the last baton | 025

Jika seseorang diizinkan membaca buku harian milik Vincent yang ia bawa kemanapun ia pindah kota atau negara, orang itu pasti akan memahami, mengapa dirinya dijuluki kawat besi. Kertas dalam buku itu sudah usang, terlihat bahwa sang pemilik sering sekali membuka dan menorehkan tinta disana.

Dalam buku itu, tersimpan seluruh tulisan Vincent sejak kecil; impian dan cita-citanya untuk menjadi seorang konduktor orkestra. Kecintaannya pada musik klasik sejak kecil bermula dari rumahnya di Indonesia. Ayah Vincent setiap pagi tidak pernah absen menyetel piringan hitam yang berisi seluruh karya milik Bach, Mozart, dan Beethoven pada gramofon* milik beliau. Ayahnya yang juga adalah pemain musik pada masa kejayaannya, secara tidak langsung membuat Vincent kecil diam-diam memperhatikan gerak gerik beliau saat sedang bermain musik di rumah.

Rasa penasaran Vincent yang tinggi pun menyebabkan dirinya sering mencuri waktu untuk berjalan ke ruang tengah, hanya untuk memutar piringan hitam itu. Vincent kecil berjinjit, berusaha meraih piringan hitam yang ayahnya simpan di lemari tinggi dengan menjulurkan kedua tangannya. Ia bersusah payah sembari mengeluh, karena tinggi badannya belum sampai untuk meraih benda itu.

Namun tak lama kemudian, seketika kedua lututnya lemas, dadanya berdegup kencang, saat melihat tangan seseorang melewati atas kepalanya dan mengambil piringan hitam itu.

Vincent tahu siapa itu.

Ia lalu mendengar ayahnya tertawa pelan, sambil mengusap puncak kepalanya dengan sayang. Ia membalikkan badannya dengan menundukkan kepala.

Ada perasaan takut yang menyeruak dalam dadanya. Apakah ayahnya akan memarahinya karena ia berada di ruang tengah dan tidak belajar?

Do you want to play this, Nak?”

Ia mendengar ayahnya bertanya dengan suara beratnya, namun ia tidak menemukan nada marah di sana. Sebaliknya, Vincent sendiri dapat merasakan ayahnya tersenyum. Ia lantas mengangkat kepalanya, melihat sedikit keriput pada kedua pipi ayahnya tercetak jelas karena tersenyum.

Sepasang mata polosnya menatap ayahnya dengan sorot berbeda. Vincent lantas mengangguk riang dan tersenyum lebar, berjalan ke arah mesin pemutar. Ia mengambil duduk diatas karpet tebal berwarna putih yang digelar di ruang tengah itu, menyilangkan kedua kakinya sambil menunggu ayahnya menyetel piringan hitam berisi musik klasik favoritnya.

Saat Vincent mendengar lantunan musik klasik yang ia tahu adalah karya dari Bach, ia tersenyum lebar dan menggerakkan badannya ke kanan dan kiri. Ia terlalu larut dalam musik itu, merasakan pikirannya tenang dan hatinya nyaman. Vincent tidak sadar bahwa ayahnya sudah berdiri di dekatnya, bersandar pada lemari koleksinya sambil memperhatikan gerak gerik anaknya.

Ayahnya tersenyum, melihat anak semata wayangnya menyukai musik seperti dirinya.

Saat Vincent sudah merasa sudah cukup untuk mendengarkan musik klasik hari itu, ia segera mematikan mesin pemutar, mengambil piringan hitam itu dari mesin pemutar dan merapikannya.

Ia berlari ke kamar tidurnya, mengambil sebuah buku tulis yang masih baru dari dalam laci meja belajarnya, pun bolpoinnya serta.

Dengan mantap, ia menuliskan kalimat pertamanya pada kertas dalam buku itu, sambil tersenyum penuh arti.

Aku harus menjadi seorang konduktor orkestra terbaik di dunia.


Kedua teman dekat Vincent, Sebastian dan Tobias, menganggap dirinya persis sama dengan baton stick yang selalu digunakan saat latihan dan konser. Tinggal dan hidup dalam satu apartemen dengan sang konduktor orkestra itu selama enam tahun, membuat mereka mencoba memahami pola pikir dan prinsip hidup Vincent yang terkadang tidak bisa diganggu gugat.

Selama itupun, Vincent berusaha mengerti bahwa ia tidak bisa egois dan apatis dengan perasaan orang lain disekitarnya. Dengan usaha, saran, serta koreksi dari teman-temannya, lambat laun ia merubah pola pikirnya.

Seorang Vincent merasa, sifat idealis yang selalu tertanam dalam kepalanya, pada akhirnya hanya boleh diterapkan untuk dirinya sendiri. Bagi Vincent, ia hanya boleh strict dengan dirinya sendiri. Ia tidak ingin dicap sebagai orang yang terlalu “lurus” atau bahkan apatis.

Beruntunglah ia memiliki Timothy, seorang pria yang ia kenal sejak menempuh pendidikan sarjana di London, dan sekarang menjadi sahabatnya.

Perkenalan di pagi hari, enam tahun yang lalu, yang tidak disengaja, saat mereka berdua berada ke perpustakaan kampus, walaupun saat itu, mereka sedang duduk berjauhan. Seorang petugas menegur Timothy karena suara tawanya yang tiba-tiba pecah, mengganggu para pengunjung perpustakaan yang sedari tadi diam tanpa suara. Tawa itu terdengar hingga tempat Vincent berdiri. Saat itu, ia sedang mencari buku tentang Conducting di salah satu aisle bagian musik.

Dari kejauhan, Vincent hanya melirik sekilas ke arah sumber suara dengan malas, memicingkan matanya untuk melihat pria yang baru saja membuyarkan konsentrasinya. Ia melihat seorang pria dengan tubuh mungil itu dari balik kacamatanya, sedang mengangguk mengerti dan seperti mengucapkan maaf pada penjaga yang menegurnya.

Sang mahasiswa jurusan Musik itu lantas kembali pada kegiatannya, dan menemukan buku yang ia cari tak lama kemudian.

Vincent tidak pernah menyangka bahwa ia akan bertemu dengan warga negara Indonesia sebayanya yang sedang menempuh pendidikan di University of London. Hal itulah yang selalu tertanam dalam pikirannya, karena selama setahun ia menjadi mahasiswa di sana, ia belum bertemu dengan seorang pun yang berasal dari negara kelahirannya itu.

Ia lalu berjalan ke arah meja petugas, bermaksud untuk meminjam beberapa buku yang sudah ia pilih, selama seminggu. Ia tidak memperhatikan siapapun yang sedang berdiri di sampingnya. Sedari tadi, Vincent hanya fokus menunggu petugas yang terlihat sedang sibuk membereskan pekerjaannya untuk membantu mencatat pinjaman buku miliknya.

Good morning! You're majoring in Music?” Pria di sampingnya bertanya dengan nada ceria, sambil menunjuk ke arah buku yang sedang ia pegang.

Vincent menoleh sambil mengernyit, memandang pria di sampingnya dengan tatapan datar. Pria itu terlihat tersenyum lebar, memamerkan sederet giginya yang putih. Vincent memperhatikan kedua mata pria itu, ia terlihat memakai lensa kontak berwarna abu. Rambutnya tebal berwarna hitam pekat, potongannya terlihat cocok dengan wajahnya yang oval.

Ah, pria mungil yang tertawa tadi.

Sedikit kesal karena pria di sampingnya menyapa dengan nada yang kelewat ceria, Vincent lantas memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan itu dan hanya membalas dengan tersenyum simpul.

Ia lalu menolehkan kepalanya lagi ke arah petugas yang sedari tadi terlihat sedang sibuk dengan dokumen yang berserakan di mejanya itu.

Mengapa petugas di depannya ini lama sekali?

Pria di sampingnya terdengar mendengus dan berdecak kemudian. “Wow, how rude. Padahal gue tanya baik-baik.”

Vincent tidak pernah secepat itu menolehkan kepalanya, siapapun orangnya.

Tidak mungkin.

“Anda... dari Indonesia?” Vincent bertanya cepat, namun jujur, ia tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Ia seketika menyadari, apakah ia baru saja terdengar seperti orang bodoh? “Ah, I'm sorry.”

Pria di sampingnya itu dengan cepat merespon, sambil menaruh telapak tangannya menutupi mulutnya sendiri. Sepasang mata abu pria itu terbelalak, sepertinya terkejut dengan kenyataan bahwa lawan bicaranya juga berasal dari negara yang sama.

Why are you sorry? It's okay. I apologize as well, I didn't mean to be rude earlier.”

Pria di hadapan Vincent itu mengulurkan tangannya kemudian, mengajaknya untuk berjabat tangan.

“Kenalkan, nama gue Timothy,” katanya sambil tersenyum lebar. “I'm a contemporary dancer, actually, datang ke perpustakaan ini bersama teman.”

Tanpa berpikir panjang, Vincent mengulurkan tangannya dan menjabat tangan pria di hadapannya itu.

For the first time that day, he smiled.

Nice to meet you, Timothy. Nama gue Vincentius, majoring in Music.”

And the rest is history.


Vincent tidak pernah lupa untuk melakukan ritual rutinnya setiap pagi.

Setelah berdoa, ia menarik kuncir rambut dari pergelangan tangannya, menyisir rambutnya yang panjang sebahu kemudian untuk dikuncir. Lalu, ia turun dari kasurnya untuk membuka jendelanya kamarnya, membiarkan udara ruangan bertukar dengan udara pagi kota Paris. Ia mendengar deru kendaraan yang berlalu-lalang dekat jalanan tempat apartemennya berada, pun terdengar suara orang-orang di luar gedung sedang mengobrol.

Apartemen yang ia huni bersama Sebastian dan Tobias selama enam tahun belakangan itu berada di pusat kota Paris, di jalan Rue de la Ferronnerie. Jarak apartemennya dapat ditempuh selama sepuluh menit dengan berjalan kaki dari lokasi Museum Louvre berada.

Ia lantas mengambil handphonenya yang semalam diletakkan diatas nakas, dan melangkah ke arah pintu kamarnya. Saat membuka pintu, ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan tengah. Lampu ruangan sudah dimatikan, digantikan oleh sinar matahari pagi yang menembus jendela kaca apartemennya.

Sunyi. Vincent tidak mendengar suara Sebastian dan Tobias di sana. Sepertinya kedua temannya itu sudah pergi bekerja ke restoran milik mereka.

Ia lantas mengangkat bahunya, melangkahkan kakinya ke arah meja makan untuk membuat roti. Ia lapar sekali, perutnya sedari tadi sudah berbunyi, meminta untuk diisi.

Saat hendak mengambil roti di meja makan yang terletak tidak jauh dari sofa, ia melihat koran langganan miliknya sudah terlipat rapi diatas meja, persis diletakkan disamping sarapan yang sepertinya dibuat oleh Tobias untuknya.

Vincent pun melihat secarik kertas diselipkan dibawah piring itu, dengan tulisan rapi yang ia hafal betul siapa pemilik tulisan itu.

Sebastian and I are going to Indo Pride until midnight. I already made breakfast for you. Tinggal dihangatkan ya, Vin, kalau sudah dingin. Take care and good luck for today.

Ia lantas tersenyum dan melihat sandwich tebal buatan Tobias yang berisi beberapa potong ham dan sayuran segar. Vincent lalu menggigit sandwich itu sedikit dan berjalan ke arah dapur, ingin membuat teh english breakfast untuk dirinya sendiri.

Sembari menunggu air seduhan teh berubah warna, ia melangkahkan kakinya kembali ke arah ruang tengah. Ia berjalan ke arah lemari koleksinya, tempat menyimpan beberapa piringan hitam pemberian ayahnya beberapa tahun lalu. Ia ingat betul, ayahnya menghadiahkan koleksinya sendiri untuknya, saat ia hendak berangkat menuju London dari Indonesia untuk mengejar mimpinya.

Vincentius tidak akan pernah lupa akan kata-kata ayahnya saat memberikannya piringan hitam kesayangannya itu.

Kejarlah mimpimu, sejauh yang kamu bisa. Ayah tahu, anak ayah akan jadi orang yang hebat. Berhasil atau tidaknya kamu, Vincentius, kamu akan tetap menjadi anak kebanggaan ayah dan mama. Jangan pernah lupakan itu.

Vincent lantas tersenyum mengingat kata-kata ayahnya itu, bersyukur akan restu kedua orang tuanya akan cita-cita dan mimpinya yang mungkin bagi orang lain adalah mustahil. Namun, apapun yang dikatakan orang, ia tidak peduli. Ia tetap yakin, bahwa predikat itu akan menjadi miliknya kelak, suatu hari nanti.

Ia lalu menaruh piringan hitam itu pada mesin gramofon miliknya yang terletak di sebelah sofa. Vincent menggerakkan jarumnya, meletakkannya diatas piringan itu untuk menghasilkan suara. Setelahnya, ia melangkahkan kakinya dari sana untuk mengambil secangkir tehnya yang sudah terlihat pekat. Tak lupa ia membawa serta koran lokal langganannya yang masih terlipat rapi diatas meja makan.

Terdengar lantunan musik klasik Bach menyapa lembut telinganya, membuatnya lantas tersenyum lebar dan mengambil duduk pada sofa abu yang menempel rapat pada dinding apartemen. Ia memegang cangkir tehnya dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya ia gunakan untuk memegang koran.

Sedari tadi ia mencoba memusatkan fokusnya pada headline berita yang terpampang pada halaman depan koran itu, ditemani dengan musik klasik yang terdengar memenuhi seisi ruangan.

Namun entah mengapa, isi pikirannya pagi ini tidak seperti biasanya. Ia cenderung tidak fokus. Berantakan, seperti remahan kue yang berceceran.

Seperti ada yang mencoba mengokupansi kepalanya dan enggan untuk pergi dari sana.

Vincent lantas menghela napas berat lalu melipat kembali koran itu, menaruhnya pada meja di hadapannya. Ia menyesap kembali tehnya sambil melihat ke arah luar jendela apartemen.

Ia melamun.

Seorang Vincentius Taehyung terjebak dalam imajinasinya sendiri, otaknya seolah tidak berhenti berputar.

Ia sendiri pun tidak mengerti, mengapa mesin dalam kepalanya tak henti-henti berusaha untuk memunculkan sebuah nama.

Nama yang sejak beberapa hari lalu tanpa ia sadari, memaksa untuk muncul dalam kepalanya.

Pun parasnya yang ia akui, lebih dari sekedar tampan, membuat Vincent sempat tidak berkedip selama beberapa detik, tanpa Timothy ketahui.

Gregory.


*Gramofon : mesin pemutar piringan hitam