Entah apa yang sedang membelenggu pikiran Gregory siang tadi, sehingga ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke studionya dengan misi baru.
Sebelum sampai di studio, ia sempat mampir ke salah satu minimarket terdekat dan membeli peralatan untuk bebersih, tidak lupa membeli pengharum ruangan dan beberapa wangi varian aromaterapi yang ia rasa cocok dengan selera Vincent. Ia menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit hanya untuk meminta penjaga minimarket menjelaskan satu persatu varian aromaterapi yang dijual di sana.
Gregory bersyukur Thomas tidak tahu bahwa sahabatnya itu sedang berbelanja barang-barang yang bukan untuk dirinya sendiri, membuatnya harus merogoh kocek yang lumayan dalam hanya untuk membuat pria yang lebih tua dua tahun darinya itu merasa nyaman saat latihan di studio miliknya.
Ia menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil saat membayar barang belanjaannya di kasir. Segala hal yang ia lakukan hanya untuk seorang Vincentius, pria misterius dan kaku yang baru dikenalnya kemarin di sebuah restoran yang cukup mahal. Seorang pria yang ternyata adalah salah satu konduktor orkestra yang namanya sudah terdengar di kalangan musisi dan klub orkestra yang berkarya di Paris.
Seorang pria, yang rasanya membuat Gregory penasaran setengah mati hanya dengan melihat sebuah foto yang dikirim oleh Timothy beberapa hari lalu. Sejak saat itu, pikirannya selalu diisi dengan wajah Vincent dan imajinasinya, seperti apakah sifat pria itu, bagaimanakah pembawaan pria itu, dan seperti apa perawakannya jika ia bertemu langsung.
Jawaban akan segudang pertanyaan yang ada dalam kepalanya akhirnya terjawab saat ia akhirnya bertemu dengan Vincent tadi malam.
Tidak pernah seumur hidupnya, ia melihat pria sesempurna sang konduktor orkestra itu. Pria dengan paras yang tampan, hidung yang mancung, rahang yang tegas, alis hitam yang tebal, kedua kelopak mata yang lipatannya berbeda, sorot mata yang tajam namun tidak ada kesan menuduh, dan kacamata dengan frame bulat yang tidak terkesan kuno; bertengger manis pada batang hidungnya.
Malam itu, ia menyembunyikan rasa hangat yang seketika menjalar pada pipinya dan dadanya yang terasa seperti dihinggapi kupu-kupu dengan mengulurkan tangannya cepat pada Vincent. Ia mengajak pria yang berdiri di hadapannya itu berjabat tangan.
Saat pertama kali hangatnya telapak tangan pria itu menyentuh tangannya yang dingin akibat udara Paris malam itu, gelenyar aneh mengalir keseluruh anggota tubuhnya.
Gregory tidak bisa berbohong. Ia rasanya ingin terus-menerus merasakan kehangatan itu.
Sebenarnya, ia bukanlah pria yang mudah tertarik dengan seseorang. Baginya, mempercayakan hatinya pada orang lain bukanlah hal yang mudah. Ia harus ekstra hati-hati jika ingin melakukannya. Ia tidak ingin jika hatinya yang sudah susah payah dijaga oleh dirinya sendiri, akan dihancurkan begitu saja oleh sembarang orang.
Kekecewaan yang pernah dialami sebelumnya membuatnya belajar untuk tidak mudah percaya dengan siapapun.
Namun Vincentius, oh pria itu, membuat Gregory rasanya seperti terhipnotis, seketika prinsip itu luntur bersamaan dengan senyum simpul yang tersungging pada wajah Vincent kemarin.
Seketika prinsip yang selalu ia tancapkan pada dinding labirin pikirannya itu jatuh hingga ke dasar.
Ia berpikir, sepertinya jatuh cinta dengan Vincentius semudah membalikkan telapak tangannya dan semudah memetik senar gitar miliknya.
Gregory merasa, kehadiran Vincent di hidupnya bukan hanya sesaat dan hanya kebetulan.
Perasaannya tidak akan salah, 'kan?
Saat Gregory sampai di studionya, ia langsung membereskan barang-barangnya dan membersihkan ruangan itu agar Vincent dapat dengan leluasa menggunakannya untuk latihan esok hari. Ia memang termasuk individu yang sangat mementingkan kebersihan dan kerapian, namun hari ini, ia membersihkan apartemennya seperti orang kesetanan. Semua peralatan musiknya disemprot dengan cairan khusus untuk membersihkan alat-alat musik, digosok dengan lap basah hingga mengkilap, pun dengan kursi yang biasa diduduki oleh Gregory.
Semuanya bersih, seperti baru.
Lima jam ia habiskan di studio musik dengan tidak mengindahkan handphonenya yang sedari tadi berbunyi, tanda ada pesan masuk. Ia terlalu seru dengan kegiatannya, sampai melupakan fakta bahwa ia sedang menunggu pesan balasan dari Vincent. Tadi malam, pria itu mengirim pesan, namun ia baru sempat membacanya pagi hari tadi karena sudah terlalu lelah.
Seluruh tubuhnya sudah lengket karena keringat, kaos oblong warna hitamnya sudah menempel pada punggungnya, tanda ia harus segera mandi agar tidak masuk angin. Dahinya pun bercucuran keringat. Beruntung hari ini ia memakai headbandnya agar rambut hitamnya tidak menempel pada dahinya.
Gregory mengangkat ujung bajunya ke atas untuk menyeka keringat yang sudah membasahi wajahnya, lalu berjalan ke arah kursi tempat ia meletakkan handphonenya tadi.
Napasnya masih tidak beraturan karena lelah. Ia lalu duduk di lantai dan menyandarkan tubuhnya pada dinding studio sebelum akhirnya meraih handphonenya.
Ia mengernyit, terpampang pesan terakhir dari Vincent, yang membuat hatinya rasanya mencelos. Ia merasa usahanya untuk membersihkan studionya hingga terlihat seperti baru itu hanya sia-sia saja.
'Oh, nggak apa, Gregory. Saya hanya tanya. Maksud saya, kalau kamu ada di sana, mungkin saya lebih baik tidak latihan.'
Apa maksud pria itu membalas pesannya seperti ini?
Seketika kepalanya pusing, ia memejamkan kedua matanya dan menekuk kakinya sehingga kedua lututnya menyentuh wajahnya yang sedang menunduk.
Seperti inikah rasanya harapanmu dijatuhkan dari atap sebuah gedung ke dasar tanah? Mengapa sepertinya pria itu tidak ingin bertemu dengannya?
Balasan seperti itu tidak mungkin hanya sekedar basa-basi. Tidak.
Namun Gregory tiba-tiba teringat akan kata-kata Timothy, betapa pria itu memang sangat kaku. Orang-orang yang hidup di sekitar pria itulah yang harus mencoba mengerti dan menurunkan ego mereka.
Akan tetapi, haruskah ia mencoba untuk mengerti akan respon spontan dan datar yang selalu dilontarkan oleh Vincent, demi bisa mendekatkan diri dengan pria itu?
Apa ia harus mengabaikan perasaannya sendiri?
Gregory lantas menghela napas berat. dan memencet tombol untuk mengunci layar handphonenya. Ia menengadahkan kepalanya dan memandang langit-langit ruang studionya yang berwarna putih gading itu.
Sejak kapan setiap respon yang diberikan oleh Vincent memengaruhi dirinya sampai seperti ini? Ia tidak ingat kapan dirinya pernah menghiraukan respon seseorang yang baru saja ia kenal.
Tidak pernah sama sekali, sampai Vincent datang ke hidupnya.
Ada apa dengan dirinya?
Gregory memiliki sifat keras kepala yang hampir parah, Thomas pernah mengeluhkan sifatnya itu secara terang-terangan padanya. Menurut sahabatnya itu, sulit sekali memberi pengertian pada Gregory untuk tidak ceroboh melakukan sesuatu hal yang ia inginkan. Pada akhirnya, Thomas pun akan selalu mengeluarkan kata-kata andalannya setiap kali Gregory bercerita padanya, bahwa ia gagal dan/atau hal itu tidak sesuai dengan yang ia harapkan.
'I told you so.'
Ia membaca kata-kata itu lagi pada layar handphonenya saat ini, saat ia memberitahu Thomas bahwa ia akan pergi ke apartemen Vincent tanpa memberitahu pria itu terlebih dahulu. Rasanya Thomas ingin sekali menyeret sahabatnya itu dan membatalkan keinginannya yang terlihat sangat terburu-buru.
Hal itu terjadi karena alasan yang benar-benar sepele pula. Hanya karena Vincent mengatakan padanya bahwa sepasang matanya akan terlihat lebih indah jika ia melepaskan segala luka dan kesedihan yang ia rasakan.
Gregory yang saat itu sedang menyusuri jalanan dari studio musiknya menuju stasiun metro terdekat, benar-benar menghentikan langkahnya untuk menepi di pinggir jalan.
Lagi-lagi ia mengernyitkan dahinya. Apa lagi maksud Vincent mengatakan hal seperti itu? Hatinya seharian ini seperti sedang dibawa naik wahana pontang-panting. Pria itu membuat kepalanya pusing, membuat dadanya berdegup kencang, dan tentu, membuatnya mabuk.
Gregory tidak bisa tidur dengan rasa penasaran yang menghuni hatinya. Ia tidak ingin menebak-nebak sesuatu yang tidak pasti.
Satu hal yang ia dapat simpulkan setelah mengenal Vincent selama beberapa jam belakangan, pria itu tidak bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan pesan.
Maka di sinilah Gregory, duduk di salah satu kafe yang terletak di jalan Rue de la Ferronnerie, di daerah apartemen Vincent berada. Ia sama sekali tidak menghiraukan larangan Thomas beberapa saat lalu.
Ia belum mau memikirkan apa yang akan ia lakukan, itu bisa diurus olehnya nanti.
Tujuannya saat ini adalah bertemu dengan Vincent untuk sekedar berbicara dengan pria itu. Rasanya obrolan mereka saat pertemuan pertama kemarin belum cukup.
Gregory merasa ingin bertemu dengan Vincent lagi secepatnya. Ia tidak bisa menunggu sampai pria itu mendatangi studio musiknya untuk latihan.
Ia tidak sabar.
Ia lalu meraih handphonenya yang diletakkan di meja dan mengirim pesan singkat pada Vincent.
Ia berharap, pria itu segera membalas pesannya dan usahanya untuk mengajak Vincent berbicara tidak sia-sia.
Vincent merasa bersalah saat membaca ulang balasan yang ia kirimkan pada Gregory beberapa saat lalu. Ia hanya merasa terkejut. Dari mana pria itu tahu daerah tempat tinggalnya? Apakah ia mengetahuinya dari Timothy dan/atau Maximillian? Atau dirinya sendirilah yang secara tidak sengaja memberitahu pria itu?
Tidak. Vincent ingat betul bahwa pembicaraan mereka tadi malam tidak sampai sejauh itu. Maka ia tidak heran jika dirinya mengirimkan balasan datar tak bernada itu pada Gregory, yang ternyata diinterpretasikan dengan arti yang berbeda oleh pria itu.
Vincent lantas merutuki dirinya sendiri.
Bodoh sekali kau, Vincentius. Kau terlihat seperti orang yang keterlaluan hanya lewat pesanmu itu.
Ia lantas mengirim pesan berkali-kali pada Gregory, berharap pria itu tidak langsung pulang dan bersedia untuk menunggunya. Ia harus meminta maaf pada pria itu karena balasannya beberapa saat lalu.
Saat ia mengetahui bahwa Gregory menunggu di Au coeur couronne, kafe yang berada persis di seberang apartemennya, ia langsung berlari ke arah kamar mandi untuk segera mandi dan bebersih dengan cepat.
Ia tidak ingin membuat Gregory menunggu terlalu lama dan berakhir meninggalkan kafe itu untuk pulang ke apartemennya.
Tidak sampai sepuluh menit, ia akhirnya menyelesaikan kegiatannya dan mengambil pakaiannya yang masih tergantung pada gantungan pakaian dekat pintu kamarnya. Ia menyugar rambutnya yang kering, menyisirnya asal dan menguncirnya hingga berbentuk bulat. Ia lalu berjalan ke arah nakasnya, mengambil sebotol parfum miliknya, menyemprotkan isinya pada ceruk leher dan kedua nadi tangannya. Tak lupa ia memakai kacamatanya sebelum keluar dari kamar tidurnya.
Vincent tidak pernah secepat itu berlari ke arah luar apartemennya untuk bertemu dengan seseorang, bahkan untuk bertemu dengan Timothy atau Maximillian.
Tidak pernah.
Ia berlari-lari kecil menuju kafe itu sambil melihat sekelilingnya. Jalanan di sekitaran apartemennya sudah terlihat semakin ramai. Ia yakin, kafe di depan gedung apartemennya pun pasti sudah dipenuhi pengunjung.
Sekilas sebuah pertanyaan muncul dalam kepalanya.
Apa Gregory sudah pulang karena tempat itu sudah semakin ramai?
Vincent memicingkan matanya untuk mencari sosok Gregory di area outdoor kafe itu. Ia merapalkan doa dalam hati, berharap pria itu masih ada di sana untuk menemuinya.
Tidak memerlukan waktu yang lama hingga ia akhirnya menangkap sosok Gregory dengan kedua matanya. Pria itu terlihat mengenakan jaket kulit hitamnya lagi. Kedua kakinya yang jenjang dibalut celana jins berwarna hitam, senada dengan sepatu keds yang ia kenakan.
Gregory duduk menyamping, hampir membelakanginya, membuat Vincent dapat melihat jelas rahangnya yang tegas. Ia melihat anting bulat berwarna silver tersemat pada cuping telinga pria itu.
Ia terlihat sedang fokus memandangi handphonenya, sepertinya sedang bertukar pesan dengan seseorang. Di hadapannya terlihat segelas es kopi yang setengah isinya sudah berkurang. Vincent merasa tidak enak hati, pasti pria itu sudah terlalu lama menunggunya.
Ia lantas mempercepat langkahnya dan menghampiri pria yang sekarang sedang terlihat menyeruput es kopinya itu hingga tandas.
“Gregory? Bonsoir.” Vincent menyapa pria itu sambil menepuk bahunya. Pria yang memiliki nama itu lantas menengadahkan kepalanya. Sepasang manik Vincent dari balik kacamatanya menatap sepasang mata bulat itu.
Vincent lalu menarik tangannya dari bahu Gregory, lalu menarik kursi yang berada persis di hadapan pria itu.
Gregory tersenyum tipis, hampir tidak terlihat oleh Vincent. Kedua matanya menunjukkan sorot aneh. Entah lelah atau sedih.
Shit.
“Saya minta maaf kalau kamu menunggu lama,” sambung Vincent sopan dan mengambil duduk.
Ia mendengar pria itu tertawa kecil, menyeka mulutnya sehabis meminum es kopinya tadi. “Bonsoir, Vincent. It's okay.”
Vincent melihat pria di hadapannya seperti kikuk, melihat ke arah gelas minumannya yang sudah kosong. Gregory menghindari kontak mata dengan dirinya.
“Sebenarnya, gue mau mengajak lo jalan-jalan malam ini.” Gregory memulai pembicaraan dengan nada datar. “Apa lo mau menemani gue sampai ke Louvre?”
Oh?
“Oh, tentu. Saya malam ini free, Gregory. Saya bersedia menemani kemanapun kamu ingin pergi,” jawab Vincent sambil tersenyum, lalu membenahi letak kacamatanya. “Apakah kamu mau pergi sekarang?”
Gregory mengangguk tanpa suara lalu mengangkat tangannya ke udara untuk memanggil seorang pelayan kafe. Ia bermaksud meminta bill pesanannya. Tak lama pelayan datang dengan membawa bill dan menyerahkannya pada Gregory. Ia lalu membuka dompet kecilnya yang berwarna hitam polos itu, mengeluarkan beberapa lembar pecahan uang Euro dan menyerahkannya pada pelayan itu sambil tersenyum. “Merci, garder le changement.” Gregory meminta pelayan itu untuk menyimpan kembaliannya.
Melihat Gregory sudah siap, Vincent lantas berdiri dari duduknya dan memasukkan kursinya lagi seperti semula. Ia melihat Gregory tersenyum, mengajaknya untuk berjalan berdampingan dengannya. Vincent dengan cepat melangkah untuk berjalan bersisian dengan Gregory, akan menemani pria itu berjalan kaki dari daerah apartemennya hingga Museum Louvre berada.
It's going to be fun, batin Vincent sambil menyunggingkan senyumnya pada Gregory yang akhirnya menatap matanya itu.
Jarak antara jalan Rue de la Ferronnerie dan Museum Louvre hanya sejauh tujuh ratus meter, dapat ditempuh hanya dalam waktu sembilan menit jika berjalan biasa. Sepertinya, mereka akan menempuh perjalanan lebih dari biasanya.
Namun Vincent tidak peduli, ia justru malah lebih menyukai ini, berjalan pelan-pelan, menyusuri jalan Rue des Déchargeurs yang tidak seramai jalanan di depan gedung apartemennya.
Mereka berdua berjalan bersisian dalam diam, tidak ada satupun yang membuka suara untuk memulai pembicaraan. Beberapa kali Vincent berusaha melihat raut wajah Gregory dengan ekor matanya, namun ia tidak berhasil.
Vincent tidak bisa hanya diam seperti ini. Ia merasa canggung.
Maka ia menarik napasnya panjang, sebelum menghembuskannya dan mulai berbicara.
“I want to say sorry if I somehow hurt your feelings earlier. It was never my intention.”
Gregory yang sedang memandang lurus ke depan, seketika menolehkan kepalanya. Matanya kembali bertemu dengan Vincent.
Ia hanya tersenyum simpul sambil menyelipkan surai pendeknya dibelakang telinganya, sedari tadi melambai ke sana kemari karena ditiup angin. “Nggak apa, Vincent. Gue juga minta maaf. Tidak seharusnya gue main datang ke daerah apartemen lo dan mengajak untuk bertemu mendadak.”
Mendengarnya, Vincent hanya menggeleng. “Tidak apa. Saya hanya kaget. Itu saja, kok,” balasnya sambil memberi sinyal pada Gregory untuk berbelok ke kanan, memasuki jalan Rue de Rivoli yang terlihat ramai. Banyak sekali orang berlalu-lalang, pun kendaraan yang memenuhi jalan yang cukup padat.
“Saya pikir, mungkin kamu mendapatkan alamat saya dari Timothy atau Max. Ternyata tidak.” Vincent mengambil posisi untuk berjalan di sisi luar trotoar itu, mempersilahkan Gregory untuk berdiri di sisi dalam. “But, it's okay. It doesn't matter anymore.”
Gregory melirik ke arah Vincent, tersenyum karena gesturnya yang mempersilahkan dirinya berjalan di sisi dalam trotoar. Matanya bertemu lagi dengan pria itu. Ia baru menyadari, mata Vincent berwarna coklat alami, seperti hazel.
“Ah, itu. Gue tahu karena dulu gue sempat mencari apartemen di daerah tempat lo tinggal. Surprisingly, it's yours now. Masalah gue tahu dari mana, Timmy once tweeted that he was in your apartment. I had a dream to live there, but I couldn't afford it, so yeah, that's why I knew. Once again I'm sorry.”
Vincent menoleh ke arah Gregory, yang sedari tadi sudah memperhatikannya. Ia melihat pria itu tersenyum lebar. Ia menyadari ada tahi lalat kecil persis dibagian bawah bibir Gregory yang kecil itu. “Ah, kebetulan sekali? Mungkin kapan-kapan, kamu bisa datang ke apartemen saya. Feel free to come, though.”
Ia dapat mendengar suara dari dalam kepalanya.
Feel free to come, Vincentius? That's so weird coming from a man like you.
“Thank you, Vincent, but I'm okay,” jawab Gregory sambil tertawa renyah.
Vincent hanya tersenyum, menundukkan kepalanya sambil menggeleng.
Can you laugh again, Gregory? It sounds beautiful.
Ia sepertinya sudah benar-benar gila. Ia sama sekali tidak mengenali dirinya saat ini.
Setelah sekitar lima belas menit mereka lewati untuk menyusuri jalan Rue de Rivoli yang dipadati banyak sekali warga Paris, akhirnya mereka melihat Museum Louvre dari kejauhan. Gedung museum dengan kaca sebagai atapnya dan berbentuk seperti piramid itu terlihat indah, cahaya lampunya terang berwarna putih.
Gregory lantas menyunggingkan senyumnya lebar. Louvre selalu menghipnotis mata dan raganya untuk berdiri berlama-lama, memandangi museum itu.
Vincent memandang Gregory dengan sorot mata yang teduh. Mata bulatnya berbinar, seperti semua bebannya lepas dari sana. Ia ingin bertanya pada Gregory, namun ia urungkan. Ia tidak mau bersikap lancang seperti tadi siang, membuatnya panik setengah mati karena pria di sampingnya itu tak kunjung membalas pesannya.
Mereka berdua lalu menyeberangi jalan tepat di depan kawasan museum. Mencari tempat yang nyaman untuk berdiri sambil memandangi piramid kaca itu. Vincent mengajak Gregory melangkah sedikit menjauh, mencari tempat sepi agar mereka bisa mengobrol.
Gregory akan mengajaknya berbicara, 'kan?
Namun sepertinya pria yang lebih muda darinya itu bisa membaca pikirannya, karena tak lama setelahnya, Gregory mengambil posisi berdiri di hadapannya lalu berdeham.
“Vincent, apa gue boleh tahu maksud pesan lo tadi siang?” Tanya Gregory tanpa basa-basi, namun tidak ada nada marah terdengar di sana. Ia hanya penasaran, bagaimana bisa pria dengan paras tampan itu tahu isi hati dan pikirannya hanya dalam sekali bertemu.
“Do my eyes really hold sorrow and pain?”
Lawan bicara Gregory tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya. Ia terkejut, tidak menyangka bahwa Gregory benar-benar akan menanyakan itu padanya.
Suasana di sekitaran Louvre tidak begitu ramai, membuat Vincent bisa merasakan keheningan diantara mereka berdua.
Apakah ia harus menjawabnya?
“That's... just my guess. I'm sorry if it's wrong,” jawab Vincent akhirnya. “Saya minta maaf kalau saya terkesan sok tahu. Maaf kalau kata-kata saya membuatmu tidak nyaman—”
“Stop saying sorry, will you? I'm okay, Vincent. I really am. I'm just curious.” Gregory menyela kalimat Vincent sambil tertawa dan mengibaskan tangannya tepat di depan wajah pria itu. Bisakah Vincent berhenti mengucapkan kata maaf? “Gue benar-benar hanya ingin bertanya. Please, jangan terlalu kaku dengan gue.”
Vincent lalu mengangguk dan menjawab sekenanya. “Alright, then. Can I start now?”
Gregory mengangguk pula dan tersenyum lebar, mengiyakan pertanyaan Vincent.
“Saat saya pertama kali bertemu mata dengan kamu dan mengobrol, rasanya saya melihat kesedihan dan luka yang sedang kamu tanggung, Gregory,” mulai Vincent sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku celananya. Malam ini dingin sekali, tangannya rasanya hampir kaku. “And that kind of pain and sorrow, I felt like you're unhappy. I had once asked Timothy about you. He sent me your photo, before we finally met. And I remember I told him that you're such a 'free' person. Hidup kamu seperti tidak ada beban.
“But then, I met you for the first time yesterday and your eyes told me otherwise.”
Kedua mata Gregory terbelalak.
Vincent pernah melihat dirinya dalam foto sebelumnya?
Dan tunggu, dari mana pria itu tahu bahwa selama ini, ia belum menemukan titik bahagianya?
“How do you know if I am unhappy, Vincent? Do my eyes tell that much?” Gregory bertanya sambil menghela napas berat. Sekarang bukan hanya Thomas yang tahu dan mengerti bahwa dirinya belum pernah menemukan kebahagian.
Gregory memandang sepasang mata Vincent lekat, sambil memainkan kepala resleting jaket kulitnya dengan jari tangannya.
Kedua mata Vincent layaknya magnet yang menariknya terus menerus.
“Your eyes tell, Gregory. Mata adalah jendela hati setiap orang, bukan?” Vincent bertanya dengan hati-hati. Ia tidak ingin terdengar menuduh atau bahkan menggurui pria bermata bulat itu.
Sekilas, Vincent menyunggingkan senyum lebar, melihat mata bulat Gregory yang mengerjap-ngerjap lucu.
God, he's so beautiful like this.
God. Is this really my mind talking right now?
Gregory diam seribu bahasa, berusaha memikirkan jawaban yang harus ia berikan pada Vincent. Pria itu baru saja bertemu dengannya kemarin, namun mengapa ia merasa sudah mengenalnya selama berbulan-bulan?
Pria itu tahu bahwa dirinya tidak bahagia. Bagaimana bisa?
Apa matanya benar-benar memancarkan sedih dan luka itu?
Ia pun ingin tahu apa yang ada dalam pikiran Vincent tentang dirinya. Ia ingin tahu isi kepala dan hati Vincent yang sepertinya sudah terkotak-kotakkan sesuai dengan porsinya. Rasanya Vincent hanya tinggal mengeluarkan jawaban yang dibutuhkan saat kau memberikan pertanyaan padanya.
Tiba-tiba terbersit ide gila dari dalam kepala Gregory.
Apakah ia akan berhasil?
“About my eyes, Vincent, I have an idea,” katanya ceria sambil mengacungkan jari telunjuknya di udara.
Vincent tersenyum lebar melihatnya. “What kind of idea, Gregory?”
“How about you teach me to find my happiness, and I will give you free access to my music studio. Deal?”