the last baton | 551
flashback
“Aku mau pulang ke Indonesia.”
Vincent tidak pernah secepat itu bergerak tanpa suara. Kedua tangannya yang menangkup wajah Gregory perlahan melonggar. Ia pun menarik wajahnya, menciptakan jarak yang terasa sangat jauh diantara mereka. Rasa bahagia yang sempat memberikan sensasi berbeda dalam dada dan kepalanya, seketika digantikan oleh keheningan. Kesunyian yang membelenggu mereka sangat tidak nyaman, membuat bulu kuduknya lantas meremang.
Menit demi menit berlalu, mereka masih bersidiam. Baik dirinya maupun Gregory tidak mengucapkan sepatah kata pun. Vincent menghela napas berat, lalu memindahkan gigi mobil dengan tangan kirinya menjadi mode parkir. Ia membiarkan mesin mobilnya menyala, merasakan pendingin ruangan mobil berdesir menyapu kulitnya untuk mendinginkan hatinya yang bergemuruh dan hampir terbakar. Vincent menangkap dengan ekor matanya, sosok pria yang sedang duduk termenung disampingnya itu. Pria yang menghabiskan waktu dengannya malam ini. Pria yang adalah kekasihnya itu, hanya terdiam tanpa suara.
Ia merasakan napasnya sendiri tercekat, seperti ada kekuatan lain yang mencekik lehernya, menahan tarikan napas yang membuat dadanya sesak.
Vincent menatap lurus kedepan, ke arah luar mobilnya. Manik hazelnya menangkap gerombolan orang sedang berjalan ke arah kendaraan masing-masing. Seseorang terlihat melangkah gontai, seperti sedang mabuk. Kedua telinganya menangkap suara gerombolan itu begitu ramai dan ceria di luar mobilnya, terdengar tertawa dan bersenda gurau, begitu berbeda dengan suasana dalam mobilnya saat ini.
Ia membiarkan Gregory dan dirinya sendiri tenggelam dalam pikiran masing-masing. Vincent merasa ada seseorang yang sedang mengguyur tubuhnya dengan seember air dingin, seperti ingin menyadarkannya dan membawanya kembali ke realita.
Apa kebahagiaan yang mereka berdua rasakan malam ini hanya halusinasinya semata?
Vincent lalu menghadapkan tubuhnya ke samping, melihat Gregory sedang menunduk. Mungkin pria itu sedang bergumul dengan pikiran dan kekhawatirannya sendiri.
Ia sama sekali tidak tahu sejak kapan kekasihnya itu merencanakan semua ini; tentang niatnya untuk pulang ke Indonesia, yang sedikit membuatnya takut.
Apakah kekasihnya itu benar-benar akan pulang ke tanah kelahiran mereka dan tidak akan kembali ke Paris? Apa alasannya? Apakah pria itu memutuskan untuk kembali ke Indonesia karena hubungan mereka?
“Can you tell me why?” Katanya tiba-tiba lirih, memecah keheningan yang semakin lama semakin membuat rongga dadanya terasa mengecil.
Gregory mengangkat kepalanya, kedua mata bulat yang biasanya memancarkan binar ceria dan mengerling, kini terlihat memerah. Raut wajahnya muram, seperti langit mendung kota Paris malam ini. Pria itu mengangguk, menghela napas panjang kemudian, sebelum akhirnya kedua mata mereka bertemu. “Kamu... ingat surel dariku beberapa waktu lalu, Vin?”
Tentu ia mengingatnya, momen dimana dirinya membaca surel itu setelah pulang dari latihan orkestra yang melelahkan. Saat itu, ia tidak memiliki siapapun. Vincent benar-benar memukul mundur Gregory—bahkan Timothy yang biasanya selalu ada menemaninya saat ia sedang merasa stres karena orkestranya. Dan surel yang dikirim oleh Gregory sukses membuatnya terduduk di depan pintu apartemennya selama dua jam, memandangi layar ponselnya dan membaca isinya berkali-kali.
Surel itu berisi curahan hati Gregory; tentang bagaimana pria itu selama ini belum mampu mencintai dirinya dan tentang bagaimana pria itu merasa sulit untuk bahagia karena dirinya sendiri.
Vincent lantas menyadari, mungkin keinginan pria itu untuk pulang adalah langkah yang akan Gregory lakukan untuk memulai semua hal itu.
Pria itu hendak kembali ke awal.
Ia mengangguk dan menggumam, membiarkan Gregory mengambil waktunya sendiri untuk menjelaskan alasan pria itu padanya. Sungguh, ia tidak merasa marah ataupun kecewa dengan keputusan Gregory. Tidak sama sekali. Ia hanya bingung dengan keahlian kekasihnya menutupi rencana itu sedemikian rupa tanpa memberitahunya. Vincent benar-benar ingin membantunya, bagaimanapun, Gregory adalah kekasihnya, bukan?
Namun perlahan Vincent menyadari, bahwa tidak semua orang ingin dibantu, atau bahkan ditolong oleh orang lain.
“I'm sorry I didn't tell you anything.” Gregory memulai kalimatnya, terdengar seperti putus asa. Pria itu terlihat menggigit kukunya sendiri, kaki kanannya bergetar. Vincent hafal betul dengan gestur itu. Kekasihnya benar-benar gugup. Maka dengan sigap ia meraih tangan Gregory dan menggenggamnya erat. Pria yang lebih mudah darinya itu lantas menatapnya dengan sorot mata yang sendu.
Gregory mengulas senyum, senyum yang dengan luar biasa mampu menghipnotis Vincent saat pertama kali mereka bertemu di Page 35. “I'm sorry, aku hanya tidak mau seseorang menghalangi rencana dan keinginanku, Vin. Walaupun aku tahu, kamu tidak akan melakukannya. Namun, ya, begitulah. Kamu paham akan apa yang aku maksud, 'kan?“
Ia menganggukan kepalanya, lalu tersenyum. Vincent tahu Gregory pasti punya alasan dibalik setiap keputusan dan apapun yang pria itu lakukan. “It's totally okay. I understand where it came from. And I know you had your own reasons. Don't worry, Beau.”
Gregory menghela napas sebelum akhirnya menjelaskan padanya, apa yang sebenarnya ia pikirkan dan rasakan. “I know healing is not easy, and we don't have to forgive them, as in my parents and my past,” ujar pria itu. Vincent mengusapkan ibu jarinya pada punggung tangan Gregory, berusaha mentransfer gelombang cintanya dari gestur yang ia lakukan. Ia tahu kekasihnya itu dapat merasakannya. “But, I really want to meet them. Just, talk, or I don't know. Maybe it's all started with a wrong foot and wrong decisions, or it's all just a misunderstanding. Right?” Tanya pria itu padanya dengan retoris.
Gregory yang dulu belum tentu akan memiliki jalan pikiran yang sama dengan sosok yang ada di hadapannya saat ini. Gregory yang dulu akan cenderung membiarkan emosinya menguasai kepala dan hatinya. Gregory yang dulu akan mendorong semua orang yang mencintainya, untuk pergi meninggalkan dan membiarkannya berjuang sendiri. Gregory yang dulu tidak akan mau ditolong oleh siapapun.
Dan Gregory yang dulu, tidak akan mau menceritakan semua ini pada Vincent.
Kenyataan itu membuatnya lantas tersenyum. Hatinya terenyuh, melihat kekasihnya itu perlahan berubah menjadi orang yang berbeda. Vincent tahu, proses mencintai diri sendiri bukanlah hal yang mudah, kau akan mengorbankan banyak hal. Dan Vincent merasa bangga pada Gregory karena pria itu akhirnya ingin merangkul dirinya sendiri dan berjuang bersama.
“We can't fix everything, I know,” ujar Gregory menyambung lagi. “And I don't want to fix anything, because yeah, tidak semua hal harus diperbaiki. Betul, 'kan, Vin?”
Ia mengangguk, lalu menyandarkan kepalanya pada sandaran jok mobilnya. Manik hazelnya menatap mata Gregory. Keduanya menyorotkan sendu, namun Vincent menangkap sorot 'harapan' dari sepasang mata indah kekasihnya itu.
“Mungkin bahagiaku tertahan di sana, di Indonesia. And I just want a closure, that's all. Maybe take a little break for myself, and maybe, I can find myself again by doing that. Right?”
Gregory masih bisa tersenyum. Kekasihnya itu pandai menyembunyikan perasaannya. Raut bahagia dan ceria selalu menghiasi wajahnya, namun belum tentu Gregory tidak merasa sakit saat menyembunyikan luka dalam dihatinya.
“And maybe, I can live happily after that. And I can't wait to be in that state, to live my life to the fullest. Live happily, and be with you here, in Paris,” kata pria itu final, menghapus air matanya sendiri menggunakan kausnya sambil tertawa kecil.
Vincent pun tidak sadar dirinya sudah menangis. Kedua pipinya basah karena air mata. Ia begitu mencintai Gregory, merasa bahagia karena pria itu akhirnya mau melepaskan pikiran dan semua hal buruk yang mengikatnya selama ini.
“God, baby, come here,” ujar Vincent kemudian, merengkuh tubuh kekasihnya erat. Ia memeluk pria itu dan merasakan tubuhnya pun bergetar. Keduanya menangis dalam pelukan masing-masing. Gregory menyandarkan kepalanya didadanya, sedang dirinya membenamkan wajahnya pada kepala kekasihnya itu. “I am so proud of you, Gregory. You have to know that. Thank you for being strong,” bisiknya ditelinga kekasihnya itu. Gregory terdengar tertawa ditengah tangisnya. “You are so brave. I love you,” kata Vincent berulang kali.
Vincent berjanji dalam hatinya, bahwa dirinya akan selalu mendukung pria itu. Ia akan selalu ada untuk Gregory, kapanpun pria itu membutuhkannya. Jika ini adalah hal yang harus Gregory lewati sehingga akhirnya pria itu mampu mencintai dirinya sendiri, maka Vincent akan selalu mendampinginya sampai kapanpun.
“Thank you, sayang,” kata Gregory, mengucapkan terima kasih padanya. Vincent berulang kali mengangguk, lalu mengecup dahi kekasihnya itu dan merengkuh tubuhnya lebih erat. “I love you too.”
Keduanya berbagi emosi dan tangis bahagia cukup lama, tidak menyadari bahwa hari telah berganti dan lot parkir sudah terlihat kosong. Hanya mereka berdua yang ada di sana, bahkan cruise yang tadi menyala terang kini benar-benar gelap.
Vincent lalu melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Gregory, mendekatkan wajahnya sendiri untuk mencium bibir ranum kekasihnya yang sudah terlihat pucat itu. Dan Gregory dengan senang hati membalas ciumannya dengan tulus.
“So, no more secret from now on?” Vincent meledek Gregory dan terkekeh, lalu menyodorkan beberapa helai tisu ke arahnya sambil melajukan mobilnya. Pria itu memutar kedua bola matanya dan mendengus, mengambil tisu dari tangannya untuk menyeka hidungnya.
“Yeah, Vin, no more secret. I promise.”