanya. “Gregory Jungkook”.

Ia hanya bisa menolehkan kepalanya berat dan mengernyit kemudian, melihat orang tuanya seperti kehabisan kata-kata.

Untuk apa ia harus menempuh pendidikan magister di Paris?

Hell, bahkan selama hidupnya, ia tidak pernah menginjakkan kaki di kota itu. Mengapa kedua orang tuanya seperti “memaksa” Gregory untuk pergi dari Indonesia dengan mempersiapkan semua ini?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul dari dalam kepalanya. Rasa kecewa, dendam dan amarah, bergumul jadi satu. Tetapi, Gregory tidak dapat mengutarakan semua itu, tidak saat ayah dan ibunya benar-benar terlihat menundukkan kepala sambil menitikkan air mata.

Gregory yang sedang ikut diam seribu bahasa pun mendengar ibunya buka suara.

“Tolong turuti keinginan kami berdua, Gregory. Ibu minta tolong. Ya?”

Seberapa rumit kehidupan Gregory, jika ibunya sudah berbicara, ia akan selalu menurutinya. Apapun itu.

Itu adalah janji yang selalu dipegang olehnya sejak kecil.

Jangan pernah membuat ibumu kecewa, walaupun kamu harus menelan pil kecewa itu sendiri.


Gregory dilepas begitu saja layaknya layangan putus tak tahu arah di Paris oleh orang tuanya. Hidupnya dihantui dengan banyak pertanyaan, kegelisahan, dan rasanya seperti tidak ada tujuan hidup. Ia pun hidup sendirian, tidak ada satupun warga negara Indonesia yang ia kenal di sana.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Paris-Charles de Gaulle, hal yang ia lakukan adalah berjalan mencari toilet dengan membawa semua kopornya sambil tergopoh-gopoh. Gregory masuk kedalam salah satu bilik, bersujud lalu memuntahkan seluruh isi perutnya.

Pertama kali dalam hidupnya, Gregory menangis tanpa henti selama sepuluh menit, di toilet umum.

Namun ia akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan dan rasa kecewanya. Jika bukan dirimu sendiri yang berperan sebagai penolong, siapa lagi yang akan bisa?

Setahun berlalu, Gregory akhirnya bisa menyesuaikan diri, beradaptasi dan berusaha menerima kenyataan bahwa saat ini ia memang harus tinggal di Paris seorang diri.

Pun waktu berlalu sudah setahun lamanya, saat Tuhan akhirnya menjawab pertanyaan yang selama ini tertanam dalam kepalanya.

Sore itu, tepat lima menit setelah Gregory keluar dari ruang kelas, handphonenya berdering. Ia menghentikan langkahnya untuk menerima panggilan masuk itu. Gregory mengernyit kemudian, terpampang salah satu nama saudaranya pada layar handphonenya.

Ia menyapa, mengucapkan kata halo, saat diujung telepon, saudaranya itu menanyakan kabarnya dengan suara bergetar.

Rasa khawatir lantas menyeruak dalam hatinya. Orang tuanya baik-baik saja, 'kan?

Pertanyaan yang terpendam begitu lama akhirnya terjawab sudah. Rasanya ia ingin kembali ke Indonesia untuk bertemu dengan orang tuanya saat itu juga, saat beliau berdua dikabarkan telah terlilit hutang yang cukup besar di Indonesia.

Seketika, moodnya berantakan dan hancur. Hatinya serasa meledak dan tercerai berai.

Mengapa orang tuanya tidak pernah memberitahunya? Apakah biaya pendidikannya di Paris memakai uang tabungan terakhir mereka berdua?

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dirinya “dibuang” ke Paris?

Gregory tidak henti-hentinya melayangkan pertanyaan pada saudaranya itu via telepon, meneriakinya sambil memijat batang hidungnya.

Ia pusing, namun ia tidak bisa menangis. Entah, air matanya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan muncul dari pelupuk matanya. Saudaranya diujung telepon hanya menjawab bahwa dirinya harus tetap tinggal di Paris sampai pendidikannya selesai. Kedua orang tuanya tidak ingin anaknya dilanda stres karena tragedi yang terjadi. Mereka berdua ingin Gregory dijauhkan dari “ancaman” yang bisa membuat dirinya terpuruk.

Pamannya pun mengambil alih telepon, menjelaskan duduk permasalahannya pada Gregory dengan lengkap. Sosok yang merupakan kakak dari ayahnya itu pun menyanggupi untuk membiayai hidup Gregory di Paris sampai ia selesai menempuh pendidikan magister komunikasinya.

Beliau berjanji akan membantunya mengurus visanya, tempat tinggalnya, bahkan status visanya saat ia sudah lulus dari magisternya nanti.

Mungkin hal itu adalah satu tamparan telak bagi Gregory, saat ia harus membuat dirinya “terjebak” di Paris dan tidak kembali ke Indonesia.

Tiga minggu Gregory habiskan dengan berpikir, berpikir, dan berpikir. Masakan ia harus terus menerus bergantung pada pamannya?

Tidak. Ia harus mandiri. Ia harus bangkit dan berdiri, diatas kakinya sendiri.

Maka dengan keputusan matang, ia akhirnya keluar dari sekolah bisnis itu, tanpa memberitahu keluarganya. Toh, pendidikan ini bukanlah impiannya. Gregory tahu, ia pasti akan dihujat habis-habisan karena menyia-nyiakan kesempatan itu.

Tapi, ia boleh mengejar bahagianya menurut keinginannya sendiri, bukan?


Gregory mengecek jam tangan yang ia pakai pada pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, sebentar lagi ia harus memenuhi janji temu dengan pemilik bar Les Disquaire. Ia lantas menggerutu dan berdecak, sambil berusaha menerobos arus lalu-lalang orang yang sedang menuruni anak tangga untuk masuk ke stasiun metro Ledru-Rollin.

Seharusnya ia tadi berangkat lebih cepat agar tidak terlambat sampai di tujuan. Sang pemilik bar hanya dapat menunggunya hingga pukul empat sore waktu Paris. Pria yang sempat berbicara dengan Gregory via telepon itu berkata bahwa ia harus pergi setelah bertemu dengannya. Maka waktu yang Gregory miliki sangatlah sedikit.

Ia akhirnya mempercepat langkahnya dengan berlari-lari kecil, tidak peduli langkahnya yang agak berat karena hari ini ia memutuskan untuk memakai sepatu boots warna hitam kesayangannya.

Sambil berlari menyusuri jalan Rue de Charonne menuju Cour Saint-Joseph, Gregory sesekali menunduk untuk mengecek pakaiannya.

Apakah ia pantas mengenakan kemeja flanel kotak-kotak dengan dilapisi jaket kulit hitamnya seperti ini? Hari ini pun entah mengapa ia memilih celana jins robek miliknya yang benar-benar sudah lubang pada bagian lutut, yang cenderung belel karena terlalu sering dipakai. Gregory pun memakai bucket hat warna hitam miliknya, berjaga-jaga jika ia bertemu dengan seseorang yang ia kenal saat di perjalanan.

Jalanan di depan Les Disquaire cukup sepi, tidak seramai biasanya. Gregory sedikit terengah karena sudah berlari selama lima menit untuk mengejar waktu.

Ia akhirnya sampai di bar itu tepat waktu. Dari luar, tempat itu masih terlihat sepi, tidak ada orang. Ia melihat sofa berwarna turquoise menghiasi ruangan, pun dengan bar stool besi berwarna senada yang diletakkan dekat dengan kaca ruangan.

Gregory menarik napas cukup panjang, lalu menghembuskannya pelan, sebelum melangkah masuk ke bar untuk bertemu dengan pria yang berbicara dengannya di telepon.

Ia menarik pintu masuk bar itu, dan merasakan hembusan pendingin ruangan menusuk kulitnya. Dingin sekali, pikirnya.

Melangkah masuk dan mengedarkan pandangan, Gregory akhirnya bertemu mata dengan seorang wanita yang sedang berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu berparas cantik, berambut panjang yang diikat ke atas membentuk ponytail.

Sang wanita itu tersenyum, menghentikan kegiatannya di kasir, sepertinya sedang menghitung uang.

Gregory lantas melangkah ke arah wanita itu sambil menyapa dengan sopan, dengan aksen bahasa Perancis yang sudah melekat dengan lidahnya.

Bonne après-midi. Je veux rencontrer César. Il est toujours là?” Ia menyapa wanita itu dengan mengucapkan selamat siang. Gregory sempat melihat nama wanita itu pada name tag yang dikenakan didada. Eléonore. Ia bertanya, apakah Caesar, pria yang tadi berbicara dengannya masih ada di sana.

Ah, Gregory, right?” Eléonore membalas dengan riang sambil tersenyum. “Your accent is so good. Anyway, yeah, Caesar is still here, I will tell him you're already arrived.”

Eléonore pergi dari sana, berjalan ke arah dalam bar yang masih gelap. Gregory sempat mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada wanita itu. Ia lalu melangkahkan kakinya untuk duduk di sofa, menunggu sampai Caesar datang dan menemuinya.

Sambil menunggu, ia mengeluarkan handphonenya dari saku jaketnya, bermaksud ingin mengabadikan ruang utama bar yang cantik dengan aksen warna turquoise itu.

Semoga tempat ini akan menjadi tempat terakhir gue, batin Gregory penuh harap.

Jika seseorang diizinkan membaca buku harian milik Vincent yang ia bawa kemanapun ia pindah kota atau negara, orang itu pasti akan memahami, mengapa dirinya dijuluki kawat besi. Kertas dalam buku itu sudah usang, terlihat bahwa sang pemilik sering sekali membuka dan menorehkan tinta disana.

Dalam buku itu, tersimpan seluruh tulisan Vincent sejak kecil; impian dan cita-citanya untuk menjadi seorang konduktor orkestra. Kecintaannya pada musik klasik sejak kecil bermula dari rumahnya di Indonesia. Ayah Vincent setiap pagi tidak pernah absen menyetel piringan hitam yang berisi seluruh karya milik Bach, Mozart, dan Beethoven pada gramofon* milik beliau. Ayahnya yang juga adalah pemain musik pada masa kejayaannya, secara tidak langsung membuat Vincent kecil diam-diam memperhatikan gerak gerik beliau saat sedang bermain musik di rumah.

Rasa penasaran Vincent yang tinggi pun menyebabkan dirinya sering mencuri waktu untuk berjalan ke ruang tengah, hanya untuk memutar piringan hitam itu. Vincent kecil berjinjit, berusaha meraih piringan hitam yang ayahnya simpan di lemari tinggi dengan menjulurkan kedua tangannya. Ia bersusah payah sembari mengeluh, karena tinggi badannya belum sampai untuk meraih benda itu.

Namun tak lama kemudian, seketika kedua lututnya lemas, dadanya berdegup kencang, saat melihat tangan seseorang melewati atas kepalanya dan mengambil piringan hitam itu.

Vincent tahu siapa itu.

Ia lalu mendengar ayahnya tertawa pelan, sambil mengusap puncak kepalanya dengan sayang. Ia membalikkan badannya dengan menundukkan kepala.

Ada perasaan takut yang menyeruak dalam dadanya. Apakah ayahnya akan memarahinya karena ia berada di ruang tengah dan tidak belajar?

Do you want to play this, Nak?”

Ia mendengar ayahnya bertanya dengan suara beratnya, namun ia tidak menemukan nada marah di sana. Sebaliknya, Vincent sendiri dapat merasakan ayahnya tersenyum. Ia lantas mengangkat kepalanya, melihat sedikit keriput pada kedua pipi ayahnya tercetak jelas karena tersenyum.

Sepasang mata polosnya menatap ayahnya dengan sorot berbeda. Vincent lantas mengangguk riang dan tersenyum lebar, berjalan ke arah mesin pemutar. Ia mengambil duduk diatas karpet tebal berwarna putih yang digelar di ruang tengah itu, menyilangkan kedua kakinya sambil menunggu ayahnya menyetel piringan hitam berisi musik klasik favoritnya.

Saat Vincent mendengar lantunan musik klasik yang ia tahu adalah karya dari Bach, ia tersenyum lebar dan menggerakkan badannya ke kanan dan kiri. Ia terlalu larut dalam musik itu, merasakan pikirannya tenang dan hatinya nyaman. Vincent tidak sadar bahwa ayahnya sudah berdiri di dekatnya, bersandar pada lemari koleksinya sambil memperhatikan gerak gerik anaknya.

Ayahnya tersenyum, melihat anak semata wayangnya menyukai musik seperti dirinya.

Saat Vincent sudah merasa sudah cukup untuk mendengarkan musik klasik hari itu, ia segera mematikan mesin pemutar, mengambil piringan hitam itu dari mesin pemutar dan merapikannya.

Ia berlari ke kamar tidurnya, mengambil sebuah buku tulis yang masih baru dari dalam laci meja belajarnya, pun bolpoinnya serta.

Dengan mantap, ia menuliskan kalimat pertamanya pada kertas dalam buku itu, sambil tersenyum penuh arti.

Aku harus menjadi seorang konduktor orkestra terbaik di dunia.


Kedua teman dekat Vincent, Sebastian dan Tobias, menganggap dirinya persis sama dengan baton stick yang selalu digunakan saat latihan dan konser. Tinggal dan hidup dalam satu apartemen dengan sang konduktor orkestra itu selama enam tahun, membuat mereka mencoba memahami pola pikir dan prinsip hidup Vincent yang terkadang tidak bisa diganggu gugat.

Selama itupun, Vincent berusaha mengerti bahwa ia tidak bisa egois dan apatis dengan perasaan orang lain disekitarnya. Dengan usaha, saran, serta koreksi dari teman-temannya, lambat laun ia merubah pola pikirnya.

Seorang Vincent merasa, sifat idealis yang selalu tertanam dalam kepalanya, pada akhirnya hanya boleh diterapkan untuk dirinya sendiri. Bagi Vincent, ia hanya boleh strict dengan dirinya sendiri. Ia tidak ingin dicap sebagai orang yang terlalu “lurus” atau bahkan apatis.

Beruntunglah ia memiliki Timothy, seorang pria yang ia kenal sejak menempuh pendidikan sarjana di London, dan sekarang menjadi sahabatnya.

Perkenalan di pagi hari, enam tahun yang lalu, yang tidak disengaja, saat mereka berdua berada ke perpustakaan kampus, walaupun saat itu, mereka sedang duduk berjauhan. Seorang petugas menegur Timothy karena suara tawanya yang tiba-tiba pecah, mengganggu para pengunjung perpustakaan yang sedari tadi diam tanpa suara. Tawa itu terdengar hingga tempat Vincent berdiri. Saat itu, ia sedang mencari buku tentang Conducting di salah satu aisle bagian musik.

Dari kejauhan, Vincent hanya melirik sekilas ke arah sumber suara dengan malas, memicingkan matanya untuk melihat pria yang baru saja membuyarkan konsentrasinya. Ia melihat seorang pria dengan tubuh mungil itu dari balik kacamatanya, sedang mengangguk mengerti dan seperti mengucapkan maaf pada penjaga yang menegurnya.

Sang mahasiswa jurusan Musik itu lantas kembali pada kegiatannya, dan menemukan buku yang ia cari tak lama kemudian.

Vincent tidak pernah menyangka bahwa ia akan bertemu dengan warga negara Indonesia sebayanya yang sedang menempuh pendidikan di University of London. Hal itulah yang selalu tertanam dalam pikirannya, karena selama setahun ia menjadi mahasiswa di sana, ia belum bertemu dengan seorang pun yang berasal dari negara kelahirannya itu.

Ia lalu berjalan ke arah meja petugas, bermaksud untuk meminjam beberapa buku yang sudah ia pilih, selama seminggu. Ia tidak memperhatikan siapapun yang sedang berdiri di sampingnya. Sedari tadi, Vincent hanya fokus menunggu petugas yang terlihat sedang sibuk membereskan pekerjaannya untuk membantu mencatat pinjaman buku miliknya.

Good morning! You're majoring in Music?” Pria di sampingnya bertanya dengan nada ceria, sambil menunjuk ke arah buku yang sedang ia pegang.

Vincent menoleh sambil mengernyit, memandang pria di sampingnya dengan tatapan datar. Pria itu terlihat tersenyum lebar, memamerkan sederet giginya yang putih. Vincent memperhatikan kedua mata pria itu, ia terlihat memakai lensa kontak berwarna abu. Rambutnya tebal berwarna hitam pekat, potongannya terlihat cocok dengan wajahnya yang oval.

Ah, pria mungil yang tertawa tadi.

Sedikit kesal karena pria di sampingnya menyapa dengan nada yang kelewat ceria, Vincent lantas memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan itu dan hanya membalas dengan tersenyum simpul.

Ia lalu menolehkan kepalanya lagi ke arah petugas yang sedari tadi terlihat sedang sibuk dengan dokumen yang berserakan di mejanya itu.

Mengapa petugas di depannya ini lama sekali?

Pria di sampingnya terdengar mendengus dan berdecak kemudian. “Wow, how rude. Padahal gue tanya baik-baik.”

Vincent tidak pernah secepat itu menolehkan kepalanya, siapapun orangnya.

Tidak mungkin.

“Anda... dari Indonesia?” Vincent bertanya cepat, namun jujur, ia tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Ia seketika menyadari, apakah ia baru saja terdengar seperti orang bodoh? “Ah, I'm sorry.”

Pria di sampingnya itu dengan cepat merespon, sambil menaruh telapak tangannya menutupi mulutnya sendiri. Sepasang mata abu pria itu terbelalak, sepertinya terkejut dengan kenyataan bahwa lawan bicaranya juga berasal dari negara yang sama.

Why are you sorry? It's okay. I apologize as well, I didn't mean to be rude earlier.”

Pria di hadapan Vincent itu mengulurkan tangannya kemudian, mengajaknya untuk berjabat tangan.

“Kenalkan, nama gue Timothy,” katanya sambil tersenyum lebar. “I'm a contemporary dancer, actually, datang ke perpustakaan ini bersama teman.”

Tanpa berpikir panjang, Vincent mengulurkan tangannya dan menjabat tangan pria di hadapannya itu.

For the first time that day, he smiled.

Nice to meet you, Timothy. Nama gue Vincentius, majoring in Music.”

And the rest is history.


Vincent tidak pernah lupa untuk melakukan ritual rutinnya setiap pagi.

Setelah berdoa, ia menarik kuncir rambut dari pergelangan tangannya, menyisir rambutnya yang panjang sebahu kemudian untuk dikuncir. Lalu, ia turun dari kasurnya untuk membuka jendelanya kamarnya, membiarkan udara ruangan bertukar dengan udara pagi kota Paris. Ia mendengar deru kendaraan yang berlalu-lalang dekat jalanan tempat apartemennya berada, pun terdengar suara orang-orang di luar gedung sedang mengobrol.

Apartemen yang ia huni bersama Sebastian dan Tobias selama enam tahun belakangan itu berada di pusat kota Paris, di jalan Rue de la Ferronnerie. Jarak apartemennya dapat ditempuh selama sepuluh menit dengan berjalan kaki dari lokasi Museum Louvre berada.

Ia lantas mengambil handphonenya yang semalam diletakkan diatas nakas, dan melangkah ke arah pintu kamarnya. Saat membuka pintu, ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan tengah. Lampu ruangan sudah dimatikan, digantikan oleh sinar matahari pagi yang menembus jendela kaca apartemennya.

Sunyi. Vincent tidak mendengar suara Sebastian dan Tobias di sana. Sepertinya kedua temannya itu sudah pergi bekerja ke restoran milik mereka.

Ia lantas mengangkat bahunya, melangkahkan kakinya ke arah meja makan untuk membuat roti. Ia lapar sekali, perutnya sedari tadi sudah berbunyi, meminta untuk diisi.

Saat hendak mengambil roti di meja makan yang terletak tidak jauh dari sofa, ia melihat koran langganan miliknya sudah terlipat rapi diatas meja, persis diletakkan disamping sarapan yang sepertinya dibuat oleh Tobias untuknya.

Vincent pun melihat secarik kertas diselipkan dibawah piring itu, dengan tulisan rapi yang ia hafal betul siapa pemilik tulisan itu.

Sebastian and I are going to Indo Pride until midnight. I already made breakfast for you. Tinggal dihangatkan ya, Vin, kalau sudah dingin. Take care and good luck for today.

Ia lantas tersenyum dan melihat sandwich tebal buatan Tobias yang berisi beberapa potong ham dan sayuran segar. Vincent lalu menggigit sandwich itu sedikit dan berjalan ke arah dapur, ingin membuat teh english breakfast untuk dirinya sendiri.

Sembari menunggu air seduhan teh berubah warna, ia melangkahkan kakinya kembali ke arah ruang tengah. Ia berjalan ke arah lemari koleksinya, tempat menyimpan beberapa piringan hitam pemberian ayahnya beberapa tahun lalu. Ia ingat betul, ayahnya menghadiahkan koleksinya sendiri untuknya, saat ia hendak berangkat menuju London dari Indonesia untuk mengejar mimpinya.

Vincentius tidak akan pernah lupa akan kata-kata ayahnya saat memberikannya piringan hitam kesayangannya itu.

Kejarlah mimpimu, sejauh yang kamu bisa. Ayah tahu, anak ayah akan jadi orang yang hebat. Berhasil atau tidaknya kamu, Vincentius, kamu akan tetap menjadi anak kebanggaan ayah dan mama. Jangan pernah lupakan itu.

Vincent lantas tersenyum mengingat kata-kata ayahnya itu, bersyukur akan restu kedua orang tuanya akan cita-cita dan mimpinya yang mungkin bagi orang lain adalah mustahil. Namun, apapun yang dikatakan orang, ia tidak peduli. Ia tetap yakin, bahwa predikat itu akan menjadi miliknya kelak, suatu hari nanti.

Ia lalu menaruh piringan hitam itu pada mesin gramofon miliknya yang terletak di sebelah sofa. Vincent menggerakkan jarumnya, meletakkannya diatas piringan itu untuk menghasilkan suara. Setelahnya, ia melangkahkan kakinya dari sana untuk mengambil secangkir tehnya yang sudah terlihat pekat. Tak lupa ia membawa serta koran lokal langganannya yang masih terlipat rapi diatas meja makan.

Terdengar lantunan musik klasik Bach menyapa lembut telinganya, membuatnya lantas tersenyum lebar dan mengambil duduk pada sofa abu yang menempel rapat pada dinding apartemen. Ia memegang cangkir tehnya dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya ia gunakan untuk memegang koran.

Sedari tadi ia mencoba memusatkan fokusnya pada headline berita yang terpampang pada halaman depan koran itu, ditemani dengan musik klasik yang terdengar memenuhi seisi ruangan.

Namun entah mengapa, isi pikirannya pagi ini tidak seperti biasanya. Ia cenderung tidak fokus. Berantakan, seperti remahan kue yang berceceran.

Seperti ada yang mencoba mengokupansi kepalanya dan enggan untuk pergi dari sana.

Vincent lantas menghela napas berat lalu melipat kembali koran itu, menaruhnya pada meja di hadapannya. Ia menyesap kembali tehnya sambil melihat ke arah luar jendela apartemen.

Ia melamun.

Seorang Vincentius Taehyung terjebak dalam imajinasinya sendiri, otaknya seolah tidak berhenti berputar.

Ia sendiri pun tidak mengerti, mengapa mesin dalam kepalanya tak henti-henti berusaha untuk memunculkan sebuah nama.

Nama yang sejak beberapa hari lalu tanpa ia sadari, memaksa untuk muncul dalam kepalanya.

Pun parasnya yang ia akui, lebih dari sekedar tampan, membuat Vincent sempat tidak berkedip selama beberapa detik, tanpa Timothy ketahui.

Gregory.


*Gramofon : mesin pemutar piringan hitam

magnolia ; i got you • 600

Are you ready?”

No. I am not. Tae, what if I failed?”

Sayang, what are you talking about? I know you will do great.”

I don't think I will, Taehyung.”

Then don't think, Jeonggukie. This will be your first time, and mine too. Aku tahu kamu tidak suka memberi dirimu sendiri toleransi. But just trust me, okay? Your hard work will be paid off. I know for sure.”

Okay... if you say so. I trust you. Please make sure that I'll get thru the day? I'm so nervous.”

Pasti, sayang. Let's get it, shall we?.”

Okay. Let's!”

That's my baby.”


Jeongguk gelisah. Ia sulit sekali untuk tidur nyenyak dari tadi malam. Pelukan erat dari Taehyung selama mereka tidur pun sepertinya hanya dapat mengurangi sedikit rasa khawatirnya.

Ini adalah pertama kalinya Jeongguk dipercaya oleh Steve untuk menggagas acara soft opening dari sekian banyak bisnis yang sudah beroperasi dengan sukses. Hari ini pun, adalah kali pertama Jeongguk harus memutar otak dan mengeluarkan idenya untuk sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Steve selalu mengandalkan the power of word of mouth setiap kali ia membuka usahanya lewat regular and potential clients yang sudah ia kenal baik sejak bisnis pertamanya hingga saat ini.

Beberapa hari lalu, tepat sebelum Seojoon datang dengan Hoseok dan memperkenalkan dirinya, atasannya itu sudah memberitahu seluruh tim bahwa akan ada perubahan sedikit dari tradisi yang biasa mereka lakukan.

Namun Jeongguk yang notabene adalah sosok yang sangat senang akan tantangan, ia secara langsung menerima dan menyanggupi keputusan tersebut. Walaupun pada akhirnya, ia hampir “menyerah” ditengah jalan.

Taehyung dan Jeongguk sudah tiba di restoran sejak pukul sembilan tepat dengan membawa perlengkapan “tempur” mereka. Sang marketing head sudah siap dengan handie talkie dan beberapa lembar run down acara, sedang kekasihnya sudah siap dengan professional camera pribadinya.

Saat Taehyung memarkirkan mobilnya di basement gedung tempat Comedor Terraza berada, ia merasakan kekasihnya yang duduk di sampingnya terus-menerus menggerak-gerakan kakinya gelisah. Sejak tadi mereka keluar dari gedung parkir apartemen, Jeongguk terus-menerus menggenggam dan meremas tangan Taehyung dengan keras. Salah satu cara Taehyung untuk menenangkan kekasihnya itu adalah dengan mengusap punggung tangannya.

Kekasih Jeongguk itu lantas melepaskan tangan kanannya dari kemudi, mengubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah Jeongguk. Taehyung hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk menangkup kedua pipi pria di sampingnya itu.

“Tae.” Jeongguk berbisik saat merasakan hangat telapak tangan Taehyung. Ia memanggil Taehyung yang sedang menatap kedua mata bulatnya.

Tatapan kekasihnya itu teduh, membuat Jeongguk perlahan-lahan merasakan ketenangan luar biasa. Ia lalu memejamkan kedua matanya, menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

You will be fine, sayang,” ujar Taehyung lembut sambil mengusap area tulang pipi Jeongguk dengan kedua ibu jarinya. “I will keep making eye contact with you, okay?”

Jeongguk tertawa kecil lalu membuka matanya. Ia melihat pemilik manik hazel yang indah itu menatapnya lekat. “You will?”

Kekasihnya menggumam, memberi jawaban untuknya. “Of course. I promise.”

Taehyung lalu menarik wajah Jeongguk mendekat, mendaratkan ciumannya pada hidung bangir kekasihnya. Ia mendengar Jeongguk tertawa geli dan menggelengkan kepalanya.

Refleks, ia pun ikut tertawa, menunjukkan senyum kotaknya yang lebar. Taehyung lalu mengecup tulang hidung Jeongguk perlahan, menggeser bibir mungilnya naik hingga menyentuh batang hidung kekasihnya.

Ia lalu mendaratkan bibirnya pada dahi Jeongguk, mengecupnya lama.

Break a leg, my love. I'm so proud of you,” bisik Taehyung kemudian. Jeongguk merasakan gerakan bibir kekasihnya itu. Ia menyunggingkan senyumnya.

Good luck to us, Tae.”

;

Saat mereka berdua tiba di Comedor Terraza, terlihat seorang pria yang akan menjadi manajer restoran sedang memberi arahan mengenai acara soft opening kepada para staff operasional di area dining utama.

Taehyung lantas mencium cepat pipi Jeongguk, menaruh telapak tangannya pada punggung kekasihnya dan mengusapnya naik turun. Ia membisikkan kata-kata 'I love you, good luck, Jeonggukie' yang dengan lembut terdengar ditelinga Jeongguk.

Kekasih Taehyung itu membalasnya dengan menggumam dan tersenyum ke arah pria yang sedang berdiri di sampingnya, mengucapkan terima kasih kemudian. Saat Taehyung sudah berjalan ke arah bar untuk menemui Jimin, Jeongguk melangkahkan kakinya ke arah salah satu meja untuk menaruh barang-barangnya.

Seorang waiter yang Jeongguk belum hafal namanya, menghampirinya dan menyapanya dengan ramah. Ia lalu hanya menjawab dengan senyum yang lebar, tak lupa menanyakan kabar wanita itu hari ini. Waiter itu lantas menjawab dengan ceria, lalu menawarkan minum untuk Jeongguk.

Sang head of marketing menggumam sebentar, terlintas dalam kepalanya bahwa hari ini ia belum mengonsumsi kopi. Jeongguk akhirnya memesan secangkir latte panas untuknya. Ia juga memesankan Taehyung secangkir minuman coklat panas.

Setelah wanita itu berjalan menjauh darinya menuju bar, Jeongguk langsung mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan restoran. Beberapa kelompok meja yang akan digunakan terlihat sudah dihias cantik dengan centerpiece yang warnanya sepadan dengan table cloth dibawahnya.

Tanpa sadar, Jeongguk menyunggingkan senyumnya lebar. Dekorasi untuk acara soft opening hari ini terlihat sangat elegan, tidak terkesan norak atau berlebihan.

Anggia berhasil menangkap maksud dan keinginan Jeongguk untuk 'less is more.'

Well setidaknya, wanita itu tidak membuat dirinya kesal kali ini.

Tak terasa waktu pun sudah menunjukkan pukul dua siang, sebentar lagi acara akan dimulai. Baik staff yang berada di kitchen maupun floor sedari tadi terlihat sibuk berlalu-lalang di stationnya masing-masing.

Taehyung dan Jeongguk pun sudah sibuk dengan tanggung jawabnya. Mereka berdua hanya sesekali berpapasan sambil berusaha menyentuh tangan dan/atau lengan satu sama lain.

They feel like they still need a skin contact, just to feel safe and supported.

Mingyu dan Eunwoo yang duduk berhadapan di salah satu meja di area outdoor, sedari tadi terlihat berkutat dengan laptop masing-masing, hanya mengobrol seperlunya.

Jimin membantu Taehyung dan Yugyeom bergantian, sedang Jeongguk dan timnya sibuk mengulang beberapa proses yang sudah disusun dalam rundown acara.

Sebenarnya, Steve memang selama ini tidak pernah mengadakan acara apapun setiap kali ia membuka bisnisnya. Pemimpin Jo & Ste Group itu hanya mengundang beberapa regular clients dan food bloggers untuk makan malam di restoran.

Selain itu, ia tidak pernah meminta Jeongguk maupun timnya untuk mengundang media. Menurutnya, biarlah bisnis miliknya berkembang dengan sendirinya, tidak perlu ada exposure dan media coverage yang berlebihan.

Maka tidak heran jika Jeongguk saat ini rasanya seperti sedang kebakaran jenggot. Sebenarnya, ide untuk membuat acara soft opening seperti ini adalah usul dari Seojoon.

Well, mengingat partner Steve itu adalah salah satu putra dari orang penting di Indonesia. Hal itu membuat seluruh tim Jo & Ste Group harus bekerja lebih ekstra hati-hati dan memastikan bahwa acara berjalan dengan sempurna.

Hoseok akhirnya memberitahu seluruh personel tim untuk segera berganti pakaian, sesuai dengan dresscode yang diminta. Jeongguk lalu mengangguk mengerti, berjalan ke arah mejanya untuk meletakkan handie talkie dan kertas yang ia pegang sedari tadi. Ia lalu mengambil pakaian miliknya dan Taehyung, lalu menghampiri kekasihnya yang duduk di bar.

Taehyung terlihat sedang mengutak-atik kamera miliknya, mengaturnya sedemikian rupa sehingga tidak akan terjadi kesalahan teknis saat acara berlangsung.

“Tae, ganti baju, yuk?” Jeongguk menyentuh lengan Taehyung, berkata sambil menaruh dagunya pada bahu Taehyung. Ia lalu tertawa geli saat merasakan kekasihnya itu menoleh dan mengecup pipinya cepat.

Jeongguk melirik ke arah bar, melihat dua orang barista hanya tersenyum kikuk melihatnya dan Taehyung.

Jujur, Jeongguk pun tidak bisa menyembunyikan pipinya yang memerah dan terasa hangat.

“Taehyung!”

Pria yang dipanggil namanya itu hanya terkekeh dan menjulurkan lidahnya ke arah Jeongguk. Ia tidak menghiraukan kekasihnya yang terlihat sedang melirik tajam ke arahnya dan memutar kedua bola matanya kemudian.

“Sebentar lagi sudah harus siap-siap, Taehyung,” kata Jeongguk sambil menghela napas berat. “I'm so nervous.”

Kekasihnya lalu mengangguk, melepaskan kamera yang ia pegang dan menitipkannya pada seorang barista yang sedang berdiri di belakang bar. “Okay, okay, alright,” kata Taehyung sambil mengangkat tubuhnya dari bar stool yang ia duduki. Ia lalu mengambil pakaian miliknya dari tangan Jeongguk, lalu menggandeng tangan kekasihnya itu. “Let's go.”

;

Tepat pukul tiga sore, para tamu undangan yang terdiri dari regular clients Jo & Ste Group, rekan bisnis Steve, dan para food bloggers sudah hadir dan menempati kursi mereka masing-masing.

Sebelum memulai acara dan bersiap dengan tugasnya masing-masing, Taehyung mengajak teman-temannya tanpa terkecuali untuk berdoa. Ia berharap acara hari ini akan berjalan dengan lancar tanpa halangan apapun. Ia berharap, segala sesuatu yang timnya sudah lakukan akan membuahkan hasil yang baik.

Tentu Taehyung selalu berpikir positif, melihat dari effort dan segala sesuatu yang ia lalui bersama teman-temannya selama lima bulan belakangan ini.

Setelah mengaminkan doanya, mereka langsung membubarkan diri dan berjalan ke arah titik standby masing-masing.

Taehyung menghampiri Jeongguk kemudian, mengusap pelan punggung kekasihnya itu dan meninggalkan kecupan singkat dibahunya. Pria yang lebih muda dua tahun dari Taehyung itu lantas mengangkat tangannya untuk menangkup pipi Taehyung dan tersenyum.

Thank you, Taehyungie. I love you,” bisik Jeongguk sambil tersenyum lebar dan menggigit bibir bawahnya.

Sang head of graphic designer hanya mengernyit bingung, memiringkan kepalanya melihat tingkah kekasihnya.

Tak butuh waktu lama untuk menyadari arti dari senyum kekasihnya itu, menyebabkan senyum sumringah tersungging pada wajah Taehyung.

My pleasure, sayang. I love you too.”

;

Sebelum acara benar-benar dimulai, Jeongguk sempat menghampiri meja para tamu dan menyapa mereka dengan ramah. Ia pun tak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah menyempatkan waktu untuk datang ke acara soft opening hari ini. Sedang Taehyung sudah fokus dari balik lensa, hendak mengabadikan momen acara hari ini dengan memanfaatkan keahliannya.

Yugyeom sedang mengobrol dengan Jimin sambil menyandarkan tubuhnya pada bar island saat melihat ayahnya memasuki restoran didampingi oleh Seojoon.

Ayahnya terdengar sedang tertawa, masih dengan wibawanya, saat menanggapi partnernya itu. Anggia terlihat berjalan mengekor di belakang mereka berdua.

Sang arsitek lantas menggelengkan kepala dan mendengus, menoleh ke arah Jimin dan berbicara sambil berbisik. “Gue masih kurang percaya kalau ini seperti reuni antar mantan, Jim. Dunia sempit sekali.”

Jimin tertawa mendengar Yugyeom berkata demikian. “Apalagi gue waktu kemarin Kak Hoseok datang dengan dia, Gyeom.” Ia meneguk minuman bersoda yang sedari tadi ia pegang hingga tandas, lalu menyerahkan kaleng bekasnya pada barista di sana, sebelum akhirnya menyambung lagi. “But yeah, mau bagaimana lagi? Technically he's our boss, too. Kalau di luar jam kerja, gue rasanya pengen nonjok.”

That bad?” Yugyeom bertanya dengan nada terkejut. Ia tidak tahu cerita lainnya tentang Taehyung, Anggia, dan Seojoon. Jeongguk hanya sedikit sekali menceritakan hal itu dengannya.

Namun, Yugyeom menghargai Jeongguk dan Taehyung. Lagipula, ia tidak ingin ikut campur dengan permasalahan yang kompleks diantara mereka.

Yes, that bad. Tapi ya, gue harus bersikap profesional. Kalau nggak, bisa dipastikan Taehyung bakal menceramahi gue panjang lebar,” ujar Jimin santai sambil tersenyum.

Ekor mata Jimin lalu menangkap sesuatu yang membuat rahangnya mengeras. Ia melihat Seojoon tersenyum lebar, berusaha menyapa Taehyung yang sedang berdiri tidak jauh dari bar. Steve sudah tidak terlihat batang hidungnya, sepertinya Anggia sudah memintanya bersiap untuk membuka acara.

Jimin tidak bisa menangkap apa yang Seojoon bicarakan, namun ia melihat dengan kedua mata kepalanya sendiri, Taehyung sedari tadi hanya menanggapi dengan anggukan datar.

Ia tidak menyangka sahabatnya akan lebih dulu mengulurkan tangannya, mengajak lawan bicaranya bersalaman. Jimin dapat melihat Seojoon menanggapi dengan raut wajah terkejut dan dengan kikuk, menyambut tangan Taehyung dan menjabatnya kemudian.

Seojoon berdiri mematung, melihat Taehyung yang membungkukkan tubuhnya dan berjalan menjauh darinya tanpa mengucapkan satu katapun.

;

Acara soft opening dibuka oleh Steve dengan mengucapkan terima kasih kepada tamu yang hadir. Ia dengan bangga menjelaskan bagaimana pada awalnya gagasan bisnisnya terbentuk, hingga nama Comedor Terraza tercetus dari mulutnya. Ia pun menceritakan bagaimana awal mula pertemuannya dengan Seojoon, hingga bersepakat untuk membentuk bisnis restoran ini di kawasan SCBD.

Actually, the meaning of Comedor Terraza is a dining terrace, from Spanish. I feel like those words suit this restaurant's vibes the most. And also, we both think it suits the concept,” jelas Steve sambil menoleh pada Seojoon yang terlihat tersenyum lebar. “So yeah, cheers to Comedor Terraza. To all of you, thank you so much for coming.”

Steve mengangkat gelas champagnenya yang sedari tadi sudah dipegangnya, mengajak para tamu untuk bersulang. Terdengar bunyi gelas beradu satu sama lain, disertai dengan suara tepuk tangan para tamu.

And, some said, we save the best for the last. To my great team; Yugyeom, Taehyung, Jeongguk, Jimin, Eunwoo, and Mingyu, I appreciate this more than you'll ever know. Tanpa kalian, Comedor Terraza tidak akan berdiri sesempurna ini.”

Steve terlihat meraih gelas champagnenya lagi, hendak mengangkatnya sebelum menyambung lagi. “Thank you for the constant dedication and hard work. You guys did it beyond my expectation. You guys truly are the best.”

Jeongguk sedang berdiri tidak jauh dari tempat Steve berada, lantas menganga, saat melihat atasannya berbicara di tengah ruangan sambil menunjuk ke arahnya dan teman-temannya. Ia tidak pernah mendengar Steve secara langsung mengapresiasi tim yang bekerja dibalik layar di depan orang banyak seperti ini.

Apakah ini mimpi? Rasanya segala beban berat yang ada pada pundaknya dan hal buruk yang sudah seminggu ini menghantui pikirannya, seketika luntur. Jeongguk rasanya ingin berteriak saat ini juga sambil berlari ke arah Taehyung, yang terlihat sudah melihat ke arahnya sejak tadi.

Mata mereka bertemu.

Jeongguk dapat membaca gerak bibir Taehyung dengan jelas. Ia tersenyum lebar, menunjukkan sederet gigi putihnya yang sebentar lagi sepertinya akan kering.

'I told you, sweetheart.'

Taehyung pun terlihat mengacungkan ibu jarinya di samping wajahnya sambil tersenyum saat melihat Jeongguk membalas tanpa suara dari seberang ruangan.

'Thank you, Tae. We did it.'

;

Tiga jam berlalu dengan sangat cepat. Steve akhirnya mengumumkan bahwa acara soft opening Comedor Terraza sudah selesai. Taehyung yang sedang sibuk memotret momen hari ini lantas berhenti dan akhirnya duduk di salah satu bar stool. Ia menghela napas lega karena acara hari ini berjalan dengan lancar, tanpa kekurangan sesuatu apapun.

Ia pun bersyukur, setidaknya ia melihat Jeongguk selama acara sama sekali tidak terlihat gugup seperti pagi tadi.

Saat Taehyung sedang fokus melihat foto-foto hasil jepretannya pada layar kamera, tiba-tiba ia merasakan dua tangan seseorang merangkul lehernya dari belakang. Ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui bahwa kekasihnya saat ini sudah memeluknya dari belakang.

Taehyung merasakan hembusan napas hangat Jeongguk pada tengkuknya. Ia lantas melepaskan kameranya, menaruhnya pada bar island dan memegang tangan kekasihnya.

Ekor mata Taehyung menangkap sosok Yugyeom dan Jimin yang sedang duduk untuk mengobrol dengan Steve, sedang Mingyu dan Eunwoo terlihat sedang menyantap medium rare steak yang diantar oleh seorang waiter beberapa saat lalu.

Kekasih Jeongguk itu lantas memutar tubuhnya, memandang mata bulat Jeongguk yang berbinar-binar. Taehyung tahu persis, Jeongguk-nya sedang bahagia. Walaupun raut wajahnya terlihat lesu karena acara yang panjang hari ini, namun kedua mata kekasihnya itu tidak bisa berbohong.

Are you happy, Jeonggukie?” Taehyung bertanya sambil melepaskan genggamannya dari tangan Jeongguk, lalu memegang pinggang kecil kekasihnya itu dan menarik tubuhnya.

Taehyung sadar saat ini mereka berdua masih “bekerja”, namun ia tidak peduli. Ia terlalu senang melihat Jeongguk di hadapannya, tersenyum lebar karena bahagia. Taehyung tahu, project mereka kali ini adalah yang paling sulit dan kompleks, dari semua project yang sudah mereka lakukan.

Begitu banyak cobaan dan ujian yang harus mereka lalui hingga sampai pada titik ini.

Very happy. I hope you are too.”

Sang kekasih menjawab sambil tersenyum, mengalungkan kedua tangannya pada leher Taehyung. Ia mendekatkan wajahnya pada pria di hadapannya saat ini, menempelkan dahinya pada dahi Taehyung.

Telinga Jeongguk rasanya tertutup, berusaha untuk tidak mendengar suara sorak-sorai teman-temannya yang tergolong cukup keras, terutama Jimin. Jeongguk melihat senyum Taehyung merekah, mendengarkan para staff restoran, bahkan Steve, yang sudah berdeham dan tertawa.

Ia tidak mendengarnya sama sekali.

Saat ini, kedua telinga Jeongguk hanya berfokus pada suara berat napas Taehyung yang membuat kedua lututnya lemas. Jeongguk merasakan kedua tangan Taehyung merengkuh tubuhnya dalam pelukan tubuhnya yang hangat.

“Jeonggukie, this is my favorite song. Do you want to dance with me?”

What.

Oh.

Jeongguk baru tersadar bahwa lagu favorit kekasihnya sedang memenuhi seisi ruangan, dengan suara merdu seorang wanita diiringi saxophone yang terdengar sangat seksi.

Dance? Here?” Jeongguk membelalakkan matanya. Ia terkejut. “Taehyung serius? Kamu nggak sedang bercanda, 'kan?”

Seorang Taehyung, mengajaknya untuk “berdansa” pada saat mereka masih bekerja seperti ini?

Di tengah restoran tempat segala usaha dan perjuangan mereka dicurahkan. Di tengah lautan manusia yang perhatiannya sekarang tertuju pada mereka.

Di depan seorang Johannes Steve, sosok yang sangat mereka berdua hormati.

Demi Tuhan, acara ini bukanlah untuk mereka berdua. Ini adalah acara milik Steve.

Apa Taehyung sudah gila? Bagaimana dengan prinsip profesional yang kekasihnya itu selalu agungkan?

Lawan bicaranya hanya menggeleng lalu menggumam, sambil tetap memandangnya teduh. “Mhm,” jawab Taehyung sambil tersenyum. “Mau, 'kan? I think we deserve this, sayang.”

Sepasang manik hazel itu menatapnya lekat. Sang pemilik sama sekali tak berkedip saat bertemu mata dengannya. Jeongguk merasakan ibu jari tangan Taehyung membentuk lingkaran kecil tidak beraturan pada lekuk pinggangnya. Sedang tangannya yang satu mengusap lembut punggungnya naik turun.

Entah apa yang membuat Jeongguk rasanya ingin menangis.

Taehyung begitu mencintainya, ia bisa melihat itu.

Taehyung begitu mencintainya, Jeongguk rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya, karena ia merasakannya. Ia merasakan semua perhatian itu, semua kasih sayang itu, semua kata-kata yang diucapkan oleh kekasihnya itu, semua perjuangan yang dilakukan oleh Taehyung.

Semuanya.

Jeongguk sudah tidak bisa membendung air matanya lagi yang sudah menggenang dipelupuk matanya, menunggu untuk meluncur dari mata bulatnya dan membasahi pipinya.

Ia tersenyum dan tertawa sambil terisak, melihat Taehyung di depannya hanya mengernyit khawatir.

This is happy tears, don't worry.” Jeongguk menjawab, seperti bisa membaca pikiran kekasihnya. “Taehyung, I love you. I love you, so much. You know that, right?”

I know, sayang. I always know,” balas Taehyung sambil tersenyum, melepaskan tangannya dari pinggang Jeongguk untuk menghapus air mata kekasihnya. “I love you too, much more than yours, though.”

Kekasihnya itu hanya memutar bola matanya malas, namun ia tertawa kemudian, saat merasakan pria yang sedari tadi memeluknya itu menarik wajahnya untuk menciumnya, tepat dibibirnya.

Jeongguk mendengar Jimin memekik, pun Eunwoo dan Mingyu yang berteriak seperti sedang menonton bola. Ia hafal persis dengan suara siul Yugyeom yang terdengar seperti bunyi terompet tahun baru.

Taehyung yang sedang sibuk menyalurkan rasa sayangnya pada Jeongguk lewat ciuman lantas tertawa, menggelengkan kepalanya karena mendengar riuh suara seisi restoran.

Also... you did very well, like always, Jeonggukie. And I will never get tired to tell you that I'm so proud of you.”

magnolia ; i got you • 588

cw ⚠️ contain flashback of Taehyung and Seojoon's relationship


Selama perjalanan pulang menuju apartemen Jeongguk, Taehyung diam seribu bahasa. Tidak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulutnya. Kedua tangannya tetap memegang setir kemudi, buku-buku jarinya terlihat semakin lama semakin memutih. Cengkramannya yang kuat pada setir membuat urat-urat pada tangan Taehyung tercetak jelas dari balik kulit sawo matangnya. Rahangnya mengeras, Jeongguk dapat melihatnya. Tatapan manik hazel Taehyung yang biasanya teduh, kini hanya memperlihatkan sorot mata yang tajam, fokus pada jalanan yang sangat padat malam ini.

Jeongguk menghitung setiap detiknya, hampir tiga puluh menit lamanya Taehyung tidak menoleh atau bahkan melirik ke arahnya.

Suasana dalam mobil begitu hening dan dingin. Jeongguk rasanya ingin memecah keheningan dengan mengajak kekasihnya berbicara atau sekedar menyetel lagu apapun. Namun ia urungkan. Ia tidak ingin mengganggu Taehyung yang sedari tadi sepertinya sedang berpikir keras, banyak hal yang berperang dalam kepalanya. Diantara mereka hanya terdengar suara napas masing-masing, helaan kasar napas Taehyung, dan bunyi klakson mobil Jeongguk yang ditekan keras oleh kekasihnya itu setiap kali ada kendaraan yang ingin berusaha menyalip mobil mereka.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu lintas hari ini entah mengapa tidak seperti biasanya. Jeongguk sebenarnya sudah menawarkan diri untuk menyetir saat pulang sejak tadi mereka hendak pulang dari restoran. Namun Taehyung hanya menggeleng dan langsung mengambil kunci mobil yang sedang dipegang oleh kekasihnya itu.

Jeongguk pun tidak berani untuk menyetel lagu apapun, tidak ingin membuat kekasihnya merasa, entahlah, terganggu?

Ia bingung bagaimana harus bersikap.

Pertemuan yang mengejutkan dengan partner Steve, yang ternyata adalah Seojoon, mantan kekasih Taehyung, ia akui cukup membuat dirinya sendiri pusing. Aneh, kejadian hari seperti tidak nyata.

Jujur, Jeongguk merasa bodoh karena tidak segera menyadari adanya hal yang aneh saat Jimin menoleh ke arah Taehyung tadi. Ia benar-benar tidak menangkap 'sinyal' yang sahabat Taehyung itu berikan saat Hoseok memanggil nama mereka dan hendak memperkenalkan Seojoon.

Jeongguk sama sekali tidak menyadari saat bertemu mata dengan mantan kekasih Taehyung saat itu. Butuh waktu beberapa detik hingga ia merasa kedua lututnya terasa lemas saat melihat pria di hadapannya itu menyunggingkan senyum lebarnya.

Tinggi badan Seojoon tidak berbeda jauh dengan Taehyung. Tubuhnya terlihat lebih berisi dan tegap, bahunya lebar, potongan rambutnya jauh berbeda dengan yang pernah Taehyung tunjukkan dari foto. Gaya berpakaiannya pun berubah. Jeongguk hampir tidak mengenali pria itu.

Apa hidup menjadi orang dewasa membuat mantan kekasih Taehyung ini berubah seratus delapan puluh derajat?

Ia ingat betul betapa terkejutnya Jimin melihat Seojoon, namun ia tidak bisa melakukan apapun. Bagaimana pun, pria yang sedang berdiri di samping Hoseok itu secara tidak langsung adalah atasannya. Namun Jeongguk melihat jelas rahang Jimin mengeras, kedua tangannya mengepal sesaat sebelum menjabat tangan Seojoon.

Sedang Taehyung, ia melihat kekasihnya itu hanya berdiri mematung karena melihat mantan kekasihnya berdiri di hadapannya. Taehyung hanya tersenyum getir, berusaha menahan hasrat ingin melayangkan tinjunya saat ini juga.

Yugyeom yang tidak mengetahui apapun cerita masa lalu Taehyung, hanya bisa berbisik pada Jeongguk. Sahabat Jeongguk itu bertanya, apakah Taehyung dan Seojoon saling mengenal satu sama lain. Ia hanya menggidikkan bahunya dan menjawab bahwa ia tidak tahu.

Ia melihat Taehyung dengan berat hati mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Seojoon. Jeongguk tahu, Taehyung adalah sosok yang paling profesional yang pernah ia temui. Namun sekarang? Ia tahu kekasihnya itu hampir tidak bisa mengontrol raut wajahnya saat melihat Seojoon mengajaknya berjabat tangan.

Saat Jeongguk mendengar pria itu menyapa Taehyung dan berpura-pura seolah-olah mereka tidak mengenal satu sama lain, ia rasanya ingin muntah. Senyum yang ia berikan pada Taehyung rasanya seperti memiliki arti tersembunyi.

Sang graphic designer itu hanya tersenyum simpul, meraih tangan Seojoon dan menjabatnya barang sedetik. Taehyung lalu melepaskan tangannya dan langsung menoleh ke arahnya dengan sorot mata yang berbeda.

Jeongguk hanya bisa membalas dengan tersenyum, masih berusaha menafsirkan apa arti sorot manik hazel kekasihnya itu.

Apa yang sedang Taehyung rasakan sekarang? Ia tidak bisa menebak apa yang sedang kekasihnya itu pikirkan. Pembukaan Comedor Terraza akan berlangsung tiga hari lagi dan semesta rasanya ingin memberikan badai salju ditengah kehangatan yang tengah mereka rasakan.

Jika ia bisa meminta Taehyung untuk membagi beban pikirannya saat ini juga, Jeongguk pasti sudah melakukannya.

;

Seorang satpam terlihat sigap berdiri saat mobil Jeongguk memasuki parkiran basement gedung. Taehyung melepaskan tangannya dari setir untuk mengambil access card yang ia letakkan pada dasbor sambil membuka kaca mobil. Ia lantas mengulurkan tangannya ke luar, menempelkan kartu itu pada mesin untuk membuka portal otomatis itu.

Pria yang hampir paruh baya itu sempat menyapa Taehyung dan Jeongguk dari luar mobil, mereka berdua hanya membalas dengan satu anggukan sambil menyunggingkan senyum lebar.

Saat Taehyung sudah memarkirkan mobil Jeongguk dekat dengan akses pintu masuk penghuni apartemen, ia segera mematikan lampu mobil dan melepaskan kedua tangannya dari setir. Mesin mobil masih dibiarkan menyala oleh Taehyung.

Jeongguk hanya mengernyit bingung. Apa Taehyung menginginkan sesuatu? Atau apakah Taehyung ingin bicara? Ia tidak mengerti. Ia lalu melihat Taehyung menunduk sambil mengusap wajahnya kasar. Taehyung menggeram, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu berteriak keras. Jeongguk bersyukur tidak ada satu orang pun selain mereka berdua yang terlihat sedang berlalu-lalang di basement.

“Tae, talk to me,” kata Jeongguk yang sudah mengubah posisi duduknya. Ia mengangkat kakinya untuk duduk bersila, menghadap ke arah Taehyung yang sekarang sudah menyandarkan tubuhnya. Jeongguk memberanikan diri untuk mengulurkan tangannya dan meraih tangan Taehyung.

Setidaknya Jeongguk ingin meyakinkan Taehyung bahwa dia ada di sana, menemaninya.

Saat Taehyung merasakan hangatnya telapak tangan Jeongguk berada dibawah tangannya, ia lantas langsung menggenggam tangan mungil kekasihnya itu dan meremasnya kuat. Ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Jeongguk, memandang sorot mata bulat kekasihnya yang terlihat khawatir. “Aku... minta maaf, Gguk.”

Jeongguk mengernyitkan dahinya. Ia bingung. Kekasih Taehyung itu memiringkan kepalanya sambil mengulurkan tangan kirinya untuk menangkup wajah Taehyung. Ia mengusap pipi Taehyung pelan dengan ibu jarinya, menatap manik hazel kekasihnya lekat-lekat. “Minta maaf? Minta maaf untuk apa, Taehyungie? You didn't do anything wrong.”

Taehyung memejamkan matanya, menarik napasnya panjang. Lalu dengan suara parau ia menjelaskan pada Jeongguk, tanpa bisa menghentikan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia berbicara ibarat kendaraan dengan rem yang rusak.

“Aku benar-benar nggak tahu kalau ada Seojoon di sana? And I was shocked. Jeonggukie. Aku nggak tahu kenapa semuanya kayak hujan es yang bertubi-tubi buat aku? Anggia, Kak Seokjin, dan Seojoon. Seojoon, Gguk, of all people. And I'm fucking sorry for reacting that way, and this way. I just don't know why—”

“Hei, Taehyung. Stop.” Jeongguk memotong kekasihnya dengan nada tegas. Ia melepas tangannya yang masih menggenggam Taehyung untuk menangkup wajah kekasihnya dengan kedua tangannya. “Sayang, stop, okay? Just stop.”

“Berengsek!” Teriak Taehyung lagi. “Why he has to come back like, right now? Why did he show up a couple of days before the soft opening? What is he up to? I don't get it, Jeonggukie. I don't...”

Ia lalu menarik wajah Taehyung dan menempelkan dahinya pada dahi kekasihnya itu. Jeongguk tidak berhenti mengusapkan ibu jarinya pada kedua pipi kekasihnya. “Take a deep breathe, okay? Please repeat after me, Tae.”

Taehyung berusaha mengatur napasnya sesuai dengan ritme yang Jeongguk bisikan. Ia masih merasakan dadanya turun naik, napasnya memburu akibat emosi. Butuh waktu beberapa menit hingga akhirnya Taehyung sudah sedikit lebih tenang. Ia lalu memegang punggung tangan Jeongguk, menarik kepalanya sedikit untuk mengecup dahi kekasihnya itu.

Jeongguk tertawa pelan, merasakan kedua pipinya menghangat. “Aku juga nggak paham, Taehyung,” jawab Jeongguk sekenanya dengan hati-hati.

“Naik aja, yuk, Tae? Supaya kamu bisa istirahat, nanti aku buatkan sesuatu supaya badan kamu lebih enak. Gimana?”

Okay, Jeonggukie. Sounds great,” kata Taehyung sambil mengecup bibir Jeongguk yang kering. “Thank you so much.”

;

Do you ever like me?” Taehyung bertanya tiba-tiba namun dengan nada santai, sambil berjalan ke arah Seojoon yang sedang duduk bersila di sofa. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya yang sudah ia pendam selama ini.

Mungkin dengan mengajak kekasihnya itu bercanda, siapa tahu, ia akan berhasil menemukan jawabannya?

Of course, Taehyung. Just stop asking that kind of question, okay. That's stupid,” jawab Seojoon pendek dengan nada dingin, masih berkutat pada handphone-nya sejak tadi.

I can't believe you just called me stupid. Bro.” Taehyung melirik tajam ke arah kekasihnya, mencoba untuk terlihat marah. Namun gagal, tak lama kemudian, ia menyunggingkan senyum lebarnya sambil mendengus.

Seojoon hanya menghela napas pelan. “Slipped, Tae, sorry.”

Mereka berdua saat ini sedang berada di rumah Seojoon, berencana akan memesan makanan via online dan menonton film di ruang tengah hingga larut malam. “Yeah, okay I forgive you. Anyway, do you want to eat anything? Do you want to start the movie first? Or like, should I order something for us right now?”

Actually, Tae,” kata Seojoon sambil menghela napas kasar sebelum menyambung lagi. “I'm tired.”

Kekasih Taehyung itu terlihat meletakkan handphone-nya di meja yang ada di samping dan memijat-mijat batang hidungnya sambil memejamkan mata.

Taehyung mengernyit. Apa kekasihnya itu lelah? Seojoon memang selalu menanggapi Taehyung dengan nada dingin, sejak dulu awal pertama kali bertemu. Namun entah mengapa, ia menyadari ada yang salah dengan kekasihnya itu.

Ia akhirnya menghela napas berat, berusaha memaklumi jika Seojoon akhirnya ingin membatalkan rencana mereka malam ini, untuk kesekian kalinya.

Oh, okay baiklah. Apa kita batalin saja rencana kita malam ini?

Not 'that kind' of tired, Tae. I'm just... I don't know. I'm tired of us?” Seojoon bertanya retoris, menundukkan kepalanya sambil bermain dengan jemari tangannya sendiri. “Aren't you?

Tired? What the fuck does he mean?

What?” Taehyung membelalakkan matanya. “Capek? Maksud kamu capek kenapa, Seojoon?”

Apa kekasihnya itu sedang mencoba untuk melucu?

You heard me, Taehyung. I'm tired of us, okay? Like, I can't keep doing this shit. Can you just stop giving me too much attention? It irks me, to be honest, it always does. Aku nggak tahan dengan kicauan kamu, sangat mengganggu.”

Kalau kamu merasa terganggu, kenapa kamu tidak pernah mengutarakan itu?

Close both of your ears, then. I'm fucking done.”

Apa hubungan ini akan berakhir cukup sampai disini? Atau ini hanya pertengkaran yang biasa terjadi diantara mereka, seperti yang sudah-sudah?

Seojoon menghela napas berat sambil melirik ke arah Taehyung. “Well, good bye, I guess?”

Taehyung berdiri dari duduknya, melempar bantal sofa yang sedari tadi ia pegang ke arah Seojoon. Taehyung benar-benar marah.

I'm sorry, Tae. I'm truly sorry,” kata Seojoon lirih. Namun Taehyung tidak menemukan nada penyesalan disana. Apa memang hal itu adalah yang selama ini Seojoon rasakan pada Taehyung?

Ia lantas berjalan ke arah pintu rumah kekasihnya itu sambil membawa seluruh barangnya. Taehyung akhirnya bertemu mata dengan Seojoon, lalu mengangkat tangannya dan mengacungkan jari tengah ke arah kekasihnya itu.

Tunggu. Tidak.

Mantan kekasih.