the last baton | 451
cw // hurt/comfort , trust issues , overthinking thoughts , self-doubt , implied self-hatred , insecurities , misunderstanding tw // implied anxiety attack
Gregory melirik ke arah jam dinding di kamar Vincent sambil memicingkan matanya. Ia sudah mematikan lampu kamar sejak beberapa jam lalu, digantikan oleh lampu tidur dengan cahaya kuning yang hangat yang terletak pada nakas. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh malam, namun kekasihnya itu belum juga kembali ke apartemen. Vincent hanya memberitahunya tadi pagi bahwa ia akan sibuk hingga larut malam. Gregory tidak menyangka bahwa kekasihnya itu akan melakukan latihan sampai tengah malam seperti ini?
Ia lantas menyandarkan tubuhnya kembali pada sofa, melipat kedua kakinya membuat posisi bersila sambil menghela napas berat. Sekujur tubuhnya terasa ngilu, kepalanya berdentam dan tenggorokannya kering, lantaran harus menyanyi selama empat jam di Caveau de la Huchette dari sore hingga pukul sepuluh malam tadi. Seorang pria yang dikenalnya sejak ia bergabung menjadi kru bar tersebut, Graham, yang adalah solois sama seperti dirinya, mendadak tidak bisa hadir malam ini, membuatnya harus menggantikan posisi pria yang umurnya tidak jauh dari dirinya itu untuk bernyanyi. Beruntung beberapa dari tamu bar hari ini sudah mengenalnya, membuat segalanya terasa lebih mudah.
Namun, bekerja menjadi seorang penyanyi di sebuah bar tentu menuntut Gregory harus selalu ekstra waspada. Ia tidak akan pernah tahu seperti apa tamu yang akan datang pada hari itu, 'kan? Ingatan akan pertemuannya pertama kali dengan Warren Matteo selalu membuatnya merasa was-was. Ketakutannya akan pria itu masih terus membayangi pikirannya, terasa menggerayangi sekujur tubuhnya, membuatnya terkadang tidak fokus saat berada diatas podium saat menghibur para tamu bar.
Setiap kali Gregory berada diatas sana, ia selalu merapalkan doa dalam hati, agar kejadian yang ingin ia lupakan itu tidak akan pernah terulang kembali. Andai saja pria itu hanya ingin berteman dengannya secara wajar, tidak menguntit, bahkan sampai membuatnya tidak nyaman, mungkin Gregory dengan senang hati menjalin hubungan pertemanan dengan pria itu.
Gregory menggelengkan kepalanya. Sial, untuk apa saat ini ia memikirkan pria berengsek yang sudah mengganggu ketenangan hidupnya? Lebih baik waktu luangnya digunakan untuk memikirkan kapan ia akan membereskan barang-barangnya di studio dan mengangkutnya ke gedung apartemen yang baru.
Jujur, Gregory baru saja menyadari bahwa keputusannya untuk tinggal sementara di studio adalah pilihan yang tepat. Toh, ruangan seluas seratus meter persegi itu adalah miliknya sendiri. Ia merasa bodoh, mengapa ide itu tidak pernah terpikirkan olehnya? Jika saja hal itu muncul jauh sebelum ia akhirnya dikejar-kejar layaknya seseorang yang terlilit hutang oleh si empunya gedung apartemen, mungkin ia tidak harus merasa kesusahan dan bingung seperti akhir-akhir ini.
Mungkin ia tidak perlu hidup dalam bayang-bayang pikiran buruk yang akhirnya merugikan dirinya sendiri.
Ruangan kedap suara itu layaknya sebuah “warisan” yang diberikan oleh pamannya, pria yang selalu menolong Gregory sejak dirinya menginjakkan kaki di Paris. Kakak dari ayahnya itu pun yang menyarankan untuk menyewakan studio jika sewaktu-waktu ia benar-benar terdesak dan membutuhkan uang.
Mulanya ia menolak ide itu mentah-mentah, berusaha mengabaikan usul pamannya yang menurutnya tidak perlu dilakukan. Hingga akhirnya pada hari itu, Timothy memberitahunya bahwa ada seorang pria yang juga adalah sahabatnya akan menyewa studio milik Gregory selama tiga bulan untuk bermain saksofon dan biola, mengasah kemampuan pria itu dalam memainkan dua alat musik tersebut.
Gregory lantas mengiyakan tanpa berpikir panjang, berterima kasih pada Tuhan dan pamannya dalam hati karena doanya didengar ditengah-tengah hiruk pikuk hidupnya yang tidak menentu dan berantakan.
Saat itu ia sama sekali tidak menyangka, bahwa pria asing yang akan menyewa studionya itu akan menjadi seseorang yang begitu penting dalam hidupnya. Hadirnya Vincent dalam hidupnya ibarat oasis ditengah padang gurun, ibarat setitik cahaya yang terlihat diujung terowongan yang gelap nan mencekam. Gregory seperti sedang terombang-ambing diatas wahana kora-kora, dan Vincent datang layaknya seorang penyelamat untuk menariknya dari sana, membawanya kembali menginjakkan kedua kakinya di tanah, memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Mengingat pertemuannya dengan Vincent pertama kali di restoran Page 35 malam itu membuatnya meringis, tersenyum sendirian seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah sekantung permen. Gregory lalu menghela napas dan tertawa kecil, menikmati keheningan sambil menghabiskan waktu dengan menenggak birnya.
Vincent mengapa lama sekali, ya?
Sepertinya ia sudah lama melamun, memandang ke arah langit yang berwarna biru gelap yang terlihat jelas dari jendela kamar Vincent yang hanya dilapisi kaca dari atap hingga lantainya. Gregory menopang kepalanya dengan tangan kirinya pada sandaran sofa, sedang tangan kanannya masih menggoyang-goyangkan botol birnya. Ia tidak mendengar langkah kaki seseorang di ruang tamu yang perlahan mendekat ke arah kamar Vincent.
Ia sedang memiringkan kepalanya dengan tatapan kosong, sebelum melonjak kaget saat mendengar suara yang familier menyapanya.
“Bonsoir, Gregory,” sapa Vincent lirih, membutnya lantas menoleh dengan cepat. Kekasihnya itu masih berusaha menyunggingkan senyum walaupun raut wajahnya tidak bisa berbohong. Pria itu terlihat sangat lelah, kacamata bulatnya sudah bertengger pada kemejanya, surai hitamnya terurai berantakan.
Gregory lantas meluruskan kedua kakinya dan berdiri dari duduknya, meletakkan botol birnya kemudian diatas meja. Ia melemparkan senyumnya yang tulus pada Vincent, melangkahkan kaki ke arah pria itu lalu mengulurkan tangan untuk memeluknya. Kekasihnya lantas tertawa kecil, melepaskan tas dan menaruhnya pada sofa lalu menyambut pelukannya. Hangat tubuh pria itu seketika membuat tubuhnya sendiri meleleh, tak sadar sudah melenguh karena terlalu merindukannya. Ia memeluk Vincent dengan erat, menyandarkan kepalanya pada dada pria itu.
Ia merasakan beberapa kecupan mendarat pada puncak kepalanya, membuatnya lantas tersenyum. Vincent menggumam saat ia membalasnya dengan meninggalkan beberapa kecupan pada leher pria itu. “Bonsoir, Vin sayang. Welcome home.”
Aroma keringat bercampur dengan wangi tubuh Vincent yang khas membuatnya seketika mabuk. Ia benar-benar merindukan pria itu. “I missed you, my love. Why are you still awake? Seharusnya kamu tidur saja,” tanya pria itu sambil mengusap belakang kepalanya.
Gregory hanya menggumam sambil menggigit bibir bawahnya. “Tidak, belum ngantuk. So I decided to wait you up. And I have beer, so don't worry, Vin,” jawabnya singkat sambil mengangkat kepalanya, memajukan bibirnya yang kering. Ia melihat gerakan manik hazel pria itu menatap bibir dan kedua matanya bergantian. Vincent lalu menarik napas, memiringkan kepalanya sambil tertawa kecil tanpa mengatakan sepatah katapun.
Pria itu menangkap permintaanya.
Ia merasa bulu kuduk pada tengkuknya meremang kala melihat dengan mata bulatnya, lidah Vincent bergerak dengan pelan, membasahi bibirnya sendiri sebelum mendorong pelan belakang kepalanya untuk mengikis jarak diantara mereka. Kekasihnya itu menggodanya dengan menyapu bibirnya sendiri pada bagian atas bibirnya. Gregory lantas menggeram, mengeluh karena Vincent seperti sengaja membuatnya kesal.
“Vincentius, cepat cium aku,” tuntutnya sedikit kesal sambil memejamkan mata. Pria yang sedang memeluknya itu hanya tertawa lalu mencium bibirnya, membuat dadanya lantas berdegup lebih cepat, memberikan sensasi yang berbeda setiap kali bibir mereka beradu satu sama lain.
Gregory merasakan pahitnya coklat menyambut lidahnya, sepertinya kekasihnya itu baru saja meminum coklat hangat.
Mereka berdiri di tengah ruangan itu, menghabiskan waktu sekitar lima menit untuk menyapa satu sama lain dengan bibir mereka. Napas mereka terengah, membuat ruangan yang semula terasa dingin, kini mulai menghangat dan cenderung panas. Gregory lantas menghentikan kegiatan mereka karena merasakan pegal pada kedua kakinya. Pun ia melihat Vincent sudah sangat lesu. Hari ini sepertinya adalah hari yang panjang untuk pria yang lebih tua dua tahun darinya itu.
Ia akhirnya melepaskan pelukannya dari tubuh Vincent, mengambil kacamata yang terselip pada kemeja kekasihnya itu dan meletakkannya diatas nakas. Ia lalu menarik tangan Vincent yang terasa dingin untuk mengajaknya duduk disofa. Gregory tahu, kekasihnya itu tidak akan mau merebahkan dirinya diatas kasur sebelum ia mengganti pakaiannya dan mandi.
Vincent akhirnya duduk dan menghela napas lega, seperti sudah menantikan kesempatan untuk bersentuhan dengan bantalan sofa yang empuk itu. Melihatnya, Gregory hanya tersenyum lalu mengambil duduk disampingnya, merapatkan tubuhnya dengan Vincent. Ia lalu menyandarkan kepalanya pada dada Vincent dan mengarahkan tangan kanannya untuk menyentuh lengan kekasihnya itu. Ia menghirup aroma tubuh pria itu dengan kuat, membiarkan indra penciumannya disapa oleh sesuatu yang familier untuknya.
Kekasihnya itu lalu memulai pembicaraan diantara mereka; menanyakan tentang kegiatannya seharian ini, pun menanyakan tentang persiapannya untuk pindah ke apartemennya yang baru. Gregory lantas bersemangat, menceritakan harinya panjang lebar tanpa jeda. Vincent sempat menepuk punggungnya pelan saat ia tersedak air liurnya sendiri akibat terlalu cepat berbicara.
Walaupun hari ini ia merasa sangat lelah karena harus menyanyi selama empat jam, namun keinginan untuk membagikan pengalamannya hari ini dengan kekasihnya itu melebihi lelahnya.
Seperti biasa, Vincent mendengarkan ceritanya tanpa memotong saat ia berbicara. Namun pria itu hanya sesekali menanggapi dengan menggumam dan tertawa kecil, tidak antusias seperti biasanya. Gregory lantas mengernyit, apakah kekasihnya itu benar-benar lelah? Ia bersyukur mengurungkan niatnya untuk membicarakan kejadian semalam, saat Thomas dan Joshua memberitahu bahwa mereka berdua akan tinggal bersama dalam waktu dekat.
Beruntung ia tidak membahasnya sekarang. Ia tidak ingin membebani Vincent dengan rasa sedih itu, memilih untuk menyimpannya sendiri.
“Gregory,” kata kekasihnya setelah ia menyudahi ceritanya, sambil menepuk lengannya pelan. “Ada yang ingin aku bicarakan.”
Apa yang akan Vincent bicarakan? Pria itu terdengar seperti akan membicarakan hal yang serius. Seketika Gregory merasa takut, gelombang rasa yang aneh membuat hatinya nyeri dan berdegup kencang. Ia pun merasa perutnya seperti diremas. Maka ia dengan hati-hati menarik tubuhnya, menatap Vincent dengan kedua mata bulatnya. Ia mengatur sorot mata dan raut wajahnya sedemikian rupa, tidak ingin Vincent tahu akan ketakutannya, walaupun ia sendiri belum tahu apa yang akan dibicarakan oleh pria itu. “Sure, ada apa, Vin? Something happened?”
Vincent mengangkat tangannya mendekat, menyentuh pipinya dengan punggung tangannya. Pria itu mengusapnya dengan sayang, namun sungguh, sorot manik hazel itu asing, terlihat seperti dipaksakan.
Apa yang sedang terjadi? “Not really, it's about something I've mentioned earlier.”
Gregory tidak sadar sedang menahan napasnya sejak tadi, maka ia lalu menghembuskan napas lega sambil tersenyum simpul. Ia memegang tangan Vincent yang masih mengusap pelan pipinya. “Oh. Boleh saja. I'm all ears.”
Pria yang duduk dihadapannya itu menarik tangannya sendiri, seketika membuat Gregory terkesiap dan sedikit terkejut. Vincent terlihat memijat batang hidungnya, seperti sedang kebingungan.
“It's about us, Gregory.”
Mendengar kekasihnya berkata demikian lantas membuat hatinya mencelos. Ia merasa ada seseorang sedang menjatuhkan sebongkah batu diatas dadanya, membuat dadanya seketika terasa sesak. Ia seperti sedang berada di tengah laut yang luas, kakinya terikat dengan sesuatu yang berat, perlahan menariknya turun. Ia dengan cepat berusaha mengatur napasnya sendiri sambil memejamkan matanya, berulang kali menarik dan menghembuskan napasnya untuk melawan perasaan aneh yang perlahan menggerogotinya dadanya itu.
Vincent sepertinya sadar akan gerak-geriknya, maka dengan cepat pria itu meraih kedua tangannya dan mengecup telapaknya. Gregory perlahan membuka kedua mata bulatnya, menatap kekasihnya dengan sendu. Ia berusaha mengesampingkan rasa khawatirnya dahulu, memaksakan senyum sambil memiringkan kepalanya.
“Us?” Ia bertanya, namun benar-benar gagal menyembunyikan nada bicaranya yang terdengar takut dan khawatir.
Ada apa sebenarnya? Vincent tidak akan mengakhiri hubungan mereka berdua secara tiba-tiba, 'kan? Memang, sejak semalam mereka berdua sedikit menciptakan jarak dan bersikap kikuk, seperti ada ilalang yang menghalangi dan tumbuh menjulang tinggi diantara mereka. Suasana yang tidak nyaman itu pun kembali muncul saat pagi tadi ia menceritakan keputusannya untuk memilih apartemen dekat dengan bar tempatnya bekerja.
Apakah Gregory telah mengambil keputusan yang salah, yang serta merta membuat hubungannya dan Vincent meregang?
Tidak mungkin. Vincent pasti akan membicarakannya, 'kan?
Tunggu... apakah ini saatnya?
Seketika rasa takut menjalar dengan sangat cepat keseluruh sel tubuhnya, seperti racun mematikan yang berlomba-lomba satu sama lain untuk melemahkan tubuhnya. Apa pria itu sudah lelah dengannya, dengan segala teka-teki yang ia lemparkan begitu saja, mengharuskan pria itu untuk memecahkannya sendiri?
Gregory tidak sadar bahwa air sudah menggenang pada pelupuk matanya. Ia menggeleng, memeluk tubuhnya sendiri, merasakan tubuhnya bergetar. Ia menggigit bibirnya hingga terasa perih, tidak peduli jika sebentar lagi akan lecet.
Ia lalu mengangkat kepalanya, menatap kekasihnya itu dengan pandangan kabur. Gregory membenci dirinya sendiri, ia pasti terlihat sangat menyedihkan. “Vin, what is going on? What did I do wrong?”
Ia melihat sepasang mata Vincent terbelalak, pria itu lalu menggelengkan kepalanya cepat. Sorot manik hazelnya terlihat khawatir. Apakah pria itu benar-benar khawatir, atau hanya perasaannya saja? “No, no. Beau, I just want to talk. Nothing is wrong,” jawab Vincent sambil mengusap puncak kepalanya, menyelipkan surai hitamnya dibelakang telinga.
Gregory bertanya cepat dengan nada ragu. “Nothing is wrong? You sure?” Pria di sampingnya itu mengangguk, menyunggingkan senyum kotaknya sambil menyugar surai hitamnya yang gondrong. Ia lalu menghela napas berat, merasakan beban sedikit terangkat dari dadanya. “Okay. I'm sorry, Vin, it's just... I want to prepare for the worst for everything.”
“Atau sebenarnya kamu selalu memikirkan hal buruk terdahulu, Gregory.”
Kata-kata Vincent barusan seperti menampar keras pipinya. Ia terbelalak, membiarkan air matanya sendiri menetes. Gregory mengencangkan pipinya, dengan susah payah menahan tangisnya walaupun keduanya sudah terasa nyeri. Vincent hanya menghela napas berat sambil menunduk. “I am sorry.”
Mengapa kekasihnya itu meminta maaf? “Tidak apa. Terima kasih sudah jujur, Vin. I appreciate it a lot,” katanya singkat sambil menggumam, sebelum menyambung kalimatnya lagi. “But, do I really?”
“Yeah, baby. No offense though,” kata Vincent hati-hati.
Ia hanya merespon kata-kata kekasihnya itu dengan menggumam sambil menggelengkan kepalanya pelan. Ia merasa kesal bahwa semua yang dikatakan oleh kekasihnya itu benar. Ia hanya menggigit bibirnya, masih memegang erat tangan Vincent yang sedari tadi mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya.
Vincent lalu menyentuh dagunya untuk menatap mata bulatnya. “Gregory, my love. Do you know that overthinking thoughts will always lead to disappointment, yet the thing that you overthink is not even existed in the first place to begin with?”
Ia mengangguk lemah. “I know.”
“Yeah?” Gregory menggumam sebagai jawaban. “And you should know how to stop overanalyzing everything. It's like, you don't trust me, Beau.”
Gregory mengernyitkan dahinya sambil berpikir. Dari mana Vincent tahu akan hal itu? “But I do trust you?” Sanggahannya terdengar seperti kalimat retoris, bukan pertanyaan. Ia terdengar seperti mengelak, berusaha membentengi dirinya sendiri dengan kata-katanya yang terdengar sangat defensif. Well, he's defending himself right now.
“Kalimat kamu barusan itu datang darimana?” Ia bertanya dengan nada tinggi, gelombang emosi seperti berusaha menembus pertahanan hatinya untuk tidak marah. Gregory tahu, ia terdengar seperti orang yang tertangkap basah sedang berbohong. Ia memejamkan matanya, merutuk dalam hati dan menggeram.
“I observe with my eyes and gut, and it shows that sometimes you don't trust me, Gregory.”
Ia terkadang tidak menyukai kemampuan Vincent untuk membacanya isi hatinya, mengetahui pikiran-pikiran buruknya. Namun terlebih lagi, ia enggan menerima fakta bahwa Vincent merasa ia tidak mempercayai pria itu. Justru sebaliknya, ia benar-benar memercayai kekasihnya itu, hanya saja, tidak dengan dirinya sendiri. Gregory merasa takut.
Ia takut jika apapun yang dilakukan dan dipikirkannya akan menyakiti Vincent.
Ia membutuhkan waktu untuk sendiri, memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi jika ia menjelaskan semuanya pada Vincent. Apakah pria yang sedang menatapnya lekat-lekat saat ini akan mengerti? Ia bergidik, bahkan takut dengan jawaban atas pertanyaannya sendiri.
Gregory hendak menarik tangannya, melepaskan genggamannya dengan Vincent, saat pria itu menahannya dan berbisik. “Be vulnerable with me, Beau. I won't judge you. Ever.” Kekasihnya itu mengusap punggung tangannya berulang kali. Mereka bersidiam, tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Gregory hanya mendengar deru napas dan suara detak jantungnya sendiri ditelinganya.
“Do you really trust me?” Tanya Vincent hati-hati, ia hafal betul dengan nada itu. Nada di mana kekasihnya itu merasa ragu, takut jika apapun yang dikatakan akan menyakiti hatinya. Hal itu membuat perut Gregory terasa diremas, membayangkan Vincent yang selalu yakin dengan apapun yang dilakukannya, kini mempertanyakan dirinya sendiri. “It's okay if you still don't.”
Ia seperti mengalami déjà vu, teringat kembali akan kejadian beberapa bulan lalu saat Vincent mempertanyakan hal yang sama; bagaimana pria yang sekarang menjadi kekasihnya itu meyakinkannya bahwa ia benar-benar menyukainya dan mempertanyakan apakah perlakuannya saat itu masih tetap membuat dirinya sendiri ragu.
Gregory tercekat. Apakah ini saat yang tepat untuk membuka luka yang selama ini ia sembunyikan? Ia takut Vincent akan pergi sebelum saat melihat lukanya yang menganga dan tak kunjung sembuh. “I do trust you, yes,” balasnya dengan suara yang bergetar, sambil memajukan tubuhnya dan dengan cepat dan memeluk Vincent.
Ia takut.
Ia dengan kuat meremas kemeja Vincent, membenamkan wajahnya didadanya. Ia merasakan tenggorokannya sakit yang membuat suaranya terdengar parau. Kekasihnya itu sempat terdengar terkejut, namun dengan cepat ia merebahkan tubuhnya disofa, merengkuh tubuh Gregory dalam pelukannya. Ia melanjutkan kalimatnya lagi dengan lirih. “But, Vincent, I don't even trust myself.”
There.
Mengucapkan kata itu membuat hatinya terasa nyeri, kepalanya berdenyut seperti ada yang sedang menahan laju aliran darah menuju otaknya. Gregory hanya dapat memejamkan mata bulatnya, semakin menyembunyikan wajahnya didada Vincent. Napas pria itu sempat tercekat, ia tahu. Namun sepersekian detik kemudian, ia merasakan kepala Vincent bergerak sambil menggumam. Ia hanya ingin menangis saat merasakan dahinya bersentuhan langsung dengan bibir pria itu.
Gregory menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya sendiri sebelum melangkahkan kakinya dari rasa takut yang selama ini membelenggunya, seperti rantai besi yang mengikat kedua kakinya, menghentikannya keinginannya untuk berlari dan pergi jauh.
“I am so afraid, Vin,” mulainya dengan suara bergetar. Ia bisa, ia harus bisa. “Keinginan untuk memberitahu kamu seluruh isi kepalaku berbanding lurus dengan ketakutanku jika kamu tiba-tiba pergi. Once you knew my dark secrets, I'm sure you'd go and leave me alone.
“I am trying to protect you from myself. Kamu akan sakit karena aku, karena semua perlakuanku dan sisi lain diriku. Kamu adalah orang yang sangat baik, terlalu sempurna untuk orang seperti aku. Dan sangat menyakitkan, saat tahu bahwa orang seperti kamu, merasa ragu. It hurts me, so much—,”
“Will you hurt me somehow?” Vincent memotong kalimatnya, seperti sedang menarik pedal rem, mencegahnya untuk mengatakan sesuatu yang akan membuat dirinya sendiri menyesal.
Ia menggeleng kuat, membuat wajahnya bergesekan dengan kemeja Vincent. “I would never, in a million years. As I said earlier, I am trying to protect you, to protect your heart.”
“Then I will be okay,” balas Vincent cepat sambil mengusap belakang kepala dan punggungnya. Pria itu memeluknya sangat erat, seperti tahu bagaimana cara untuk menenangkannya. “Gregory, I trust you. And I had promised that I'd be the last baton of your life. Remember?”
Air mata sebesar biji jagung pun lolos dari pelupuk matanya, turun membasahi pipinya yang hangat dan jatuh membasahi kemeja pria itu. Gregory menghela napas berat, tangannya meremas kemeja kekasihnya yang sudah lecek karena tertimpa tubuhnya. “I love you, so much, Beau. Terima kasih, kamu benar-benar mau terbuka denganku. Terima kasih karena telah memercayaiku.”
Ia lantas memberanikan diri mengangkat kepalanya yang sedikit terasa nyeri untuk menatap Vincent. Pria itu sudah terlebih dulu memandangnya dengan kedua mata yang berair. Vincent menangis. Kekasihnya itu menangis, membuatnya dengan cepat memajukan kepalanya untuk mencium pipi pria itu. “I love you too, Vin. I am so sorry,” bisiknya sambil menatap manik hazel itu lalu tersenyum.
Gregory benar-benar mencintai pria itu, hingga ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan dan mengutarakannya lagi.
Vincent tersenyum lebar sambil terkekeh, membiarkan kedua mata indahnya meluncurkan air mata yang sedari tadi sudah menggenang di sana. Pria itu lalu mengecup dahinya dan kedua mata bulatnya bergantian. “That's okay, baby. We're learning. Di dunia ini tidak ada yang sempurna dan kita belajar bersama untuk menutupi kekurangan satu sama lain. Benar, 'kan?”
Gregory hanya bisa tertawa kecil dengan suaranya yang parau. “Ya, kita belajar.”
“Good. And also, start trying to love yourself,” pinta Vincent sambil jemarinya menyisir surai hitamnya yang menutupi dahinya. Entah mengapa Gregory menyukai gestur yang kekasihnya itu lakukan. “Siapa lagi orang pertama yang akan percaya dan mencintai kamu kalau bukan dirimu sendiri, Gregory?”
Ia hanya menganggukan kepalanya lemah lalu menyandarkan dahinya tepat dibibir Vincent. Posisi mereka saat ini sedikit tidak nyaman, membuat lehernya sedikit nyeri. Kekasihnya pun terdengar meringis, mungkin karena sudah kelelahan ditambah harus menahan beban tubuhnya.
Ia menggigit bibirnya, berpikir bahwa ia harus membeberkan semuanya sekarang. Ini adalah saat yang tepat untuk menumpahkan seluruh isi hatinya, mendorong kembali kotak usang yang bersembunyi dibalik kotak Pandora miliknya. Belum pernah ada seorangpun yang mengetahui letak kotak itu, apalagi isinya. Gregory menyimpannya rapat-rapat, menguncinya dengan sebuah janji, dan menyembunyikannya jauh didasar hatinya.
Dan sekarang, Vincent seakan meyakinkannya bahwa ia bersedia mengetahui semuanya; menawarkan kedua tangannya yang kosong dan mempersilakan Gregory menaruh kotak usang yang berisi seluruh rahasianya diatas tangannya itu.
Ia tahu, segala sesuatu pasti memiliki konsekuensi tersendiri. Gregory harus siap akan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika Vincent mengetahui isi hatinya yang paling dalam. Apakah pria itu akan pergi? Ataukah pria itu masih akan menerimanya apa adanya dan mendampinginya seperti janjinya itu?
“Vin sayang,” katanya memanggil pria itu yang sedang memejamkan matanya, seperti hampir tertidur. Vincent hanya menggumam, masih membelai lembut belakang kepalanya. “Sekarang sepertinya adalah waktu yang tepat untuk kamu membaca isi hatiku.”
Kekasihnya itu dengan cepat membuka matanya, terlihat guratan pada pada dahinya. Vincent terlihat bingung. “Maksud kamu, Gregory?”
“Ya, this is me being an open book and vulnerable with you, and I trust you, so I'm giving you access to see and read what's been on my mind and heart these past few months, Vin. It's all in my box,” jelasnya pada Vincent sambil tersenyum, jari telunjuknya menunjuk dadanya sendiri.
Pria itu hanya memiringkan kepalanya lalu menggeleng, menolaknya dengan halus. “But that's your secret, baby. I don't want to do it. Dengan kamu percaya dan mau berbagi ketakutanmu denganku, itu sudah lebih dari cukup.”
“But I want you to,” katanya sedikit memaksa. Ia tidak bisa membeberkan semuanya secara gamblang dengan bicara dan bercerita. Ia takut jika harus melihat secara langsung reaksi Vincent dengan mata kepalanya sendiri. Gregory tidak sanggup jika harus membuka luka itu dan menceritakannya kembali pada kekasihnya. Lebih baik ia menyerahkan kotak itu pada Vincent dan membiarkannya menyelam sendiri. “Dan mungkin kita berdua dipastikan akan melewati kerikil karena itu? Aku benar-benar menumpahkan apapun di sana; terutama tentang kamu. Aku harap setelah kamu baca, penilaianmu tentang aku tidak akan berubah.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya terdengar suara samar-samar orang yang sedang bercengkrama di luar gedung apartemen. “Apakah kamu yakin?”
Ia mengangguk cepat, tidak ingin berlama-lama memikirkan keputusannya. “Seratus persen yakin.”
“Okay then,” kata Vincent sambil tersenyum sebelum mengecup dahi dan bibirnya. “Whenever you are, my love.”
Gregory hanya berharap, semoga kali ini ia tidak mengambil keputusan yang salah.