poetlady

Gregory benar-benar tidak bisa menyembunyikan senyumnya dan rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Euforia hari ulang tahunnya masih sangat terasa, walaupun setengah hari istimewa ini telah berlalu. Suasana siang ini begitu menyenangkan, membuatnya ingin memperlambat waktu, masih ingin menikmatinya tanpa khawatir hari akan segera berganti. Adrenalin dalam tubuhnya terpompa dengan cepat, layaknya sebuah mobil yang sedang melaju kencang di arena balap. Ia sangat senang dan bahagia memiliki Vincent disisinya saat pagi tadi membuka mata, merasakan cinta yang disalurkan oleh pria itu dengan luar biasa.

Waktu telah menunjukkan pukul setengah satu siang saat ia dan Vincent tiba di Au Pied de Cochon. Cuaca siang ini cerah namun tidak terlalu terik, membuat Gregory mengurungkan niatnya untuk menyesali keputusannya mengenakan turtleneck lengan panjang berwarna putih. Ia sempat dengan terburu-buru mengganti pakaiannya saat melihat Vincent sudah siap dengan pakaian yang begitu rapi, jauh berbeda dari biasanya.

Ia hanya mendengus dan akhirnya tertawa saat mendengar alasan kekasihnya itu berpakaian rapi karena akan pergi makan siang dengannya dihari spesialnya. Gregory lantas menanggapi dengan tertawa kikuk, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya yang terdengar hingga kedua telinganya sendiri.

Gregory berharap dalam hati, semoga kekasihnya itu menyukai restoran yang dipilihnya untuk merayakan ulang tahunnya siang ini. Ia pun sempat berbicara dengan sang manajer restoran via telepon, meminta untuk disediakan meja yang tersembunyi untuknya dan Vincent makan siang hari ini. Ia hanya ingin memiliki privasi dengan kekasihnya itu dan duduk agak jauh dari kerumunan tamu lainnya.

Ia tidak bisa berhenti merasakan bulu kuduk pada sekujur tubuhnya meremang saat melihat raut wajah Vincent yang begitu menikmati waktu makan siang mereka kali ini. Ada rasa bangga dan senang yang timbul dari dalam hatinya, karena ia akhirnya mampu mengajak Vincent pergi ke restoran ini. Ia tidak akan memiliki keberanian untuk melakukan ini beberapa bulan yang lalu. Ia bersyukur, pekerjaannya menjadi seorang solois di salah satu bar ternama di jantung kota Paris membuatnya mampu untuk menyewa sebuah unit apartemen yang layak, memanjakan dirinya sendiri, dan menyisihkan uang untuk tabungan jangka panjang yang selama ini ia miliki.

Suasana siang hari ini terkesan intim; mereka berdua menyantap makanan yang sudah dipesan olehnya beberapa hari lalu via telepon, pun dua botol wine favoritnya dan Vincent. Telinganya pun menangkap musik latin yang mengalun pelan sebagai pelengkap untuk mencairkan suasana.

Keduanya menghabiskan waktu dengan membicarakan banyak hal; termasuk rencana yang akan dilakukan olehnya selama berada di Jakarta. Ia sempat menggoda kekasihnya itu untuk ikut kembali ke Indonesia dan mengunjungi orang tuanya. Namun seketika ia teringat akan jadwal latihan orkestra Vincent untuk konser yang akan digelar dalam tiga bulan mendatang.

Kekasihnya itu menanggapi tawarannya dengan menggeleng, sempat menggumam bahwa ingin ikut kembali ke Indonesia sekedar untuk bernostalgia. Delapan tahun lebih menetap di London dan Paris membuatnya rindu dengan negara kelahirannya itu. Gregory pun sempat membahas kemungkinan dirinya akan lebih lama tinggal di Jakarta, dan akhirnya memberitahu kekasihnya itu bahwa ia belum membeli tiket penerbangan kembali ke Paris.

Gregory mengira Vincent akan bertanya padanya alasan mengapa ia ingin tinggal lebih lama di Jakarta. Namun tidak, pria itu justru mengiyakan dan memintanya untuk mengambil waktu selama yang ia butuhkan. Ia mengulas senyum dan hampir menitikkan air mata saat pria itu berkata padanya sambil menatap kedua matanya lekat. “Take your time as long as you need, Gregory. It's your life. Don't worry about me, prioritize yourself first, okay?”

Ia yakin ia akan berdiri dari duduknya, berlari ke arah Vincent untuk memeluk dan duduk dipangkuannya kalau saja seorang pramusaji yang melayani meja mereka tidak mengantar dessert pesanan mereka. Ia mendengar Vincent tertawa renyah sambil menggelengkan kepala, sedang dirinya hanya mendengus karena harus menahan keinginannya sampai beberapa jam kedepan.

Ia sempat bertanya lagi pada Vincent tentang rencana mereka setelah makan siang hari ini. Tentu saja pria itu hanya menggelengkan kepalanya sambil mencolek dagunya lembut dengan jari telunjuknya. Kekasihnya itu memintanya untuk sabar dan menunggu sampai mereka akhirnya sampai di tempat tujuan.

Gregory mendengus, merasa sedikit kesal sekaligus penasaran dengan rencana Vincent itu. Ia akhirnya menyerah dan pasrah.

Baiklah. Ia akan mencoba untuk bersabar dan menunggu hingga tiba di lokasi tujuan, walaupun dadanya berdegup kencang saat memikirkan kemungkinan bahwa Vincent akan melakukan ide gila lainnya.


“Sayang, you really don't want to tell me?” Gregory merayu Vincent yang sedang terlihat fokus dengan jalanan. Lalu lintas siang menuju sore ini terlihat ramai lancar, membuat perutnya semakin terasa mulas. Semakin lama mereka berada dijalan, semakin terasa ada sesuatu yang meremas perutnya karena gugup.

Vincent benar-benar teguh pada pendiriannya untuk tidak memberitahunya informasi apapun.

No, baby,” kata pria itu sambil meraih tangan kirinya dan mengecup punggung tangannya. “Aku tidak mau kejutanku gagal. Lagipula, kita sudah hampir tiba di tujuan.”

Gregory menghela napas berat, memutuskan untuk menunggu beberapa menit lagi. Toh, tidak ada salahnya ia melatih kesabarannya, 'kan? “Yeah, okay.”

Tak lama kemudian saat Gregory mulai menyadari sekelilingnya, ia termenung, berusaha mengingat daerah yang terasa tak asing untuknya. Ia teringat pernah melewati rute ini saat menemani Timothy dan Maximillian mengunjungi The Champs-Elysées setahun yang lalu.

Laju mobil Vincent melambat saat kekasihnya itu mengarahkan setir untuk memasuki jalur lambat di depan sebuah hotel yang megah. Pria yang berada dibelakang kemudi itu lantas menyalakan lampu sein kanan dan untuk masuk ke area hotel yang terlihat seperti bangunan zaman abad ke-18 itu.

Kedua matanya semakin membulat saat perlahan menyadari dimana mereka berdua berada saat ini.

Shit. Dia tahu tempat ini! Hotel ini...

Ia lantas menoleh dengan cepat ke arah Vincent sambil mengernyitkan dahi. “Vin, for the love of God, jangan bilang kita berdua mau menginap di sini? Please tell me we don't,” tanyanya memohon. Ia mengira, rencana Vincent mengajaknya makan malam diatas cruise yang mengitari sungai Seine adalah hal tergila yang pernah pria itu lakukan.

Ternyata tidak. Gregory salah besar. Ia hanya bisa menggeram saat kekasihnya itu menggumam dan menoleh ke arahnya. “We sure do, Gregory.”

Mobil Vincent akhirnya berhenti di depan lobi hotel itu. Seorang doorman terlihat sigap membuka pintunya, lalu menyapanya ramah dengan aksen Perancis yang kental. “Bonjour, Monsieur. Bienvenue à l'Hotel Shangri-la.”

Tuhan, Vincent benar-benar gila!

Jesus Christ,” responnya lirih sambil menggelengkan kepala. Ia tidak mampu membalas sapaan seorang pria paruh baya yang tengah menatapnya sambil tersenyum itu, menunggunya untuk turun dari mobil. Tubuhnya terkulai lemas pada jok penumpang, seperti tidak ada tenaga yang tersisa lagi. Ia merasa seperti kehabisan oksigen, hanya mampu melirik ke arah Vincent dengan sorot mata yang sayu. “Aku tidak habis pikir dengan idemu.”

“Ayo, kita turun,” balas pria itu sambil tersenyum lebar, menunjukkan sederet giginya yang putih. Gregory hanya dapat menghela napas kasar lalu melangkah keluar dari mobil itu.

Apalah menyewa cruise dan helikopter pribadi dibandingkan dengan membawanya untuk menginap di hotel yang sempat dimiliki oleh keluarga Bonaparte zaman dahulu itu?! Ya, Gregory mengetahui informasi itu dari Maximillian. Kekasih sahabatnya itu sempat sekilas menjelaskan padanya saat sedang melewati bangunan megah ini.

Dan Gregory teringat akan mimpinya untuk sekali saja memiliki kesempatan untuk menginap di hotel ini dengan pemandangan Menara Eiffel yang begitu dekat dengan balkon kamarnya.

Ia bergidik ngeri. Seberapa dalam Vincent merogoh koceknya hanya untuk menginap di salah satu kamar hotel ini? Bagaimana pria itu bisa mengetahui keinginannya yang bahkan tidak diketahui oleh siapapun...

Apa Vincent sempat membaca pikirannya?

Seketika lamunannya buyar saat Vincent menyentuh lengannya, membuatnya refleks menutup mulutnya yang sedang menganga. Ia lalu membalikkan tubuhnya, melihat seorang pria yang mungkin umurnya tidak jauh dari mereka sedang berdiri disamping Vincent sambil menyapanya dan menundukkan kepala.

“Sayang, this is my friend's assistant. Namanya Mathias,” ujar Vincent sambil memperkenalkannya dengan pria itu.

Pria itu menyunggingkan senyum lebar. “Bonjour, welcome to Shangri-la, Pak Gregory,” sapa pria itu ramah dengan aksen kental yang membuatnya semakin merindukan kota kelahirannya. “Saya Mathias, yang akan melayani Pak Vincent dan Pak Gregory selama menginap di sini.”

Gregory tersenyum. “Ah, iya, salam kenal, Pak. Terima kasih sebelumnya.”

“Panggil saya dengan nama saja, Pak Gregory. Saya dan Anda usianya tidak begitu jauh.” Mathias memang terlihat masih muda, mungkin seusia dengan Vincent. Ia hanya ber-oh-ria sambil mengangguk tanda mengerti. “Oh, ya, Pak Henry menyampaikan kalau Bapak hari ini sedang berulang tahun? Selamat ulang tahun ya, Pak,” ujarnya sopan sambil mengulurkan tangan, yang dengan sigap dijabat oleh Gregory. “Semoga Bapak senantiasa sukses dan sehat.”

Henry? Siapakah itu? Ia baru sekali ini mendengar nama yang begitu asing untuknya.

“Amin,” balas Gregory sambil tersenyum. “Terima kasih banyak ucapannya, Mathias.”

Pria itu lalu mengajaknya dan Vincent untuk masuk kedalam hotel, membuatnya lantas melangkahkan kaki dan berdiri bersisian dengan kekasihnya. Ia mengaitkan jemari tangannya dengan Vincent tanpa melihat, sambil memutar kedua bola matanya saat kekasihnya itu hanya terkekeh lalu mendekatkan wajahnya untuk mengecup bibirnya.

I ask my good friend, Henry, to use the privilege, okay?” Vincent berbisik ditengah ciuman mereka, membuat bulu kuduknya meremang. Pria itu seperti tahu isi pikirannya yang berkecamuk yang sedang berusaha memproses semua kejutan ini.

Gregory bukan tidak bersyukur akan semua hal yang Vincent berikan padanya, bukan sama sekali. Ia hanya tidak habis pikir dengan ide Vincent yang, sekali lagi, sangat gila itu. “I will explain it to you later, sayang. Kalau sudah di suite. Ya?”

Suite, katanya?!

Apakah hotel ini memperbolehkan adanya sedikit kekerasan terjadi? Karena ia benar-benar ingin memukul lengan Vincent cukup keras saat ini, tidak peduli ia sedang berada di lobi yang terdapat beberapa kamera pengawas disetiap sudut koridor itu.

Ia berdecak, sungguh tidak tahu apa yang harus ia katakan pada kekasihnya itu. “Ya, oke. Aku sudah kehabisan kata-kata untuk berkomentar, Vin.”

Vincent menarik wajahnya lalu menempelkan kedua dahi mereka. Ia dapat merasakan hangat napas kekasihnya menyapu wajah dan bibirnya. “Are you happy?”

Gregory mendengus sambil tersenyum. Vincent dengan perhatiannya, membuatnya terkadang mabuk dan hilang arah. Pria itu benar-benar menyuntikkan cintanya kedalam sel-sel tubuhnya hingga ia hilang akal.

“Sebenarnya aku ingin marah,” balasnya cepat, membuat Vincent terdengar meringis. Ia lantas menggigit bibirnya, tidak tahu apa yang harus ia katakan pada pria itu bahwa dibalik rasa kesalnya, terdapat perasaan bahagia yang mendalam, membuat hatinya terasa nyeri. “Tapi aku lebih merasa bahagia dibandingkan ingin marah. So yeah, I am happy. Very. But I still need an explanation, okay?”

Vincent mengangguk, lalu menarik wajahnya dan mengacungkan ibu jarinya, sebelum Mathias memanggil kekasihnya untuk mendekat ke bagian concierge dan mengurus beberapa administrasi wajib saat check-in.

Gregory melepas genggaman tangannya dan Vincent, memilih menggunakan waktunya untuk mengagumi keindahan area lantai dasar hotel yang begitu megah dan terlihat mewah itu. Saat dirinya memasuki area itu beberapa saat lalu, ia disambut oleh lorong dengan nuansa kerajaan, benar-benar terasa seperti sedang masuk ke dalam sebuah istana.

Di sisi kanannya terdapat ruang santai yang terlihat kosong, ia hanya memperhatikan sekilas ruangan yang menyediakan beberapa sofa dan meja antik untuk tamu hotel. Sedangkan di sisi kirinya adalah ruang resepsionis yang terlihat sepi, hanya ada seorang pria yang sedang duduk dibalik meja sedang mengerjakan sesuatu. Gregory tidak masuk ke sana, lebih memilih untuk mengeksplorasi setiap sudut hotel yang membuat mata bulatnya berbinar. Semua ini begitu asing untuknya. Ia tidak tahu sudah berapa lama kedua matanya mencoba menangkap dan merekam apapun yang dilihatnya, dengan mulut yang sedikit menganga karena terlalu terpukau.

Ia lalu mendongak dan melihat ke arah langit-langit, terdapat lampu gantung yang begitu cantik dengan cahaya berwarna kuning. Pada sisi kanan dan kiri dinding lorong itu tergantung sebuah kaca besar yang disampingnya berdiri lampu hias dan beberapa vas bunga kecil untuk mempercantik bagian itu. Gregory melangkahkan kakinya lagi, melirik ke arah kanan, melihat Vincent dan Mathias masih mengobrol dengan petugas hotel di bagian Concierge. Ia mengedikkan bahu, mungkin keduanya masih membutuhkan waktu agak lama untuk mengurus beberapa hal sebelum akhirnya berpindah ke kamar hotel. Ia lalu melihat tak jauh darinya, ada sebuah meja bulat di tengah ruangan yang dihiasi beberapa macam vas berisi bunga diatasnya.

Saat Gregory sampai di sana, ia melihat ke arah kiri, ada sebuah tangga yang begitu besar menyambutnya, membuatnya semakin merasa seperti sedang berada di istana. Ukir-ukiran pada pagar yang terlihat sangat khas Perancis membuat ruangan itu terlihat lebih cantik.

Ia menggelengkan kepalanya sambil membatin. Di mana kah ini? Ia seperti tidak sedang berada di dalam hotel di Paris, melainkan di istana Versailles, istana yang menjadi saksi bisu awal perjalanan cintanya dengan Vincent. Ia tidak mampu menahan senyumnya, kedua pipinya terasa hangat. Entah sudah berapa kali ia merapalkan dalam hatinya, bahwa ia sangat bahagia hari ini. Benar-benar hari yang sangat luar biasa untuknya.

Samar-samar ia mendengar langkah kaki beberapa orang semakin dekat ke arah tempatnya berdiri. Maka ia menoleh dan bertemu mata dengan Vincent yang sudah melepas jaket berwarna coklat susu yang sempat dikenakan. Pria itu lalu berjalan mendekat lalu merengkuh tubuhnya, melingkarkan tangan pada pinggangnya.

Tangan Vincent terasa sangat pas, seperti diciptakan oleh Tuhan untuk diletakkan disana.

Mathias menjulurkan tangannya dan menunjuk ke arah ruangan yang sedari tadi menyita perhatiannya. “Di sana itu salon, Pak Gregory,” jelas pria itu sambil mengulas senyum padanya. “Mungkin besok Anda ingin coba. Pak Henry kebetulan punya akses penuh di hotel ini. Dan saya siap membantu Bapak dan juga Pak Vincent jika membutuhkan apapun. Saya akan standby dua puluh empat jam.”

Ia mendengar kekasihnya tertawa dan mengucapkan terima kasih pada orang kepercayaan Henry itu. “Thank you, Mathias.”

Pria itu hanya mengangguk lalu meminta mereka berdua untuk mengikutinya. “Dengan senang hati. Mari, Pak, saya antar ke suitenya.”


Gregory benar-benar merasa gugup, tidak tahu kamar hotel tipe apa yang dipesan Vincent untuk mereka berdua. Selama mereka berdua berada didalam lift bersama dengan Mathias, keheningan menyelimuti mereka. Ia bahkan mampu mendengar napas Vincent, sesekali ia dan kekasihnya itu pun beradu tatap lewat kaca lift.

Mungkin jika Mathias tidak berada di sana dengan mereka, Gregory akan menggunakan kesempatan yang ada untuk mencium Vincent sampai mereka kehabisan napas. Lagi, tidak peduli dengan kamera pengawas yang terarah ketitik tempatnya berdiri.

Ia sungguh bahagia hari ini, seperti sedang dibawa hingga kelangit ketujuh. Napasnya seperti tercekat dan berat, tidak sabar untuk segera menikmati keindahan seluruh kota Paris dan Menara Eiffel dari kamar hotel dengan bebas. Ia sempat melihat Mathias memencet tombol lantai teratas bangunan itu, yang menandakan bahwa Vincent memesan kamar hotel yang tidak biasa.

Tak lama setelahnya, suara lift berdenting memecah keheningan, tanda mereka sudah sampai di lantai tertinggi gedung hotel itu. Ia lantas menoleh ke arah Vincent lalu mendaratkan tiga kecupan pada pipi pria itu. Kekasihnya sedikit terkejut, hanya mampu mengulas senyum sambil membalas ciumannya tepat dibibirnya.

“Sayang, terima kasih,” kata Gregory sambil tersenyum lebar. Sungguh pipinya sudah terasa nyeri karena tersenyum hari ini. Namun ia tidak peduli. “Sungguh, terima kasih. Aku mencintaimu.”

Vincent memiringkan kepalanya dan menatapnya dengan sorot mata yang sendu. “My pleasure, Gregory. Shall we?”

Ia menggumam, lalu melangkah keluar dari lift terlebih dahulu sambil menggandeng tangan Vincent erat.

Mathias membawa mereka menyusuri lorong yang panjang. Ia tidak mendapati adanya pintu kamar lain sama sekali, menandakan bahwa pada lantai itu, hanya terdapat satu kamar hotel. Dan sungguh, letak pintu kamar itu cukup jauh dari area tempat lift berada. Gregory mengernyit, memikirkan seberapa luas suite yang akan ditempati mereka itu.

Gregory mendengar Vincent menyenandungkan salah satu lagu yang akan dibawakan saat ia menggelar konser orkestranya beberapa bulan lagi. Ia lalu menoleh ke arah kekasihnya itu sambil mempererat genggaman tangannya, membuat pria itu lantas menatap matanya dan tersenyum lebar.

Mereka akhirnya sampai di depan pintu kamar hotel itu. Ia dan Vincent lalu menghela napas panjang hampir bersamaan, seperti membuang segala rasa gugup yang telah lama bercokol dalam dada mereka.

Ia memejamkan mata, lalu mendengar pegangan pintu kamar itu mengeluarkan suara, tanda kunci akses yang ditempelkan oleh Mathias sudah berfungsi untuk membuka kunci pintu kamar itu. Pria itu lalu membuka pintu itu, bersamaan dengan kedua matanya yang terbuka.

Dan... kedua lutut Gregory terasa lemas.

Langkahnya terasa sangat berat, seperti ada seseorang yang sedang menahan kakinya untuk melangkah.

Vincent terdengar ber-oh-ria dibelakangnya, namun Gregory tidak menoleh ke arah pria itu barang sedikitpun. Ia sungguh terpaku dengan pemandangan yang menyambut matanya. Ia melihat hamparan langit biru cerah menyapanya, berikut bangunan-bangunan di jantung kota Paris. Gregory dapat melihat dengan jelas bangunan Notre Dame, Sacre Coeur Basilica, Arc de Triomphe, Museum Louvre, dan Menara Eiffel dari tempatnya berdiri. Ia sudah tidak peduli dengan suara Mathias yang memanggilnya. Ia sekilas hanya mengucapkan terima kasih pada pria itu asal, lalu melangkahkan kaki mendekat ke arah balkon kamar itu. Ia mendengar Vincent tertawa dan meminta maaf pada pria itu karena sikapnya barusan.

Gregory mencoba menggeser pintu kaca yang tertutup, sesaat merasakan kencangnya angin kota Paris yang menerpa rambut dan tubuhnya. Ia menyadari surai hitamnya berantakan, namun ia sungguh tidak peduli. Ia lalu bersandar pada pembatas balkon dan mengedarkan pandangannya yang tidak berujung sambil menghirup udara sore ini dengan kuat-kuat.

Sungguh, ia sama sekali tidak tahu apa yang ingin ia lakukan terlebih dahulu; apakah ia ingin berteriak, tertawa, atau menangis?

Demi Tuhan, ia tidak pernah menyangka akan menginjakkan kaki di tempat ini sampai kapanpun.

Ia mendengar langkah kaki Vincent bersamaan dengan kayu yang bergesekan dengan alas sepatu pria itu, membuatnya lantas membalikkan tubuhnya.

My love,” sapa pria itu lirih. Ia merasakan kedua tangan Vincent pada pinggangnya memeluknya erat. Kekasihnya itu menaruh dagunya pada bahunya, membuatnya mampu merasakan hembusan napas Vincent yang begitu hangat. Pria itu lalu mengecup lehernya, membuatnya melenguh lalu tertawa renyah saat ia mendengar pria itu berkata dengan lirih. “Do you like it?”

Gregory mengangguk kuat, merasakan deru napasnya semakin cepat bersamaan dengan air matanya yang mengalir lolos dari pelupuk matanya. “I love it. I love you, so much, Vin. Thank you.”

Vincent hanya tertawa sambil memeluk tubuhnya lebih erat dan mencium bibirnya lalu berbisik lirih. “Aku mencintaimu, Gregory. Selamat ulang tahun.”

cw // slightly mentioned drinking and tipsy


part 1

31st August 2021

Setelah Vincent merasa yakin persiapan untuk kejutan ulang tahun Gregory sudah matang, ia lantas mengendarai mobilnya untuk menjemput kekasihnya itu. Seharian ini, dirinya benar-benar disibukkan dengan mengelilingi kota Paris. Ia pergi untuk mencari beberapa botol wine terbaik, lalu bertolak ke salah satu toko untuk mencari balon angka, bahkan memasukkan beberapa bungkus konfeti kedalam keranjang belanjaannya—ide Timothy, tentunya—agar kejutan terasa lebih meriah, katanya. Ia pun sudah memilih beberapa keping piringan hitam koleksi miliknya untuk mengiringi surprise malam ini. Sebastian dan Tobias pun rela pulang lebih cepat untuk membantunya mempersiapkan surprise yang sukses membuat keduanya heran. Vincent tidak akan bisa melupakan ekspresi mereka saat dirinya menjelaskan rencananya.

Jika boleh jujur, ia merasa sangat gugup. Ini adalah pertama kalinya Vincent meluangkan waktunya untuk memikirkan hal-hal yang selama ini tidak pernah disangka akan menjadi prioritas utamanya. Dan semua ini ia lakukan untuk Gregory, sosok pria yang resmi menjadi kekasihnya sejak enam bulan yang lalu. Pria yang memberi warna dihidupnya, pria yang menyentuh hatinya dengan lembut, namun sukses memorak-porandakan hidupnya yang monoton.

Belum ada seorang pun yang berhasil membuatnya benar-benar jatuh cinta dan rela melakukan apapun seperti ini. Beberapa orang mencoba mendekatinya sejak ia menginjakkan kaki di Benua Eropa ini beberapa tahun silam, namun tidak ada yang berani “menerjangnya” bak angin puting beliung seperti Gregory.

Hanya pria itu yang mampu melakukannya.

Perjalanannya menuju Rue de la Huchette hanya ditempuh dalam waktu sepuluh menit. Lalu lintas cenderung ramai lancar, sehingga Vincent dapat tiba di tempat tujuan lebih cepat dari perkiraan. Ia lantas melirik jam tangannya yang telah menunjukkan waktu tepat pukul sebelas malam. Gregory memberitahunya bahwa ia membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk mandi dan bersiap sebelum akhirnya mereka bertemu di ujung jalan dekat gedung apartemen Gregory berada.

Vincent sedang bertukar pesan dengan Timothy yang memberitahunya bahwa ia dan Maximillian sudah sampai di apartemennya, saat dirinya mendengar ketukan pada kaca mobilnya. Ia lantas mendongak, melihat Gregory sudah melambaikan tangan dari sisi kanan mobilnya.

Ia lalu memencet tombol kunci dan memberi isyarat pada kekasihnya itu untuk masuk.

Gregory lalu membuka pintu dan melangkah masuk kedalam mobilnya. Seketika aroma sabun mandi bercampur dengan parfum favorit pria itu menguar, menyapa indra penciumannya dan memenuhi seisi mobilnya. Vincent mengulas senyum, ingin segera merengkuh pria yang sebentar lagi akan bertambah usia itu.

“Hei,” sapa Gregory riang, sambil menaruh koper kecil berwarna hitam pada jok belakang mobilnya. Pria itu lalu menggenggam dagunya dengan tangannya untuk mengecup pipi kanannya pelan. “Thank you for picking me up, Vin.”

Vincent menggumam sambil menghadapkan tubuhnya ke samping, menangkup wajah pria itu dengan kedua tangannya dan mencium bibir kenyalnya yang terasa dingin. “My pleasure, Beau.” Ia tersenyum, merasakan dadanya berdegup kencang karena gugup. Apakah kekasihnya itu mampu mendengar detak jantungnya yang bahkan terdengar sampai telinganya sendiri? “Barang-barangmu hanya ini, Gregory?”

Pria itu mengangguk, lalu menarik sabuk pengaman dan mengenakannya sambil menghela napas. Gregory terlihat memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya pada sandaran jok. Sepertinya kekasihnya cukup lelah karena harus menyanyi malam ini. Ia sempat memberitahunya bahwa Alex, sang pemilik bar, menghubunginya secara mendadak. Beruntung Gregory tidak harus menyanyi sampai malam hari.

Vincent tidak ingin rencananya berakhir gagal.

“Ya. Semuanya sudah masuk dalam koper itu, kok. Anyway, kita jadi pergi malam ini, atau besok?”

Ia hanya merespon pertanyaan pria yang duduk di sampingnya itu dengan tertawa kecil, lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju apartemennya. “Aku harus mengambil barangku di apartemen. Lalu, kalau kamu mau istirahat dulu, tidak apa. Kita bisa pergi besok pagi, sebelum makan siang ke tempat yang kamu rencanakan, Gregory. Bagaimana?”

Malam ini, Vincent berencana untuk mengajak pria itu kembali ke apartemennya lebih dulu, dengan alasan ia harus mengambil barang bawaannya sebelum mereka pergi. Sesaat Vincent meringis, apakah Gregory akan menyukai kejutannya yang menurut Timothy, sangat tidak normal itu?

“Oh, masih di sekitar Paris. Oke, sayang,” respon Gregory ber-oh-ria. “Terserah kamu saja. I'm fine with both.” Gregory menyambung kalimatnya, sejenak terlihat melirik kearah ponselnya lalu menaruh benda itu dipangkuannya. “But where are we going, exactly?”

Bagi Vincent, menyembunyikan sesuatu dari Gregory merupakan hal yang cukup sulit. Karena, ya, pada dasarnya ia tidak pandai berbohong.

“Rahasia, Beau. It's a surprise for your birthday.”

Gregory menghela napas berat, menyerah untuk mencari tahu. “Alright then,” katanya sambil memutar kedua bola matanya malas. “I thought you somehow rented a private helicopter or something. Or maybe a whole cruise, or maybe another grandiose things like that...”

Mendengar kekasihnya berkata demikian, ia sontak terdiam. Vincent tidak berani menatap Gregory yang tengah berbicara panjang lebar, menyebutkan beberapa hal yang mungkin sedang terlintas dalam benaknya. Telinganya mendadak tidak mendengarkan apapun, seperti ada seseorang yang sedang menutup keduanya dengan segumpal kapas.

Seketika kepalanya memutar kembali memori beberapa bulan lalu saat ia memberikan sebuah gitar klasik berwarna hitam untuk Gregory, yang sayangnya, berakhir tidak sesuai dengan harapannya.

Vincent menggelengkan kepalanya pelan. Semua itu tidak akan terulang kembali, kan? Hubungannya dengan Gregory sudah membaik, pun mereka berdua sudah mengenal dan memahami satu sama lain. Ia hanya ingin mengajak Gregory ke tempat yang pria itu impikan. Selagi ia mampu membawa kekasihnya menginap di salah satu hotel terbaik di Paris, yang kebetulan sangat dekat dengan Menara Eiffel, mengapa tidak?

Sepasang manik hazelnya menatap lurus kedepan, alih-alih menyembunyikan rasa gugup yang bercokol didadanya. Ia belum sempat menjawab pertanyaan Gregory, saat dirinya menangkap dengan ekor matanya, pria yang disampingnya itu terlihat membelalakkan mata dengan mulut yang menganga.

“Vincentius?!” Gregory berseru, memukul lengannya pelan. You did not!” Pria itu terdengar sedikit mengamuk, walaupun Vincent tak kunjung menangkap tanda-tanda bahwa kekasihnya itu akan marah. Ia meringis, menggunakan tangannya yang satu untuk mengusap lengannya. “Are you fucking kidding me? Sayang, I told you not to spend too much money, didn't I?”

Vincent menghela napas panjang. “Yes, you told me already, so many times actually,” jawabnya santai sambil mencoba tersenyum. Ia menolehkan kepalanya ke arah Gregory, pria itu terlihat memajukan bibirnya kesal, pipi dan telinganya pun memerah, membuatnya lantas terkekeh. “But I didn't do any of that, baby,” rayu Vincent.

Gregory menjulurkan lidahnya sambil mengacungkan jari telunjuknya kedepan wajahnya. “Mon Dieu, I love you, but I don't believe you, Vin.”

Ia lantas tertawa sambil menggeleng lalu meraih tangan Gregory dan menggenggamnya erat. “That's okay, Beau. I know it's going to be worth it. Anggap saja ini sekaligus hadiah dariku sebelum kamu pulang ke Indonesia. Ya?”

Pria yang disampingnya itu hanya menggumam sambil menunduk, memfokuskan mata bulatnya pada sepatu boots yang dikenakannya malam ini. Gregory seperti sedang memikirkan sesuatu. Vincent bisa mendengar mesin dalam kepalanya bekerja.

Ia berharap dalam hatinya, semoga kekasihnya itu tidak memikirkan hal macam-macam. Ini semua Vincent lakukan murni karena keinginannya sendiri, tidak ada paksaan atau dorongan dari siapapun. Karena sejujurnya, Vincent hanya ingin membantu pria itu mewujudkan satu dari sekian banyak keinginan.

I love you, Gregory. And it's your special day, let me spoil you, okay? I never treated anyone in my life like this before, except my friends. Ya walaupun kalau dengan teman pasti berbeda dengan kamu. And I have huge savings, so don't worry,” jelasnya pada pria yang terlihat tengah menatap ke arahnya dan perlahan mengulas senyum tipis.

Vincent dapat mendengar Gregory mendengus sambil membalas genggaman tangannya dan mengaitkan jemari mereka. “Fine, tapi aku juga berhak untuk spoil kamu someday, oke? Sekedar mengajak kamu liburan ke London, mungkin menghadiahi kamu gramofon atau saksofon baru,” balas pria itu lirih. Vincent pun mengangguk tanda setuju, sambil menggunakan ibu jarinya untuk mengusap punggung tangan pria itu.

Namun ia refleks menginjak pedal rem saat mendengar Gregory menyambung lagi, dengan suara yang hampir tidak terdengar. Ia beruntung memiliki pendengaran yang tajam. “I just don't want anyone to assume that I am your sugar baby or something, you know.”

Apa?!

What?” Vincent lantas memperlambat laju mobilnya, tidak menyadari sejak kapan dan dari mana lalu lintas menjadi agak padat saat ini. Ia heran, hal apa yang menyebabkan Gregory berpikir demikian? Apakah ada seseorang yang pernah bertanya pada kekasihnya itu? Atau... sebenarnya selama ini kekasihnya itu merasa tidak nyaman dengan apa yang ia lakukan dan berikan?

Seketika dadanya terasa seperti tersambar petir, pun ada kilat dan suara gemuruh yang memenuhi kepalanya. Vincent merasa kesal, tidak menyadari tangan kirinya sudah mencengkeram setir kemudi hingga buku jarinya hampir memutih. “Does anyone ever ask you? I swear to God, Gregory, I'll be mad if you didn't tell me,” tanyanya dengan nada yang terdengar ketus.

Pria itu sepertinya menyadari gestur tubuh dan emosinya yang seketika membuat suasana didalam mobil berubah. Tak lama kemudian, Vincent merasakan pipi dan lehernya disapa oleh bibir yang basah dan lembab, seketika melunturkan emosinya. Gregory tengah mendaratkan beberapa kecupan pada kulitnya.

Hey,” ujar pria itu terdengar santai. “No one, Vin. No one.” Gregory berkata, mencoba meyakinkannya sambil mengusap lengannya dan mengecup rahangnya. “But, just in case, okay? Aku tahu niatmu itu sama sekali tidak mengarah ke sana.”

Vincent lantas memejamkan matanya sambil mengatur napasnya. Ia tidak pernah bermaksud seperti itu, tidak sama sekali. Mungkin inilah yang sebenarnya membuatnya terkadang merasa serba salah. Gregory selalu menikmati hidupnya yang serba cukup dan tidak berlebihan. Berbeda jauh dengan dirinya yang seakan jarang sekali merasa terbebani.

Ia menyesal telah membuat kekasihnya itu merasa tidak nyaman.

Sekarang Vincent akhirnya memahami bahwa tidak semua hal dalam hubungan perlu ditunjukkan dengan sesuatu yang berlebihan. Sungguh, ia tidak pernah merasa keberatan melakukannya. Ia justru sangat menyukainya. Namun jika Gregory merasa tidak nyaman, maka ia harus menyesuaikannya, dengan menurunkan egonya agar mereka berdua menjadi seimbang. Dan ia tidak pernah menuntut balasan apapun dari kekasihnya itu. Dengan Gregory menyunggingkan senyum saja, hal itu sudah lebih dari cukup.

No, you are not,” katanya merespon pernyataan pria itu dengan nada tegas. Ia tidak mau ada kesalahpahaman terjadi diantara mereka. Ia ingin melangkah bersama dan bersisian dengan Gregory, tanpa ada salah satu diantara mereka yang merasa timpang atau bahkan “kecil”. “I'll tone down everything if you're uncomfortable, okay, Beau?”

Gregory mencium bibirnya cepat. “Yes, please? I appreciate that, sayang,” katanya sambil tersenyum lalu menarik wajahnya dan menatap manik hazelnya dengan mata bulatnya. “Thank you.”

Ia tersenyum dan mencatat permintaan pria itu baik-baik dalam kepalanya. “Of course, whatever makes you happy and comfortable,” katanya sambil mengembalikan fokusnya pada jalanan.

Namun Vincent mendadak tercekat, saat ia menyadari sesuatu. Ia lantas menoleh dan menarik tangan Gregory lagi. Pria itu terlihat bingung dan mengernyitkan dahi. Ia menelan ludahnya.

But, I really should apologize in advance, though,” katanya meminta maaf pada kekasihnya itu. “Because the surprises that I've prepared for you are quite equal to those you've mentioned earlier, Gregory.”

Pria yang disampingnya itu seketika terdengar menggeram dan memukul lengannya, kali ini lebih keras. “Vincent!”


Gregory melirik ke arah jam digital pada dasbor mobil Vincent dan menyadari bahwa sebentar lagi usianya akan bertambah satu tahun. Tahun lalu, ia menghabiskan waktu di bar dengan teman-teman klubnya, meminum alkohol hingga kepalanya pusing dan benar-benar mabuk. Ia selalu melakukan ritual itu setiap tahun untuk “merayakan” hari ulang tahunnya. Timothy dan Warren pun selalu gagal membujuknya untuk pulang dari bar dan kembali ke apartemennya. Dan mereka berdua tidak mengatakan apapun saat menjumpai dirinya seperti orang yang sangat berantakan keesokan harinya.

Namun tahun ini, semuanya berubah. Sejak ia bertemu dengan Vincent dan akhirnya menjalin hubungan dengan pria itu, ia seperti sedang menaiki wahana komidi putar dan Vincent berperan sebagai operatornya. Kekasihnya itu tak pernah berhenti memastikan bahwa ia akan selalu berada di udara dan tidak pernah diizinkan untuk turun kebawah. Pria itu selalu menghujaninya dengan rasa cinta yang luar biasa melimpah, membuatnya terkadang mabuk karenanya.

Mengenal Vincent membuatnya menyadari bahwa tidak ada salahnya hidup bahagia dan berada “di atas”. Selama ini ia terlena dengan hidupnya yang biasa saja, tanpa gairah dan tantangan. Seringkali ia bermimpi untuk memanjat ke atas, tapi tidak pernah melakukan usaha apapun untuk berada di sana. Gregory terjebak dalam zona nyamannya sendiri yang selama ini mengikat tubuhnya.

Lamunannya buyar saat mendengar Vincent menghela napas kasar. Ia lantas menoleh, melihat kekasihnya begitu sibuk dengan ponselnya. Dahi pria itu mengernyit dan tubuhnya terlihat tegang. Gregory refleks merasakan hal yang sama.

Apa yang sedang pria itu pikirkan?

“Vin? Ayo turun?” Ia bertanya pelan sambil menyentuh lengan pria itu dengan jari telunjuknya.

Kekasihnya itu terperanjat, mendongak lalu menoleh ke arahnya. Gregory tersenyum kikuk saat melihat Vincent menyunggingkan senyum yang seperti dipaksakan. Raut wajahnya berbeda, pria itu pun terlihat menggigit bibir bawahnya terlalu dalam.

“Yuk,” balas Vincent cepat. Pria itu mematikan mesin mobil, melepas sabuk pengaman yang dikenakannya dan memasukkan ponselnya kedalam saku celananya asal. Vincent pun keluar dari mobil dengan tergesa-gesa, membuat kakinya tersangkut sandalnya sendiri.

Gregory hanya menggelengkan kepalanya heran, melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil itu. Ia lalu membuka pintu mobil bagian belakang untuk mengambil kopernya. Ia sungguh tidak tahu akan rencana Vincent, namun menyadari bahwa sepertinya kekasihnya itu akan membawanya ke salah satu tempat yang mungkin akan membuat tabungannya berlubang dan menjerit, ia lantas merenungkan pilihan restoran yang sudah dipilihnya untuk mereka berdua.

Vincent memencet tombol pada remote untuk mengunci mobilnya, lalu mengulurkan tangan ke arahnya. Gregory lantas tersenyum, meraih tangan pria itu dan menggenggamnya, sedang tangan kanannya mengangkat kopernya yang ringan.

“Vin sayang,” panggilnya saat mereka sedang menaiki anak tangga gedung apartemen itu bersisian. Pria yang dipanggilnya itu hanya menggumam sambil menoleh dan memiringkan kepalanya. Gregory mengernyit saat melihat wajah kekasihnya sedikit pucat. “Ada apa? Kamu seperti gugup daritadi. Is everything okay?”

Pria itu mengangguk cepat, membuatnya lantas semakin penasaran dengan gelagatnya yang terlihat aneh. Vincent hanya menjawab pertanyaannya dengan satu kata. “Nervous.”

Kekasihnya merasa gugup? Gugup karena apa?

Nervous of what, sayang?”

Something,” jawab Vincent asal, menarik tangannya pelan untuk tetap menaiki anak tangga menuju unit apartemennya.

Gregory mengedikkan bahunya, memutuskan untuk tidak mencecar Vincent dengan pertanyaan yang akan membuat pria itu lebih stres. Ia khawatir kekasihnya itu malah akan semakin gugup atau bahkan kesal padanya jika ia bertanya lebih jauh.

Ponsel Gregory berbunyi keras dan memecah keheningan saat ia dan Vincent sampai didepan pintu apartemen pria itu. Ia lantas tersenyum lebar, menyadari bahwa hari sudah berganti dan waktu telah menunjukkan tepat pukul dua belas malam.

Ia lantas merogoh saku celananya dan memencet layar ponselnya asal untuk menghentikan suara itu. Ia mengernyit saat bertatapan dengan Vincent yang sedang tersenyum lebar ke arahnya. Pria itu sedikit membuka pintu apartemennya yang sepertinya tidak dikunci.

Vincent memegang kedua lengannya dan mengarahkan tubuhnya untuk menghadap ke arah pria itu, lalu mendekatkan wajahnya lalu mencium bibirnya sambil berbisik. “Bonne anniversaire, mon amour.”

Gregory hanya merespon dengan ber-ah-ria sambil tersenyum, sebelum akhirnya membalas ciuman kekasihnya. Ia sontak terkejut dan menarik wajahnya saat mendengar suara terompet yang melengking, memekakkan kedua telinganya. Sepasang matanya pun terbelalak kala melihat Timothy, Hosea, dan Tobias berlari ke arahnya sambil melontarkan konfeti yang berwarna-warni. Ia menangkap sosok Maximillian dan Sebastian yang terlihat melambaikan kedua tangannya dari ruang tengah sambil memegang balon angka tiga dan satu yang sangat besar, menjulang tinggi hampir menyentuh langit-langit ruangan itu.

Timothy lalu menarik tubuhnya dan memeluknya, berteriak dengan riang sambil menaruh gumpalan konfeti dipuncak kepalanya. “Happy birthday, Gregory!!!” Sahabatnya itu menggerakkan tubuhnya ke samping kanan dan kiri sambil mengeratkan pelukannya, membuat kedua lengannya sakit.

Namun ia tidak peduli, rasa bahagia yang membuncah dari dalam dadanya mengalahkan semua itu. Ini adalah kali pertama seseorang memberinya kejutan tepat dihari ulang tahunnya. Ini adalah kali pertama dirinya tidak berada di bar dan membiarkan dirinya mabuk dan merayakan hari spesialnya sendirian.

Gregory benar-benar bahagia, tidak mampu mencari sebuah kata yang cukup untuk menjelaskan perasaannya saat ini.

Vincent terdengar tertawa, terlihat sudah memegang satu loyang kue yang dilapisi krim berwarna putih dengan dua lilin angka usianya yang menyala dan sepotong coklat bertuliskan “Happy Birthday, Mon Amour” diatasnya. Gregory tertawa kecil, menyunggingkan senyum dan menyadari kedua matanya perlahan mulai panas. Air matanya sudah menggenang, hampir tumpah bersamaan dengan rasa bahagia yang sudah meledak dan memenuhi kepala dan hatinya. Ia merasakan dadanya berdebar, seperti ada yang menyalakan begitu banyak kembang api di sekitarnya.

Happy birthday, my love,” kata pria itu berdiri di hadapannya sambil memajukan wajahnya untuk mencium bibirnya. Ia pun membalas ciuman Vincent cepat, merasakan air matanya lolos dan membasahi kedua pipinya.

Make a wish, Grego!” Teman-temannya sudah berdiri mengelilinginya sambil berseru, membuatnya tertawa lalu memejamkan kedua matanya. Ia menundukkan kepalanya, mengucapkan keinginannya dalam hati sambil tersenyum.

God, thank you for everything, and thank you for giving me the life I need, not the life I want. I am so thankful for my boyfriend and best friend. And thank you for teaching me how to live happily. I want to achieve things slowly, I want to be able to love myself, and I want to be able to live happily with myself and Vincent.

Setelah Gregory selesai merapalkan keinginan doanya dalam hati, ia lalu membuka kedua matanya dan meniup lilin yang menyala diatas kue ulang tahun yang sedang dipegangnya.

Thank you so much,” katanya sambil berjalan ke arah ruang tengah apartemen kekasihnya itu sambil tersenyum sumringah. “Still can't believe you guys really did this for my birthday.”

Sebastian menggelengkan kepalanya lalu mengambil kue itu dari tangannya dan meletakkannya diatas meja ruang tengah itu. “No, it's all Vincent. Gue dan lainnya benar-benar hanya membantu dia.”

Ia mendengar Vincent berdecak sambil menyerahkan segelas wine untuknya. Teman-temannya sudah memegang gelas wine masing-masing, lalu kekasihnya yang sedang memeluk pinggangnya itu mengajak mereka semua bersulang.

Wishing you a better life, all the health, wealth and happiness, and also a great year ahead for you, sayang. Cheers!”

Gregory tersenyum sumringah, menatap Vincent lekat. Pria itu tengah menatap kedua mata dan bibirnya bergantian, lalu berseru kemudian diikuti teman-temannya. “Cheers! Happy Birthday Grego!”

Setelah bersulang, mereka mengambil duduk di ruang tengah sambil menikmati wine dan beberapa loyang pizza yang dibuat oleh Sebastian dan Tobias. Mereka berdua ternyata rela pulang lebih awal untuk memasak beberapa makanan untuk kejutannya malam ini.

Kedua telinganya menangkap lirih lagu jazz yang mengalun memenuhi seisi ruangan. Vincent terlihat sibuk dengan gramofon dan beberapa piringan hitam yang sepertinya sudah disiapkan untuknya. Ia lantas tersenyum, membayangkan bagaimana persiapan yang Vincent lakukan untuk hari ulang tahunnya.

Gregory lalu merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya, melihat layarnya dipenuhi oleh ucapan selamat ulang tahun dari Thomas dan beberapa rekan kerjanya di Caveau de la Huchette. Dengan cepat ia membalas pesan yang ada sambil menundukkan kepala, tidak sadar bahwa Vincent sudah duduk di sampingnya sambil memegang satu boks besar yang dibungkus dengan kertas kado berwarna biru gelap.

Ia mengernyitkan dahinya saat melihat Vincent tersenyum lebar. “Gregory, this is your birthday gift from me. I hope you like it,” kata pria itu sambil menyerahkan kotak itu padanya. Ia lantas melepaskan ponselnya asal, lalu meraih benda itu dan menaruhnya dipangkuannya.

“Tidak perlu repot, Vin. But thank you, I know your taste is spot on,” katanya berterima kasih sambil menggoncang-goncangkan kotak itu. Ia mendengar suara yang cukup berisik dari dalam kotak itu, seperti benda-benda kecil bertabrakan satu sama lain. “Apa ini?”

Vincent memajukan dagunya, memintanya untuk membuka kotak itu. “Open it.”

Maka dengan perlahan dan hati-hati, ia membuka bungkus kertas itu sambil menahan rasa penasarannya. Sepasang matanya membulat saat melihat kado pemberian Vincent. Ia terperangah, lalu menoleh ke arah kekasihnya yang sedang menatapnya.

“Aku ingat kamu tidak terlalu menyukai bunga dan kamu pernah kirimkan gambar ini ke aku, Gregory. So yeah, I bought this flower bouquet lego for you,” jelas Vincent sambil mengulurkan tangannya dan menyelipkan surai hitamnya dibelakang telinganya. “Aku harap kamu suka.”

Gregory menggigit bibirnya sambil mengangguk. Vincent ingat akan celetukan asalnya saat ia mengeluh karena bunga pemberian pria itu tidak bertahan lama. Vincent ingat akan sebuah foto yang ia kirimkan pada pria itu lewat pesan singkat, sekedar bertanya apakah barang itu cocok untuk menjadi pajangan di ruang tengah apartemennya atau tidak.

Vincent mengingat semua itu.

I love it!” Gregory memekik riang lalu merangkul Vincent, menghirup aroma kuat tubuh pria itu sambil mencium lehernya. “Vin sayang, terima kasih. Aku suka sekali! Aku akan rangkai setelah ini, dan aku tidak mau dibantu!”

Pria itu tertawa kecil sambil mengusap kepalanya. “Okay, Gregory. I won't help you.”

Setelahnya, giliran Sebastian, Tobias, dan Hosea yang memberi hadiah untuknya. Kedua teman satu apartemen Vincent itu memberi satu botol red wine Merlot March by Umani Ronchi Vigor Sangiovese sebagai hadiah ulang tahunnya. Sedangkan Hosea memberinya sebuah bluetooth speaker Vifa Oslo warna biru langit yang selama ini menjadi salah satu wishlistnya. Gregory benar-benar tidak menyangka teman-temannya akan memberinya hadiah sebanyak ini, membuatnya tersenyum lebar hingga kedua pipinya terasa pegal dan nyeri.

Tak lama setelahnya, Timothy duduk di samping kirinya dengan membawa satu boks besar berwarna biru muda. “And this one is for you, Grego,” ujar sahabatnya riang sambil menyerahkan benda itu padanya. “Dari gue dan Maxy. Jangan lupa dipakai!”

Gregory lalu membuka kotak itu, melihat sepasang sepatu boots berwarna hitam mengkilat dengan sol yang tinggi menyambut kedua matanya. Ia terperangah, mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Timothy yang sedang menyunggingkan senyumnya. Ia menggelengkan kepalanya heran, Vincent dan sahabatnya itu benar-benar seperti saudara kembar; rela menyisihkan uang hanya untuk memberinya barang yang tidak disangka-sangka olehnya.

Tuhan, ini adalah sepatu boots impiannya!

“Gue tidak sengaja lihat lo sedang memandangi boots ini beberapa bulan lalu on their website, and I remember I saw stars in your eyes. So yeah, we decided to purchase this and give it as your birthday present. I hope you don't mind,” kata sahabatnya itu santai, terlihat mengulurkan tangannya untuk mengambil sepotong pizza buatan Sebastian dan menggigitnya.

Gregory mendengus sambil tertawa, tidak menyangka bahwa pria yang sudah dikenalnya cukup lama itu ternyata seseorang yang membeli stok terakhir boots impiannya. Ia lantas teringat, sempat merutuki layar ponselnya saat menyaksikan sepatu boots itu sudah tidak tersedia di seluruh butik kota Paris beberapa bulan lalu. “Thanks a lot, Timmy, Max,” balasnya tersenyum sumringah.

That's our pleasure, bro,” timpal Maximillian kemudian sambil memeluk tubuhnya dan menepuk punggungnya pelan. “Hope you like it.”

Ia pun kembali menyampingkan tubuhnya ke arah Vincent yang tengah menatapnya sambil tersenyum. Pria itu mengalungkan tangannya dilehernya, lalu merengkuh tubuhnya. Vincent menghujani wajahnya dengan ciuman, membisikkan kata-kata ucapan dan harapan untuknya. Bulu kuduk disekujur tubuhnya meremang, merasakan cinta pria itu yang begitu luar biasa melimpah, menyusup hingga ke sel-sel dalam tubuhnya.

Hari ini adalah hari ulang tahun terbaik untuknya, dan sepertinya ucapan terima kasih dan senyum yang lebar tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan.

“Terima kasih ya Vin, kado dan surprisenya. It means a lot to me,” katanya sambil mencium bibir Vincent beberapa kali. Ia mendengar Vincent tertawa kecil sambil menangkup wajahnya dengan tangan kanannya. “This is the first time I was really surprised.”

You did?” Vincent bertanya padanya sambil mengusap hidungnya pada pipinya, membuatnya merasa geli.

Ia menggumam, menaruh tangannya diatas paha Vincent dan memijatnya. Sorot mata pria itu teduh, terlihat senyum pun menghiasi wajahnya. Gregory bahagia melihat senyum terukir pada wajah kekasihnya itu. Vicent seperti ikut merasakan euforia dihari ulang tahunnya yang masih tersisa dua puluh tiga jam lagi.

My pleasure, baby,” balas Vincent lirih dengan suaranya yang berat, membuat bulu kuduknya berdesir. Gregory berusaha menahan hasrat untuk menerjang kekasihnya itu hingga esok hari, teringat akan permintaan Vincent untuk menyimpan energi untuk hari ulang tahunnya. Ia bahkan sama sekali tidak tahu rencana apa yang akan mereka lakukan. Vincent benar-benar penuh dengan misteri. “I still have two surprises left, though.”

Damn, apa katanya? Dua?! Ia bahkan hampir lupa dengan kejutan itu.

Gregory memutar kedua bola matanya, berusaha menyembunyikan rasa penasaran dan gugupnya. Ide-ide gila yang dimiliki Vincent terkadang membuatnya menepuk dahinya sendiri, ingin rasanya melarang kekasihnya itu untuk menghabiskan uang untuk sesuatu yang kurang penting.

Namun apa yang dapat ia lakukan? Vincent adalah seseorang yang sangat keras kepala. Jika pria itu sudah menginginkan sesuatu, ia akan melakukan apapun untuk mewujudkannya. “Mon Dieu, sayang. I'm so nervous, you know?”

Vincent menggeleng sambil menghela napas pelan. “No need,” katanya sambil mencolek dagunya. “It's going to be worth it, Gregory.”

Ia mencebik, meledek kekasihnya yang terdengar sangat dramatis itu lalu tertawa. “Oh ya, Vin. Kamu baru pertama kali ini buat surprise, ya?”

Kekasihnya itu mengangguk, menggaruk tengkuknya yang ia yakin tidak gatal. “Yeah,” jawabnya kikuk. “Was that obvious, my love?”

Ia menggumam sambil meraih gelas wine miliknya dan menyesap isinya. “Very. Kamu tadi pucat sekali. I thought you were sick or something.”

Vincent tertawa. “No. That's me being nervous because it's you.” Pria itu berkata lirih sambil mengusap pipinya dengan punggung tangannya.

Tangannya lalu memukul lengan pria itu pelan. “You're so cheesy!”

Just for you, Beau,” jelas Vincent final lalu mencium bibirnya. “To make you happy and claim it as the best day ever for you.”

Yeah, this is the best day ever for him, indeed.

flashback


Aku mau pulang ke Indonesia.”

Vincent tidak pernah secepat itu bergerak tanpa suara. Kedua tangannya yang menangkup wajah Gregory perlahan melonggar. Ia pun menarik wajahnya, menciptakan jarak yang terasa sangat jauh diantara mereka. Rasa bahagia yang sempat memberikan sensasi berbeda dalam dada dan kepalanya, seketika digantikan oleh keheningan. Kesunyian yang membelenggu mereka sangat tidak nyaman, membuat bulu kuduknya lantas meremang.

Menit demi menit berlalu, mereka masih bersidiam. Baik dirinya maupun Gregory tidak mengucapkan sepatah kata pun. Vincent menghela napas berat, lalu memindahkan gigi mobil dengan tangan kirinya menjadi mode parkir. Ia membiarkan mesin mobilnya menyala, merasakan pendingin ruangan mobil berdesir menyapu kulitnya untuk mendinginkan hatinya yang bergemuruh dan hampir terbakar. Vincent menangkap dengan ekor matanya, sosok pria yang sedang duduk termenung disampingnya itu. Pria yang menghabiskan waktu dengannya malam ini. Pria yang adalah kekasihnya itu, hanya terdiam tanpa suara.

Ia merasakan napasnya sendiri tercekat, seperti ada kekuatan lain yang mencekik lehernya, menahan tarikan napas yang membuat dadanya sesak.

Vincent menatap lurus kedepan, ke arah luar mobilnya. Manik hazelnya menangkap gerombolan orang sedang berjalan ke arah kendaraan masing-masing. Seseorang terlihat melangkah gontai, seperti sedang mabuk. Kedua telinganya menangkap suara gerombolan itu begitu ramai dan ceria di luar mobilnya, terdengar tertawa dan bersenda gurau, begitu berbeda dengan suasana dalam mobilnya saat ini.

Ia membiarkan Gregory dan dirinya sendiri tenggelam dalam pikiran masing-masing. Vincent merasa ada seseorang yang sedang mengguyur tubuhnya dengan seember air dingin, seperti ingin menyadarkannya dan membawanya kembali ke realita.

Apa kebahagiaan yang mereka berdua rasakan malam ini hanya halusinasinya semata?

Vincent lalu menghadapkan tubuhnya ke samping, melihat Gregory sedang menunduk. Mungkin pria itu sedang bergumul dengan pikiran dan kekhawatirannya sendiri.

Ia sama sekali tidak tahu sejak kapan kekasihnya itu merencanakan semua ini; tentang niatnya untuk pulang ke Indonesia, yang sedikit membuatnya takut.

Apakah kekasihnya itu benar-benar akan pulang ke tanah kelahiran mereka dan tidak akan kembali ke Paris? Apa alasannya? Apakah pria itu memutuskan untuk kembali ke Indonesia karena hubungan mereka?

“Can you tell me why?” Katanya tiba-tiba lirih, memecah keheningan yang semakin lama semakin membuat rongga dadanya terasa mengecil.

Gregory mengangkat kepalanya, kedua mata bulat yang biasanya memancarkan binar ceria dan mengerling, kini terlihat memerah. Raut wajahnya muram, seperti langit mendung kota Paris malam ini. Pria itu mengangguk, menghela napas panjang kemudian, sebelum akhirnya kedua mata mereka bertemu. “Kamu... ingat surel dariku beberapa waktu lalu, Vin?”

Tentu ia mengingatnya, momen dimana dirinya membaca surel itu setelah pulang dari latihan orkestra yang melelahkan. Saat itu, ia tidak memiliki siapapun. Vincent benar-benar memukul mundur Gregory—bahkan Timothy yang biasanya selalu ada menemaninya saat ia sedang merasa stres karena orkestranya. Dan surel yang dikirim oleh Gregory sukses membuatnya terduduk di depan pintu apartemennya selama dua jam, memandangi layar ponselnya dan membaca isinya berkali-kali.

Surel itu berisi curahan hati Gregory; tentang bagaimana pria itu selama ini belum mampu mencintai dirinya dan tentang bagaimana pria itu merasa sulit untuk bahagia karena dirinya sendiri.

Vincent lantas menyadari, mungkin keinginan pria itu untuk pulang adalah langkah yang akan Gregory lakukan untuk memulai semua hal itu.

Pria itu hendak kembali ke awal.

Ia mengangguk dan menggumam, membiarkan Gregory mengambil waktunya sendiri untuk menjelaskan alasan pria itu padanya. Sungguh, ia tidak merasa marah ataupun kecewa dengan keputusan Gregory. Tidak sama sekali. Ia hanya bingung dengan keahlian kekasihnya menutupi rencana itu sedemikian rupa tanpa memberitahunya. Vincent benar-benar ingin membantunya, bagaimanapun, Gregory adalah kekasihnya, bukan?

Namun perlahan Vincent menyadari, bahwa tidak semua orang ingin dibantu, atau bahkan ditolong oleh orang lain.

“I'm sorry I didn't tell you anything.” Gregory memulai kalimatnya, terdengar seperti putus asa. Pria itu terlihat menggigit kukunya sendiri, kaki kanannya bergetar. Vincent hafal betul dengan gestur itu. Kekasihnya benar-benar gugup. Maka dengan sigap ia meraih tangan Gregory dan menggenggamnya erat. Pria yang lebih mudah darinya itu lantas menatapnya dengan sorot mata yang sendu.

Gregory mengulas senyum, senyum yang dengan luar biasa mampu menghipnotis Vincent saat pertama kali mereka bertemu di Page 35. “I'm sorry, aku hanya tidak mau seseorang menghalangi rencana dan keinginanku, Vin. Walaupun aku tahu, kamu tidak akan melakukannya. Namun, ya, begitulah. Kamu paham akan apa yang aku maksud, 'kan?

Ia menganggukan kepalanya, lalu tersenyum. Vincent tahu Gregory pasti punya alasan dibalik setiap keputusan dan apapun yang pria itu lakukan. “It's totally okay. I understand where it came from. And I know you had your own reasons. Don't worry, Beau.”

Gregory menghela napas sebelum akhirnya menjelaskan padanya, apa yang sebenarnya ia pikirkan dan rasakan. “I know healing is not easy, and we don't have to forgive them, as in my parents and my past,” ujar pria itu. Vincent mengusapkan ibu jarinya pada punggung tangan Gregory, berusaha mentransfer gelombang cintanya dari gestur yang ia lakukan. Ia tahu kekasihnya itu dapat merasakannya. “But, I really want to meet them. Just, talk, or I don't know. Maybe it's all started with a wrong foot and wrong decisions, or it's all just a misunderstanding. Right?” Tanya pria itu padanya dengan retoris.

Gregory yang dulu belum tentu akan memiliki jalan pikiran yang sama dengan sosok yang ada di hadapannya saat ini. Gregory yang dulu akan cenderung membiarkan emosinya menguasai kepala dan hatinya. Gregory yang dulu akan mendorong semua orang yang mencintainya, untuk pergi meninggalkan dan membiarkannya berjuang sendiri. Gregory yang dulu tidak akan mau ditolong oleh siapapun.

Dan Gregory yang dulu, tidak akan mau menceritakan semua ini pada Vincent.

Kenyataan itu membuatnya lantas tersenyum. Hatinya terenyuh, melihat kekasihnya itu perlahan berubah menjadi orang yang berbeda. Vincent tahu, proses mencintai diri sendiri bukanlah hal yang mudah, kau akan mengorbankan banyak hal. Dan Vincent merasa bangga pada Gregory karena pria itu akhirnya ingin merangkul dirinya sendiri dan berjuang bersama.

“We can't fix everything, I know,” ujar Gregory menyambung lagi. “And I don't want to fix anything, because yeah, tidak semua hal harus diperbaiki. Betul, 'kan, Vin?”

Ia mengangguk, lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran jok mobilnya. Manik hazelnya menatap mata Gregory. Keduanya menyorotkan sendu, namun Vincent menangkap sorot 'harapan' dari sepasang mata indah kekasihnya itu.

Mungkin bahagiaku tertahan di sana, di Indonesia. And I just want a closure, that's all. Maybe take a little break for myself, and maybe, I can find myself again by doing that. Right?”

Gregory masih bisa tersenyum. Kekasihnya itu pandai menyembunyikan perasaannya. Raut bahagia dan ceria selalu menghiasi wajahnya, namun belum tentu Gregory tidak merasa sakit saat menyembunyikan luka dalam dihatinya.

“And maybe, I can live happily after that. And I can't wait to be in that state, to live my life to the fullest. Live happily, and be with you here, in Paris,” kata pria itu final, menghapus air matanya sendiri menggunakan kausnya sambil tertawa kecil.

Vincent pun tidak sadar dirinya sudah menangis. Kedua pipinya basah karena air mata. Ia begitu mencintai Gregory, merasa bahagia karena pria itu akhirnya mau melepaskan pikiran dan semua hal buruk yang mengikatnya selama ini.

“God, baby, come here,” ujar Vincent kemudian, merengkuh tubuh kekasihnya erat. Ia memeluk pria itu dan merasakan tubuhnya pun bergetar. Keduanya menangis dalam pelukan masing-masing. Gregory menyandarkan kepalanya didadanya, sedang dirinya membenamkan wajahnya pada kepala kekasihnya itu. “I am so proud of you, Gregory. You have to know that. Thank you for being strong,” bisiknya ditelinga kekasihnya itu. Gregory terdengar tertawa ditengah tangisnya. “You are so brave. I love you,” kata Vincent berulang kali.

Vincent berjanji dalam hatinya, bahwa dirinya akan selalu mendukung pria itu. Ia akan selalu ada untuk Gregory, kapanpun pria itu membutuhkannya. Jika ini adalah hal yang harus Gregory lewati sehingga akhirnya pria itu mampu mencintai dirinya sendiri, maka Vincent akan selalu mendampinginya sampai kapanpun.

“Thank you, sayang,” kata Gregory, mengucapkan terima kasih padanya. Vincent berulang kali mengangguk, lalu mengecup dahi kekasihnya itu dan merengkuh tubuhnya lebih erat. “I love you too.”

Keduanya berbagi emosi dan tangis bahagia cukup lama, tidak menyadari bahwa hari telah berganti dan lot parkir sudah terlihat kosong. Hanya mereka berdua yang ada di sana, bahkan cruise yang tadi menyala terang kini benar-benar gelap.

Vincent lalu melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Gregory, mendekatkan wajahnya sendiri untuk mencium bibir ranum kekasihnya yang sudah terlihat pucat itu. Dan Gregory dengan senang hati membalas ciumannya dengan tulus.

“So, no more secret from now on?” Vincent meledek Gregory dan terkekeh, lalu menyodorkan beberapa helai tisu ke arahnya sambil melajukan mobilnya. Pria itu memutar kedua bola matanya dan mendengus, mengambil tisu dari tangannya untuk menyeka hidungnya.

“Yeah, Vin, no more secret. I promise.”

Gregory merebahkan tubuhnya diatas kasur sambil menghela napas. Ia mengulas senyum kemudian, sambil menatap langit-langit kamar apartemennya yang terlihat pucat.

Hari ini adalah hari yang baik dan menyenangkan untuknya. Kedua pipinya terasa pegal karena ia tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya seharian, bahkan saat dirinya bernyanyi di bar beberapa jam yang lalu.

Entah hal itu terjadi karena Vincent memberi satu buket bunga untuknya, atau karena kekasihnya itu menontonnya bekerja malam ini dengan senyum lebar yang membuat hatinya terenyuh. Atau bahkan keduanya?

Gregory merasa asing dengan perasaannya sendiri, namun ia sangat menyukainya. Ia ingin mengulangi rasa yang sama esok hari, lusa, bahkan selamanya.

Apakah ini adalah salah satu ciri-ciri bahwa seseorang sedang merasa bahagia?

Satu hal yang Gregory sadari, bahwa setiap kali ia merasa bahagia, Vincent selalu ada di sana, menjadi pemeran kedua yang mendampinginya.

Dan, pria itu selalu merasa bahagia setiap melihat dirinya bahagia.

Tanpa Gregory sadari, Vincent adalah seseorang yang benar-benar ia butuhkan.

Ia lalu menoleh ke arah nakas yang terletak disamping kasurnya, memandang buket bunga peony berwarna merah muda pemberian Vincent yang sangat cantik, memberikan warna berbeda untuk kamar tidurnya yang cenderung bernuansa monokrom. Ia tidak peduli dengan beberapa orang yang berpapasan dengannya tadi saat pulang ke apartemennya dengan menggunakan metro.

Gregory menyadari orang-orang itu menatapnya dengan aneh, terheran-heran melihatnya membawa buket bunga yang beratnya cukup membuat kedua lengannya pegal.

Ia menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibirnya. Vincent benar-benar terlihat seperti orang yang baru saja merasakan jatuh cinta dan sedang melakukan pendekatan. Pria itu bahkan akan mengajaknya pergi kencan esok hari, seperti anak muda saja!

Memikirkan hal itu membuatnya tersenyum, menyadari perasaan hangat yang mengetuk hatinya dan menuntut untuk singgah di sana. Gregory menggerak-gerakkan kedua kakinya dengan cepat bergantian, membuat seprai kasurnya lantas kusut dan berantakan.

Oh, mon Dieu. Ia benar-benar harus menelepon Thomas sekarang.

Gregory mengambil ponselnya, melihat waktu pada layar yang menunjukkan pukul sebelas lebih empat puluh lima malam. Ia tahu, Thomas pasti masih terlelap menikmati waktu istirahatnya, dan ia sendiri pun harus segera tidur.

Namun jujur, ia benar-benar tidak dapat menahan rasa senangnya hingga esok hari.

Ia menyejajarkan wajahnya dengan layar, lalu mencari kontak sahabatnya itu untuk meneleponnya.

Thomas mengangkat teleponnya pada dering keempat.

“Halo?” Gregory menyapa sahabatnya dengan suara pelan. Pria itu terdengar menggeram, seperti terganggu dengan telepon darinya. Bagaimana sahabatnya itu tidak kesal, saat ini di Jakarta masih menunjukkan pukul enam pagi.

Gregory lantas meringis, tidak enak hati dengan sahabatnya itu. “Thom, masih tidur?”

Sahabatnya itu mengeluh, berdecak lalu menjawab pertanyaannya dengan suara seperti mengigau. “Menurut lo?” Pria itu bertanya padanya, sesaat terdiam sebelum menyambung lagi. “Ini jam enam pagi, Gregory. Jesus Christ.”

“Sori,” katanya meminta maaf sambil terkekeh pelan. Ia benar-benar rindu mendengarkan Thomas mengumpat seperti ini. Mereka sudah lama tidak bicara lewat telepon, hanya mengobrol secukupnya lewat pesan singkat karena keduanya sedang sibuk. Ia dengan pekerjaannya dan Vincent, Thomas dengan pemotretan dan pekerjaannya yang lain. “I just need someone to talk to. Thought you are already awake, bro,” ujarnya santai.

Bangsat,” umpat Thomas cepat, membuatnya lantas tergelak. Ia tersenyum, sebentar lagi ia akan mendengar suara sahabatnya itu memaki-makinya secara langsung. “Mana ada gue subuh seperti ini sudah bangun, nyet. Weekend pula. Gue ingin teriak tapi Josh masih tidur,” omelnya walaupun dengan berbisik. Gregory mendengar suara berkeresak diujung telepon, seperti suara selimut sedang disibakkan. “Nggak usah ketawa lo ya. Awas lo.”

Gregory terkekeh. “Galak banget, anjing. Anyway, the reason why I called,” jelasnya sambil menegakkan tubuhnya dan bersandar pada dinding kamar apartemennya yang terasa dingin pada punggungnya. “I have a situation, Thom, but I want to tell you thru the phone instead of texting you,” jelasnya singkat. Ia menggumam lalu berpikir, apakah sebaiknya ia mengakhiri telepon mereka untuk mempersilakan sahabatnya itu untuk kembali beristirahat. “Atau, apa sebaiknya gue telepon lo lagi nanti siang saja?”

Ia bisa mendengar Thomas menggelengkan kepalanya. “Jangan. Lebih baik sekarang, karena gue setelah ini mau tidur lagi. Today is my day off but I’ll let you slide.” Thomas menjawab sekenanya sambil terdengar menguap. “Ada apa, Gre?”

Okay, so,” katanya memulai pembicaraan. Gregory tidak sadar sedari tadi sudah menggigit bibirnya. Ia terlalu bersemangat untuk menceritakan rencananya dengan Vincent esok hari pada Thomas. God, ia benar-benar terlihat seperti anak muda yang baru saja merasakan jatuh cinta. Gregory pun bingung dengan tingkah lakunya sendiri. Kalau saja saat ini bukan malam hari dan lantai gedung apartemennya yang tidak tipis yang cenderung akan mengganggu penghuni unit yang berada dibawahnya, mungkin saat ini ia akan melonjak-lonjak sambil berteriak.

Namun tentu ia urungkan, tidak ingin berurusan dengan pemilik apartemen yang baru bertemu dengannya satu kali itu. “Vincent besok bakal ajak gue nge-date. I don’t know exactly where to,” jelasnya sambil tertawa kecil. Kedua pipinya terasa pegal akibat terlalu lama tersenyum.

Thomas terdengar bertanya dengan heran. “Nge-date? God, kalian ini,” ujar sahabatnya diujung telepon sambil mendengus. “Seperti sedang pendekatan saja? Memangnya kalian berdua ada momen spesial apa?”

Momen spesial? Sepengetahuannya, Vincent dan dirinya tidak memiliki hari atau sesuatu yang harus dirayakan mendekati hari ulang tahunnya. “Justru itu, Thom. Tidak ada sama sekali. Ulang tahun gue pun masih sembilan hari lagi, ‘kan,” jelasnya sambil meraih bantal untuk dipeluknya. “He wants to do things differently this time, I guess?” Tanya Gregory retoris pada pria diujung telepon.

Gregory menangkap suara sahabatnya itu menggumam, pun suara samar-samar Joshua dibelakangnya. Tak lama kemudian, ia mendengar suara pintu seperti ditutup. “Sori, sebentar gue lagi mau pindah ke ruang tengah.”

Ia menggumam, menggunakan jeda waktu tersebut untuk merebahkan tubuhnya kembali. Ia merasa beruntung memiliki Thomas, satu-satunya sahabat yang rela mendengarnya bercerita walaupun perbedaan waktu enam jam antara Indonesia dan Paris, yang seringkali menjadi penghambat. Namun keduanya selalu rela meluangkan waktu walaupun sebenarnya akan mengganggu istirahat satu sama lain.

“It's going to be fancy. No?” Tanya pria itu tiba-tiba, terdengar menghela napas berat. “Tumben sekali, Gre?”

Ia mengedikkan bahu, walaupun tahu bahwa pria yang sedang berbicara diujung telepon tidak dapat melihatnya. “I don’t know. Ya seperti yang gue bilang, dia mungkin mau coba hal baru. Lagipula kami berdua jarang sekali pergi kencan.”

“Yeah, I know,” ujar pria itu singkat sambil menguap. “Dia tidak ada clue? But well, knowing Vincent sih sepertinya dia tidak akan memberitahu lo,” jelas Thomas menjawab pertanyaannya sendiri.

I know right,” katanya memberi respon sambil menghela napas berat.

“But, lo pasti telepon gue tidak hanya mau pamer kalau besok akan pergi kencan, ‘kan? I can hear you thinking right now. What’s wrong, Gre?”

Thomas. Selalu tahu apa isi hatinya tanpa ia bicara. Terkadang sahabatnya itu sedikit membuatnya takut.

“Gue,” mulainya dengan sedikit ragu, berusaha untuk menguburkan rasa khawatirnya. “Tiba-tiba teringat rencana gue itu. Ulang tahun gue sebentar lagi, Thom. And I can’t stop thinking about the fact that I will do my plans soon, three days after. Should I tell Vincent sooner? Kami berdua sedang bahagia-bahagianya. I’m afraid he’d be mad if I told him on short notice. Gue hanya tidak mau menghancurkan hari ulang tahun gue. I remember his promise, we’re going to celebrate my birthday together.”

Memang, tidak ada lagi rahasia diantara dirinya dan Vincent. Namun untuk rencananya kali ini, Gregory berusaha menutupinya rapat-rapat sampai waktu yang tepat untuk memberitahu kekasihnya itu. Sebenarnya ia yakin, bahwa pria itu pasti akan mendukungnya menjalankan rencananya itu.

Tapi Gregory juga manusia. Ia diperbolehkan untuk merasa takut, 'kan?”

Kalau rencana lo membuat lo mulas,” ujar Thomas, membuatnya menggeram. Ia terkadang merasa heran dengan perumpamaan yang digunakan oleh sahabatnya itu setiap kali mereka mengobrol. “Hei, gue serius, Gre. Kalau lo khawatir rencana lo itu akan membuat hari-hari lo kedepan akan berantakan, lebih baik lo cerita saja secepatnya.”

“Begitu, ya?” Tanyanya ragu, sambil tangannya memilin ujungnya sarung bantal miliknya.

“Yeah. Menurut gue sih begitu, Gre. Tapi ya, semua keputusan ada ditangan lo. Ikutin kata hati lo saja. Gre. Dan menurut gue, kalau dia benar-benar sayang lo, gue rasa dia akan setuju dengan rencana lo. And he won’t stop you, because that’s your life we’re talking about.”

Yeah I know. Gue hanya takut, Thom.”

Bahkan dirinya sendiri lelah membicarakan ketakutannya.

Takut?” Thomas bertanya dengan nada heran, membuatnya menghela napas pelan. “Lo takut kenapa?”

Gregory berusaha mengutarakan isi hatinya pada Thomas. Semua hal yang sedang direncanakan, adalah untuk kebaikan dirinya sendiri, 'kan? “I’m afraid I can’t convince him, that this is not me running from him. This is me going back to put myself back into one piece.”

Lo jujur saja ke Vincent, Gre. In my opinion, I know he will understand. But I’m not him, so you can’t ask me what he would say or do. Momennya sedang pas. Lo ajak dia ngobrol saja setelah kalian pulang dari nge-date. Usul gue sih, hanya itu.

Menurut gue, lo jangan bilang ke dia saat hari ulang tahun lo. Feeling gue, it will ruin your day.”

Dan feeling Thomas tidak pernah salah.

Alright then. Wish me luck, okay?”

“Always, bro. Apapun hasilnya besok, beritahu gue ya? Have fun tomorrow,” kata pria itu dengan nada yang dipaksa untuk ceria. Thomas pasti sudah mengantuk lagi.

Ia tertawa. “Yeah, thanks Thom.”

Pria itu meresponnya diujung telepon dengan suara yang kecil. Sepertinya sebentar lagi Thomas akan tertidur dengan ponsel masih menempel pada telinganya. “No worries, Gre. Gue balik tidur lagi ya?”

Ah, alright. Thanks though. Sori gue ganggu istirahat lo,” katanya meminta maaf, benar-benar tidak enak hati dengan sahabatnya itu.

Santai, nyet. Not at all. Good luck, Gre. Bye.”

Bye, Thom.”

Klik.

Telepon pun terputus, membuat Gregory lantas membiarkan ponselnya tergeletak di sampingnya dan berusaha memejamkan kedua matanya. Ia menghela napas panjang dan berat.

Ya, semoga semuanya baik-baik saja.


Waktu telah menunjukkan pukul lima sore saat Vincent memberitahunya bahwa pria itu sudah sampai di depan gedung apartemennya. Ia berkaca didepan cermin yang ada di ruang tengah apartemennya sambil tersenyum lebar, merasa puas dengan pilihan pakaiannya sebelum akhirnya turun dari unitnya untuk bertemu dengan Vincent.

Kekasihnya itu hanya berkata bahwa mereka akan pergi makan malam dengan tema kasual. Namun ia ragu. Vincent seringkali memberikan kejutan untuknya yang berbeda jauh dengan deskripsi pria itu. Maka malam ini, ia memutuskan untuk mengenakan kaus putih dengan dibalut kemeja lengan panjang berbahan flanel. Celana panjang jins ketat berwarna hitam yang membalut kedua kakinya membuat kakinya terlihat jenjang, pun dengan sepatu boots senada yang membuatnya sungguh terlihat menakjubkan malam ini.

Dengan cepat ia menuruni anak tangga gedung apartemennya dan berlari-lari kecil menuju pintu masuk gedung apartemen.

Sepasang mata bulatnya lalu menangkap sosok Vincent yang sedang merapikan blazer yang dikenakannya. Ia lantas menghampiri pria itu sambil berteriak sedikit keras. “Sayang!”

Vincent menoleh, lalu melambaikan tangan sebelum merentangkan kedua lengannya. “Hey, gorgeous,” sapa Vincent sambil merengkuh tubuhnya kedalam pelukan. Pria itu mengikis jarak diantara mereka dan mengecup bibirnya singkat. Gregory hanya dapat tersenyum sumringah saat mendengar kekasihnya itu memuji penampilannya malam ini sambil berbisik dibibirnya. “Mon Dieu, baby, you look so fucking amazing.”

Gregory terkekeh, lalu membalas ciuman kekasihnya itu sambil memagut bibir bawahnya. “You don't look to bad yourself, Vin.”

Vincent lantas menarik wajahnya, lalu mendaratkan kecupan pada dahinya, membuatnya tersenyum sambil menghirup aroma tubuh pria itu yang menguar kuat, menyapa indra penciumannya. Vincent tidak terlalu menyukai minyak wangi, ia hafal betul dengan wangi sabun yang menempel pada kulit kekasihnya itu.

Pria itu melirik ke arah jam tangannya lalu mengajaknya untuk segera berangkat dari sana. Keduanya berjalan bersisian menyusuri jalan Rue de la Huchette menuju tempat Vincent memarkirkan mobilnya. Udara kota Paris malam ini terasa begitu dingin, walaupun langit terlihat cerah.

Gregory berharap dalam hati, semoga kekasihnya itu tidak mengajaknya pergi makan malam di area luar restoran. Kaus yang dikenakan olehnya sangat tipis, tidak menyangka bahwa kemeja lengan panjangnya tidak mampu menghangatkan tubuhnya sendiri.

Sepertinya Vincent menyadari bahwa dirinya mulai merasa kedinginan, maka pria itu dengan cepat menarik tangannya dan mengaitkan jemari mereka. Gregory lantas menoleh, melihat Vincent sudah menyunggingkan senyum lebar kearahnya. Hatinya terenyuh, merasakan cinta yang Vincent berikan lewat hangat yang menjalar keseluruh tubuhnya.

Kekasihnya lalu memasukkan kedua tangan mereka kedalam saku blazer yang dikenakannya. Gregory merasakan ibu jari pria itu mengusap punggung tangannya berkali-kali, menggenggam tangannya begitu erat.

Dan untuk kesekian kalinya, ia merasa bahagia memiliki Vincent dihidupnya.


Vincent enggan memberi informasi apapun padanya tentang tujuan mereka, sekeras apapun usahanya bertanya pada kekasihnya itu. Pria yang sedang mengemudi disampingnya itu hanya menggeleng dan memintanya untuk memejamkan kedua mata bulatnya. Gregory hanya dapat menanggapi dengan mendengus, mau tidak mau melakukan apa yang diminta oleh Vincent.

Perjalanan mereka menuju lokasi hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Ia lalu merasakan Vincent menyentuh lengannya, mengatakan padanya bahwa mereka akan sampai di tempat tujuan. Laju kecepatan mobil kekasihnya itu pun melambat, sepertinya mereka sedang menyusuri jalan yang agak sempit.

Maka dengan cepat ia membuka matanya, mengernyitkan dahi kemudian.

Gregory sempat tidak mengenali tempat itu, namun akhirnya kedua matanya terbelalak, terkejut saat membaca papan tanda penunjuk bahwa mereka sedang berada di Port de la Bourdonnais.

Ia setengah berteriak, menoleh ke arah Vincent dengan mulut menganga. “Vincentius. No way!?”

Kekasihnya itu hanya terkekeh sambil mencari satu lot kosong untuk memarkirkan mobilnya. “Yes way, my love.”

Fuck,” umpatnya tiba-tiba, membuat Vincent lantas tergelak. Pria itu masih bisa tertawa?! Bahkan dirinya saat ini ingin membuka jendela mobil dan berteriak sekencang-kencangnya. Vincent sudah benar-benar gila. “You really remember about the suggestion, don't you?”

“Ya, Gregory,” ujarnya sambil mengulas senyum. “Aku ingat kamu pernah bilang, kalau kamu ingin sekali pergi makan malam di tempat ini. So yeah, aku memanfaatkan waktu luang kita berdua untuk mengunjungi tempat ini.”

“Kamu gila,” ujarnya masih tidak percaya. Gregory bisa mendengar detak jantungnya sendiri dengan kedua telinganya. Dadanya berdegup begitu kencang, khawatir jika pria itu akan melakukan sesuatu yang tentu akan membuatnya mungkin akan pingsan.

Setelah Vincent memarkirkan mobilnya, mereka lalu turun dan melangkah ke arah cruise yang terlihat sangat cantik pada sore hari seperti ini. Vincent menggenggam tangannya erat, memasukkan tangan mereka kedalam saku blazernya lagi.

Gregory lalu teringat akan sesuatu. Ia lantas menoleh, menengadahkan kepalanya dan melihat Menara Eiffel menjulang tinggi, terasa sangat dekat dengannya. Menara itu memancarkan cahaya kuning yang begitu cantik. Terakhir kali dirinya menikmati pemandangan seperti ini adalah saat ia menginap dengan Thomas di hotel yang berjarak hanya seratus meter dari menara Eiffel.

Ia mengikuti langkah Vincent memasuki cruise, seketika disambut dengan antrean beberapa tamu yang juga akan menikmati makan malam di restoran itu.

Kekasihnya merogoh saku dalam blazernya, mengeluarkan dua lembar tiket untuk masuk kedalam restoran. Seorang wanita yang berprofesi sebagai pramusaji lalu menyapa Vincent. Pria yang berdiri di sampingnya itu lantas tersenyum dan berkata dengan bahasa Perancis yang terdengar sangat seksi, sontak membuat kedua lututnya lemas.

Bonsoir, j’ai une réservation au nom de Vincentius,” ujarnya pada wanita itu dengan aksen yang kental. Kekasihnya itu menjelaskan bahwa ia sudah memiliki reservasi atas namanya sendiri. Pramusaji itu lalu menggerakkan jari telunjuknya pada layar tablet yang ada di hadapannya, seperti sedang mencari lokasi dan meja yang sudah disediakan untuk mereka.

Gregory mengedarkan pandangannya, melihat para tamu yang berdandan sangat tampan dan cantik, berbanding terbalik dengan dirinya yang berpenampilan seadanya. Ia hampir saja terlena dengan pikiran buruk dan kekhawatirannya, sesaat sebelum merasakan lengan kekasihnya merengkuh tubuhnya dan memeluknya.

Vincent seperti tahu apa yang sedang dipikirkannya.

This is too much, sayang,” bisik Gregory sambil menyandarkan kepalanya didada Vincent. Kekasihnya terdengar tertawa. Ia merasakan dada pria itu bergetar ditelinganya. Vincent lalu mengecup pelipisnya sekilas sambil mengusap punggungnya dengan sayang. “I don't deserve this, you know.”

Pria yang sedang mendekap tubuhnya itu berdecak, lalu mengeratkan pelukannya. Sungguh, Gregory menyukainya, berusaha tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang terlihat sedang memperhatikan mereka. Pelukan Vincent hangat, nyaman dan menenangkan. “Wait until your birthday, baby,” katanya menyambung lagi, membuat jantungnya seperti merosot tajam hingga kedasar perutnya.

Apa yang akan terjadi saat ulang tahunnya?

And you deserve this Gregory. You deserve a reward for yourself, for being tough and patient with your own self,” jelas Vincent lagi.

Detik itu juga, Gregory menengadahkan kepalanya, menatap sepasang manik hazel itu kemudian. Mereka beradu tatap, sorot mata Vincent begitu teduh, membuatnya terhanyut dalam suasana malam ini.

Ia begitu mencintai Vincent, dan ia yakin bahwa pria itu dapat merasakannya.

Are you happy?” Vincent bertanya lirih. Gregory hanya dapat menganggukan kepalanya lemah, menggumam lalu tersenyum sumringah ke arah kekasihnya itu. Ia mendengar Vincent menghela napas panjang, lalu mengecup dahi, kedua mata serta hidungnya. “Thank God. Because I am happy if you are.”

Sebelum Gregory menanggapinya, seorang wanita tadi memanggil nama Vincent, meminta mereka untuk berjalan ke arah meja yang sudah disediakan. Kekasihnya itu lantas menggandeng tangannya dan berjalan mendahuluinya.

Ia lalu mengedarkan pandangannya, memperhatikan interior restoran yang begitu cantik dan terkesan romantis. Walaupun tidak semewah yang ada dalam bayangannya, namun Gregory menyukainya. Ia pun melihat ke arah luar kaca jendela restoran, terlihat lampu gedung yang terletak dipinggir jalan sungai Seine mulai menyala. Beberapa kapal lainnya pun terlihat sepi, berjejer di seberang kapal tempatnya berdiri.

Restoran ini benar-benar menakjubkan, membuatnya berkali-kali berdecak dan ber-oh-ria. Ia tidak pernah menyangka, celetukan asalnya beberapa bulan lalu saat sedang mengobrol dengan Vincent akan menjadi kenyataan. Ingatannya kembali ke masa itu, saat mereka berdua sedang berjalan melintasi jembatan Pont de Alexandre III pada malam hari, dan Gregory membayangkan jika suatu saat mereka memiliki waktu luang untuk makan malam diatas cruise sambil menyusuri sungai Seine.

Dan hari ini, Vincent akhirnya mewujudkannya.

Keduanya akhirnya sampai pada meja yang disediakan untuk mereka. Gregory lantas menggelengkan kepalanya tidak percaya; meja ini adalah meja paling strategis dalam restoran itu, ia pernah membacanya pada salah satu artikel media lokal Paris. Dari meja ini, mereka berdua dapat menikmati pemandangan dan waktu tanpa merasa terganggu dengan tamu lainnya.

Vincent pun mengucapkan terima kasih pada wanita itu, lalu menarik kursi untuknya dan mempersilakan dirinya duduk.

Gregory menggigit bibirnya, berusaha menahan tawa melihat tingkah kekasihnya itu. Ia lalu mengucapkan terima kasih pada Vincent sambil berdiri diantara kursi dan meja itu. “Can’t believe you literally booked the best spot of this cruise just for a casual dinner, sayang. Really?”

Let me impress you, okay,” kata pria itu sambil mendengus pelan. Gregory hanya terkekeh lalu duduk tepat berhadapan dengan Vincent. “This is a date, Gregory,” katanya singkat lalu mengambil duduk.

Okay, then,” ujarnya sambil tertawa, melihat Vincent begitu senang dengan reaksinya. “Kamu dan egomu, tidak bisa diganggu gugat.”

Kekasihnya itu menggumam, menatap mata bulatnya lekat. “Do you like this, my love?”

Ia mengangguk. “I love this so much. Thanks, Vin sayang. Again, you always go the extra miles.”

I will do anything for you,” kata Vincent sambil mengulurkan tangan untuk meraih tangannya, dan meninggalkan beberapa kecupan pada bagian punggungnya. “I love you, Beau.”

Mon Dieu, how can I not love him? batin Gregory dalam hati. Ia merasakan bulu kuduknya meremang, bersamaan dengan kepakan sayap kupu-kupu yang memenuhi dada dan perutnya. Ia benar-benar seperti anak muda yang sedang merasakan jatuh cinta!

Gregory lantas menarik tangan Vincent untuk membalas pria itu dengan mengecup bagian punggung tangannya. Kekasihnya terlihat terkejut, membuatnya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Vincent tidak pernah bisa menyembunyikan raut wajahnya setiap kali mereka sedang bersama, apalagi saat Gregory melakukan sesuatu yang terasa asing untuk pria itu.

Cheesy deh,” ujar Gregory sambil menyandarkan wajahnya pada telapak tangan Vincent. Ia menatap manik hazel itu dengan sorot mata yang teduh. “I love you too, Vin.”

Tak lama setelahnya, seorang pramusaji tadi kembali menghampiri meja mereka, menyuguhkan welcome drinks, lalu bertanya pada Vincent tentang wine yang akan dikeluarkan terlebih dahulu. Sepertinya kekasihnya sudah mengatur menu mereka sedemikian rupa, sehingga akhirnya Gregory menggunakan kesempatan itu untuk mengambil ponselnya. Ia ingin mengabadikan momen istimewa mereka malam ini dengan mengambil foto pemandangan dan suasana restoran itu sebanyak-banyaknya.

Ia pun mengambil foto Vincent sedang menunduk, terlihat begitu fokus pada buku menu sambil mengernyitkan dahinya. Kekasihnya benar-benar sempurna, rambut hitamnya yang panjang dibiarkan terurai menutupi tengkuk lehernya. Vincent terlihat begitu tampan dengan mengenakan kemeja yang dibalut dengan sweater tanpa lengan berwarna hitam, dan mengenakan blazer berwarna monokrom sebagai luaran. Hidungnya yang mancung dan kedua alis hitam yang tebal mendampingi sorot manik hazelnya yang tajam.

Dengan cepat Gregory mengabadikan momen itu, berharap suatu hari ia dapat kembali melakukan hobi melukisnya. Sungguh, ia ingin mewujudkan keinginannya sejak lama untuk melukis Vincent, lalu memberikan hasil karyanya pada pria itu sebagai bentuk terima kasih.

Lima menit telah berlalu, ia menangkap dengan ekor matanya Vincent sedang menutup buku menu sambil menyebutkan dua botol wine yang ingin dipesannya. Pria itu lalu mengucapkan terima kasih pada pramusaji itu.

Gregory lantas menoleh ke arah kekasihnya sambil tersenyum, mengulurkan tangannya dan mengaitkan jemari mereka. Vincent tersenyum lebar, lalu meraih tangannya kemudian. Pria itu melafalkan tiga kata cinta dengan bibirnya tanpa suara. Tanpa berpikir, Gregory seketika membalas ucapan pria itu sambil tersenyum lebar, menunjukkan sederet giginya.

Ia terlalu larut dalam rasa bahagia yang membuncah dan memenuhi rongga dadanya tanpa permisi. Vincent seperti seorang malaikat untuknya, selalu memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Menjaga hatinya bak gelas kaca yang ringkih, namun tidak ingin menggenggamnya lagi terlalu erat untuk kedua kalinya.

Masing-masing perlahan kembali belajar menata hati yang sempat terluka.

Gregory merasa bahagia, sungguh bahagia. Ia bersyukur dapat merasakan cinta yang Vincent berikan terus menerus padanya, seperti suntikan semangat yang selalu memacu adrenalinnya. Ia pun merasa bahagia, dapat memberikan cintanya pada Vincent yang dengan setia menengadahkan kedua tangannya, menerimanya tanpa pamrih.

Gregory, we will be back around eleven. Want to stay over in my apartment tonight?”

Pertanyaan Vincent barusan membuatnya sedikit terkejut. Ia terlalu menikmati gelembung kebahagiaan yang mengungkungnya dan Vincent, sampai ia tidak mengingat bahwa hari ini ia harus memberitahu kekasihnya itu tentang rencananya yang akan dilakukan dalam hitungan hari.

Ini semua demi kebaikannya sendiri, dan mungkin saja akan menjadi hal yang baik untuk hubungannya dengan Vincent. Gregory harus memberitahu pria itu malam ini, sebelum semuanya terlambat.

Namun ia tahu untuk dirinya sendiri, tidak pernah ada kata terlambat.

Ia lalu menganggukan kepalanya, menoleh ke arah Vincent dengan senyum ceria. “I’d love to,” jawabnya singkat, lalu mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya menyambung lagi. “And also, there’s something I need to tell you.”

Vincent yang sedang mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya lantas menghentikan kegiatannya. Pria itu mengernyitkan dahi bingung, membuat hatinya sedikit nyeri. Kekasihnya tidak akan berpikiran macam-macam, 'kan?

Okay, should I be worried, Beau?”

Gregory menggeleng cepat. Ia merasakan kakinya sendiri bergetar, bergerak naik turun. Ia benar-benar gugup. “Tidak perlu khawatir, Vin,” katanya sambil mengulas senyum. “Everything is fine.”

“Baiklah,” ujar Vincent sambil menarik tangannya, terlihat yakin dengan ucapannya. “Come here, Gregory. I really want to kiss you.”

Ia lantas memajukan tubuh dan wajahnya, merasakan hangatnya telapak tangan Vincent diwajahnya. Mereka lalu berciuman, diiringi musik jazz yang mengalun lembut, mengisi seluruh ruangan. Gregory menyunggingkan senyum saat merasakan bibir Vincent memagut bibirnya. Ia sangat menikmati ritme yang Vincent mainkan, kali ini ia membiarkan pria itu untuk menuntunnya.

Napas mereka terengah, membuat Gregory akhirnya mengambil inisiatif untuk menghentikan ciuman mereka. Vincent tertawa kecil, lalu berbisik dibibirnya. “Let's enjoy the night, shall we, my love?”

Gregory tersenyum dan mengangguk. “Yeah, Vin. Let's.”

Mereka lalu meraih gelas wine masing-masing yang sudah terisi itu, lalu mengangkatnya tidak terlalu tinggi. Gregory menatap manik hazel pria yang ada disampingnya sambil tersenyum lebar. “To many more days and dates,” katanya riang.

And to our unbreakable love,” sahut Vincent kemudian dengan senyum yang berbeda. Pria itu tersenyum dengan matanya, membuat dada Gregory terasa hangat. Hatinya pun terenyuh melihatnya.

Ia begitu mencintai Vincent.

Keduanya mendekatkan gelas wine mereka, menimbulkan bunyi 'kling!' sebelum akhirnya keduanya berseru diikuti tawa yang renyah. “Cheers!”


Makan malam berlangsung dengan sangat intim. Langit biru perlahan digantikan dengan hamparan langit gelap yang membuat suasana malam ini terasa lebih sendu. Gregory dan Vincent tenggelam dalam dunia mereka sendiri, tidak memedulikan suara tamu di meja lainnya yang terdengar mengobrol dengan suara cukup keras.

Mereka saling bertukar cerita, membicarakan hampir semua hal yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Baik Vincent maupun Gregory dengan fokus mendengarkan cerita masing-masing, sesekali menanggapi dengan celetukan lelucon yang membuat tawa keduanya pecah.

Waktu yang tersisa pun mereka gunakan untuk menikmati pemandangan kota Paris selama menyusuri sungai Seine. Kedua mata bulat Gregory tak berhenti berbinar karena terpukau, sedang Vincent terlihat masih menikmati dessert yang dihidangkan dengan begitu cantik dan rasanya tak kalah menarik.

Gregory tidak menyadari bahwa dirinya sudah berkali-kali menggelengkan kepalanya karena mengagumi indahnya malam di kota Paris.

Seketika ia teringat akan pernyataannya pada Thomas beberapa tahun silam, bahwa sampai kapanpun, ia tidak akan pernah jatuh cinta dengan Paris dan seisinya.

Mungkin memang benar istilah tak kenal maka tak sayang. Gregory tidak pernah merasa senang dan jatuh cinta dengan Paris sampai akhirnya ia merasakannya sendiri. Dan sepanjang prosesnya berusaha mencintai dan menerima Paris dalam kehidupannya, ia memiliki Vincent yang senantiasa meyakinkannya bahwa kota ini sangat indah.

Tentu, dengan cinta Vincent yang begitu kuat, melengkapi semuanya.

Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh menit saat cruise itu menepi, kembali ke titik semula. Keduanya akhirnya turun dari kapal itu dan berjalan ke tempat di mana Vincent memarkirkan mobilnya sambil bergandengan tangan.

Vincent dan Gregory benar-benar merasa bahagia malam ini.

Thank you so much for tonight, Vin,” ucapnya sambil mengecup bibir pria itu saat mereka sudah berada didalam mobil. Tangan kanannya meraih sabuk pengaman dan mengenakannya. “It's a lovely night, really.”

My pleasure, Gregory,” balasnya tersenyum. Vincent lalu memajukan tubuhnya, menangkup wajahnya lalu mengecup kedua pipi dan dahinya. “I am happy too,” katanya kemudian sambil mencium bibirnya, begitu lama.

Mungkin bagi sebagian besar orang, kau akan merasa senang dan bahagia jika kau dan kekasihmu sedang berada dalam momen seperti ini; Vincent yang sedang mencium bibirnya, terbawa suasana malam yang begitu istimewa untuk mereka.

Namun tidak dengan Gregory. Semakin lama pria itu menciumnya, semakin sulit ia menahan kata-kata yang sudah bercokol dikerongkongannya, memaksa untuk keluar dalam hitungan detik.

Gregory seperti sedang dikejar oleh waktu.

Maka ia akhirnya mengakhiri ciuman mereka, lalu menempelkan dahinya pada Vincent. Gregory membiarkan dirinya mengatur napasnya sendiri, sambil merasakan dadanya berdegup sangat kencang.

“Vin,” mulainya dengan suara bergetar. “Aku, mau bicara sekarang saja. Boleh?”

Vincent menggumam, menghela napas berat sambil tetap menangkup wajahnya. Napas mereka menyatu, melebur jadi satu, membuat suhu dalam mobil Vincent terasa menghangat. “Boleh, Beau. Of course. What is it?”

Suara hatinya seperti berteriak, menggedor rongga dadanya dengan tidak sabar.

Sekarang, Gregory, atau semuanya akan terlambat.

Sekarang, atau tidak sama sekali!

Sekarang.

“Vin, aku,” katanya terbata-bata, seperti ada yang menahan lidahnya untuk berbicara.

Ia dapat merasakan kekasihnya itu tersenyum. “Kamu?”

Gregory. Sekarang.

“Aku… mau pulang ke Indonesia.”

ps. pretty please sambil dengerin lagunya ya! x


Gregory memejamkan matanya yang terasa perih sambil membaringkan tubuhnya di kasur. Sinar matahari yang menembus lewat kaca jendela apartemennya perlahan mulai redup, menandakan ia harus bergegas bangkit dari kasurnya untuk bersiap. Cuaca hari ini cukup panas, membuatnya harus beberapa kali mengganti kausnya yang basah karena keringat. Pendingin ruangan di apartemennya yang sudah diatur menjadi mode sejuk pun tidak cukup mengalahkan panasnya kota Paris.

Ia lalu melirik ke arah jam yang terlihat pada layar ponselnya dengan malas. Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, beberapa jam lagi ia harus sudah berada di Caveau de la Huchette untuk bekerja. Ia lantas menghela napas berat sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar tidurnya. Sunyi menyelimuti sore harinya, telinganya hanya menangkap bunyi mesin pendingin ruangan dan suara orang-orang yang sedang berlalu-lalang di depan apartemennya.

Gregory merentangkan kedua tangannya ke samping lalu menatap ke arah langit-langit kamarnya, merasa enggan untuk bangkit dari tidurnya dan segera mandi. Ia merasa beruntung, jarak apartemennya dan tempatnya bekerja hanya membutuhkan waktu lima menit dengan berjalan kaki, membuat segalanya menjadi lebih efisien. Ia tidak perlu lagi menghabiskan waktu di perjalanan dengan menggunakan metro, atau bahkan menembus kemacetan kota Paris yang seringkali membuat kadar emosinya naik dan kepalanya berdenyut.

Selama hidupnya, ia tidak pernah mengira bahwa pekerjaannya di Paris mampu membawanya untuk tinggal di apartemen seperti ini dengan letak yang strategis—berada di pusat kota, dekat dengan tempat hiburan dan restoran yang menjual makanan yang enak, walaupun dirinya harus merogoh kocek yang cukup dalam.

Mesin yang ada dalam kepalanya lantas bekerja, memikirkan betapa hampir seluruh aspek hidupnya berubah begitu cepat dalam waktu yang sangat singkat. Gregory seperti tidak diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya saat ini. Karirnya dapat dikatakan melesat, terbang tinggi seperti tertiup angin puting beliung, membuatnya terkadang merasa kewalahan menghadapi popularitas yang kerap “menggerayangi” seluruh bagian tubuhnya dan membuatnya tidak nyaman. Akhir-akhir ini ia lebih mudah merasa stres dan khawatir, takut akan respon orang-orang yang sudah mengenalnya sebagai solois. Pun jumlah pengikut yang bertambah pesat dimedia sosial miliknya serta para tamu bar yang perlahan mulai mengenalnya dan berkunjung ke bar hanya untuk melihatnya tampil diatas podium kecil itu.

Sejujurnya, Gregory sudah menantikan kesuksesan ini sejak lama, sejak dirinya merasa bahwa talentanya untuk bernyanyi dapat menjadi salah satu sumber bahagianya. Sejak lama ia ingin merasakan adrenalinnya terpacu kala menggenggam kesuksesan itu dengan kedua tangannya, ingin merasakan nikmatnya sensasi “kesuksesan” yang selalu dibicarakan banyak orang lewat setiap sel yang ada dalam tubuhnya.

Namun seiring berjalannya waktu, ia akhirnya menyadari bahwa ternyata, dirinya belum siap. Ia belum siap menghadapi perubahan yang luar biasa, yang seakan membuatnya semakin jauh dengan “dirinya” sendiri. Dan ia merasa belum siap, akan perubahan yang menariknya dengan paksa, untuk keluar dari zona nyaman yang selama ini mengungkungnya.

Gregory merasa “terkurung” dalam zona itu, namun ia merasa nyaman dan aman. Ia tidak merasa perlu mengorbankan apapun. Ia senang untuk berada di sana. Kata “sukses” dan “bahagia” yang selama ini ingin dicapai olehnya, kini menjadi momok yang bercokol dalam kepalanya. Apakah arti sebuah kesuksesan itu sendiri jika sebenarnya, ia tidak merasa bahagia? Ia pun merutuki dirinya sendiri karena naif, merasa bahwa dirinya mampu meraih keduanya, menggenggamnya erat tanpa ada sesuatu yang harus ia korbankan.

Ia lantas menggeleng dan menggeram, memejamkan kedua matanya lagi lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Semua hal yang tengah dirasakan olehnya sudah tertuang dalam surel* yang dikirim untuk Vincent dua hari lalu.

Yang hingga saat ini tak kunjung direspon oleh pria itu.

Jika Gregory boleh jujur, beberapa hari ini terasa berat untuknya. Tidak ada lagi sosok Vincent disampingnya, yang selalu menghujaninya dengan perhatian yang lebih. Tidak ada lagi sosok pria yang membuatnya selalu merasa nyaman dan aman. Tidak ada lagi sosok yang selalu menanyakan tentang harinya, dan tidak ada lagi sosok yang dapat “menenangkan” dirinya.

Gregory membutuhkan Vincent, membutuhkan kekasihnya itu untuk meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia butuh seseorang untuk meyakinkannya bahwa jalan yang ia tempuh saat ini adalah keputusan yang tepat.

Walaupun Gregory berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia mampu melakukannya untuk berubah dan membenahi dirinya seorang diri, namun ia membutuhkan dukungan Vincent sebagai sosok yang penting dalam hidupnya.

Namun segalanya terasa begitu sulit karena kekasihnya itu seperti hilang ditelan bumi.

Tunggu. Kekasih? Sebuah kata keramat itu lantas membuatnya menggelengkan kepala dan tertawa getir. Ia sendiri pun tidak tahu apakah hubungannya dengan pria yang lebih tua dua tahun darinya itu masih “ada”. Ia bahkan ragu apakah hubungannya dengan Vincent masih layak untuk diselamatkan. Pria itu menghilang tanpa kabar, namun ia pun tidak ingin “memaksa” untuk mencari tahu.

Gregory benar-benar menghargai apa yang Vincent inginkan, dengan cara melangkah mundur sejauh mungkin untuk memberikan waktu dan jarak.

Ia menghela napas panjang, mengangkat kepalanya sedikit dan melihat bahwa langit sudah mulai berganti warna menjadi oranye keemasan. Gregory lantas duduk dan menggeser tubuhnya untuk turun dari kasur, merapalkan dalam hati, berharap agar sisa harinya akan baik-baik saja.


Suasana Caveau de la Huchette malam ini cukup ramai, namun tidak penuh sesak seperti biasanya, membuat Gregory merasa senang karena ia tidak perlu berebut oksigen dengan para tamu bar. Ia sudah membawakan delapan lagu dengan hanya mengambil jeda antar lagu sekitar lima menit. Ia tidak ingin tetap berada di tempat ini hingga larut malam. Ia hanya ingin segera mandi dan mencuci rambutnya yang sudah semakin gondrong, untuk menghilangkan bau asap rokok dan aroma bar yang sudah menempel diseluruh tubuhnya.

Gregory hanya ingin merebahkan tubuhnya diatas kasur, mengubur dirinya dibalik selimut dan tertidur pulas hingga esok hari. Tubuhnya terasa pegal, pun kepalanya terasa berdenyut karena kurang tidur.

Entah mengapa, hari ini ia tidak merasa bersemangat. Sejak tadi ia gelisah, berharap dalam hatinya bahwa Vincent akan membalas pesannya yang tertulis dalam surel, mungkin menulis balasan bahwa pria itu merindukannya? Atau bahkan jika pria itu hanya akan meresponnya dengan satu kata, ia tidak peduli.

Ia seperti sedang menelan pil pahit, merasa bodoh saat mengatakan pada Thomas bahwa ia tidak mengharapkan jawaban apapun dari Vincent.

Hell, sejak Gregory dengan cepat memencet tombol kirim pada layar ponselnya, yang ia inginkan hanyalah mendapat respon dari pria itu.

Sedari tadi, ia meletakkan ponselnya tepat disebelah tablet miliknya diatas stand partitur yang ada tepat di depannya. Selama ia tampil malam ini pun, layar ponselnya sama sekali tidak menyala, menunjukkan bahwa ia tidak menerima notifikasi apapun.

Gregory tidak peduli jika para tamu bar yang sedang duduk di depan podium sambil menikmati kudapan dan bir mereka itu menyadari gestur tubuhnya. Ia selalu bersikap profesional saat bekerja, namun tidak hari ini.

Ia lantas menghela napas berat dan berdecak, berusaha mengalihkan pikirannya kembali dan memusatkan fokusnya pada lagu terakhir yang akan ia bawakan. Ia lalu menegakkan tubuhnya, menyesuaikan posisi yang nyaman untuk menutup penampilannya malam ini.

Hey,” ujar Gregory ceria, kembali menyapa pada tamu bar yang beberapa sudah ia kenali. Ia mengulas senyumnya, menghela napas sebelum akhirnya menyambung lagi. “So tonight I am going to finish my gig with a song, that has been stuck in my mind lately. I know it's not jazz, but,” jelasnya sambil terkekeh pelan, diikuti dengan suara tawa dari para tamu yang duduk di hadapannya. Eugene—seorang pria yang juga merupakan tamu reguler Caveau de la Huchette—malam ini dengan setia menonton penampilannya dan menempati meja terdekat dengan podium. Pria yang sebaya dengannya itu menyunggingkan senyumnya yang lebar, membuatnya lantas membalas senyum pria itu.

Sepasang mata bulatnya pun lalu menangkap sosok Alex, sang pemilik bar yang sedang duduk dekat pintu masuk itu. Pria itu hanya mengacungkan ibu jarinya sambil mengulas senyum, membuatnya ikut tersenyum lebar, menampilkan sederet giginya yang putih. Ia lalu kembali menatap para tamu dan menyambung lagi. “I hope you guys are okay with that. So, this is my last song for tonight. Thank you for coming, and have a great night! Let's go.”

Gregory lalu mengambil posisi bersiap dengan tangan kiri memegang bagian leher gitar, menekan jemarinya pada senar. Sedang ibu jari dan telunjuk tangan kanannya sudah menjepit pick gitar berwarna emas, pemberian Vincent beberapa bulan lalu saat pria itu menghadiahi dirinya sebuah gitar akustik berwarna hitam yang saat ini tengah dipeluknya erat.

Ia benar-benar merindukan Vincent, hanya ini yang dapat ia lakukan selain mengenakan kaus polos berwarna putih milik kekasihnya itu yang cukup longgar ditubuhnya. Ia berpikir, mungkin dengan mengenakan pakaian dan menggunakan gitar dan pick pemberian pria itu malam ini akan mengobati rasa rindunya yang semakin lama terasa seperti mengiris hatinya sendiri.

Jemarinya lalu bergerak memetik senar, memainkan nada yang sudah dihafalnya diluar kepala itu. Ia benar-benar tidak tahu mengapa lagu ini begitu membekas dikepalanya, setelah Vincent memberikan sebuah microcassette recorder berisi rekaman suaranya, menyanyikan lagu milik penyanyi yang sama.

Is there anything I can do to be better? To make you want me more than ever before I know I haven't been that good lately And I understand every bit of you hates me But I didn't know how much I'd miss you, babe And I didn't know how much I'd care And I didn't know that I would love you like I do Until you were gone, gone, gone Gone, gone, gone

Gregory benar-benar memejamkan matanya, menikmati setiap petikan yang menghasilkan instrumen indah, mengiringinya untuk bernyanyi. Ia melafalkan liriknya, kata demi kata dengan sempurna ia ucapkan, semakin lama semakin terasa menyayat hatinya sendiri begitu dalam. Penyesalan demi penyesalan menyerangnya setiap menit, seperti ada seseorang yang terus-menerus mengguyur kepalanya dengan ember berisi air dingin dengan dipenuhi bongkahan es.

Sungguh, salah satu cara Gregory menghadapi kesedihan yang ia alami adalah dengan mendengarkan dan/atau menyanyikan lagu yang menyedihkan. Namun, ia tidak pernah melakukannya saat bekerja.

Ia menganggap semua hal yang ia lakukan sepanjang hari ini adalah “pengecualian”.

Ia tidak ingin melihat ke arah pintu masuk atau bahkan ke area duduk yang ada di hadapannya. Karena ia tahu, Vincent tidak akan datang. Ia dengan susah payah berusaha menahan harapannya yang terasa seperti memberontak dari dalam dadanya.

Bodoh kamu, Gregory. Pria itu tidak akan datang malam ini, bahkan sampai kapanpun, batinnya dalam hati.

Gregory merasa harus melalui semua ini. Ia harus membenahi dirinya sendiri, menemukan hal dalam dirinya sebagai langkah awal untuk memaafkan dan akhirnya mencintai dirinya sendiri. Ia tahu bahwa semua ini adalah untuk kebaikannya. Namun mengapa sekarang rasanya kedua kakinya lemas? Langkahnya terasa pincang karena tidak adanya Vincent disampingnya yang tanpa ia sadari, selama ini berperan sebagai penopang.

Ia merasa kesepian, langkah kakinya begitu berat dan sulit. Gregory merasa seperti sedang berjalan diatas bara api yang membuat kedua telapak kakinya terluka.

Every day hurts like fuck since we broke up It feels like my heart has been ripped out and stamped on the floor I've made mistakes I'll live with forever I wish we could rewind and start fresh together 'Cause I didn't know how much I'd miss you babe I didn't know how much I'd cry I didn't know that I would need you like I do Until you were gone, gone, gone

Mungkin sebenarnya, hubungan mereka berdua memang sudah tidak bisa diselamatkan.

Gregory tidak menyadari bahwa air sudah menggenang dipelupuk matanya, suaranya pun perlahan sudah terdengar parau dan serak. Ia merasa malu. Ia tidak pernah melibatkan perasaannya sendiri saat bekerja, dan jujur, ia tidak pernah ingin melakukannya. Menurutnya, hal itu tidak profesional.

Seketika ia berdeham, menjauhkan bibirnya dari mikrofon barang sebentar, alih-alih mengatur suaranya sendiri, sambil kedua tangannya tetap memainkan nada dengan gitar akustik miliknya.

Ia tidak ingin mempersilakan perasannya sendiri mempengaruhi performanya malam ini.

Is there anything I can do to be better? Just name anything I can do I'll be better, much better If you stay forever

Gregory menyanyikan bait terakhir dari lagu itu dan menutupnya dengan sempurna, mendengar dengan jelas suara riuh tepuk tangan para tamu bar yang membuatnya lantas menyunggingkan senyum dan membuka kedua matanya. Ia menangkap sosok Eugene sudah berdiri dari duduknya, memberi standing ovation untuknya, pun beberapa tamu yang memberikan respon serupa. Ia lalu berdiri dari kursinya yang tinggi, mendekatkan bibirnya pada mikrofon untuk mengucapkan terima kasih.

Setidaknya, Gregory menutup penampilannya dengan perasaan lega dan sedikit terhibur, melihat respon para tamu bar yang terlihat puas dengan lagu terakhirnya. Setidaknya masih ada orang-orang yang peduli dengannya, memperhatikan dirinya dengan afeksi yang tak seberapa, namun cukup membuatnya tersenyum lebar malam ini.

Setelah para tamu bar kembali pada kegiatan di tempat duduknya masing-masing sambil menikmati sisa malam, Gregory lantas membereskan barang-barangnya, mengambil sarung gitar berbahan kulit yang tergeletak disebelah kursinya, menyadari bahwa ponselnya sudah bergetar beberapa kali dari balik saku celananya, menandakan bahwa dirinya baru saja mendapat notifikasi.

Gregory berdecak, menghiraukan benda itu sambil melangkahkan kakinya menuju loker untuk mengambil tas ranselnya yang disimpan di sana. Mungkin saja ia mendapat notifikasi dari media sosialnya, seperti yang biasa terjadi setelah ia tampil bernyanyi di Caveau de la Huchette.

Yang saat ini ia inginkan hanyalah pulang ke apartemennya dan pergi tidur, tidak ingin membuka ponselnya yang saat ini mungkin sudah dibanjiri oleh notifikasi itu.

Ia hanya ingin istirahat dan menutup hari ini.

Itu saja.


*surel: surat elektronik

cw // angst ahead , insecurities , self-doubt , self-blame , lack of communication , heated argument tw // implied anxiety attack

ps. i apologize in advance.


Vincent meletakkan buket bunga yang baru saja dibeli olehnya pada jok mobil di sampingnya sambil tersenyum. Ia beruntung, toko bunga bernama Elyfleur itu terlihat sepi pengunjung. Ia mengernyitkan dahinya bingung, biasanya bahkan orang-orang akan kesulitan melihat banyaknya pot yang dipamerkan di area depan toko. Vincent lantas melangkah keluar dari mobil dengan terburu-buru, membuat kakinya sempat terantuk pembatas trotoar yang terbuat dari besi itu. Kaki kanannya terasa nyeri dan berkedut dari balik sepatu pantofel warna hitam miliknya yang terlihat agak kotor. Ia meringis dan menghela napas panjang dan kembali melangkahkan kakinya memasuki toko bunga itu.

Seketika seorang florist menyambutnya dari balik mesin kasir saat ia sudah berada di dalam area toko. Penjaga toko bunga itu adalah salah satu staf dari Maximillian, terlihat sedang memegang beberapa lembar uang kertas dan memegang bolpoin ditangannya. Wanita bernama Clara itu tersenyum ramah ke arahnya sambil menaruh semua barang yang sempat dipegangnya diatas mesin kasir. Ia dan wanita itu sudah saling mengenal satu sama lain, sejak Timothy mengenalkan Maximillian padanya di tempat ini beberapa tahun silam.

Vincent lantas mengulas senyum, mengucapkan terima kasih pada Clara karena masih bersedia melayaninya malam ini. Dengan cepat ia menunjuk ke arah pot yang dipenuhi puluhan tangkai bunga mawar putih yang terlihat segar dan gendut sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Vincent selalu menikmati waktunya di tempat ini jika sedang sepi, karena ia dapat menggunakan kesempatan untuk melihat bermacam-macam jenis bunga lainnya yang dari namanya saja membuatnya pusing. Ia merasa cukup menikmati jenis-jenis bunga itu dari bentuknya yang unik dan beragam, serta dari aroma yang menyeruak menyapa indra penciumannya—memberikan kesan nyaman dan tenang seperti sedang berada di taman bunga.

Jujur, ia kagum dengan kemampuan Maximillian dalam membagi waktunya sendiri antara pekerjaan, hobi, dan kehidupan pribadinya. Kekasih Timothy adalah contoh terdekatnya bahwa menyeimbangkan segala hal yang penting dalam hidupnya bukanlah hal yang sulit. Mencoba adalah langkah awal yang harus dilakukan. Mungkin Vincent memang harus banyak belajar dari pria yang berprofesi sebagai kurator itu.

Clara tidak membutuhkan waktu yang lama untuk merangkai dua puluh tangkai bunga mawar putih menjadi satu buket bunga yang cantik. Vincent pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih setelah membayar hasil karya sang florist itu, lalu bergegas keluar dari toko dan berlari-lari kecil ke arah mobilnya.

Hari ini adalah hari terakhir Gregory tinggal di studio, sebelum akhirnya pindah ke apartemennya yang baru, yang terletak tidak jauh dari Caveau de la Huchette. Setidaknya kekasihnya itu mungkin akan merasa lebih baik dan tenang setelah menerima buket bunga darinya? Vincent tidak akan pernah melupakan reaksi Gregory saat itu; kedua pipi yang memerah dan senyum yang merekah mengalahkan bunga mawar putih yang dibelinya saat menjemput pria itu setelah seharian menghabiskan waktu dengan Thomas.

Vincent pun sudah menyiapkan hadiah kecil lainnya untuk Gregory, berharap semoga kekasihnya itu menyukainya. Alasannya ingin memberikan hadiah itu cukup sederhana. Vincent merasa akhir-akhir ini pria itu terlihat stres dan murung. Namun tentu, Gregory selalu menutupnya rapat-rapat dengan senyum manis yang luar biasa menipu, jika kau tidak mengenal pria itu dengan baik. Vincent hanya bisa mengobservasi, mengamati dari jauh, dan berpikir bahwa Gregory adalah tipikal seseorang yang akan memukulmu mundur jika kau terlalu dekat dan mengganggu lingkaran privasinya, sedekat apapun hubunganmu dengan pria itu.

Vincent hanya tidak ingin membuat kekasihnya itu merasa terganggu atau risih dengan menghujaninya dengan beberapa pertanyaan yang membuatnya tidak nyaman. Maka ia hanya bermain dengan imajinasinya, memikirkan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Mungkin saja Gregory gugup karena sebentar lagi akan pindah ke tempat yang baru, yang mungkin akan membuat gaya hidupnya otomatis akan berubah? Atau pekerjaannya sebagai solois di Caveau de la Huchette sedang membuatnya jenuh? Atau mungkin, orang tuanya sempat menghubunginya kembali?

Vincent akui, ia sempat mencurigai apakah Mattheo kembali meneror dan menguntit kekasihnya. Namun ia urungkan. Ia tidak ingin membuat Gregory lebih stres dari sebelumnya karena dengan sengaja membahas nama pria berengsek itu lagi. Pada akhirnya, yang Vincent lakukan untuk “menenangkan” kekasihnya itu adalah dengan menunjukkan afeksi yang lebih dari biasanya pada Gregory. Ia pun sesekali memastikan bahwa kekasihnya itu baik-baik saja.

Setidaknya hanya itu yang dapat Vincent lakukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Walaupun sebenarnya, hati dan kepalanya selalu diselimuti perasaan khawatir.

Suasana jalanan di sekitar toko bunga itu masih ramai oleh kerumunan orang. Beberapa terlihat sedang berswafoto dengan kamera ponsel, memanfaatkan pencahayaan dari langit malam itu yang terlihat hampir menampilkan warna oranye, yang biasa disebut “golden-hour” oleh Gregory. Vincent lantas melirik ke arah jam yang dikenakan pada pergelangan tangan kirinya, memperlihatkan kedua jarum jam yang menunjukkan pukul delapan lebih lima puluh malam. Ia hanya berharap lalu lintas menuju studio musik Gregory tidak begitu padat, karena mereka berdua harus mengejar waktu untuk pergi makan malam di Indo Pride.

Perjalanan dari area gedung tempatnya berlatih orkestra menuju Rue Richer hanya membutuhkan waktu sekitar dua belas menit, membuat Vincent lantas menghela napas panjang dan mengambil barang-barangnya. Ia pun tak lupa meraih buket bunga mawar yang wanginya sudah bercampur dengan pengharum ruangan mobilnya yang membuat dadanya sesak dengan rasa bahagia, ditemani oleh rombongan kupu-kupu yang beterbangan ke sana kemari.

Ia berharap semoga kekasihnya itu menyukai buket bunga dan hadiah pemberiannya.

Vincent mendorong pintu masuk gedung itu dengan sikunya, berharap semoga ia tidak terlambat untuk menjemput Gregory. Pria itu tidak mengirim pesan atau bahkan meneleponnya sama sekali sejak terakhir kali mereka bertukar kabar beberapa saat lalu. Ia hanya mengedikkan bahu sambil berdecak, mungkin saja Gregory masih sibuk membereskan beberapa barang dan studionya. Seketika sedikit rasa penyesalan timbul dari dalam dadanya, seharusnya ia bisa lebih cepat tiba di tempat ini agar bisa membantu kekasihnya itu. Semoga saja Gregory tidak kelelahan dan menyebabkan ia harus membatalkan janji makan malam mereka hari ini.

Keheningan menyelimuti saat Vincent menyusuri lorong menuju ruang kedap suara tempat Gregory tinggal selama beberapa waktu belakangan. Vincent sempat berpikir apakah kekasihnya itu tertidur, namun tidak, ia malah disambut dengan sosok Gregory yang sedang duduk bersila diatas sofa sambil bersandar dan menengadahkan kepalanya. Sepertinya kekasihnya itu sedang melamun, hingga tidak mendengar suara pintu ruangan itu terbuka.

Gregory terlihat sangat tampan seperti biasanya. Kekasihnya itu sepertinya baru saja selesai mandi. Rambut hitamnya yang sudah mulai panjang terlihat basah, wajahnya terlihat segar namun Vincent tidak melewatkan sorot mata bulat kekasihnya itu terlihat sayu, sedang memperhatikan langit-langit sambil menyenandungkan nada yang tidak ia kenali. Gregory mengenakan sweatshirt yang longgar berwarna biru gelap dengan celana panjang senada, membuat tubuhnya terlihat mungil.

Vincent diam-diam melangkah masuk, lalu menutup pintu studio dengan pelan. Ia melihat beberapa tumpukan kardus terlihat sudah tersusun rapi disamping pintu masuk, lengkap dengan empat koper dan sebuah gitar milik Gregory.

Bonsoir, Beau?” Panggil Vincent sambil berbisik, tidak ingin mengganggu kekasihnya yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Gregory terkesiap, lalu menolehkan kepalanya lesu ke arahnya sambil tersenyum simpul. Pria itu menyunggingkan senyumnya sambil mengerjapkan kedua mata bulatnya.

“Hei, Vin sayang,” sapa pria itu sambil menegakkan tubuhnya, tidak beranjak dari sofa itu sama sekali. Apakah kekasihnya benar-benar kelelahan, atau bahkan sakit?

Vincent bertanya, sambil menyembunyikan buket bunga yang dibawanya dibelakang punggungnya. “I'm so sorry I'm late. Kamu sudah menunggu lama, ya?”

Gregory mengernyitkan dahinya lalu menatap kedua matanya sambil menggeleng. “Tidak, kok. Itu, kamu bawa apa, Vin?” Kekasihnya itu menunjuk ke arah punggungnya. Sepertinya ia memang tidak pandai memberi kejutan.

Vincent lantas berdecak dramatis, lalu tertawa kecil saat Gregory memiringkan kepalanya heran. “Ini,” katanya sambil menggerakkan tangannya dari belakang punggungnya lalu melangkah ke hadapan pria itu dan akhirnya berlutut. “Untuk kamu, Gregory sayang.”

Ia berbohong jika ia mengatakan tidak menyadari reaksi yang berbeda dari kekasihnya. Gregory bahkan terkejut melihat buket bunga mawar yang memang ukurannya lebih besar dari yang pernah ia berikan pada pria itu. Gregory meraihnya dan mencium bunga mawar putih itu. “Thank you, sayang,” katanya sambil tersenyum tipis. “Dalam rangka apa?”

Ia mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut kekasihnya yang terlihat basah itu, lalu menyelipkannya dibelakang telinganya. “Tidak, sedang ingin membelikan sesuatu untuk kamu, a gift to appreciate you because you moved out from here to the new apartment tomorrow?”

“Kamu tidak perlu repot,” balas kekasihnya singkat sambil memajukan wajahnya. Gregory mengecup bibirnya cukup lama, namun Vincent merasakan adanya perbedaan dengan ciuman mereka sebelumnya, membuat firasat buruk seketika timbul dari dalam kepalanya. “Terima kasih banyak, Vin. Aku suka. Besok aku taruh di vas bunga yang kemarin kita beli, ya.”

Vincent tersenyum, berusaha mengubur firasat buruknya dengan menggumam dan mengesampikan hal itu dari kepalanya. Hari ini adalah hari yang spesial untuknya dan Gregory, ia tidak ingin membiarkan hal-hal buruk menyelimuti pikirannya. “You're welcome, Beau,” balas Vincent sambil mendorong sedikit belakang kepala Gregory untuk mengecup dahinya sayang.

Kekasihnya hanya terdengar terkekeh pelan sambil memegang bagian depan pakaiannya, membuatnya mengernyitkan dahi. Gregory jarang sekali melakukan hal ini. Apa ada yang ingin diutarakan oleh pria itu padanya?

Penny of your thoughts, Gregory? Kamu tidak seceria biasanya.” Vincent bertanya sambil mendaratkan pantatnya untuk duduk disamping Gregory. Ia menaruh punggung tangannya pada dahi kekasihnya kemudian, yang terasa dingin, tidak panas seperti apa yang dikhawatirkan. “Apa kamu sedang sakit? Or it's been a rough and hard day?”

Gregory menggeleng. “It's the latter,” jawab pria itu sekenanya sambil menghela napas pelan. Vincent lantas mengusap pipi kekasihnya itu dengan punggung tangannya, memberi afeksi lebih untuk setidaknya meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja dan merasa bangga karena pria itu dapat melewati hari ini. Namun Vincent sungguh tidak siap saat Gregory berkata lagi setelahnya, sambil menangkup tangan yang sedang mengusap pipinya. “But I really need to talk to you.”

Ia hanya menanggapi dengan mengangguk, masih mengusap pipi Gregory dengan sayang. “Sure, Beau. What's wrong?”

Vincent melihat kekasihnya itu memejamkan mata dan menarik napas panjang, sebelum akhirnya menatap manik hazelnya dan menanggapi pertanyaannya. “Vin sayang, please don't get me wrong, but,” ucapnya terlihat kesulitan mengutarakan isi hatinya. “Apa kita berdua bisa mengurangi intensitas waktu untuk bertemu?”

Vincent tidak pernah merasa terkejut seperti saat ini sebelumnya. Mendengar Gregory berkata kemudian membuatnya tidak bisa mengontrol raut wajahnya sendiri, ia menyadari hal itu dari sepasang mata Gregory yang saat ini tengah terbelalak.

Mengurangi intensitas waktu untuk bertemu? Apa pria itu akan lebih sibuk karena pekerjaannya? Vincent tahu, tuntutan pekerjaan sebagai solois di Caveau de la Huchette memang membuat kekasihnya itu perlahan mulai dikenal oleh masyarakat luas di Paris, terutama penikmat musik. Ia sempat dengan tidak sengaja mendengar anggota klub orkestranya membicarakan tentang seseorang bernama Gregory yang merupakan solois baru dan memiliki suara yang sangat bagus. Vincent hanya mengulum senyum saat mendengar hal itu beberapa waktu lalu.

“Oh? What happened, Beau? Boleh saja. Why is it? Because of your tight schedule or—

Gregory memotong pertanyaan dengan satu kalimat yang membuatnya seperti sedang tersetrum aliran listrik. “Vin, aku... merasa bosan.”

Kekasihnya... merasa bosan? Bosan bagaimana? Apa yang ia lakukan hingga satu-satunya pria yang menempati posisi paling istimewa dihati dan pikirannya itu merasa bosan?

Oh.” Vincent hanya bisa menanggapi dengan singkat. Ia bingung dan linglung. Ia melepas kacamatanya, menaruhnya diatas sandaran sofa lalu memiringkan kepalanya. “Gregory,” katanya memulai pembicaraan sambil meraih tangan Gregory dan mengusap punggung tangan pria itu. “Kamu bosan denganku, as a person? Atau kamu bosan dengan hubungan kita yang monoton?”

Monoton. Kata itu membuatnya berpikir keras, tidak menghiraukan keheningan yang seketika memenuhi ruangan kedap suara itu. Vincent tahu kekurangan dirinya. Ia paham betul akan kelemahannya dalam membangun suatu percakapan, atau mungkin memiliki ide untuk mengajak kekasihnya berkencan yang lebih bermanfaat dan menyenangkan. Vincent hanya mampu mengajak Gregory pergi kencan dengan duduk santai dan ngobrol di kafe, makan siang dan malam di restoran, atau bahkan hanya pergi ke Versailles. Ia tidak bisa merencanakan kencan yang menyenangkan seperti yang pernah teman-temannya lakukan dengan kekasih mereka.

Vincent lantas merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan? Kata-kata Gregory barusan membuat hatinya mencelos dan membuatnya meragukan dirinya sendiri. Jadi... sejak kapan kekasihnya itu merasa bosan dengannya? Vincent sungguh tidak mengerti. Apakah waktu yang dihabiskan oleh mereka selama ini membuat Gregory bosan? Mengapa pria yang sedang duduk dihadapannya itu tidak jujur padanya?

Vincent merasa bodoh, seperti disia-siakan oleh kekasihnya sendiri.

Jika dirinya ingin menjadi seseorang yang jahat, saat ini juga mungkin ia akan mempersilakan pikiran buruknya mempengaruhi dirinya, membuatnya buta dan memblokir semua penjelasan yang akan Gregory katakan nanti. Membiarkan kekasihnya itu berbicara padanya hingga berbusa, namun tidak akan ia hiraukan.

Akan tetapi, Vincent tidak ingin bertingkah seperti anak kecil. Ia sendiri tahu bahwa rasa bosan adalah hal yang wajar. Ia pun pernah mengalaminya, merasa frustrasi akan sesuatu yang dilakukan terus-menerus tanpa adanya hal yang membuat rutinitas itu terasa “berbeda”.

Bosan adalah sesuatu hal yang wajar, 'kan? Berulang kali Vincent mengajak kepalanya berpikir, seperti mesin yang terus-menerus dipaksa bekerja. Seketika kepalanya terasa panas dan aus, mungkin sebentar lagi akan meledak. Hatinya yang diajak bekerja pun bahkan tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya barusan.

Jadi, pada siapakah Vincent harus mencari tahu?

“Aku bicara dulu, boleh?” Pertanyaan Gregory memecah keheningan diantara mereka, seketika membuyarkan lamunan Vincent. Kekuatan mesin yang sedang bekerja didalam kepalanya lantas melemah, perlahan mulai bergerak lambat hingga akhirnya mati. Ia berhenti memikirkan beberapa kemungkinan itu untuk mendengarkan penjelasan Gregory.

Vincent hanya menanggapi dengan menggumam sambil mengangguk, menegakkan posisi duduknya dan melipat kedua tangannya didada. Ia tahu betul, gestur ini adalah sisi lain dirinya yang sedang defensif, berusaha “melindungi” dirinya sendiri dari Gregory.

Ia bingung, apa yang salah dalam hubungan mereka sehingga pria yang sedang duduk disampingnya itu mengatakan bahwa ia merasa bosan? Ia juga manusia, membutuhkan alasan yang masuk akal mengapa kekasihnya itu merasa bosan. Selama ini ia tidak pernah memikirkan hal tersebut; apakah seseorang pernah bosan dan merasa kesal dengannya? Tidak, sama sekali tidak pernah. Selama ini Vincent hanya mementingkan perasaannya sendiri, merasa wajar jika orang-orang yang hidup di sekelilingnya menyebutnya kaku seperti kawat dan dingin seperti es.

Vincent yang dulu akan memedulikan egonya sendiri dan tidak memikirkan perasaan orang lain, apalagi Gregory.

Namun Vincent yang dahulu sudah lama hilang sejak pria yang lebih muda dua tahun darinya itu hadir dalam hidupnya. Sifatnya yang mementingkan egonya sendiri dan terlalu kaku mengikuti prinsip hidupnya, saat ini sudah digantikan dengan Vincent yang selalu memikirkan perasaan orang lain, memikirkan apa arti toleransi dan melakukannya. Terutama pada Gregory, salah satu sosok yang saat ini sangat penting dalam hidupnya. Tanpa ia sadari, Gregory sudah mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik.

“Aku merasa bosan... dengan hubungan kita, Vin. But to be honest, and I swear, aku tidak pernah merasa bosan dengan kamu.”

Fuck.

“Apa ya, aku merasa hubungan kita monoton...? I'm not saying that all these months are not memorable and didn't make me happy, no. But, don't you think we're too fast?”

Terlalu cepat? Terlalu cepat untuk apa?

“Gregory, I don't understand.”

“Maaf...”

Vincent berdecak, tidak tahu reaksi apa yang harus ia berikan, karena jujur, ia sangat bingung. Hubungan mereka baik-baik saja, 'kan? Dengan Gregory memberitahunya bahwa pria itu merasa bosan, ia merasa semua hal yang telah dilakukan untuk Gregory terasa seperti sia-sia.

Is there any reason why? Apa kamu bisa jelaskan?”

Ia mengira Gregory akan terbuka dengannya, menjelaskan padanya apa yang salah dengan dirinya atau bahkan hubungan mereka. Apa yang menyebabkan kekasihnya itu merasa bosan? Apakah tidak ada warna dalam hubungan mereka, yang sebenarnya Vincent sendiri sudah rasakan?

Namun tidak ada satu katapun keluar dari mulut kekasihnya itu. Gregory bergeming, tidak mengucapkan apapun. Pria itu hanya menggeleng, demi Tuhan.

Sungguh, Vincent sudah lelah jika harus selalu memecahkan ini sendirian. Ia butuh bimbingan, ia butuh pria itu untuk memberinya arahan. Ia sudah tidak sanggup mengikuti keputusan Gregory yang mengajaknya masuk kedalam pikirannya yang berbentuk seperti labirin. Pria itu ada di sana, mendampinginya untuk memahami isi kepala dan hatinya. Namun di tengah perjalanan menuju jalan keluar, kekasihnya itu membiarkannya sendirian, meninggalkannya di tengah labirin antah berantah yang tidak ia kenali.

Apa yang harus Vincent lakukan? Ia selalu berpikir, penyesalan akan selalu datang di akhir. Namun rasa sesal itu tidak akan timbul jika ia hanya diam, 'kan?

Vincent hanya membutuhkan jawaban. Dan mungkin, setitik penjelasan.

“Tidak apa. Thanks for telling me the truth, Gregory. I really appreciate it.”

Entah mengapa dadanya terasa nyeri. Vincent tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Hatinya remuk. Ia terdiam, melihat dari ekor matanya bahwa Gregory hanya menundukkan kepalanya sambil memilin ujung pakaiannya, rambutnya yang sudah panjang menutupi kedua mata bulatnya.

Apa yang sedang kamu pikirkan, Gregory, tolong beritahu aku, batin Vincent dalam hati. Ia hanya dapat bertanya satu kalimat yang mungkin akan memecah keheningan itu.

Apakah ini adalah saatnya? Jika memang Gregory merasa terbelenggu dalam hubungan yang monoton dan biasa saja, untuk apa mereka teruskan hubungan ini? Vincent tidak ingin berjuang sendirian seperti orang bodoh yang kehilangan arah. Mereka berdua harus bekerja sama, ia tidak bisa jatuh cinta sendirian. Vincent mencoba untuk memahami kata bosan yang memiliki arti yang beragam, sedang kekasihnya itu tidak mau menjelaskannya lebih jauh.

Haruskah ia mengambil keputusan sepihak, untuk menyelamatkan mereka berdua? Ia dan Gregory seperti sedang berada di persimpangan jalan dengan jalan buntu yang sudah menyambut di depan mata. Mereka harus berhenti, memilih akan membawa diri mereka berjalan ke kanan atau ke kiri.

“Jadi, jika aku simpulkan, kamu sebenarnya ingin sendiri dulu?”

Gregory dengan cepat mengangkat kepalanya, dahinya mengernyit. Kekasihnya itu menggeleng berkali-kali. “No? Of course not? Vin—”

Vincent menghela napas panjang sambil memijat batang hidungnya. “Jujurlah pada dirimu sendiri. To be honest, Gregory. I am happy as long as you're happy. And knowing that you feel like you aren't, it makes me sad. Kalau kamu memang ingin sendiri dulu, aku tidak masalah. Atau,” ucapnya sebelum akhirnya berhenti sejenak, menggigit bibirnya sendiri. Vincent tidak pernah mengira akan melontarkan satu kata yang membuat lidahnya terasa kelu dan mulutnya terasa pahit, mengulum kata itu layaknya racun yang tidak ingin ia telan. Ia bertemu mata dengan Gregory, pria yang membuatnya harinya berwarna dan bahagia sejak hari pertama mereka bertemu.

Ia hanya dapat melemparkan senyum getirnya, merasakan kedua rahangnya mengeras karena menahan amarah. Vincent tidak pernah ingin melontarkan kata terkutuk itu. Ia takut jika ia mengatakannya, Gregory akan mengiyakan permintaannya dan benar-benar pergi dari hidupnya. Namun ia tidak bisa, sungguh. Vincent sudah lelah. “Kamu mau kita break? Atau aku rasa, apa sebaiknya kita putus saja?”

What?” Gregory bertanya setengah berteriak, suaranya seketika membuat kepala Vincent berdenyut. “Just please, Vin, I don't want us to break up. How can you say that so easily?”

Gregory dengan emosinya. Pria itu berdiri dari duduknya dan tubuhnya bergetar. Vincent menatap kedua mata bulat nan indah itu kini diselimuti kilat amarah. Kedua pipinya memerah dan rahangnya mengeras. Vincent hanya dapat menghela napas panjang, mengusap wajahnya kasar. Seharusnya malam ini berakhir menyenangkan, bukan ditutup dengan bertengkar dan adu mulut seperti ini.

Namun Vincent benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya kala Gregory berteriak ke arahnya, mengucapkan kata-kata tuduhan yang membuat hatinya panas. Ia tidak rela. Sungguh tidak rela jika dirinya dituduh seperti itu oleh siapapun, apalagi kekasihnya sendiri, sosok yang selama ini ia percaya akan menjaga hatinya. “I wanted to repair things, but you said that word instead!” Gregory melayangkan jari telunjuknya depan wajahnya, hampir mengenai ujung hidungnya yang mancung. “Kamu sepertinya memang tidak pernah mencintaiku, 'kan? Kalau kamu sayang dengan aku, Vin, kamu tidak akan meminta untuk break atau putus. Bahkan memikirkan dua kata sialan itu!”

Sudah cukup. Sudah. Ia sudah tidak sanggup lagi.

“Gregory!” Vincent tidak sadar sudah berteriak, kedua tangan yang tadinya mengepal, kini sudah meregang. Namun tangan kanannya terangkat, kali ini gilirannya menunjuk ke arah wajah Gregory yang terlihat merah padam. Sungguh, ia sudah tidak bisa lagi menjaga emosinya. “Jaga. Bicaramu.”

Gregory terbelalak mendengar nada bicaranya yang berbeda. Vincent sudah tidak tahu bagaimana raut wajahnya saat ini. Ia tidak peduli, ia sungguh sudah lelah dengan semua omong kosong ini.

“Sepertinya memang semua yang saya berikan tidak pernah membuat kamu puas, ya, Gregory,” katanya sambil mendengus, lalu beranjak dari duduknya. Ia menyugar surai hitamnya kasar dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya berkacak pinggang. Demi Tuhan, Vincent rasanya sedang berbicara dengan tembok beton yang sangat tinggi. “Saya terlihat seperti orang bodoh, berusaha sendirian, meyakinkan dirimu dan kekhawatiranmu itu bahwa saya benar-benar mencintai kamu.

“Kamu sebenarnya bosan dengan saya, dengan hubungan kita, atau dengan dirimu sendiri? Saya pikir, dengan semua yang saya lakukan selama ini akan membuahkan hasil. Kita berdua bisa berubah, saling merasakan cinta satu sama lain. Saya tidak pernah merasa keberatan, sama sekali, memberikan cinta saya untuk kamu. Karena saya benar-benar tulus. But, can you please just stop questioning my love for you because of your insecurities, for God's sake?!”

Vincent lantas berhenti berbicara, menyadari kesalahannya yang fatal. Ia terengah, berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. Ia benar-benar sudah dipengaruhi oleh amarah. But wait, his own feelings are valid too, right?

Don't bring my insecurities into this. You know nothing about me!”

You know nothing about me.

Ia hanya tertawa getir, memikirkan kata-kata yang Gregory ucapkan berulang kali. Vincent menengadahkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang mengancam akan turun dari ujung matanya. Semakin ia memikirkan kata itu, semakin ia yakin bahwa ya, dirinya memang tidak mengenali sosok Gregory yang misterius itu. Kekasihnya itu penuh dengan rahasia dibalik rahasia. Vincent mengira, kotak usang yang selama ini dibicarakan itu adalah kotak terakhir miliknya yang dibuka untuknya, berisi luka yang ditutupi oleh setumpuk rahasia yang tidak terhitung.

Namun ternyata, Vincent salah besar. Sekeras apapun ia berusaha, ia tidak akan mampu membantu Gregory menyembuhkan luka itu, karena pria itu tidak mempersilakannya sama sekali.

“Ya, Gregory, kamu benar,” katanya mengiyakan semua tudingan yang Gregory layangkan padanya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan mengambil dan membuang napas berkali-kali, tidak ingin memiliki rasa penyesalan setelah mengatakan kalimat yang ia tahu akan menyakiti kekasihnya sendiri. “Nyatanya saya memang tidak mengenalmu sedikitpun.”

“Vin?”

Ia tidak menghiraukan Gregory yang memanggil namanya dengan suara bergetar. Ia harus cepat bergerak, sebelum penyesalan merambat hingga ke dasar hatinya.

I recorded something for you days ago,” katanya merogoh saku celananya, mengambil micro-cassette recorder berwarna abu yang kemarin ia gunakan untuk merekam suaranya, diiringi denting nada dari piano yang khusus ia mainkan hanya untuk Gregory. Vincent bermaksud memberikan rekaman itu kepada kekasihnya jika sedang merasa sedih atau tidak bersemangat, seperti hadiah yang sering ia berikan pada pria itu sejak awal mereka menjalin hubungan.

Vincent tidak pernah menyangka, hadiah kecilnya ini mungkin akan menjadi hadiah terakhir. Siapa yang ingin mengakhiri hubungan atau bahkan mengambil keputusan untuk “time out” seperti ini? Vincent tidak pernah memikirkannya sama sekali.

Emosi benar-benar memenuhi kepala dan hatinya, mengikatnya terlalu erat seperti tali tambang yang tebal dan keras. Vincent memencet tombol play pada recorder itu, lalu melemparnya ke arah sofa lalu menatap Gregory dengan tatapan marah. “Kalau kamu masih merasa saya tidak pernah mencintai kamu setelah kamu dengar rekaman ini, I'm sorry to say this to you, Gregory, but you're so stupid.”

Jika memang ini adalah satu-satunya jalan yang harus ia ambil, sepertinya ia harus menerimanya dengan lapang. Apapun akan Vincent lakukan, untuk memperbaiki hubungan mereka yang terikat layaknya benang kusut.

Namun sungguh, saat ini ia merasa tidak sanggup, Vincent tidak sanggup jika harus jatuh cinta sendirian.

Seketika ia mendengar suaranya sendiri memenuhi seluruh ruangan kedap suara itu, membuatnya meringis dan menoleh ke arah Gregory. Kekasihnya itu terpaku melihat alat rekam yang tergeletak diatas sofa sambil menangis tanpa suara.

I won't give up on you If you will never give up on me Anytime that you're off the beat I'll put you on the groove and in key

I'm sorry, Gregory,” katanya lirih, berusaha menenangkan kekasihnya itu yang berdiri mematung sambil menangis. Ia melangkahkan kakinya mendekat, mengangkat tangannya untuk mengusap belakang kepala Gregory dan mengikis jarak diantara mereka. Vincent meninggalkan satu kecupan pada dahi Gregory sambil memejamkan mata, berharap semoga afeksi yang ia berikan ini bukanlah yang terakhir. Ia tidak ingin menyesali keputusannya. Tidak. Ini adalah yang terbaik untuknya dan Gregory. “Saya harap kamu tahu dan sadar bahwa saya benar-benar mencintai kamu.”

Kekasihnya dengan cepat mencengkram lengannya sambil menggeleng. “I love you, Vin. I love you, please don't do this,” pinta Gregory ditengah isakan tangis yang membuat hati Vincent terasa pilu. Ini adalah kali pertama untuknya mendengar Gregory menangis meraung-raung seperti akan kehabisan napas. Namun tidak, tidak bisa. Ia juga harus menjaga hatinya sendiri, pria itu tidak memiliki hak sama sekali untuk meminta hatinya lagi dan kembali membuatnya remuk dengan kedua tangannya. “Please don't leave me...”

Vincent menarik tangannya dan dengan cepat melangkah keluar dari ruangan itu. Sekilas ia melihat dari ekor matanya, Gregory sudah bersujud di lantai dan membungkuk, memeluk tubuhnya sendiri sambil menangis histeris.

Aku mencintaimu. I'm sorry, my love, batin Vincent dalam hati sebelum akhirnya ia membuka pintu studio itu dan melangkah pergi dari sana.

Ia yakin, ini hanyalah fase yang harus mereka berdua lewati. Tidak ada seorang pun yang memiliki panduan bagaimana caranya menjalin sebuah hubungan yang baik dan sehat. Ia dan Gregory selama ini mencoba belajar bersama; bagaimana cara menghargai, menyesuaikan, dan menerima satu sama lain apa adanya.

Namun ia tidak bisa terus-menerus menjaga perasaan Gregory yang secara tidak langsung membuat dirinya sendiri pun terluka. Kekasihnya itu ibarat gelas yang pecah, kepingannya berserakan mengelilingi tempat di mana Vincent berdiri. Ia benar-benar akan melukai dirinya sendiri jika terus-menerus memungut pecahan kaca itu dengan tangan kosongnya, walaupun ia sudah sangat berhati-hati.

Menurut Vincent, rasa percaya adalah salah satu fondasi yang kuat.

Dan Vincent percaya, mereka berdua akan baik-baik saja.

Namun mungkin, tidak sekarang.

cw // hurt/comfort , trust issues , overthinking thoughts , self-doubt , implied self-hatred , insecurities , misunderstanding tw // implied anxiety attack


Gregory melirik ke arah jam dinding di kamar Vincent sambil memicingkan matanya. Ia sudah mematikan lampu kamar sejak beberapa jam lalu, digantikan oleh lampu tidur dengan cahaya kuning yang hangat yang terletak pada nakas. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh malam, namun kekasihnya itu belum juga kembali ke apartemen. Vincent hanya memberitahunya tadi pagi bahwa ia akan sibuk hingga larut malam. Gregory tidak menyangka bahwa kekasihnya itu akan melakukan latihan sampai tengah malam seperti ini?

Ia lantas menyandarkan tubuhnya kembali pada sofa, melipat kedua kakinya membuat posisi bersila sambil menghela napas berat. Sekujur tubuhnya terasa ngilu, kepalanya berdentam dan tenggorokannya kering, lantaran harus menyanyi selama empat jam di Caveau de la Huchette dari sore hingga pukul sepuluh malam tadi. Seorang pria yang dikenalnya sejak ia bergabung menjadi kru bar tersebut, Graham, yang adalah solois sama seperti dirinya, mendadak tidak bisa hadir malam ini, membuatnya harus menggantikan posisi pria yang umurnya tidak jauh dari dirinya itu untuk bernyanyi. Beruntung beberapa dari tamu bar hari ini sudah mengenalnya, membuat segalanya terasa lebih mudah.

Namun, bekerja menjadi seorang penyanyi di sebuah bar tentu menuntut Gregory harus selalu ekstra waspada. Ia tidak akan pernah tahu seperti apa tamu yang akan datang pada hari itu, 'kan? Ingatan akan pertemuannya pertama kali dengan Warren Matteo selalu membuatnya merasa was-was. Ketakutannya akan pria itu masih terus membayangi pikirannya, terasa menggerayangi sekujur tubuhnya, membuatnya terkadang tidak fokus saat berada diatas podium saat menghibur para tamu bar.

Setiap kali Gregory berada diatas sana, ia selalu merapalkan doa dalam hati, agar kejadian yang ingin ia lupakan itu tidak akan pernah terulang kembali. Andai saja pria itu hanya ingin berteman dengannya secara wajar, tidak menguntit, bahkan sampai membuatnya tidak nyaman, mungkin Gregory dengan senang hati menjalin hubungan pertemanan dengan pria itu.

Gregory menggelengkan kepalanya. Sial, untuk apa saat ini ia memikirkan pria berengsek yang sudah mengganggu ketenangan hidupnya? Lebih baik waktu luangnya digunakan untuk memikirkan kapan ia akan membereskan barang-barangnya di studio dan mengangkutnya ke gedung apartemen yang baru.

Jujur, Gregory baru saja menyadari bahwa keputusannya untuk tinggal sementara di studio adalah pilihan yang tepat. Toh, ruangan seluas seratus meter persegi itu adalah miliknya sendiri. Ia merasa bodoh, mengapa ide itu tidak pernah terpikirkan olehnya? Jika saja hal itu muncul jauh sebelum ia akhirnya dikejar-kejar layaknya seseorang yang terlilit hutang oleh si empunya gedung apartemen, mungkin ia tidak harus merasa kesusahan dan bingung seperti akhir-akhir ini.

Mungkin ia tidak perlu hidup dalam bayang-bayang pikiran buruk yang akhirnya merugikan dirinya sendiri.

Ruangan kedap suara itu layaknya sebuah “warisan” yang diberikan oleh pamannya, pria yang selalu menolong Gregory sejak dirinya menginjakkan kaki di Paris. Kakak dari ayahnya itu pun yang menyarankan untuk menyewakan studio jika sewaktu-waktu ia benar-benar terdesak dan membutuhkan uang.

Mulanya ia menolak ide itu mentah-mentah, berusaha mengabaikan usul pamannya yang menurutnya tidak perlu dilakukan. Hingga akhirnya pada hari itu, Timothy memberitahunya bahwa ada seorang pria yang juga adalah sahabatnya akan menyewa studio milik Gregory selama tiga bulan untuk bermain saksofon dan biola, mengasah kemampuan pria itu dalam memainkan dua alat musik tersebut.

Gregory lantas mengiyakan tanpa berpikir panjang, berterima kasih pada Tuhan dan pamannya dalam hati karena doanya didengar ditengah-tengah hiruk pikuk hidupnya yang tidak menentu dan berantakan.

Saat itu ia sama sekali tidak menyangka, bahwa pria asing yang akan menyewa studionya itu akan menjadi seseorang yang begitu penting dalam hidupnya. Hadirnya Vincent dalam hidupnya ibarat oasis ditengah padang gurun, ibarat setitik cahaya yang terlihat diujung terowongan yang gelap nan mencekam. Gregory seperti sedang terombang-ambing diatas wahana kora-kora, dan Vincent datang layaknya seorang penyelamat untuk menariknya dari sana, membawanya kembali menginjakkan kedua kakinya di tanah, memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja.

Mengingat pertemuannya dengan Vincent pertama kali di restoran Page 35 malam itu membuatnya meringis, tersenyum sendirian seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah sekantung permen. Gregory lalu menghela napas dan tertawa kecil, menikmati keheningan sambil menghabiskan waktu dengan menenggak birnya.

Vincent mengapa lama sekali, ya?

Sepertinya ia sudah lama melamun, memandang ke arah langit yang berwarna biru gelap yang terlihat jelas dari jendela kamar Vincent yang hanya dilapisi kaca dari atap hingga lantainya. Gregory menopang kepalanya dengan tangan kirinya pada sandaran sofa, sedang tangan kanannya masih menggoyang-goyangkan botol birnya. Ia tidak mendengar langkah kaki seseorang di ruang tamu yang perlahan mendekat ke arah kamar Vincent.

Ia sedang memiringkan kepalanya dengan tatapan kosong, sebelum melonjak kaget saat mendengar suara yang familier menyapanya.

Bonsoir, Gregory,” sapa Vincent lirih, membutnya lantas menoleh dengan cepat. Kekasihnya itu masih berusaha menyunggingkan senyum walaupun raut wajahnya tidak bisa berbohong. Pria itu terlihat sangat lelah, kacamata bulatnya sudah bertengger pada kemejanya, surai hitamnya terurai berantakan.

Gregory lantas meluruskan kedua kakinya dan berdiri dari duduknya, meletakkan botol birnya kemudian diatas meja. Ia melemparkan senyumnya yang tulus pada Vincent, melangkahkan kaki ke arah pria itu lalu mengulurkan tangan untuk memeluknya. Kekasihnya lantas tertawa kecil, melepaskan tas dan menaruhnya pada sofa lalu menyambut pelukannya. Hangat tubuh pria itu seketika membuat tubuhnya sendiri meleleh, tak sadar sudah melenguh karena terlalu merindukannya. Ia memeluk Vincent dengan erat, menyandarkan kepalanya pada dada pria itu.

Ia merasakan beberapa kecupan mendarat pada puncak kepalanya, membuatnya lantas tersenyum. Vincent menggumam saat ia membalasnya dengan meninggalkan beberapa kecupan pada leher pria itu. “Bonsoir, Vin sayang. Welcome home.”

Aroma keringat bercampur dengan wangi tubuh Vincent yang khas membuatnya seketika mabuk. Ia benar-benar merindukan pria itu. “I missed you, my love. Why are you still awake? Seharusnya kamu tidur saja,” tanya pria itu sambil mengusap belakang kepalanya.

Gregory hanya menggumam sambil menggigit bibir bawahnya. “Tidak, belum ngantuk. So I decided to wait you up. And I have beer, so don't worry, Vin,” jawabnya singkat sambil mengangkat kepalanya, memajukan bibirnya yang kering. Ia melihat gerakan manik hazel pria itu menatap bibir dan kedua matanya bergantian. Vincent lalu menarik napas, memiringkan kepalanya sambil tertawa kecil tanpa mengatakan sepatah katapun.

Pria itu menangkap permintaanya.

Ia merasa bulu kuduk pada tengkuknya meremang kala melihat dengan mata bulatnya, lidah Vincent bergerak dengan pelan, membasahi bibirnya sendiri sebelum mendorong pelan belakang kepalanya untuk mengikis jarak diantara mereka. Kekasihnya itu menggodanya dengan menyapu bibirnya sendiri pada bagian atas bibirnya. Gregory lantas menggeram, mengeluh karena Vincent seperti sengaja membuatnya kesal.

“Vincentius, cepat cium aku,” tuntutnya sedikit kesal sambil memejamkan mata. Pria yang sedang memeluknya itu hanya tertawa lalu mencium bibirnya, membuat dadanya lantas berdegup lebih cepat, memberikan sensasi yang berbeda setiap kali bibir mereka beradu satu sama lain.

Gregory merasakan pahitnya coklat menyambut lidahnya, sepertinya kekasihnya itu baru saja meminum coklat hangat.

Mereka berdiri di tengah ruangan itu, menghabiskan waktu sekitar lima menit untuk menyapa satu sama lain dengan bibir mereka. Napas mereka terengah, membuat ruangan yang semula terasa dingin, kini mulai menghangat dan cenderung panas. Gregory lantas menghentikan kegiatan mereka karena merasakan pegal pada kedua kakinya. Pun ia melihat Vincent sudah sangat lesu. Hari ini sepertinya adalah hari yang panjang untuk pria yang lebih tua dua tahun darinya itu.

Ia akhirnya melepaskan pelukannya dari tubuh Vincent, mengambil kacamata yang terselip pada kemeja kekasihnya itu dan meletakkannya diatas nakas. Ia lalu menarik tangan Vincent yang terasa dingin untuk mengajaknya duduk disofa. Gregory tahu, kekasihnya itu tidak akan mau merebahkan dirinya diatas kasur sebelum ia mengganti pakaiannya dan mandi.

Vincent akhirnya duduk dan menghela napas lega, seperti sudah menantikan kesempatan untuk bersentuhan dengan bantalan sofa yang empuk itu. Melihatnya, Gregory hanya tersenyum lalu mengambil duduk disampingnya, merapatkan tubuhnya dengan Vincent. Ia lalu menyandarkan kepalanya pada dada Vincent dan mengarahkan tangan kanannya untuk menyentuh lengan kekasihnya itu. Ia menghirup aroma tubuh pria itu dengan kuat, membiarkan indra penciumannya disapa oleh sesuatu yang familier untuknya.

Kekasihnya itu lalu memulai pembicaraan diantara mereka; menanyakan tentang kegiatannya seharian ini, pun menanyakan tentang persiapannya untuk pindah ke apartemennya yang baru. Gregory lantas bersemangat, menceritakan harinya panjang lebar tanpa jeda. Vincent sempat menepuk punggungnya pelan saat ia tersedak air liurnya sendiri akibat terlalu cepat berbicara.

Walaupun hari ini ia merasa sangat lelah karena harus menyanyi selama empat jam, namun keinginan untuk membagikan pengalamannya hari ini dengan kekasihnya itu melebihi lelahnya.

Seperti biasa, Vincent mendengarkan ceritanya tanpa memotong saat ia berbicara. Namun pria itu hanya sesekali menanggapi dengan menggumam dan tertawa kecil, tidak antusias seperti biasanya. Gregory lantas mengernyit, apakah kekasihnya itu benar-benar lelah? Ia bersyukur mengurungkan niatnya untuk membicarakan kejadian semalam, saat Thomas dan Joshua memberitahu bahwa mereka berdua akan tinggal bersama dalam waktu dekat.

Beruntung ia tidak membahasnya sekarang. Ia tidak ingin membebani Vincent dengan rasa sedih itu, memilih untuk menyimpannya sendiri.

“Gregory,” kata kekasihnya setelah ia menyudahi ceritanya, sambil menepuk lengannya pelan. “Ada yang ingin aku bicarakan.”

Apa yang akan Vincent bicarakan? Pria itu terdengar seperti akan membicarakan hal yang serius. Seketika Gregory merasa takut, gelombang rasa yang aneh membuat hatinya nyeri dan berdegup kencang. Ia pun merasa perutnya seperti diremas. Maka ia dengan hati-hati menarik tubuhnya, menatap Vincent dengan kedua mata bulatnya. Ia mengatur sorot mata dan raut wajahnya sedemikian rupa, tidak ingin Vincent tahu akan ketakutannya, walaupun ia sendiri belum tahu apa yang akan dibicarakan oleh pria itu. “Sure, ada apa, Vin? Something happened?”

Vincent mengangkat tangannya mendekat, menyentuh pipinya dengan punggung tangannya. Pria itu mengusapnya dengan sayang, namun sungguh, sorot manik hazel itu asing, terlihat seperti dipaksakan.

Apa yang sedang terjadi? “Not really, it's about something I've mentioned earlier.”

Gregory tidak sadar sedang menahan napasnya sejak tadi, maka ia lalu menghembuskan napas lega sambil tersenyum simpul. Ia memegang tangan Vincent yang masih mengusap pelan pipinya. “Oh. Boleh saja. I'm all ears.”

Pria yang duduk dihadapannya itu menarik tangannya sendiri, seketika membuat Gregory terkesiap dan sedikit terkejut. Vincent terlihat memijat batang hidungnya, seperti sedang kebingungan.

It's about us, Gregory.”

Mendengar kekasihnya berkata demikian lantas membuat hatinya mencelos. Ia merasa ada seseorang sedang menjatuhkan sebongkah batu diatas dadanya, membuat dadanya seketika terasa sesak. Ia seperti sedang berada di tengah laut yang luas, kakinya terikat dengan sesuatu yang berat, perlahan menariknya turun. Ia dengan cepat berusaha mengatur napasnya sendiri sambil memejamkan matanya, berulang kali menarik dan menghembuskan napasnya untuk melawan perasaan aneh yang perlahan menggerogotinya dadanya itu.

Vincent sepertinya sadar akan gerak-geriknya, maka dengan cepat pria itu meraih kedua tangannya dan mengecup telapaknya. Gregory perlahan membuka kedua mata bulatnya, menatap kekasihnya dengan sendu. Ia berusaha mengesampingkan rasa khawatirnya dahulu, memaksakan senyum sambil memiringkan kepalanya.

Us?” Ia bertanya, namun benar-benar gagal menyembunyikan nada bicaranya yang terdengar takut dan khawatir.

Ada apa sebenarnya? Vincent tidak akan mengakhiri hubungan mereka berdua secara tiba-tiba, 'kan? Memang, sejak semalam mereka berdua sedikit menciptakan jarak dan bersikap kikuk, seperti ada ilalang yang menghalangi dan tumbuh menjulang tinggi diantara mereka. Suasana yang tidak nyaman itu pun kembali muncul saat pagi tadi ia menceritakan keputusannya untuk memilih apartemen dekat dengan bar tempatnya bekerja.

Apakah Gregory telah mengambil keputusan yang salah, yang serta merta membuat hubungannya dan Vincent meregang?

Tidak mungkin. Vincent pasti akan membicarakannya, 'kan?

Tunggu... apakah ini saatnya?

Seketika rasa takut menjalar dengan sangat cepat keseluruh sel tubuhnya, seperti racun mematikan yang berlomba-lomba satu sama lain untuk melemahkan tubuhnya. Apa pria itu sudah lelah dengannya, dengan segala teka-teki yang ia lemparkan begitu saja, mengharuskan pria itu untuk memecahkannya sendiri?

Gregory tidak sadar bahwa air sudah menggenang pada pelupuk matanya. Ia menggeleng, memeluk tubuhnya sendiri, merasakan tubuhnya bergetar. Ia menggigit bibirnya hingga terasa perih, tidak peduli jika sebentar lagi akan lecet.

Ia lalu mengangkat kepalanya, menatap kekasihnya itu dengan pandangan kabur. Gregory membenci dirinya sendiri, ia pasti terlihat sangat menyedihkan. “Vin, what is going on? What did I do wrong?”

Ia melihat sepasang mata Vincent terbelalak, pria itu lalu menggelengkan kepalanya cepat. Sorot manik hazelnya terlihat khawatir. Apakah pria itu benar-benar khawatir, atau hanya perasaannya saja? “No, no. Beau, I just want to talk. Nothing is wrong,” jawab Vincent sambil mengusap puncak kepalanya, menyelipkan surai hitamnya dibelakang telinga.

Gregory bertanya cepat dengan nada ragu. “Nothing is wrong? You sure?” Pria di sampingnya itu mengangguk, menyunggingkan senyum kotaknya sambil menyugar surai hitamnya yang gondrong. Ia lalu menghela napas berat, merasakan beban sedikit terangkat dari dadanya. “Okay. I'm sorry, Vin, it's just... I want to prepare for the worst for everything.”

“Atau sebenarnya kamu selalu memikirkan hal buruk terdahulu, Gregory.”

Kata-kata Vincent barusan seperti menampar keras pipinya. Ia terbelalak, membiarkan air matanya sendiri menetes. Gregory mengencangkan pipinya, dengan susah payah menahan tangisnya walaupun keduanya sudah terasa nyeri. Vincent hanya menghela napas berat sambil menunduk. “I am sorry.”

Mengapa kekasihnya itu meminta maaf? “Tidak apa. Terima kasih sudah jujur, Vin. I appreciate it a lot,” katanya singkat sambil menggumam, sebelum menyambung kalimatnya lagi. “But, do I really?”

Yeah, baby. No offense though,” kata Vincent hati-hati.

Ia hanya merespon kata-kata kekasihnya itu dengan menggumam sambil menggelengkan kepalanya pelan. Ia merasa kesal bahwa semua yang dikatakan oleh kekasihnya itu benar. Ia hanya menggigit bibirnya, masih memegang erat tangan Vincent yang sedari tadi mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya.

Vincent lalu menyentuh dagunya untuk menatap mata bulatnya. “Gregory, my love. Do you know that overthinking thoughts will always lead to disappointment, yet the thing that you overthink is not even existed in the first place to begin with?”

Ia mengangguk lemah. “I know.”

Yeah?” Gregory menggumam sebagai jawaban. “And you should know how to stop overanalyzing everything. It's like, you don't trust me, Beau.”

Gregory mengernyitkan dahinya sambil berpikir. Dari mana Vincent tahu akan hal itu? “But I do trust you?” Sanggahannya terdengar seperti kalimat retoris, bukan pertanyaan. Ia terdengar seperti mengelak, berusaha membentengi dirinya sendiri dengan kata-katanya yang terdengar sangat defensif. Well, he's defending himself right now.

“Kalimat kamu barusan itu datang darimana?” Ia bertanya dengan nada tinggi, gelombang emosi seperti berusaha menembus pertahanan hatinya untuk tidak marah. Gregory tahu, ia terdengar seperti orang yang tertangkap basah sedang berbohong. Ia memejamkan matanya, merutuk dalam hati dan menggeram.

I observe with my eyes and gut, and it shows that sometimes you don't trust me, Gregory.”

Ia terkadang tidak menyukai kemampuan Vincent untuk membacanya isi hatinya, mengetahui pikiran-pikiran buruknya. Namun terlebih lagi, ia enggan menerima fakta bahwa Vincent merasa ia tidak mempercayai pria itu. Justru sebaliknya, ia benar-benar memercayai kekasihnya itu, hanya saja, tidak dengan dirinya sendiri. Gregory merasa takut.

Ia takut jika apapun yang dilakukan dan dipikirkannya akan menyakiti Vincent.

Ia membutuhkan waktu untuk sendiri, memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi jika ia menjelaskan semuanya pada Vincent. Apakah pria yang sedang menatapnya lekat-lekat saat ini akan mengerti? Ia bergidik, bahkan takut dengan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Gregory hendak menarik tangannya, melepaskan genggamannya dengan Vincent, saat pria itu menahannya dan berbisik. “Be vulnerable with me, Beau. I won't judge you. Ever.” Kekasihnya itu mengusap punggung tangannya berulang kali. Mereka bersidiam, tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Gregory hanya mendengar deru napas dan suara detak jantungnya sendiri ditelinganya.

Do you really trust me?” Tanya Vincent hati-hati, ia hafal betul dengan nada itu. Nada di mana kekasihnya itu merasa ragu, takut jika apapun yang dikatakan akan menyakiti hatinya. Hal itu membuat perut Gregory terasa diremas, membayangkan Vincent yang selalu yakin dengan apapun yang dilakukannya, kini mempertanyakan dirinya sendiri. “It's okay if you still don't.”

Ia seperti mengalami déjà vu, teringat kembali akan kejadian beberapa bulan lalu saat Vincent mempertanyakan hal yang sama; bagaimana pria yang sekarang menjadi kekasihnya itu meyakinkannya bahwa ia benar-benar menyukainya dan mempertanyakan apakah perlakuannya saat itu masih tetap membuat dirinya sendiri ragu.

Gregory tercekat. Apakah ini saat yang tepat untuk membuka luka yang selama ini ia sembunyikan? Ia takut Vincent akan pergi sebelum saat melihat lukanya yang menganga dan tak kunjung sembuh. “I do trust you, yes,” balasnya dengan suara yang bergetar, sambil memajukan tubuhnya dan dengan cepat dan memeluk Vincent.

Ia takut.

Ia dengan kuat meremas kemeja Vincent, membenamkan wajahnya didadanya. Ia merasakan tenggorokannya sakit yang membuat suaranya terdengar parau. Kekasihnya itu sempat terdengar terkejut, namun dengan cepat ia merebahkan tubuhnya disofa, merengkuh tubuh Gregory dalam pelukannya. Ia melanjutkan kalimatnya lagi dengan lirih. “But, Vincent, I don't even trust myself.”

There.

Mengucapkan kata itu membuat hatinya terasa nyeri, kepalanya berdenyut seperti ada yang sedang menahan laju aliran darah menuju otaknya. Gregory hanya dapat memejamkan mata bulatnya, semakin menyembunyikan wajahnya didada Vincent. Napas pria itu sempat tercekat, ia tahu. Namun sepersekian detik kemudian, ia merasakan kepala Vincent bergerak sambil menggumam. Ia hanya ingin menangis saat merasakan dahinya bersentuhan langsung dengan bibir pria itu.

Gregory menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya sendiri sebelum melangkahkan kakinya dari rasa takut yang selama ini membelenggunya, seperti rantai besi yang mengikat kedua kakinya, menghentikannya keinginannya untuk berlari dan pergi jauh.

I am so afraid, Vin,” mulainya dengan suara bergetar. Ia bisa, ia harus bisa. “Keinginan untuk memberitahu kamu seluruh isi kepalaku berbanding lurus dengan ketakutanku jika kamu tiba-tiba pergi. Once you knew my dark secrets, I'm sure you'd go and leave me alone.

I am trying to protect you from myself. Kamu akan sakit karena aku, karena semua perlakuanku dan sisi lain diriku. Kamu adalah orang yang sangat baik, terlalu sempurna untuk orang seperti aku. Dan sangat menyakitkan, saat tahu bahwa orang seperti kamu, merasa ragu. It hurts me, so much—,”

Will you hurt me somehow?” Vincent memotong kalimatnya, seperti sedang menarik pedal rem, mencegahnya untuk mengatakan sesuatu yang akan membuat dirinya sendiri menyesal.

Ia menggeleng kuat, membuat wajahnya bergesekan dengan kemeja Vincent. “I would never, in a million years. As I said earlier, I am trying to protect you, to protect your heart.”

Then I will be okay,” balas Vincent cepat sambil mengusap belakang kepala dan punggungnya. Pria itu memeluknya sangat erat, seperti tahu bagaimana cara untuk menenangkannya. “Gregory, I trust you. And I had promised that I'd be the last baton of your life. Remember?”

Air mata sebesar biji jagung pun lolos dari pelupuk matanya, turun membasahi pipinya yang hangat dan jatuh membasahi kemeja pria itu. Gregory menghela napas berat, tangannya meremas kemeja kekasihnya yang sudah lecek karena tertimpa tubuhnya. “I love you, so much, Beau. Terima kasih, kamu benar-benar mau terbuka denganku. Terima kasih karena telah memercayaiku.”

Ia lantas memberanikan diri mengangkat kepalanya yang sedikit terasa nyeri untuk menatap Vincent. Pria itu sudah terlebih dulu memandangnya dengan kedua mata yang berair. Vincent menangis. Kekasihnya itu menangis, membuatnya dengan cepat memajukan kepalanya untuk mencium pipi pria itu. “I love you too, Vin. I am so sorry,” bisiknya sambil menatap manik hazel itu lalu tersenyum.

Gregory benar-benar mencintai pria itu, hingga ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan dan mengutarakannya lagi.

Vincent tersenyum lebar sambil terkekeh, membiarkan kedua mata indahnya meluncurkan air mata yang sedari tadi sudah menggenang di sana. Pria itu lalu mengecup dahinya dan kedua mata bulatnya bergantian. “That's okay, baby. We're learning. Di dunia ini tidak ada yang sempurna dan kita belajar bersama untuk menutupi kekurangan satu sama lain. Benar, 'kan?”

Gregory hanya bisa tertawa kecil dengan suaranya yang parau. “Ya, kita belajar.”

Good. And also, start trying to love yourself,” pinta Vincent sambil jemarinya menyisir surai hitamnya yang menutupi dahinya. Entah mengapa Gregory menyukai gestur yang kekasihnya itu lakukan. “Siapa lagi orang pertama yang akan percaya dan mencintai kamu kalau bukan dirimu sendiri, Gregory?”

Ia hanya menganggukan kepalanya lemah lalu menyandarkan dahinya tepat dibibir Vincent. Posisi mereka saat ini sedikit tidak nyaman, membuat lehernya sedikit nyeri. Kekasihnya pun terdengar meringis, mungkin karena sudah kelelahan ditambah harus menahan beban tubuhnya.

Ia menggigit bibirnya, berpikir bahwa ia harus membeberkan semuanya sekarang. Ini adalah saat yang tepat untuk menumpahkan seluruh isi hatinya, mendorong kembali kotak usang yang bersembunyi dibalik kotak Pandora miliknya. Belum pernah ada seorangpun yang mengetahui letak kotak itu, apalagi isinya. Gregory menyimpannya rapat-rapat, menguncinya dengan sebuah janji, dan menyembunyikannya jauh didasar hatinya.

Dan sekarang, Vincent seakan meyakinkannya bahwa ia bersedia mengetahui semuanya; menawarkan kedua tangannya yang kosong dan mempersilakan Gregory menaruh kotak usang yang berisi seluruh rahasianya diatas tangannya itu.

Ia tahu, segala sesuatu pasti memiliki konsekuensi tersendiri. Gregory harus siap akan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika Vincent mengetahui isi hatinya yang paling dalam. Apakah pria itu akan pergi? Ataukah pria itu masih akan menerimanya apa adanya dan mendampinginya seperti janjinya itu?

“Vin sayang,” katanya memanggil pria itu yang sedang memejamkan matanya, seperti hampir tertidur. Vincent hanya menggumam, masih membelai lembut belakang kepalanya. “Sekarang sepertinya adalah waktu yang tepat untuk kamu membaca isi hatiku.”

Kekasihnya itu dengan cepat membuka matanya, terlihat guratan pada pada dahinya. Vincent terlihat bingung. “Maksud kamu, Gregory?”

“Ya, this is me being an open book and vulnerable with you, and I trust you, so I'm giving you access to see and read what's been on my mind and heart these past few months, Vin. It's all in my box,” jelasnya pada Vincent sambil tersenyum, jari telunjuknya menunjuk dadanya sendiri.

Pria itu hanya memiringkan kepalanya lalu menggeleng, menolaknya dengan halus. “But that's your secret, baby. I don't want to do it. Dengan kamu percaya dan mau berbagi ketakutanmu denganku, itu sudah lebih dari cukup.”

But I want you to,” katanya sedikit memaksa. Ia tidak bisa membeberkan semuanya secara gamblang dengan bicara dan bercerita. Ia takut jika harus melihat secara langsung reaksi Vincent dengan mata kepalanya sendiri. Gregory tidak sanggup jika harus membuka luka itu dan menceritakannya kembali pada kekasihnya. Lebih baik ia menyerahkan kotak itu pada Vincent dan membiarkannya menyelam sendiri. “Dan mungkin kita berdua dipastikan akan melewati kerikil karena itu? Aku benar-benar menumpahkan apapun di sana; terutama tentang kamu. Aku harap setelah kamu baca, penilaianmu tentang aku tidak akan berubah.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya terdengar suara samar-samar orang yang sedang bercengkrama di luar gedung apartemen. “Apakah kamu yakin?”

Ia mengangguk cepat, tidak ingin berlama-lama memikirkan keputusannya. “Seratus persen yakin.”

Okay then,” kata Vincent sambil tersenyum sebelum mengecup dahi dan bibirnya. “Whenever you are, my love.”

Gregory hanya berharap, semoga kali ini ia tidak mengambil keputusan yang salah.

cw // slightly mentioned of neglected children , cigarettes , jealousy


Vincent tersenyum saat menatap layarnya, melihat foto yang terpampang jelas menunjukkan jembatan Pont des Arts yang melintang diatas sungai Seine yang diunggah oleh Gregory. Langit pada foto itu terlihat begitu cerah, bersyukur hari ini cuaca sedang bersahabat. Vincent saat ini sedang menjalankan latihan didalam gedung orkestra, tidak tahu akan keadaan di luar dari tempatnya sekarang. Jembatan itu terlihat sepi pengunjung, Gregory pasti merasa senang karena bisa menikmati jembatan cinta itu sendirian. Maka dengan cepat ia mengetik pada kolom balasan, mengatakan semoga kekasihnya itu menikmati waktu luangnya.

Gregory semalam memberitahunya bahwa ia akan pergi bersama Thomas hari ini. Pria yang merupakan sahabat kekasihnya itu akan kembali ke Indonesia besok malam, membuatnya lantas mengiyakan agar kekasihnya itu dapat mengajak sahabatnya mengunjungi beberapa tempat di sekitar jantung kota Paris.

Ia pun bersyukur, hari libur Gregory dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin dengan menikmati kota Paris hari ini. Karena jujur saja, ia benar-benar tidak bisa menemani kekasihnya hingga sore hari, mengingat waktu yang berlalu begitu cepat dengan target yang harus dikejar olehnya dan anggota klub orkestranya dalam waktu empat bulan.

Ia menghela napas, memasukkan ponselnya kedalam saku celana, lalu meraih baton stick miliknya yang terletak pada standing partitur dihadapannya. Ia menengadahkan kepala, memejamkan matanya sambil sedikit menggeram, merasakan beban yang semakin berat pada bahunya. Entah mengapa, persiapan konser orkestranya kali ini terasa lebih rumit, dan Vincent tidak pernah meragukan kemampuannya memimpin klub orkestranya. Ia tidak pernah meragukan dirinya sendiri.

Vincent sempat berbincang dengan penyelenggara konser orkestranya yang mengatakan bahwa konsernya kali ini adalah konser yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak, tidak terkecuali beberapa pemain dan konduktor orkestra ternama yang dikabarkan akan datang dari Vienna dan Berlin. Mendengar berita itu saja sudah membuat dadanya berdegup kencang, kedua telapak tangannya berkeringat, dan kepalanya berdenyut.

Mimpinya menjadi konduktor orkestra terbaik di dunia sepertinya bukanlah hal yang mustahil? The Vienna Philharmonic adalah orkestra terbaik di dunia saat ini, membuatnya menjadi sangat bersemangat sekaligus gugup. Ia tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri, tidak ingin mengecewakan klub orkestranya yang sudah berlatih dengan keras dan giat.

Kenyataan bahwa konser orkestra yang digelar dalam empat bulan kedepan adalah kesempatan emas untuknya dan juga anggota klubnya. Walaupun Vincent sendiri tidak tahu apa maksud dibalik kedatangan orang-orang itu, namun tidak ada salahnya berharap, bukan? Ia mengenal kemampuannya sendiri, maka jangan merasa heran jika sejak ia kembali tenggelam dalam kegiatan latihan setiap hari, ia benar-benar memfokuskan dirinya dan terasa seperti tidak memedulikan orang lain.

Obsesi dan ambisinya yang kian tajam seperti pisau sempat menjadi kerikil dalam hubungannya dengan Gregory. Vincent sempat melewatkan hari penting kekasihnya itu karena ia tidak bisa menyudahi kegiatan latihannya begitu saja. Benar-benar tidak bisa, bukannya ia tidak mau hadir dan menyaksikan Gregory beraksi di Caveau de la Huchette.

Nasihat dari Timothy membuatnya tersadar bahwa ia tidak bisa meraih keduanya sesuai dengan keinginannya tanpa usaha yang lebih keras. Jujur, Vincent masih dalam tahap berusaha, mengerti bahwa ia tidak serta merta dapat menyejajarkan kedua hal yang sama penting didalam hidupnya.

Namun terkadang, Vincent masih sedikit lebih mementingkan karirnya.

Ia sempat khawatir dan memikirkan apakah keputusannya untuk menjalin hubungan dengan Gregory terjadi diwaktu yang tidak tepat? Tentu ia hanya menuliskan kekhawatirannya itu pada kertas usang didalam buku catatan hariannya. Tidak perlu ada orang lain yang tahu tentang keraguannya. Ia hafal betul bagaimana pikiran Gregory seringkali dengan mudahnya dipenuhi kabut kekhawatiran, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini pada siapapun, termasuk Timothy, sahabatnya sendiri.

Memikirkan apa yang Gregory keluhkan padanya beberapa saat lalu pun akhirnya membuatnya berpikir, untuk apa Eléonore mengabadikan fotonya setiap hari dengan kamera ponselnya tanpa izin? Ia memang menyadari apa yang wanita itu lakukan dan jujur saja, ia merasa cukup terganggu. Namun Vincent tidak pernah sampai hati, karena ia tidak mau perkataannya menyakiti seseorang yang sudah dianggap sebagai orang yang cukup dekat diantara anggota klub lainnya.

Akan tetapi, tidak mungkin ia akan membiarkan Eléonore terus-menerus seperti ini, 'kan? Ia pun juga ingin menjaga perasaan Gregory. Bagaimana pun, pria itu adalah kekasihnya.

Maka Vincent memejamkan matanya lalu melepas kacamatanya dan meletakkan benda itu di sana. Ia mengusap wajahnya sebentar sambil menghela napas, lalu mengedarkan pandangannya ke arah rekan sesama klubnya yang sedang membereskan alat musik dan barang-barang mereka. Beberapa saat lalu, Vincent merasa latihan pada hari ini sudah cukup, maka tepat pukul tiga siang, ia memutuskan untuk menyudahi kegiatan mereka hari ini, dan akan melanjutkannya esok hari.

“Elé, can we talk for a sec?” Vincent memanggil wanita yang terlihat sedang membereskan lembar partitur yang tertumpuk pada standing di hadapannya itu. Eléonore lantas menoleh, melemparkan senyuman, lalu berdiri dan melangkah ke arahnya. Ia lalu mengisyaratkan wanita itu untuk mendekat dengan tangannya, mengajaknya untuk berbicara di area yang agak sepi.

Eléonore terlihat sangat antusias, kedua matanya mengerling penuh harap. Wanita itu memang terlihat cantik walaupun hanya merias wajahnya dengan simpel dan tidak berlebihan. Hari ini surai coklatnya yang panjang itu diikat bulat seperti sebuah donat. “Of course, Vincent. What is it?”

Ia lalu berdeham sebelum akhirnya menjawab pertanyaan wanita yang sedang berdiri di hadapannya itu. “I don't want to be rude, but can you send all photos of mine that you have been taking, to me? Just use AirDrop is fine,” pintanya dengan nada yang sangat sopan. Vincent tidak ingin menyakiti perasaan wanita itu dengan permintaannya, karena ia khawatir jika terjadi sesuatu, hal itu akan mempengaruhi kerja sama sesama anggota klub orkestranya.

Mendengarnya, Eléonore menganggukkan kepalanya cepat, sambil mengangkat kedua tangannya dan mengacungkan ibu jarinya. “Oh! Bien sûr!” Wanita itu berkata bahwa ia menyanggupi dan akan mengirimkan semua foto yang diminta.

Vincent lalu menghela napas pelan sambil mengernyit, menundukkan kepalanya sebentar lalu mengangkat wajahnya. Manik hazelnya bertemu dengan mata wanita itu, terlihat mengernyitkan dahi dan terkejut saat mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Vincent. “And with all due respect, can you stop doing it?”

“Oh,” jawab Eléonore sambil mengerjapkan matanya, raut wajahnya terlihat sedih, atau entah... sepertinya wanita itu bingung akan permintaannya yang sangat tiba-tiba. “Pourquoi ça? Did I do something wrong?” Wanita itu menanyakan mengapa Vincent memintanya melakukan demikian.

Ia lantas membatin, tidak mungkin ia mengatakan dengan terang-terangan bahwa Gregory tahu akan hal ini dan berujung tidak menyukainya, 'kan?

Lagipula sebenarnya, ia sempat memikirkan apa yang kekasihnya itu katakan. Hingga saat ini, Vincent selalu membiarkan rekan satu klub orkestranya itu mengabadikan fotonya dengan diam-diam, walaupun sebenarnya selama ini dirinya sadar akan hal itu. Namun ia selalu mengabaikannya. Vincent merasa, melakukan konfrontasi pada wanita itu tidak ada gunanya. Eléonore juga tidak menyebarkan fotonya di mana pun, 'kan? Dan setiap fotonya yang diambil oleh wanita itu selalu pada saat mereka sedang latihan, dan ia selalu berpakaian dengan sopan dan kasual pula.

Vincent tersenyum kecut, benar-benar berusaha mengontrol raut wajahnya sendiri. Bagaimanapun, ia tidak ingin terlihat seperti orang yang bereaksi berlebihan. “No, it's just... I'm feeling slightly uncomfortable with it. And as far as I remember, you took my photos without my permission.”

Oh! I am sorry if you feel that way, but it's for our documentary purpose, Vincent,” jawab wanita itu terbata-bata, seperti kebingungan harus menjawab apa.

Ia melihat Eléonore menundukkan kepalanya sambil memilin ujung kemejanya. Vincent lantas mengernyitkan dahi dan memiringkan kepalanya, membuat sisa surai hitamnya yang tidak terikat sedikit menutupi kedua matanya.

Jika hal itu memang alasan utama rekan satu klub orkestranya untuk mengambil fotonya, lebih baik ia menggunakan jasa orang lain, bukan? Bahkan Vincent dapat meminta tolong Gregory untuk melakukannya. Maka dengan nada yang setenang mungkin, ia menjawab sanggahan wanita itu dan menegaskan keinginannya kembali. “If that's really the case, I know someone who can take it more properly. So you can focus on our practice too.”

Wanita itu menghela napas dan berdecak. “Alright then, sorry for making you feel uncomfortable,” balasnya sambil melangkah dengan berjalan mundur ke arah tempat duduknya semula. Eléonore lalu memeluk alat musik selo miliknya yang besar itu dan merapikannya. Tidak membutuhkan waktu yang lama hingga akhirnya pemain selo itu terlihat mengambil ponselnya dari saku celana sambil melempar senyum ke arahnya. Senyum yang menurut Vincent sedikit menakutkan. Eléonore seperti memiliki maksud tersembunyi. Ataukah Vincent hanya berpikir macam-macam? Ia tidak mengerti. “I will send it to you thru G-Drive or Dropbox later today, Vincent.”

Thanks a lot. No offense, though,” jawabnya sambil berjalan ke arah podium tempatnya biasa memimpin orkestra sambil meraih ponselnya dari sana.

No, it's fine. None taken. I am sorry for being rude and take it without your permission, Patron,” katanya dengan nada sedikit mengejek, membuat bulu kuduknya sendiri meremang. Vincent mengepalkan tangan kanannya jengkel dan memutar tubuhnya sehingga berhadapan dengan wanita itu.

Stop calling me Patron, Elé,” keluhnya pelan sambil melipat kedua tangannya didada. Ia benar-benar tidak suka dengan panggilan “bos”, dan ia mengingat jelas bahwa ia sudah menyampaikan pada rekan klub orkestranya bahwa ia tidak menyukainya. “I am only asking you to stop taking my photos, that's it.”

Vincent jarang sekali menunjukkan emosinya, apalagi jika ia sedang bersama dengan orang asing selain kekasihnya dan para teman dekatnya. Namun melihat raut wajah Eléonore saat ini sedikit membuat amarahnya tergelitik.

Wanita itu terlihat memutar kedua bola matanya malas sambil mengedikkan bahu, membuat Vincent benar-benar kehilangan respek. Eléonore hanya mengangguk pelan sambil menghela napas berat dan meminta maaf padanya lagi. “Okay, je suis désolé.”

Thank you,” balasnya dengan nada datar. Jika wanita itu masih terlihat aneh dan berjarak seperti ini, mungkin memang sebaiknya Vincent, kembali berbicara formal layaknya orang asing. Toh baginya, hubungan antara dirinya dan Eléonore sebenarnya hanya sebatas rekan sesama anggota klub orkestra, tidak lebih. “I appreciate it.”

Tidak ada sesuatu yang akan terjadi dan berubah, 'kan?


Waktu telah menunjukkan pukul setengah empat sore saat Vincent memarkirkan mobilnya persis di depan kafe yang diberitahu oleh Gregory. Kekasihnya itu sedang menunggunya di sana bersama dengan Thomas setelah seharian menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan ke beberapa tempat wisata di jantung kota Paris.

Ia melepas kacamatanya dan menaruhnya dipuncak kepalanya, tersenyum kemudian saat menangkap sosok Gregory dan Thomas sedang duduk di area luar kafe itu. Mereka berdua terdengar sedang tertawa terbahak-bahak sambil memukul paha masing-masing berbarengan. Dari kejauhan, ia dapat melihat paras pria yang sedang duduk berhadapan dengan Gregory.

Sekilas, Thomas memiliki wajah yang tampan dan senyum yang lebar, lengannya terbentuk, menunjukkan bahwa pria itu rajin berolahraga. Ia terlihat mengenakan kaus oblong lengan pendek berwarna hitam dengan celana panjang dan sepatu boots senada. Melihat Thomas saat ini seperti sedang melihat kekasihnya sendiri, mereka berdua benar-benar layaknya anak kembar, lengkap dengan gaya berpakaian yang sama.

Vincent tersenyum, melangkahkan kakinya pelan ke arah meja mereka sambil memasukkan kedua tangannya pada saku celananya. Ia sudah merindukan Gregory, padahal mereka berdua baru saja bertemu sehari sebelumnya. Rasa rindunya pada Gregory kian menumpuk seiring berjalannya waktu, layaknya lembaran partitur yang sudah penuh sesak memenuhi lemarinya. Vincent rasanya selalu ingin dekat dengan kekasihnya itu, merengkuhnya dalam pelukan tanpa mengenal waktu.

Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Vincent pada awalnya tidak mengerti apa arti jatuh cinta dengan orang lain. Ia hanya tahu bagaimana cara jatuh cinta dengan mimpi dan karirnya; orkestra dan musik.

Itu saja, tidak lebih. Hingga akhirnya Gregory datang, masuk kedalam hidupnya seperti oasis ditengah padang pasir. Kekasihnya itu dengan natural mengajarkannya apa arti cinta itu.

Memang benar, ia membutuhkan waktu cukup lama hingga akhirnya dapat membalas tiga kata cinta itu dan mengatakannya pada Gregory. But he knows it's all worth it.

It all is.

Kafe yang tidak terlalu luas itu terlihat ramai oleh pengunjung. Beruntung Gregory memilih untuk duduk di area luar yang sekaligus dikhususkan untuk area merokok. Ia ingin bernapas dengan leluasa, tidak berbagi oksigen dengan para tamu yang terlihat mulai memadati area dalam kafe itu.

“Gregory, bonjour,” sapanya dengan suara yang sedikit lebih kencang, membuat si empunya nama menoleh ke arahnya, diikuti dengan Thomas yang terlihat terkejut. Pria yang adalah sahabat kekasihnya itu membelalakkan matanya lalu berdiri dari duduknya, membuka topinya dan meletakkan benda itu diatas meja.

Gregory yang masih terduduk di kursi hanya tertawa meledek saat melihat gerak-gerik Thomas, lalu mengulurkan kedua tangannya ke arahnya. Ia tersenyum saat melihat gelagat Gregory, lalu mengikis jarak diantara mereka dengan menangkup wajah kekasihnya itu. Vincent membungkukkan tubuhnya sedikit untuk mencium bibir Gregory yang terlihat merona itu. “Bonjour, Vin sayang,” katanya membalas sapaannya disela-sela ciuman mereka.

Entah sudah berapa ratus kali ia dan Gregory berciuman, namun sensasi yang ditimbulkan selalu berbeda, membuat Vincent selalu ingin melakukannya lagi, lagi, dan lagi.

Ia merasakan beban yang sedang dipikulnya menjadi lebih ringan, seperti ada seseorang yang membantu mengangkat semuanya dari dada dan bahunya. Hadirnya Gregory dalam hidupnya selalu membuat hari-harinya lebih berwarna dan menyenangkan, walaupun ia sedang merasakan beban berat.

Kekasihnya itu seperti seseorang yang diberikan oleh Tuhan khusus untuknya, salah satu alasan bagi Vincent untuk terus selalu bersyukur.

Ia mengakhiri ciuman mereka dan mengecup dahi Gregory pelan, menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah Thomas yang sudah tersenyum sumringah. Vincent lantas mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan pria itu. “Halo, Thomas, perkenalkan nama saya Vincentius. Senang bertemu denganmu.”

Thomas dengan sigap menjabat tangannya, meremasnya dengan yakin, membuatnya lantas menyunggingkan senyumnya. Pria yang sedang berdiri di hadapannya itu sangat percaya diri, terlihat dari caranya menjabat tangan dan menggoyangkannya pelan dengan mantap. Vincent menyukainya. “The pleasure is all mine, bro.”

Melihatnya, Vincent hanya dapat tertawa pelan, membuat Gregory lantas memutar kedua bola matanya yang bulat itu sambil mendengus. Kekasihnya itu terlihat kesal akan jawaban yang dilontarkan oleh sahabatnya. “Dilarang genit ke pacar gue, ya, Thom. Ingat Joshua di Indonesia,” ujarnya sambil mencebik, masih menggenggam tangannya untuk memintanya duduk pada kursi kosong di sampingnya. Thomas hanya mencibir, meledek Gregory sambil melemparinya dengan seiris kentang goreng. Ia menggelengkan kepala melihat tingkah laku keduanya sambil melangkah ke sisi kiri Gregory untuk mengambil duduk.

Suasana siang menuju sore di kafe itu terasa sangat nyaman; angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, pun udara tidak terlalu panas. Ia pun melihat banyak sekali pejalan kaki yang berlalu-lalang di depan mereka; hanya untuk menikmati pemandangan atau bahkan lari sore. Jembatan Pont des Arts yang terletak tidak jauh dari kafe itu pun terlihat mulai sedikit ramai.

Mereka bertiga akhirnya larut dalam obrolan, membicarakan pengalaman Thomas selama di Paris yang sedang bekerja sekaligus liburan. Vincent pun sempat memberikan rekomendasi beberapa toko yang harus didatangi sebelum akhirnya pria itu kembali ke Jakarta besok malam. Pria itu lantas mengambil ponselnya untuk mengetik, membuat Gregory dengan jahil mencondongkan tubuhnya ke arah Thomas untuk mengintip tulisan pada layar.

Waktu terus berlalu, hingga tiba-tiba Gregory menepuk dahinya pelan sambil mengaduh. Pria itu terdengar mengeluh dan meminta maaf padanya karena tidak menawarkan untuk memesan makanan dan minuman sama sekali.

“Vin, kamu mau pesan apa? Let me treat you, okay?” Gregory menepuk lengannya pelan dan bertanya padanya. Pria itu tersenyum sumringah, seperti bangga akan pencapaiannya sendiri, membuat Vincent lantas menyunggingkan senyum lebarnya sambil mengangguk setuju. Kekasihnya itu terlihat sangat bahagia, membuat hatinya terenyuh. “Uang mingguan aku dari kafe sudah turun. Giliran aku yang pesan sesuatu, ya?”

Vincent mengangguk, memajukan kepalanya untuk mengecup pipi kiri pria itu. “Thanks, Beau. Pesan apa saja aku oke, asalkan jangan kopi ya, Gregory. Aku tidak bisa minum,” jelasnya sambil meraih tangan Gregory dan mengecup telapaknya. Ia lalu menempelkannya pada pipinya, membuat Gregory seketika memutar kedua bola matanya, ingin menyembunyikan rona merah dipipinya yang dihiasi bekas luka kecil itu.

“Iya, aku tahu, Vin,” ujarnya lalu berdiri dari duduknya, tangan kanannya meraih dompet dan ponsel miliknya yang terletak di samping gelas minumannya. “Aku tinggal sebentar ya, Vin. Gue tinggal dulu, Thom,” kata Gregory padanya lalu menoleh untuk berbicara dengan Thomas. “Awas lo ya, jangan bocorin apapun ke Vincent.”

Thomas mengerlingkan matanya sambil menjulurkan lidahnya jahil, membuat Vincent lantas tertawa dan menggelengkan kepalanya. Mereka berdua terlihat seperti anak kecil, meributkan hal yang tidak penting, namun entah mengapa membuat dadanya terasa hangat. “Memangnya ada apa? Everything is fine, no? Don't worry, Gre. Gue tidak akan cerita apapun.”

Kekasihnya itu mendengus, lalu membungkukkan tubuhnya sedikit dan mencuri sebuah kecupan pada bibirnya, mengulumnya barang sebentar layaknya permen karamel. Vincent tersenyum karenanya, mengangkat tangannya untuk memegang tengkuk pria itu, membuat Gregory lantas tertawa kecil. Pria itu berbisik, “Jangan percaya apapun ya, Vin sayang.”

Vincent menjawab singkat sambil tangannya berpindah pada pipi pria itu dan menepuknya pelan. “Alright, my love. Thanks for the treat though.”

My pleasure!” Jawab pria yang lebih muda darinya itu ceria lalu melangkah masuk ke dalam kafe untuk memesan makanan dan minuman untuknya.

Ia lalu menoleh ke arah Thomas yang sudah memperhatikannya sejak tadi, sempat menyadarinya dengan ekor matanya. Pria itu tersenyum, lalu merogoh saku celananya, terlihat mengeluarkan sebungkus rokok dan sebuah pemantik api. Thomas membuka bungkusnya, mengeluarkan satu linting rokok dan menjepitnya diantara bibirnya. Pria itu menawarkan bungkus rokok padanya, namun dengan cepat ia menggeleng, menolak secara halus dengan mengangkat satu tangannya.

Thomas lalu mengangkat sebelah alisnya dan mengucapkan maaf. Ia lantas menyalakan lintingan rokok itu dan menghisapnya, menghembuskan asap rokok itu ke arah berlawanan. Pria itu mengetukkan rokoknya pada asbak, membuang abunya di sana. “You really like to observe others, don't you?”

Sahabat kekasihnya itu tiba-tiba bertanya, membuatnya lantas mengernyitkan dahi dan memiringkan kepalanya. Ia bingung, apa maksud dari pertanyaan pria itu barusan? Ia hanya bisa bertanya dengan nada datar, menyusun kata-katanya sedemikian rupa agar terdengar formal dan sopan. “Maksudmu? Saya tidak mengerti, Thomas.”

Sepertinya Thomas sadar akan responnya itu, maka dengan cepat ia meniup asap rokoknya, lalu meletakkan lintingan itu pada asbak. Ia lalu mengibaskan tangannya, seperti ingin mengoreksi kata-katanya sendiri. “Ah, tidak. Maaf kalau gue lancang, Vincent. Gue hanya memperhatikan cara lo meneliti gerak gerik gue sejak tadi. Lo biasa seperti ini dengan orang baru, ya?”

Vincent lalu membentuk mulutnya seperti huruf vokal “O” dan mengangguk. Bagaimana pria itu bisa tahu hanya dalam waktu yang singkat? “Ya, Thomas, bisa dibilang begitu.”

“Jangan khawatir, gue tidak akan “menggoda” lo seperti apa kata Gre, tenang saja,” katanya sambil tersenyum, lalu mengambil gelas es kopi miliknya dan meneguk isinya. “Gue sudah memiliki pacar di Indonesia.”

Ia mengingat sempat membaca nama pria yang asing sedang berinteraksi dengan Gregory dan sahabatnya itu pada laman media sosial milik kekasihnya itu. “Ah, Joshua, ya? If I'm not mistaken.”

Pria yang duduk di sampingnya itu mengangguk, sambil meletakkan gelasnya kembali diatas meja. “Yep. Pembalap, seumuran dengan gue dan Gre,” jawabnya sambil menghela napas berat. Thomas terlihat mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. “Jujur saja, lo berdua benar-benar membuat gue iri setengah mati.”

“Oh, memangnya ada apa?” Tanya Vincent sedikit bingung. Mengapa pria itu harus merasa iri? Ia tidak merasa hubungannya dengan Gregory begitu istimewa hingga sampai membuat orang lain ingin merasakan hal yang sama.

Thomas meraih rokoknya yang hampir habis, menjepitnya dengan kedua jarinya sebelum akhirnya menghisap benda itu lagi. “Ya, gue selama dua minggu ini ada di Paris dan beberapa kali menghabiskan waktu dengan Gre, rasanya kedua telinga gue sudah cukup panas mendengarkan dia selalu memuji dan membicarakan lo.

But in the end, I understand though. I can see the way you look at him, Vincent.”

Pria itu mematikan rokoknya pada asbak lalu menoleh ke arahnya, menatapnya sambil tersenyum lebar. “You really love him, don't you?”

Wow, sepertinya Gregory benar-benar menceritakan semua hal yang ia lewati dan alami pada Thomas, ya? Vincent bertanya dalam hati.

Oh, he told you?”

“Tentu saja. Dia benar-benar bahagia saat itu, sempat menelepon gue sambil terisak,” jelasnya lalu menyampingkan tubuhnya dan menghadap ke arahnya. Vincent lantas menaruh kedua sikunya pada pinggir kursi itu dan mendengarkan kata-kata pria itu dengan serius. “Gue dan Gre sudah bersahabat sejak lama, Vincent. We are like brothers, my Mom always asks how he has been, et cetera. Sejak dia tinggal di Paris, baru kali ini kami bertemu lagi setelah sekian lama. Tapi gue bersyukur, Gre akhirnya dapat teman seperti Warren, Timmy, dan Max. Mereka bertiga benar-benar orang yang baik.

Especially you,” kata pria itu lagi sambil berdecak. “So, please, always keep him safe, ya, Vincent? Gue selalu merasa khawatir dari Indonesia, merasa tidak bisa menemani dia secara langsung setiap kali dia membutuhkan bantuan gue.” Thomas meminta tolong padanya yang dengan sigap ia tanggapi dengan mengangguk mantap sambil mengacungkan ibu jarinya.

Vincent menghela napas, memikirkan betapa beruntungnya ia bertemu dengan Gregory, pria yang sudah membuatnya tertarik sejak pertama kali mereka berdua bertemu di restoran Page 35; membuatnya merasa kagum akan kekasihnya itu. Thomas lalu menepuk bahunya pelan, mengusapnya dan berkata kemudian. “Gue bersyukur dia bertemu dengan lo. Gue lihat lo memang pria yang baik, benar-benar menyayangi dan menghargai dia. Thanks, ya.”

Ia mengangguk dan menepuk punggung tangan pria itu singkat. “Ya. Saya benar-benar mencintai Gregory. Dan jangan khawatir, saya akan terus mendampinginya sampai kapanpun,” jawabnya mantap dan merasa lega, setidaknya Thomas memercayainya untuk terus menemani dan menjalin hubungan dengan Gregory.

Sahabat kekasihnya itu lalu mengucapkan terima kasih padanya lalu menegakkan tubuhnya. Ia mengambil topinya yang berwarna hitam itu dan mengenakannya dan menyambung lagi. “Gue tahu, ini adalah hubungan kalian, tapi gue apa boleh minta tolong, bro?”

Vincent mengernyitkan dahi, merasa sedikit ragu. “Sure. Apa itu?”

“Gre adalah orang yang rapuh. Dia memang tertutup, tidak pernah mau terbuka dengan orang lain. Namun tolong dimengerti, ya? Dia hanya tidak mau menyakiti lo atau orang lain di sekitarnya. Dia selalu berpikir bahwa dirinya hanya menyusahkan orang lain, which is not. Dia keras kepala, sangat keras kepala.

“Gue tahu lo sudah tahu ini, jadi gue berusaha berbagi cerita dengan lo. The fact that his parents neglected him always haunt him, every single night. Gre is like a bowl, and love is like a water, I guess?

He knows his parents don't love him, so the bowl has been dry and fucking empty. And now you're pouring him with so much love, to fill the bowl up, sampai airnya luber. Dan dia benar-benar bahagia karena itu. Tapi dia takut, kalau lo tiba-tiba pergi dan tidak ada di sana untuk menjaga supaya airnya tidak habis,” jelasnya panjang lebar, membuat Vincent lantas membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mencerna semuanya itu. Ia mengangguk, merasakan bahwa Gregory layak mendapatkan cinta dan perhatian yang begitu banyak. Ia pun mengamini semua yang dijelaskan oleh Thomas, kekasihnya itu benar-benar persis seperti apa yang baru saja diceritakan oleh pria itu.

Thomas bertanya lagi saat tak kunjung mendengar jawaban darinya. Pria itu terkekeh pelan. “Paham maksud gue, 'kan, Vincent?”

Ia lantas mengerjapkan matanya, menyadari bahwa sedari tadi ia sudah larut dalam pikirannya sendiri. “Ah, ya, saya paham, Thomas. Thanks, though, for trusting me.”

I know I can trust you, bro,” jawabnya mantap. Vincent tersenyum melihat reaksi sahabat kekasihnya itu. “Oh ya, satu lagi. Kalau Gre suatu saat menunjukkan seperti sedang cemburu atau menyebalkan, diajak bicara saja. Tadi dia sempat cerita ke gue soal teman satu klub orkestra lo, dan sudah gue nasihati.”

Ah, Vincent benar-benar lupa akan hal itu. Ia harus menyampaikannya pada Gregory setelah ini.

“Dari gelagat dia sih sepertinya paham, tapi tidak tahu sebenarnya iya atau tidak,” ujar pria itu lalu tertawa keras, membuatnya tersedak oleh asap rokoknya sendiri. Vincent lantas tertawa, lalu menjulurkan tangannya untuk mengambil segelas air mineral milik pria itu dan menyerahkannya padanya.

Ia dan Thomas sibuk tertawa hingga perutnya terasa kram, tidak menyadari bahwa Gregory sudah berjalan ke arah mereka dengan membawa sebuah nampan berisi beberapa makanan dan minuman yang dipesan oleh kekasihnya itu sambil mengumpat.

Fuck, you guys must be talking about me!”

cw // self doubt , insecure thoughts , slightly mention financial problem

ps. bacanya sambil dengerin lagu paling terakhir yang barusan aku add di-playlist the last baton ya! bisa diakses dari link yang aku drop sebelum narasi ini. don't want to ruin the little surprise hehe <3 enjoy!


Gregory terkejut saat membaca pesan Vincent, yang mengatakan bahwa pria itu sedang menunggunya di bawah dan ingin bertemu dengannya. Ia dengan cepat berdiri dari posisi duduknya di lantai, membuat tubuhnya sedikit terhuyung karena gerakannya yang tiba-tiba. Ia merasa sangat lelah, sekujur tubuhnya lemas. Malam tadi adalah hari pertamanya bekerja di Caveau de la Huchette untuk menghibur para tamu bar selama dua jam dengan suaranya.

Energinya benar-benar terkuras; punggungnya sakit dan tenggorokannya terasa serak karena ia hanya memiliki jeda waktu untuk break sekitar lima belas menit. Ia pun sempat merendam kedua kakinya dalam ember berisi air hangat sambil duduk diatas kloset.

Namun, lelah yang dirasakan seolah terbayarkan saat melihat reaksi para tamu bar yang tidak seberapa itu saat dirinya berdiri diatas panggung. Mereka terlihat menikmati beberapa lagu yang ia bawakan sambil mengobrol dengan tamu lainnya. Hal sesederhana itu benar-benar membuatnya senang sekaligus terenyuh. Teman-temannya yang menempati meja di dekat panggung pun terlihat antusias; Maximillian yang terus-menerus menatapnya dan tersenyum bangga, dengan Timothy dan Warren yang bertepuk tangan sambil berteriak “that's my best friend!” ke arahnya.

Selama ia berada diatas panggung, ia tak henti-hentinya merapalkan kata “syukur” dalam hati, sambil tetap menyunggingkan senyumnya dan melakukan yang terbaik. Ia ingin menyembunyikan rasa kecewanya karena Vincent memang tidak akan datang.

Gregory tahu benar bahwa pria itu pasti sudah tenggelam dalam rutinitasnya yang padat, persis seperti yang ia khawatirkan belakangan ini. Dan ia pun sebenarnya tahu, cepat atau lambat, kesibukan masing-masing akan menciptakan jarak diantara mereka berdua.

Apa yang akan mereka lakukan, jika keduanya sedang dirundung rasa rindu namun tidak bisa bertemu atau bahkan bertukar kabar? Apa yang akan terjadi jika mereka berdua sedang merasa lelah dan berakhir dengan melampiaskan emosinya pada satu sama lain? Bagaimana cara mereka mengatasinya?

Membayangkannya saja membuat dadanya nyeri, mengingat Vincent dan dirinya sudah beberapa kali terlibat salah paham hanya karena masalah komunikasi yang sepele. Gregory yang tidak sabaran, emosinya yang mudah tersulut seperti sumbu pendek, sedang kekasihnya yang terlalu kaku dan seringkali menyalahartikan sesuatu.

Bulu kuduknya meremang, tidak ingin membayangkan hal yang belum tentu akan terjadi. Ia lalu mengenakan hoodie miliknya yang berwarna hitam dari sandaran kursi, memasukkan handphonenya kedalam saku celananya dengan terburu-buru. Ia lalu membuka pintu dan menutupnya dengan pelan, tidak ingin mengganggu istirahat para tetangga apartemennya yang rata-rata sudah paruh baya itu.

Gregory takut—jantungnya seperti merosot dari tempatnya hingga ke dasar perut dengan kecepatan diatas normal, layaknya menaiki wahana “Hysteria” di taman bermain. Ia bingung, untuk apa Vincent datang ke apartemennya dini hari seperti ini? Apa mereka berdua sedang tidak baik-baik saja? Atau ada sesuatu yang ingin ia bicarakan? Atau sebenarnya... Vincent sudah mengetahui apa yang selama ini ia sembunyikan? Atau, pria itu hanya ingin mengunjunginya karena merasa bersalah tidak bisa hadir malam tadi?

Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya, membuatnya sedikit menggeram sambil menuruni anak tangga. Gregory tidak menyadari bahwa area yang sedang ia lewati benar-benar gelap, hanya terdapat beberapa lampu yang menyala didepan pintu penghuhi lain di gedung itu.

Gregory membuka pintu utama gedung apartemennya dan melangkahkan kakinya ke luar. Seketika angin malam kota Paris menyapanya tanpa peringatan dan menusuk tulangnya tanpa ampun, membuat giginya bergemeletuk. Ia lalu memeluk dirinya sendiri dan mengangkat kepalanya.

Sepasang mata bulatnya menangkap sosok pria yang sangat dirindukannya itu tidak jauh dari tempatnya berdiri. Vincent terlihat sedang menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil sambil menundukkan kepala. Kedua tangannya terlipat didada, rambut gondrongnya terurai, menutupi wajahnya yang tampan. Pria itu terlihat mengenakan pakaian seadanya; kaus polos berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam, lengkap dengan sandal kesayangannya.

Ia lantas berlari-lari kecil, menerjang udara dingin yang terasa perlahan menggigit wajahnya. Vincent sepertinya menyadari kehadirannya, maka pria itu mengangkat kepalanya dan sungguh, sekilas ia melihat raut wajah Vincent yang terlihat sedikit terkejut. Saat sepasang mata mereka bertemu, pria itu dengan cepat membenahi letak kacamatanya lalu melambaikan tangan ke arahnya.

Gregory tersenyum lebar, melambaikan tangannya pula dan setengah berlari untuk menghampirinya. Dengan cepat Gregory mengulurkan kedua tangannya, menabrakkan tubuhnya ketubuh kekasihnya itu. Kedua tangannya dikalungkan pada leher Vincent, lalu ia membenamkan wajahnya pada ceruk leher pria itu.

Hangat sekali, membuatnya lantas menghela napas lega, seperti menemukan sepotong puzzle miliknya yang hilang.

Bonsoir, Vin sayang,” sapanya sambil menghirup dalam-dalam aroma tubuh kekasihnya itu. Ia tersenyum saat merasakan kedua lengan Vincent memeluknya dengan sangat erat sambil mengecup pelipisnya. “Kenapa kamu tidak duduk didalam mobil? Udaranya dingin sekali lho ini.”

Gregory menyambung sambil menarik tangannya untuk melepaskan pelukannya dengan Vincent saat tiba-tiba kekasihnya itu menarik tubuhnya kembali, merengkuhnya. “Sebentar,” katanya lembut, menghela napas panjang dan berat. “Aku masih ingin memeluk kamu. Boleh?”

Ia merasakan telapak tangan Vincent mengusap belakang kepala dan punggungnya, membuat sekujur tubuhnya seketika merasakan kehangatan yang luar biasa. Ia menggumam, memperbolehkan pria itu melakukannya selama apapun. Gregory berusaha melupakan rasa khawatir dan penasarannya, memilih untuk menikmati waktu berdua dengan Vincent di pinggir jalan yang sangat sepi, seperti sekarang ini.

Belum pernah ada seorangpun yang rela menghabiskan waktu hanya untuk mengunjungi tempat tinggalnya yang jauh, seperti apa yang saat ini Vincent lakukan.

I am truly sorry. Aku minta maaf karena tidak bisa hadir dengan alasan sibuk, though I really was. I'm sorry I wasn't there to support you, my love. But please know that's not my intention.”

Vincent berbicara ditelinganya, dengan lembut mengucapkan kata maaf yang membuat hatinya nyeri. Gregory tidak memberikan jawaban apapun, hanya membalas dengan menganggukkan kepalanya berulang kali dan menghujani rahang pria itu dengan kecupan.

Namun ia seketika melepaskan pelukannya saat Vincent melayangkan sebuah pertanyaan yang membuat hatinya mencelos.

“Gregory,” panggilnya lirih, sebelum menyambung lagi. “Are we okay?”

Ia mengernyitkan dahi, mata bulatnya menatap manik hazel yang biasanya terlihat berbinar, kini terlihat sayu dan putus asa. Gregory termenung. Ada apa sebenarnya dengan kekasihnya itu? Sebenarnya tanpa Vincent mengucapkan kata maaf pun, suatu hari nanti ia pasti akan melupakan fakta bahwa pria itu tidak bisa hadir dalam salah satu momen penting dalam hidupnya. Lagipula, jika dipikirkan lagi, semalam ia sudah cukup senang dengan hadirnya Timothy, Warren, dan Maximillian dan memberikan support.

Jika Vincent hanya ingin mengucapkan maaf seperti ini, menurutnya pria itu tidak perlu sampai menghabiskan waktu di perjalanan hingga ke apartemennya, 'kan? Semuanya itu, dapat disampaikan cukup melalui telepon ataupun pesan, 'kan?

Mengapa Vincent sampai rela datang ke tempat yang cukup jauh dari tempat tinggalnya hanya untuk mengucapkan hal itu?

We are okay,” balas Gregory menekankan kalimatnya sendiri. Ia memejamkan mata bulatnya, tidak ingin melihat raut wajah Vincent yang sebentar lagi pasti akan membuatnya menangis. Dadanya begitu nyeri melihatnya. “And I already forgave you, Vin. Lagipula menurutku ini hanyalah hal kecil, kamu tidak perlu sampai datang ke apartemenku malam-malam begini—”

You won't break up with me, right?” Tanya Vincent lirih, membuat sel-sel dalam tubuhnya seperti tersetrum aliran listrik. Kalimat yang diucapkan oleh kekasihnya itu sontak membuatnya mengangkat kepalanya dan membuka kedua matanya. Raut wajah Vincent begitu asing, ia merasa tidak mengenali sosok yang sedang berdiri di hadapannya.

Vincent, kekasihnya yang selalu percaya diri, kini terlihat seperti murung dan putus asa. Pria itu menggigit kuku jarinya, sorot matanya melihat ke arah lain, kaki kirinya bergerak naik-turun seperti sedang menjahit.

Ia tidak bisa menahan emosinya. Pertanyaan macam apa itu? “Tunggu sebentar. Sebentar,” katanya cepat, menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan dua kali, melipat kedua tangannya didada. Gregory tidak ingin mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya ia lontarkan pada Vincent. Tapi demi Tuhan, ia tidak bisa mengontrol nada bicaranya. “Vin, ada apa sih? Why are you saying this?”

Kekasihnya itu hanya melemparkan senyum kecut padanya, lalu melepas kacamatanya dan mengusap kasar kedua matanya. “I don't know, Gregory. I just...”

You just?” Ia bertanya cepat, tidak sabar untuk mendengar jawaban pria itu. Hatinya terasa perih, seperti luka yang menganga diolesi dengan sepotong buah lemon yang asam. Ia menyesali pertanyaannya barusan yang terdengar ketus.

Vincent menggeram, menarik kedua telapak tangannya dari wajahnya. “I am just scared, okay!” Kekasihnya itu setengah berteriak, kedua matanya terlihat menyalang dan memerah. Suaranya cukup membuatnya tersentak, memecah kesunyian yang menyelimuti mereka. Napas Vincent terengah, seperti berusaha menahan luapan emosi yang sedari tadi dipendam olehnya. “Lately you always, always keep it all to yourself, and I have to try to figure it out by myself,” sambungnya terlihat putus asa, jari telunjuknya menekan dadanya sendiri. Vincent terlihat menyugar rambutnya kasar dan mengangkat kedua tangannya. “I just don't want us to fight like we had days ago! God.”

Wajah pria itu merah padam, seperti menahan amarah. Garis urat mulai terlihat dilehernya. Ini adalah kali pertama Gregory menyaksikan sisi lain Vincent dengan mata kepalanya sendiri. Pria yang pembawaannya begitu tenang, terkesan dingin, dan cuek dengan orang lain saat ini terlihat marah.

Kekasihnya itu tidak akan melakukan hal lain, 'kan?

Vincent lalu menundukkan kepalanya lagi dan menghela napas berat. Pria itu berbisik, membenamkan wajahnya pada telapak tangannya sambil membungkukkan tubuhnya. “Maaf, Gregory. Maaf kalau aku barusan berteriak. Aku, aku...” Pria itu terdengar terbata-bata, bibirnya bergetar pun sekujur tubuhnya.

Gregory tidak tahu apakah pria itu sedang menahan tangis atau sudah merasa kedinginan. Maka dengan cepat ia melangkahkan kedua kakinya mendekat ke arah Vincent, mengulurkan kedua tangannya dan mengusap lengan kekasihnya. Ia menangkup wajah Vincent, menempelkan dahinya pada pria itu. Hembusan hangat napas mereka melebur jadi satu. “Hey, it's okay, Vin sayang. Aku paham. It's okay,” katanya lirih, berusaha untuk menenangkan pria itu. Ia mendengar pria itu sedikit terisak, napasnya bergetar. “Apa kamu mau masuk kedalam mobil dan istirahat? Atau mau naik ke apartemenku? Kalau kamu mau saja, Vin. Sekarang dingin sekali dan pakaian kamu tipis. Kamu bisa sakit.”

Pria itu bergeming, tidak mengucapkan sepatah katapun selain terdengar berusaha mengatur ritme napasnya. Jalanan di sekitar apartemen Gregory saat ini sangat sepi, tidak seperti biasanya. Bahkan tidak ada satu orang dan kendaraan pun yang melewati jalanan di sana. Ia hanya mendengar deru kendaraan dari jalanan protokol dan ditemani oleh cahaya lampu berwarna kuning yang temaram di sepanjang jalan.

“Vin sayang,” bisiknya memecah keheningan diantara mereka. Kedua matanya perih karena kedinginan dan menahan air mata, melihat Vincent benar-benar diam tanpa suara dan tidak merespon kata-katanya sama sekali. Apa yang harus ia lakukan untuk meyakinkan pria itu bahwa mereka memang benar-benar baik-baik saja? Gregory hanya ingin menyudahi keheningan dan kesalahpahaman ini. Ia sudah memaafkan Vincent, ia pun sudah melupakan kejadian beberapa jam lalu.

Apa lagi yang harus ia lakukan?

We are okay, Vin. Please just trust me, that we totally are.” Selama mereka berdua bersidiam, Gregory perlahan mulai memahami. Mungkin ini adalah hal baru untuk kekasihnya, memiliki rasa sayang pada orang lain selain dirinya sendiri. Mungkin kekasihnya itu ingin meyakinkannya bahwa ia tidak lagi bersifat kaku dan dingin, seperti saat pertama kali mereka bertemu. Mungkin kekasihnya itu sedang berlatih untuk membagi cintanya dengan orang lain, selain pada para sahabatnya dan dirinya sendiri. Dan mungkin ini adalah fase yang memang harus dilewati oleh Vincent untuk memahami orang lain selain dirinya sendiri?

Gregory lantas merengkuh Vincent dalam pelukannya, membiarkan pria itu membenamkan wajahnya pada ceruk lehernya. Membiarkan pria itu mengambil waktu selama mungkin. Ia tidak keberatan sama sekali. Ia hanya dapat menengadahkan kepalanya, menatap langit yang berwarna hitam pekat sambil menahan air matanya agar tidak jatuh mengenai bahu Vincent.

Tak lama kemudian, ia mendengar pria itu meresponnya dengan suara yang sedikit serak. “I believe you, Beau. I believe you.”

Oh betapa ia sedari tadi menunggu pria itu untuk memanggilnya “Beau”, seperti memberikan kepastian bahwa mereka berdua sudah baik-baik saja.

Gregory lalu menarik tubuhnya, melepaskan kedua tangannya dari punggung Vincent dan menatap manik hazel yang terlihat berair itu. Ia lalu menyentuh hidung kekasihnya dengan jari telunjuknya. “There you go,” balasnya sambil tersenyum lebar. “Ayo, Vin, kita naik.”

Ia mengulurkan tangannya ke arah Vincent, mengajak pria itu untuk naik ke apartemennya dan berbicara. Seketika ia merasakan nyaman dan aman, saat Vincent dengan hati-hati menggenggam telapak tangannya dan mengaitkan jemari mereka.

Yeah, they're going to be okay.

Gregory tetap menggandeng erat tangan Vincent yang sedang berjalan di belakangnya, menaiki anak tangga yang minim penerangan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari saat mereka akhirnya masuk kedalam apartemennya. Ia menyalakan lampu ruangan, terlihat keadaan tempat tinggalnya saat ini seperti kapal pecah.

Shit,” gumamnya mengumpat. “Maaf berantakan sekali, Vin,” katanya meminta maaf pada pria itu, sambil mengarahkannya untuk duduk pada sofa yang terlihat sudah sedikit lapuk dan robek. Gregory jarang sekali duduk di sana, ia lebih memilih duduk dikursi kayunya yang keras. “I was in the middle of something.”

Pria itu masih menggenggamnya, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya yang kasar. “It's okay, Beau. This place is nice.”

Terkadang ia ingin memutar kedua bola matanya dan tertawa jika mendengar Vincent yang sekarang sudah mulai pintar berbasa-basi. Ia hanya tersenyum lalu menggoyang-goyangkan tangan mereka. “Ah, iya. Kamu belum pernah masuk ke apartemenku, ya? Hanya sampai di depan gedung saja.”

Vincent menggumam, terlihat mengedarkan pandangannya untuk meneliti setiap inci ruangan apartemennya yang sempit itu. Ia lantas menggigit bibirnya, apakah yang pria itu sedang pikirkan?

“Kamu mau minum apa?” Tanya Gregory kemudian, berusaha mengalihkan fokus kekasihnya yang mengernyitkan dahi seperti sedang berpikir. “I will make something for you, meanwhile just wait in my room. Okay?”

Mata mereka bertemu. Vincent lalu mengangguk tanda setuju, menatap mata bulatnya lekat. “Do you have Darjeeling tea, Beau? Or just a glass of warm water is fine.”

“Ada dong,” jawabnya bangga sambil menarik tangan Vincent untuk berdiri, mengajak pria itu untuk melangkah ke arah kamar tidurnya. “Aku sempat beli satu kotak saat jalan-jalan dengan Thomas kemarin, karena aku suka rasanya. Ternyata enak. Aku buatkan sebentar ya, sayang?”

Pria yang lebih tua darinya itu hanya menggumam lalu terdengar menghela napas berat saat mereka berdua memasuki kamar tidurnya. Ruangan itu lebih kecil dari ruang tengah apartemennya, membuatnya lantas berpikir. Tidak mungkin Vincent akan menginap malam ini, 'kan? Namun Gregory juga tidak mau membiarkan pria itu menyetir dengan keadaan seperti ini, ia pun pasti sudah mengantuk.

Gregory mempersilakan kekasihnya duduk diatas kasurnya yang keras. Pria itu mengangguk, lalu mengambil sebuah ikat rambut dari dalam sakunya untuk mengikat surai hitamnya yang terlihat lepek sambil menunduk. Ia lantas tersenyum ke arah Gregory dan merespon kata-katanya. “Alright. Thank you, my love.”

Ia lalu berjongkok di hadapan Vincent, mengulurkan tangannya untuk memilin sisa rambut pria itu yang tidak terikat. Vincent membalasnya dengan memegang pergelangan tangannya dan mengusapnya pelan. “Vin, is it okay to kiss you?”

Vincent tertawa, membuat dadanya terasa hangat dan hatinya terenyuh. Pria itu menatapnya lekat, melepaskan pergelangan tangannya untuk mengusap dagu Gregory dengan ibu jarinya. “Of course it is, Gregory. Mine is yours only.”

Mendengarnya, Gregory hanya bisa mendengus dan memutar kedua bola matanya malas, sebelum akhirnya tertawa kecil. “Mon Dieu, cheesy sekali konduktor orkestraku ini,” candanya sambil menangkup wajah pria itu dan mengecup bibirnya yang kering tiga kali. Ia lalu memundurkan kepalanya sendiri dan membisikkan tiga kata pada pria itu dengan nada yang sangat tulus. “I love you, Vin.”

I know, Beau,” jawab Vincent sambil menghela napas lalu melempar senyum simpul kepadanya. Gregory tidak akan menunggu pria itu membalas kata-katanya, menurutnya dengan Vincent mengetahui bahwa ia mencintai pria itu pun sudah lebih dari cukup.

Ia tahu bahwa waktu untuk Vincent akan datang, pasti akan datang.

Gregory terkekeh, kali ini mengecup pipi Vincent lalu berdiri. “Glad to know that you do. Be right back!”


Sesudah ia menyeduh teh Daarjeling untuk Vincent dan menuangkannya dalam sebuah cangkir, akhirnya ia kembali ke kamarnya, menemukan kekasihnya itu masih duduk dengan posisinya semula. Ia terlihat sedang memperhatikan deretan foto yang terpajang di dinding kamarnya; foto semasa kuliah di Indonesia, foto dengan Thomas, dan foto dengan Timothy, Warren, serta Maximillian beberapa tahun lalu.

Gregory lantas tersenyum dan menggigit bibirnya, menyandarkan tubuhnya diambang pintu, tidak ingin mengganggu konsentrasi Vincent yang terlihat sedang serius. Seketika sebuah ide pun terlintas dalam kepalanya, memikirkan waktu yang tepat untuk mencetak fotonya dengan Vincent untuk dipajang di sana.

Pria itu akhirnya menyadari kehadirannya, melemparkan senyum kotak padanya dan berdiri dari duduknya. Gregory mengibaskan tangannya, melangkah ke sisi lain kasurnya untuk mengajak pria itu merebahkan tubuhnya dikasur. Vincent mengiyakan permintaannya, tanpa menunjukkan adanya rasa ragu.

Sebenarnya, sejak awal Gregory mengenal Vincent dan akhirnya menjadi kekasihnya, ia selalu mempersiapkan mental dan hatinya jika tiba-tiba Vincent menjauhinya. Status ekonomi, pekerjaan, dan sifat mereka berdua yang jauh berbeda layaknya tanah dan langit cukup membuatnya merasa khawatir.

Tidak menutup kemungkinan bahwa kekasihnya itu tiba-tiba akan pergi meninggalkannya, bukan? Seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya di dalam hidupnya.

Namun tidak, Vincent dengan santai melepas sandalnya, merangkak naik keatas kasur dan menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan itu. Kasurnya hanya beralaskan palet kayu, tidak dengan dipan yang tinggi dan mewah seperti yang Vincent miliki di apartemennya.

Gregory lalu menggeser duduknya dan menaruh kepalanya diatas paha kekasihnya itu. Ia membiarkan Vincent menyisipkan jemarinya pada surai hitamnya, mengusap kepalanya nyaman. Mereka berdua bersidiam, membiarkan keheningan kembali menyelimuti mereka. Ia lalu menengadahkan kepalanya, melihat raut wajah Vincent yang sudah terlihat sangat lelah, namun Vincent masih bersikeras untuk membicarakan kejadian malam tadi. Pria itu akhirnya kembali meminta maaf padanya, menyesal karena tidak bisa menemaninya dan mendukungnya di sana.

Ia hanya dapat merespon pria itu dengan menepuk lengannya pelan sambil memutar kedua bola matanya malas. Gregory lalu kembali menjelaskan pada Vincent itu bahwa ia benar-benar sudah memaafkannya. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil mengaitkan kedua telapak tangannya didada, saat mendengar Vincent menanyakan padanya soal Matteo; siapakah dan apakah yang diinginkan oleh pria itu.

Ia hanya bisa terdiam, berpikir bagaimana caranya menjelaskan pada Vincent bahwa pria itulah yang selama ini mengejar dan menguntitnya? Mengikutinya ke mana pun, membalas cuitannya hanya sekedar untuk membuatnya geram. Gregory tahu, kekasihnya itu pasti memperhatikannya, adalah hal yang mustahil jika ia tidak menyadarinya. Vincent mengatakan bahwa ia merasa terganggu dan sempat menaruh curiga. Namun kekasihnya itu lebih memilih diam, mengamati dan menunggu saat yang tepat untuk menanyakan hal itu padanya.

Gregory mengangguk, memahami maksud Vincent. Kekasihnya itu hanya ingin menghargai privasinya, tidak ingin ikut campur dalam hal pribadinya sama sekali. Ia lantas mengucapkan terima kasih dengan menggumam, menarik kutikula kukunya sambil menimang-nimang. Vincent masih terus menyisir rambutnya, sesekali mengusap dahi dan puncak kepalanya dengan sayang.

Ia terdiam, berpikir apakah sebaiknya ia menceritakan semua isi hatinya sekarang? Ia pun berpikir, sampai kapan hidupnya akan dilewati dengan rasa takut dan was-was berlebihan seperti ini? Sampai kapan hidupnya akan dilewati dengan rasa sedih dan putus asa, seperti tidak memiliki tujuan hidup yang pasti? Gregory hanya menggantungkan hidupnya dengan Tuhan dan dirinya sendiri. Ia tidak ingin menjadi benalu didalam hidup orang lain, bahkan Thomas, yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri.

Gregory menghela napas berat lalu menoleh ke arah Vincent yang sedari tadi sudah memandang ke arahnya. Ia hanya melemparkan senyum ke arah pria itu, lalu mengangkat tangannya untuk mengusap lengannya. Vincent menatap kedua mata bulatnya lekat, seperti berbicara lewat manik hazelnya bahwa ia dapat mempercayai pria itu sepenuhnya, mempersilakan dirinya untuk menumpahkan isi hatinya diatas tangannya.

Ia lalu mendengar Vincent berkata padanya, membuatnya seketika yakin bahwa ia bisa mempercayai dan membagi seluruh isi hatinya dengan Vincent. “Your happiness is not my responsibility but I really want to make you happy, Gregory. Because you really deserve to be happy.”

Ia tertawa kecil, membiarkan air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia tidak pernah menyangka seseorang benar-benar rela menawarkan dirinya untuk merasakan sakit yang selama ini dikuburnya dalam-dalam. Ia merasakan hangat tangan Vincent menghapus air matanya, membisikkan padanya bahwa dengannya, semuanya akan baik-baik saja.

Gregory mengatur napasnya, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya menceritakan semuanya secara detail. Ia menjelaskan pada Vincent dengan hati-hati; tentang bagaimana seorang wanita yang adalah pemilik apartemen sudah lama mengejarnya seakan-akan dirinya berhutang ratusan juta, tentang bagaimana ia berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan bayaran yang tinggi untuk mengembalikan uang orang tuanya, hingga alasan mengapa Gregory sangat bersikeras untuk dapat bekerja di Caveau de la Huchette. Ia menceritakannya tanpa henti, seperti menarik keluar kotak Pandora dari dalam dadanya, membukanya dengan kunci rahasia, dan menumpahkan seluruh isinya di depan Vincent, hingga kotak itu benar-benar kosong.

Ia masih menengadahkan kepalanya, memandang langit-langit kamar tidurnya, tidak memiliki nyali untuk melihat sepasang manik hazel yang sedari tadi menatapnya itu. Gregory mendengar kekasihnya itu menghela napas berat, sesekali menghentikan gerakan jemarinya saat menyisir surai hitamnya.

“Sudah, Vin” katanya kemudian pada Vincent, menatap mata pria itu sambil tersenyum getir. “Ceritanya sudah selesai.”

Pria itu tersenyum, mengusap dahinya dengan ibu jarinya. “Terima kasih sudah mau berbagi denganku.” Kata pria itu lalu meraih tangannya dan mengecup telapaknya. “Terima kasih.”

“Aku yang harus berterima kasih, Vin. I love you,” balasnya sambil berbisik, lalu membenamkan wajahnya diperut Vincent. Ia meringkuk, merasakan kantuk mulai menyerangnya, melirik ke arah nakas dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Ia menghela napas berat, merasakan gerakan tangan Vincent perlahan melambat. Sepertinya pria itu mengira bahwa ia sudah tertidur.

Tiba-tiba ia merasakan gerakan tubuh Vincent. Pria itu membungkuk lalu dan mengecup dahinya cukup lama. “Aku mencintaimu, Gregory. Kamu adalah orang yang hebat,” bisik Vincent lirih ditelinganya, membuatnya lantas memejamkan kedua matanya sambil menahan tangis.

Pria itu mencintainya...

Gregory tidak ingin Vincent melihat reaksinya saat ini; menangis hanya karena mendengar dirinya mengatakan tiga kata yang selama ini ia nantikan sambil mendengar pria itu pamit padanya untuk pergi tidur.

Vincent tidak perlu tahu bahwa ia sudah mendengarnya, tidak perlu.

I love you. Sweet dreams, Beau, you're safe with me,” kata pria itu lagi sambil memeluk tubuhnya.

Ya, Gregory yakin bahwa pria itu benar-benar mencintainya.

⚠️ 🔞 steamy kissing scene ahead

cw // slightly mention of overthinking thoughts, jealousy


Vincent memulai paginya dengan mendengar bunyi perutnya sendiri, meminta untuk diisi. Ia sudah tidak dapat menahan rasa laparnya, menyesali keputusannya tadi malam karena hanya mengonsumsi seporsi salad yang dibelinya di sebuah kafe dekat Musée d'Orsay untuk menu makan malam. Setelahnya, ia hanya minum air putih hingga akhirnya memutuskan untuk pergi tidur.

Ia berjalan ke arah pintu kamarnya sambil mencoba mengumpulkan nyawanya. Ia sempat melirik ke arah jam dinding, waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia lantas mengangkat kedua bahunya, membuka kenop pintu lalu melangkah keluar dari kamarnya.

Saat memasuki ruang tengah apartemen, Vincent mengambil dua lembar roti tawar yang terletak diatas meja makan, dengan langkah gontai berjalan ke arah island untuk mengambil selai stroberi favoritnya. Ia berusaha melawan rasa kantuknya sambil mengolesi selai stroberi diatas rotinya dengan posisi berdiri, menggerakkan pisau mentega yang dipegangnya ke sana kemari agar tidak ada bagian yang terlewati.

Suasana ruang tengah dan dapur apartemennya sangat sunyi, Vincent tidak mendengar bunyi apapun kecuali suara orang yang sedang mengobrol di sekitar jalan Rue de la Ferronnerie. Ia lalu menolehkan kepalanya ke arah kamar tidur Sebastian dan Tobias, tidak ada suara yang terdengar dari sana. Sepertinya kedua sahabatnya itu sudah pergi bekerja dengan terburu-buru, karena ia tidak menemukan secarik kertas untuknya diatas meja makan, seperti yang biasa dilakukan oleh keduanya sebelum bekerja.

Vincent lantas menggedikkan bahu, menengadahkan kepalanya kemudian sambil memejamkan mata saat mulutnya terbuka lebar karena menguap. Sesudah ia merasa rotinya sempurna dan selainya terlihat tebal, ia akhirnya melangkah ke arah ruang tengah dengan membawa setangkup roti itu dan secangkir teh hangat favoritnya. Sekujur tubuhnya terasa pegal dan kaku, sepertinya kegiatannya kemarin saat mengunjungi museum dengan Maximillian seharian benar-benar membuatnya lelah.

Namun, ia tetap merasa senang dan puas karena dapat menghabiskan waktu dengan melakukan hal yang menurutnya bermanfaat. Setidaknya, ia menggunakan waktu liburannya dengan kegiatan yang cukup produktif.

Vincent lalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia melamun, melihat ke arah jendela apartemen dengan tatapan kosong sambil memegang cangkir tehnya, merasakan uap panas menyapu kedua pipinya. Wajahnya pun terasa menghangat. Otaknya kembali memutar kata-kata yang dikirim oleh Gregory padanya beberapa jam yang lalu.

Kekasihnya itu mengatakan bahwa dirinya ingin berbicara empat mata dengannya. Jujur saja, Vincent merasa khawatir. Apa hal yang akan dibicarakan oleh pria itu, atau... apa yang sedang terjadi? Hubungan mereka berdua sedang baik-baik saja, tidak ada masalah sama sekali. Percakapan mereka pun tidak berubah, masih seperti sedia kala. Walaupun Gregory mencoba meyakinkannya bahwa dirinya baik-baik saja, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Apakah Timothy memberitahu kekasihnya itu bahwa ia sempat merasa cemburu?

Ah, tidak mungkin. Sahabatnya itu tidak mungkin membeberkan apapun pada kekasihnya, 'kan? Ia belum siap jika harus menghadapi Gregory yang kecewa atau bahkan marah padanya karena ia diam-diam merasa demikian.

Sejenak lamunannya pun buyar saat mendengar nada pesan masuk dari Gregory. Sebelumnya, pria itu memberitahunya bahwa ia dan Thomas akan pergi sarapan di restoran hotel. Ia lalu mengambil handphonenya dan membaca pesan balasan dari kekasihnya itu sambil menyesap tehnya.

Pria itu mengirimkan sebuah emoji orang yang sedang kepanasan, membuatnya langsung tersedak, menumpahkan isi cangkirnya dan mengenai pakaiannya.

Vincent terbatuk-batuk, tenggorokannya sakit dan kedua matanya berair. Ia merasakan kedua pipi dan telinganya menghangat, keduanya pun dapat dipastikan saat ini memerah karena membaca balasan Gregory. Ia lantas menggelengkan kepalanya sambil tertawa, membalas pesan pria itu hanya dengan satu kata diikuti sebuah emoji kemudian.

Ia benar-benar sudah merindukan Gregory, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya yang lebar, merindukan ekspresi wajahnya setiap kali mereka berbicara empat mata.

Apa yang sebenarnya akan Gregory bicarakan? Ia... tidak perlu merasa khawatir, 'kan?

Sebuah ide kemudian melintas dalam kepalanya, membuatnya segera beranjak dari duduknya dan melangkah ke kamar tidurnya. Entah mengapa ia merasa yakin bahwa ia tidak perlu khawatir.

Mungkin saja, kekasihnya itu hanya ingin mengobrol santai dengannya, seperti yang biasa mereka lakukan?

Ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan kekasihnya itu dan melihat raut wajahnya dengan mata kepalanya sendiri.


Vincent tengah duduk santai di ruang tengah apartemen, ditemani oleh alunan musik jazz dari gramofonnya, saat Gregory mengirimkan pesan bahwa kekasihnya itu baru saja berpisah dengan Thomas. Saat ini, pria itu sedang duduk di Amorino, menikmati gelato favoritnya sambil menunggu dirinya untuk menjemputnya di stasiun metro terdekat.

Ia menyunggingkan senyumnya lebar, dengan cepat membalas pesan itu sambil melangkahkan kakinya ke arah gramofon untuk mematikan alunan musik. Ia lalu membereskan pemutar piringan hitam miliknya itu dan mengembalikannya kedalam lemari koleksinya.

Cuaca hari ini cukup cerah namun tidak terlalu panas, membuat Vincent akhirnya memutuskan untuk membiarkan rambut gondrongnya terurai, panjangnya sudah hampir menutup bagian kerah pakaiannya. Ia membuka lemarinya dan memilih pakaian yang kasual—kemeja lengan panjang berwarna putih dibalut dengan sweater berwarna hitam. Ia lalu mengambil celana panjang berbahan kain dengan warna senada dan ikat pinggang berbahan kulit dengan pengait berwarna silver.

Waktu menunjukkan pukul tiga sore saat Vincent mengemudikan mobilnya keluar dari garasi apartemen. Di sekitar tempat tinggalnya, terlihat banyak sekali orang yang sudah duduk dan berdiri memenuhi area kafe yang terletak tidak jauh dari apartemennya. Orang-orang itu bercengkrama satu sama lain sambil menikmati makanan mereka. Jalanan protokol yang ramai pun tidak luput dari pandangan matanya. Vincent berharap lalu lintas saat ini tidak terlalu padat, karena ia sudah berjanji pada Gregory bahwa dirinya hanya memerlukan waktu lima menit untuk sampai di stasiun St Michel Notre Dame.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya Vincent sampai di stasiun yang terletak persis di seberang Tuileries Garden itu. Ia bersyukur, lalu lintas sore ini ramai lancar, tidak seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ia lantas membelokkan setirnya sedikit, mencari tempat untuk mobilnya berhenti dan mencari sosok Gregory.

Tidak membutuhkan waktu lama hingga ia akhirnya melihat kekasihnya itu berlari-lari kecil ke arah mobilnya. Walaupun pria itu menundukkan kepala, namun Vincent benar-benar mengenalnya hanya dari senyum yang tersungging lebar diwajahnya.

Ia benar-benar ingin segera memeluk kekasihnya itu dan menghujaninya dengan ciuman.

Gregory membuka pintu, menundukkan kepalanya dan masuk ke dalam mobil. Seketika Vincent menghirup aroma parfum dan tubuh kekasihnya yang melebur jadi satu, menguar kuat dan menyapa indera penciumannya. “Bonjour, Vin, sayang,” sapa pria itu ceria sambil memposisikan tubuhnya nyaman di sampingnya. “Thank you sudah jemput aku—”

Vincent memotong kalimat pria itu dengan menarik wajahnya dengan kedua tangannya, mendaratkan ciuman pada bibirnya yang terlihat mungil namun merekah. Tangan kanannya memegang tengkuk pria itu, memiringkan kepalanya untuk memudahkan dirinya meneruskan kegiatannya. Lidahnya merasakan pahit dan dingin, perpaduan rasa mint chocolate yang selalu menjadi favorit Gregory setiap kali mereka pergi ke Amorino.

Kekasihnya itu terdengar melenguh karena terkejut, sesaat sebelum ia merasakan bibir pria itu bergerak untuk tersenyum dan akhirnya membalas ciumannya.

Ia mengecup bibir Gregory lagi tiga kali, sebelum menarik wajahnya dan mengusapnya lembut dengan ibu jarinya. Sorot mata Gregory terlihat sendu, napasnya terengah. Melihatnya, Vincent hanya terkekeh sambil menyandarkan tubuhnya pada jok mobil, sedang kekasihnya terdengar mendengus pelan karena sesi ciuman mereka telah berakhir.

No problem,” balasnya singkat sambil tersenyum, menaruh telapak tangannya diatas paha Gregory dan mengusapnya pelan. “I missed you so much, Gregory.”

Kekasihnya itu berdecak, lalu menghela napas berat sambil menepuk pelan punggung tangannya. Seketika rasa hangat menjalar keseluruh tubuhnya. “Mon Dieu, sayang,” kata Gregory sambil terkekeh, mengusap ibu jari pria itu pelan pada buku jarinya. “Missed me that much? Bersemangat banget kamu nyium aku barusan. Not that I'm complaining, sih.”

Ia memiringkan kepalanya, melihat kekasihnya sedang menatapnya dengan senyum penuh arti. Ya, ia benar-benar merindukan pria itu.

“Ya, kangen sekali,” ujarnya sambil mengangkat tangannya dan menyisir rambut Gregory yang terlihat berantakan karena sempat tertiup oleh angin di luar.

Gregory memejamkan matanya sambil menggumam. “Aku juga kangen.”

Mendengar kekasihnya menjawab demikian, ia hanya tersenyum dan menatap pria itu dengan sorot mata yang teduh. Gregory terlihat terbuai dengan sentuhan lembutnya, sepertinya ia lelah karena bangun terlalu pagi, lalu sarapan dan menemani Thomas mengitari Rue de la Huchette seharian.

Vincent dengan cepat menarik tangannya untuk mengambil sesuatu dari jok belakang. Ia sempat membeli hand bouquet di toko bunga yang terletak di ujung jalan Rue de la Ferronnerie. Ini adalah kali pertama dirinya membelikan Gregory buket bunga seperti ini. Sang penjaga toko yang hampir setiap hari bertemu dan menyapanya pun hanya melempar senyum padanya, bertanya bunga apa saja yang ingin ia berikan untuk Gregory. Wanita itu mengambil beberapa bunga yang dipilih olehnya dan merangkainya dengan cantik.

Ia merapalkan doa dalam hati, semoga Gregory menyukai pemberiannya yang tidak seberapa.

Here, this is for you,” katanya kemudian memecah keheningan, memegang satu buket berisi dua puluh tangkai bunga mawar putih yang segar, masih menguncup dengan cantik. Bunga-bunga itu terlihat gendut, saling berhimpitan satu sama lain. Vincent meletakkannya dipangkuan Gregory yang masih memejamkan matanya. Dadanya berdegup kencang, tidak sabar melihat reaksi pria itu saat melihatnya.

Gregory mengerjapkan matanya, terkejut saat melihat buket bunga itu dipangkuannya. Pria itu lalu mengangkat kepalanya dari sandaran kursi, sedangkan Vincent hanya bisa menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.

“Hah?” Kedua matanya membulat, menatap buket itu lekat sambil menarik sabuk pengaman dan mengenakannya. “Sayang... kok beli bunga? Untuk apa? Dalam rangka apa kamu beli bunga segala, Vin?

Did I miss anything?”

Vincent mendengar kekasihnya itu bertanya padanya tanpa henti, membuatnya lantas tertawa dan menggeleng. Ia lalu menghadapkan tubuhnya ke samping, sambil tangan kirinya tetap memegang setir kemudi. Sepertinya mereka harus segera pergi dari sana sebelum lalu lintas menuju ke apartemennya semakin padat.

No, you didn't. Tidak dalam rangka apa-apa, Gregory. I just wanted to. Do you like it?”

Pria itu mengangguk, dahinya masih mengernyit. Apakah Gregory tidak menyukainya? “Never received any before, this is my first,” jawab kekasihnya itu sekenanya, sambil mendekatkan hidungnya, mencoba mencium bunga mawar itu. Vincent tahu betul kekasihnya itu sangat sensitif dengan bau. “Feels strange, but I really love it. Thanks, sayang,” katanya tersenyum lebar, lalu meletakkan buket bunga itu lagi dipangkuannya. Pria itu menarik lehernya dan mendaratkan ciuman bertubi-tubi pada pipinya.

Vincent merasakan hangat pada kedua pipi dan lehernya. Ia tersenyum sambil memegang belakang kepala kekasihnya untuk mencium dahi pria itu. “You're welcome, Beau. Kamu mau langsung pulang, atau ada tempat lain yang ingin kamu tuju?”

Ia mengusap pelan tengkuk Gregory saat pria itu memutar lehernya sendiri, melenguh saat sendi pada lehernya bergesekan dan mengeluarkan suara. “Tidak ada, Vin. Boleh langsung pulang, kah?”

Ia mengangguk, menarik tangannya untuk memindahkan gigi mobilnya menjadi mode drive. “Okay, let's go home.”

Home? Seperti ada suara yang bertanya padanya dalam pikirannya.

Vincent menyunggingkan senyum kotaknya, lalu membelokkan setirnya dan menginjak pedal gas mobilnya untuk kembali ke apartemennya.

Ya, home.


Lalu lintas sore itu ramai lancar, ia dan Gregory hanya menghabiskan waktu selama lima belas menit di jalan, sebelum akhirnya sampai di gedung apartemennya. Sekitar jalan Rue de la Ferronnerie pun sudah semakin ramai, beberapa kafe sudah terlihat menyalakan lampu ruangannya. Pasti sebentar lagi tempat itu akan dipenuhi tamu yang hendak menikmati makan malam.

Are Sebastian and Tobias home, Vin?” Gregory bertanya padanya sambil berdiri bersisian dengannya saat mereka menaiki anak tangga gedung apartemennya.

Vincent menggeleng, lalu menempelkan telapak tangan kanannya pada punggung Gregory, berusaha menahan tubuh kekasihnya yang sedari tadi menaiki anak tangga tanpa melihat kebawah. Pria itu kegirangan, kedua mata bulatnya mengerling, masih memandang buket bunga yang ada ditangannya lekat.

Ia tersenyum dan merasa lega saat melihat respon kekasihnya itu.

No, why?”

“Oh, tidak apa,” bisik Gregory sambil menggelengkan kepalanya pelan. “Hanya tanya.”

Vincent lalu mencolek dagu kekasihnya dan tersenyum saat mendengar respon pria itu. “Okay, Beau.”

Mereka akhirnya sampai di depan pintu apartemen Vincent. Ia lalu membuka resleting tasnya untuk mengambil kunci, saat ia merasakan Gregory memeluk pinggangnya dari samping. Pria itu mendekatkan wajahnya, menyapu pipinya dengan hidungnya yang sedikit bangir.

“Vin,” bisik pria itu pelan, sambil menghembuskan napasnya yang hangat pada lehernya. Gregory menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Vincent, membuatnya seketika merasa geli.

Ia lalu memasukkan kunci apartemennya pada lubang kunci, sambil menggeser kepalanya untuk mengecup dahi kekasihnya itu. “Ya?”

Can we make out?”

Ia mengangkat alisnya sebelah dan memundurkan kepalanya saat mendengar Gregory berkata demikian. Sorot mata pria itu terlihat sayu, membuat Vincent ingin segera menggendong tubuhnya dan membawanya masuk. “Now?”

Kekasihnya itu menarik tubuhnya mundur sambil memutar kedua bola matanya, membuatnya lantas tertawa terbahak-bahak. Gregory terlihat lucu saat ia mendengus kasar. “Tahun depan,” desisnya.

“Sayang,” panggilnya lembut. Entah mengapa menggoda Gregory selalu membuatnya senang. Kekasihnya itu pasti akan membalas kata-katanya dengan melirik tajam ke arahnya dan memutar kedua bola matanya.

Yes, right now, Vin. Sekarang juga. Please?”

Vincent menjawab permintaan kekasihnya itu dengan menggumam lalu membuka pintu apartemennya. Ia menarik tubuh kekasihnya itu, mendekatkan wajahnya dan menghembuskan napasnya yang berat. Ia mengangkat tangan kanannya, ibu jarinya mengusap pelan pipi dan bawah mata Gregory. Pria itu mengerlingkan kedua matanya, menggigit bibir bawahnya kala mendengarnya berbicara dengan lembut. “Can't say no to these doe eyes. I've just realized that it looks like bambi's, my love.”

Gregory menggeram saat Vincent memeluk punggungnya dengan kedua tangannya erat, mendorong tubuhnya ke arah pintu dan mengangkat tubuh pria itu. Pria itu tertawa, mengalungkan kedua lengannya pada lehernya dan mengunci pinggang Vincent dengan kedua kakinya. Gregory lebih dulu mencium bibirnya, menyapu lidahnya pelan ke sana kemari. Buket bunga mawar yang dibelinya untuk Gregory sudah tergeletak asal diatas sofa kecil yang berada di sebelah pintu apartemen.

Ia merasakan telapak tangan Gregory mengusap belakang kepalanya, menyisipkan jemarinya pada rambutnya yang gondrong dan menariknya pelan, membuat kepalanya sedikit menengadah. “Please, Vin,” bisik pria itu sambil memagut bibir Vincent. “Lift me up higher.”

Tidak ada yang dapat membuatnya berkata tidak, bukan? “You're so demanding, sayang.”

I know,” balas kekasihnya itu sambil terkekeh. Vincent lalu mengangkat tubuh Gregory lebih tinggi, membuat pria itu mengerang. Ia tidak peduli jika ada tetangga yang melewati pintu apartemennya dan mendengar mereka. “And I know you love it, Vin. Don't you?”

Ia menggeram, menarik wajahnya dan menggerakkan bibirnya untuk mencium dagu kekasihnya yang halus itu. Bibirnya lantas turun dan meniup leher Gregory, membuat pria itu akhirnya menengadahkan kepalanya dan memberikan akses lebih leluasa untuknya. “Fuck yes I do, my love.”

Ini adalah kali pertama mereka melakukannya di luar kamar tidurnya.

Kekasihnya itu membisikkan kata-kata ditelinganya, membuat bulu kuduknya meremang. Aroma parfum dan tubuh kekasihnya itu membuatnya mabuk. Ia lantas menggigit leher Gregory dan menghisapnya pelan, hingga terlihat memerah. Vincent tahu, bekas itu pasti tidak akan hilang sampai besok. Namun ia tidak mau memikirkan itu sekarang. Ia mendengar Gregory meringis karena aksinya barusan, membuatnya lantas menghentikan kegiatannya dan mencium bekas gigitannya itu dengan lembut.

Gregory melenguh, mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ia mendengar kekasihnya itu memanggilnya dengan lirih. “God, my sexy and hot orchestra conductor...”

Ia tersenyum lebar, menarik wajahnya untuk berbisik ditelinganya, sambil kedua tangannya berpindah pada pantat Gregory untuk menopang tubuh kekasihnya itu. “You're sexier and hotter, Gregory, what do you mean?”

Ia mendengar pria yang dipelukannya itu berdecak, menyibakkan rambutnya yang sudah menempel pada dahinya karena keringat. Gregory terlihat memutar kedua bola matanya, sambil tangan kanannya mencubit lehernya pelan. “Kamu tinggal jawab iya aja kenapa sih, sayang,” keluh pria itu kesal.

Vincent tertawa, lalu menarik tubuhnya untuk menggendong kekasihnya dan berjalan ke arah kamar tidurnya dengan hati-hati.

Say it again later, okay.”

Later?” Vincent menggumam, membuat Gregory akhirnya menarik wajahnya dan memiringkan kepalanya. Kekasihnya terlihat bingung sambil tetap mengalungkan tangannya pada leher Vincent.

Ia hanya menaikkan sebelah alisnya, dengan hati-hati menggendong tubuh Gregory. Pria itu lalu menolehkan kepalanya ke belakang, menyadari bahwa mereka sudah melangkah masuk ke dalam kamar tidurnya.

Pria yang lebih muda dua tahun darinya itu lantas mengerang, menyunggingkan senyum sumringahnya, sebelum akhirnya mengecup hidungnya yang mancung dengan cepat.

Oh, mon Dieu, hell yeah I will.”

Mungkin... mereka masih akan bicara nanti, 'kan?