the last baton | 085

Merde*!”

Vincent untuk pertama kalinya mengumpat di depan teman-teman anggota orkestranya. Jujur saja, ia kelepasan. Ia tidak pernah seperti ini, membiarkan emosi pribadi dan isi kepalanya sendiri mempengaruhinya saat sedang latihan orkestra, membuatnya menjadi terlihat sangat tidak profesional.

Ia selalu, garis bawahi, selalu tahu bagaimana cara mengubah mode dirinya, menempatkan diri sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Ia bisa menjadi Vincentius yang tegas saat sedang latihan orkestra, ia bisa menjadi Vincentius yang disegani sekaligus menyeramkan saat sedang memimpin orkestra, dan ia bisa menjadi Vincentius yang kaku namun humoris saat sedang bersama teman-temannya. Ia tahu kapan harus bersikap santai, kapan harus bersikap tegas layaknya pemimpin.

Namun sepertinya, prinsipnya sendiri sedang menertawainya? Vincent tidak mengenal dirinya sendiri saat ini. Ia sadar betul beberapa temannya yang duduk di depan podium kecil tempatnya berdiri untuk memimpin latihan sudah meliriknya dengan tatapan aneh.

Seorang Vincentius yang pembawaannya selalu tenang dan fokus saat latihan, hari ini terlihat berbeda dari biasanya.

Tidak mungkin keanehan yang ia rasakan dalam hati dan pikirannya saat ini hanya karena kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dan Gregory, 'kan? Hanya beberapa hari berselang sejak mereka mengenal satu sama lain, mengapa rasanya Vincent sudah merasa kesulitan untuk memahami sifat pria yang lebih muda darinya dua tahun itu? Vincent paham, ia adalah seseorang yang kaku, ia tidak butuh diingatkan lagi oleh teman-temannya. Ia yang pembawaannya selalu tenang merasa seperti sedang berhadapan dengan seseorang yang memiliki mood seperti petasan banting.

Satu hal yang dapat Vincent simpulkan setelah beberapa hari ini berinteraksi dengan Gregory, bahwa pria itu mudah sekali mengambil kesimpulan, yang mengakibatkan kesalahpahaman terjadi.

Apa yang Vincent katakan hampir selalu disalahartikan, membuatnya harus selalu berhati-hati saat berbicara dengan Gregory. Ia khawatir dengan hal-hal atau bahkan kata-kata yang terucap dari mulutnya akan menyakiti hati pria itu.

Padahal, membuat Gregory seperti ini tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Ingat tentang buku catatan kecilnya yang ia miliki sejak kecil, yang berisi torehan cita-cita ingin menjadi konduktor orkestra terbaik di dunia? Ya, beberapa lembar buku itu sudah menjadi kamus kecil berisi hal-hal yang berkaitan dengan Gregory.

Vincent menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan sejenak pria itu dari dalam pikirannya. Ia harus fokus, ia tidak bisa membiarkan hal sepele semacam ini mengganggunya. Ia tidak ingin teman-temannya berpikir bahwa ia tidak bisa bersikap profesional. Ia harus segera kembali pada “mode” konduktornya dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Vincent tidak akan membiarkan dirinya berlarut-larut dalam labirin pikirannya dan membuang waktu yang sudah diluangkan oleh teman-temannya untuk berlatih hari ini.

Sang konduktor orkestra itu berkacak pinggang sambil menghela napas berat. Ia mencengkram baton stick miliknya yang berwarna coklat tua itu dengan tangan kanannya, sedang tangannya yang lain bersandar pada stand partitur di hadapannya.

Hari ini mereka akan berlatih satu lagu saja, melakukan pemanasan karena belum pernah memainkan lagu Swan Lake sebelumnya. Partitur yang Vincent dapatkan beberapa tahun lalu dari konduktor senior yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi itu benar-benar disimpan olehnya untuk dijadikan sebuah kejutan suatu hari nanti.

Ia bersyukur akhirnya dapat membawakan lagu tersebut di hadapan ribuan orang dalam konser yang akan diselenggarakan enam bulan mendatang.

Can we start from the beginning? It's far from perfect,” kata Vincent pada teman-temannya yang duduk berbaris dengan formasi membentuk bulan sabit di hadapannya. Vincent sedari tadi berdiri diatas podium kecil berbentuk kotak, dengan stand partitur di hadapannya.

Ia menghela napas berat, ia merasa latihan mereka hari ini tidak sesempurna biasanya. Sepertinya hal itu pun dipengaruhi oleh pikirannya yang sedang berkecamuk saat ini.

Mendengar Vincent berkata demikian, salah satu teman dekatnya dalam klub orkestra, Eléonore, yang memiliki posisi memegang alat musik cello, menengadahkan kepalanya, melihat ke arah Vincent sambil tersenyum simpul. “Alright.”

Wanita itu lantas menegakkan duduknya, bersiap dengan alat musik miliknya yang besarnya hampir menutupi tubuhnya yang mungil itu. Eléonore membenahi letak cello yang ia letakkan diantara kedua kakinya itu, sambil tangan kirinya sudah menekan senar pada leher alat musik itu dan tangan kanannya memegang bow* dengan posisi siap.

I'm ready, Vincent. Let's go.”

Vincent merespon dengan mengangguk dan tersenyum. Ia lalu membalikkan badannya ke arah kursi penonton gedung pertunjukan orkestra yang terlihat kosong, menarik napas panjang sambil memejamkan matanya.

Ia lantas mengubah mode pikirannya dan fokusnya kembali menjadi Vincentius, sang konduktor orkestra.

Selama lima belas detik Vincent luangkan untuk menenangkan pikirannya dan mengatur napasnya, ia akhirnya merasa siap dan membalikkan tubuhnya ke arah panggung dan mengangkat baton sticknya diudara.

Ia tersenyum pada teman-temannya yang sudah siap dengan alat musik masing-masing. Bagian selo, biola, terompet, trombon, piano, bass drum, flute dan bass pun terlihat menunggu aba-aba dari Vincent sambil berfokus pada partitur yang masing-masing terlihat di depan mereka.

Sang konduktor muda itu mengayunkan stik miliknya dan mengarahkannya pada bagian selo untuk memulai melodi instrumen klasik Swan Lake itu. Terlihat Eléonore menggesekkan bownya pada senar selo miliknya sambil kedua mata wanita itu melirik ke arahnya dan partitur bergantian, mengikuti gerakan tangan sang konduktor. Vincent lalu mengarahkan baton sticknya ke bagian terompet, mendengarkan dengung suara alat musik itu melebur jadi satu dengan suara selo dan biola.

Vincent lalu memejamkan matanya sambil tetap mengayunkan baton sticknya, merasakan barisan not balok itu dalam partitur instrumen klasik itu melantunkan melodi yang indah dan membelai telinganya.

Ia berhasil menyingkirkan Gregory dari pikirannya dan berfokus dengan partitur dan gerakan tangannya, memimpin grup orkestranya melantunkan instrumen klasik itu sampai selesai dengan sempurna.

This is where his heart and mind belong right now.


Timothy dengan cepat menutup pintu apartemen Vincent setelah berhasil masuk dengan kunci cadangan yang diberikan oleh Sebastian beberapa menit yang lalu. Sebelum sahabat Vincent itu berangkat dari apartemennya yang terletak di daerah Boulevard de Clichy menuju apartemen Vincent, ia sempat menghubungi Sebastian via pesan dan memberitahu bahwa ia akan mampir ke restoran miliknya untuk mengambil kunci.

Tanpa berlama-lama, teman satu apartemen Vincent itu pun mengiyakan permintaannya dan berjanji akan menunggunya di restoran.

Ia lalu memasuki apartemen Vincent dan menaruh beberapa barang bawaannya di sofa dekat jendela kaca apartemen itu. Ia sempat membeli makanan dari restoran milik Sebastian dan Tobias, bermaksud untuk menyantap makan siangnya di apartemen sahabatnya saja, khawatir kalau Vincent akan tiba di apartemennya lebih dulu.

Sahabat Vincent itu berjalan ke arah dapur, membuka lemari yang terletak diatas dan meraih sebuah gelas miliknya untuk mengambil minum.

Persahabatan mereka berdua yang sudah terjalin selama lebih dari enam tahun itu sempat membuatnya tinggal di apartemen sahabatnya itu. Sebelum akhirnya beberapa tahun lalu ia tidak sengaja berkenalan dengan Maximillian pada saat menonton pertunjukan opera. Timothy saat itu sedang mendukung temannya dengan hadir untuk menonton pertunjukan opera. Seorang pria duduk bersebelahan dengan dirinya, yang akhirnya ia ketahui namanya. Maximillian.

Beberapa bulan kemudian, ia menjalin hubungan dengan sang art curator itu dan memutuskan untuk tinggal bersama di apartemen Maximillian setahun setelahnya.

Vincent sempat tidak ingin berbicara padanya selama tiga hari, karena Timothy memberitahunya tiga hari sebelum kepindahannya dari apartemen miliknya. Membutuhkan usaha yang ekstra untuk membujuk Vincent, karena bagi Vincent, sebelum Sebastian dan Tobias menjadi temannya dan “masuk” dalam hidupnya, satu-satunya teman yang selalu siap sedia menemaninya adalah Timothy.

Namun selama tiga hari itu, Vincent gunakan untuk merenung dan memikirkan keputusan sahabatnya. Vincent akhirnya berhasil menurunkan egonya dan memahami keputusan Timothy untuk pindah dari apartemennya dan tinggal dengan Maximillian.

Ruangan tengah apartemen itu terlihat sangat rapi, mengingat tiga sekawan yang sudah tinggal di sana selama beberapa tahun terakhir memang tidak tahan jika melihat barang-barang yang berantakan.

Timothy lalu melangkahkan kaki ke arah pintu kamar Vincent sambil melepas coat yang ia kenakan dan menggantungnya pada gantungan pakaian yang terletak di dekat pintu kamar sahabatnya itu. Ia melihat pintu kamar Vincent terlihat sedikit terbuka, mengintipnya sebentar sambil melihat keadaan kamar sahabatnya itu.

Rapi, tidak ada yang berantakan.

Ia lantas menutup pintu kamar Vincent, lalu memutuskan untuk menyantap makan siangnya sekarang, sebelum sahabatnya itu datang.

Apa yang akan dibicarakan oleh Vincent, ya?

Timothy memikirkannya sejak tadi ia menempuh perjalanan menuju restoran Indo Pride, sebelum akhirnya bertolak ke apartemen Vincent. Ia tidak tahu menahu tentang apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu.

Terakhir kali Vincent secara tersirat memintanya untuk datang dan menemaninya adalah saat beberapa tahun lalu lamarannya menjadi konduktor orkestra ditolak oleh salah satu pengelola sebuah klub orkestra. Baru kali itu Timothy melihat dengan mata kepalanya sendiri, sahabatnya menangis dalam diam dan tidak menanggapi pertanyaannya sama sekali. Baru kali itu, Timothy melihat sisi rapuh sahabatnya yang sedang berusaha menerima kenyataan bahwa ia baru saja gagal dalam proses mencapai cita-citanya.

Maka Maximillian tidak heran saat kekasihnya menghubunginya dan meminta maaf karena akan membatalkan janji temu mereka untuk pergi ke apartemen Vincent. Kekasih Timothy itu tahu betul mengenai cerita kegagal Vincent beberapa tahun lalu, maka ia lantas mengiyakan permintaan Timothy, mengingat Sebastian dan Tobias pasti akan sibuk dengan pekerjaan mereka.

Timothy hanya khawatir kejadian itu terulang kembali, karena ia tahu Vincent sedang melakukan latihan dengan teman-teman anggota klub orkestranya yang akan menggelar konser enam bulan lagi.

Walaupun sebenarnya, Timothy sendiri ragu akan firasatnya itu.

Apa yang sedang mengganggu pikiran sahabatnya itu? Vincent jarang sekali memintanya bertemu untuk menceritakan hal yang sepele. Biasanya sahabatnya itu bahkan hanya mengajaknya bicara lewat telepon atau sekedar mengirim pesan.

Ia lantas menghela napas sambil melirik ke arah jam tangan yang dipakainya pada pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, seharusnya sebentar lagi Vincent tiba di apartemen.

Maka dengan sigap ia membereskan sisa makanannya yang ada diatas meja, lalu membawanya ke dapur dan dibuang ke tempat sampah yang tersembunyi dibawah kitchen island.


Saat Timothy hendak memasukkan alat makan yang sudah dicuci kedalam dryer, ia mendengar suara gemerincing kunci dari luar pintu, menandakan bahwa Vincent sudah sampai. Ia lantas dengan cepat menutup mesin itu dan mengatur waktu untuk mengeringkan alat makannya tadi, lalu melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah pintu.

Terlihat Vincent menutup pintu dengan sikunya asal, bahu kanannya membawa case biola miliknya, sedang bahu kirinya tersampir tali postman bag yang selalu dipakainya saat pergi latihan. Rambut Vincent sudah berantakan, terlihat ikatan rambutnya sudah longgar, pun kacamatanya sudah diatas kepalanya, dijadikan penyangga rambut yang agaknya sudah terlalu panjang dan menghalangi matanya.

Vincent melepaskan sepatunya sambil menghela napas lelah, belum menyadari bahwa sedari tadi Timothy sudah memperhatikannya dari kejauhan.

“Vin?” Timothy memanggil namanya riang, membuat Vincent seketika menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Timothy tersenyum lebar sambil berjalan ke arahnya. “Bonjour! Capek, ya?”

Ia hanya tersenyum simpul. “Lumayan. Metro hari ini penuh. Untung hanya beberapa perhentian sampai sini,” balasnya sambil melangkah ke arah ruang tengah apartemen, lalu melepaskan tas pribadinya dan tas biolanya dari kedua bahunya dan meletakkannya di sofa.

“Lo sudah makan ya?” Vincent bertanya tanpa menoleh pada sahabatnya yang sedang berjalan mengekor dibelakangnya. “Gue lapar sekali, lo ada beli makanan, nggak, Tim?”

Timothy akhirnya duduk di sofa, memperhatikan raut wajah Vincent yang sepertinya sudah sangat lelah. Dahinya pun berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia lantas menjentikkan jarinya di depan wajah sahabatnya sambil tertawa renyah. “Ada. Gue belikan nasi gorengnya Tobias tadi, nggak apa, 'kan?”

Seketika perut Vincent berbunyi, seperti merespon pertanyaan Timothy. Ia mendengar sahabatnya yang sedang duduk bersila itu tertawa keras suara perutnya.

Vincent hanya bisa memutar kedua bola matanya sambil melepaskan kacamatanya dan menaruhnya pada nakas terdekat.

Okay, I assume it's okay. Lo mau mandi atau makan dulu?” Tanya Timothy sambil berdiri dari duduknya, bermaksud menyiapkan makanan yang dibelinya tadi untuk ditaruh pada piring. “Lo ganti baju dulu saja, deh, gue yang siapkan. Atau kalau mau, lo mandi dulu,” usul Timothy cepat. You stink, just so you know,” sambung Timothy mengejek, sambil buru-buru berlari ke arah dapur, takut Vincent akan melemparinya dengan bantal karena ucapannya barusan.

“Sialan,” balas Vincent malas sambil melepas ikat rambutnya yang sudah longgar. Ia menyugar rambutnya yang sudah terasa lengket. Sepertinya ia harus segera keramas. Ia lalu berkata pada Timothy, setengah berteriak agar sahabatnya itu mendengar. “Gue mandi dulu ya, Tim. Be right back.”

Timothy menyahut dengan suaranya yang agak keras dari arah dapur apartemennya. “Alright!”


Tidak membutuhkan waktu lama untuk Vincent menghabiskan makanannya itu karena ia sudah sangat lapar. Ia lalu berdiri dan membawa sisa makanannya ke dapur, dengan cepat membersihkan piring dan cutleriesnya. Ia tidak ingin membuang waktu Timothy hingga larut malam.

Setelah selesai dengan kegiatannya di dapur, ia lantas melangkah ke arah sofa abu miliknya dan duduk di samping Timothy.

So, what's going on?” Timothy membenarkan duduknya, menarik kedua kakinya keatas sofa.

Vincent menarik napas dan menghembuskannya perlahan. “We had a misunderstanding. Me and Gregory both.”

Mendengarnya, Timothy lantas menegakkan tubuhnya, memposisikan duduknya untuk menghadap ke arah Vincent yang terlihat sedang memijat batang hidungnya. “Hah? Lagi? What happened?”

Vincent mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Ia menyisir rambutnya kebelakang, membuat dahinya yang lebar dan kedua alisnya yang tebal terpampang jelas. “I don't know either, bro. Awalnya kami bicara soal some kind of deal between us, we once had discussed the topic when we went to Louvre. Setelah itu, gue balas pesannya, and at the end he said I'm different thru text.”

“Ah...,” balas Timothy sekenanya sambil tersenyum kikuk. “Gue paham.”

“Gue nggak paham harus bagaimana, Tim. I mean, what should I do to be able to read his mind, though? Setiap kali gue bicara, gue benar-benar memikirkan pilihan kata yang harus gue pakai supaya somehow it won't hurt him.”

Timothy menanggapi dengan menggumam, memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan pada sahabatnya yang terlihat sedang memejamkan sepasang matanya itu.

Sebenarnya, setelah Timothy memperkenalkan keduanya di Page 35 beberapa hari lalu itu, saat perjalanan pulang, seketika muncul kekhawatiran dari dalam hatinya. Ia betul-betul mengenal sifat keduanya; Vincent yang pendiam dengan Gregory yang ceria dan ekspresif, Vincent yang kaku dengan Gregory yang benar-benar seperti gelang elastis, Vincent yang hampir selalu serius dengan Gregory yang pembawaannya santai, sering sekali menanggapi sesuatu dengan candaan.

Perbedaan terbesar itu saja sudah membuat Timothy meringis saat itu, khawatir akan kedua temannya yang kepribadiannya sangat bertolak belakang akan clash kapanpun.

Namun ia masih mencoba untuk berpikir positif, walaupun ia tahu, jika keduanya disatukan rasanya sulit.

Mereka berdua ibarat minyak dan air.

Akan tetapi, suatu saat, pasti mereka berdua akan melebur jadi satu, 'kan?

“Apa gue harus mencoba merubah pola pikir gue, prinsip gue, dan kebiasaan gue berbicara seperti Gregory, ya, Tim, supaya kami berdua bisa klik?” Vincent bertanya sambil menengadahkan kepalanya, memandang langit-langit ruang tengah apartemennya.

Timothy hanya bisa membelalakkan kedua matanya dan bertanya pada Vincent dengan nada tajam. “Excuse me?! Do you even hear yourself?”

Apa Vincent sudah gila? Sejak kapan ia mau melakukan hal seperti itu hanya untuk bisa berbicara dan klik dengan orang lain?

Yell at me, please, Tim. I don't even know myself anymore since he came. Since I shook his hand days ago at Page 35.”

Okay,” balas Timothy cepat sambil memutar kedua bola matanya. Berlebihan sekali sahabatnya ini barusan. “Lo berlebihan sih kalau sampai mikir lo nggak mengenal diri lo sendiri lagi.” Timothy menyambung lagi, sebelum akhirnya Vincent melempar bantal sofa kecil ke arahnya. Ia mengumpat. “Sialan! But, I am right, no?” Timothy lalu bertanya pada Vincent sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena dilempari bantal.

“Maksud lo gue lebay, begitu?” Vincent bertanya, melirik ke arah Timothy sambil tertawa melihat sahabatnya itu. “Maka itu gue tanya, gue harus bagaimana supaya gue paham apa isi kepalanya? Lo tahu sendiri gue baru kali ini bertemu orang seperti dia, berbeda dengan lo yang punya banyak teman seperti dia.”

Timothy lantas berdeham dan memulai bicara. “Menurut gue, lo hanya harus berkomunikasi dengan dia lebih sering, sih. Dan lo harus memberi dia pengertian bahwa lo nggak paham maksud dia apa.”

Ia berusaha menjelaskan pada Vincent dengan bahasa yang sederhana, tidak ingin berbelit-belit yang dikhawatirkan akan berujung dengan melihat sahabatnya itu mengernyitkan dahi dan memutuskan untuk menyudahi pembicaraan ini.

“Gue tahu, memang salah satu harus ada yang “mengalah”, tapi bukan berarti lo kehilangan jati diri lo sendiri, sih. Sebuah hubungan, walaupun hanya berteman, lo pasti akan menyesuaikan diri dengan sendirinya, 'kan? Ini menurut gue, lo berdua masih kaget saja, dan it's too fast, no? Baru juga beberapa hari, Vin, nggak mungkin lo dengan dia langsung klik.

“Yang penting, lo dan dia sama-sama tidak kehilangan “diri sendiri” saja, menurut gue itu sudah langkah awal yang baik. Perbanyak komunikasi saja.”

Vincent hanya menggumam. Timothy tidak bisa membaca raut wajah sahabatnya itu.

“Gue ingin jadi sosok yang bisa membuat dirinya jadi lebih baik, Timothy. Menurut lo, apa gue bisa?”

Timothy mengernyitkan dahinya bingung sambil memiringkan kepalanya. “Wow, that's... wow? Mengapa lo punya keinginan seperti itu?”

Sahabatnya itu hanya menghela napas pelan sambil mengangkat kedua bahunya. “I don't know. There's something about him that hypnotizes me. I want him to let his sorrow and pain go, and maybe his doubts, his fear, his insecurities? I want to see his happy side. I know he'll be so beautiful and his life will be too. No?

Do you think I'll be able to help him to reach that happiness, Timothy?” Vincent bertanya pada sahabatnya, memandang sepasang mata itu dengan penuh harap.

Because I really want to, Tim. I really do.”


*Merde: cuss word in French *Bow: alat penggesek alat musik cello dan biola