the last baton | 131

Vincent tidak bisa tidur.

Jarum pada jam dindingnya sudah menunjukkan pukul dua dini hari, namun ia masih terjaga, tidak bisa memejamkan matanya untuk beristirahat. Vincent sedari tadi sudah merebahkan tubuhnya diatas kasur, mencari posisi nyaman sambil meletakkan kepalanya pada bantal miliknya yang tebal dan empuk. Ia sudah mematikan lampu kamarnya, pendingin ruangan sudah diatur sedemikian rupa agar ia tidak kegerahan, pun tirai kamar tidurnya sudah ditutup rapat, khawatir dengan sinar matahari pagi yang terbit beberapa jam lagi akan masuk menembus jendela kamarnya dan membuat matanya silau.

Beberapa saat lalu, ia sempat menangkap samar-samar suara Sebastian dan Tobias di ruang tengah, sepertinya kedua temannya itu baru saja tiba dari restoran. Suara keduanya terdengar semakin dekat dengan kamarnya, membuat Vincent lantas melirik sebentar ke arah pintu, bersiap jika kedua temannya itu mengetuknya untuk mengecek apakah dirinya sudah tidur. Vincent hanya berdecak dan mengangkat kedua bahunya saat dirinya tidak kunjung mendengar ketukan pada pintu itu, merasakan suara kedua temannya semakin menjauh dan akhirnya tidak terdengar lagi.

Tak terasa dua jam telah berlalu, sejak ia membaca pesan terakhir dari Timothy, yang berhasil membuatnya terjaga. Sepasang matanya memandangi langit-langit kamarnya dengan lekat, berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Timothy. Sedari tadi, Vincent merasa mesin yang ada didalam kepalanya tidak berhenti bekerja. Mungkin sebentar lagi kepalanya akan terasa panas dan kedua telinganya akan mengeluarkan asap tebal.

Vincent lalu menghela napas berat, memposisikan kedua tangannya dibelakang kepalanya. Ia menautkan jari-jemarinya, sesekali meremas rambut panjangnya yang masih terikat dengan rapi membentuk bonggol.

Ini adalah pertama kalinya Vincent merasakan gelenyar aneh dalam dadanya saat membaca pertanyaan dari sahabatnya itu; seperti ada yang menggelitiknya namun seperti ada yang memukul dadanya berulang kali, membuatnya berdegup sedikit lebih kencang.

Saat Timothy melemparkan dua pertanyaan pertama padanya, Vincent merasa tidak perlu untuk memikirkan jawabannya terlalu lama. Ia pun sudah menceritakan jawabannya pada sahabatnya itu beberapa waktu lalu, tentang bagaimana perasaannya saat pertama kali bertemu dengan Gregory; pria yang lebih muda darinya dua tahun itu, pria yang selalu mengenakan pakaian serba hitam, pria yang tinggi badannya hanya berbeda tipis dengannya, pria yang menyunggingkan senyum lebar membentuk seiris buah apel saat pertemuan pertama di Page 35, pria yang terlihat menyembunyikan banyak rahasia dibalik sorot matanya, dan pria yang selalu penuh dengan kejutan—Vincent seperti menyaksikan pertunjukan kembang api di lapangan kosong seorang diri setiap berada didekatnya.

Gregory adalah seseorang yang mampu membuat Vincent perlahan mencoba untuk memikirkan perasaan orang lain setiap kali dirinya berbicara. Ia sesekali memikirkan kata-kata yang ingin ia ucapkan, apakah secara tidak langsung ia akan menyakiti lawan bicaranya? Gregory adalah satu-satunya orang—dari sekian banyak teman-teman dan sahabatnya—yang secara gamblang “menegur” Vincent tentang hal itu.

Pria itu seakan tidak peduli dengan respon yang akan diberikan oleh Vincent setiap kali ia mengoreksinya, karena ia tahu ia benar.

And Vincent likes it; the way Gregory just simply glared at him and scolded him whenever he said something that tend to be hurtful without him knowing.

Terakhir, Gregory adalah pria yang menyenangkan. Pria itu tidak pernah membuat Vincent merasa bosan saat mereka berdua sedang membicarakan banyak hal, dari sesuatu yang tidak penting sampai yang penting sekalipun. Gregory seperti memiliki sensasi dan daya tarik tersendiri, membuat Vincent rasanya ingin terus-menerus bertukar pikiran dengan pria itu tanpa jeda.

Vincent sadar betul, Gregory sepertinya akan memiliki pengaruh yang besar terhadap dirinya. Ia bukanlah seseorang yang mudah tertarik pada suatu hal, Timothy pun mengakuinya. Namun entah mengapa, pria itu dengan mudahnya membuat Vincent seperti 'terhipnotis' olehnya. Setiap kali Gregory terlihat tersenyum, ia pun akan ikut menyunggingkan senyumnya. Pun jika pria itu sedang mengernyitkan keningnya saat mereka berdua membicarakan hal yang serius, secara tidak sadar Vincent akan melakukan hal yang sama.

Vincent seperti menemukan cermin dirinya yang selama ini hilang.

Ia lantas tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan suara yang tiba-tiba muncul dari dalam kepalanya. Ia melepaskan genggaman kedua tangannya dari belakang kepalanya untuk memijat batang hidungnya.

“Oh, Gregory, what did you do to me?”

Vincent mengucapkan pertanyaan retoris itu dari mulutnya, bertanya pada keheningan malam yang sedang menemaninya. Ia tidak bisa mengelak, ada sedikit rasa rindu yang muncul dari dalam dadanya, perlahan membuat bulu kuduk disekujur tubuhnya lantas meremang, memaksa seluruh anggota tubuhnya yang lain untuk merasakan hal yang sama.

Ia merindukan suara pria itu saat berbicara dan saat tertawa dengannya, terdengar renyah seperti kudapan manis yang selalu menemaninya setiap pagi saat ia menikmati tehnya sambil mendengarkan gramofonnya memutar lagu favoritnya.

Vincent ingin segera mengosongkan waktunya, mencari celah diantara jadwalnya yang padat untuk mengajak pria itu bertemu. Berbicara via teks dengan Gregory sebenarnya membuat ia sedikit canggung dan khawatir dengan kata-kata sendiri yang tidak bernada itu. Vincent benar-benar ingin mengurangi adanya potensi terjadinya salah paham diantara mereka berdua.

Ia ingin sekali menanyakan kabar Gregory; bagaimana harinya, apa saja yang ia lakukan selama sehari penuh. Ia pun berharap pria menghubunginya lebih dulu, menanyakan bagaimana kabarnya, atau membicarakan hal lain.

Vincent lantas merasa bodoh, mengapa ia tidak melakukannya sejak pagi atau bahkan sore tadi?

Ia melirik ke arah jam dinding kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Vincent sebenarnya ingin menghubungi pria itu sekarang, ia sudah tidak bisa menahan rasa rindunya pada Gregory. Namun apakah elok jika ia mengirim pesan atau bahkan menelepon pria itu sekarang?

Akan tetapi, mungkin saja, pria itu baru selesai bekerja dan masih terjaga seperti dirinya, 'kan?

Maka dengan cepat Vincent meraba sisi kasur sebelah kanannya, mencoba mengambil handphonenya yang terletak agak jauh dari jangkauan tangannya. Saat ia berhasil meraih benda itu, tiba-tiba ia teringat akan pertanyaan terakhir yang dilontarkan oleh Timothy dua jam lalu, yang membuatnya sempat menghentikan gerakan kedua ibu jarinya untuk membalas pesan sahabatnya itu.

Pertanyaan yang sedari tadi dibaca oleh Vincent berulang kali. Ia berusaha untuk menemukan jawabannya.

Pertanyaan yang sebenarnya menjadi sumber alasan mengapa ia tidak menghubungi Gregory kemarin, sebelum akhirnya Timothy dengan blak-blakan menanyakan hal itu padanya.

'Why Gregory, of all people?'

Vincent merebahkan tubuhnya lagi pada posisi semula, mengangkat handphonenya sejajar dengan wajahnya, tangan kanannya mengusap-usap pipinya sendiri. Ia menghela napas berat sambil membuka pesan dari sahabatnya itu lagi, hendak membacanya ulang. Timothy tanpa tedeng aling-aling bertanya, apa yang membuat Gregory begitu spesial, sehingga Vincent dengan mudahnya memainkan dua instrumen dengan piano miliknya dan merekamnya, lalu memberikannya pada pria itu.

Ia lantas menggeram, mengambil bantal yang ada disampingnya dan meremas sarungnya hingga kusut. Jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya sudah ia berikan pada Gregory, sesaat setelah pria itu mendengarkan keduanya dan bertanya apa maksud dan tujuan Vincent sebenarnya.

Alasan mengapa Vincent memilih kedua instrumen favoritnya itu untuk dimainkan ulang dan diberikan pada Gregory adalah karena dahulu, ia meraih gelar master musiknya dengan pujian yang luar biasa karena berhasil memainkan keduanya saat ujian akhir. Momen penting itu sempat membuatnya merasa sangat bahagia—Timothy selalu ada disampingnya saat itu, mendukungnya—maka ia berharap, Gregory dapat merasakan bahagia yang sama dengannya.

Vincent hanya ingin memberitahu Gregory, bahwa ia akan terus berada disamping pria itu, mendukungnya sampai ia mencapai titik bahagianya.

Namun sekarang, jawabannya itu terdengar sangat tidak masuk akal. Mana mungkin Gregory bisa tahu jika Vincent tidak menjelaskannya dengan detail? Apakah rasa gugup yang ia rasakan kemarin membuatnya menjadi terlihat aneh dan mencurigakan?

Seketika kedua pipi dan leher Vincent terasa panas. Ia merasa seperti baru saja keluar dari ruang sauna. Ia merasa malu.

Oh, mon Dieu! Apakah itu menjadi salah satu alasan mengapa Gregory sejak kemarin tidak menghubunginya?

Tapi tidak, tidak. Tunggu. Vincent tidak ingin membuat asumsi-asumsi kosong yang tidak perlu. Ia tidak ingin berandai-andai yang akan berakhir dengan memunculkan pikiran-pikiran buruk yang sebenarnya tidak ada sedari awal.

Ia sedari tadi masih menggenggam handphonenya sambil mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya pada benda itu.

Apakah ia harus menghubungi pria itu sekarang?