the last baton | 031
cw ⚠️ internal family problems, financial problems
Gregory tidak pernah mengerti mengapa hampir semua orang yang ia pernah temui, menganggap bahwa Paris adalah kota penuh cinta. Menurutnya, cinta bisa ditemui dimanapun. Benar, bukan?
Entah apa yang membuat Gregory begitu “memandang rendah” ibukota Perancis itu. Ia sendiri pun tidak tahu. Apakah karena semakin sering kau mendengar tentang sesuatu, semakin besar pula rasa ingin mengenyahkan hal itu dari pikiranmu?
Satu-satunya orang yang tahu bagaimana ia dulu membenci kota Paris adalah Thomas, sahabatnya sejak duduk di bangku kuliah. Gregory pernah mengatakan padanya, bahwa kota Paris itu sangat mainstream. Thomas yang sudah pernah beberapa kali pergi berlibur bersama dengan keluarganya ke Paris, hanya tertawa sambil menggelengkan kepala. Ia ingat, respon pertama yang ia katakan pada Gregory adalah:
“Mungkin lo karena belum pernah ke sana saja, Gre. You will fall in love with Paris. And maybe, someday, you will find your love there as well.”
Gregory tidak pernah secepat itu melempar buku catatan kuliahnya ke arah Thomas.
Jujur, ia tidak pernah bermimpi untuk tinggal dan hidup di Paris, kota yang dijuluki kota penuh cinta itu. Tidak pernah sama sekali. Baginya, Paris tidak termasuk dalam list panjang yang dimilikinya sebagai kota yang nyaman untuk menjadi tempat tinggal, apalagi untuk mencari pekerjaan. Menurutnya, Paris adalah kota yang hanya cocok didatangi untuk plesiran. Tidak kurang dan tidak lebih.
Namun rasanya, semakin kau membenci sesuatu, maka semesta akan semakin mendekatkan hal itu padamu?
Rasanya ia ingin tertawa keras dan menggelengkan kepala tidak percaya, saat suatu hari ayah dan ibunya mengajaknya bicara di ruang tamu rumahnya. Gregory hafal betul gerak gerik ayahnya jika beliau sedang stres dan waswas. Ayahnya akan lebih sering menyeka keringatnya yang membasahi keningnya, pun ibunya yang berkali-kali melirik ke arah ayahnya.
Singkat cerita, ayahnya memulai pembicaraan dengan membahas kakak sepupu laki-laki Gregory yang terlihat memiliki banyak peluang setelah menempuh pendidikan di luar negeri. Harmless statement itu secara tidak sadar membuat Gregory menggerutu dan memberontak dalam hatinya.
Ia berpikir, apa segala sesuatu harus dicapai di luar negeri? Apalagi di Eropa, yang jaraknya sangat jauh dari Indonesia.
Lagipula, ia tidak pernah memiliki impian untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana? Mengapa sekarang hal itu menjadi penting?
Ayah dan ibunya, tanpa tedeng aling-aling, tiba-tiba mengusulkan—bukan, mereka memaksa—Gregory untuk mendaftar di ESCP Business School di Paris untuk mengambil pendidikan pascasarjana dan meraih gelar magister komunikasi.
Gregory yang saat itu hanyalah seorang laki-laki yang baru saja lulus dengan predikat mahasiswa terbaik di FISIP, Universitas Indonesia, hanya dapat duduk termangu. Sepasang mata bulatnya membola, menatap kedua orang tuanya yang duduk berhadapan dengannya bergantian.
Ia mengernyitkan dahi, mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya. Rasanya ada dering alarm dalam kepalanya yang membuatnya pusing.
ESCP? Apa itu? Mengambil magister komunikasi di Paris?
Ada apa ini sebenarnya?
Ia tidak bisa memahami jalan pikiran kedua orang tuanya. Ekonomi keluarga mereka hanya dapat dikatakan cukup, namun tidak berlebihan sampai bisa menyisihkan uang untuk pergi berlibur ke luar Indonesia setahun sekali, seperti Thomas.
Mengapa tiba-tiba orang tuanya mencetuskan ide itu seakan-akan pindah ke Paris dan menempuh pendidikan pascasarjana semudah pergi ke warung dekat rumahnya?
Konsentrasinya buyar, ia sudah tidak lagi mendengarkan apa yang ayahnya bicarakan. Pikirannya berkecamuk. Apa ia benar-benar harus meninggalkan Indonesia? Untuk apa dan apa alasannya?
Mengapa semua sangat tiba-tiba?
Apa harus seperti itu?
Namun sepertinya, ia tidak bisa menolak dan melawan sama sekali. Tidak, saat tiba-tiba ibunya berdiri dari duduknya di ruang tamu dan berjalan ke arah kamar. Tak perlu waktu lima menit sampai ibunya kembali ke ruang tengah dengan membawa beberapa berkas kelengkapan riwayat hidupnya. Pada bagian depan map berkas berwarna coklat tua itu, terpampang jelas namanya. “Gregory Jungkook”.
Ia hanya bisa menolehkan kepalanya berat dan mengernyit kemudian, melihat orang tuanya seperti kehabisan kata-kata.
Untuk apa ia harus menempuh pendidikan magister di Paris?
Hell, bahkan selama hidupnya, ia tidak pernah menginjakkan kaki di kota itu. Mengapa kedua orang tuanya seperti “memaksa” Gregory untuk pergi dari Indonesia dengan mempersiapkan semua ini?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul dari dalam kepalanya. Rasa kecewa, dendam dan amarah, bergumul jadi satu. Tetapi, Gregory tidak dapat mengutarakan semua itu, tidak saat ayah dan ibunya benar-benar terlihat menundukkan kepala sambil menitikkan air mata.
Gregory yang sedang ikut diam seribu bahasa pun mendengar ibunya buka suara.
“Tolong turuti keinginan kami berdua, Gregory. Ibu minta tolong. Ya?”
Seberapa rumit kehidupan Gregory, jika ibunya sudah berbicara, ia akan selalu menurutinya. Apapun itu.
Itu adalah janji yang selalu dipegang olehnya sejak kecil.
Jangan pernah membuat ibumu kecewa, walaupun kamu harus menelan pil kecewa itu sendiri.
Gregory dilepas begitu saja layaknya layangan putus tak tahu arah di Paris oleh orang tuanya. Hidupnya dihantui dengan banyak pertanyaan, kegelisahan, dan rasanya seperti tidak ada tujuan hidup. Ia pun hidup sendirian, tidak ada satupun warga negara Indonesia yang ia kenal di sana.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Paris-Charles de Gaulle, hal yang ia lakukan adalah berjalan mencari toilet dengan membawa semua kopornya sambil tergopoh-gopoh. Gregory masuk kedalam salah satu bilik, bersujud lalu memuntahkan seluruh isi perutnya.
Pertama kali dalam hidupnya, Gregory menangis tanpa henti selama sepuluh menit, di toilet umum.
Namun ia akhirnya berusaha bangkit dari keterpurukan dan rasa kecewanya. Jika bukan dirimu sendiri yang berperan sebagai penolong, siapa lagi yang akan bisa?
Setahun berlalu, Gregory akhirnya bisa menyesuaikan diri, beradaptasi dan berusaha menerima kenyataan bahwa saat ini ia memang harus tinggal di Paris seorang diri.
Pun waktu berlalu sudah setahun lamanya, saat Tuhan akhirnya menjawab pertanyaan yang selama ini tertanam dalam kepalanya.
Sore itu, tepat lima menit setelah Gregory keluar dari ruang kelas, handphonenya berdering. Ia menghentikan langkahnya untuk menerima panggilan masuk itu. Gregory mengernyit kemudian, terpampang salah satu nama saudaranya pada layar handphonenya.
Ia menyapa, mengucapkan kata halo, saat diujung telepon, saudaranya itu menanyakan kabarnya dengan suara bergetar.
Rasa khawatir lantas menyeruak dalam hatinya. Orang tuanya baik-baik saja, 'kan?
Pertanyaan yang terpendam begitu lama akhirnya terjawab sudah. Rasanya ia ingin kembali ke Indonesia untuk bertemu dengan orang tuanya saat itu juga, saat beliau berdua dikabarkan telah terlilit hutang yang cukup besar di Indonesia.
Seketika, moodnya berantakan dan hancur. Hatinya serasa meledak dan tercerai berai.
Mengapa orang tuanya tidak pernah memberitahunya? Apakah biaya pendidikannya di Paris memakai uang tabungan terakhir mereka berdua?
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa dirinya “dibuang” ke Paris?
Gregory tidak henti-hentinya melayangkan pertanyaan pada saudaranya itu via telepon, meneriakinya sambil memijat batang hidungnya.
Ia pusing, namun ia tidak bisa menangis. Entah, air matanya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan muncul dari pelupuk matanya. Saudaranya diujung telepon hanya menjawab bahwa dirinya harus tetap tinggal di Paris sampai pendidikannya selesai. Kedua orang tuanya tidak ingin anaknya dilanda stres karena tragedi yang terjadi. Mereka berdua ingin Gregory dijauhkan dari “ancaman” yang bisa membuat dirinya terpuruk.
Pamannya pun mengambil alih telepon, menjelaskan duduk permasalahannya pada Gregory dengan lengkap. Sosok yang merupakan kakak dari ayahnya itu pun menyanggupi untuk membiayai hidup Gregory di Paris sampai ia selesai menempuh pendidikan magister komunikasinya.
Beliau berjanji akan membantunya mengurus visanya, tempat tinggalnya, bahkan status visanya saat ia sudah lulus dari magisternya nanti.
Mungkin hal itu adalah satu tamparan telak bagi Gregory, saat ia harus membuat dirinya “terjebak” di Paris dan tidak kembali ke Indonesia.
Tiga minggu Gregory habiskan dengan berpikir, berpikir, dan berpikir. Masakan ia harus terus menerus bergantung pada pamannya?
Tidak. Ia harus mandiri. Ia harus bangkit dan berdiri, diatas kakinya sendiri.
Maka dengan keputusan matang, ia akhirnya keluar dari sekolah bisnis itu, tanpa memberitahu keluarganya. Toh, pendidikan ini bukanlah impiannya. Gregory tahu, ia pasti akan dihujat habis-habisan karena menyia-nyiakan kesempatan itu.
Tapi, ia boleh mengejar bahagianya menurut keinginannya sendiri, bukan?
Gregory mengecek jam tangan yang ia pakai pada pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, sebentar lagi ia harus memenuhi janji temu dengan pemilik bar Les Disquaire. Ia lantas menggerutu dan berdecak, sambil berusaha menerobos arus lalu-lalang orang yang sedang menuruni anak tangga untuk masuk ke stasiun metro Ledru-Rollin.
Seharusnya ia tadi berangkat lebih cepat agar tidak terlambat sampai di tujuan. Sang pemilik bar hanya dapat menunggunya hingga pukul empat sore waktu Paris. Pria yang sempat berbicara dengan Gregory via telepon itu berkata bahwa ia harus pergi setelah bertemu dengannya. Maka waktu yang Gregory miliki sangatlah sedikit.
Ia akhirnya mempercepat langkahnya dengan berlari-lari kecil, tidak peduli langkahnya yang agak berat karena hari ini ia memutuskan untuk memakai sepatu boots warna hitam kesayangannya.
Sambil berlari menyusuri jalan Rue de Charonne menuju Cour Saint-Joseph, Gregory sesekali menunduk untuk mengecek pakaiannya.
Apakah ia pantas mengenakan kemeja flanel kotak-kotak dengan dilapisi jaket kulit hitamnya seperti ini? Hari ini pun entah mengapa ia memilih celana jins robek miliknya yang benar-benar sudah lubang pada bagian lutut, yang cenderung belel karena terlalu sering dipakai. Gregory pun memakai bucket hat warna hitam miliknya, berjaga-jaga jika ia bertemu dengan seseorang yang ia kenal saat di perjalanan.
Jalanan di depan Les Disquaire cukup sepi, tidak seramai biasanya. Gregory sedikit terengah karena sudah berlari selama lima menit untuk mengejar waktu.
Ia akhirnya sampai di bar itu tepat waktu. Dari luar, tempat itu masih terlihat sepi, tidak ada orang. Ia melihat sofa berwarna turquoise menghiasi ruangan, pun dengan bar stool besi berwarna senada yang diletakkan dekat dengan kaca ruangan.
Gregory menarik napas cukup panjang, lalu menghembuskannya pelan, sebelum melangkah masuk ke bar untuk bertemu dengan pria yang berbicara dengannya di telepon.
Ia menarik pintu masuk bar itu, dan merasakan hembusan pendingin ruangan menusuk kulitnya. Dingin sekali, pikirnya.
Melangkah masuk dan mengedarkan pandangan, Gregory akhirnya bertemu mata dengan seorang wanita yang sedang berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu berparas cantik, berambut panjang yang diikat ke atas membentuk ponytail.
Sang wanita itu tersenyum, menghentikan kegiatannya di kasir, sepertinya sedang menghitung uang.
Gregory lantas melangkah ke arah wanita itu sambil menyapa dengan sopan, dengan aksen bahasa Perancis yang sudah melekat dengan lidahnya.
“Bonne après-midi. Je veux rencontrer César. Il est toujours là?” Ia menyapa wanita itu dengan mengucapkan selamat siang. Gregory sempat melihat nama wanita itu pada name tag yang dikenakan didada. Eléonore. Ia bertanya, apakah Caesar, pria yang tadi berbicara dengannya masih ada di sana.
“Ah, Gregory, right?” Eléonore membalas dengan riang sambil tersenyum. “Your accent is so good. Anyway, yeah, Caesar is still here, I will tell him you're already arrived.”
Eléonore pergi dari sana, berjalan ke arah dalam bar yang masih gelap. Gregory sempat mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada wanita itu. Ia lalu melangkahkan kakinya untuk duduk di sofa, menunggu sampai Caesar datang dan menemuinya.
Sambil menunggu, ia mengeluarkan handphonenya dari saku jaketnya, bermaksud ingin mengabadikan ruang utama bar yang cantik dengan aksen warna turquoise itu.
Semoga tempat ini akan menjadi tempat terakhir gue, batin Gregory penuh harap.