poetlady

cw // insecure thoughts, financial problem tw // neglected children, hatred towards parents


Bonsoir, à l’hôtel Pullman, s’il vous plaît,” sapa Gregory ramah pada pengemudi taksi daring yang sudah dipesannya sambil melangkah masuk ke dalam mobil. Ia meletakkan tas jinjing yang berisi pakaian dan peralatan mandi miliknya di sampingnya. Ia menyapa pria yang duduk di depannya itu dan mengatakan bahwa ia minta diantar ke Pullman Hotel, sesuai dengan titik tujuan yang dipilihnya via aplikasi.

Malam ini ia akan menginap dengan Thomas, sahabatnya yang baru saja tiba dari Indonesia siang tadi. Gregory menyunggingkan senyum diwajahnya, benar-benar tidak sabar untuk segera bertemu dengan pria yang sebaya dengannya itu.

Delapan tahun berlalu sejak dirinya menginjakkan kaki di Paris. Jujur, ia tidak pernah memiliki keinginan untuk kembali ke Indonesia. Menurutnya, adalah hal yang tidak penting dan hanya menghabiskan uang saja jika ia kembali ke tanah kelahirannya itu. Lagipula, keluarganya tidak pernah mencari atau bahkan menanyakan kabarnya selama ini.

Jadi, untuk apa ia menghabiskan waktunya untuk memikirkan kemungkinan itu? Tidak ada gunanya sama sekali.

Selama itu pula, ia dan Thomas tidak pernah bertemu muka, hanya bertukar kabar secara rutin via telepon, panggilan video dan pesan. Sahabatnya itu adalah satu-satunya orang yang masih berhubungan dengannya dari Indonesia. Bahkan, kedua orang tua pria itu benar-benar sudah menganggapnya sebagai bagian dari anggota keluarga mereka.

Pikiran Gregory melalang buana ke sana kemari, membuatnya lantas menarik napas panjang, seketika merasakan aroma kopi sebagai pengharum ruangan kendaraan itu menyapa indera penciumannya.

Ia merasa bulu kuduknya meremang, dadanya berdegup lebih kencang dari biasanya. Gregory merasa sangat bersemangat untuk bertemu dengan sahabatnya malam ini, orang yang selama ini selalu mendukungnya dan tidak pernah “pergi” saat ia terpuruk.

Apakah Thomas akan terlihat berbeda dari foto yang biasa ia lihat? Apakah sahabatnya itu akan merasa canggung saat nanti bertemu dengannya? Apa yang harus ia katakan dan lakukan saat nanti akhirnya bertemu muka dengan pria yang selalu menjadi suporter dalam hidupnya selama ini?

Ia tidak sadar sudah melamun, kala sopir taksi yang mengantarnya ke Hotel Pullman itu akhirnya membalas ucapannya. “D'accord, tout de suite, Monsieur,” katanya dengan aksen Perancis yang kental. Gregory hanya melemparkan senyum simpul pada pria yang duduk dibalik kemudi itu lewat kaca spion tengah dan kembali memalingkan wajahnya.

Lalu lintas kota Paris hari ini cukup padat, banyak sekali kendaraan roda dua dan roda empat memenuhi jalanan protokol. Pun ia melihat banyak sekali orang yang sedang berlalu lalang dengan pakaian kasual di pinggir jalan.

Gregory lantas berdecak saat menyadari bahwa hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana orang-orang pergi ke luar rumah untuk menghabiskan waktu. Ia lalu melirik ke arah dasbor mobil itu, terlihat pada layar GPS yang menunjukkan waktu tempuh dari apartemen Vincent ke hotel sekitar 30 menit. Padahal, jarak keduanya hanya sejauh tujuh kilometer.

Ia lantas menghela napas berat sambil memeluk dirinya sendiri, mengusapkan kedua telapak tangannya naik turun pada lengannya saat merasakan pendingin ruangan mobil itu perlahan mulai menusuk tulangnya.

Tiba-tiba Gregory teringat bahwa dua hari lagi, ia dan Vincent akan kembali disibukkan dengan rutinitas mereka masing-masing. Kekasihnya akan sibuk dengan klub orkestranya, kembali menjalani latihan yang memerlukan waktu sekitar delapan jam sehari. Ia pun harus segera pergi ke studio untuk membersihkan alat musik miliknya agar dapat digunakan saat latihan.

Maka akhirnya, mereka berdua sepakat untuk menghabiskan hari Sabtu ini dengan kegiatan masing-masing. Vincent sempat memberitahunya bahwa ia akan pergi dengan Maximillian untuk mengunjungi beberapa museum, menghabiskan waktu sebelum akhirnya kembali pada rutinitasnya pada hari Senin.

Gregory lantas mengiyakan, memaklumi kegiatan kekasihnya itu yang akan sangat padat dalam beberapa bulan kedepan, karena latihan yang harus dilakukan untuk mempersiapkan konser yang akan digelar lima bulan lagi.

Ia pun tentu menggunakan kesempatan ini untuk bertemu dengan Thomas, sebelum sahabatnya itu “tenggelam” dalam pekerjaannya yang akan menyita waktu dari pagi hingga malam hari tanpa henti. Sebenarnya, ia pun harus mempersiapkan waktu untuk berlatih di studio, karena Alex, pemilik Caveau de la Huchette hanya memberikan kelonggaran selama seminggu.

Gregory harus menggunakan waktu semaksimal mungkin untuk beristirahat dan latihan, sebelum akhirnya bekerja selama lima hari dalam seminggu.

Ia lantas menghela napas kasar sambil memijat batang hidungnya, berusaha memilah-milah isi kepalanya. Banyak sekali rencana yang ingin ia lakukan, namun waktu yang dimiliki hanya sedikit.

Namun tidak, ia tidak mau memikirkan hal itu terlebih dahulu. Hari ini ia hanya ingin menikmati waktunya dengan tenang tanpa gangguan apapun.

Gregory lalu mengerjapkan kedua matanya dan menarik napas panjang, mengalihkan pandangannya pada jalanan yang terlihat ramai. Ia menundukkan kepalanya sedikit saat melihat Menara Eiffel yang menjulang tinggi, megah dan indah terasa begitu dekat dengannya.

Akhirnya, ia benar-benar dapat menatap menara itu tanpa harus memicingkan mata bulatnya untuk memandang keindahan menara yang dihiasi cahaya lampu kuning pada bagian kaki hingga puncaknya dari jauh.

Sebenarnya, jarak antara hotel tempat Thomas menginap dan Menara Eiffel hanya sekitar 45 meter dengan berjalan kaki, membuatnya lantas tergoda untuk pergi ke sana esok hari. Namun tidak, ia ingin mengunjungi tempat itu dengan Vincent. Kekasihnya itu sudah berjanji akan mengajaknya ke sana, ia tentu tidak akan menyia-nyiakan tawaran pria yang lebih tua dua tahun darinya itu.

Gregory lantas menggelengkan kepalanya sambil tertawa, memikirkan betapa dulu ia sangat membenci kota Paris dengan segala isinya. Ia pun mengingat dirinya sendiri bersumpah pada Thomas bahwa ia tidak akan pernah mau mengunjungi Menara Eiffel yang menurutnya sangat mainstream.

Memang benar kata orang, minuman ternikmat di dunia adalah ludah sendiri.

Tak lama setelahnya, ia melihat sopir taksi daring yang duduk di depannya membelokkan mobil memasuki area hotel Pullman. Sekilas, ia melihat area drop off cenderung sepi, tidak ramai seperti jalanan kota Paris yang penuh sesak.

Gregory lantas mengambil tas jinjingnya saat sopir taksi itu mengatakan bahwa mereka sudah sampai di area lobi hotel. “On est arrivés, Monsieur.” Ia lalu melempar senyum pada pria paruh baya itu sambil mengecek barang bawaannya agar tidak tertinggal. Ia menepuk saku celana jinsnya dan menganggukan kepalanya kemudian saat merasakan bahwa dompet dan handphonenya masih berada di sana.

Ia lalu membuka pintu mobil dan mengucapkan terima kasih pada sopir taksi daring itu sambil melangkahkan kakinya ke luar. “Merci!”

Seorang petugas hotel menyapa Gregory dengan ramah sambil mempersilakannya melangkah ke arah pintu masuk lobi. Ia lalu melempar senyum simpul, mengucapkan selamat malam sambil menaruh tasnya yang berwarna hitam pada x-ray security scanner untuk diperiksa. Gregory mengeluarkan handphone dan dompetnya, menaruh pada kotak berwarna coklat sebelum melangkahkan kakinya melewati walkthrough metal detector yang terlihat lengang. Ia melempar senyum dan mengucapkan terima kasih pada petugas yang menyerahkan tas dan beberapa barangnya sesudah diperiksa.

Sliding door di hadapannya pun terbuka, menyambut Gregory dengan udara dingin area lobi hotel yang seketika menusuk tulangnya. Giginya bergemeletuk tanda kedinginan, membuatnya lantas menyesali keputusannya malam ini hanya mengenakan kaos longgar berwarna abu dengan celana jins favoritnya.

Area lobi hotel itu terlihat sangat luas, interiornya terlihat seperti hotel bisnis. Dindingnya dilapisi keramik bercorak batu bata berwarna abu, lantainya pun mengkilap dengan warna senada. Pilar-pilar yang berperan sebagai penyangga bangunan dilapisi cermin, membuat Gregory lantas dapat berkaca di sana. Walaupun sekilas tidak terlihat mewah seperti hotel berbintang lima lainnya, namun cukup membuat tamu hotel merasa nyaman. Suasana lobi hotel terlihat sepi, tidak begitu banyak orang yang berlalu lalang dan menunggu antrean di depan resepsionis.

Gregory mengedarkan pandangannya, berusaha mencari tempat untuknya duduk, saat akhirnya ia melihat sederet sofa kulit berwarna abu yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Saat ia hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba seseorang meneriakkan namanya dari belakang. Ia sempat tercekat dan membalikkan tubuhnya, lalu terhuyung ke belakang saat seorang pria memeluk tubuhnya dan mengeratkan kedua tangannya pada punggungnya.

“Grego! Gila lo, berubah banget sekarang!”

Thomas berteriak cukup keras ditelinganya, membuatnya lantas meringis dan memukul pelan punggung sahabatnya itu saat ia membalas pelukan pria dengan erat.

“Thomas, what the hell,” balasnya mengumpat sambil tertawa. Ia bisa merasakan sekujur tubuhnya tak lagi tegang, seketika merasa rileks karena bertemu dengan seseorang yang membuatnya nyaman tanpa harus memikirkan apapun sama sekali. Ia lalu mengangkat tangannya untuk menjitak pelan bagian belakang kepala sahabatnya itu sebelum akhirnya menarik tubuhnya dan kedua tangannya. “Gila lo ya, Thom, kayak lagi di hutan. Urat malu lo fix putus deh, kayaknya, nyet?”

Sahabatnya itu hanya memutar kedua bola matanya sambil tersenyum jahil. Pria itu terlihat sangat modis dengan mengenakan kaos oblong berwarna putih tanpa lengan yang memamerkan beberapa tatonya pada bagian lengan. Pun ia memakai topi berwarna hitam polos yang terlihat sangat cocok.

Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya heran. Sahabatnya itu sungguh sangat berbeda, terlihat mapan dan sukses.

Apakah yang ia pikirkan masuk akal? Ia sendiri tidak tahu.

“Bacot lo,” balas pria yang berdiri di hadapannya itu sambil mendorong bahu kanannya, lalu merangkulnya lagi untuk memeluknya. “Gila, kangen banget gue. Makin cakep aja lo sekarang, Gre,” sambungnya asal sambil memperhatikan dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat Gregory lantas memutar kedua bola matanya. “Lo nggak jadi ajak Vincent sekalian? Padahal mau gue godain.”

Gregory menggeram, menjulurkan tangannya untuk menyentil dahi sahabatnya itu keras. “Bangsat lo,” sahutnya terkekeh saat mendengar Thomas meringis dan mengusap dahinya kasar. “Gue sudah bilang nggak akan ajak dia kalau masih mau lo genitin.”

Sahabatnya itu hanya menjulurkan lidahnya sambil mengacungkan jari tengah, sambil terlihat mengecek handphonenya, seperti sedang bertukar pesan dengan seseorang.

Ia lalu tersadar bahwa saat ini Thomas hanya sendirian, tidak ada sosok manajer yang katanya selalu menemaninya ke mana pun sahabatnya itu pergi. “Anyway, where's your manager, Thom?”

Thomas berdecak sambil memasukkan handphonenya kedalam saku celananya. “Ah, dia lagi sightseeing katanya. Sepuluh menit lagi balik. Kamar dia hanya beda beberapa kamar kok dari gue, so it should be fine.” Sahabatnya itu melangkahkan kaki ke arah lift, membuatnya lantas mengekor dari belakang. “Naik ke kamar, yuk, Gre? Gue butuh banget mandi, nih.”

Gregory lantas mengangguk, melangkahkan kakinya agak cepat untuk berjalan bersisian dengan sahabatnya itu. “Gue senang banget bisa ketemu lo, Thom,” katanya saat mereka berdua memasuki lift. “Akhirnya ya, setelah delapan tahun.”

Sahabatnya itu terlihat memencet tombol angka sepuluh dan menyandarkan tubuhnya pada dinding lift yang dilapisi kaca. Thomas tersenyum lebar. “Soft hoursnya nanti saja, please? I really need to shower, Gre. Lo nggak mau kan kita ngobrol tapi guenya masih bau?”

Mendengar sahabatnya berkata demikian sambil tertawa renyah, ia akhirnya mencibir dan mengiyakan usul pria itu. “Sialan lo, but okay.”


What the fuck, bro.”

Hanya itu yang dapat Gregory ucapkan saat melangkah masuk ke dalam kamar yang ditempati oleh sahabatnya sambil membawa tas hitam miliknya. Ia mendengar Thomas tertawa terbahak-bahak sambil menutup pintu kamar itu pelan.

Gregory tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Kedua mata bulatnya terbelalak, tidak bisa berkata-kata saat melihat Menara Eiffel menjulang tinggi, terlihat jelas dari jendela kamar hotel sahabatnya itu. Ia lalu meletakkan tasnya diatas meja terdekat, mengganti sepatu boots yang dikenakan dengan sandal ruangan. Ia lalu melangkahkan kakinya ke arah jendela, mengambil remote yang menggantung di sudut ruangan untuk membuka tirai jendela.

I chose this room view for you, Gre,” jelas Thomas santai sambil melepaskan topinya dan meletakkannya diatas kasur. “Lumayan lah, lo katanya mau cari hotel yang menghadap ke arah Eiffel Tower, kan? Anggap saja ini trial. Gue tahu lo sudah mengincar hotel lain, but I guess you can consider this one as well.”

Thomas dengan segala kecongkakannya. Ia menggeleng tidak percaya, lalu membalikkan tubuhnya dan menatap mata sahabatnya itu lekat sambil berkacak pinggang. Thomas terlihat sedang merebahkan tubuhnya menghadap ke langit-langit kamar sambil memejamkan mata, seperti menikmati kasur yang sangat empuk itu.

Ia lalu melangkah ke arah kasur dan melepaskan sandalnya, merangkak naik dan merebahkan tubuhnya di samping Thomas. Kasur itu sangat luas, sepertinya cukup untuk dipakai oleh empat orang sekaligus. “Dasar orang kebanyakan duit ya, lo, but thanks a lot, though.”

Gregory menghela napas, merasakan betapa lembut kain seprai yang digunakan sebagai pelapis kasur itu. “Pacar lo ngamuk nggak ini kita nginap bareng, bro night kayak gini, Thom?”

Ia mendengar sahabatnya menghela napas di sampingnya, lalu menghadapkan tubuhnya ke arahnya dan menopang kepalanya dengan tangannya. “Gue nggak bilang akan ketemu lo. Biarkan saja,” jawabnya sambil mencebik. “Kemarin gue berangkat juga dia masih ngambek, kesal karena dia nggak bisa ikut.”

Oh? “Oh, tadinya dia mau ikut ke Paris?” Gregory bertanya, berusaha mengatur nadanya sedemikian rupa agar tidak terdengar seperti orang yang sedang penasaran.

Thomas mengusap wajahnya kasar dengan tangan kirinya. “Ya, tapi dia ada jadwal latihan balap. Ya sudah,” balasnya singkat, lalu menyambung lagi. “Kayak lo nggak tahu saja mimpinya dia dari dulu kayak apa, Gre.”

Gregory hanya bisa menggumam sambil memikirkan banyak hal. “I sometimes still can't believe you're now in a relationship with my ex, Thom.”

Sahabatnya itu tertawa sambil mengangkat tubuhnya, menjulurkan tangannya untuk mengambil bantal yang cukup tebal. Pria itu lalu meletakkan kepalanya diatas bantal sambil memejamkan kedua matanya. Gregory akhirnya menoleh, lalu menyampingkan tubuhnya ke arah Thomas. “Iya, setelah tujuh tahun lo putus dari dia, 'kan. He changed a lot, Gre, just so you know.”

Ia mendesis sambil mengumpat. “Gue nggak perlu tahu juga sih gue, Thom,” katanya asal. “I don't care.”

“Ye, monyet.”

Gregory tertawa terbahak-bahak mendengar respon pria yang ada di sampingnya itu. “Lo buruan mandi deh, gue mau nongkrong di balkon sambil foto Eiffel Tower dulu. Gue kebetulan bawa kamera, tadinya untuk portfolio gue.”

Ia melihat Thomas mengangguk lalu menegakkan tubuhnya. Pria itu lantas berjalan ke arah koper dan membuka barang bawaannya yang terlihat sangat banyak itu. “Okay, deh. Lo langsung pesan makanan saja ya, room service. Sekalian a bottle of wine ya, Gre. Sepertinya di hotel ini jual wine favorit kita, deh.”

Thomas terlihat membawa pouch kecil berisi peralatan mandinya sambil melangkah ke arah kamar mandi dengan cepat. Ia lantas terkekeh, kebiasaan sahabatnya itu sejak dulu belum juga hilang.

Alright, nanti gue pesan,” balasnya sambil setengah berteriak.

Saat Gregory sudah mendengar pintu kamar mandi terkunci, ia lantas melangkah ke arah balkon sambil membawa sebotol bir yang diambilnya dari mini bar. Ia lalu menarik kursi di sana untuk mengambil duduk, merogoh saku celananya dan mengambil handphonenya.

Ia membuka aplikasi kamera, mengabadikan menara yang menjulang tinggi di hadapannya sambil tersenyum, berusaha menahan tiupan angin yang cukup dingin dan membuat bulu kuduknya meremang. Setelah dirasa cukup, ia lalu mengirimkan beberapa foto pada Vincent sambil mengetik pesan untuk kekasihnya itu: Bonsoir Vin sayang, look at this view! It's so beautiful, no? Wish you were here, though. I love you!

Gregory lalu memencet tombol send, tidak memerlukan waktu lama hingga akhirnya ia mendengar nada dari benda itu, tanda Vincent sudah membalas pesannya. Ia lantas tersenyum lebar saat membuka pesan pria yang dicintainya itu: Bonsoir, my love. It is, indeed. Do you love it? I will book a room for us though, with a much better view, if you do. Kamu mau, Gregory? Kabari aku ya. Have fun, Beau.

Ya, Gregory benar-benar mencintai pria itu.


“Jadi, gimana perkembangan lo di Paris, Gre?”

Thomas bertanya padanya sambil memegang segelas wine pada tangan kirinya. Saat ini mereka berdua tengah duduk santai di balkon kamar hotel sambil menikmati makanan yang tadi dipesan oleh Gregory. Beruntunglah servis hotel ini sangat bagus, tidak membutuhkan waktu lama sampai akhirnya seorang karyawan restoran hotel mengetuk pintu kamar Thomas dan mengantarkan pesanan mereka.

“Ya begitu saja, Thom, nothing special,” jawabnya singkat sambil meminum birnya. “Hanya sekarang gue benar-benar melepaskan pekerjaan gue di Les Disquaires dan mau fokus di de la Huchette saja.”

Ia mendengar sahabatnya itu menggumam, lalu menoleh ke arahnya sambil mengernyitkan dahi, seperti bisa membaca pikirannya hanya dari nada jawabannya barusan. “Lo jadi pindah apartemen, Gre?”

Gregory meletakkan botol bir yang dipegangnya diatas meja, lalu mengangkat kedua tangannya untuk mengusap wajahnya kasar. Mendengar pertanyaan Thomas membuatnya lantas mendengus. “Jadi, tapi ya begitulah. Gue tidak ada cukup uang untuk sewa apartemen lagi untuk sekarang ini. Sedangkan landlord di apartemen gue sekarang sudah menagih uang sewa annually this time.” Ia menjelaskan hal yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya panjang lebar pada Thomas. “Apa nggak pusing jadi gue?”

Thomas menghela napas berat, meminta maaf padanya karena telah menanyakan hal yang cukup sensitif untuknya. Gregory hanya menggumam sambil kedua mata bulatnya memandangi Menara Eiffel yang lampunya terlihat berkelap-kelip.

Do you even know I still have a debt, Thom?” Ia bertanya tiba-tiba pada sahabatnya, membuat pria yang sedang duduk di sampingnya itu lantas menegakkan tubuhnya.

Kedua mata mereka akhirnya bertemu. Gregory dengan sorot matanya yang teduh, dengan kedua mata Thomas yang terbelalak, seperti terkejut.

“Masih?” Ia melihat Thomas mengernyitkan dahi kebingungan, pria itu terdengar khawatir. Gregory hanya bisa mengangguk lemah, sambil menggigit kukunya sendiri. “I thought it's already done few years ago?”

Ia lantas menghela napas kasar sambil menggeleng, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Recently, nyokap telepon gue. Tanya keadaan gue bagaimana. After all these years, aneh banget, 'kan?”

Gregory dapat mendengar napas sahabatnya itu tercekat saat mendengar jawabannya barusan.

“Akhirnya kita ngobrol, lumayan lama lah. Tapi ya begitu, ternyata ujung-ujungnya minta gue kirim uang ke Indonesia.”

Thomas lantas menjawab dengan cepat. “Lo serius?” Ia hanya bisa mengangguk, masih menutup wajahnya malu dan lelah. Mengapa masalah tidak berhenti menyerang dirinya? “What the hell, Gre. Kok lo nggak pernah bilang gue?”

Ia menggeleng sambil menarik telapak tangannya, menyugar rambutnya yang gondrong kemudian, lalu tersenyum ke arah sahabatnya. “Buat apa? Toh, gue nggak akan minta tolong bantuan lo juga, Thom. I can do it on my own, hopefully.

That's why, gue ngoyo banget mau pindah ke de la Huchette as soon as possible,” jawabnya singkat, sambil mencoba mencairkan suasana dengan mengambil sumpit, membukanya dan mengambil sepotong salmon sashimi yang dipesannya tadi.

Thomas menegakkan tubuhnya, kembali mengernyitkan dahinya sambil meraih sumpit miliknya untuk mengambil sepotong sushi. “Does your boyfriend know any of this?”

Mendengar pertanyaan sahabatnya itu, ia hanya bisa tertawa disela-sela mengunyah makanannya. “Of course not. Dia hanya tahu itu bar impian gue, which is true. Selebihnya ya, baru kali ini gue cerita ke lo.

“Setelah seminggu gue luangkan waktu untuk berpikir, akhirnya keputusan gue sudah bulat. Gue nggak akan pulang ke Indonesia sampai gue mampu membayar uang yang mereka keluarkan untuk membiayai pendidikan gue di Paris. Jujur gue lelah kalau harus dikejar oleh mereka terus, Thom,” jelasnya sambil meraih segelas air mineral dan meneguknya hingga habis. “Mereka sendiri yang melempar gue ke kota ini, kenapa mereka malah meminta gue kembalikan uang mereka?”

Sahabatnya itu bertanya sambil memiringkan kepalanya, melipat kedua kakinya untuk duduk bersila. “Memangnya lo mau pulang dalam waktu dekat, Gre?”

Gregory menggelengkan kepalanya sambil menggumam. “Tidak juga, sih. You know how much I despise them both.”

Yeah, I remember. You remind me almost everyday, bro.” Sahabatnya itu terdiam, memberi jeda pada kata-katanya sendiri, seperti sedang berpikir keras. Thomas lalu bertanya padanya, seperti berhati-hati dengan kalimatnya sendiri. “Lo nggak mau minta tolong ke Vincent saja? I'm sure he'll help you.”

Ia menggigit bibir. Hell, apa yang dikatakan oleh sahabatnya barusan menempati posisi terakhir dalam pilihannya. Ia tidak akan pernah mau mengungkit dan membahas masalah ini dengan kekasihnya, karena ia tahu, Vincent akan bersedia membantunya tanpa berpikir dua kali. “Gue nggak mau ganggu privasi dia, lagipula gue pun masih ingin ada privasi.”

“Ya juga sih,” celetuk Thomas sambil terlihat menegak isi gelas winenya hingga tandas. Ia lalu meletakkan gelas itu diatas meja dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. “Terus, rencana lo apa, Gre?”

Rencana.

Sejujurnya, ia sama sekali belum memikirkan rencana apakah yang harus ia lakukan. Isi kepalanya masih dipenuhi dengan keinginannya untuk segera pulih dari sakitnya dan berlatih. Gregory tahu, ia tidak mungkin selamanya tinggal di apartemen Vincent.

Ia merasa malu dengan kekasihnya, dengan teman-teman dekat Vincent yang selama ini sudah membantunya. Ia tidak ingin terus-terusan merepotkan mereka.

Tidak. Ia harus segera memikirkan rencana selanjutnya.

Maka dengan spontan, Gregory berkata pada sahabatnya tanpa berpikir. “Gue kayaknya mau cari apartemen yang murah saja. Murah dalam artian tidak sampai dua juta per bulan deh. Sampai gue ada uang untuk sewa yang lebih layak.”

Tiba-tiba Thomas tersedak, membuatnya lantas dengan sigap mengambil beberapa helai tisu dan memberikannya pada sahabatnya itu. Wajahnya terlihat memerah, entah apa ada isi mulutnya yang dimuntahkan oleh sahabatnya itu barusan. “Hah? Lo yakin?” Pria itu bertanya sambil menyeka mulutnya. “Gue rasa Vincent nggak bakal membiarkan lo tinggal di tempat yang kurang layak deh, Gre.”

Ya, ia tahu, Vincent pasti tidak akan membiarkannya. Namun, ia tidak mungkin terus-terusan membiarkan dirinya sendiri dikasihani dan dibicarakan oleh orang lain, 'kan?

“Gue nggak mau orang-orang di luar sana melihat gue pacaran dengan dia hanya karena dia tajir, Thom. I don't want it,” jawabnya sambil menghela napas berat. Ia lalu mengangkat kedua kakinya, lalu mengulurkan kedua tangannya dan memeluk betisnya.

Thomas lalu mencolek lengannya, membuatnya lantas menolehkan kepalanya ke arah pria itu. “Menurut gue ya, Gre, lo pacarannya sama Vincent seorang, bukan sama “orang-orang di luar sana”, 'kan?” Sahabatnya itu bertanya padanya sambil menggerakkan kedua jari telunjuk dan tengahnya, membuat tanda kutip. “Kalau Vincent tidak pernah berpikir seperti apa yang lo pikirkan, ya sudah, lo nggak perlu terlalu memikirkan apa kata orang.”

Ya, ia tahu hal itu. “I know, but it's kinda hard, Thom.”

Thomas tersenyum ke arahnya dengan penuh arti. “Sekarang hanya ada dua, Gre. Lo itu merasa tidak bisa, atau memang tidak mau, maka lo bilang tidak bisa?” Sahabatnya itu bertanya tanpa basa-basi, membuatnya seketika berpikir.

That's two different things. Tidak mau dan tidak bisa, adalah dua hal yang berbeda.”

Kata-kata sahabatnya itu membuatnya tertohok, menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Thomas adalah benar adanya.

Jadi selama ini, ia tidak bisa, atau tidak mau?

⚠️ cw // insecurities, self-doubt, overthinking ⚠️ tw // implied anxiety, unconsciousness, freezing*

ps. tolong bantu aku cari cw/tw yang sesuai untuk kata (*) diatas ya, terima kasih!


Gregory menghabiskan waktu sepuluh menit untuk berbicara dengan Thomas lewat telepon. Ia menceritakan kejadian malam ini secara lengkap pada sahabatnya itu dengan suara terbata-bata, giginya bergemeletuk karena menahan udara dingin kota Paris yang kerap menusuk tulangnya.

Saat ini ia sedang duduk di atap apartemen Vincent. Ia menyandarkan tubuhnya lemas pada kursi yang menjadi saksi bisu saat kekasihnya itu menjadi tuan rumah pesta barbekyu beberapa waktu lalu.

Jujur, ia hampir menangis saat menceritakan rentetan kejadian itu secara lengkap. Ia menghabiskan waktu selama enam menit untuk mencurahkan isi hatinya, sambil berusaha menahan emosinya sendiri. Selebihnya digunakan oleh sahabatnya itu untuk menasihatinya panjang lebar tanpa henti.

Ia bergeming, diam seribu bahasa saat mendengarkan kata demi kata yang Thomas ucapkan sambil meringkuk, seperti seekor kucing kurus yang sedang kedinginan. Ia menjepit handphonenya dengan bahunya, menempelkannya pada telinga sambil menelengkan kepalanya.

Seketika kedua matanya yang bulat menangkap deretan cahaya lampu berwarna kuning yang menghiasi Menara Eiffel dari kejauhan. Indah sekali, persis seperti apa yang dilihatnya malam itu dengan Vincent.

Gregory lantas mengingat betapa kekasihnya itu dengan penuh kasih sayang menyisipkan jemarinya diantara surai hitamnya yang gondrong, menyisir helai rambutnya yang pendek dan menyelipkannya dibelakang telinganya.

Mengingat satu diantara kumpulan memori yang istimewa dengan Vincent membuat Gregory meringis, sambil kedua tangannya mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri. Ia menghela napas berat, merasakan kedua matanya perih karena udara yang dingin sekaligus menahan tangis. Ia lantas menyudahi pembicaraannya dengan Thomas dan memutuskan sambungan telepon, menaruh handphonenya kemudian diatas meja dengan asal.

Pakaian yang ia kenakan saat ini sangat tipis, hanya kaus oblong tanpa lengan dengan lubang yang cukup besar pada bagian ketiak dan celana pendek yang biasa dikenakan saat tidur. Gregory merasakan jemarinya tangan dan kakinya sudah mulai kaku. Ia sangat kedinginan, tidak peduli jika esok hari akan masuk angin atau jatuh sakit.

Sebenarnya ia bisa saja kembali ke kamar tamu sambil menunggu Vincent yang sedang menghilang entah ke mana. Kekasihnya itu memberitahunya bahwa ia sedang ke luar apartemen untuk mencari udara segar.

Ia mendengus sambil merasakan bibirnya sendiri bergetar. Tidak mungkin. Pria itu pasti sedang merasa kecewa dan marah padanya, 'kan?

Gregory rasanya ingin berteriak sekencang mungkin hingga suaranya serak, seperti orang yang sedang kesetanan. Ia merasa bertanggung jawab atas pertanyaan Vincent yang dilontarkan padanya beberapa saat lalu. Pria itu meragukan dirinya sendiri, karena respon yang ia berikan saat melihat kekasihnya memberikan sebuah gitar sebagai hadiah untuknya.

Saya sepertinya salah terus ya, Gregory?

Ia lantas memejamkan mata, menekannya dengan kedua telapak tangannya. Ia menggigit bibirnya terlalu dalam, merasakan permukaannya yang kering karena dinginnya udara kota Paris malam ini perlahan mulai lecet.

Gregory menengadahkan kepalanya, melihat langit yang gelap berwarna hitam pekat, membuatnya mengernyitkan dahi sambil menahan rasa nyeri yang muncul dalam dadanya.

Mengapa ia begitu bodoh? Hubungannya dengan Vincent yang baru seumur jagung tidak akan terus-menerus seperti ini, 'kan?

Mereka berdua... hanya memiliki masalah komunikasi, 'kan? Ia dan Vincent hanya belum begitu mengenal satu sama lain dalam mengendalikan emosi saat bertengkar, 'kan?

Berbagai pertanyaan seketika muncul dalam kepalanya, membuat kepalanya terasa pusing dan berdentam. Gregory menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tidak ingin memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang membuat dadanya semakin sakit. Hatinya seperti dipukul oleh palu berulang kali, membuatnya retak sedikit demi sedikit.

Namun tidak, Gregory tidak ingin membiarkannya begitu saja sampai hatinya hancur berkeping-keping.

Pandangannya mulai buram, ia merasakan air mata sudah menggenang pada pelupuk matanya, hanya tinggal menunggu waktu untuk tumpah dan membasahi kedua pipinya lagi. Dari dalam kepalanya hanya terdengar suara Vincent saat mengatakan “Saya” berulang kali.

Ia merasa hubungannya dengan Vincent mundur seratus langkah.

Gregory tidak mau kembali ke awal, merasakan bagaimana seorang Vincent bersikap sangat kaku dan cuek. Ia tidak mau.

Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus mengejar Vincent ke luar apartemen dan menghubunginya hingga pria itu mengangkat teleponnya? Atau apakah ia harus membanjiri kekasihnya dengan pesan bertubi-tubi sampai pria itu membaca dan membalasnya?

Ataukah... ia harus menunggu sampai emosinya dan Vincent mereda?

Gregory sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ini adalah kali pertama mereka bertengkar. Seketika ia menyesali perlakuannya pada Vincent tadi, saat pria itu menutup kedua mata bulatnya dengan telapak tangannya dan menuntunnya ke arah jendela kamar tidurnya.

Seketika ia menyesali respon yang ia berikan saat melihat sebuah gitar berwarna hitam pekat berdiri dengan cantik di hadapannya.

Ia mengingatnya dengan jelas dan merekam dalam otaknya, raut wajah Vincent saat mendengarnya menghela napas, menepis tangan pria itu dengan kasar sambil menggelengkan kepala. Kekasihnya itu terlihat bingung dan mengernyitkan dahi. Sorot kedua matanya terasa asing, membuat Gregory lantas membelalakan kedua matanya, saat menyadari bahwa ia sudah kelewatan.

Sejujurnya, kekesalannya pada Vincent karena pria itu benar-benar tidak memberinya kabar sama sekali masih membekas dihatinya. Rasa kesal itu dibiarkan menumpuk dan akhirnya meledak begitu saja. Ia lantas menghela napas, memijat batang hidungnya dan melangkah keluar dari kamar Vincent tanpa sepatah katapun, tidak menghiraukan kekasihnya yang memanggil namanya dengan nada khawatir.

Ia lalu meninggalkan Vincent di sana, sambil berulang kali merapalkan kata maaf dalam hati, tanpa menolehkan kepalanya sama sekali. Ia menyesal telah membanting pintu kamar Vincent cukup keras, membuat dirinya sendiri berjengit karena terkejut.

Gregory tahu, sangat tahu, tidak seharusnya ia dengan seenaknya “menolak” pemberian Vincent tanpa alasan, yang pada akhirnya membuat pria itu mempertanyakan dirinya sendiri.

Tidak seharusnya ia bersikap seperti orang berengsek dan melampiaskan kekesalannya pada kekasihnya sendiri. Padahal dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa Vincent hanya ingin memberikan hadiah kecil untuknya, memberikannya kejutan yang mungkin akan membuatnya senang dan bahagia.

Namun jika Gregory boleh jujur, ia tidak ingin perbedaan antara dirinya dan Vincent serta merta membuat kekasihnya itu menghujaninya dengan sesuatu yang mewah dan berlebihan. Bagaimana ia harus membalas pemberian kekasihnya itu? Bagaimana ia harus membalas segala perlakuan manis kekasihnya itu? Ia teringat bagaimana Vincent dengan mudahnya mengajaknya pergi ke Versailles tanpa beban, mengajaknya makan siang dan/atau makan malam di restoran mewah tanpa berpikir panjang?

Apa yang harus ia lakukan untuk membalas semuanya itu?

Waktu terus berlalu, malam semakin larut. Langit semakin terlihat pekat, tidak tedengar lagi suara obrolan orang yang ada di sekitar gedung apartemen Vincent. Gregory masih menengadahkan kepalanya ke langit, tidak peduli dengan rasa nyeri yang perlahan menjalar pada tubuhnya akibat udara yang terlalu dingin. Ia pun tidak peduli dengan rasa pegal luar biasa pada tengkuk lehernya karena menggantungkan kepalanya pada sandaran kursi tanpa bergerak sedikitpun.

Gregory lelah, ia hanya ingin tidur, memejamkan matanya dan beristirahat hingga esok hari. Rasa kantuk yang sedari tadi menggelayut pada kantung matanya pun sangat sulit untuk dilawan. Sekujur tubuhnya terasa lemas, tidak mampu untuk berdiri dan melangkah menuruni anak tangga dan kembali ke kamar tidurnya.

Ia merindukan Vincent, di manakah pria itu saat ini?

Ia lalu tertawa getir, mengingat kejadian tadi malam saat ia mengutarakan isi hatinya pada Vincent secara tiba-tiba.

Gregory mengatakan bahwa ia mencintai kekasihnya itu saat mereka hendak pergi tidur.

Namun, rasa kecewa perlahan menggerogoti hati dan pikirannya, saat ia tidak kunjung mendengar jawaban apapun dari mulut Vincent. Ia hanya merasakan hangat tubuh kekasihnya itu saat merengkuhnya dengan erat dan satu kecupan yang cukup lama pada keningnya.

Apakah Vincent belum mencintainya?

Kekasihnya itu tidak mungkin tidak mendengar apa yang ia katakan malam itu. Mustahil.

Ia sepertinya harus berhenti menerka-nerka dan menyakiti hatinya sendiri.

Vincent... pasti mencintainya, 'kan?

Gregory masih fokus dengan pikiran buruk dan rasa sakit pada tubuhnya saat ia samar-samar menangkap suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Ia tidak sanggup menoleh, sekujur tubuhnya lemas, merasa tidak ada lagi tenaga untuk mencari tahu siapa yang sedang menaiki anak tangga dan hendak menghampirinya.

Ia merasa pusing, kepalanya berputar seperti sedang menaiki sebuah wahana di taman bermain. Perutnya mual, tenggorokannya pun terasa panas dan kering. Sekujur tubuhnya terasa terbakar ditengah dinginnya udara kota Paris, sepertinya ia benar-benar akan jatuh sakit dan terserang penyakit demam malam ini.

“—gory?” Suara itu terdengar khawatir. Siapakah orang itu? “Beau, are you okay?”

Sebentar, hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilnya dengan sayang seperti itu. Apakah Vincent benar-benar sudah kembali dan sekarang berada di sampingnya?

Apakah sumber suara itu berasal dari kekasihnya sendiri, atau semua ini hanya halusinasinya saja?

Ia tiba-tiba merasakan suhu tubuh yang hangat pada dahinya, sepertinya telapak tangan seseorang sedang menyentuhnya?

Mon dieu, Gregory, you're burning,” ujar suara itu dengan nada khawatir. Pria itu menyebut namanya, lengkap dengan aksen bahasa Perancis yang khas.

Burning?

Do you mind if I carry you? Gregory, kamu bisa dengar aku?”

Kamu. Aku... suara itu.

Gregory sebisa mungkin menganggukkan kepalanya. Ia tidak sanggup membuka matanya yang terasa berat. Namun ia dapat merasakan seseorang mengangkat kepalanya dengan hati-hati, lalu mengalungkan lengannya pada lehernya. Ia pun merasakan lengan lainnya berada dibelakang lututnya, seperti hendak menggendongnya.

Beau,” bisik pria itu ditelinganya. Gregory merasakan hembusan napas yang hangat menyapu lembut pipi kanannya. Ia lalu merasakan seseorang mengecup pelipisnya. Bibir pria itu kering, membuatnya merasa geli. Namun suara pria itu terdengar khawatir. Ada apa? “Please answer me. Please nod or anything, Gregory. Please.”

Ia mengernyitkan dahi saat mendengar suara pria asing itu meminta. Ia lalu menganggukkan kepalanya pelan sambil meringis, merasakan nyeri luar biasa pada tengkuk lehernya.

Gregory mendengar pria itu merutuk pelan sambil menggeram. “Thank fuck.” Ia lalu merasakan tubuhnya terangkat, tidak lagi terkulai diatas kursi besi yang membuat sekujur tubuhnya sakit.

Ia merasakan pria itu menggendongnya dengan kuat, tubuhnya seperti terbang melayang-layang. Ia berusaha menelan air liurnya namun tenggorokannya terasa kering dan sakit.

Ia mencoba membuka mulutnya, berusaha mengatakan satu kata pada pria itu.

“V... Vin,” ucapnya pada pria itu sambil berbisik, nyaris tanpa suara. Ia dengan susah payah membuka mulutnya lagi, ingin bertanya untuk mendengar suara pria itu lagi. “S... s-sayang?”

Yes, Beau,” jawab pria itu cepat sambil mengecup dahinya. “This is Vincent. This is me, don't worry.”

Ia mendengar suara kekasihnya itu menggema ditelinganya berulang kali, hingga akhirnya suara itu hilang dan ia tertidur.

⚠️ cw // sign of tipsy, insecurities, self doubt, scared with a reason* ⚠️ tw // family issues, neglected children*

ps. tolong bantu aku cari cw/tw yang sesuai untuk kata (*) diatas ya, terima kasih!


No wonder you asked me to open the door for you, Gregory,” ujar Vincent saat membuka pintu kamar tidurnya. Gregory, seorang pria yang baru beberapa hari menjadi kekasihnya itu, saat ini sedang berdiri di ambang pintu kamarnya dengan membawa banyak sekali barang.

Ia menggelengkan kepalanya heran, mencoba menghitung berapa banyak barang yang dibawa oleh kekasihnya itu.

Pria itu terlihat seperti seseorang yang sedang akan pindah rumah.

Gregory menjepit sebuah bantal tidur diketiaknya, dua gelas wine yang kakinya diselipkan pada jari tangannya, sedang tangan kanannya memegang satu botol wine serta handphonenya.

Sebenarnya, Vincent tadi sedikit berbohong saat menerima pesan dari kekasihnya itu. Ia tidak sedang membaca buku, melainkan sedang memandangi lembaran partitur miliknya yang akan dipakai saat konser orkestranya nanti.

Sejujurnya, ia sudah rindu mengayunkan baton stick dan memainkan biolanya di gedung pertunjukan yang megah—tempatnya dan klub orkestranya berlatih. Walaupun waktu breaknya akan berakhir dalam beberapa hari lagi, namun ia sudah tidak sabar untuk kembali “menenggelamkan diri” dalam rutinitasnya itu.

Ia rindu dengan kegiatan yang membuat dirinya selalu lupa dengan waktu. Ia merindukan adrenalin yang terpacu saat mengayunkan stiknya, mendengarkan lantunan melodi dan melebur menjadi satu.

Ia sangat merindukan sensasi itu.

Kenyataan bahwa konser orkestranya akan digelar lima bulan lagi, membuatnya seringkali merasa was-was setiap malam. Ia tidak bisa tidur, hanya karena memikirkan progress klubnya; apa yang harus ia lakukan saat kembali berlatih dengan klub orkestranya nanti?

Vincent merasa khawatir, apakah dengan beristirahat selama sepekan dan tidak menyentuh alat musik serta baton stick miliknya, akan membuatnya lupa dengan keahliannya? Apakah menghabiskan waktu dengan kekasihnya dan teman-temannya beberapa hari belakangan, akan membuatnya lupa dengan pieces yang akan ia mainkan saat konser nanti?

Sebuah pertanyaan lain yang tidak kalah penting pun selalu muncul dalam kepalanya, memaksa otaknya untuk berpikir dan menemukan solusinya sesegera mungkin.

Apakah ia mampu membagi waktunya antara orkestra dan Gregory?

Walaupun ia akui, semuanya berjalan persis seperti apa yang sudah ia pikirkan dan rencanakan dengan matang. Kebiasaan Vincent untuk mengatur apapun agar sesuai dengan keinginannya itu tidak serta merta bisa dihilangkan.

Selama beberapa hari belakangan, ia sibuk memikirkan bagaimana caranya agar dapat membagi waktu antara cita-cita dan cintanya.

Vincent bukannya tidak menikmati waktunya dengan Gregory akhir-akhir ini. Sama sekali tidak.

Ia hanya merasa takut, jika suatu saat nanti salah satu atau bahkan keduanya akan hancur berantakan, hanya karena ia tidak mampu membagi waktu untuk kedua hal terpenting dihidupnya saat ini.

Apakah ia mampu?

Ia lantas berdecak, berusaha menyingkirkan kegundahan hatinya dan rasa rindu pada ambisi nomor satunya itu. Vincent saat ini ingin memfokuskan perhatiannya pada pria yang ada di hadapannya itu.

Keinginannya untuk meneruskan kegiatannya dengan lembar partiturnya tadi pun hilang seketika, saat melihat Gregory menyunggingkan senyum lebarnya diambang pintu.

Raut wajah kekasihnya terlihat ceria dan bersemangat, membuat Vincent refleks menyunggingkan senyumnya. Sepertinya pria itu masih dalam suasana bahagia, mengingat bahwa ia sudah resmi menjadi bagian dari penyanyi di Caveau de la Huchette, sebuah bar yang ternyata merupakan tempat yang diimpikannya sejak lama.

Vincent pun merasa bahagia, melihat bagaimana Gregory perlahan-lahan memanjat tangga bahagianya sendiri dan mulai mencapai impiannya sedikit demi sedikit.

Menurutnya, pria yang lebih muda dua tahun darinya itu benar-benar layak mendapatkannya.

Gregory terlihat kesulitan membawa barang-barangnya, maka dengan sigap ia mendorong pintu kamarnya lebar-lebar dengan sikunya dan mengambil gelas wine yang terlihat sebentar lagi akan meluncur dari sela-sela jari kekasihnya itu.

I just want to celebrate the news with you again,” balas pria itu singkat sambil melangkah masuk dalam kamarnya. Ia lalu duduk dipinggir kasur, melepaskan sandal yang dikenakan dan mengangkat kakinya untuk bersila. “Besides, I can't drink my wine alone. I hope you like my cheap wine, Vin.”

Vincent yang sedang sibuk menaruh barang-barang bawaan kekasihnya itu hanya menggumam, lalu melirik ke arah jam yang terletak diatas nakas. Jam kesayangannya itu menunjukkan waktu pukul sepuluh malam. Ia bersyukur, setidaknya mereka berdua masih memiliki banyak waktu.

Ia lalu menengok, melihat Gregory sedang melirik ke arah sisi kasur sambil memiringkan kepalanya. Kekasihnya itu mengernyitkan dahinya saat melihat lembaran partitur yang berserakan di sana. “Aku mengganggumu, ya?”

Vincent menggelengkan kepala, ia lalu melangkahkan kakinya dan berdiri persis di depan kekasihnya yang sedang duduk dipinggir kasur. “Tidak sama sekali.” Ia menganjurkan tangannya dan menyisir surai hitam pria itu dengan lembut. Rambutnya terasa sedikit basah. “How can I help you, Beau?”

Sungguh, mengucapkan satu kata itu selalu membuat bibir Vincent berkedut. Seumur hidupnya, ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan memanggil seseorang dengan panggilan istimewa seperti ini. Menurutnya, panggilan itu adalah sesuatu yang berlebihan.

Untuk apa mempunyai panggilan istimewa yang dikhususkan untuk orang lain?

Ia tidak pernah menganggapnya sebagai hal yang penting. Ia justru membencinya, hingga akhirnya secara tidak langsung, Gregory mengubah cara berpikirnya itu semudah manusia membalikkan tangan.

Kekasihnya itu menghela napas berat, memajukan tubuhnya lalu menyandarkan kepalanya pada perutnya. Vincent merasakan kedua tangan Gregory dikalungkan pada pinggangnya.

Pria itu memeluknya dengan sangat erat, seperti tidak memperbolehkannya melangkah ke mana pun.

“Ngobrol aja, boleh, Vin?” Gregory lalu bertanya sambil mendongakkan kepalanya. Sepasang manik hazelnya bertemu dengan mata bulat yang sudah terlihat sayu itu. “Sambil minum wine. How does that sound to you?”

Ia menggumam sambil tangannya mengusap puncak kepala pria itu. “Of course, Gregory. Just open the bottle, I'm going to change my clothes, okay?”

Gregory mengangguk, melepaskan kedua tangannya lalu mengacungkan kedua ibu jarinya dan tersenyum lebar.

Senyum yang secara tidak sadar, adalah hal pertama yang membuat hati Vincent seketika melompat dari tempatnya, saat mereka bertemu di restoran Page 35.

Okay, thank you, sayang,” jawab Gregory sambil berdiri dari duduknya dan mendekatkan wajahnya. Pria itu mengecup bibirnya yang kering dengan cepat, membuat tubuh Vincent sedikit terhuyung ke belakang karena aksi spontan itu.

Satu kecupan mampu membangunkan seluruh sel dalam tubuhnya, membuatnya dengan cepat mengangkat tangannya dan menahan tubuh Gregory saat hendak melangkah mundur.

Kekasihnya itu terdengar melenguh, napasnya memburu saat Vincent membalas ciumannya lebih lama. Bibir mereka beradu, bergesekan layaknya dua medan magnet yang menempel, enggan untuk dipisahkan. Ia lantas menyelipkan kedua tangannya kedalam kaus tipis pria itu, telapak tangannya bersentuhan dengan hangat tubuh Gregory.

“Vin, sayang,” bisik kekasihnya pelan, membuat Vincent tidak bisa menahan senyumnya sendiri.

Ia hanya membalasnya dengan tawa renyah. “Yes, my love?”

Ngh,” keluhnya disela-sela ciuman mereka. Vincent menggerakan lidahnya dengan hati-hati, seperti sedang menjilat es krim mahal yang meleleh. Gregory mendesah pelan. Vincent melihat kekasihnya itu mengernyitkan dahinya, kedua mata bulatnya terpejam.

Pria itu lalu meresponnya dengan sebuah kalimat yang terdengar jelas. “Sayang, once we go, I don't want to stop.”

Mendengarnya, Vincent hanya bisa terkekeh, menggigit bibir bawah Gregory dengan sangat pelan, lalu mengulumnya dengan lembut, sebelum akhirnya menarik bibirnya sendiri. “Ya sudah kalau begitu, make outnya dilanjutkan nanti saja ya, saat mau tidur,” usulnya sambil menangkup wajah kekasihnya itu dan mengecup keningnya.

Gregory menggumam, lalu memiringkan kepalanya sedikit dan mengecup bahu kirinya. “Alright then, though bibir kamu terlihat jauh lebih menarik, Vin,” bisik pria lembut, sambil ibu jarinya mengusap bibir bawah Vincent.

Sepasang mata bulatnya menatap manik hazel dan bibirnya bergantian.

Pria itu tengah menghela napas berat, membuat Vincent merasakan aroma mint pasta gigi menyusup kedalam indra penciumannya. Mata bulat Gregory yang biasanya mengerling, saat ini terlihat sayu.

“Jadi mau ngobrol,” balas Vincent sambil menaikkan satu alisnya, “atau mau make out, sayang?”

Kekasihnya itu berdecak sambil mengangkat kaus oblongnya sedikit, memperlihatkan perutnya yang berbentuk seperti roti sobek. “Ngobrol saja deh, Vin. Selagi aku ingin. Ya?”

Vincent lantas mengangguk, lalu mengusap lengan Gregory dan akhirnya menggenggam tangannya. Ibu jarinya bermain pada punggung tangan kekasihnya itu.

Okay, ayo kita pindah ke sofa.”


Selama kurang lebih satu jam mereka habiskan dengan membicarakan banyak hal, terutama tentang rencana Gregory setelah mendengar kabar gembira dari Alex beberapa saat lalu.

Kekasih Vincent itu menceritakan bahwa sepertinya, ia akan meminta kompensasi pada pemilik Les Disquaires untuk memiliki pekerjaan di dua tempat yang berbeda. Walaupun sebenarnya, pria itu tahu bahwa dirinya pasti suatu saat akan kesulitan, melihat jarak tempuh keduanya cukup jauh. Pun letak apartemennya yang menjadi faktor utama.

Vincent mendengarkan Gregory berbicara sambil tersenyum. Ia selalu memperhatikan kebiasaan pria itu, kerap menggerakkan kedua tangannya setiap menjelaskan sesuatu. Ia memandangi pria yang duduk di hadapannya itu sambil menopang dagunya, tangan kirinya memegang kaki gelas wine dan membuat gerakan memutar searah jarum jam.

Satu hal yang baru disadari oleh Vincent, adalah bagaimana Gregory selalu menggigit bibir bawahnya sendiri kala sedang berpikir, sambil mata bulatnya memandang ke arah lain.

Pria itu lucu sekali, membuatnya ingin segera berdiri dan pindah duduk di sampingnya.

Namun Vincent perlahan menyadari, bahwa kekasihnya itu sudah beberapa kali menguap, matanya terlihat lelah. Ia tidak tahu apakah Gregory sudah agak mabuk karena mereka berdua benar-benar menghabiskan satu botol wine hingga tandas, atau memang pria itu sudah mengantuk.

Maka ia akhirnya mengusulkan untuk menyudahi pembicaraan malam ini dan mengajaknya pindah ke kasur untuk berbaring.

Gregory langsung mengiyakan ajakannya itu tanpa suara. Pria itu hanya mengangguk lalu menegakkan tubuhnya dan berdiri. Vincent lantas mengurai rambutnya yang terikat dan menyugarnya, lalu melepaskan kacamata bulatnya dan menaruhnya disamping gelas wine miliknya. Ia lalu berdiri dan melangkahkan kakinya ke arah Gregory yang sudah terlihat mengantuk.

Vincent menganjurkan kedua tangannya untuk menarik tangan Gregory, lalu merangkul kekasihnya itu sambil mengecup pipi kirinya. “Let's go to sleep, okay? You look tired, Gregory.”

Pria itu menggumam lalu mengecup bibirnya singkat. “I guess I drank a lot, Vin. Makanya aku ngantuk. I'm sorry for ruining the night,” kata pria itu meminta maaf, sambil menarik tangannya untuk melangkah ke arah kasur.

It's okay, Beau. We talked all night and you drank a lot, indeed. Pantas kalau kamu sudah mengantuk.”

Gregory terkekeh. Sepertinya pria itu sudah mabuk, pipinya terlihat memerah dan terasa hangat saat ia mengecup pipinya tadi. “You know me so well Vincentius.”

Of course I do, sayang.”

Setelah mengganti pakaiannya dengan kaus longgar favoritnya, Vincent lalu melangkah ke arah kasur dan menyibak selimut tebal miliknya. Gregory sudah lebih dulu memilih sisi kasur dan merebahkan dirinya di sana. Pria itu sudah melepas kausnya, lebih memilih tidur tanpa menggunakan atasan, alasannya karena kegerahan.

Vincent lalu melepaskan sandalnya, ia memanjat kasurnya dan sedikit merangkak mendekati Gregory. Pria itu terlihat memandangi dirinya dengan sorot mata yang sayu, sambil melipat tangannya dibawah bantal yang dibawanya dari kamar tamu.

Ia tersenyum saat Gregory menganjurkan tangannya dan mengalungkan keduanya pada ceruk lehernya. Kekasihnya itu memeluknya dengan sangat erat, hampir membuatnya sedikit tidak bisa bernapas.

Ia lalu menaruh kepalanya pada bantal empuk miliknya, lalu melipat tangannya dibelakang kepala, menyediakan lengannya sendiri untuk digunakan oleh Gregory sebagai bantal.

Saat ini kamarnya terasa hening, hanya terdengar suara hela napas masing-masing. Lampu ruangan sudah dimatikan oleh Vincent, digantikan dengan lampu tidur dengan cahaya minim yang terletak pada nakas.

Sepertinya akan tidur nyenyak malam ini. Ia yakin pengaruh alkohol dan Gregory yang saat ini ada dalam pelukannya akan mempermudah prosesnya.

“Sayang,” kata Gregory tiba-tiba, memecah keheningan diantara mereka.

“Ya, Gregory?”

Pria itu bertanya dengan hati-hati. “Aku... boleh tanya sesuatu?”

Vincent mengernyit. Tentu boleh. “Boleh, Beau. Apa yang ingin kamu tanyakan?”

Speaking of dreams, Vin,” ujar pria itu sambil menyandarkan kepala diatas dadanya. Tangan kanan kekasihnya itu memeluk pinggangnya, pun kakinya diletakkan diatasnya. Kedua kaki mereka tumpang tindih, hangat tubuh Gregory selalu membuat Vincent merasa nyaman. “Is there anything else you want to achieve? Your short-term dream or bucket list, perhaps.”

Vincent terdiam, saat mendengar pertanyaan itu terlontar dari bibir kekasihnya. Ia belum pernah menceritakannya pada siapapun, tidak ada yang tahu mengenai mimpi terbesarnya selain orang tuanya dan Timothy.

Apakah ini adalah saat yang tepat untuk membuka rahasia terbesarnya, menceritakan ambisinya pada orang lain? Kepada Gregory, seseorang yang saat ini sebenarnya menduduki posisi kedua setelah mimpinya?

Seseorang yang sebenarnya sedikit membuatnya takut dan ragu, apakah nantinya, pria itu akan melengserkan mimpinya sendiri dan mengalahkan cita-citanya karena cinta?

Apakah harus sekarang, selagi waktunya tepat?

Ia menghela napas, sambil tangannya menyisir surai hitam Gregory yang lebat. Ia berdeham, akhirnya menjawab pertanyaan kekasihnya itu. “Hanya ingin latihan berjalan lancar dan konser akan berakhir dengan sukses, Gregory.”

Singkat, padat, dan jelas.

Namun sepertinya otak dan mulutnya saat ini sedang tidak bisa diajak bekerja sama.

I also have a big dream, and I know I'm willing to do everything to achieve that, my love.”

Vincent menjawab, meloloskan kalimat itu dari bibirnya, membuat kekasihnya lantas mengangkat kepalanya dan mengerjapkan mata bulatnya. Gregory terlihat penasaran, senyumnya tersungging lebar pada wajahnya.

Sepertinya mendengar jawabannya membuat kantuk pria itu lantas pergi, tidak lagi menggelayuti matanya.

Dada Vincent sedikit nyeri melihatnya.

Oh? Everything?” What is it, Vin?” Kekasihnya itu bertanya, menuntut jawaban darinya dengan suara serak. Vincent lantas menghela napas pelan, lalu mengarahkan jari telunjuknya untuk mengusap alis kekasihnya itu.

Sekarang, atau tidak sama sekali, Vincentius.

To be the best orchestra conductor in the world, Beau,” jawabnya mantap sambil tetap memandangi mata Gregory lekat-lekat. Ia menggeser jari telunjuknya untuk menyentuh batang hidung pria itu. “Orang selalu meremehkan mimpiku. To be honest, I don't care. I know I'm capable, so yeah...,” katanya lagi sambil tersenyum simpul. “Aku pikir, orang lain saja bisa, mengapa aku tidak bisa?”

Seketika mata bulat pria itu terbelalak, telapak tangannya menutup mulutnya yang sedang menganga, membuat Vincent lantas mengernyitkan dahi.

“Ada apa, Gregory?”

“Tidak ada apa-apa, hanya ingin tahu saja,” balas kekasihnya sambil tersenyum. Pria itu tidak terlihat heran atau bingung sama sekali? “Kamu hebat. Aku bangga, Vin. Aku sampai sekarang belum tahu apa mimpiku sebenarnya. It's like, blurry. My life. Seperti tidak ada tujuan hidup, don't you think?

“Kamu, dengan segala ambisimu. Aku, dengan segala keinginanku untuk bahagia. Itu saja sudah cukup.”

Senyum Gregory membuat dadanya semakin terasa nyeri. Apakah ia mengambil keputusan yang salah?

Pria itu lalu menyambung lagi. “Apa aku terlalu santai, ya? I don't have any goals. Though I said that because I always compare myself with others.”

Vincent memejamkan matanya dan merutuk dalam hati.

Kalau saja ia tahu jawabannya tadi akan membuat kekasihnya tiba-tiba menyingkirkan rasa kantuknya, hanya untuk meragukan dirinya sendiri seperti ini.

Mengapa ia dengan santainya menceritakan ambisinya sendiri?

Bodoh sekali, Vincentius.

Ia lalu membuka matanya, tersadar bahwa kekasihnya sudah kembali menyandarkan kepalanya lagi diatas dadanya. Vincent memijat batang hidungnya dengan tangan kirinya, berusaha menenangkan hati dan pikirannya sebelum menanggapi kekasihnya itu.

“Menurutku, bahagia itu tidak ada ukurannya, Gregory, tidak tentu. Coba dimulai dari yang sederhana saja,” jelasnya sambil merengkuh tubuh kekasihnya itu. “Seperti tadi, saat kamu membaca pesan dari Alex. You cried, because you really wanted to work and sing at Caveau de la Huchette. And I knew well it's a happy tears. Bahagiamu tidak bisa dibandingkan dengan orang lain, Gregory. Begitupun sebaliknya.

“Seperti kata Ayahku dulu,” katanya untuk menutup kalimatnya barusan.

Gregory tiba-tiba bertanya, ibu jari dan telunjuknya memilin-milin ujung kaus yang dikenakannya. “Do they contact you regularly, Vin?”

Vincent menggumam, tangannya masih mengusap belakang kepala kekasihnya itu. Ia sedikit kaget dengan pertanyaan Gregory yang mengalihkan pembicaraan sebelumnya. Ia merasa sedikit kewalahan dan bingung.

My parents?” Gregory menggerakkan kepalanya turun naik didadanya, ia mengangguk. Pria itu sedang membentuk lingkaran yang abstrak dengan ibu jarinya pada perutnya. “Rarely. I don't feel like talking to them sometimes. Why, Beau?”

Kekasihnya itu terdengar tertawa kecil sambil menggeleng. “Just curious. They must be amazing, to have you as their son.” Gregory berkata dengan lirih, entah karena mengantuk atau hal lain. “My parents never called or even text me. They didn't let me either, seperti yang pernah aku ceritakan waktu itu.”

Ia mendengar Gregory menghela napas berat, lalu menarik tangannya untuk mengusap kedua matanya.

Apakah kekasihnya itu sedang menangis?

I felt like shit at first,” tambahnya kemudian, lalu menghentikan kata-katanya dan mengangkat kepalanya lagi.

Gregory menatapnya dengan penuh arti sambil tersenyum sumringah.

But lately, I am happy.”

Tunggu sebentar.

Thanks to you and our friends,” kata kekasihnya itu sambil mengarahkan tangannya untuk menyentuh dagunya yang kasar karena janggutnya yang tipis.

But mostly, it's because of you, sayang,” jelasnya sambil memajukan wajahnya dan mengecup bibirnya singkat. “So, thank you so much.”

Ia melihat Gregory tersenyum simpul, membuat Vincent lantas mengangkat tangannya dan menahan kepala pria itu untuk membalas ciumannya.

No need to say thank you, Beau. You make me happy too.”

Pria itu membalas kata-katanya hanya dengan menggumam, terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan sebelum akhirnya kembali menyandarkan kepalanya pada dadanya.

Gregory terlihat hampir tertidur dalam pelukannya dengan nyaman, meletakkan tangan kanannya pada pinggang Vincent.

I love you, Vin,” kata pria itu lirih, membuatnya refleks membelalakan matanya.

Sekujur tubuhnya terasa kaku saat mendengarnya, otaknya berhenti bekerja, pun gerakan tangannya yang sedari tadi mengusap kepala kekasihnya itu.

Tiga kata itu.

Akhirnya Vincent mendengarnya dari mulut kekasihnya. Ia sama sekali tidak tahu apakah pria itu mengatakannya dalam keadaan sadar atau tidak.

Namun mendengar pernyataan itu membuat dirinya menghela napas berat, merasakan dadanya berdegup lebih cepat.

Pria itu mencintainya?

Mereka berdua memang sama sekali belum mengutarakan kata cinta. Bagi Vincent, jatuh cinta berbeda dengan kata cinta itu sendiri. Baginya, menyukai dan mengagumi seseorang berbeda dengan mencintai seseorang.

Rasa takut kembali mencuat dari dalam dadanya, telinganya seperti mendengar pikirannya sendiri berteriak padanya. Kedua matanya seperti dipaksa melihat tulisan besar dan tebal yang dibentuk oleh imajinasinya sendiri.

Cita-cita nomor satu, cinta nomor sekian, Vincentius.

Ia tidak tahu, siapakah yang sedang berbicara dengannya saat ini?

Apakah hatinya, atau egonya sendiri?

Mungkin suatu saat nanti, ia akhirnya berani menyatakan perasaannya itu pada Gregory dengan mantap.

Suatu saat nanti.

Hanya dirinya, pikirannya, dan keheningan malam itu yang mengetahui isi hatinya saat ini.

Vincent akhirnya hanya membalas tiga kata itu dengan mengecup kening Gregory. Ia hanya bisa melafalkannya tanpa suara, membiarkan kata-katanya sendiri menguap di udara.

I guess I love you, too, Beau...

and it scares me.

Suasana hati Gregory pagi ini cukup baik. Ia tidur dengan nyenyak tadi malam, sama sekali tidak memimpikan apapun. Bahkan ia benar-benar langsung memejamkan matanya dan tertidur setelah membaca pesan balasan dari Vincent. Pria itu sempat mengucapkan selamat tidur dan mimpi indah untuknya.

Sepertinya Tuhan mengabulkan permintaan pria itu.

Ia lalu menyunggingkan senyumnya yang lebar dan sumringah, kemudian menarik bantal yang ada dibelakangnya dan membenamkan wajahnya dengan posisi bersimpuh. Ia setengah berteriak, saat mengingat bahwa semalam Vincent mengatakan akan mengajaknya pergi ke Istana Versailles hari ini.

Versailles, tempat yang selama ini ingin Gregory kunjungi karena keindahan dan kemegahannya. Namun selalu ia urungkan, mengingat waktu yang tidak mungkin ia habiskan dalam perjalanan sendirian dan harga tiket yang cukup membuat tabungannya berteriak. Ia lebih memilih untuk berhemat dan menunda keinginannya itu.

Toh Versailles tidak akan pernah pergi ke manapun, 'kan?

Namun saat Vincent mengatakan bahwa hari ini akan menjadi kencan pertama mereka, ia merasakan sekujur tubuhnya lemas. Ia sempat tertawa tidak percaya, pun merasakan dadanya berdegup sangat kencang. Ia gugup.

Hari ini adalah kencan pertama mereka, dan mereka akan mengunjungi Istana Versailles, tempat yang selama ini menduduki posisi paling atas bucket list-nya.

Saat Gregory melirik layar handphonenya, ia melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima menit. Maka dengan gerakan cepat, ia menyibakkan selimut tebal yang dipakainya tadi malam, lalu menurunkan kedua kakinya dan berpijak pada lantai.

Dingin sekali, membuat sel-sel yang ada dalam tubuhnya seketika terbangun, seperti sehabis tersetrum. Namun ia tidak peduli. Ia langsung berdiri dan melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah kamar mandi dan akan bersiap.

Hari ini pasti akan sangat menyenangkan. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Vincent dan menikmati pemandangan serta keindahan Istana Versailles.

Lima belas menit telah berlalu, akhirnya Gregory menyelesaikan kegiatannya dan melangkah ke luar dari kamar mandi. Ia melilitkan sebuah handuk putih tebal pada pinggangnya, sambil kedua tangannya menyeka rambut hitamnya yang masih basah dengan handuk kecil.

Ia lantas melangkahkan kakinya ke arah sofa kecil yang terletak di sudut ruangan itu, mencoba membongkar isi tasnya yang cukup penuh karena membawa beberapa potong pakaian. Sebenarnya ia benar-benar harus kembali ke apartemennya sendiri untuk mengambil pakaiannya. Ia tidak mungkin mengenakannya berkali-kali, pun ia tidak mau membeli pakaian baru.

Gregory mendesah dan menghela napas, merasa beruntung Vincent dan kedua teman dekat pria itu mengizinkannya untuk tinggal di tempat ini selama beberapa hari ke depan. Ia masih takut dengan kemungkinan bahwa Warren bisa saja masih setia mengunjungi apartemennya, menunggunya muncul dan keluar dari sana.

Ia lalu menggelengkan kepalanya, tidak ingin memenuhi kepalanya dengan memikirkan pria berengsek itu.

Hari ini adalah kencan pertamanya dengan Vincent. Hari ini mereka akan ke Versailles. Hari ini mereka akan menghabiskan waktu bersama, rapalnya tanpa suara.

Saat Gregory membongkar isi tasnya yang tersusun sangat rapi, ia melihat kaos berwarna hitam pemberian Thomas, kado ulang tahun yang selalu dibawanya ke mana pun ia pergi. Ia lantas tersenyum, lalu menoleh ke arah gantungan pakaian di dekat pintu kamar mandi. Ia melihat kemeja dengan pola kotak-kotak miliknya yang berwarna putih hijau, dengan didominasi garis merah dan biru.

Otaknya seketika bekerja, berusaha memadukan kedua pakaiannya itu.

It's going to be a very long morning, I guess, batinnya.

Gregory sedang bercermin pada standing mirror yang tertanam pada pintu lemari pakaian kamar itu, sambil menyemprotkan parfum miliknya pada ceruk leher dan nadinya, saat ia mendengar bunyi ketukan pada pintu kamarnya tiga kali.

Seketika, senyum sumringah tersungging diwajahnya. Itu pasti Vincent, pikirnya. Pria itu benar-benar “menjemput”nya ke kamar tamu ini, seakan-akan mereka berdua sedang tidak dalam satu apartemen. Gregory menggelengkan kepalanya sambil merapikan kerah jaket dan memasukkan kaos hitamnya kedalam celana joggernya.

Ia lalu berdecak pada pantulan dirinya dan berbisik, meyakinkan dirinya sendiri bahwa harinya akan menyenangkan dengan Vincent.

You got this, bro. Good luck.

Gregory lalu menyambar tas selempangnya yang berwarna hitam dan melangkah ke arah pintu kamar dan membukanya.

Ia akhirnya bertemu mata dengan Vincent.

Pria itu terlihat sangat tampan, dan oh tentunya, sangat wangi. Pria itu mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih polos, dengan celana jins berwarna biru gelap. Rambut hitamnya yang panjang sebahu dikuncir setengah, membuat Gregory rasanya ingin sekali menganjurkan tangannya untuk menyisir surai pria itu.

Ah, mungkin nanti.

Bonjour, Gregory,” sapa pria yang ada di hadapannya itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. “Ready to go? Lebih baik kita sarapan dulu di kafe Au Coeur Couronné, setelah itu kita berangkat ke Versailles dengan mobil. Bagaimana?”

Gregory menganggukkan kepalanya mantap sambil melangkah keluar dari kamar. Ia lalu menutup pintu ruangan itu dan menoleh ke arah Vincent setelahnya. “Boleh, Vin. Lo pasti sudah merencanakan segalanya, jadi gue ikut saja,” jawabnya sambil melempar senyum.

“Ya, begitulah. Tidak mau mengacaukan kencan pertama,” sambung Vincent lagi sambil mengusap tengkuknya sendiri. Ia terlihat kikuk, Gregory rasanya ingin memeluk pria itu saat ini juga.

Pria itu lucu sekali.

Ia lalu memperhatikan gerak-gerik Vincent. Pria itu terlihat mengusap kedua tangannya pada celananya sambil mendongak.

Sepertinya ia gugup? Gregory tidak tahu.

Namun gerakan matanya berhenti memperhatikan pria itu saat ia mendengarnya berbicara. “You look nice by the way.”

Gregory hanya bisa tersenyum sambil memiringkan kepalanya. “Thank you, Vin. I want to dress up a little bit since it's our first date,” katanya sambil mengerlingkan matanya. “You don't look so bad yourself! Eh, lo sih selalu terlihat tampan, ya, jadi, baiklah statement gue barusan mungkin tidak berlaku,” lanjutnya sambil berdecak mengangkat alisnya sebelah.

Vincent lalu tertawa dengan suaranya yang khas, membuat Gregory merasa senang karena pagi ini setidaknya ia sudah menjadi sumber kebahagiaan orang lain hanya dengan pujiannya. “Well, thank you for the compliment, Beau,” balas pria itu sambil menyeringai.

Mendengar jawaban pria itu barusan, Gregory hanya bisa memutar kedua bola matanya sambil menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan kedua pipinya yang pasti saat ini sudah terlihat memerah. Pun kedua telinganya sudah terasa menghangat.

Ia lalu berpikir, sebaiknya ia harus segera membiasakan diri mendengar panggilan dari pria itu untuknya. Ia tidak bisa terus-terusan terlihat seperti anak remaja sedang jatuh cinta, 'kan? Kedua pipi dan telinga memerah, bulu kuduk meremang, dan merasa seperti ada kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya terbang ke sana kemari untuk menggelitik dadanya.

Vincent sekilas melirik jam tangan yang dipakai dipergelangan tangan kirinya sambil tangan satunya memasukkan handphonenya kedalam saku celana jinsnya itu.

“Yuk. Kamu sudah siap? Kita harus segera berangkat karena mengejar jadwal masuk area palace,” kata pria itu sambil mengisyaratkan padanya untuk melangkah ke arah pintu apartemen. “Saya baca informasi di internet, katanya antrean akan cukup panjang kalau kita sampai di sana agak siang.”

Ia menanggapi pria itu dengan menggumam. “Oke. Tapi kalau begitu, apa makannya boleh sambil di perjalanan saja? Supaya kita bisa menghemat waktu, Vin.”

“Boleh,” kata Vincent sambil tersenyum, lalu mengenakan loafersnya yang berwarna hitam dihiasi gold hardware dengan huruf G ditengahnya, melengkapi outfit pria itu hari ini dan terlihat sangat elegan.

Gregory lalu mengambil sepatu boots miliknya yang berwarna hitam dan mengenakannya, sambil membungkuk untuk mengikat talinya.

“Yuk, I'm ready!” Serunya sambil menjentikkan jarinya ke arah Vincent dan mengedipkan mata kirinya.

Ia terlalu bersemangat hari ini, sudah tidak sabar!

Vincent yang sedang berdiri di sampingnya hanya terkekeh, lalu menganjurkan tangan kanannya ke arah wajahnya. Ia lalu merasakan jari telunjuk pria itu mencolek dagunya pelan. “Let's go, Gregory.”

Oh mon Dieu.


Setelah ia dan Vincent membeli sarapan yang sekiranya praktis untuk dinikmati saat di perjalanan, mereka kembali ke apartemen Vincent untuk mengambil mobil dan berangkat menuju Versailles.

Perjalanan menuju istana itu memakan waktu sekitar tiga puluh hingga empat puluh menit dengan menggunakan mobil. Walaupun hari ini adalah hari biasa, tapi ia berdoa agar setidaknya mereka tidak akan terjebak dalam kemacetan.

Ini adalah kali pertama mereka berdua pergi ke daerah yang cukup jauh dari kota Paris. Biasanya Vincent hanya mengajaknya untuk pergi di sekitaran kota, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan metro.

Sebenarnya, mereka bisa saja pergi ke sana dengan menggunakan RER* C dari stasiun Saint-Michel Notre-Dame. Ia pun sempat bertanya pada Vincent mengenai alternatif itu. Namun pria yang sedang mengendarai mobil sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya pada setir itu hanya mengatakan bahwa perjalanannya akan lebih lama, kurang lebih akan ditempuh dalam waktu lebih dari satu jam.

“Nanti waktu kita terbuang cukup banyak. Saya tidak mau membuat kamu merasa bosan di perjalanan,” jelas pria itu tadi sambil menganjurkan tangan kirinya untuk menggenggam tangannya dan menautkan jari mereka.

Vincent melirik ke arahnya sekilas sambil tersenyum simpul, saat mendengarnya mendengus keras. Ia berusaha untuk terbiasa dengan perlakuan pria itu yang cukup spontan dan membuat jantungnya seperti akan lepas dari tempatnya.

Pria itu menyambung lagi, menjelaskan padanya untuk kesekian kalinya bahwa ini adalah hal baru untuknya. “This is my first time asking someone out, so I apologize if it seems too well-planned.”

Ia hanya terkekeh sambil menggenggam tangan Vincent lebih erat dan membolak-balikkan tangan mereka. “Gue paham kok, Vin, and it shows. And it's okay, gue malah sudah senang. Jadi, terima kasih, ya?”

Vincent menggumam dan menyunggingkan senyum kotaknya. “Terima kasih kembali, Gregory. Semoga hari ini menyenangkan.”

Mereka berdua lalu menghabiskan waktu selama di perjalanan dengan membicarakan banyak hal. Gregory sempat teringat dan akhirnya memberitahu Vincent bahwa pemilik bar Caveau de la Huchette rencananya akan memberi kabar tentang interviewnya beberapa waktu lalu dalam minggu ini. Jika ia tidak mendapat kabar sama sekali, maka kesempatannya untuk bekerja di sana akan hilang.

Vincent mendengarkannya berbicara dengan sangat serius, sambil tetap fokus dengan jalanan di depan. Pria itu pun sempat memberikan sudut pandang lain, kemungkinan yang akan terjadi jika dirinya berhasil diterima di bar itu atau tidak. Selain itu, Vincent mengatakan, mungkin saja ia harus fokus dalam pekerjaannya di Les Disquaires, toh ia baru bekerja di bar itu cukup sebentar.

Namun Gregory hanya menanggapi dengan menggumam. Ia akhirnya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Ia memikirkan bahwa saat ini bukan hal yang tepat untuk memberitahu apa alasannya mengapa ia ingin pindah ke bar lain, yang prospek kariernya terlihat lebih menjanjikan.

Ya, mungkin lain waktu ia akan memberanikan diri dan akhirnya memberitahu pria itu.

Tidak sekarang.

Ia masih punya banyak waktu. Ia akan menceritakannya pada Vincent saat ia sudah merasa siap.


Mereka berdua akhirnya sampai di area Istana Versailles dua puluh menit kemudian. Cuaca cukup cerah, namun tidak membuat mereka lantas patah semangat. Gregory sempat membawa sunglasses miliknya jika diperlukan. Area parkir istana itu pun tidak terlalu ramai, Vincent tidak perlu menghabiskan waktu yang lama untuk mencari satu slot parkir yang kosong.

Mereka akhirnya turun dari mobil dengan membawa barang-barang seperlunya. Vincent yang tidak membawa tas dari apartemennya akhirnya menitipkan dompet dan kunci mobilnya pada Gregory. Pria itu khawatir tempat wisata itu akan ramai dan dipadati oleh pengunjung. Ia lantas mengangguk dan mengambil dua benda itu dari tangan Vincent.

Gregory akhirnya melangkahkan kakinya mantap sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar istana yang terlihat sangat megah dan luas dari kejauhan. Ia merasa terharu, akhirnya ia dapat mengunjungi tempat ini dan tidak hanya seorang diri.

Ia sangat bersemangat, tidak sadar bahwa ia sudah meninggalkan Vincent yang berjalan dengan santai, mengekor di belakangnya. Gregory lalu membalikkan tubuhnya, melihat pria itu hanya tersenyum sambil menggerakkan kedua alisnya. Ia melihat Vincent mengangkat tangan kanannya, mempersilakan dirinya untuk berjalan lebih dulu dan meninggalkan pria itu di belakang.

Namun ia akhirnya menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya, lalu berlari-lari kecil menghampiri Vincent yang berjarak tidak jauh dengan tempat dirinya berdiri.

Vincent menganjurkan tangan kanannya dan mengusap pelan belakang kepala Gregory. Pria itu tersenyum ke arahnya, sorot matanya teduh. “You look happy, Gregory,” katanya singkat sambil tangannya bergerak naik turun untuk menyisir rambutnya. “Saya senang melihatnya.”

Gregory lantas tersenyum lebar. “Tentu saja gue senang! Thank you so much, Vin. This means a lot to me.”

No worries, Gregory.” Pria itu tersenyum, membuat hatinya terenyuh. Vincent membuatnya sangat bahagia hari ini. “Ayo kita ke sana untuk mengantre,” ajak pria itu sambil menunjuk ke arah pintu masuk.

Hari ini area pintu masuk istana Versailles tidak terlihat ramai. Antrean pun tidak terlihat panjang dan mengular seperti biasanya.

Gregory lantas melirik ke arah jam tangan Vincent. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit.

Yeah, let's go.”

Setelah mengantre dan menunjukkan tiket pada petugas, mereka berdua akhirnya memasuki halaman istana, melewati pagar yang panjang dan menjulang tinggi.

Gregory tidak sadar sudah menarik-narik pelan tangan Vincent untuk segera masuk ke dalam gedung yang beberapa pintunya terbuka itu. Pria itu hanya terdengar terkekeh sambil mengiyakan ajakannya, segera berlari-lari kecil dan berjalan bersisian dengannya. Gregory tersenyum lebar, meminta maaf karena sudah terlalu bersemangat. Vincent hanya mengangguk dan menarik tangan kanannya.

Ia sangat menyukai pria itu.

Tidak. Ia jatuh cinta.

Saat akhirnya masuk ke dalam gedung, terlihat dua patung yang berdiri menjulang tinggi pada kedua sisi ruangan menyambut mereka. Gregory lalu menundukkan kepalanya, menyadari bahwa lantai istana itu dilapisi marmer, yang dipastikan umurnya sudah ratusan tahun.

Ia lalu menengadahkan kepalanya, melihat beberapa lampu dengan cahaya kuning menggantung pada atapnya, membuat ruangan itu terasa lebih hangat. Di hadapannya, terlihat lorong panjang dengan dinding warna putih gading, pilar-pilar di sisi kanan kiri menjadi penopang. Ia sangat terpukau, tidak sadar sedari tadi hanya sibuk mengedarkan pandangannya ke kanan kiri ruangan sambil berseru “aah” dan “ooh” ria, tanpa mencari tahu di mana keberadaan Vincent.

Ia melangkahkan kaki, menyusuri bagian dalam istana dan mengikuti arah petunjuk yang disediakan dengan jelas di setiap sudut. Gedung istana itu memiliki banyak sekali ruangan yang memiliki akses yang terhubung satu dengan yang lain. Banyak sekali lukisan yang digantung pada dinding, pun atap istana itu dilukis dengan sangat indah, terdapat cerita yang digambarkan dengan sangat apik di sana.

Gregory seperti berada di dunia berbeda, bukan lagi di Paris. Ia merasa dibawa ke suasana dan penggambaran keadaan ratusan tahun yang lalu.

Saat ia melangkahkan kaki dan berbelok dari ruangan sebelumnya, ia lantas terkejut dan ternganga.

Di hadapannya saat ini, terlihat satu area yang sangat terkenal dari sekian banyak area di Château Versailles ini. Gregory melihat lorong tersebut begitu luas dan megah, sisi kanan kirinya dilapisi kaca, memantulkan pemandangan taman di luar area gedung istana. Ia lantas menengadahkan kepalanya, melihat lukisan yang menceritakan tentang Raja Perancis Louis XIV, yang dipersembahkan oleh Charles Le Brun untuk raja itu.

“Vin! The Galerie des Glaces*!” Ia memanggil pria yang sedari tadi tidak terlihat batang hidungnya. Namun Gregory merasa pria itu berjalan mengekor di belakangnya. “Oh mon Dieu, it's so beautiful. Vin, lihat kaca dan atapnya!”

Ia sibuk mengedarkan pandangannya, terpukau dengan istana ini yang begitu luar biasa. Jujur, ia merasa tertipu dengan suasana di luar istana saat hendak masuk tadi. Saat ini terlihat beberapa rombongan pengunjung hampir memenuhi area ini untuk berfoto, mengagumi lukisan di atap ruangan itu, dan melihat ke area taman dari balik kaca. Walaupun tidak terlalu sesak, namun ia merasa harus ekstra hati-hati saat melangkah atau saat mengedarkan pandangannya. Ia tidak ingin tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan dengan tidak sengaja menabrak salah satu patung yang berdiri di kedua sisi lorong itu.

Gregory pun dengan sigap mengeluarkan handphonenya dan membuka aplikasi kameranya. Ia lalu sibuk mengambil foto ruangan itu dari berbagai angle, siapa tahu ia akan membutuhkannya suatu hari. Atau mungkin ia akan membongkar perlengkapan lukisnya dan melukisnya diatas kanvas? Ia juga tidak tahu. Yang pasti, ia merasa harus mengabadikan keindahan ini dengan kameranya.

Ia lalu menyadari, mengapa Vincent tidak menanggapi kalimatnya barusan?

Gregory lalu menoleh ke samping kanan dan kirinya, ia tidak menemukan sosok pria itu. Di mana Vincent berada?

Maka, dengan sedikit panik, ia hendak memutar tubuhnya, bermaksud untuk mencari sosok pria itu ditengah kerumunan. Namun gagal saat tiba-tiba ia merasakan kedua tangan seseorang menyentuh lekuk pinggangnya.

Oh. Ia tahu betul siapa sosok yang saat ini memegang pinggangnya itu.

“Tenang, tenang, Gregory,” bisik pria itu sambil melepas tangannya dari pinggangnya. “Saya sedari tadi berdiri di belakangmu, kok. Jangan khawatir.”

Gregory lalu membalikkan tubuhnya untuk mencari sosok pria itu. Ia melihat Vincent sudah menyunggingkan senyum sambil memiringkan kepalanya di belakangnya. Ia hanya dapat tersenyum kikuk. “I am just too excited, Vin. Maaf ya kalau gue jalannya terlalu cepat.”

“Tidak masalah. Crowdnya tidak terlalu ramai, kok.” Kata pria itu sambil melipat tangan didada. “Did you enjoy it?”

Ia mengangguk, membayangkan bagaimana pria itu mungkin sedari tadi kesusahan mencari sosok dirinya karena mobilitasnya yang terlalu cepat. Namun ia pun merasa senang karena Vincent tidak terlihat seperti merasa keberatan. Walaupun mungkin pria itu tidak se-ekspresif dirinya, namun ia tahu bahwa pria itu terlihat menikmati kunjungan mereka ke istana Versailles ini.

I enjoyed it, really. Akhirnya gue bisa ke tempat ini juga. Apa lo juga senang?”

Vincent membalasnya dengan nada yang tulus. “Iya, saya juga senang sekali, Gregory.”

It's very beautiful, I'm so happy,” tambahnya ceria sambil terkekeh.

Saat Gregory merasakan keheningan diantara mereka berdua, ia lantas menoleh ke samping, melihat Vincent sudah terlebih dahulu menatapnya.

Mata bulatnya seketika berbinar dan oh, Tuhan, ia tidak bisa menyembunyikan senyum sumringahnya, kala mendengar pemilik kedua manik hazel yang teduh itu berbisik dengan lembut.

Yes, it's beautiful, Gregory.”


Setelah mereka sudah merasa puas mengelilingi area dalam istana, akhirnya Vincent mengajaknya keluar dari sana dan berjalan ke arah air mancur. Gregory lantas mengiyakan, sudah tidak sabar melihat taman yang cukup luas dan indah, yang sempat menjadi latar dalam film 'Midnight in Paris' itu.

Sinar matahari sudah tidak terlalu terik seperti tadi saat mereka tiba di Versailles, menandakan bahwa mereka berdua sudah cukup lama berada di dalam.

What's with us and a fountain, ya, Vin? Waktu ke Tuileries juga kita duduk-duduk di pinggir air mancur,” tanyanya sambil terkekeh dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling air mancur itu.

Vincent sempat memberitahunya bahwa air mancur ini akan dinyalakan pada saat-saat tertentu saja. Ia sangat menyayangkan saat mengetahui bahwa air mancur itu tidak menyala hari ini, namun hal itu tidak membuatnya lantas murung. Justru ia merasa sangat senang dan bahagia hari ini, dapat menghabiskan waktu dengan Vincent.

Mungkin bagi orang lain pada umumnya, pergi ke museum pada kencan pertama adalah hal yang sangat dihindari. Bayangkan betapa kau akan mulai bosan karena minimnya pembicaraan yang akan kau miliki dengan pasangan kencanmu. Atau bagaimana kalian akan merasa bosan karena datang ke suatu tempat yang tidak istimewa.

Akan tetapi, Gregory tidak berpikir demikian. Ia yakin Vincent pun merasa senang hari ini.

Sebenarnya, saat mereka berdua masih di dalam gedung, ia sempat mencuri pandang ke arah pria itu, melihat bagaimana raut wajah Vincent yang terpukau saat melihat lukisan atau patung-patung yang ada.

Gregory sangat senang pergi ke Istana Versailles, keindahan yang benar-benar mencuri hatinya hanya dengan sekali pandang. Ia pun senang memiliki kesempatan untuk pergi dengan seseorang yang membuat dirinya jatuh hati.

Bagaimana caranya ia mengucapkan terima kasih pada pria itu, ya?

Apa yang harus ia lakukan?

I wonder as well, Gregory,” kata pria yang berdiri di sampingnya itu sambil tertawa kecil. “Tapi sepertinya air mancur akan jadi hal yang istimewa untuk kita berdua?”

Ia terkekeh sambil memutar kedua bola matanya. “Bisa aja lo, Vin.”

Sekitaran air mancur itu tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang sedang berfoto dengan pasangannya dan/atau keluarganya. Gregory lalu mengedarkan pandangannya dan melihat ke sekeliling, melihat dengan mata kepalanya sendiri, taman labirin istana itu dari kejauhan. Ia ingin sekali ke sana, namun merasa sudah agak lelah karena area gedung istana yang sesak, membuatnya seperti kehabisan oksigen.

Gregory lalu memejamkan matanya, menarik napas yang cukup panjang dan menghembuskannya perlahan. Indra pendengarannya menangkap suara burung-burung yang bertebangan di udara, pun suara orang-orang yang sedang mengobrol.

Ia menyunggingkan senyumnya, betul-betul menikmati saat-saat seperti ini. Keheningan yang membuatnya nyaman dan tenang.

“Gregory.”

Vincent memanggil namanya dengan suaranya yang berat. Ia lalu membuka matanya dan menoleh ke arah pria itu. Ia mengernyitkan dahi, melihat pria itu sedang menatapnya dengan sorot yang berbeda, tidak seperti biasanya.

“Ya, Vin?” Gregory bertanya pada pria itu sambil menghadapkan tubuhnya ke samping. Ia memiringkan kepalanya. “Kenapa lo memandangi gue seperti itu?”

Vincent terlihat... entahlah, gugup?

“Gregory, saya tahu ini mungkin terlalu cepat,” kata pria itu meraih tangannya. Ia lalu menggenggam tangannya erat. “Saya tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Garis bawahi, tidak pernah.”

Apa yang terlalu cepat? Apa yang pria itu sedang rasakan?

“Oke...,” balasnya bingung. “Ada apa, Vin?”

Pria yang di hadapannya itu tersenyum kemudian.

I know maybe it's too fast, I don't know, but I just want to say that,” jawab pria itu kemudian, menghentikan kata-katanya sebentar, sebelum akhirnya menyambung lagi. “I like you, and I really want to make you happy.

I like you, Gregory, to the point where I want to spend my time with you more than we already did.”

Hah? Apa ia tidak salah dengar?

Ia hanya dapat mengerjapkan mata bulatnya berkali-kali.

Jujur saja, walaupun Gregory tahu dan merasakan bahwa Vincent pun menyukainya, namun ia tidak pernah menyangka akan mendengar pria itu mengutarakan perasaannya padanya.

Vincent, pribadi yang begitu kaku dan misterius, pun terasa sulit untuk digapai, baru saja mengatakan padanya bahwa pria itu menyukainya.

Apakah ia sedang bermimpi?

“Kamu tidak perlu membalas perasaan saya, kok. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa saya menyukaimu. Itu saja...”

Gregory dengan sigap menaruh jari telunjuknya pada bibir Vincent, memotong kata-kata pria itu dan memintanya untuk berhenti berbicara.

Ia lalu memberanikan diri mengutarakan apa yang saat ini ada dalam kepalanya. Masa bodoh dengan respon pria itu nanti.

“Lo boleh cepetan cium gue aja nggak, Vin?”

Oh mon Dieu,” kata pria itu spontan. Gregory tertawa keras karenanya. “Of course,” balasnya kemudian. “Been waiting for so long, you know.”

Vincent lalu mengecupnya singkat, tepat dibibirnya. Ia merasakan lengan pria itu melingkar pada pinggangnya, memeluknya dengan sangat hati-hati. Bibir pria itu manis, sepertinya rasa permen stroberi yang tadi dimakannya masih tertinggal di sana. Kedua telinganya seperti tertutup, ia sama sekali tidak mendengar suara apapun selain degup jantungnya sendiri.

Gregory rasanya ingin berteriak sekaligus menangis, merasakan betapa tulus perasaan Vincent padanya.

Beberapa pria pernah singgah dihatinya, datang dan pergi. Namun semuanya berbeda dengan Vincent.

Bagaimana pria itu menghargainya, bagaimana pria itu melakukan hal-hal kecil yang selalu membuatnya merasa istimewa dan disayangi. Gregory tidak akan pernah lupa saat Vincent mengatakan bahwa pria itu ingin membuatnya bahagia, ingin menjadi baton terakhir dalam hidupnya.

Ia ingat semuanya itu. Ia merasa dihargai, ia merasa disayangi, ia merasa istimewa.

Semua itu hanya Vincent yang dapat melakukannya.

Pria itu mencium bibirnya beberapa detik, sampai akhirnya menarik wajahnya sendiri. Gregory tidak ingin kehilangan kesempatan itu, maka dengan cepat ia mengalungkan kedua tangannya dan menarik leher pria itu untuk balas menciumnya.

I like you too, Vin. I like you so much,” balasnya sambil menyandarkan dahinya pada dahi Vincent.

Napasnya memburu, dadanya sesak dipenuhi oleh rasa bahagia.

Gregory benar-benar bahagia hari ini.

Vincent lalu mengecup bibirnya lagi, kali ini lebih lama. Ia merasakan pelukan pria itu lebih erat pada lekuk pinggangnya. Pria itu lalu menarik wajahnya dan berbisik, terlihat menyunggingkan senyumnya sambil kedua tangannya tetap mengusap lembut punggungnya.

Glad to know that, Gregory.”


RER: The Réseau Express Régional (English: Regional Express Network), komuter kereta di Paris yang menyediakan rute perjalanan dari kota Paris ke wilayah pinggiran kota (dan sebaliknya)

The Galerie des Glaces: The Hall of Mirrors di dalam Istana Versailles

⚠️ cw // harsh words, coping mechanism, mention of stalking behavior, financial problems, insecurities ⚠️ tw // implied anxiety attack


Vincent meletakkan handphonenya asal pada stand partitur yang ada di hadapannya. Ia menggelengkan kepalanya tidak percaya, cukup heran dengan dirinya sendiri saat ini. Ia mengulum senyumnya kemudian, menarik napas panjang. Ia lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa, berusaha mengatur ritme detak jantungnya yang saat ini berdegup dua kali lebih cepat.

Gregory baru saja memuji permainan biolanya. Sesederhana itu, namun cukup membuat sekujur tubuhnya seperti mati rasa sepersekian detik. Ia sama sekali tidak tahu, bahwa pria yang sedang tidur di kamarnya itu diam-diam sedang mendengar dirinya memainkan salah satu piece favoritnya di ruang tengah.

Ia bingung akan perasaannya sendiri. Vincent tidak pernah bereaksi seperti ini saat teman-temannya yang memuji dirinya. Biasanya ia hanya menyunggingkan senyum dan mengucapkan terima kasih, bahkan saat Timothy, sahabatnya sendiri, yang melakukannya.

Hanya itu responnya, tidak lebih. Namun mengapa hal itu terasa berbeda saat Gregory yang melakukannya? Ia merasa ada seseorang yang sedang menabuh drum dalam dadanya saat membaca respon pria itu. Padahal Vincent memainkan biolanya hanya untuk menghibur dirinya sendiri, bukan untuk mempersembahkannya pada orang lain.

Ia menarik napas, membetulkan letak kacamatanya saat mengetik pesan balasan pada pria itu untuk mengucapkan terima kasih. Vincent pun mengakhiri kalimatnya dengan menambahkan sebuah kata, yang menurut dirinya benar-benar menggambarkan sosok Gregory.

Vincent menggigit bibirnya dan tersenyum, menegakkan tubuhnya kembali sambil menunggu respon Gregory. Ia ingin tahu reaksi pria yang lebih muda dua tahun darinya itu saat membaca pesannya.

Tidak membutuhkan waktu lama sampai akhirnya Vincent menolehkan kepalanya ke arah kamar tidurnya, mendengar suara seorang pria sedang mengerang keras. Ia lantas tersenyum lebar.

Apakah Gregory menyukai panggilan darinya itu? Apakah ia harus melakukannya lagi, untuk ya, setidaknya membuat suasana hati pria itu menjadi lebih baik hari ini?

Ia memutuskan untuk menyudahi permainan biolanya, membereskan alat musik itu dan bownya, lalu memasukkannya kedalam tas, saat ia mendengar pintu kamarnya terbuka. Vincent lalu mengangkat kepalanya, ia dan Gregory bertemu mata. Seketika ia merasakan sekujur tubuhnya seperti tersetrum gelombang aneh.

Gregory melangkah ke arahnya dengan tersenyum kikuk. Pria itu terlihat mengenakan kaos berwarna abu tanpa lengan, surai hitamnya basah sehabis keramas; menetes, membuat kaos bagian bahunya itu terlihat basah. Aroma tubuh pria dan wangi sabun cair milik Vincent melebur jadi satu, menyapa indra penciuman Vincent.

Ia merasa mabuk karenanya.

“Hei, Vin,” sapa pria itu sambil mengacak-acak rambutnya sendiri yang masih terlihat basah dengan tangan kanannya.

Sepasang mata Vincent menyorot tajam saat melihat Gregory mengangkat tangannya, membuat deretan tato pada lengan kanannya terlihat jelas.

Okay, he doesn't know Gregory would be this hot and gorgeous after showering? Manik hazelnya memperhatikan gerak gerik Gregory, sambil terus memperhatikan beberapa tato pada lengan kanan pria itu. The tattoos are so sexy and unique, so beautiful I really want to trace my index finger there

—llo? Earth to Vincent?”

Merde.

Ia mengerjapkan kedua matanya saat mendengar Gregory memanggilnya lagi. Vincent tidak sadar bahwa dirinya tadi sempat melamun.

Oh mon Dieu, apakah barusan dirinya terlihat seperti orang aneh?

“Ya?”

Ia menggerakkan matanya dan menatap mata bulat Gregory. Pria itu menyunggingkan senyum lebar sambil mengangkat satu alisnya, memiringkan kepalanya dan mengulum senyumnya.

Sial, sepertinya Gregory tahu apa yang sedang Vincent lakukan.

What's wrong, Vin? Kok lo bengong begitu?”

Mendengar pertanyaan retoris itu, ia hanya bisa mendengus sambil menggelengkan kepalanya. “Nothing, Gregory,” jawabnya singkat sambil menarik kursi makan di hadapannya. “Ayo duduk, saya sudah pesan makan siang untuk kita berdua.”

Vincent menangkap sosok Gregory sedang memicingkan kedua matanya dengan ekor matanya. Sepertinya pria itu sedang berusaha mengetahui apa yang sedang ia pikirkan. Mereka berdua masih berdiri bersisian, Vincent masih sibuk dengan pikirannya sendiri, namun ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang Gregory pikirkan.

“Lo benar-benar payah dalam hal berbohong, Vin,” balas pria itu terkekeh sambil menarik kursi tepat di sampingnya dan akhirnya duduk. Vincent pun mengikuti, mendaratkan pantatnya pada kursi itu sambil memutar kedua bola matanya.

Saat keduanya sudah duduk dengan nyaman, ia merasakan posisi tubuh Gregory menjadi lebih dekat. Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arahnya sambil bertopang dagu dan tersenyum lebar.

Vincent lantas melepas kacamatanya dan meletakkan benda itu di sisi kirinya. Ia lalu menumpukan kedua sikunya diatas meja dan melirik ke arah pria itu. Ia berdeham, mencondongkan tubuhnya ke arah Gregory kemudian sambil menatap sepasang mata bulat pria itu lekat.

Oh, really? Beau?” Vincent berbisik menekankan kata itu, mengikis jarak diantara mereka dengan mendekatkan wajahnya. Vincent dapat merasakan hangatnya napas pria itu, pun ia mencium aroma pasta gigi miliknya. Manik hazelnya menatap kedua mata dan bibir mungil pria itu bergantian. “Do you think I suck at lying, Gregory?”

Gregory membelalakkan kedua matanya. Pria itu bergeming, diam seribu bahasa dan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Vincent lantas menyunggingkan senyum penuh kemenangan saat melihat pria itu menggigit bibir bawahnya.

Uh, okay,” balas pria itu singkat sambil menarik tubuhnya. Ia melihat kedua pipi dan telinga Gregory memerah. “But yeah, I think you really suck at lying, Vin,” sambungnya sambil menyeringai.

Vincent tersenyum sambil menganjurkan tangannya. Jarinya menyisir rambut Gregory yang menutupi mata bulatnya, menyelipkannya dibelakang telinga pria itu kemudian.

Gestur favoritnya setiap kali sedang bersama dengan Gregory.

You know what? I think I do. Beau.”


“Vin, apa gue boleh cerita tentang sesuatu?”

Ia mendengar Gregory berbicara, pria itu saat ini duduk bersila menghadap ke arahnya sambil memeluk sebuah bantal miliknya. Saat ini, mereka berdua sudah duduk santai pada sofa yang berdekatan dengan jendela apartemen Vincent. Keduanya cukup kelelahan setelah selesai makan siang dan membereskan sisa makanan di dapur. Masing-masing dari mereka pun sibuk dengan tugasnya; Gregory membersihkan meja makan dan Vincent mencuci piring serta alat makan yang telah dipakai. Setelahnya, Gregory memasukkannya pada mesin pengering dan menyetelnya. Ia sempat memberitahu pria itu bagaimana cara mengoperasikannya.

Vincent lantas menolehkan kepalanya ke samping sambil mengernyitkan dahinya. Ia lalu menganjurkan tangannya, menggunakan ibu jarinya untuk menyentuh lengan Gregory dan mengusapnya dengan lembut.

Jujur, ia memiliki firasat sejak tadi malam bahwa Gregory sedang tidak baik-baik saja. Seumur hidupnya, Vincent tidak pernah secepat itu berlari ke arah garasi apartemen dan menghampiri mobil warna hitamnya untuk menjemput seseorang.

Pesan singkat dari Gregory sempat membuatnya panik dan sedikit gegabah saat menyetir. Ia hanya ingin mengejar waktu dan bertemu dengan pria itu secepatnya.

Vincent pun sudah merasakan keanehan sejak Gregory membalas pesannya dengan ketus. Perutnya mulas dan kepalanya seketika pusing saat membaca pesan pria itu: “tolong jemput saya sekarang di stasiun Daumesnil.”

Ia hanya ingin tahu apa alasan pria itu meminta dirinya untuk menjemputnya pada tengah malam, dan lokasi stasiun itu sangat dekat dengan letak apartemennya yang berada di daerah Rue de Meuniers.

Apakah Gregory sedang sakit? Atau, apakah ada orang yang mengganggunya saat perjalanan pulang menuju apartemennya? Memikirkan dua hal itu saja sudah membuat rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangannya dan memukul klakson mobilnya, meminta kendaraan yang ada di depannya untuk menyingkir.

Ia tahu bahwa tidak etis jika membunyikan klakson saat berkendara pada malam hari. Namun apa lagi yang dapat ia lakukan selain itu?

Sebenarnya, ia ingin sekali bertanya pada Gregory. Namun setelah dipikirkan, ia urungkan keinginannya itu. Pria itu terlihat tertidur pulas di sampingnya, tak lama setelah Vincent melajukan mobilnya dari stasiun Daumesnil kembali menuju ke apartemennya di daerah Rue de la Ferronnerie.

Ia pun tidak ingin memaksa Gregory sama sekali. Mungkin pria akan menceritakan apa yang terjadi padanya semalam kalau sudah merasa siap.

Mungkin juga tidak.

Vincent hanya ingin menunjukkan pada pria itu bahwa ia peduli dan akan selalu ada disampingnya kapanpun.

Ya, kapanpun.

“Tentu saja boleh, Gregory. Are you okay?” Vincent bertanya pada pria itu dengan nada lembut, masih mengusap lengannya pelan. Raut wajah Gregory saat ini terlihat lelah dan bingung, ia tidak dapat membedakan keduanya. “Kamu mau duduk di sini atau mau pindah ke kamar saya?”

Gregory tersenyum simpul sambil menganggukan kepalanya. “I'm fine, Vin, thanks to you,” kata pria itu lirih. “Di sini saja, nggak apa ya?” Gregory melanjutkan, mata bulatnya menatap Vincent sambil menggigit-gigit kuku ibu jarinya. “Cerita gue bakal lumayan panjang. Nggak apa?”

I'm all yours today,” jawab Vincent mantap sambil mencolek dagu pria itu. Gregory tersenyum lalu mengangkat tangan kanannya untuk memegang pergelangan tangannya. Pria itu memain-mainkan ikat rambutnya dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Vincent pun hanya melirik ke arah Gregory sambil bertanya. “But, do I really deserve to know?”

Pria itu berdecak. “Of course you do, setelah kemarin gue minta tolong lo untuk jemput gue di dekat apartemen, Vin,” mulainya lalu menggumam. “I think you deserve to know the behind story so you can back off or leave me while you still can.”

Back off and leave him? Apa maksud pria itu?

Vincent menarik tangannya sendiri dari genggaman Gregory, lalu meraih tangan pria itu kemudian. Ia mengusap telapak tangan pria yang duduk di hadapannya itu dengan ibu jarinya. “Jangan pernah menceritakan apapun pada orang lain kalau kamu tidak yakin,” kata Vincent tegas. “And I just want you to know that it's your life, okay? I don't want to know anything I shouldn't.”

Gregory mengangguk tanda mengerti. Pria itu terlihat memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ibu jari Vincent masih tetap mengusap telapak tangan pria itu.

“Gue dulu benar-benar terhimpit saat pertama kali memutuskan untuk keluar dari kuliah magister gue, Vin. I had no one and no money, gue merasa kasihan dengan diri gue sendiri. Modal gue adalah skill, that's it.” Pria itu memulai ceritanya. Dahinya mengernyit dan Vincent mendengar pria itu meringis, seperti tidak ingin mengingat lagi memori yang akan ia beberkan padanya.

“Kuliah nggak selesai, nasib tidak baik sama sekali. Until that night, I met Hosea at a bar, di sekitar Rue de la Huchette. Bar nya biasa saja, gue di sana tujuannya hanya untuk minum, I just wanted to be wasted and pity myself.” Gregory mendengus, mendongakkan kepalanya. Ia melihat mata bulat pria itu berair.

Vincent memberanikan diri untuk bertanya, entahlah, mencoba mencairkan suasana yang kikuk dan tegang? “Hosea? “As in Warren Hosea?”

Yeah, Vin, the one and only,” katanya sambil tersenyum, menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. “Gue pikir, ah, dengan ilmu yang pas-pasan seperti ini, gue mau cari kerja di mana? So I went there, felt like I needed to let it all out. Gue stres, gue merasa sendirian. Tapi, mungkin Tuhan nggak ingin lihat gue mengasihani diri sendiri, ya? Because somehow, I met Hosea there, waktu gue lagi mau pesan botol kedua.

“Dia ada di sana dengan teman-temannya, not Timmy, though. Kita ngobrol santai di bar, lalu sampailah saat di mana gue tahu kalau dia juga dari Indonesia. He's a dancer, a singer, AND a vlogger. Gue waktu itu kayak, wah keren banget orang ini. And the rest with him is history.”

Vincent berusaha untuk tidak mengernyitkan dahinya. Sejujurnya, ia belum begitu memahami arah pembicaraan ini. “Okay... and then?”

And then I met someone a year after, at the same club. Ternyata dia teman satu klub musiknya Hosea, sering nge-gig juga di bar itu,” jelas Gregory sambil menghela napas berat. Pria itu menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. “Akhirnya, kita berteman.”

Vincent menggumam sambil mengangguk. Seketika sebuah pertanyaan terbesit dalam kepalanya. Ia terdiam sambil berpikir, berusaha mengatur kalimatnya agar tidak terdengar menuduh. “Were they nice?”

“Bisa dibilang begitu. Awalnya,” jawab pria itu sambil mendengus. “Sampai akhirnya gue dan pria ini berteman. He was so nice, he offered me to perform there, go show. Gue akhirnya nyanyi, Vin. Gratis aja, toh waktu itu gue masih menganggur. Hanya freelance fotografi, pasang iklan murah di Instagram, thank God selalu ada aja. But I couldn't depend on it forever, right?”

Ia mengangguk. “Yeah, I get your point, Gregory.”

“Lalu ya, akhirnya dia minta gue untuk bergabung diklub musiknya, diminta jadi vokalis,” katanya sambil tersenyum getir. “And of course, gue langsung mengiyakan saat itu, well because he said I would get paid more than he did.” Gregory menghentikan kalimatnya sebentar, mengambil napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “Orientasi gue waktu itu adalah, bagaimana caranya gue dapat uang lagi untuk menyambung hidup. Because man, I struggled a lot. Orang tua gue seperti menelantarkan gue di Paris. Sejak mereka “membuang” gue di sini, they never called or even sent me any text. Never.”

Vincent masih mengusap pelan puncak kepala pria itu, masih bingung akan apa yang harus ia lakukan untuk menanggapi cerita Gregory. “Gue pun sudah mencoba menghubungi mereka, tapi nihil, Vin. It's like they didn't want me to reach them?”

Mendengar statement pria itu, ia lantas menanggapi dengan nada tegas. “Gregory, don't say that.”

But it's the truth, Vin. Gue lama kelamaan ya akhirnya ikhlas. Satu-satunya orang yang bisa dihubungi di Indonesia, dan yang masih ingin berteman dengan gue adalah Thomas, my best friend. One of my support system.” Gregory tersenyum dan menatap kedua matanya.

Tatapan mereka akhirnya bersirobok, seperti sedang berbicara dengan telepati. Vincent hanya bisa membalas tatapan pria itu dengan sorot mata yang teduh.

Ia bersyukur masih ada sosok lain yang membuat Gregory merasa “didengarkan”, selain dirinya dan teman-temannya di Paris.

Ah, okay, I'm glad you have him, though.”

Yeah, me too,” jawabnya singkat sambil tersenyum. “But again_, kesenangan gue sepertinya nggak bisa bertahan lama, Vin. Sebenarnya, gue sempat meminjam uang pria pada itu cukup besar, and I promised I would pay the money back. But I couldn't, ya karena bayaran gue dari klub juga kecil. And that guy actually wanted something from me.”

Vincent hanya bisa mengernyitkan dahinya bingung. “Maksud kamu?”

“Dia bilang, uang yang gue dapatkan harus gue bagi juga dengan dia, karena dia yang “memberikan” gue akses untuk klub musiknya. I mean like, what kind of bullshit was that?”

Gregory terlihat berusaha mengatur ritme napasnya, sebelum akhirnya menyambung ceritanya lagi.

“Dia minta imbalan. Saat itu ya, gue butuh untuk memutar uang itu, dong? It was my only “big” income. But he insisted I had to give the money or yeah, I had to be his boyfriend. Of course I didn't do any of those. I didn't like him at all. So I said no.”

Merde, so did he do anything uncomfortable?”

Mendengar pertanyaannya, Gregory menghela napas berat. “Dia hanya menguntit gue, ke tempat kerja, atau tiba-tiba sudah ada di depan apartemen gue. Sampai akhirnya gue memutuskan untuk pindah kerja dari klub ke klub, that's it. But it's been years, Vin, until last night, he—”

He has been stalking you and you didn't say anything? Or even file a report?” Vincent memotong, melemparkan pertanyaan itu dengan nada tinggi, tidak bisa menyembunyikan nada terkejut dan rasa khawatirnya.

Mengapa pria itu tidak pernah menceritakannya pada siapapun? Termasuk Timothy, seseorang yang sudah dianggap oleh pria itu sebagai saudaranya sendiri. “Gregory, why—”

Pria itu balas memotong kalimat Vincent sambil menggeram. “Gue, Vin,” katanya sambil mengeraskan rahangnya, menusuk bantal yang sedari tadi dipegangnya dengan jari telunjuknya. “Tidak mau merepotkan orang lain. Selama orang itu nggak mengusik hidup gue sampai parah, gue lebih baik diam,” balasnya dengan tegas sambil menyalangkan matanya. “Masalah dihidup gue sudah banyak banget, Vincent. I have so much shit on my plate already. Gue nggak mau nambah masalah lagi.

I'm so fucking tired, Vin,” katanya lirih sambil memeluk kedua kakinya yang terlipat, menumpu dahinya pada kedua lututnya. Tubuhnya bergetar seperti berusaha menahan tangisnya. “I just want to be free from him, living my life happily, without constant fear.”

Damn. Apa yang harus Vincent katakan? Apakah ia harus menenangkan Gregory dengan mengusap punggungnya? Atau ia cukup diam, menemani pria itu sampai selesai menangis?

Apa yang harus ia lakukan?

Namun melihat tubuh pria disampingnya itu semakin bergetar hebat. Pria itu terdengar menangis.

Maka dengan cepat ia menggeser duduknya, menganjurkan kedua tangannya untuk menarik tubuh Gregory. Vincent merengkuh pria itu, memeluknya erat. Gregory menggumam, ia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

Saat ini, dipelukannya, ia melihat sisi lain pria itu. Hilang sudah keceriaan dan senyum merekah yang selalu tercetak jelas diwajahnya. Pria yang ada didekapannya itu sedang menangis, mengasihani hidupnya sendiri.

Vincent menumpukan dagunya dipuncak kepala Gregory, berusaha menahan nyeri yang tiba-tiba menjalar dalam dadanya.

Pria itu tidak pantas untuk bersedih seperti ini. Gregory pantas untuk bahagia.

You have me, Gregory,” kata Vincent lirih, membisikkannya berulang kali ditelinga pria itu, sambil mengusap belakang kepalanya. “You have me, don't worry. I won't back off or leave you. I promise.”

Hanya itu yang dapat Vincent ucapkan saat ini.

⚠️ cw // slightly mention of stalking behavior, insecurities, overthinking thoughts tw // anxiety attack


Gregory baru saja melangkahkan kaki keluar dari gerbong kereta di stasiun Daumesnil, saat handphone yang ada dalam saku celananya, berdenting berkali-kali. Ia lantas berlari-lari kecil ke arah salah satu bangku yang menempel pada tembok peron stasiun itu. Ia lalu duduk di sana dan melepas tasnya, merogoh saku celananya kemudian sambil melihat ke sekeliling.

Suasana peron masih terlihat ramai, banyak sekali orang yang berlalu-lalang dan berdiri di sana untuk menunggu kereta berikutnya. Jam digital yang tergantung tepat diatasnya menunjukkan pukul tujuh malam. Gregory menghela napas berat. Perjalanannya dari stasiun Châtelet ditempuh dalam waktu tiga puluh lima menit, sedikit lebih lama bila dibandingkan dengan waktu yang harus ditempuh saat melakukan perjalanan pada malam hari.

Well, memutuskan untuk pulang ke apartemennya saat rush hour seperti ini memang membutuhkan kesabaran luar biasa, terutama jika Gregory menggunakan metro.

Vincent sempat menawarinya untuk menginap satu malam lagi di apartemennya, bahkan menawarkan untuk mengantarnya pulang dengan menggunakan mobil. Ia tentu langsung menolaknya tanpa basa-basi, tidak ingin merepotkan pria itu. Sama sekali tidak.

Huh, tidak ingin merepotkannya sama sekali, Gregory? Omong kosong.

Ia hanya terkekeh dan menggelengkan kepala, tidak mempedulikan tatapan beberapa orang yang sedang berdiri di dekatnya. Apa yang baru saja dipikirkannya benar-benar bertolak belakang dengan permintaannya pada Vincent untuk menemaninya berjalan kaki menuju stasiun Châtelet sore tadi.

Walaupun sebenarnya selama mereka berdua berjalan ke arah stasiun, tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya ataupun Vincent.

Gregory menikmati keheningan saat melangkah bersisian dengan pria yang lebih tua darinya itu, hanya ditemani suara keramaian orang-orang dan kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar Rue de la Ferronnerie.

Ia sangat menikmati keheningan diantara mereka, seperti tadi malam saat pria itu memainkan salah satu piece favoritnya, katanya. Melodi itu indah, membuat Gregory tersenyum lebar dan sempat menitikkan air mata.

Entahlah, hal-hal sederhana yang Vincent lakukan untuknya, sangat mudah membuatnya merasa terenyuh.

Tentu, tadi malam saat Gregory hendak beristirahat diatas sofa bed yang terletak di sisi kanan kamar tidur Vincent, ia tidak lupa menyimpan kejadian hari ini pada aplikasi kalender yang ada dihandphonenya. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat melakukannya, berkali-kali menggigit bibir bawahnya sendiri, kedua pipinya pun terasa menghangat.

Gregory lantas meringis, seketika teringat bahwa tadi malam ia mengecup bahu Vincent dua kali.

Dua kali. Ia sendiri pun tidak tahu darimana keberanian itu muncul, dan untuk apa ia melakukannya.

Namun semalam, rasa terima kasih yang ingin Gregory ucapkan berhenti diujung lidahnya. Ia hanya dapat mengutarakan perasaannya dengan kecupan.

Hal-hal sederhana itu membuatnya merasakan bagaimana rasanya dicintai dan diperhatikan.

Berbagai perhatian kecil yang diberikan oleh pria itu seringkali membuat bulu kuduknya meremang, kedua lututnya lemas, dan dadanya berdegup kencang. Sekedar menanyakan kabar, atau bahkan menanyakan apakah ia sudah sampai tujuan dengan selamat, selalu membuat Gregory merasakan letupan kembang api dalam kepala dan dadanya.

Perhatian itu, selalu membuatnya ingin berteriak layaknya baru saja mendapat undian dua milyar.

Semuanya itu, membuat Gregory dengan mudahnya jatuh cinta dengan seseorang yang berbanding terbalik dengannya, memiliki sifat dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan dirinya.

Gregory jatuh cinta dengan Vincent, pria dengan sifat kaku yang terlihat cuek, namun diam-diam mengamati, memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Belum pernah ada seorangpun yang berhasil membuat Gregory benar-benar penasaran, ingin selalu mengetahui apa isi kepala pria itu.

Vincent adalah sosok pertama yang membuatnya demikian.

Ia benar-benar jatuh cinta, di usianya yang sebentar lagi akan menginjak tiga puluh satu tahun.

Namun, ya, jatuh cinta memang tidak pernah memandang berapa usiamu sekarang, 'kan?

Pemberitahuan yang terdengar dari pengeras suara di peron lantas membuyarkan lamunannya. Ia lalu mengembalikan fokusnya pada layar handphone, berharap bahwa Vincent-lah yang mengirimkan pesan untuknya. Ia lalu mengetuk benda itu satu kali, sambil bergidik dan tersenyum lebar, merasa bersemangat untuk membalas pesan pria itu.

Sesaat sebelum senyumnya luntur, bersamaan dengan layar handphonenya yang perlahan meredup.

Disana terpampang jelas notifikasi pesan yang dikirim oleh Warren Mattheo, pria yang selama beberapa bulan terakhir dihindarinya.

Seketika Gregory merasa perutnya mulas.

Untuk apa pria itu menghubunginya lagi? Apakah peringatan yang telah ia berikan beberapa waktu lalu masih belum cukup?

Ia menghela napas kasar sambil menundukkan kepala, membuat orang yang sedang duduk di sampingnya lantas menoleh.

Ia memejamkan matanya, kedua tangannya mencengkram handphonenya terlalu erat.

Ia merasakan tangannya sendiri bergetar.

Entah karena rasa takut, marah, atau hanya karena udara dingin kota Paris malam ini yang menusuk hingga tulangnya.

Gregory tidak dapat membedakan ketiganya.

Kapan pria sialan itu akan berhenti mengganggu hidupnya?


Entah sudah berapa lama Gregory duduk di peron sambil menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Ia sendiri pun tidak sadar apakah ia tadi sempat tertidur atau tidak.

Ia refleks mengangkat kepalanya dan meringis, merasakan lehernya benar-benar nyeri dan pegal karena terlalu lama menunduk. Ia memegang tengkuknya, memijat-mijat sendiri bagian lehernya saat menyadari bahwa peron sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat berdiri di sana, menunggu kereta terakhir datang.

Gregory lalu menegakkan tubuhnya, merasakan sendi-sendi pada punggungnya bergesekan satu sama lain. Kedua tangannya masih memegang handphonenya erat, membuat telapak tangannya terasa nyeri dan kaku.

Ia menggeram sambil mengusap wajahnya kasar, rasa marah itu kembali datang saat ia tidak sengaja membaca lagi pesan dari Warren.

What the fuck is he doing? What does he want from me? batin Gregory kesal.

Maka dengan emosinya yang masih bercokol didadanya, ia membalas pesan pria itu dengan kasar, sama sekali tidak ingin berbasa-basi. Ia mengetik dengan cepat, meluapkan emosinya sambil mengetuk layar handphonenya berkali-kali.

Jujur, saat Gregory membaca pesan dari Warren, ia sempat merasa takut. Apakah pria itu sekarang sedang menunggunya di depan gedung apartemennya? Mengingat bahwa Warren tahu di mana apartemennya berada.

Ada rasa khawatir yang menggerogoti kepala dan dadanya, walaupun sebenarnya, ia masih berharap bahwa pria itu sudah berubah.

Warren Mattheo membuat hidupnya sama sekali tidak tenang, dipenuhi dengan kekhawatiran dan rasa was-was.

Ia sempat menghubungi Thomas, menceritakan padanya dengan singkat mengenai situasinya saat ini. Sahabatnya itu adalah satu-satunya orang yang mengetahui masalah antara dirinya dengan pria brengsek itu secara detail.

Thomas pun pada akhirnya mengusulkan untuk menghubungi Warren Hosea atau Timothy.

Sebenarnya, ia bisa saja menghubungi kedua teman dekatnya itu, meminta izin untuk menumpang istirahat malam ini. Ia yakin bahwa mereka berdua akan langsung mengiyakan permintaannya, dan menawarkan diri untuk menjemputnya di stasiun ini.

Namun ia tahu, baik Warren Hosea dan/atau Timothy pasti akan menghujaninya dengan beberapa pertanyaan yang sama sekali tidak ingin ia jawab.

Ia tidak mau membahasnya dengan mereka sama sekali.

Maka dengan berat hati, ia mengirimkan pesan pada Vincent, meminta pria itu untuk menjemputnya di stasiun ini. Ia tidak sanggup jika harus menempuh perjalanan kembali menuju Rue de la Ferronnerie dengan menggunakan metro. Ia lelah, rasanya sekujur tubuhnya lemas. Ia sendiri khawatir bahwa dirinya tiba-tiba akan pingsan saat di perjalanan.

Ia hanya ingin segera mandi dan merebahkan tubuhnya diatas kasurnya yang keras, didalam kamar apartemennya yang kecil dan berantakan.

Ia hanya ingin itu, tidak lebih.

Gregory hanya ingin pergi beristirahat dan melupakan semuanya. Ia hanya ingin melewati malam ini dengan tenang, tanpa harus khawatir Warren akan datang ke apartemennya dan menagih apa yang seharusnya ia kembalikan pada pria itu beberapa bulan lalu.

Mengapa masalah yang terjadi beberapa tahun lalu itu terus menghantuinya hingga saat ini?

Ia bersyukur, tidak membutuhkan waktu yang lama sampai akhirnya ia merasakan benda yang sedari tadi dicengkramnya bergetar, menandakan telepon masuk.

Ia menghela napas lega, rasa berat didadanya terasa ringan saat ia melihat nama Vincent tertera pada layar.

Gregory menerima telepon pria itu pada dering kedua.

Bonsoir. Gregory?” Vincent menyapanya dengan lembut diujung telepon, terdengar nada khawatir di sana. “Kamu masih di sana, kan? Tunggu saya, ya?”

Gregory tertawa getir, ia menengadahkan kepalanya. Mengapa pria itu terdengar seperti khawatir? “Iya, Vin. Maaf gue minta lo jemput ke sini,” balasnya dengan suara sedikit bergetar. “But I just don't want to go back home. I'm kind of scared.”

Ia mendengar Vincent menggumam dan suara klakson kendaraan berbunyi nyaring. “I'll be there soon, okay?”

Vincent berjanji padanya. Ia tahu, pria itu pasti akan menepatinya.

I'll be there soon. Just keep talking to me, Gregory. I'll be there soon.”


Gregory langsung mematikan sambungan telepon, menyambar tas ranselnya, lalu beranjak dari tempat duduknya saat Vincent memberitahunya bahwa akan sampai di depan pintu stasiun Daumesnil dalam waktu dua menit.

Ia berlari-lari kecil ke arah pintu keluar yang sudah terlihat sepi. Hanya ada seorang penjaga stasiun yang terlihat sedang berjalan ke arah berlawanan.

Ia menaiki anak tangga sambil mengatur napasnya.

Sebentar lagi, Gregory. Beberapa langkah lagi.

Sesampainya ia di pintu keluar, ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin kota Paris masuk dalam tubuhnya melalui rongga hidungnya.

Gregory melangkah ke arah tiang penunjuk tempat sambil memejamkan matanya, kedua tangannya terlipat didada, berusaha menghangatkan dirinya sendiri. Ia berdiri dekat tiang lampu agar Vincent lebih mudah menemukan sosoknya nanti saat pria itu menjemputnya.

Ia sedang sibuk mengedarkan pandangannya ke sekitaran stasiun Daumesnil, menyadari bahwa daerah itu sudah semakin sepi, saat tiba-tiba suara klakson mobil mengagetkannya.

Ia lantas menoleh ke arah sumber suara, melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.

Vincent.

Pria itu membuka kaca jendela disisinya dan melemparkan senyum ramah, melambaikan tangannya untuk memintanya segera masuk kedalam mobil.

Gregory dengan cepat melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah mobil itu, dan berjalan ke sisi kanannya.

Ia lalu membuka pintunya dan melangkah masuk, mendaratkan pantatnya dan duduk bersebelahan dengan Vincent yang berada dibalik kemudi. Pria itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. Gregory lalu membalas senyuman itu.

Indra penciumannya seketika disambut oleh wewangian mobil Vincent, melebur jadi satu dengan aroma khas tubuh pria itu. Ia menghirupnya dalam-dalam sambil menyandarkan punggungnya pada jok mobil yang empuk itu, lalu menarik dan menghembuskan napasnya perlahan.

Ia aman, ia sudah aman sekarang.

Gregory mengambil waktu untuk mengatur ritme napasnya, mengerjapkan matanya beberapa kali. Vincent bergeming, tidak mengucapkan satu patah katapun. Sepertinya pria itu mengerti bahwa ia saat ini membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.

Tak lama setelah Gregory merasa sudah sedikit tenang dan membaik, ia lalu menyapa pria di sampingnya yang sedari tadi terlihat memperhatikan gerak-geriknya itu.

“Vin, bonsoir,” katanya lirih, tangan kanannya langsung meraih sabuk pengaman mobil dan mengenakannya. “Terima kasih banyak sudah menjemput gue di sini, maaf gue merepotkan lo.”

“Hei, you're welcome, Gregory. Kamu sama sekali tidak merepotkan saya. Tenang saja.” Vincent membalas sambil memencet tombol di sampingnya untuk mengunci mobil. Ia menyugar rambutnya yang dibiarkan terurai itu, lalu mengulurkan tangannya ke arah dasbor, mengambil ikat rambut miliknya yang berwarna hitam dan menguncir rambutnya asal.

Are you okay? You look pale. Apa kamu sudah makan?” Vincent bertanya padanya dalam sekali napas. “Sebentar,” jeda pria itu sambil menatapnya lekat-lekat dan memperhatikannya. Sorot manik hazel itu membuatnya merasa tenang dan aman. “Kamu kedinginan, ya?”

Gregory melihat pria itu menoleh ke belakang, berusaha mengambil sesuatu dari sana. Tak lama, Vincent memberinya sebuah selimut yang tebal dan lebar berwarna abu. “Kamu pakai saja, saya atur dulu pemanas ruangannya, lalu kita pergi.”

Saat ia melihat Vincent tidak lagi memusatkan perhatiannya padanya, ia mengenakan selimut yang tebal dan lembut itu untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Aroma tubuh Vincent yang menempel pada kain itu pun menguar, membuatnya semakin menenggelamkan tubuhnya dibalik selimut, membayangkan seperti Vincent sendirilah yang sedang merengkuhnya saat ini.

Ia menyandarkan kepalanya pada sandaran jok sambil memperhatikan gerakan tangan Vincent yang sedang mengutak-atik pengatur suhu ruangan. Pria itu mengernyitkan dahi, terlihat sedang serius dengan kegiatannya. Kacamatanya yang bulat terlihat sedikit merosot dari batang hidungnya.

“Vin.”

Ia memanggil pria itu dengan berbisik, menaruh tangannya pada sandaran lengan dan menopang kepalanya dengan telapak tangannya. Pria yang dipanggilnya itu seketika menghentikan gerakan tangannya dan menoleh.

Vincent tersenyum, namun pria itu sepertinya tidak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. “Ya, Gregory? Ada apa?”

I want to hold your hand, Vincent. Please, teriaknya dalam hati.

Gregory lalu menegakkan tubuhnya, mengulurkan tangannya ke arah Vincent dan menatap lekat manik hazel itu kemudian. Ia berharap pria di sampingnya itu memahami maksudnya.

Vincent hanya melirik ke arah tangannya dan tersenyum. Pria itu lalu mengulurkan tangannya dan mengaitkannya dengan Gregory. Sorot manik hazel itu teduh, seperti sedang meneliti wajahnya.

Hangat telapak tangan pria itu seketika menjalar keseluruh anggota tubuh Gregory, membuatnya menghela napas.

Ia merasa tenang dan nyaman sekarang.

Ia merasa aman dengan adanya Vincent di sampingnya.

Ibu jari Vincent mengusap buku-buku jari dan punggung tangannya pelan, sambil tetap menatap kedua mata bulatnya dengan penuh perhatian.

I'll always hold your hand, whenever you need me to, Gregory. Don't worry, okay?”

⚠️ cw // slightly mention tipsy


Setelah Vincent memberitahu para anggota klubnya via pesan malam itu, ia mulai merencanakan segala sesuatu yang dapat dilakukan selama sepekan kedepan. Membereskan lemari koleksi piringan hitamnya menduduki posisi to-do-listnya paling atas, disusul dengan rencananya mencari beberapa piringan hitam yang sudah ia incar sejak beberapa bulan lalu, dan akan pergi ke toko musik untuk membeli baton stick dan bow baru untuk biolanya.

Ia merasa dirinya berhak mendapatkan waktu luang untuk dirinya sendiri, setelah hampir setiap hari menghabiskan waktu dengan klub orkestranya, minimal tujuh jam, selama sebulan penuh.

Maka pada malam yang sama, Vincent langsung mengusulkan ide pada Sebastian dan Tobias untuk mengadakan pesta barbekyu sederhana di apartemen mereka. Beruntung keduanya setuju akan rencananya itu dan memutuskan untuk mengundang teman-temannya makan malam dalam pesta barbekyu keesokan harinya.


Vincent baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya, setelah seharian menghabiskan waktu di toko musik untuk membeli beberapa keping piringan hitam baru. Ia lalu melangkah keluar dari kamarnya, hendak membantu Sebastian yang sedang sibuk membereskan barang-barang di dapur.

All set, Bas?”

Vincent bertanya pada temannya itu sambil berjalan ke arah tangga apartemen mereka. Pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu terlihat sedang tergopoh-gopoh menaiki anak tangga menuju rooftop dengan kedua tangannya memegang grill pan yang ia tahu cukup berat.

Sebastian terdengar menghela napas kasar sambil menyeka peluh pada dahinya dengan lengan bajunya. “Ya, semua sudah gue siapkan. Tobi sedang beli keperluan lainnya di market dengan Warren.”

Lengan pakaian pria itu tergulung, terlihat kusut dan sedikit kotor karena sejak tadi memindahkan dan membereskan banyak barang. Maka dengan sigap Vincent menghampiri pria itu dan mengambil salah satu grill pan dari genggamannya. “Let me help you, Bas. Kalau terlalu seperti ini, 'kan lo bisa minta tolong gue?”

Sebastian hanya memutar kedua bola matanya sambil tertawa renyah. “Nggak perlu, Vin,” jawabnya singkat sebelum menyambung lagi. “Sudah sana, lanjutkan kegiatan lo lagi.”

Mendengar temannya berkata demikian, Vincent hanya membalas dengan mendengus. Ia tahu, Sebastian memang sosok yang sangat keras kepala. Pria itu tidak terlalu suka menerima bantuan orang lain, padahal segala sesuatu akan lebih cepat selesai jika dikerjakan oleh dua orang atau lebih.

Sifatnya dan Sebastian sebenarnya sama saja; keras kepala dan terlihat cuek, namun pada dasarnya, mereka peduli dengan sekitarnya. Hal yang membedakan adalah Sebastian selalu mengutarakannya, namun tidak dengan Vincent. Ia lebih memilih diam dan mengamati, menyimpan semuanya dalam hati.

Vincent lalu meletakkan grill pan itu pada anak tangga. Ia menyugar surai hitamnya, menyisir dengan jemari tangannya, lalu menarik ikat rambut dari pergelangan tangannya untuk mengikatnya.

Setelahnya, ia mengangkat benda yang cukup berat itu dan menaiki anak tangga, mendahului Sebastian sambil terkekeh.

Saat dirinya dan Sebastian sampai di rooftop apartemen, mereka berdua akhirnya meletakkan grill pan dekat alat panggang yang sudah disiapkan oleh Sebastian. Keduanya melenguh, merasakan kedua lengan mereka pegal dan kencang karena membawa barang seberat dua kilogram itu.

Vincent lalu mengambil selembar tisu basah diatas meja makan untuk membersihkan tangannya, sambil mengedarkan pandangannya. Terlihat langit sore kota Paris yang indah luas membentang, membuatnya lantas mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia jarang sekali meluangkan waktu untuk sekedar duduk santai dan menikmati sore hari di rooftop gedung itu. Ia lebih senang menghabiskan waktu di kamar tidur dan ruang tengah apartemennya.

Ia lantas menarik kursi besi berwarna hitam yang ada di sana dan duduk, mencondongkan tubuhnya sambil melepas kacamatanya. Ia kemudian menaruh benda itu disisi kanan, lalu menumpukan kedua sikunya pada meja berwarna coklat terang sambil memejamkan kedua matanya.

Sepertinya ia harus sering bersantai di rooftop apartemen mereka sendirian.

“Vin, jam berapa Gregory akan datang?” Sebastian bertanya padanya, membuatnya seketika membuka matanya dan menyandarkan tubuhnya doikursi. Pria itu sudah duduk di hadapannya sambil menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang sedari tadi dibawanya ke sana kemari.

Vincent lalu merogoh saku celananya dan mengambil handphonenya. Ia mengecek penunjuk waktu yang tertera pada layar. Saat ini sudah pukul empat sore. Beberapa saat lalu, ia masih bertukar pesan dengan Gregory. Pria yang lebih muda darinya itu memberitahu bahwa dirinya akan tiba di daerah apartemen Vincent pukul setengah lima sore.

“Mungkin sebentar lagi. Sepuluh menit lalu dia sudah info kalau sedang berhenti di stasiun Reuilly-Diderot,” jawab Vincent sambil mematikan layar handphonenya, lalu meletakkan benda itu diatas meja.

“Ah, alright,” kata Sebastian menanggapi, sambil memandangnya lekat-lekat. Vincent lalu mengernyit, memikirkan apa yang akan temannya itu katakan. Walaupun ia dan Sebastian sudah mengenal satu sama lain cukup lama, namun mereka berdua jarang sekali bicara empat mata seperti ini.

Sebastian lalu tersenyum simpul sambil menyingkirkan rambutnya yang menempel pada dahinya karena keringat. “This is your first time inviting someone other than Timothy, Warren, and Max, right, Vin?”

Ia mengangguk bingung sambil memiringkan kepalanya. “Yeah. Why, Bas?”

Nope, just wondering, he really must be special,” balas pria itu singkat mengangkat bahu. Sebastian menyandarkan tubuhnya di kursi sebelum menyambung lagi. “Lo tidak pernah memberikan alamat tempat tinggal lo secara detail pada siapapun, 'kan? Even teman-teman anggota klub orkestra lo.”

Ah, right. Vincent tidak pernah memberikan informasi mengenai tempat tinggalnya pada siapapun, kecuali tiga teman dekat dan sahabatnya—Timothy, Maximillian, dan Warren—yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Bahkan teman-teman klub orkestranya hanya tahu bahwa ia tinggal di daerah Rue de la Ferronnerie, tidak lebih.

Ia lalu menghela napas dan mengangguk. “Even all of them, yes. Gue juga tidak merasa perlu untuk memberitahukannya pada siapapun. It's a privacy, Bas.”

Except Gregory, right?” Sebastian bertanya padanya tanpa tedeng aling-aling. Ia melihat pria itu menyunggingkan senyum simpul sambil menatap kedua matanya. “Gue lihat lo sekarang sedikit berubah, Vin. In a good way of course. Lo terlihat lebih happy,” katanya menyambung lagi sambil melipat kedua tangannya didada.

Vincent lantas diam seribu bahasa, memalingkan pandangannya ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan pria itu. Ia tahu betul, Sebastian adalah sosok yang jarang sekali mengomentari hidup orang lain. Teman satu apartemennya itu lebih memilih diam dan mengamati, berkomentar jika ia ingin dan merasa perlu.

Maka Vincent hanya dapat menanggapi statement temannya itu sambil menaikkan kedua alisnya dan tersenyum simpul. Ia menghela napas sebelum akhirnya berkata dengan mantap. “Thank you for saying it, Bas. And yeah, you're right. I am happy.”

Pria itu tertawa renyah, menunjukkan senyumnya yang lebar sambil mengibaskan tangannya. “Keep it that way, Vin. Gue lihat dia pria yang baik.”

Vincent pun hanya menggumam sambil mengangguk, sebelum akhirnya membalas singkat. “Yeah, thanks, Bas.”

Mereka berdua akhirnya menghabiskan waktu di sana sambil membicarakan banyak hal, termasuk membahas perkembangan bisnis Sebastian dan Tobias akhir-akhir ini. Ia pun memberitahu keputusannya untuk mengambil istirahat dari kegiatan latihan orkestra dengan klubnya.

Jika diingat-ingat, memang lucu dan unik hubungannya dengan Sebastian. Mereka membicarakan banyak hal setiap hari, namun belum pernah melakukan deep talk seperti saat ini.

Vincent dalam hati bersyukur, setidaknya rencananya mengajak teman-temannya makan malam bersama membuahkan hasil yang lain.

Tiba-tiba handphonenya berbunyi satu kali, menandakan sebuah pesan masuk untuknya. Ia lantas mengambil kacamatanya dan mengenakannya. Setelahnya, ia mengetuk layar benda itu untuk membaca notifikasinya.

Hei, Vin. Gue baru saja sampai di Au Coeur Couronne. Maaf gue terlambat. Apa boleh jemput gue di sini? Thank you!

Ia lantas menyunggingkan senyumnya saat membaca pesan dari Gregory, lengkap dengan sebuah emoji khas pria itu sebagai penutup kalimat. Ia menangkap sosok Sebastian dari ekor matanya, sedang menggelengkan kepalanya sambil terkekeh.

Vincent lantas mengangkat kepalanya, menatap pria itu sambil tersenyum lebar.

Pria itu seperti sedang membaca pikirannya.

Go get him, Vin. I'll prepare the rest. Sebentar lagi mungkin Timmy dan Max akan datang, jadi lebih baik gue segera siap-siap.”

Vincent pun mengangguk lalu berdiri dari duduknya. Ia merapikan kembali kursinya dan melangkah menuruni anak tangga untuk keluar dari apartemennya dan menjemput Gregory.

Ini adalah kali pertama dirinya mengundang orang asing datang mengunjungi apartemennya. Sebenarnya Vincent adalah orang yang sangat tertutup. Ia tidak ingin ada siapapun selain teman dekatnya memasuki apartemennya sendiri.

Tempat tinggalnya ini adalah “dunianya” dan “tempat teraman” untuknya.

Namun Gregory adalah pengecualian. Ia mempersilakan dirinya sendiri memberi celah hanya untuk pria itu, walaupun sebenarnya hanya sedikit.

Jika perumpamaan Gregory adalah benar adanya, sepertinya Vincent saat ini sudah terjun dari tempatnya berdiri hanya untuk meraih tangan pria itu dan menemaninya menaiki anak tangga menuju titik bahagianya.

Klise? Mungkin saja. Namun itulah yang dirasakan olehnya akhir-akhir ini. Puncaknya adalah saat malam itu, untuk pertama kalinya ia mendengar suara Gregory yang lembut nan indah menyapa kedua telinganya dari earbuds miliknya. Suara pria itu membuatnya tertidur pulas, mendengarkan kata demi kata yang dinyanyikan hanya untuknya.

Pria itu seperti mengutarakan isi hatinya untuk kedua kalinya, sejak pria itu berdiri diatas podium kecil di Les Disquaires dan menyanyikan lagu itu dengan suara yang indah.

Apakah firasatnya benar? Apakah Gregory juga menyukainya?

Ia lantas menggelengkan kepalanya sendiri, berusaha mengenyahkan memori itu sambil membuka pintu utama gedung apartemennya. Sore ini terlihat banyak sekali orang yang berlalu-lalang di depan gedung apartemennya. Beberapa kafe yang terletak tidak jauh dengan gedung apartemennya pun terlihat ramai pengunjung.

Vincent lalu berlari-lari kecil ke arah kafe yang dimaksud oleh Gregory.

Ia akhirnya melihat sosok pria itu dari kejauhan, sedang menunduk dan tatapannya terpaku pada layar handphonenya. Gregory mengenakan turtleneck berwarna putih gading, dibalut dengan jaket jins dan celana yang sepadan. Surai hitam yang menutupi matanya tertiup angin. Ia lalu melihat pria yang lebih muda darinya itu merapikan rambutnya dan menyelipkannya dibelakang telinganya.

Vincent berjalan mendekat sebelum akhirnya menyapa pria itu.

“Hai, Gregory.”

Pria yang dipanggil namanya lantas mendongak dan bertemu mata dengannya. Gregory tersenyum lebar, memperlihatkan sederet giginya yang putih. Kedua mata bulatnya terlihat mengerling, membuat Vincent tersenyum karenanya. Pria itu lalu mematikan handphonenya dan memasukkannya kedalam saku jaket jinsnya, sedang tangan kirinya melambai ke arahnya.

“Vin, hai! Maaf ya harus repot jemput gue ke bawah. Gue nggak telat, 'kan?”

Ia menggeleng. “Tidak kok, Gregory. Kamu adalah orang pertama yang datang,” balas Vincent sambil tertawa renyah. “Timothy dan Maximillian masih dalam perjalanan. Warren dan Tobias masih di market, ada yang harus dibeli di sana.”

Gregory hanya mengangguk tanda mengerti. Vincent lalu mengajak pria itu melangkah ke arah apartemennya. Mereka berdua berjalan bersisian sambil tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Ia merutuk dalam hati, mengapa dirinya hanya diam saja dan tidak mengajak Gregory berbicara?

You look good today, Gregory. It suits you a lot,” ujarnya tiba-tiba, membuat Gregory lantas menoleh ke arahnya sambil tersenyum kikuk. “Kamu cocok sekali memakai pakaian ini, this is so you.”

Pria itu hanya mengernyitkan dahi sambil memiringkan kepalanya. “Okay...?” Ia tertawa renyah sambil mengucapkan terima kasih. “Vin, kenapa awkward sih, ada apa?” Gregory bertanya padanya, tanpa terdengar adanya nada mengejek di sana.

Vincent hanya bisa mendengus pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. God damn, yes, because he's nervous. Gregory adalah orang pertama yang ia perbolehkan datang dan mengunjungi tempat tinggalnya. Walaupun ia tahu, pria itu sudah pernah melihat apartemennya jauh sebelum akhirnya Vincent menempatinya.

“Tidak, saya hanya sedikit gugup. Kamu adalah orang pertama yang saya perbolehkan datang ke apartemen saya, setelah para sahabat saya tentunya.” Vincent menjelaskan sambil membuka pintu utama gedung itu, mempersilakan Gregory untuk masuk mendahuluinya.

Mendengarnya, pria lantas membalikkan tubuhnya. Kedua matanya membulat karena terkejut. “Oh, ya? Wah, gue orang yang cukup spesial dong, Vin?” Pria itu bertanya padanya sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun, membuat Vincent sempat terdiam.

Ia hanya bisa memutar kedua bola matanya malas sambil tersenyum, menundukkan kepalanya untuk menghindari kontak mata dengan Gregory. “Ya, bisa dibilang begitu, Gregory.”

“Ck, lo ternyata sebenarnya soft juga ya, Vin. Gue terharu,” kata Gregory sambil meletakkan kedua telapak tangannya didada sambil memejamkan matanya.

Vincent lantas mendesis dan melirik pria itu tajam. Gregory sebentar lagi akan membuat kedua lututnya lemas seperti habis lari marathon berpuluh-puluh kilometer.

“Ayo, sudah, Gregory, kita naik saja,” balasnya singkat sambil menggelengkan kepalanya.

Pria itu hanya terkekeh sambil berjalan mengekor dibelakangnya dan menaiki anak tangga gedung itu.

Sejujurnya, ia sendiri pun tidak memahami mengapa dirinya bersikap kikuk, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan dibicarakan.

Apakah ia terlihat seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta?

Ah, jatuh cinta. Dua kata yang sejak kemarin melekat dalam pikirannya, membuatnya tersenyum seperti orang aneh dan memikirkannya sepanjang hari ini.

Bahkan saat Vincent bangun dari tidurnya pagi tadi, dua kata itu masih terngiang-ngiang dalam kepalanya.

Apa memang benar ia sedang jatuh cinta dengan Gregory, pria yang belum lama ini “masuk” dalam kehidupannya secara tiba-tiba?

Ah, entahlah, hal itu dapat dipikirkan nanti.

Welcome to my apartment, Gregory. Anggap saja rumah sendiri, I don't mind,” katanya menyambut pria itu saat berhasil membuka kunci pintu apartemen dan mempersilakannya masuk. Ia melepas sepatu slip on miliknya, menaruhnya pada rak sepatu, lalu menyelipkan kedua kakinya pada sandal yang selalu ia kenakan saat berada didalam apartemen.

Gregory pun melakukan hal yang sama; melepas sepatu bootsnya dan meletakkannya pada rak sepatu yang terletak tidak jauh dari pintu masuk apartemen, sambil membalas kalimat Vincent. “Ah, thank you, Vin. Gue senang karena lo memperbolehkan gue datang ke apartemen lo.”

Vincent lalu melangkah masuk, meminta pria itu berjalan mengikutinya. Ia mendengar samar-samar suara Timothy dan Maximillian yang sedang berbincang di ruang tengah. Saat kedua temannya itu menyadari kehadirannya dan Gregory, sahabatnya lantas berdiri dari duduknya dan berteriak.

“Grego!” Timothy memanggil nama pria itu dengan suara cukup nyaring sambil setengah berlari ke arahnya. Ia lalu menarik pria itu untuk memeluknya, sambil mengacak-acak rambut tebalnya yang sepertinya sudah di-styling sedemikian rupa dengan gel rambut.

Long time no see, bro. Lo keren banget hari ini!” Vincent melihat dengan mata kepalanya sendiri, sahabatnya itu memuji Gregory sambil terkekeh dan mengerlingkan matanya.

Sepertinya Timothy sedang meledek pria itu, membuat Gregory menundukkan kepalanya, telinga kanannya terlihat memerah.

Maximillian yang sedang duduk santai di ruang tengah apartemennya hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa. Vincent lalu melambaikan tangannya ke arah pria itu untuk menyapanya. Kekasih Timothy itu lantas melambaikan tangannya pula, lalu berdiri dari duduknya saat mendengar Sebastian memanggilnya dari arah dapur.

Ia lalu menoleh ke sampingnya, melihat raut wajah Gregory seperti hendak minta tolong karena pelukan sahabatnya itu terlalu kencang. Ia hanya tertawa saat mendengar Gregory menanggapi dengan sedikit malas. Pria itu memutar kedua bola matanya sambil mendesis.

“Gue selalu keren, Tim, what the hell?”

Timothy hanya terkekeh sambil melepaskan pelukannya. Sahabatnya itu mengenakan sweater agak tebal berwarna hitam putih dan celana jins hitam, lengkap dengan ikat pinggang berlogo “G” dibagian tengah. Ke manapun sahabatnya itu pergi, ia selalu terlihat modis.

Vincent hanya dapat menyunggingkan senyumnya sambil menggelengkan kepala.

Ekstra sekali dia hari ini, padahal mereka hanya akan pesta barbekyu dengan sederhana.

“Galak banget sih lo sekarang, Grego? Lo ketularan sahabat gue, ya?” Vincent mendengar Timothy berkata demikian, sambil melirik ke arahnya.

Ia lalu mendengar Gregory menjawab dengan spontan sambil menepuk lengannya pelan. “Dia itu kaku, Timmy, bukan galak.” Pria itu menyambung lagi saat melihat raut wajahnya yang datar. “Vin, gue hanya bercanda. Jangan kusut gitu mukanya!”

Vincent hanya berdecak sambil mengajak Gregory dan Timothy berjalan ke ruang tengah. “Iya, saya tahu. Yuk, kita ke atas.” Ia lalu mengedarkan pandangan matanya dan bertanya pada sahabatnya. “Warren dan Tobias sudah datang, Timothy?”

Pria itu hanya mengangguk sambil menyugar surai tebalnya. “Sudah di rooftop, Vin. Yuk naik, sebelum terlalu sore.”

Ia lantas mengiyakan ajakan Timothy dan mampir ke kamarnya sebentar untuk menutup pintu.

Your place is nice, Vin. Nyaman banget,” kata Gregory terkekeh sambil menaiki anak tangga apartemennya. “Gue ingat dulu benar-benar ingin tinggal di sini, tapi uangnya nggak ada.”

Apa ini terlalu cepat?

“Ah, thank you, Gregory. Kamu bisa datang ke sini kapanpun kamu mau,” katanya sambil menatap mata pria itu lekat. “I will always welcome you.”

Gregory lalu menoleh, kedua mata bulatnya balik menatapnya sambil menyeringai. Senyumnya terlihat tulus, membuat hatinya sendiri terenyuh dan ikut tersenyum. “Thank you, Vin. I will remember that.”


Vincent merasa hari ini adalah hari yang menyenangkan. Ia dan teman-temannya mengadakan pesta barbekyu sederhana sambil berbincang dan bersenda gurau. Ini adalah kali pertama mereka mengadakan acara makan malam seperti ini di apartemen, tidak perlu melakukan reservasi di sebuah restoran dan repot-repot melawan kemacetan.

Ia pun bersyukur, Sebastian dan Tobias yang juga pemilik salah satu restoran masakan Indonesia di Paris itu memang ahli memasak. Vincent akui, masakan kedua temannya itu memang patut diacungi jempol. Walaupun malam ini mereka hanya makan steak dan dilengkapi dengan various wines (pilihan Vincent, tentunya), namun baginya, malam ini terasa sangat istimewa.

Biasanya, mereka akan makan siang dan/atau makan malam di sebuah restoran, menghabiskan waktu dengan berbincang dan membicarakan banyak hal. Namun memang tidak pernah terasa begitu intim. Sebastian pun menyayangkan, mengapa rencana seperti ini baru terpikirkan oleh mereka.

Pemandangan dari rooftop apartemen mereka pun sangat indah, terlihat Menara Eiffel dari kejauhan, menjulang tinggi dihiasi cahaya lampu berwarna kuning. Hamparan langit biru gelap menemani mereka malam ini, memberikan rasa hangat yang luar biasa.

Saat ini mereka bertujuh tengah duduk berhadapan, hendak menyantap suap daging terakhir yang disajikan oleh Sebastian dan Tobias. Sedari tadi Vincent sudah membuka satu botol red wine, menuangkan isinya pada gelas masing-masing, termasuk milik Gregory. Pria yang duduk di sampingnya itu terlihat kekenyangan sambil memegangi perutnya dan menyandarkan tubuhnya pada kursi.

Vincent terkekeh dan menepuk bahu pria itu pelan, menggerakkan botol wine itu di depan wajah lelahnya. Gregory mengangguk sambil mengerjapkan matanya, mengucapkan terima kasih kemudian saat Vincent sudah mengisi setengah gelas winenya dengan minuman beralkohol itu.

Tak lama kemudian, ia pamit pada Gregory untuk turun dari rooftop. Ia hendak mengambil piringan hitam dan gramofonnya untuk menemani makan malam mereka. Sebastian dan Tobias masih sibuk memanggang daging diatas grill pan, sedang keempat temannya termasuk Gregory sedang membicarakan tempat wisata di kota Paris dan sekitarnya yang belum pernah mereka kunjungi.

Vincent lalu memilih beberapa koleksi musik jazz favoritnya yang tersimpan rapi pada lemari koleksinya, menghabiskan waktu sekitar lima menit di sana, lalu kembali ke rooftop dengan tergopoh-gopoh. Ia tidak tahu mengapa ia sama sekali tidak meminta bantuan temannya untuk membawa gramofon yang cukup berat. Bahkan ia mengapit beberapa koleksi piringan hitamnya di ketiak.

Saat Vincent sudah meletakkan alat pemutar piringan hitam miliknya itu diatas meja, ia lalu memilih salah satu koleksinya dan memutarnya. Setelah ia memastikan bahwa lagu pada piringan hitam itu terdengar, ia lantas mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah tempatnya duduk.

Ia melihat Gregory sedang bertopang dagu, memperhatikan kerlip lampu Menara Eiffel dari kejauhan dengan kedua mata bulatnya yang berbinar. Pria itu sudah melepaskan jaket jins yang tadi dikenakan, menyisakan turtleneck yang terbentuk mengikuti lekuk tubuhnya.

It's beautiful, isn't it, Gregory?” Vincent bertanya pada pria itu, sambil mengambil napkin berwarna putih yang diletakkan diatas kursinya tadi dan kembali duduk di sana.

Gregory terlihat terperanjat, sepertinya pria itu sedang larut dalam lamunannya sendiri. Ia lantas menoleh ke arahnya dan tersenyum simpul. “Yeah, it is, Vin. Gue baru tahu kalau dari apartemen lo, kita bisa melihat Menara Eiffel dari kejauhan seperti ini.”

Pria itu menumpu sikunya di meja, menggunakan telapak tangannya untuk menyanggah kepalanya. Surai hitamnya tertiup angin, menutup kedua mata bulatnya yang indah. “The owner didn't mention this spot on the website, no?”

Vincent menggeleng sambil tersenyum, mendengar samar-samar lagu jazz favoritnya tumpang-tindih dengan suara tawa teman-temannya. Ia lalu mengangkat tangannya, menyentuh rambut Gregory dan menyisirnya pelan dengan jemarinya.

Ia melakukannya berulang-ulang sambil menatap kedua mata bulat pria itu dengan teduh. “No, Gregory. Do you like it?” Vincent bertanya sambil jemarinya bergerak ke arah belakang telinga pria itu untuk menyelipkan rambutnya.

I love it, it looks so pretty. Kapan waktu, kita ke sana yuk, Vin?”

Ia mengangguk sambil mengusap kepala pria itu pelan dengan ibu jari tangannya. “Boleh, Gregory. I'd love to.”


Udara kota Paris malam ini cukup dingin, membuat Sebastian akhirnya mengusulkan untuk melanjutkan perbincangan di ruang tengah apartemen saja.

Sekitar satu jam lamanya mereka habiskan untuk membersihkan sisa makanan dan mencuci peralatan makan yang telah digunakan saat pesta barbekyu tadi. Bahkan Gregory sempat membantu Vincent saat memindahkan gramofon dan beberapa keping piringan hitam yang dibawanya ke rooftop tadi untuk dikembalikan di tempatnya semula.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat mereka akhirnya memutuskan untuk menyudahi acara malam ini. Vincent mengucapkan terima kasih dan tentunya, mengusulkan pada teman-temannya agar menjadikan kegiatan itu sebagai ritual rutin setiap bulan.

Timothy adalah orang pertama yang melonjak dari duduknya sambil menari-nari kegirangan saat mendengarnya mengusulkan ide itu. Sahabat Vincent itu sudah terlihat agak mabuk karena menghabiskan hampir tiga gelas wine dalam waktu yang singkat. Maximillian lalu berdiri, menarik tangan kekasihnya itu pelan dan mengajaknya untuk kembali ke kamar tamu.

Keduanya sudah meminta izin padanya dan Sebastian serta Tobias untuk menginap malam ini. Mereka bertiga tentu langsung mengiyakan, toh apartemen mereka menyediakan empat kamar tidur yang cukup besar untuk ditempati oleh teman-temannya itu. Sedangkan Warren sudah sedari tadi pamit untuk beristirahat di kamar lainnya. Teman baik Gregory itu sepertinya terlalu lelah karena sebelum acara makan malam, ia sempat latihan di studio dengan klubnya.

Tak lama, Sebastian dan Tobias pun pamit pada Vincent dan Gregory untuk kembali ke kamar mereka, hendak mandi lalu istirahat karena kelelahan sehabis memasak untuk tujuh orang malam ini. Vincent yang sedari tadi sedang duduk diatas sofa sambil memperhatikan Gregory, hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jari tangannya.

Gregory sedang berdiri di depan lemari berwarna hitam yang berisi koleksi piringan hitamnya. Raut wajah pria itu terlihat serius membaca setiap koleksi miliknya sambil mengernyitkan dahinya.

Melihat pria itu sedang lengah, maka Vincent lantas berdiri dari duduknya dan melangkah ke arah piano yang terletak persis di sebelah lemari koleksinya. Ia mengeluarkan handphonenya dari saku celananya dan meletakkannya diatas piano. Menarik bangku kecil yang berada dekat pianonya kemudian untuk duduk.

Ia lalu membuka penutup pianonya, menyentuh satu tuts yang mengeluarkan denting nada tinggi. Seketika aksinya barusan mencuri perhatian Gregory, hingga akhirnya pria itu menoleh ke arahnya.

Gregory menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum sumringah. Vincent pun melemparkan senyumnya pada pria itu, kedua tangannya sudah siap diatas deretan tuts untuk memainkan sebuah piece dari Emile Pandolfi yang sejak lama ingin ia mainkan untuk Gregory.

Vincent berharap pria itu akan menyukainya.

Maka ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, sebelum akhirnya ia memainkan nada indah itu dengan kedua tangannya, sambil tetap menatap Gregory lekat-lekat.

Ia sudah hafal piece itu diluar kepala, merasa tidak perlu lagi memperhatikan setiap gerak jari-jemarinya di sana.

Vincent melihat Gregory melangkah ke arahnya, lalu menyandarkan tubuhnya pada piano sambil melipat kedua tangannya didada. Pria itu tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya, kedua mata bulatnya terlihat mengerling.

Nada demi nada terdengar indah, bersamaan dengan jarinya yang memainkan lagu itu dengan lancar, tanpa cela sama sekali. Ia masih tetap menatap lekat-lekat sepasang mata indah dan bibir mungil itu bergantian. Vincent tidak dapat memalingkan pandangannya dari pria itu.

Akhirnya, ia bisa memainkan piece itu tanpa harus merekamnya dan mengirimkannya pada Gregory. Akhirnya ia memiliki waktu untuk memainkannya secara langsung dan mempersembahkannya untuk pria itu.

Is this for me?” Gregory bertanya sambil melangkahkan kakinya ke arah bangku yang sedang diduduki olehnya itu, memintanya untuk bergeser. Vincent lantas menggeser pantatnya dan mempersilahkan pria itu duduk di sampingnya.

Vincent merasakan tubuh mereka bersentuhan karena space bangku yang tidak terlalu panjang itu. “It is for you, yes, Gregory. Kamu suka?”

“Sangat suka, Vin. I feel like I'm about to cry. It's so beatiful. Apa judulnya?” Pria itu berbisik sambil menaruh kepalanya pada bahu Vincent yang masih memainkan piece itu lagi, mengulangnya dari awal.

So This Is Love. Emile Pandolfi's,” jawabnya sambil menumpukan kepalanya pada kepala pria itu. Posisi ini sebenarnya tidak terlalu nyaman, pergerakan tangan kanannya pada tuts piano sangat terbatas, namun Vincent tidak peduli.

Jika Gregory merasa nyaman duduk seperti ini, ia akan dengan senang hati melakukannya.

Momen seperti ini membuat dada Vincent berdegup lebih cepat dari biasanya, ia bisa merasakan hembusan napas hangat Gregory pada lengan kanannya.

Ia merasakan telapak tangan Gregory mengusap pelan lengannya turun naik, seiring jemarinya sendiri bergerak ke sana kemari memencet tuts pianonya.

Gregory lalu mengangkat kepalanya dan menoleh ke arahnya sambil tersenyum.

Jujur, Vincent sedikit panik saat ia mendengar pria itu mengeluarkan suara dari hidungnya seperti sedang menangis.

Ia lantas menghentikan gerakan jarinya saat melihat sepasang mata bulat pria itu berair. Ia dengan sigap mengangkat tangan kirinya untuk mengusap mata pria itu. Ia tidak bisa menahan nada khawatirnya saat bertanya pada pria itu.

“Ada apa, Gregory? Why are you crying? Does this piece remind you with something? Mon dieu, I'm sorry okay I will sto—

Pertanyaan demi pertanyaan yang bertubi-tubi ia ucapkan seketika berhenti keluar dari mulutnya saat ia merasakan dua kecupan mendarat dibahunya. Walaupun Vincent saat ini mengenakan pakaian yang cukup tebal, namun ia dapat merasakan betapa hangat bibir pria itu saat mengecup bahunya.

Gregory lalu meletakkan dagunya pada bahunya, menatap matanya lekat-lekat sambil berbisik. “This is happy tears, Vin. Thank you so much.”

Ia hanya dapat menghela napas pelan sambil tersenyum, merasakan hangatnya napas mereka melebur jadi satu. Vincent lalu mengangkat tangannya dan menyentuh pelan hidung pria itu dengan jari telunjuknya.

Ah, I'm glad, Gregory.”

I like you.

Vincent rasanya ingin sekali mengatakan tiga kata itu secara lantang, menyampaikan perasaannya pada Gregory saat ini juga. Namun ia tidak ingin merusak suasana. Ia merasa, lebih baik ia urungkan niatnya itu.

Ia tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu rasakan. Sampai saat ini Vincent belum mampu membedakan apa keistimewaan dirinya sendiri dengan orang-orang terdekat Gregory.

Mungkin suatu hari nanti, ia akan berani mengatakannya secara langsung pada pria itu, saat dirinya benar-benar mantap dan merasa yakin bahwa Gregory merasakan hal yang sama.

Entah kapan, namun Vincent tahu, ia akan bersedia menunggu.

⚠️ cw // mention of insecure thoughts


Gregory dan Vincent akhirnya sampai di Tuileries Garden setelah sepuluh menit menempuh perjalanan dari Caveau de la Huchette. Taman yang sangat luas itu tidak terlalu ramai sore ini, mungkin para pengunjung tersebar ke segala penjuru taman yang diketahui dua puluh dua hektar luasnya. Gregory sempat terbelalak dan menggelengkan kepalanya tidak percaya saat Vincent memberitahunya, menjelaskan padanya sejarah dibalik taman itu.

Mereka akhirnya memasuki kawasan taman melalui akses Quai des Tuileries beberapa saat lalu. Cuaca dan udara pun sepertinya sedang bersahabat dengan mereka hari ini; tidak terlalu panas, namun sinar matahari masih cukup untuk menghangatkan tubuh mereka.

Ia mengedarkan pandangannya, mengagumi betapa luasnya taman itu dengan kedua matanya. Seketika ia menyesal karena tidak membawa serta kameranya hari ini, maka dengan berat hati sepertinya ia akan mengabadikan keindahan taman itu dengan kamera handphonenya saja.

Gregory merasakan hembusan angin sore hari kota Paris menerpa rambutnya yang agak panjang, membuatnya beberapa kali harus menyelipkan rambutnya dibelakang telinganya. Ia mendengar Vincent yang sedang berdiri di sampingnya hanya terkekeh, membuatnya lalu menoleh dan melirik pria itu tajam. Sedang Vincent hanya tersenyum simpul sambil melepas kacamata bulatnya. Ia lalu memasukkan benda itu dalam saku celananya, memejamkan mata kemudian, merasakan hembusan angin yang mengenai wajahnya.

Sepasang matanya tidak bisa berpaling dari sebuah kesempurnaan yang sekarang berdiri tepat di sampingnya. Vincent terlihat sedang memejamkan kedua matanya, seperti menikmati suasana tenang taman itu sambil mendengarkan kicauan burung-burung di udara.

Vincent sepertinya tidak menyadari bahwa sedari tadi dirinya sedang memandangi pria itu lekat-lekat, ingin merekam momen itu dalam otaknya dan memutarnya berulang-ulang. Ia baru menyadari bahwa Vincent memiliki bulu mata yang lentik, lebat, dan panjang. Pun pria itu memiliki hidung yang mancung dan rahang yang tegas. Surai hitamnya yang panjang terkuncir membentuk bonggol, memperjelas bentuk wajahnya dari samping.

Gregory rasanya ingin sekali melukis wajah pria itu diatas kanvas suatu hari.

“—gory?” Panggil Vincent lembut, namun cukup untuk membuyarkan lamunannya. Ia lantas mengerjapkan matanya lalu menyunggingkan senyumnya. Mencoba agar tidak terlihat kikuk dan memalukan.

Ya Tuhan, apa Vincent akan melihatnya seperti orang aneh?

Something on my face? Kok kamu sampai tidak berkedip begitu?” Pria itu bertanya sambil memiringkan kepalanya. Manik hazelnya menatap mata bulat Gregory teduh.

Ia hanya dapat menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lebar.

Vincent hanya berdecak sambil tersenyum. “Okay.”

“Gue mau duduk di sana, dekat air mancur, Vin. Boleh?” Gregory bertanya, berusaha mengalihkan pembicaraan itu. Ia menunjuk ke arah kursi-kursi berwarna hijau muda yang berjejer mengelilingi sisi sebuah kolam air mancur yang cukup besar. Ia pun melihat patung-patung berdiri mengelilingi kolam itu.

Gregory berpikir, sepertinya mereka berdua bisa menikmati suasana taman sambil duduk-duduk santai di sana.

Vincent lantas melemparkan senyum simpul padanya dan mengangguk. “Ah, Grand Bassin Rond. Boleh. After you, Gregory. Pilih saja kamu ingin duduk di mana,” kata pria itu menjawabnya dengan lembut sambil mempersilahkannya untuk jalan ke arah kolam air mancur itu terlebih dahulu.

Gregory lantas membalasnya dengan anggukan antusias dan melangkahkan kakinya dua kali lebih cepat dari Vincent. Ia tidak sadar bahwa telah meninggalkan Vincent jauh di belakangnya. Ia hanya khawatir seseorang akan mengambil kursi incarannya jika ia tidak segera melangkah ke sana. Ia akhirnya memilih spot kursi kosong yang dapat diduduki olehnya dan Vincent.

Jujur, ia tidak ingin duduk terlalu berdekatan dengan para pengunjung lainnya. Ia ingin menghabiskan waktu sore ini dengan Vincent dengan leluasa, tanpa gangguan suara dari orang-orang yang juga sedang berdiri dan duduk-duduk di sekitar kolam itu.

Gregory lalu mengambil duduk, melepaskan tas ranselnya dari bahunya dan meletakkannya di samping tempatnya duduk. Vincent akhirnya mengikuti dan mengambil tempat di sebelahnya. Pria itu terdengar menghela napas lega, sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi. Ia lalu menyilangkan kakinya yang jenjang sambil melipat kedua tangannya didada.

I love this spot. Great choice, Gregory,” kata Vincent sambil menoleh ke arahnya dan menunjukkan senyum kotaknya. Surai hitamnya terlihat tertiup angin, anak rambut pada dahi pria itu bergerak ke sana kemari.

Mendengarnya, Gregory hanya bisa memutar kedua bola matanya lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi, sambil menarik jaket kulitnya yang sedikit tertekuk pada bagian punggungnya. “My choice is always great, Vincent, what do you mean?” Gregory lantas tertawa geli saat mendengar pria yang lebih tua darinya dua tahun itu mendengus sambil menggelengkan kepalanya.

“Iya, saya tahu pilihan kamu selalu tepat,” pujinya sambil mengurai lipatan tangannya didada dan mengalihkan pandangannya ke sekeliling kolam air mancur di hadapan mereka itu. “Saya bingung mengapa saya baru sempat mengajak kamu ke taman ini sekarang. Padahal tempat ini terasa nyaman, don't you think?”

Gregory membalas pertanyaan pria itu dengan menggumam, sambil tetap memandangi wajah Vincent yang sedang duduk di sampingnya.

Ia baru menyadari bahwa rindu yang selama seminggu ini bercokol dalam dadanya masih terasa di sana, memenuhi seluruh rongga dadanya hingga terasa sesak.

Ia bingung, padahal pria yang menjadi sumber kerinduannya itu sekarang sudah duduk di sampingnya, berjarak kurang dari satu meter dengannya.

Namun mengapa rasa itu tidak juga hilang?

Sejujurnya, ia takut Vincent tiba-tiba akan hilang dari hidupnya dan pergi meninggalkannya. Hadirnya Vincent dalam hidupnya ibarat sebuah kejutan undian milyaran rupiah, yang hanya dapat terjadi sekali seumur hidupnya. Ia merasa tidak akan bertemu lagi dengan seseorang seperti Vincent; pria yang begitu sempurna dan berkharisma, walaupun ia akui, pria itu sangat misterius.

Gregory tiba-tiba teringat akan beberapa hal yang membuatnya bingung dan penasaran selama sepekan terakhir. Berhari-hari ia sibuk menerka-nerka sendiri jawaban atas pertanyaan itu.

“Vin, can I ask you something?” Gregory akhirnya memulai. Suaranya yang serak membuyarkan lamunan Vincent. Seketika pria itu menoleh dan menatap matanya. Ia lalu mengubah posisi tubuhnya dan duduk menghadap ke arah Vincent. Gregory duduk bersila, sambil kedua tangannya diletakkan pada pangkuannya.

Vincent menggumam sambil menghadapkan tubuhnya ke arahnya. Pria itu lalu menjulurkan tangan kirinya dan meletakkannya pada sandaran kursi. “Of course, Gregory. Apa yang ingin kamu tanyakan?” Ia mendengar pria itu bertanya sambil terlihat menyugar anak rambutnya yang sedari tadi ditiup angin dengan tangan kanannya.

Ia mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan hal pertama yang terlintas dalam pikirannya.

About the last baton you tweeted a week ago... itu maksudnya apa, Vin?”

Gregory bertanya dengan hati-hati. Pria yang sedang duduk di sampingnya itu menatap kedua matanya lekat-lekat sambil tersenyum simpul. Hanya itu respon yang Vincent berikan.

Ia lantas mengernyitkan dahi dan memiringkan kepalanya.

Mengapa pria itu hanya tersenyum? Tolong jangan begitu!

“Kok lo senyum doang sih, Vin?”

You're so straightforward sometimes, Gregory. I like it,” balas Vincent santai sambil menghela napas pelan. Pria itu menatap kedua mata bulatnya, seperti berusaha mentransfer jawabannya dengan manik hazelnya.

I like it, katanya. Tiga kata sederhana yang berhasil membuat kupu-kupu dalam dada dan perutnya menari-nari, bersamaan dengan kicau burung di udara.

Apa mereka semua bersekongkol?!

Ia lalu mendengus dan menggeram, berusaha menghindari sorot tajam sepasang mata pria itu dengan mengedarkan pandangannya ke arah lain. “Vincent, gue tanya serius! Ayo dijawab, nggak sabaran nih gue,” keluhnya sambil memutar kedua bola matanya.

Vincent lantas tertawa pelan lalu berusaha meminta maaf padanya. “Maaf, saya hanya iseng.” Gregory hanya menanggapi dengan berdecak, masih belum mau menatap manik hazel itu.

Namun ia lantas terpaku dan merasa panik saat Vincent berkata padanya dengan suaranya yang berat. “Gregory, look at me.”

Ia tidak pernah secepat itu menolehkan kepalanya, matanya bertemu dengan sorot mata Vincent yang sekarang terlihat teduh.

Pria itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah dahi Gregory. Sebentar, apa yang akan Vincent lakukan? “Saya hanya ingin kamu tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan dan memedulikanmu,” jelas pria itu lembut sambil menyisir rambutnya yang jatuh dan menutupi kedua matanya.

Ia terpaku, merasakan bulu kuduknya meremang secara tiba-tiba akibat aksi Vincent barusan. Jemari Vincent bersentuhan dengan dahinya saat pria itu menyisir rambutnya.

Gregory hanya diam, kedua matanya masih menatap manik hazel pria itu, merasakan jemari pria itu masih menyentuh rambutnya.

Pria itu lalu menyelipkan surai hitamnya dibelakang telinganya.

Oh.

As simple as that. I hope you understand that I really found you interesting.” Vincent menyambung lagi sambil menarik tangannya, membuat Gregory sekilas merasa hampa. Ia merasa sudah rindu akan sentuhan sederhana itu. “But I won't force you if you don't want me to, okay, Gregory? Feel free to say no.”

Vincent lalu tersenyum sambil terus menatapnya.

No, no,” jawab Gregory cepat. Ia ingin, ia benar-benar ingin mempersilakan Vincent untuk membantunya. Hell, ia ingin Vincent terus membantunya sampai kapanpun. Ia ingin pria itu terus berada dekat dengannya.

Apa ia egois?

I really want you to, okay? Gue belum berterima kasih sama lo minggu lalu, so, thank you so much, Vin,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

Gregory merasa sangat beruntung. Mungkin nanti malam ia akan mengirim pesan pada Timothy dan berterima kasih pada teman dekatnya itu. Lagipula, ia dan Vincent tidak akan pernah bertemu jika Timothy tidak mengirimkan foto sang konduktor orkestra itu padanya.

My pleasure, bro.” Vincent membalasnya sambil terkekeh.

Mendengar kalimat pria itu barusan membuatnya mendelikkan kedua matanya dan mendesis kesal. Ia lalu menundukkan kepalanya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha menyembunyikan rasa malu sehabis menjawab pertanyaan Vincent.

Apa mereka berdua baru saja terdengar seperti sedang menyatakan perasaan mereka masing-masing?

“Gregory?” Vincent memanggilnya lagi, membuatnya lantas mendongak dan menatap mata pria itu.

“Ya, Vin?”

Pria itu terlihat mengulurkan tangannya ke arah Gregory sambil tersenyum.

Do you mind if I hold your hand?”

Gregory hanya tertawa sambil mengangguk, mengulurkan tangannya kemudian dan menautkannya dengan jemari pria itu.

Of course I don't mind, Vin.”

Vincent lalu menggenggam tangannya erat. Ia merasakan hangatnya telapak tangan pria itu. Ibu jari Vincent bergerak-gerak, mengusap punggung tangannya dengan lembut.

Thank you, for letting me be your last baton, Gregory. Saya akan berusaha membantumu mencapai titik bahagiamu, selama apapun prosesnya.”

⚠️ cw // mention of insecure thoughts, self-doubt


Selama Gregory tinggal dan hidup di Paris, tidurnya tidak pernah terasa sedemikian nyaman dan nyenyak seperti tadi malam. Ini adalah pertama kalinya ia merasa sangat segar saat bangun dari tidurnya, pun ia tidak memimpikan hal apapun. Ia sendiri terheran saat dirinya sama sekali tidak bisa mengingat apa saja yang menjadi bunga tidurnya tadi malam.

Tirai kamar apartemennya masih terbuka, lampu tidur pada nakas masih menyala, dan tangan kanannya masih memegang handphonenya. Gregory tidak pernah pergi tidur dengan tidak menutup tirai jendela kamarnya, dengan lampu tidur yang menyala, dan dengan handphone yang masih dalam genggaman tangannya.

Gregory akhirnya menegakkan tubuhnya hingga terduduk sambil menyibakkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Ia lalu mengucek kedua matanya sambil memutar lehernya dan meregangkan tubuhnya, mendengar bunyi gemeretak pada sendi-sendi punggungnya. Ia lalu menguap lebar, merasakan kantuk yang luar biasa masih menggelayut pada kedua kelopak matanya. Gregory berusaha menghalangi sinar matahari yang mengenai wajahnya dengan telapak tangannya, lalu menengok ke arah nakas, hendak melihat jam analog kuno miliknya yang sejak lama ia miliki saat masih tinggal di Indonesia.

Ia memicingkan mata, waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, namun rasanya seperti sudah tidur lebih dari dua belas jam. Gregory merasa bahwa tidur tadi malam adalah tidur ternikmat selama ia tinggal dan hidup di Paris.

Apakah rekaman instrumen milik Vincent benar-benar menjadi pengantar tidurnya tadi malam? Mungkin saja.

Gregory belum pernah bangun dari tidur malamnya dengan wajah yang dihiasi senyum lebar seperti pagi ini. Ia pun menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tersenyum kemudian, merasakan kedua pipinya menghangat dengan sendirinya, bukan karena sinar matahari pagi yang mengenai wajahnya. Sebuah rekaman yang dikirimkan oleh Vincent tadi malam masih terngiang jelas dalam kepalanya.

Tanpa sadar, Gregory pun merekam detik demi detik melodi yang dimainkan dengan indah oleh pria itu dalam kepalanya. Vincent menamai fail itu 'Gregory berceuse', yang artinya lullaby dalam bahasa Perancis. Semalam, rasa bahagia sekaligus terkejut membuat dadanya penuh sesak oleh letupan kembang api yang memeriahkan kesendiriannya di apartemen miliknya.

Saat dirinya sedang melamun memikirkan kejadian tadi malam, ia tiba-tiba dikagetkan dengan nada singkat dari handphonenya, tanda pesan masuk. Gregory lantas meraba kasur dan selimutnya untuk mengambil benda itu, dan tersenyum kemudian saat sudah menemukannya dan membaca pesan pada layar handphonenya.

Bonjour, Gregory. It seemed like you fell asleep last night. Did you sleep well? I hope you did. Saya mau tanya, jam berapa kita mau jalan hari ini? Apa kamu mau saya jemput, Gregory? Let me know, okay?

Pesan singkat dari Vincent membuatnya mengerang, merasakan bulu kuduknya meremang dan kedua telinganya menghangat. Ia yakin keduanya akan terlihat memerah jika ia berkaca.

Mengapa mereka terlihat seperti akan pergi kencan saja? Atau memang mereka berdua akan berkencan hari ini?

Ia lantas menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran dan imajinasi dari dalam kepalanya.

Tidak mungkin. Vincent berkali-kali menegaskan bahwa mereka berdua hanya teman. Ya, walaupun pria yang lebih tua darinya dua tahun itu pun berkali-kali melakukan sesuatu yang sepertinya tidak akan mungkin dilakukan seseorang untuk seorang temannya?

Pria itu mengirimkan tiga, tiga rekaman untuk dirinya, mengatakan bahwa dirinya bersedia membimbing Gregory mencapai titik bahagianya, menawarkan diri untuk menggandeng tangannya sambil menaiki tangga cita-citanya, dan mengatakan bahwa pria itu merindukannya juga.

Tidak mungkin semua hal tersebut dilakukan oleh Vincent jika ia hanya menganggap Gregory sebagai seorang teman, 'kan?

Tidak mungkin. Para teman dekatnya, bahkan Thomas yang adalah sahabatnya sekalipun, tidak pernah melakukan semuanya itu.

Hanya seorang Vincentius. Hanya pria itu.

Gregory tahu, saat ini ia terdengar seperti ingin menyenangkan dirinya sendiri, memikirkan berbagai kemungkinan dan membayangkan jika semuanya itu memang hanya dilakukan untuk dirinya.

Ia lalu menghela napas berat, menyadari bahwa sedari tadi dirinya hanya berimajinasi dengan pikiran gilanya. Ia mendengus dan menggeleng sambil menepuk pelan kedua pipinya, berusaha menyadarkan dirinya sendiri.

Gregory lantas memfokuskan pikirannya kembali pada handphonenya, membalas pesan Vincent dengan senyum merekah pada wajahnya.

Hei, Vincent. I slept so well, thanks to you. I'm sorry I left you on read. Nggak perlu, nanti gue berangkat sendiri aja. Ketemu di Caveau de la Huchette jam dua siang, boleh, Vin? Nanti dari sana baru kita ke Tuileries Garden? Looking forward to meeting you soon, sudah kangen banget! Hehe.

Tak lupa ia menambahkan emoji khas miliknya sebagai pemanis.

Ia ingin segera bertemu dengan pria itu, setelah sekitar seminggu lamanya mereka berdua tenggelam dalam kesibukan masing-masing.

Seminggu lamanya, sejak Vincent secara gamblang dan yakin menawarkan dirinya sendiri sebagai baton terakhir dalam hidupnya.

Oh, Gregory benar-benar tidak sabar!


Gregory membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit lamanya untuk menempuh perjalanan dari apartemennya yang terletak di daerah Rue des Meuniers hingga akhirnya sampai di stasiun Notre-Dame-Quai de Montebello. Hari ini ia melakukan perjalanan ke daerah Rue de la Huchette dengan menggunakan metro. Beruntung letak apartemennya tidak jauh dari stasiun metro terdekat, hanya berjarak sekitar dua ratus meter dengan berjalan kaki.

Cuaca siang ini tidak terlalu panas, pun udara tidak terlalu dingin. Pakaian yang dipilih oleh Gregory pun sepertinya cocok dikenakan untuk bertemu dengan pemilik bar beberapa saat lagi.

Ia lalu merapatkan bagian depan jaket kulitnya yang berwarna hijau army itu, lalu melipat kedua tangannya didada sambil melangkahkan kakinya cepat. Ia tidak ingin terlambat untuk memenuhi janji temu dengan seorang pria yang bertanggung jawab atas jazz bar yang sudah berdiri sejak tahun 1946 itu.

Alasan mengapa tiba-tiba Gregory secara impulsif mencari kontak pemilik bar terkenal itu, pertama adalah semata-mata ingin merealisasikan mimpinya yang ingin ia capai sejak lama. Ia ingin menjadi musisi dan solois terkenal yang bernyanyi dan menghibur para tamu di salah satu jazz bar ternama di Paris.

Namun akhirnya ia memutuskan untuk menunda rencananya mewujudkan impiannya itu, mengingat beberapa bulan lalu, ia baru saja diputus kontrak kerjanya secara sepihak oleh klub musiknya. Gregory tidak mungkin nekat dan langsung mencoba peruntungannya dan pindah ke bar yang jauh lebih besar dan terkenal saat itu juga.

Alasan kedua, ia mengingat bagaimana dirinya merasa insecure saat Vincent datang ke bar seminggu yang lalu saat dirinya bekerja, bagaimana ia merasa jauh “dibawah” Vincent dengan segala masalah dan baggage yang ia miliki. Walaupun akhirnya, ia memutuskan untuk terbuka dengan pria itu, menceritakan kekhawatirannya dan hal apa yang selalu mengusik pikirannya.

Maka ia bertekad untuk mencari job baru jika ingin cepat mengejar karir dan mimpinya yang selama ini ia cita-citakan. Gregory tahu betul, bagaimana ia benar-benar harus membagi waktu jika nanti jazz bar impiannya akan menerima lamarannya.

Gregory berharap, dengan bermodalkan suaranya yang lebih dari cukup dan keahliannya bermain gitar, ia akan mendapatkan job impiannya itu.

Satu langkah menuju impiannya.

Satu langkah pada anak tangga yang akan ia lewati bersama dengan Vincent.

Setelah sekitar dua menit berlalu, akhirnya ia sampai di depan bar yang terlihat sedang kosong dan gelap dari luar. Gregory mendongak, memastikan bahwa ia sampai di lokasi tujuan yang benar. Ia melihat signage khas bar itu yang memakai lampu neon berwarna merah, yang berbunyi “Caveau de la Huchette”.

Ia menghela napas agak keras, memejamkan matanya barang sebentar, sambil kedua tangannya menggenggam erat tali ransel pada pundaknya.

Ia memanjatkan doa singkat agar interview hari ini berjalan dengan lancar, sebelum akhirnya melangkahkan kaki ke arah jazz bar itu dengan mantap.


Surprisingly, interview yang berlangsung sejak satu jam yang lalu berjalan dengan lancar. Bahkan tergolong sangat lancar. Sang manajer bar itu mengajak Gregory membicarakan banyak hal tentang musik dengan santai, layaknya sedang mengobrol dengan seorang teman. Pria itu humoris, tidak hanya sekali dua kali Gregory tertawa lepas sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia tidak merasa tegang sama sekali, justru merasa sangat nyaman saat bertukar pikiran dengan pria paruh baya yang bernama Alex itu.

Alex sempat memesankan segelas bir untuknya saat mereka sedang mengobrol tadi, namun Gregory hanya meneguk sepertiga isi gelas itu. Ia ingat bahwa sebentar lagi akan bertemu dengan Vincent. Ia tidak ingin kekenyangan karena minum bir pada siang hari.

Siapa tahu, Vincent akan mengajaknya makan siang atau makan malam, 'kan? Walaupun pria itu tidak menyinggung hal itu sama sekali, tapi sepertinya tidak ada salahnya berharap?

Sedari tadi dadanya berdegup kencang, kaki kanannya bergerak seperti sedang menjahit dengan mesin, dan jari tangan kirinya yang menarik kutikula pada kuku jemari tangan kanannya. Ketiganya adalah tanda setiap kali Gregory merasa gugup; Alex sepertinya tidak mengamatinya secara detail saat tadi mengobrol dengan Gregory.

Entah mengapa dirinya merasa gugup, atau mungkin ini adalah tanda-tanda bahwa ia sangat bersemangat akan bertemu dengan Vincent? Ia tidak tahu. Mungkin ini juga adalah rasa rindu yang sudah tidak terbendung selama seminggu penuh, sejak terakhir kali mereka berdua bertemu di Les Disquaires.

Waktu pada jam kuno yang tergantung pada dinding Caveau de la Huchette menunjukkan pukul dua siang tepat saat Gregory akhirnya pamit pada Alex setelah menjalani interview. Senyum lebar sama sekali tidak meninggalkan wajah pria paruh baya itu, membuat Gregory cukup yakin bahwa ia akan mendapatkan kesempatan untuk meramaikan bar dan menghibur para tamu dengan suaranya selama lima hari setiap minggunya.

Gregory lantas berdiri dari duduknya, membawa tas ranselnya serta sambil merogoh saku jaket kulitnya untuk mengambil handphonenya yang masih dalam mode sunyi. Seketika kedua matanya berbinar, senyumnya tersungging lebar saat melihat notifikasi pesan dari Vincent. Pria itu memberitahunya bahwa dirinya sudah sampai di depan bar dan menunggu Gregory di sana. Ia lantas melangkahkan kakinya lebar-lebar sambil merapikan kaos oblong putih yang dikenakan sambil memasukkannya kedalam celana jinsnya.

Ia lalu mengangkat kepalanya, melihat siluet Vincent di luar, sedang menyandarkan tubuhnya pada pintu bar sambil menundukkan kepalanya, sepertinya sedang memainkan handphonenya. Dada Gregory berdegup sedikit lebih cepat dari sebelumnya, merasakan langkah kakinya semakin cepat menuju pintu untuk menghampiri Vincent yang terlihat sangat tampan dari tampak belakang.

Ia akhirnya sampai pada pintu masuk bar, lalu membukanya sedikit bersemangat, menyebabkan bunyi “kriet” terdengar cukup keras, membuat Vincent seketika terlihat terkejut dan menegakkan tubuhnya.

Sepasang mata bulat miliknya akhirnya bertemu dengan manik hazel yang sudah lama sekali Gregory rindukan. Beberapa panggilan video yang mereka lakukan tidak bisa mengobati rasa rindunya menatap sorot teduh pria itu.

“Vin!”

Gregory memanggil dengan riang, tidak peduli dengan orang-orang di sekitar bar yang sedang berlalu-lalang dan mendengar suaranya yang sedikit keras itu. Vincent terlihat tampan; pria itu mengenakan turtleneck berwarna abu gelap, dengan celana panjang berwarna senada. Rambutnya yang panjang terkuncir longgar, hampir mengenai lehernya.

Pria yang dipanggil olehnya itu akhirnya menoleh, menyunggingkan senyum kotaknya yang selalu berhasil membuat kedua lutut Gregory lemas.

“Hei, Grego—,” balas Vincent sedikit mengaduh sambil tertawa pelan. Suara berat pria itu terdengar jelas pada telinga Gregory. Ia seperti sedang mendengarkan suara pria itu dengan earbuds miliknya. “Aduh. What a nice welcome hug, Gregory. Bonjour.”

Gregory tersenyum lebar, setengah menyadari bahwa dirinya terlalu senang hingga akhirnya memberanikan diri untuk mengulurkan kedua tangannya dan mengalungkannya pada leher Vincent. Ia lantas menghirup aroma tubuh Vincent yang menguar dan menyapa indra penciumannya.

Rasanya Gregory ingin meninggalkan satu kecupan singkat pada ceruk leher pria itu. Namun tentu saja ia urungkan. Ia tidak ingin hubungannya dengan Vincent mundur seribu langkah hanya karena keinginan sesaatnya itu.

Saat Gregory merasa sudah cukup lama memeluk Vincent, ia lantas menarik tubuhnya dan hendak melepaskan kedua tangannya, sebelum ia merasakan kedua tangan memeluk tubuhnya. Ia merasakan hangatnya tubuh Vincent merengkuhnya, membuatnya ingin berteriak sekaligus membenamkan wajahnya pada ceruk leher pria itu lebih lama lagi.

“Pelukan kamu erat sekali, Gregory. Saya boleh balas pelukan kamu seperti ini, 'kan?” Ia mendengar Vincent berbisik tepat ditelinganya, membuat kedua lututnya terasa seperti jelly. Ia pun merasakan pelukan pria itu semakin erat pada punggungnya.

Gregory hanya bisa mengangguk pelan, menyunggingkan senyum simpulnya sambil menggigit bibir bawahnya. Kedua pipinya seketika memanas, membuatnya terasa seperti mie yang baru ditiriskan dari air mendidih.

Ia akhirnya menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Vincent, berusaha menjawab pertanyaan pria itu. “Boleh dong, karena gue sudah kangen banget, Vin.”

Ia mendengar pria yang sedang memeluk tubuhnya erat itu tertawa lebar, sambil menepuk-nepuk punggungnya dua kali. “Sama. Saya juga kangen dengan kamu. Tapi, apa kita berdua mau terus-terusan berpelukan seperti ini, Gregory?”

“Nyebelin banget lo ya,” desis Gregory sambil melepaskan kedua tangannya dari leher Vincent. Ia memutar kedua bola matanya malas saat melihat pria yang lebih tua dua tahun darinya itu menaikkan satu alisnya sambil menyunggingkan senyum kotaknya. “Yuk, Vin. Anyway, bonjour! Thank you so much ya, sudah mau jemput gue ke sini.”

Vincent terlihat mengangguk, lalu mengajaknya melangkah ke arah stasiun metro terdekat. Saat mereka sudah berjalan bersisian, pria itu membuka suara sambil menoleh ke arahnya. “No worries, Gregory. How was the interview? Though I know you always did great.”

Ia lantas berdecak sambil menggeleng, menolehkan kepalanya dan memandang kedua mata Vincent lekat-lekat. “Nggak usah gombal gitu deh lo. The interview was okay! Gue seperti bukan wawancara deh, Vin. Habisnya hanya ngobrol saja begitu. Santai banget.” Gregory menjelaskan sambil tersenyum. “Doain aja ya, gue diterima. I really want to get the job. Saw the bar on La La Land years ago, though. Lo sudah pernah nonton, Vin?”

Mereka berdua menyusuri jalan Rue de la Huchette, melewati kedai gelato favorit Vincent, Amorino, sebelum akhirnya berbelok ke kanan dan menyusuri jalan Rue du Chat Qui Pêche. Ia mendengar Vincent di sampingnya menjawab dengan nada yang bersemangat. “Actually... that's my favorite movie, and also my favorite bar, Gregory.”

Jawaban Vincent lantas membuatnya menoleh cepat, membelalakkan kedua mata bulatnya. “Oh, really? Kok nggak bilang ke gue dari awal saat tadi pagi gue info lo, Vin?”

Gregory melihat pria di sampingnya itu mengangguk, membuat bonggol kuncirannya yang longgar mengikuti gerakan kepalanya turun naik. “Ah, just wanted to give you surprise, I guess? Saya berharap kamu lolos interview. I will have another reasons to go there, Gregory.”

Kalau saja mereka berdua sedang tidak di tempat terbuka seperti ini, mungkin Gregory akan berteriak dan memukul lengan Vincent yang terlihat mengucapkan kalimat barusan dengan santai dan tanpa beban.

Apa Vincent tidak bisa menginjak rem sedikit saja? Sebentar lagi pria itu akan membuatnya gila!

Maka Gregory hanya bisa menggeram sambil menggigit bibir bawahnya lagi. Tahi lalat kecil persis dibawah bibir Gregory terpampang jelas saat ini. Ia menundukkan kepalanya, menyembunyikan betapa hangat kedua pipinya. Gregory sadar betul bahwa saat ini ia pasti terlihat seperti kepiting rebus berjalan.

Ia lalu melirik ke arah Vincent yang sedang terlihat serius menatap bagian bawah wajahnya. Gregory lantas mengernyit sambil berpikir dan dengan spontan bertanya pada pria itu. “Kenapa, Vin? Something on my face?”

Vincent lalu menggumam sambil menggaruk tengkuknya kikuk, seperti tidak tahu apa yang harus ia jawab. Gregory lantas tertawa agak keras sambil menepuk lengan pria itu pelan. “Gue hanya bercanda. Jangan tegang gitu, Vin. Santai aja kenapa, sih? Jangan kaku kayak kawat gitu, deh.”

Pria di samping Gregory itu lantas mengernyit sambil memiringkan kepalanya. Ia seperti tidak terima saat Gregory menyebut bahwa dirinya kaku seperti kawat. “Kamu kenapa ikut-ikutan teman-teman saya seperti itu? Memangnya saya sekaku itu ya, Gregory?”

Gregory akhirnya tidak tahan dengan kata-kata Vincent, membuatnya menggeram sedikit kencang. Beberapa orang melihat ke arahnya dengan tatapan aneh, namun ia tidak peduli.

Bro.” Gregory berkata dengan suara lumayan keras agar terdengar oleh Vincent, membuat pria di sampingnya itu akhirnya menoleh ke arahnya sambil mendelik. “Tuh, gue panggil bro sedikit langsung mendelik. Nanti matanya keluar, Vin.”

Ia terkekeh melihat Vincent memutar kedua bola matanya dan mendengus. Ia lalu mendengar pria itu tertawa kemudian sambil menggeleng heran.

Whatever, Gregory.”

Sebastian menawarkan diri untuk menyetir dari apartemen mereka sampai ke Les Disquaires, sebuah bar yang terletak di daerah Rue des Taillandiers. Perjalanan seharusnya hanya ditempuh dalam waktu lima belas menit dengan menggunakan mobil, dan jika lalu lintas lancar.

Pria yang lebih tua dua tahun dari Vincent itu merasa kasihan karena sang konduktor orkestra terlihat lelah sehabis melakukan latihan orkestra dengan klubnya selama lima jam. Vincent lantas mengiyakan tawaran temannya itu, karena ia merasa butuh untuk menggunakan waktu dalam perjalanan untuk memejamkan matanya dan beristirahat.

Sebenarnya, Vincent berniat untuk beristirahat dahulu sebelum mereka pergi. Namun niatnya itu terpaksa harus ia urungkan, lantaran latihan hari ini berlangsung lebih lama dari biasanya. Banyak sekali hal yang harus diurus dan dibenahi oleh Vincent siang tadi, yang menyebabkan dirinya harus mampir ke beberapa tempat sebelum akhirnya pulang ke apartemennya.

Ia pun tidak mengerti akan keputusannya bepergian menggunakan metro hari ini, padahal bawaannya hari ini cukup banyak; tas biola dan tas jinjingnya berisi baton stick dan puluhan lembar partitur untuk digunakan saat latihan hari ini.

Vincent hanya bisa merutuki dirinya sendiri hari ini. Rencananya dari pagi hingga sore ini sudah cukup membuatnya hampir naik darah, ia tidak ingin mengacaukan rencana besarnya hari ini untuk hadir saat Gregory bekerja.

Selama perjalanan menuju Les Disquaires, lalu lintas terlihat cukup lancar, tidak sepadat biasanya. Tobias duduk di samping Sebastian yang sedang mengemudi, mengobrolkan segala macam hal yang menurut Vincent tidak menarik.

Atau sebenarnya bukan tidak menarik, hanya saja, ia sedang fokus memikirkan hal lain?

Sepertinya benar. Ia sama sekali tidak mendengarkan, bahkan ikut menimpali pembicaraan kedua temannya itu, karena ia sedang memikirkan hal lain.

Entah mengapa, Vincent merasakan dadanya berdegup dua kali lebih cepat, dan ajaibnya, benar-benar mengalahkan rasa kantuk dan lelah yang sedari tadi seperti menggelayut pada kedua matanya dan seluruh tubuhnya.

Rasa itu perlahan menggerayangi dadanya sejak ia membuka pintu mobil Sebastian dan duduk pada sisi kanan belakang kursi penumpang. Vincent sempat berpikir, tidak mungkin rasa itu muncul hanya karena dirinya sebentar lagi akan bertemu dengan Gregory dan untuk pertama kalinya, akan mendengar pria itu bernyanyi, 'kan?

Tidak mungkin, yang benar saja.

Maka dengan cepat ia memasang earbuds pada kedua telinganya, sambil tangannya mengambil handphone yang sedari tadi ia letakkan disampingnya. Vincent lalu mencari instrumen musik klasik yang ada didalam handphonenya, yang biasanya ia dengarkan saat merasa gugup.

Mungkin aksi diam Vincent membuat Sebastian dan Tobias bertanya-tanya. Ia akhirnya menangkap dengan ekor matanya, Sebastian sedang menatapnya lewat kaca spion tengah. Ia hanya membalas dengan menyunggingkan senyum tipis, lalu membetulkan letak kacamatanya dengan ujung jarinya dan kembali menolehkan kepalanya ke arah jendela, menikmati lalu lintas kota Paris yang ramai lancar.

Ia berharap, rasa gugupnya akan hilang dengan sendirinya, seiring dengan instrumen musik klasik favoritnya yang mulai melantun lembut pada kedua telinganya.


Vincent merasa beruntung mengenakan pakaian yang tepat malam ini; turtleneck berwarna putih gading dan coat coklat muda berbahan suede miliknya. Ia tidak menyangka akan disambut dengan dinginnya angin malam yang berhembus cukup kencang dan menusuk tulangnya saat melangkahkan kakinya keluar dari mobil.

Ia merasakan bulu kuduknya meremang, memperparah rasa gugup yang sejak tadi membuatnya tidak nyaman, seperti ada firasat bahwa sesuatu akan terjadi sebentar lagi. Instrumen musik klasik yang ia dengarkan selama lima belas menit perjalanan ternyata tidak memberikan efek yang signifikan.

Ia lalu menghela napas, sambil memasukkan kedua tangannya pada saku coatnya.

Sepertinya udara dingin malam ini tidak mengurungkan niat orang-orang yang terlihat berkumpul di sepanjang jalan kecil Rue des Taillandiers. Suasana di beberapa toko dan restoran tergolong cukup ramai; Vincent dan kedua temannya harus ekstra hati-hati dengan barang bawaan mereka saat melawan arus lalu lalang orang yang memenuhi gang itu.

Tak membutuhkan waktu lama hingga akhirnya mereka sampai di depan bar Les Disquaires yang terlihat ramai. Tidak terlihat lagi sofa dan bar stool berwarna turquoise yang biasanya kosong saat siang hari dari luar. Sebaliknya, Vincent sudah melihat kumpulan orang sudah memenuhi bar itu hingga sesak, seperti tidak ada lagi area kosong untuk mereka berdiri dan bersantai sambil menonton Gregory tampil sebentar lagi.

Seketika terlintas pertanyaan dalam kepala Vincent. Apakah ini benar-benar tempat Gregory bekerja? Apakah pria itu harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Rue de Meuniers sampai tempat ini dengan menggunakan metro, setiap hari? Belum lagi jika pria itu harus pulang larut malam sambil membawa gitar dan tas ranselnya yang berisi banyak barang.

Vincent lalu menghela napas berat dan menggelengkan kepala, tidak ingin membiarkan pikiran dan rasa khawatir yang berlebihan memenuhi kepalanya dan membuatnya menjadi memikirkan hal-hal yang negatif.

Ia tidak sadar sedang melamun saat dikagetkan dengan suara Tobias yang sedikit berteriak, memanggilnya dan Sebastian. “Bas, Vin, kalian masuk duluan, ya. Gue mau ambil jaket dimobil. Dingin banget, gue takut masuk angin.” Tobias berkata sambil menjulurkan tangannya pada Sebastian, bermaksud meminta kunci mobil mereka yang dipegang oleh kekasihnya itu.

Vincent lalu melepaskan coatnya karena merasa tidak memerlukannya saat mereka masuk ke dalam bar, dan menyampirkan coatnya pada lengan kirinya.

I don't think you need your jacket,” balas Vincent santai, lalu menunjukkan senyum tipisnya. “Di dalam sepertinya akan penuh sekali? Gue juga ingin lihat Gregory perform dari dekat. Jadi sepertinya kita benar-benar akan masuk ke dalam dan akan kegerahan.”

Mendengar Vincent berkata demikian, Sebastian akhirnya mengalihkan pandangan matanya ke arah bar yang terlihat sudah penuh dari luar. Kedua matanya mengerjap, sambil memasukkan kunci mobilnya lagi pada kantong bagian dalam jaket kulit hitam yang ia kenakan.

“Ah, iya tuh, Bi, kelihatan sudah sumpek. Menurutku juga nggak perlu ambil jaket,” kata Sebastian sambil menunjuk ke arah bar dengan memajukan dagunya.

Tobias lantas menggumam, menangkap maksud kedua temannya dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran mereka. “Oh, alright, then.”

Mereka bertiga akhirnya memasuki Les Disquaires dan disambut dengan suara musik slow yang tidak memekakkan telinga. Cahaya dalam ruangan sudah temaram, menyesuaikan suasana bar malam itu.

Vincent lantas melangkahkan kakinya cepat, mengekor di belakang kedua temannya yang sudah masuk lebih dulu. Ia mengedarkan pandangan matanya, terlihat area sofa dan kursi sudah penuh terisi oleh orang. Luas ruangan yang sepertinya berkisar sepuluh kali sepuluh meter itu menjadi terlihat lebih sempit. Ia melihat beberapa pajangan piringan hitam polos yang tergantung pada dinding ruangan yang berwarna turquoise itu.

Beberapa dari pengunjung di ruangan itu ada yang berdiri sambil menari, diiringi background music yang Vincent yakin betul diputar oleh seorang DJ. Sedang pengunjung lainnya sudah menduduki kursi dan sofa yang tersedia sambil menikmati minuman dan makanan ringan yang mereka pesan.

Setelah berhasil menerobos beberapa orang yang sedang menikmati alunan musik, ia melihat di sisi kiri ruangan terdapat sepasang beer tap yang terletak diatas bar island. Drink corner itu terlihat kosong, tidak ada seorangpun yang berjaga di sana.

Di mana kah Gregory berada?

Sesaat, ia merasakan indra penciumannya disambut dengan bau asap rokok yang sedikit menyengat, membuatnya refleks menggosok hidungnya dengan punggung tangannya. Vincent tidak membenci bau asap rokok, tidak. Ia hanya terkadang merasa hidungnya gatal setiap kali mencium bau yang ia tahu akan sangat mudah menempel pada seluruh tubuh dan pakaiannya.

Ia benar-benar harus segera mandi dan keramas lagi malam nanti.

Vincent tidak sadar bahwa kedua temannya sudah meninggalkannya, melangkah menjauh dari ruangan itu dan masuk ke ruangan lain. Maka ia menyusul dengan berlari-lari kecil sambil memicingkan matanya. Pencahayaan yang minim membuatnya sedikit kehilangan fokus, beberapa kali ia harus membenahi letak kacamatanya untuk melihat apa dan siapa yang ada di hadapannya.

Ia akhirnya masuk ke ruangan utama, tempat di mana para penyanyi akan menghibur para pengunjung selama satu jam penuh bergantian. Gregory sempat memberitahu Vincent bahwa malam ini adalah giliran penyanyi jazz dan r&b yang akan “manggung”. Ruangan itu terlihat jauh lebih sempit dari ruangan sebelumnya. Cahaya pun terlihat lebih gelap, hanya ada beberapa lampu sorot warna-warni yang tertanam dalam lantai podium sebagai sumber penerangan.

Ia lantas mencari sosok Gregory diantara staf yang sedari tadi terlihat mondar-mandir sambil membawa makanan dan minuman dengan nampan. Sebaliknya, sepasang matanya menangkap sosok Sebastian dan Tobias yang terlihat sudah duduk diatas bar stool, sepertinya sedang memesan minuman untuk mereka berdua.

Vincent lalu menyugar rambutnya yang sudah panjang dan hampir menutupi matanya.

Panas sekali di sini. Sial, sepertinya salah memilih mengenakan turtleneck malam ini, umpatnya.

Ia lalu merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya dan mencoba menghubungi Gregory, sambil tangan kirinya tetap memegang coatnya.

Ia hendak mencari kontak Gregory pada layar saat ia mendengar suara seseorang memanggilnya dari belakang. Suara yang ia hafal betul siapa pemiliknya.

“Vin!”

Vincent lantas menolehkan kepalanya ke arah sumber suara, dan membalikkan tubuhnya. Ia tersenyum lebar, saat melihat sosok Gregory dengan surai hitamnya yang basah—entah karena keringat atau belum dikeringkan sehabis keramas—melambaikan tangannya dan menghampirinya.

Pria itu pun terlihat mengenakan jaket berwarna hitam yang sepertinya kebesaran, dengan celana jins senada, terlihat sangat pas memeluk kedua kakinya yang jenjang. Kedua matanya mengerling, senyumnya lebar menunjukkan gigi kelincinya. Pun pipinya terlihat menggendut karena tersenyum, membuat Vincent lantas terenyuh melihatnya.

Sepertinya pria yang sekarang sudah berdiri di hadapannya itu sedang senang saat ini. Vincent pun memanjatkan syukur pada Tuhan dalam hati.

Bonsoir, Gregory,” sapa Vincent ramah sambil mengulurkan tangannya dan menepuk bahu pria itu.

Ia benar-benar tidak sadar bahwa baru saja, gesturnya terlihat hendak menarik tubuh Gregory untuk memeluknya.

Damn, I almost tried to hug him, umpat Vincent dalam hati.

Gregory sepertinya tidak sadar akan apa yang baru saja dilakukan oleh Vincent. Pria itu malah tersenyum lebar sambil menepuk lengan Vincent. “Hai. Gue kira lo nggak jadi datang. Dua puluh menit lagi gue mulai nyanyi.” Gregory membalas sapaannya, sambil mengusap pelan lengan Vincent yang terlihat sedang menatapnya.

Vincent tersenyum, mengangkat tangannya untuk membalas Gregory dengan mengusap lengan pria itu. “I'm sorry. Saya tidak terlambat, kan?”

Pria itu hanya menggeleng sambil tertawa. Beberapa anting yang Gregory kenakan pada kedua telinganya, bergerak ke sana kemari, mengikuti gerakan kepalanya. “Nope, actually, you're early.”

Ia menanggapi Gregory dengan menggumam sambil menatap kedua mata bulat pria itu dengan teduh. “You look happy today, I'm glad, Gregory.”

Keduanya seperti tenggelam dalam suasana. Mereka tidak menyadari bahwa sedari tadi Tobias dan Sebastian yang duduk tidak jauh dari tempat Vincent dan Gregory berdiri, sudah berdecak kagum melihat dua pria itu sedang beradu tatap.

Of course I am happy, Vincent. Because you're here. That's why.”

Mendengarnya, Vincent hanya bisa membelalakan kedua manik hazelnya sambil tersenyum kikuk. Ia memperlihatkan sederet giginya yang putih dari balik bibirnya yang kering. Dadanya terasa berdegup dua kali lebih cepat, persis seperti saat dirinya masih dalam perjalanan tadi.

Wow, okay?” Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Vincent.

Gregory hanya memutar kedua bola matanya sambil mendengus, berusaha menyembunyikan senyumnya yang lebar. Kedua pipi dan telinganya terlihat memerah karena malu. “Memangnya hanya lo doang yang bisa make a bold move? Like you did days ago.”

“Gregory...” desis Vincent sambil menghela napas berat, berusaha protes karena pria yang lebih muda dua tahun darinya itu terdengar akan membahas kejadian beberapa hari lalu. Pria itu tidak tahu, dan sepertinya tidak akan pernah tahu, bahwa aksi yang Vincent lakukan itu sempat membuat wajahnya sendiri merah padam setelahnya.

Sorry, Vin! I'm kidding!”


Bonsoir. First of all, thank you so much for coming here. Let's have some fun, shall we?”

Gregory menyapa pengunjung Les Disquaires malam ini yang terlihat sudah memenuhi ruangan utama. Sapaannya dibalas dengan sorak-sorai serentak oleh pengunjung bar, tidak terkecuali Timothy. Sahabat Vincent itu bersorak menanggapi kata-kata Gregory layaknya sedang menonton konser akbar. Beruntung suaranya yang cukup keras itu dikalahkan dengan suara orang yang sedang duduk di ruangan itu. Mereka sepertinya adalah tamu bar reguler yang sudah pernah menonton Gregory beberapa kali.

Sebastian dan Tobias terlihat sedang mengobrol dengan Warren, entah membicarakan apa. Sepertinya mereka bertiga sudah terlalu fokus dan serius, sehingga tidak membalas sapaan Gregory yang suaranya cukup keras itu. Timothy dan Maximillian sedari tadi sibuk mengambil swafoto sambil melakukan beberapa gaya aneh, yang membuat Vincent hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Sedangkan Vincent? Ia sedari tadi menyandarkan tubuhnya pada tembok dekat ia dan teman-temannya berdiri. Ia memperhatikan setiap gerak gerik Gregory saat mempersiapkan dirinya diatas undakan podium yang tidak terlalu tinggi itu. Seringkali pria itu melirik ke arahnya, mungkin menganggap Vincent sedang melihat ke arah lain.

Namun tidak, kedua mata mereka seakan medan magnet yang menarik satu sama lain. Vincent hanya tersenyum simpul dan menaikkan alisnya sebelah setiap kali manik hazelnya bersirobok dengan mata bulat pria itu.

Vincent sadar betul, sejak beberapa hari lalu ia memberanikan diri mengikuti arahan Tobias untuk meminta foto Gregory, dirinya lebih “berani” dari biasanya. Entah mengapa, ia sesekali bertukar pesan dengan Gregory dengan melontarkan kata-kata yang membuat pria itu membutuhkan waktu lama untuk memikirkan tanggapan apa yang harus ia berikan pada Vincent.

Ia merasakan dirinya benar-benar kelepasan; layaknya kendaraan bermotor yang remnya sudah tidak berfungsi dan layaknya iringan orkestra tanpa seorang konduktor.

Ia sempat menceritakan semua kejadian itu pada Timothy, yang membuat sahabatnya itu akhirnya mematikan sambungan telepon secara sepihak, dan tak lama kemudian tiba di apartemen Vincent sambil berteriak, memekik kegirangan.

Timothy saat itu mengatakan padanya, bahwa semua hal yang dilakukan oleh Vincent adalah tanda dirinya sedang merasakan fase awal jatuh cinta.

Vincent buru-buru mengelak sambil menggelengkan kepalanya, merasa bahwa dirinya hanya berusaha bersikap baik dan ingin membuat Gregory merasa nyaman saat dengannya.

Namun, apa benar? Mana mungkin ia bisa jatuh cinta begitu cepat dengan Gregory?

Tidak mungkin, 'kan? Bukankah mereka berdua hanya berteman?

Namun jika benar, apakah pria itu juga merasakan hal yang sama?

Ia tidak bisa berhenti memandangi Gregory dari balik kacamata bulatnya; dengan seksama memperhatikan raut wajah pria itu saat sedang serius, saat pria itu sedang mengatur tinggi tiang mikrofon untuknya bernyanyi, bahkan saat pria itu sedang fokus memutar alat pemutar pada kepala gitar, sambil sesekali mengencangkan dan memetik senar persis dilubang suara alat musik itu.

Vincent tidak sadar bahwa dirinya sudah melamun sedari tadi karena memikirkan kejadian beberapa hari lalu, saat tiba-tiba ia mendengar suara petikan gitar dari atas podium. Ia lantas mengerjapkan matanya, memfokuskan pandangannya pada Gregory, yang terlihat sedang menunduk.

Pria itu duduk tegak diatas kursi yang cukup tinggi, sambil memeluk gitarnya dan mulai memainkan instrumen sebuah lagu yang belum pernah Vincent dengar sebelumnya.

Don't worry if we fall in love We will never touch the ground Just fall into a dream

Vincent rasanya baru saja disiram dengan seember air dingin, tepat diatas kepalanya. Merasakan sekujur tubuhnya kaku, lidahnya kelu, kedua matanya tak bisa berkedip, mendengarkan suara Gregory yang lembut seperti butter yang meleleh karena panas.

Oh, mon Dieu, his voice!

Di atas podium itu, Gregory terlihat memejamkan kedua matanya, menghayati setiap petikan jarinya pada senar gitar yang sedang dipeluknya. Instrumen yang tidak pernah Vincent dengar sebelumnya rasanya terdengar indah, karena Gregory yang memainkannya.

They say If you live in a dream You're hopelessly lost Well, this ain't just any old dream For our paths have crossed And I may be hopelessly lost But somehow I've managed to find heaven

Pria itu akhirnya membuka kedua mata bulatnya perlahan dan menatap manik hazelnya lekat. Kedua matanya menatap Vincent sendu, sambil bibirnya bergerak, menyanyikan syair lagu yang ia bawakan tanpa melihat secarik kertas pun.

Gregory seperti sedang menceritakan sesuatu hanya padanya.

Ya, hanya pada Vincent.

Apakah... pria itu menyukainya...

...juga?