the last baton | 102

tw // insecurities, self-doubt


Jika setiap kali Gregory lupa mengedipkan kedua mata bulatnya saat Vincent melakukan sesuatu yang menarik perhatiannya akan menghasilkan uang, mungkin ia sebentar lagi akan kaya raya. Ia sadar betul, apapun yang dilakukan oleh sang konduktor orkestra itu rasanya menghipnotis dirinya sampai titik terbawah tingkat kesadarannya.

Sedari tadi, ia tidak bisa menghindari keinginan kedua matanya untuk mengikuti setiap gestur yang Vincent lakukan, bagaimana cara pria membenarkan letak kacamatanya, bagaimana pria itu menarik lengan bajunya saat hendak memegang biola dan bow miliknya, dan bagaimana raut wajah pria saat membaca partitur yang diletakkan pada stand partitur di hadapannya.

Gregory sama sekali tidak membuka suaranya, atau bahkan mengajak Vincent mengobrol selama pria itu berlatih, memainkan saxophone dan biolanya. Ia hanya menunggu dan memperhatikan pria itu sambil duduk bersandar pada sofa yang terletak dekat pintu masuk studio musik miliknya.

“Ayo, Gregory. Sudah siap? Maaf saya jadi membuat kamu menunggu terlalu lama,” kata Vincent membuyarkan lamunan Gregory.

Pria yang diajak bicara oleh sang konduktor orkestra itu lantas menengadahkan kepalanya, melihat pria yang berdiri tepat di depannya itu tersenyum lebar, membuat kedua lutut Gregory seketika lemas. Bulu kuduknya meremang, hanya karena seulas senyum.

Sepertinya Gregory sudah gila.

Vincent memperhatikan gerak-gerik Gregory sambil menarik gulungan lengan pakaiannya sendiri untuk menutupi seluruh lengannya. Ia tak sadar sudah menaikkan salah satu alisnya yang tebal itu sambil memperhatikan Gregory.

“Kamu mau naik taksi atau metro saja, Gregory? Saya ikut.”

Pria yang ditanyai oleh Vincent itu berpikir sejenak sambil menggumam, mengetuk-ngetuk pipi kanannya dengan jemari tangannya. Ia masih terduduk manis di sofa. “Boleh naik metro saja? Is it okay with you? Tapi kita masih harus jalan kaki sampai Château d'Eau station, sekitar sepuluh menit,” balasnya sambil menengadahkan kepala.

Sekilas kedua mata bulatnya bersirobok dengan sorot mata Vincent yang teduh.

Apa alasan Gregory lebih memilih pergi ke restoran Indo Pride menggunakan metro? Ia ingin mengobrol dan berlama-lama dengan Vincent, sambil berharap dalam hati agar pria itu tidak menyadarinya.

“Nggak apa, saya dari kemarin juga naik metro. Santai saja.” Vincent melihat Gregory mengangguk sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah samping, menghindari kontak mata dengannya. Ia lantas menyadarinya dan tersenyum. “Nanti kita turun di Odéon station ya, dan juga harus jalan kaki sekitar enam menit.”

Gregory lantas berdiri dari duduknya, merapikan pakaiannya yang berbahan flanel itu dan mengambil tasnya yang ia letakkan di sampingnya tadi. “Sure. Yuk? Gue saja yang ngunci pintunya,” katanya sambil mempersilahkan Vincent keluar dari ruangan untuk mendahuluinya.

Mereka berdua akhirnya melangkah ke luar dari ruangan itu, setelah Gregory mematikan saklar lampu ruangan. Saat ia melihat Vincent menggendong tas berisi biola dan saxophone pada kedua bahu, ia lantas menawarkan diri untuk membantu pria itu membawa salah satu tas miliknya. “Eh, Vin, mau dibantu? Tas gue kebetulan ringan. Sini, yang mana saja boleh.”

Vincent yang sedang memperhatikan foto-foto para musisi favorit Gregory yang berjejer di dinding luar ruang studio itu sambil memasukkan kedua tangannya pada saku celananya, seketika menoleh dan menggeleng. Ia tersenyum lalu menolak dengan halus. “Nggak perlu, Gregory, thank you though. Saya sudah biasa kok.”

Berdecak sekilas sambil tertawa renyah, Gregory akhirnya membalas dengan santai. “Ya oke, baiklah. Tapi kalau lo nanti ngerasa pegel, gue nggak mau bantuin ya!”

Pria yang berdiri di sampingnya itu hanya tersenyum lebar sambil mengangguk pelan. “Okay, Gregory.”

Sedang pria yang baru saja disebut namanya oleh Vincent, rasanya ingin berteriak dan melayangkan tinjunya ke udara.

Lama-lama gue bisa gila hanya karena dia menyebut nama gue, batin Gregory.

Mereka berdua akhirnya keluar dari gedung yang berada diantara sebuah minimarket dan art gallery itu, lalu berjalan menyusuri jalan Rue Richer yang terlihat ramai. Perjalanan menuju stasiun metro terdekat dapat ditempuh sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki, selisih jaraknya hanya seratus meter, bila dibandingkan dengan jarak antara Rue de la Ferronnerie dan Museum Louvre.

Namun perjalanan yang lumayan jauh itu tidak terasa berat, karena Vincent dan Gregory sedari tadi sibuk membicarakan segala macam hal yang membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Mereka berdua tidak mempedulikan lirikan para pejalan kaki yang terheran melihat interaksi mereka.

Selama sepuluh menit menghabiskan waktu dengan berjalan kaki, mereka berdua sudah bertukar cerita tentang pengalaman tidak enak sampai yang paling menyenangkan yang pernah terjadi selama mereka berdua hidup di Paris.

Vincent sempat menceritakan bagaimana usahanya beradaptasi dengan kehidupan di Paris yang berbeda dari saat ia tinggal di London, membuat mesin dalam kepala Gregory rasanya berputar ratusan kali, berusaha mencerna cerita Vincent yang terdengar seperti cerita yang sempurna itu.

Ia tahu betul pria yang sedang berjalan bersisian dengannya itu sejak dulu sudah berjuang keras sampai pada titik ini. Namun rasanya, Gregory merasa iri saat memikirkan tentang nasibnya sendiri selama ini.

Berbanding terbalik sekali kehidupan mereka, batin Gregory dalam hati, sambil memperhatikan gestur Vincent saat menceritakan sesuatu. Pria itu sepertinya mau bercerita panjang lebar dengan orang lain jika topik pembicaraannya menarik. Ia selalu menggambarkan sesuatu dengan menggerakkan kedua tangannya yang dihiasi beberapa aksesoris itu. Gregory pun melihat garis urat tercetak jelas dari balik kulitnya, pada jari-jemarinya yang panjang tersemat beberapa cincin polos dan tipis berwarna silver.

Lambat laun akhirnya Gregory sejenak berhasil mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Proses hidup yang sudah ia lalui cukup berat tidak penting untuk dipikirkan sekarang. Ia tidak perlu mengingat-ingat hal itu saat ini.

Gregory hanya dapat menyunggingkan senyumnya, merasa semakin lama mulai mengenal latar belakang hidup pria yang berjalan bersisian dengannya itu.


Descend à gauche*.”

Suara seorang wanita samar-samar terdengar dari balik pengeras suara kereta, membuat Vincent dan Gregory lantas menghentikan obrolannya. Sejak tadi mereka menunggu kereta di peron stasiun, keduanya tidak berhenti mengobrol. Jujur, Vincent pun baru kali ini merasa betah untuk berinteraksi dengan seseorang yang bukan merupakan teman dekatnya.

Gregory dengan mudahnya mencairkan suasana yang sedikit canggung diantara mereka, lewat cara bicaranya dan suara tawanya. Ia membuat Vincent menggerakkan seluruh mesin yang ada dalam kepalanya untuk merekam suara pria itu dan menyimpannya rapat-rapat.

Satu hal yang membuat Vincent terkejut adalah bagaimana pria itu dengan mudahnya sedikit demi sedikit dapat melenturkan sifat kaku yang selama ini seperti “mengungkung” dirinya. Menurutnya pula, pria yang lebih muda dua tahun darinya itu terlihat lebih santai, senyumnya terlihat sedikit lebih tulus. Kedua mata bulatnya pun tak lagi kosong seperti beberapa waktu lalu saat pertama kali Vincent bertemu dengan pria itu di Page 35.

Vincent merasa sedikit bersyukur, setidaknya pria yang sedari tadi berdiri berhadapan dengannya dekat pintu kereta selama perjalanan mereka menuju stasiun Odéon tidak terlihat sedih.

Saat pintu kereta terbuka, akhirnya mereka turun dan mencari jalan keluar dari stasiun untuk berjalan kaki menuju Indo Pride. Gregory sempat hendak berjalan mendahului Vincent saat teringat bahwa ia sebelumnya memberitahu pria itu bahwa ia belum pernah berkunjung ke restoran itu.

Maka ia kembali berjalan bersisian dengan Vincent, yang terlihat serius sedang mengetik sesuatu pada handphonenya.

Kesempatan itu Gregory gunakan untuk memperhatikan Vincent, sambil berjalan mengikuti ke arah mana pria itu melangkah. Pria yang di sampingnya itu memiliki rahang yang tegas, hidungnya yang mancung dihiasi tahi lalat kecil diujungnya, surainya yang berwarna hitam pekat sudah sedikit berantakan, membuat Gregory ingin sekali merapikan rambut pria itu dan menyelipkannya pada belakang telinganya. Atau ya, ia ingin melihat bagaimana potongan wajah Vincent yang tampan itu dengan rambut yang terurai. Ia belum pernah melihat pria itu melepas ikat rambutnya, bahkan saat pertama kali bertemu. Cahaya area outdoor restoran yang minim serta rasa gugupnya saat itu membuatnya tidak berhasil menangkap keindahan Vincent saat mengurai rambut panjangnya itu.

“—gory? Hei?”

Vincent melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Gregory yang sedari tadi terlihat mengamatinya dengan kedua matanya yang bulat seperti kelinci. “Kok melamun? Ada apa? Saya khawatir kamu tadi bakal menabrak sesuatu.”

Gregory mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya ia melamun.

“Ah, sorry. Lagi mikir sesuatu. Lo tadi ngomong apa, Vin? Maaf gue nggak fokus,” balas Gregory menggaruk tengkuknya dan tersadar, bahwa mereka sudah keluar dari stasiun kereta itu.

Vincent tersenyum, memiringkan kepalanya sambil membenahi letak kacamatanya. “No worries. Saya hanya bilang barusan kalau kita sudah dekat. Yuk, keburu malam. Pasti kamu sudah lapar.”

“Tahu aja kalau gue sudah lapar,” jawab Gregory cepat sambil terkekeh, lalu melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh lima malam. “Oh iya, sudah setengah sembilan. Yuk, lead the way, please!”

Pria yang berdiri di sampingnya mengangguk, lalu mengajaknya berjalan bersisian dengannya. Gregory lantas menyusul Vincent dan mengambil posisi berjalan di sisi luar jalan.

Sadar akan hal itu, Vincent dengan sigap menarik lengan Gregory pelan dan secara tersirat memintanya untuk berjalan di sisi dalam trotoar.

Gestur sederhana itu, lagi-lagi membuatnya hati Gregory terenyuh dan membuat senyumnya sendiri mengembang seperti balon.

Ia hari ini senang sekali, menghabiskan waktu dengan Vincent, mengenal pria itu lebih dekat lewat pembicaraan ringan mereka. Sudah lama sekali Gregory tidak merasakan seperti ini; sebebas dan selepas ini, menertawakan hal yang sepele dengan seseorang yang sepertinya akan memiliki tempat tersendiri dalam hatinya.

Gregory terlalu senang malam ini, hingga dengan spontan ia membalikkan tubuhnya dan berhadapan Vincent, sambil berjalan mundur. Ia tidak peduli jika nanti akan menabrak seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Pun jikalau hal itu terjadi, ia yakin Vincent akan menolongnya.

Aksi Gregory itu menyita perhatian Vincent yang sedang memperhatikan jalanan dan banyaknya orang yang berlalu lalang.

Seketika kedua manik hazelnya terlihat terbelalak dari balik kacamata bulatnya.

“Gregory, what are you doing?” Pria itu bertanya dengan nada yang sedikit khawatir. Well, Vincent tidak bisa menyembunyikannya.

I used to hate Paris so much, you know,” mulai Gregory santai, tetap melangkahkan kakinya berjalan mundur, sambil tersenyum lebar dan memainkan kancing paling bawah pakaiannya yang berwarna hitam itu.

Ia merasakan kedekatannya beberapa hari ini dengan Vincent sudah cukup intim untuk mulai menceritakan isi hatinya selama ini.

He used to hate Paris, but now? Not anymore.

Vincent ber-oh-ria, bibirnya yang kecil membentuk huruf 'O'. Pria itu terlihat penasaran dan tertawa kecil, membuat kedua mata hazelnya menyipit. Pria itu memicingkan matanya, dahinya terlihat mengernyit, kedua alis tebalnya hampir menyatu.

Oh Tuhan, apakah aku sudah mengucapkan terima kasih pada-Mu karena sudah melihat senyum itu lagi hari ini?

Oh? What was the reason, Gregory?”

Pria yang dilempari pertanyaan oleh Vincent itu lantas tersenyum lebar, sebentar lagi kedua pipinya sepertinya akan nyeri karena terlalu sering tersenyum.

I always thought, why people always called Paris as a city of love? Wouldn't you find the exact meaning anywhere else?” Pria yang sedang berjalan berhadapan dengan Vincent itu berkata retoris. “Terlalu mainstream aja menurut gue.”

Vincent lantas berdehem, menanggapi kata-kata pria itu, berusaha menelaah apakah terdapat makna dibalik statement yang Gregory katakan.

But not anymore?” Ia bertanya.

Gregory lantas mengangguk, menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu tersenyum. Tahi lalat yang berada tepat dibawah bibirnya terekspos.

Sang konduktor orkestra beberapa kali mengerjapkan kedua matanya, ia masih belum menangkap maksud Gregory. “Why is that if I may ask?”

Sepasang mata Gregory terus menatap Vincent penuh arti.

I think you already know the answer, Vin.”


“Bas, kenalkan ini Gregory, teman baru gue. Sahabat dan teman dekat Timothy and Max. Ah, and Warren, too.”

Vincent memperkenalkan Gregory pada Sebastian, saat mereka berdua baru saja sampai di restoran Indonesia milik kedua sahabatnya itu. Restoran Indo Pride terlihat cukup ramai, hanya terlihat dua meja yang kosong. Selebihnya sudah diisi dengan beberapa warga Paris, ada juga beberapa tamu langganan yang sering Vincent jumpai setiap kali berkunjung ke sana.

Sebastian lantas menggosok tangannya dengan napkin yang ditaruhnya pada kantong apron yang ia kenakan. Ia lalu mengulurkan tangannya sambil tersenyum simpul. “Ah, salam kenal, Gregory. Nama gue Sebastian,” katanya singkat. “Anggap rumah sendiri, ya. Sama-sama anak perantauan. Tobias is taking care of something. Sebentar lagi mungkin selesai.”

Mendengar lawan bicaranya yang sepertinya pendiam itu, Gregory hanya membalas dengan menjabat tangan pria yang bernama Sebastian itu sambil tersenyum kikuk. “Ah iya, thanks. Nice place, by the way—”

Of course it's a nice place, bro,” kata seorang pria yang rambutnya terlihat seperti coklat karamel itu tiba-tiba, langsung menjabat tangan Gregory dengan cengkraman yang kuat sambil tersenyum. “Nama gue Tobias, salam kenal ya. Meja lo berdua sudah gue siapkan di belakang.”

Tingkah kedua sahabatnya itu membuat Vincent hanya bisa memutar kedua bola matanya dan melipat tangannya didada. Ia yakin betul, sebenarnya mulut Sebastian dan Tobias benar-benar sudah gatal dan ingin mengomentarinya dengan Gregory.

Pasalnya, Vincent tidak pernah mengajak siapapun selain sahabatnya ke restoran ini.

Okay, enough talking,” sela Vincent kemudian sambil berdecak. “Gue dan Gregory sudah lapar banget, nih. Hari ini lo lagi masak apa, Bas?”

Tobias hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya, ia hafal betul bahwa ini adalah hal yang Vincent lakukan jika dirinya sudah agak kesal. “Hari ini kita lagi masak gulai kambing. Mau, kah? Lo mau, Gregory?” Tobias menawari tamu mereka itu. “Bas' gulai kambing is the best, by the way.”

Seketika perut Gregory berbunyi saat mendengar Tobias berkata demikian. Suara itu pun tidak luput dari telinga Vincent dan juga kedua sahabatnya, membuat mereka semua akhirnya tertawa.

“Mau banget, please. Gue sudah lapar sekali!” Kata Gregory menjawab sambil menyunggingkan senyumnya kikuk.

Tak lama kemudian, Vincent mengajak Gregory melangkah ke arah dalam restoran, agak jauh dari pintu masuk. Mereka harus melewati bar kecil yang ada di sana untuk sampai di meja yang telah disediakan. Sepertinya spot ini adalah tempat favorit di restoran itu, karena letaknya yang agak tersembunyi.

This place is really nice, though, membuat rasa rindu dengan Indonesia agak terobati sedikit, ya nggak sih, Vin?” Gregory bertanya pada Vincent saat mereka sudah duduk berhadapan di meja itu. Ia lalu melepaskan jaketnya dan membalikkan tubuhnya sedikit untuk menyampirkannya pada sandaran kursi yang didudukinya.

Vincent yang sedari tadi sedang memperhatikan gerak gerik Gregory lantas mengangguk dan menggumam. “Yes, a little bit. Saya salut dengan Sebastian dan Tobias, benar-benar membuat restoran ini dari nol, sampai sekarang menjadi sukses seperti ini.”

Gregory mengangguk, hanya bisa merespon dengan melempar senyum simpul, lalu ia diam seribu bahasa, tenggelam dalam kekhawatirannya sendiri.

Apalah dirinya dibandingkan dengan Vincent dan teman-temannya, yang semuanya sudah terlihat sukses dan mapan, tanpa terkecuali?

Beberapa menit berlalu, mereka habiskan dengan diam seribu bahasa. Perubahan mendadak Gregory membuat Vincent merasa panik, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya, merapikan poninya, dan menyelipkan pada belakang telinganya, hanya untuk memancing Gregory keluar dari lamunannya.

Sedang pria itu, ia terlalu fokus dengan pikirannya. Jika didalam kepalanya terdapat mesin berpikir, mungkin suara deru mesin itu sudah terdengar sampai ke seluruh ruangan.

“Gregory,” panggil Vincent pelan sambil menjentikkan jarinya didepan wajah pria di hadapannya itu. “Apa saya ada salah bicara lagi? Kamu hanya diam saja dari tadi.”

Pria bermata bulat itu lantas kembali ke realita, mengerjapkan kedua matanya terkejut. Ia lalu menggeleng sambil tersenyum.

Ia tidak mungkin menceritakannya pada Vincent, 'kan?

“Nggak kok, gue melamun karena ngantuk saja,” jawabnya terkekeh. “Dan tiba-tiba teringat, besok malam gue mulai kerja, manggung live music.”

Sekaku apapun dan setinggi apapun tingkat ketidak pekaan Vincent, ia lambat laun sudah bisa mengamati dan mengerti akan gerak gerik dan gestur Gregory.

Ia berusaha memahami emosi pria itu yang mudah sekali berubah.

Vincent lalu berpikir, sepertinya Gregory sedang berbohong dan menyembunyikan sesuatu darinya? Namun ia tidak mungkin serta merta menuding hal yang belum tentu benar adanya, 'kan?

Maka ia memutuskan untuk tidak lagi menanyakan hal itu dan berusaha mencari topik pembicaraan lain.

“Ah iya, saya belum tanya soal tempat kamu bekerja. Di mana, kah? Saya mau mampir untuk nonton kamu sewaktu-waktu,” kata Vincent sambil mengeluarkan handphonenya dari dalam saku celananya. Sepertinya pria itu ingin menyimpan nama bar tempat Gregory akan bekerja mulai besok pada aplikasi notes yang ada dalam handphonenya.

Vincent lalu menatap kedua mata Gregory lekat-lekat, mencoba memberikan seluruh atensinya pada pria itu. Ia terlihat meletakkan handphonenya diatas meja, menunggu jawaban Gregory.

Gregory secara tidak sadar menyunggingkan senyum saat mendengar janji Vincent barusan. Pria itu akan mengunjunginya saat sedang bekerja. Pria itu juga akan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya hanya untuk menonton dirinya.

Ia rasanya ingin menggigit jaketnya saat ini juga.

Les Disquaires, Vin. Lo tahu? Daerah Rue des Taillandiers.”

Vincent lantas mengangguk cepat sambil tersenyum, tanda ia mengetahui tempat itu.

Ada rasa senang yang tiba-tiba menyeruak dalam dada Gregory.

“Ah, saya tahu! Saya biasanya ke sana karena bar itu sering ada live music dengan genre jazz. Sebisa mungkin saya akan luangkan waktu untuk menonton kamu di sana, okay?”

Tanpa Gregory sadari, bersamaan dengan kalimat itu, ia merasakan sentuhan lembut pada lengannya. Hanya beberapa detik, sebelum akhirnya Vincent menyadari raut wajah Gregory yang tidak bisa terbaca dan menarik kembali tangannya.

Namun, Vincent mungkin tidak akan pernah tahu bahwa sentuhan pada lengannya itu, membuat Gregory rasanya ingin mengulurkan kedua tangannya dan mengalungkannya pada leher pria itu untuk memeluknya.

Sudah lama sekali ia tidak merasakan hal seperti ini. Sentuhan lembut dari Vincent terasa berbeda, seperti memiliki ciri khas tersendiri.

Gregory menyunggingkan senyumnya yang lebar sambil menopang dagunya dengan telapak tangan kanannya yang terbuka. Ia berusaha menyembunyikan semburat merah muda pada kedua pipinya.

Sepertinya ia benar-benar sudah gila karena seseorang bernama Vincentius.

Okay, Vin. Thank you for your support, I really appreciate it.”

Vincent tersenyum dan berkata, membuat dirinya yakin bahwa dengan janjinya pada Gregory itu, mungkin ia sudah bisa membuat pria itu merasa senang hari ini.

I'll do anything to make you feel happy again, Gregory.”


*Descend à gauche: Please get off the train on the left in French