the last baton | 038
Seperti biasa, jalanan kota Paris malam ini agak sedikit padat, mengingat bahwa hari ini adalah hari Sabtu. Warga kota Paris pasti akan pergi ke luar rumah untuk meluangkan waktu dengan kerabat, teman, bahkan mungkin hanya seorang diri. Hal itulah yang membuat Maximillian hanya dapat menghela napas berat saat melihat lalu lintas di depannya. Sinar merah lampu rem kendaraan lama-kelamaan membuat matanya sakit dan kepalanya pusing.
Namun, ia tidak bisa menolak ajakan Vincent untuk pergi makan malam hari ini. Sahabatnya itu sudah memberitahukan rencananya pada Timothy dari jauh hari, katanya Vincent ingin menghabiskan malam bersama.
Entah dalam rangka apa, mereka berdua juga tidak tahu. Hanya Vincent dan Tuhan yang tahu jalan pikiran sang konduktor orkestra itu.
Hari ini adalah giliran Maximillian menyetir, dan mereka sedang dalam perjalanan menuju Page 35, salah satu restoran favorit Vincent yang menyajikan masakan Perancis di daerah 4 rue du Parc Royal.
Beberapa hari sebelumnya, Vincent sudah sempat membuat reservasi untuk mereka bertiga. Ia memang sengaja mengajak para sahabatnya itu untuk pergi pada malam hari, karena setiap weekend, jadwal mereka memang selalu padat.
Sebenarnya, alasan Vincent mengajak Timothy dan Maximillian makan malam bersama hari ini adalah karena ia telah mendapat berita baik beberapa hari yang lalu. Sebastian dan Tobias sudah lebih dulu tahu berita itu pada hari yang sama. Vincent menceritakannya pada kedua teman satu apartemennya itu saat sedang makan malam di tempat tinggal mereka. Sebastian dan Tobias hanya bisa menganga saat mendengar berita baik itu, lalu mengucapkan selamat pada Vincent berkali-kali, tak terhitung jumlahnya.
Maka sekarang adalah gilirannya untuk menceritakan hal itu pada Timothy dan Maximillian. Ia tahu, para sahabatnya itu pasti akan merespon lebih histeris bila dibandingkan dengan duo pemilik restoran 'Indo Pride' itu. Terutama Timothy, pria yang selalu mendampingi dan mendukungnya sejak ia masih berjuang di London.
Saat Vincent mengetahui bahwa Timothy mengajak Warren dan Gregory—ya, Gregory—ikut bergabung untuk makan malam, ia dengan cepat mengirim pesan ke pemilik resto dan dicarikan meja serta kursi tambahan.
Ia tidak ingin acara makan malamnya hari menjadi berantakan. Tidak. Selain karena ia ingin membicarakan mengenai berita baik yang akan terjadi enam bulan dari sekarang para para sahabatnya, namun juga sebentar lagi ia akan bertemu dengan Gregory.
Pria itu, yang membuat Vincent sempat tidak berkedip beberapa detik karena memperhatikan foto yang dikirim oleh Timothy. Ini adalah pertama kalinya, setelah sekian lama, ia memiliki hubungan spesial dengan seseorang.
Timothy tahu persis bagaimana “keras” dan “kaku” sahabatnya itu. Ia tahu persis, bagaimana Vincent selalu mengesampingkan urusan percintaan dan menaruhnya paling bawah. Bagi Vincent, cita-cita dan impiannya harus selalu berada di posisi teratas bucket list hidupnya.
Namun Vincent tidak bodoh, ia tahu dan sadar betul apa yang sedang Timothy coba lakukan akhir-akhir ini. Vincent tahu, sahabatnya itu ingin memperkenalkan Gregory padanya, dan mencoba peruntungan, siapa tahu, Gregory dapat menjadi seseorang yang spesial, yang bisa memindah-mindahkan posisi bucket list hidup milik Vincent.
Akan tetapi, selama ini Vincent merasa mampu melakukan apapun sendiri, tanpa bantuan siapapun. Ia merasa, dirinya belum membutuhkan seseorang yang spesial di hidupnya untuk ikut memperhatikan dirinya. Ia pun merasa, dirinya belum perlu membagi pikirannya untuk memikirkan orang lain selain dirinya sendiri.
Vincent tidak mempunyai energi untuk membagi fokusnya dengan orang lain.
Intinya, Vincent belum merasa perlu.
Ia lantas menghela napas berat lalu menggelengkan kepalanya cepat, berusaha menyingkirkan pikiran aneh itu. Vincent lalu menolehkan kepalanya ke arah depan, melihat Timothy dan Maximillian sepertinya sedang berbincang. Sedari tadi ia tidak mendengarkan apapun ditelinganya selain instrumen milik Beethoven yang melantun indah dari earbudsnya.
Beruntunglah Timothy tidak menyadari bahwa sedari tadi, ia melamun, memperhatikan jalanan kota Paris yang dipenuhi oleh banyak orang.
Untuk apa memikirkan hal yang belum terjadi? Bisa saja, semua hal yang beberapa hari ini sedang singgah dalam pikirannya itu, hanya bagian dari imajinasinya saja, 'kan?
Sesampainya mereka di Page 35, Vincent langsung melangkahkan kaki ke arah front counter untuk berbicara dengan seorang waiter. Terlihat sudah banyak sekali orang yang berdiri di depan restoran, sedang menunggu untuk dipanggil dan diantar ke meja mereka masing-masing. Restoran yang menyajikan masakan Perancis itu memang tidak seramai biasanya, namun meja dan kursi di area outdoor restoran sudah hampir terisi penuh. Hanya terlihat satu meja dengan enam kursi yang masih kosong, sepertinya itu adalah reservasi atas nama Vincent.
Seorang wanita muda yang sedang berdiri di ambang pintu masuk restoran menyapa Vincent dengan ramah sambil tersenyum. “Bonsoir, Monsieur. Combien de personnes?” Wanita itu menanyakan padanya berapa jumlah orang yang akan makan malam di sana.
Vincent lalu menjawab dengan bahasa Perancisnya yang fasih. “J’ai déjà appelé Carlos tout à l’heure. C’est sous le nom de Vincentius. Pour cinq personnes.” Ia sebelumnya sudah menelepon Carlos, sang pemilik restoran. Ia mereservasi atas namanya sendiri dan memesan tempat untuk lima orang.
Sambil menunggu jawaban dari waiter itu di depan pintu masuk, Vincent membalikkan tubuhnya ke belakang, mengedarkan pandangannya ke sekeliling area outdoor restoran. Sepasang matanya lalu menangkap sosok Timothy seperti sedang menelepon seseorang, sedang Maximillian berdiri di sampingnya untuk menemani. Ia mendengar sekilas sahabatnya itu menyebut nama Gregory kepada lawan bicaranya ditelepon.
Seketika ia merasakan dadanya berdegup sedikit lebih cepat, pun bulu kuduknya meremang.
Aneh. Ada apa sebenarnya dengan dirinya? Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Apa ini rasanya jika dirimu sedang gugup? Atau, ini adalah firasat buruknya yang sedang berbicara?
Ia bahkan belum pernah bertemu dengan Gregory. Ia hanya melihat dari foto, dari layar handphonenya. Mendengar nama Gregory disebut dan mengetahui bahwa pria itu adalah teman dekat Timothy di Paris pun baru beberapa hari yang lalu.
Namun ia merasakan ada sedikit, sedikit sekali, keinginan agar waktu dapat berlalu lebih cepat, sampai akhirnya ia bertemu dengan pria itu.
Tanpa sadar, Vincent sedikit berharap dalam hatinya bahwa ia ingin mempunyai first impression yang baik dimata Gregory.
Ia bisa memastikan Timothy akan melakukan koprol depan di jalan sambil berteriak histeris saat ini juga jika ia mengetahui pikiran sahabatnya itu.
Setelah menunggu sekitar lima menit, akhirnya seorang waiter tadi mengantar Vincent dan kedua sahabatnya ke meja yang sudah disediakan untuk mereka. Vincent lantas mengucapkan terima kasih, lalu mengambil duduk bersisian dengan Timothy. Maximillian sudah duduk menghadap ke arah Timothy dan menyisakan satu kursi kosong di hadapan Vincent untuk tempat duduk Gregory nanti.
“Vin, they will be arriving in three minutes. Apa makanan dan minuman mereka lo yang pesankan saja? 'Kan, malam ini, lo yang punya acara.” Timothy bertanya pada sahabatnya, sambil membaca buku menu yang tertulis dalam bahasa Perancis itu. Maximillian terlihat masih berkutat dengan layar handphonenya sejak tadi, sepertinya ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan saat ini juga.
Vincent lalu menoleh ke arah Timothy sambil membenarkan letak kacamatanya yang agak merosot dari batang hidungnya. “Nggak apa, mereka saja yang pilih. I don't know what they like, Timothy. It's okay.”
Timothy menggumam tanda mengerti. “Baiklah, gue pesan menu seperti biasa ya untuk kita bertiga? Bagaimana?” Ia bertanya sambil memandang Vincent dan Maximillian bergantian. Kedua pria itu hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya.
Tak lama kemudian, saat Timothy sudah siap dengan pesanannya, ia akhirnya memanggil seorang waiter untuk memesan makanan dan minuman untuk mereka. Ia berbicara pada waiter itu menggunakan bahasa Perancisnya yang terdengar sangat fasih. Vincent hanya tersenyum mendengar Timothy, ternyata sesi belajar yang ia berikan pada sahabatnya itu setiap dua kali seminggu benar-benar membuahkan hasil.
Vincent lantas melirik ke arah layar handphonenya, sudah tiga menit berlalu dari sejak Timothy memberitahu bahwa Warren dan Gregory akan segera datang. Maka dengan cepat is menarik kuncir rambutnya hingga lepas, dan membiarkan rambutnya terurai. Hanya sesaat, sebelum akhirnya Vincent menyisir kembali rambut panjangnya dengan rapi menggunakan jemari tangannya untuk dikuncir lagi. Ia tidak pernah membiarkan rambut sebahunya terurai saat berada di tempat umum, bahkan saat ia sedang latihan dengan anggota klub orkestranya.
Baginya, hanya orang-orang terdekatnya saja yang diperbolehkan melihat sisi lain Vincent jika ia sedang mengurai rambutnya.
Namun sepertinya Vincent terlambat, saat ia mengangkat kepalanya dan bertemu mata dengan seorang pria yang terlihat mengenakan bucket hat yang hampir menutup kedua matanya.
Tanpa melihat sepasang mata itu pun, Vincent tahu siapa pria itu.
“Ah, bonsoir, gentlemen. Maaf gue dan Warren terlambat,” sapa Gregory ceria sambil menepuk bahu Maximillian yang sedari tadi sedang fokus dengan handphonenya. Pria yang lebih tua dari Gregory itu lantas menoleh, lalu berdiri untuk menyapanya dan Warren.
Sedang Vincent? Pertama kalinya ia menangkap suara pria yang sedang berpelukan dengan Maximillian itu, dengan kedua telinganya.
Damn, sepertinya baru kali ini ia mendengar suara seseorang terasa manis dan lengket seperti madu, setiap tetesnya mengalir turun tepat ditelingamu.
Ia pun berdiri dari duduknya untuk menyapa Gregory. Jujur, sekujur tubuhnya terasa kaku, lidahnya kelu, melihat pria yang ada di hadapannya itu tersenyum lebar dan menatapnya dengan kikuk.
Beruntung, beruntung sekali, kali ini Vincent tidak lupa untuk mengedipkan kedua matanya.
“Bonsoir,” balas Vincent dengan suara beratnya, sambil mengulurkan tangannya ke arah Gregory. Ia melihat dari ekor matanya, Timothy yang berdiri di sisinya, sedang ternganga tidak percaya. Ia sadar bahwa sahabatnya itu sedang terbelalak, melihat tingkah laku Vincent yang benar-benar tidak pernah terjadi, setelah sekian lama. “Nama saya Vincentius, salam kenal.”
Gregory dengan cepat menjabat tangan Vincent dan meremasnya tegas. “Oh, iya, temannya Timmy, ya? Nama gue Gregory. Salam kenal, Vincent,” jawabnya sambil tersenyum lebar. Sepasang matanya berbinar, bak lautan bertabur bintang. “Thank you for letting us join you.”
“Sure, no problem, Gregory. The more, the merrier. Ayo duduk,” ajak Vincent sambil tersenyum lebar.
Timothy melihat sahabatnya itu sedang tersenyum lebar pada orang yang baru ia kenal!
Apa dunia sedang terbalik hari ini?
Vincent bersyukur telah memilih meja di area outdoor, karena saat ini, mereka ditemani oleh kelompok live music istimewa yang sedang menyanyikan lagu berbahasa Spanyol. Kebetulan sekali, lagu yang dinyanyikan adalah lagu favorit Vincent. Sang vokalis sepertinya berasal dari sana, pelafalan yang diucapkan sepanjang ia bernyanyi sangat khas. Suaranya pun indah. Vincent rasanya ingin berdiri dari duduknya untuk lebih menikmati lagu itu.
Jika boleh jujur, hari ini rasanya adalah hari yang terbaik selama ia tinggal di Eropa? Vincent tidak dapat menahan rasa rindu yang menyeruak dari dalam hatinya. Sudah lama sekali ia tidak meluangkan waktu dengan para sahabatnya seperti malam ini? Bersenda gurau tanpa kenal waktu, menyantap makanan tanpa henti, dan membicarakan apapun tanpa filter.
Tidak ketinggalan, ia merasakan adanya sedikit, sedikit rasa senang karena bisa berkenalan dengan seseorang seperti Gregory.
Hanya dalam waktu setengah jam, Vincent dapat membaca dan menilai seperti apa Gregory sebenarnya. Waktu sesingkat itu digunakan dengan baik oleh Gregory untuk menanyakan banyak hal pada Vincent; mulai dari pendidikannya hingga profesinya di Paris.
Hanya dalam waktu setengah jam, Vincent pun tahu apa profesi Gregory selama ia tinggal di Paris seorang diri.
Dan hanya dalam waktu setengah jam, Vincent dapat tertawa lepas dengan Gregory.
Saat pria yang mengenakan pakaian serba hitam itu sedang tertawa lepas hingga membuat matanya tenggelam dibalik bucket hatnya, Vincent lantas menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan wajah Gregory. Ia ingin memindai senyum itu, paras tampan itu, dan tawa itu untuk ia simpan dalam otaknya.
Ia akui, momen yang sedang terjadi saat ini sangatlah langka. Ia sendiri pun tidak menyangka, hidupnya yang selama ini kaku seperti kawat dan lurus seperti baton stick, dapat ia lupakan sejenak.
Semua itu hanya karena Gregory.
Aneh, aneh sekali.
Namun entah mengapa, Vincent mulai berusaha menerima kenyataan bahwa mungkin, Gregory bisa menjadi seorang teman untuknya.
Ya. Seorang teman.