the last baton | 057

Vincent akhirnya merebahkan tubuhnya yang lelah akibat kegiatannya yang padat hari ini diatas kasurnya yang empuk. Lampu penerang ruangan sengaja belum dinyalakan, ia ingin memejamkan kedua matanya barang sebentar, sebelum membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Seluruh tubuhnya terasa pegal, apalagi bagian punggungnya akibat hampir seharian membungkuk. Rasanya ia ingin meminta Sebastian atau Tobias untuk bisa menginjak-injakkan kaki mereka pada punggungnya, alih-alih pergi ke tempat refleksi untuk menghilangkan rasa pegal. Namun kedua temannya itu masih sibuk bekerja di restoran, kabarnya hari ini ada reservasi yang cukup banyak yang sebagian besar didominasi oleh para turis.

Ia menghela napas berat kemudian. Terlihat pada jam dinding berwarna abu yang sepadan dengan warna sofa di kamarnya, waktu masih menunjukkan pukul enam sore. Sinar matahari di luar lambat laun memudar, membuat Vincent rasanya sudah ingin pergi tidur. Walaupun ia tahu, ia masih harus melakukan beberapa kewajibannya; membereskan ruang tengah, mencuci pakaiannya dengan mesin, dan merapikan beberapa lembar partitur yang tadi dipakai saat latihan untuk disimpan lagi dalam laci nakas di kamarnya.

Hari ini secara resmi klub orkestranya memulai latihan rutin untuk mempersiapkan konser yang akan diselenggarakan pada enam bulan mendatang. Vincent tahu betul, sebagai konduktor orkestra, ia memiliki banyak tanggung jawab yang harus diemban. Bukan hal yang mudah untuk menjadi pemimpin sekaligus pembimbing klubnya untuk mencapai keselarasan yang sempurna. Sebagai konduktor, ia harus memastikan semua berjalan sesuai dengan keinginannya dan tentu, memimpin orkestranya untuk menghasilkan lantunan simfoni yang indah. Bahkan, ia harus memastikan bahwa komunikasi antar anggota klub berjalan dua arah.

Vincent akui, hal ini adalah hal tersulit yang harus ia lakukan. Bergelut dalam dunia orkestra selama tiga tahun, membuatnya perlahan mengerti bagaimana caranya “berinteraksi” dan “bekerja” dengan orang lain. Selama hidupnya, ia lebih senang berlatih dan/atau bermain musik sendiri. Entah mengapa ia selalu enggan berbagi waktu untuk melakukannya dengan siapapun. Seringkali ia dicap teman-teman semasa duduk di bangku sekolah sebagai individu yang angkuh, strict dan kaku. Sebagai seseorang yang bersifat cuek dan masa bodoh dengan perkataan orang lain, ia hanya menganggapnya sebagai angin lalu.

Menurut Vincent, ia hanya akan mengikuti apa kata hatinya. Kedua orang tuanya pun benar-benar memberikan kebebasan pada dirinya sejak kecil. Akan tetapi, orang tuanya memberikan kepercayaan pada Vincent untuk selalu bertanggung jawab atas semua keputusan dan tindakan yang ia ambil.

Maka itu, ia merasa sudah bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Ia tidak membutuhkan “orang lain” di sampingnya. Baginya, mengurus emosi dan tanggung jawab diri sendiri saja sulit, apalagi mengurusi orang lain?

Namun semenjak Vincent akhirnya benar-benar “terjun” dalam dunia musik dan orkestra di London, mau tidak mau, ia harus mencoba untuk berinteraksi dengan orang lain. Sepertinya Tuhan memang menghendaki kejadian beberapa tahun lalu di perpustakaan itu terjadi, saat ia mendengar suara tawa seseorang bernama Timothy yang membuatnya jengkel.

Bertemu dengan pria itu, sosok yang benar-benar berbeda dengan dirinya dalam segi apapun, membuat kedua matanya seakan “terbuka” pada kenyataan bahwa dunia dan seisinya itu kompleks. Sahabatnya itu pun membuatnya sadar, bahwa serumit dan sesulit apapun hidupnya, ia tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Suatu saat, ia pasti akan membutuhkan orang lain.

Vincent tiba-tiba teringat akan kata-kata Timothy hari itu, saat mereka pertama kali bertemu dan berkenalan di perpustakaan kampus. Kata-kata itu, yang sampai saat ini masih terbaca jelas di buku catatan kecilnya, bersamaan dengan coretan impiannya semasa kecil.

I guarantee, you will need help from others someday. Nobody is perfect, Vincentius. It is cliché but it is true.”

Sejak saat itu, Vincent merasa keputusannya untuk mengejar mimpinya sampai ke Eropa memberikan pelajaran yang sangat penting untuk hidupnya. Ia bersyukur, Tuhan mempertemukannya dengan seseorang yang akhirnya dapat membuatnya mengerti, apa arti hidup dengan orang lain.

Ya, walaupun orang tuanya pun selalu mengajarkannya hal yang sama. Namun sepertinya, keberadaannya di London beberapa tahun lalu baru membuatnya tersadar.

Bagi Vincent, dibutuhkan usaha yang ekstra untuk perlahan beradaptasi dengan perubahan hidupnya. Ia pun berusaha untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekelilingnya. Tidak hanya dari perilakunya, namun juga prinsip hidupnya yang perlahan mulai berubah. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Timothy yang benar-benar sabar dan tulus menghadapi dirinya yang benar-benar kaku seperti kawat besi.

Ia tidak dapat membayangkan jika ia tidak bertemu dengan pria itu beberapa tahun lalu di perpustakaan kampus. Mungkin hingga sekarang, ia tidak akan bertemu dengan Maximillian, Sebastian, Tobias, Warren, dan Gregory.

Gregory.

Ah, memikirkan nama pria itu seketika membuat Vincent tersenyum sambil menggelengkan kepala. Pria itu, yang sepasang matanya seperti langit malam ini; gelap dan muram. Tidak ada cahaya bintang atau kerling indah yang menghiasi jendela hatinya itu. Vincent tahu dan sadar betul, pertemuan yang singkat dengan Gregory sebenarnya biasa saja. Seharusnya, tidak ada yang istimewa. Bertemu dengan seseorang yang merupakan teman dari para sahabatnya seharusnya menjadi hal yang biasa saja, bukan?

Namun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, rasanya ingin sekali tahu apa isi hati dan mata pria itu.

Mengapa sepasang mata indah itu tidak bersinar? Mengapa senyum yang diperlihatkan padanya tadi malam itu terlihat sedih?

Vincent lantas menghela napas, melepaskan kacamatanya yang sedari tadi masih bertengger pada batang hidungnya, lalu meletakkannya di nakas. Ia menegakkan tubuhnya kemudian, menggeser posisinya untuk duduk dipinggir kasur.

Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan mengusapnya kasar.

Mengapa ia tiba-tiba memikirkan Gregory?

Ia bingung. Sejak pertemuan pertama mereka tadi malam, kepalanya hanya dipenuhi dengan nama pria itu.

Gregory, Gregory, dan Gregory.

Vincent akhirnya berdiri dari duduknya, menarik kuncir rambutnya, membiarkan surai hitamnya terurai jatuh hingga menyentuh bahunya. Ia lalu menyugar rambutnya yang menutupi matanya sambil menoleh ke arah luar jendela apartemen. Terlihat cahaya lampu jalan berwarna kuning hangat menerangi sekitaran gedung. Ia mendengar samar-samar suara orang sedang mengobrol dan bersenda gurau, sepertinya dari kedai kopi yang terletak persis di seberang tempat apartemennya berada.

Ia mengangkat bahunya dan hendak berjalan ke arah kamar mandi saat handphonenya yang masih berada diatas kasur berbunyi sekali, tanda ada pesan masuk.

Ia meraih benda itu dan membaca pesan yang terpampang jelas pada layar handphonenya. Ia memicingkan matanya kemudian, berusaha membaca ulang kata demi kata.

Pesan dari Gregory.

The one and only Gregory.

Bonsoir, Vincent. Apa lo ada di apartemen? Kalau lo tidak keberatan, apa boleh kalau gue minta untuk ke luar sebentar? Gue ada di bawah.