the last baton | 385

⚠️ πŸ”ž steamy kissing scene ahead

cw // slightly mention of overthinking thoughts, jealousy


Vincent memulai paginya dengan mendengar bunyi perutnya sendiri, meminta untuk diisi. Ia sudah tidak dapat menahan rasa laparnya, menyesali keputusannya tadi malam karena hanya mengonsumsi seporsi salad yang dibelinya di sebuah kafe dekat MusΓ©e d'Orsay untuk menu makan malam. Setelahnya, ia hanya minum air putih hingga akhirnya memutuskan untuk pergi tidur.

Ia berjalan ke arah pintu kamarnya sambil mencoba mengumpulkan nyawanya. Ia sempat melirik ke arah jam dinding, waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia lantas mengangkat kedua bahunya, membuka kenop pintu lalu melangkah keluar dari kamarnya.

Saat memasuki ruang tengah apartemen, Vincent mengambil dua lembar roti tawar yang terletak diatas meja makan, dengan langkah gontai berjalan ke arah island untuk mengambil selai stroberi favoritnya. Ia berusaha melawan rasa kantuknya sambil mengolesi selai stroberi diatas rotinya dengan posisi berdiri, menggerakkan pisau mentega yang dipegangnya ke sana kemari agar tidak ada bagian yang terlewati.

Suasana ruang tengah dan dapur apartemennya sangat sunyi, Vincent tidak mendengar bunyi apapun kecuali suara orang yang sedang mengobrol di sekitar jalan Rue de la Ferronnerie. Ia lalu menolehkan kepalanya ke arah kamar tidur Sebastian dan Tobias, tidak ada suara yang terdengar dari sana. Sepertinya kedua sahabatnya itu sudah pergi bekerja dengan terburu-buru, karena ia tidak menemukan secarik kertas untuknya diatas meja makan, seperti yang biasa dilakukan oleh keduanya sebelum bekerja.

Vincent lantas menggedikkan bahu, menengadahkan kepalanya kemudian sambil memejamkan mata saat mulutnya terbuka lebar karena menguap. Sesudah ia merasa rotinya sempurna dan selainya terlihat tebal, ia akhirnya melangkah ke arah ruang tengah dengan membawa setangkup roti itu dan secangkir teh hangat favoritnya. Sekujur tubuhnya terasa pegal dan kaku, sepertinya kegiatannya kemarin saat mengunjungi museum dengan Maximillian seharian benar-benar membuatnya lelah.

Namun, ia tetap merasa senang dan puas karena dapat menghabiskan waktu dengan melakukan hal yang menurutnya bermanfaat. Setidaknya, ia menggunakan waktu liburannya dengan kegiatan yang cukup produktif.

Vincent lalu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia melamun, melihat ke arah jendela apartemen dengan tatapan kosong sambil memegang cangkir tehnya, merasakan uap panas menyapu kedua pipinya. Wajahnya pun terasa menghangat. Otaknya kembali memutar kata-kata yang dikirim oleh Gregory padanya beberapa jam yang lalu.

Kekasihnya itu mengatakan bahwa dirinya ingin berbicara empat mata dengannya. Jujur saja, Vincent merasa khawatir. Apa hal yang akan dibicarakan oleh pria itu, atau... apa yang sedang terjadi? Hubungan mereka berdua sedang baik-baik saja, tidak ada masalah sama sekali. Percakapan mereka pun tidak berubah, masih seperti sedia kala. Walaupun Gregory mencoba meyakinkannya bahwa dirinya baik-baik saja, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Apakah Timothy memberitahu kekasihnya itu bahwa ia sempat merasa cemburu?

Ah, tidak mungkin. Sahabatnya itu tidak mungkin membeberkan apapun pada kekasihnya, 'kan? Ia belum siap jika harus menghadapi Gregory yang kecewa atau bahkan marah padanya karena ia diam-diam merasa demikian.

Sejenak lamunannya pun buyar saat mendengar nada pesan masuk dari Gregory. Sebelumnya, pria itu memberitahunya bahwa ia dan Thomas akan pergi sarapan di restoran hotel. Ia lalu mengambil handphonenya dan membaca pesan balasan dari kekasihnya itu sambil menyesap tehnya.

Pria itu mengirimkan sebuah emoji orang yang sedang kepanasan, membuatnya langsung tersedak, menumpahkan isi cangkirnya dan mengenai pakaiannya.

Vincent terbatuk-batuk, tenggorokannya sakit dan kedua matanya berair. Ia merasakan kedua pipi dan telinganya menghangat, keduanya pun dapat dipastikan saat ini memerah karena membaca balasan Gregory. Ia lantas menggelengkan kepalanya sambil tertawa, membalas pesan pria itu hanya dengan satu kata diikuti sebuah emoji kemudian.

Ia benar-benar sudah merindukan Gregory, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya yang lebar, merindukan ekspresi wajahnya setiap kali mereka berbicara empat mata.

Apa yang sebenarnya akan Gregory bicarakan? Ia... tidak perlu merasa khawatir, 'kan?

Sebuah ide kemudian melintas dalam kepalanya, membuatnya segera beranjak dari duduknya dan melangkah ke kamar tidurnya. Entah mengapa ia merasa yakin bahwa ia tidak perlu khawatir.

Mungkin saja, kekasihnya itu hanya ingin mengobrol santai dengannya, seperti yang biasa mereka lakukan?

Ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan kekasihnya itu dan melihat raut wajahnya dengan mata kepalanya sendiri.


Vincent tengah duduk santai di ruang tengah apartemen, ditemani oleh alunan musik jazz dari gramofonnya, saat Gregory mengirimkan pesan bahwa kekasihnya itu baru saja berpisah dengan Thomas. Saat ini, pria itu sedang duduk di Amorino, menikmati gelato favoritnya sambil menunggu dirinya untuk menjemputnya di stasiun metro terdekat.

Ia menyunggingkan senyumnya lebar, dengan cepat membalas pesan itu sambil melangkahkan kakinya ke arah gramofon untuk mematikan alunan musik. Ia lalu membereskan pemutar piringan hitam miliknya itu dan mengembalikannya kedalam lemari koleksinya.

Cuaca hari ini cukup cerah namun tidak terlalu panas, membuat Vincent akhirnya memutuskan untuk membiarkan rambut gondrongnya terurai, panjangnya sudah hampir menutup bagian kerah pakaiannya. Ia membuka lemarinya dan memilih pakaian yang kasualβ€”kemeja lengan panjang berwarna putih dibalut dengan sweater berwarna hitam. Ia lalu mengambil celana panjang berbahan kain dengan warna senada dan ikat pinggang berbahan kulit dengan pengait berwarna silver.

Waktu menunjukkan pukul tiga sore saat Vincent mengemudikan mobilnya keluar dari garasi apartemen. Di sekitar tempat tinggalnya, terlihat banyak sekali orang yang sudah duduk dan berdiri memenuhi area kafe yang terletak tidak jauh dari apartemennya. Orang-orang itu bercengkrama satu sama lain sambil menikmati makanan mereka. Jalanan protokol yang ramai pun tidak luput dari pandangan matanya. Vincent berharap lalu lintas saat ini tidak terlalu padat, karena ia sudah berjanji pada Gregory bahwa dirinya hanya memerlukan waktu lima menit untuk sampai di stasiun St Michel Notre Dame.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya Vincent sampai di stasiun yang terletak persis di seberang Tuileries Garden itu. Ia bersyukur, lalu lintas sore ini ramai lancar, tidak seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ia lantas membelokkan setirnya sedikit, mencari tempat untuk mobilnya berhenti dan mencari sosok Gregory.

Tidak membutuhkan waktu lama hingga ia akhirnya melihat kekasihnya itu berlari-lari kecil ke arah mobilnya. Walaupun pria itu menundukkan kepala, namun Vincent benar-benar mengenalnya hanya dari senyum yang tersungging lebar diwajahnya.

Ia benar-benar ingin segera memeluk kekasihnya itu dan menghujaninya dengan ciuman.

Gregory membuka pintu, menundukkan kepalanya dan masuk ke dalam mobil. Seketika Vincent menghirup aroma parfum dan tubuh kekasihnya yang melebur jadi satu, menguar kuat dan menyapa indera penciumannya. β€œBonjour, Vin, sayang,” sapa pria itu ceria sambil memposisikan tubuhnya nyaman di sampingnya. β€œThank you sudah jemput aku—”

Vincent memotong kalimat pria itu dengan menarik wajahnya dengan kedua tangannya, mendaratkan ciuman pada bibirnya yang terlihat mungil namun merekah. Tangan kanannya memegang tengkuk pria itu, memiringkan kepalanya untuk memudahkan dirinya meneruskan kegiatannya. Lidahnya merasakan pahit dan dingin, perpaduan rasa mint chocolate yang selalu menjadi favorit Gregory setiap kali mereka pergi ke Amorino.

Kekasihnya itu terdengar melenguh karena terkejut, sesaat sebelum ia merasakan bibir pria itu bergerak untuk tersenyum dan akhirnya membalas ciumannya.

Ia mengecup bibir Gregory lagi tiga kali, sebelum menarik wajahnya dan mengusapnya lembut dengan ibu jarinya. Sorot mata Gregory terlihat sendu, napasnya terengah. Melihatnya, Vincent hanya terkekeh sambil menyandarkan tubuhnya pada jok mobil, sedang kekasihnya terdengar mendengus pelan karena sesi ciuman mereka telah berakhir.

β€œNo problem,” balasnya singkat sambil tersenyum, menaruh telapak tangannya diatas paha Gregory dan mengusapnya pelan. β€œI missed you so much, Gregory.”

Kekasihnya itu berdecak, lalu menghela napas berat sambil menepuk pelan punggung tangannya. Seketika rasa hangat menjalar keseluruh tubuhnya. β€œMon Dieu, sayang,” kata Gregory sambil terkekeh, mengusap ibu jari pria itu pelan pada buku jarinya. β€œMissed me that much? Bersemangat banget kamu nyium aku barusan. Not that I'm complaining, sih.”

Ia memiringkan kepalanya, melihat kekasihnya sedang menatapnya dengan senyum penuh arti. Ya, ia benar-benar merindukan pria itu.

β€œYa, kangen sekali,” ujarnya sambil mengangkat tangannya dan menyisir rambut Gregory yang terlihat berantakan karena sempat tertiup oleh angin di luar.

Gregory memejamkan matanya sambil menggumam. β€œAku juga kangen.”

Mendengar kekasihnya menjawab demikian, ia hanya tersenyum dan menatap pria itu dengan sorot mata yang teduh. Gregory terlihat terbuai dengan sentuhan lembutnya, sepertinya ia lelah karena bangun terlalu pagi, lalu sarapan dan menemani Thomas mengitari Rue de la Huchette seharian.

Vincent dengan cepat menarik tangannya untuk mengambil sesuatu dari jok belakang. Ia sempat membeli hand bouquet di toko bunga yang terletak di ujung jalan Rue de la Ferronnerie. Ini adalah kali pertama dirinya membelikan Gregory buket bunga seperti ini. Sang penjaga toko yang hampir setiap hari bertemu dan menyapanya pun hanya melempar senyum padanya, bertanya bunga apa saja yang ingin ia berikan untuk Gregory. Wanita itu mengambil beberapa bunga yang dipilih olehnya dan merangkainya dengan cantik.

Ia merapalkan doa dalam hati, semoga Gregory menyukai pemberiannya yang tidak seberapa.

β€œHere, this is for you,” katanya kemudian memecah keheningan, memegang satu buket berisi dua puluh tangkai bunga mawar putih yang segar, masih menguncup dengan cantik. Bunga-bunga itu terlihat gendut, saling berhimpitan satu sama lain. Vincent meletakkannya dipangkuan Gregory yang masih memejamkan matanya. Dadanya berdegup kencang, tidak sabar melihat reaksi pria itu saat melihatnya.

Gregory mengerjapkan matanya, terkejut saat melihat buket bunga itu dipangkuannya. Pria itu lalu mengangkat kepalanya dari sandaran kursi, sedangkan Vincent hanya bisa menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.

β€œHah?” Kedua matanya membulat, menatap buket itu lekat sambil menarik sabuk pengaman dan mengenakannya. β€œSayang... kok beli bunga? Untuk apa? Dalam rangka apa kamu beli bunga segala, Vin?

β€œDid I miss anything?”

Vincent mendengar kekasihnya itu bertanya padanya tanpa henti, membuatnya lantas tertawa dan menggeleng. Ia lalu menghadapkan tubuhnya ke samping, sambil tangan kirinya tetap memegang setir kemudi. Sepertinya mereka harus segera pergi dari sana sebelum lalu lintas menuju ke apartemennya semakin padat.

β€œNo, you didn't. Tidak dalam rangka apa-apa, Gregory. I just wanted to. Do you like it?”

Pria itu mengangguk, dahinya masih mengernyit. Apakah Gregory tidak menyukainya? β€œNever received any before, this is my first,” jawab kekasihnya itu sekenanya, sambil mendekatkan hidungnya, mencoba mencium bunga mawar itu. Vincent tahu betul kekasihnya itu sangat sensitif dengan bau. β€œFeels strange, but I really love it. Thanks, sayang,” katanya tersenyum lebar, lalu meletakkan buket bunga itu lagi dipangkuannya. Pria itu menarik lehernya dan mendaratkan ciuman bertubi-tubi pada pipinya.

Vincent merasakan hangat pada kedua pipi dan lehernya. Ia tersenyum sambil memegang belakang kepala kekasihnya untuk mencium dahi pria itu. β€œYou're welcome, Beau. Kamu mau langsung pulang, atau ada tempat lain yang ingin kamu tuju?”

Ia mengusap pelan tengkuk Gregory saat pria itu memutar lehernya sendiri, melenguh saat sendi pada lehernya bergesekan dan mengeluarkan suara. β€œTidak ada, Vin. Boleh langsung pulang, kah?”

Ia mengangguk, menarik tangannya untuk memindahkan gigi mobilnya menjadi mode drive. β€œOkay, let's go home.”

Home? Seperti ada suara yang bertanya padanya dalam pikirannya.

Vincent menyunggingkan senyum kotaknya, lalu membelokkan setirnya dan menginjak pedal gas mobilnya untuk kembali ke apartemennya.

Ya, home.


Lalu lintas sore itu ramai lancar, ia dan Gregory hanya menghabiskan waktu selama lima belas menit di jalan, sebelum akhirnya sampai di gedung apartemennya. Sekitar jalan Rue de la Ferronnerie pun sudah semakin ramai, beberapa kafe sudah terlihat menyalakan lampu ruangannya. Pasti sebentar lagi tempat itu akan dipenuhi tamu yang hendak menikmati makan malam.

β€œAre Sebastian and Tobias home, Vin?” Gregory bertanya padanya sambil berdiri bersisian dengannya saat mereka menaiki anak tangga gedung apartemennya.

Vincent menggeleng, lalu menempelkan telapak tangan kanannya pada punggung Gregory, berusaha menahan tubuh kekasihnya yang sedari tadi menaiki anak tangga tanpa melihat kebawah. Pria itu kegirangan, kedua mata bulatnya mengerling, masih memandang buket bunga yang ada ditangannya lekat.

Ia tersenyum dan merasa lega saat melihat respon kekasihnya itu.

β€œNo, why?”

β€œOh, tidak apa,” bisik Gregory sambil menggelengkan kepalanya pelan. β€œHanya tanya.”

Vincent lalu mencolek dagu kekasihnya dan tersenyum saat mendengar respon pria itu. β€œOkay, Beau.”

Mereka akhirnya sampai di depan pintu apartemen Vincent. Ia lalu membuka resleting tasnya untuk mengambil kunci, saat ia merasakan Gregory memeluk pinggangnya dari samping. Pria itu mendekatkan wajahnya, menyapu pipinya dengan hidungnya yang sedikit bangir.

β€œVin,” bisik pria itu pelan, sambil menghembuskan napasnya yang hangat pada lehernya. Gregory menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Vincent, membuatnya seketika merasa geli.

Ia lalu memasukkan kunci apartemennya pada lubang kunci, sambil menggeser kepalanya untuk mengecup dahi kekasihnya itu. β€œYa?”

β€œCan we make out?”

Ia mengangkat alisnya sebelah dan memundurkan kepalanya saat mendengar Gregory berkata demikian. Sorot mata pria itu terlihat sayu, membuat Vincent ingin segera menggendong tubuhnya dan membawanya masuk. β€œNow?”

Kekasihnya itu menarik tubuhnya mundur sambil memutar kedua bola matanya, membuatnya lantas tertawa terbahak-bahak. Gregory terlihat lucu saat ia mendengus kasar. β€œTahun depan,” desisnya.

β€œSayang,” panggilnya lembut. Entah mengapa menggoda Gregory selalu membuatnya senang. Kekasihnya itu pasti akan membalas kata-katanya dengan melirik tajam ke arahnya dan memutar kedua bola matanya.

β€œYes, right now, Vin. Sekarang juga. Please?”

Vincent menjawab permintaan kekasihnya itu dengan menggumam lalu membuka pintu apartemennya. Ia menarik tubuh kekasihnya itu, mendekatkan wajahnya dan menghembuskan napasnya yang berat. Ia mengangkat tangan kanannya, ibu jarinya mengusap pelan pipi dan bawah mata Gregory. Pria itu mengerlingkan kedua matanya, menggigit bibir bawahnya kala mendengarnya berbicara dengan lembut. β€œCan't say no to these doe eyes. I've just realized that it looks like bambi's, my love.”

Gregory menggeram saat Vincent memeluk punggungnya dengan kedua tangannya erat, mendorong tubuhnya ke arah pintu dan mengangkat tubuh pria itu. Pria itu tertawa, mengalungkan kedua lengannya pada lehernya dan mengunci pinggang Vincent dengan kedua kakinya. Gregory lebih dulu mencium bibirnya, menyapu lidahnya pelan ke sana kemari. Buket bunga mawar yang dibelinya untuk Gregory sudah tergeletak asal diatas sofa kecil yang berada di sebelah pintu apartemen.

Ia merasakan telapak tangan Gregory mengusap belakang kepalanya, menyisipkan jemarinya pada rambutnya yang gondrong dan menariknya pelan, membuat kepalanya sedikit menengadah. β€œPlease, Vin,” bisik pria itu sambil memagut bibir Vincent. β€œLift me up higher.”

Tidak ada yang dapat membuatnya berkata tidak, bukan? β€œYou're so demanding, sayang.”

β€œI know,” balas kekasihnya itu sambil terkekeh. Vincent lalu mengangkat tubuh Gregory lebih tinggi, membuat pria itu mengerang. Ia tidak peduli jika ada tetangga yang melewati pintu apartemennya dan mendengar mereka. β€œAnd I know you love it, Vin. Don't you?”

Ia menggeram, menarik wajahnya dan menggerakkan bibirnya untuk mencium dagu kekasihnya yang halus itu. Bibirnya lantas turun dan meniup leher Gregory, membuat pria itu akhirnya menengadahkan kepalanya dan memberikan akses lebih leluasa untuknya. β€œFuck yes I do, my love.”

Ini adalah kali pertama mereka melakukannya di luar kamar tidurnya.

Kekasihnya itu membisikkan kata-kata ditelinganya, membuat bulu kuduknya meremang. Aroma parfum dan tubuh kekasihnya itu membuatnya mabuk. Ia lantas menggigit leher Gregory dan menghisapnya pelan, hingga terlihat memerah. Vincent tahu, bekas itu pasti tidak akan hilang sampai besok. Namun ia tidak mau memikirkan itu sekarang. Ia mendengar Gregory meringis karena aksinya barusan, membuatnya lantas menghentikan kegiatannya dan mencium bekas gigitannya itu dengan lembut.

Gregory melenguh, mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ia mendengar kekasihnya itu memanggilnya dengan lirih. β€œGod, my sexy and hot orchestra conductor...”

Ia tersenyum lebar, menarik wajahnya untuk berbisik ditelinganya, sambil kedua tangannya berpindah pada pantat Gregory untuk menopang tubuh kekasihnya itu. β€œYou're sexier and hotter, Gregory, what do you mean?”

Ia mendengar pria yang dipelukannya itu berdecak, menyibakkan rambutnya yang sudah menempel pada dahinya karena keringat. Gregory terlihat memutar kedua bola matanya, sambil tangan kanannya mencubit lehernya pelan. β€œKamu tinggal jawab iya aja kenapa sih, sayang,” keluh pria itu kesal.

Vincent tertawa, lalu menarik tubuhnya untuk menggendong kekasihnya dan berjalan ke arah kamar tidurnya dengan hati-hati.

β€œSay it again later, okay.”

β€œLater?” Vincent menggumam, membuat Gregory akhirnya menarik wajahnya dan memiringkan kepalanya. Kekasihnya terlihat bingung sambil tetap mengalungkan tangannya pada leher Vincent.

Ia hanya menaikkan sebelah alisnya, dengan hati-hati menggendong tubuh Gregory. Pria itu lalu menolehkan kepalanya ke belakang, menyadari bahwa mereka sudah melangkah masuk ke dalam kamar tidurnya.

Pria yang lebih muda dua tahun darinya itu lantas mengerang, menyunggingkan senyum sumringahnya, sebelum akhirnya mengecup hidungnya yang mancung dengan cepat.

β€œOh, mon Dieu, hell yeah I will.”

Mungkin... mereka masih akan bicara nanti, 'kan?