the last baton | 574

Gregory benar-benar tidak bisa menyembunyikan senyumnya dan rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Euforia hari ulang tahunnya masih sangat terasa, walaupun setengah hari istimewa ini telah berlalu. Suasana siang ini begitu menyenangkan, membuatnya ingin memperlambat waktu, masih ingin menikmatinya tanpa khawatir hari akan segera berganti. Adrenalin dalam tubuhnya terpompa dengan cepat, layaknya sebuah mobil yang sedang melaju kencang di arena balap. Ia sangat senang dan bahagia memiliki Vincent disisinya saat pagi tadi membuka mata, merasakan cinta yang disalurkan oleh pria itu dengan luar biasa.

Waktu telah menunjukkan pukul setengah satu siang saat ia dan Vincent tiba di Au Pied de Cochon. Cuaca siang ini cerah namun tidak terlalu terik, membuat Gregory mengurungkan niatnya untuk menyesali keputusannya mengenakan turtleneck lengan panjang berwarna putih. Ia sempat dengan terburu-buru mengganti pakaiannya saat melihat Vincent sudah siap dengan pakaian yang begitu rapi, jauh berbeda dari biasanya.

Ia hanya mendengus dan akhirnya tertawa saat mendengar alasan kekasihnya itu berpakaian rapi karena akan pergi makan siang dengannya dihari spesialnya. Gregory lantas menanggapi dengan tertawa kikuk, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya yang terdengar hingga kedua telinganya sendiri.

Gregory berharap dalam hati, semoga kekasihnya itu menyukai restoran yang dipilihnya untuk merayakan ulang tahunnya siang ini. Ia pun sempat berbicara dengan sang manajer restoran via telepon, meminta untuk disediakan meja yang tersembunyi untuknya dan Vincent makan siang hari ini. Ia hanya ingin memiliki privasi dengan kekasihnya itu dan duduk agak jauh dari kerumunan tamu lainnya.

Ia tidak bisa berhenti merasakan bulu kuduk pada sekujur tubuhnya meremang saat melihat raut wajah Vincent yang begitu menikmati waktu makan siang mereka kali ini. Ada rasa bangga dan senang yang timbul dari dalam hatinya, karena ia akhirnya mampu mengajak Vincent pergi ke restoran ini. Ia tidak akan memiliki keberanian untuk melakukan ini beberapa bulan yang lalu. Ia bersyukur, pekerjaannya menjadi seorang solois di salah satu bar ternama di jantung kota Paris membuatnya mampu untuk menyewa sebuah unit apartemen yang layak, memanjakan dirinya sendiri, dan menyisihkan uang untuk tabungan jangka panjang yang selama ini ia miliki.

Suasana siang hari ini terkesan intim; mereka berdua menyantap makanan yang sudah dipesan olehnya beberapa hari lalu via telepon, pun dua botol wine favoritnya dan Vincent. Telinganya pun menangkap musik latin yang mengalun pelan sebagai pelengkap untuk mencairkan suasana.

Keduanya menghabiskan waktu dengan membicarakan banyak hal; termasuk rencana yang akan dilakukan olehnya selama berada di Jakarta. Ia sempat menggoda kekasihnya itu untuk ikut kembali ke Indonesia dan mengunjungi orang tuanya. Namun seketika ia teringat akan jadwal latihan orkestra Vincent untuk konser yang akan digelar dalam tiga bulan mendatang.

Kekasihnya itu menanggapi tawarannya dengan menggeleng, sempat menggumam bahwa ingin ikut kembali ke Indonesia sekedar untuk bernostalgia. Delapan tahun lebih menetap di London dan Paris membuatnya rindu dengan negara kelahirannya itu. Gregory pun sempat membahas kemungkinan dirinya akan lebih lama tinggal di Jakarta, dan akhirnya memberitahu kekasihnya itu bahwa ia belum membeli tiket penerbangan kembali ke Paris.

Gregory mengira Vincent akan bertanya padanya alasan mengapa ia ingin tinggal lebih lama di Jakarta. Namun tidak, pria itu justru mengiyakan dan memintanya untuk mengambil waktu selama yang ia butuhkan. Ia mengulas senyum dan hampir menitikkan air mata saat pria itu berkata padanya sambil menatap kedua matanya lekat. “Take your time as long as you need, Gregory. It's your life. Don't worry about me, prioritize yourself first, okay?”

Ia yakin ia akan berdiri dari duduknya, berlari ke arah Vincent untuk memeluk dan duduk dipangkuannya kalau saja seorang pramusaji yang melayani meja mereka tidak mengantar dessert pesanan mereka. Ia mendengar Vincent tertawa renyah sambil menggelengkan kepala, sedang dirinya hanya mendengus karena harus menahan keinginannya sampai beberapa jam kedepan.

Ia sempat bertanya lagi pada Vincent tentang rencana mereka setelah makan siang hari ini. Tentu saja pria itu hanya menggelengkan kepalanya sambil mencolek dagunya lembut dengan jari telunjuknya. Kekasihnya itu memintanya untuk sabar dan menunggu sampai mereka akhirnya sampai di tempat tujuan.

Gregory mendengus, merasa sedikit kesal sekaligus penasaran dengan rencana Vincent itu. Ia akhirnya menyerah dan pasrah.

Baiklah. Ia akan mencoba untuk bersabar dan menunggu hingga tiba di lokasi tujuan, walaupun dadanya berdegup kencang saat memikirkan kemungkinan bahwa Vincent akan melakukan ide gila lainnya.


“Sayang, you really don't want to tell me?” Gregory merayu Vincent yang sedang terlihat fokus dengan jalanan. Lalu lintas siang menuju sore ini terlihat ramai lancar, membuat perutnya semakin terasa mulas. Semakin lama mereka berada dijalan, semakin terasa ada sesuatu yang meremas perutnya karena gugup.

Vincent benar-benar teguh pada pendiriannya untuk tidak memberitahunya informasi apapun.

No, baby,” kata pria itu sambil meraih tangan kirinya dan mengecup punggung tangannya. “Aku tidak mau kejutanku gagal. Lagipula, kita sudah hampir tiba di tujuan.”

Gregory menghela napas berat, memutuskan untuk menunggu beberapa menit lagi. Toh, tidak ada salahnya ia melatih kesabarannya, 'kan? “Yeah, okay.”

Tak lama kemudian saat Gregory mulai menyadari sekelilingnya, ia termenung, berusaha mengingat daerah yang terasa tak asing untuknya. Ia teringat pernah melewati rute ini saat menemani Timothy dan Maximillian mengunjungi The Champs-Elysées setahun yang lalu.

Laju mobil Vincent melambat saat kekasihnya itu mengarahkan setir untuk memasuki jalur lambat di depan sebuah hotel yang megah. Pria yang berada dibelakang kemudi itu lantas menyalakan lampu sein kanan dan untuk masuk ke area hotel yang terlihat seperti bangunan zaman abad ke-18 itu.

Kedua matanya semakin membulat saat perlahan menyadari dimana mereka berdua berada saat ini.

Shit. Dia tahu tempat ini! Hotel ini...

Ia lantas menoleh dengan cepat ke arah Vincent sambil mengernyitkan dahi. “Vin, for the love of God, jangan bilang kita berdua mau menginap di sini? Please tell me we don't,” tanyanya memohon. Ia mengira, rencana Vincent mengajaknya makan malam diatas cruise yang mengitari sungai Seine adalah hal tergila yang pernah pria itu lakukan.

Ternyata tidak. Gregory salah besar. Ia hanya bisa menggeram saat kekasihnya itu menggumam dan menoleh ke arahnya. “We sure do, Gregory.”

Mobil Vincent akhirnya berhenti di depan lobi hotel itu. Seorang doorman terlihat sigap membuka pintunya, lalu menyapanya ramah dengan aksen Perancis yang kental. “Bonjour, Monsieur. Bienvenue à l'Hotel Shangri-la.”

Tuhan, Vincent benar-benar gila!

Jesus Christ,” responnya lirih sambil menggelengkan kepala. Ia tidak mampu membalas sapaan seorang pria paruh baya yang tengah menatapnya sambil tersenyum itu, menunggunya untuk turun dari mobil. Tubuhnya terkulai lemas pada jok penumpang, seperti tidak ada tenaga yang tersisa lagi. Ia merasa seperti kehabisan oksigen, hanya mampu melirik ke arah Vincent dengan sorot mata yang sayu. “Aku tidak habis pikir dengan idemu.”

“Ayo, kita turun,” balas pria itu sambil tersenyum lebar, menunjukkan sederet giginya yang putih. Gregory hanya dapat menghela napas kasar lalu melangkah keluar dari mobil itu.

Apalah menyewa cruise dan helikopter pribadi dibandingkan dengan membawanya untuk menginap di hotel yang sempat dimiliki oleh keluarga Bonaparte zaman dahulu itu?! Ya, Gregory mengetahui informasi itu dari Maximillian. Kekasih sahabatnya itu sempat sekilas menjelaskan padanya saat sedang melewati bangunan megah ini.

Dan Gregory teringat akan mimpinya untuk sekali saja memiliki kesempatan untuk menginap di hotel ini dengan pemandangan Menara Eiffel yang begitu dekat dengan balkon kamarnya.

Ia bergidik ngeri. Seberapa dalam Vincent merogoh koceknya hanya untuk menginap di salah satu kamar hotel ini? Bagaimana pria itu bisa mengetahui keinginannya yang bahkan tidak diketahui oleh siapapun...

Apa Vincent sempat membaca pikirannya?

Seketika lamunannya buyar saat Vincent menyentuh lengannya, membuatnya refleks menutup mulutnya yang sedang menganga. Ia lalu membalikkan tubuhnya, melihat seorang pria yang mungkin umurnya tidak jauh dari mereka sedang berdiri disamping Vincent sambil menyapanya dan menundukkan kepala.

“Sayang, this is my friend's assistant. Namanya Mathias,” ujar Vincent sambil memperkenalkannya dengan pria itu.

Pria itu menyunggingkan senyum lebar. “Bonjour, welcome to Shangri-la, Pak Gregory,” sapa pria itu ramah dengan aksen kental yang membuatnya semakin merindukan kota kelahirannya. “Saya Mathias, yang akan melayani Pak Vincent dan Pak Gregory selama menginap di sini.”

Gregory tersenyum. “Ah, iya, salam kenal, Pak. Terima kasih sebelumnya.”

“Panggil saya dengan nama saja, Pak Gregory. Saya dan Anda usianya tidak begitu jauh.” Mathias memang terlihat masih muda, mungkin seusia dengan Vincent. Ia hanya ber-oh-ria sambil mengangguk tanda mengerti. “Oh, ya, Pak Henry menyampaikan kalau Bapak hari ini sedang berulang tahun? Selamat ulang tahun ya, Pak,” ujarnya sopan sambil mengulurkan tangan, yang dengan sigap dijabat oleh Gregory. “Semoga Bapak senantiasa sukses dan sehat.”

Henry? Siapakah itu? Ia baru sekali ini mendengar nama yang begitu asing untuknya.

“Amin,” balas Gregory sambil tersenyum. “Terima kasih banyak ucapannya, Mathias.”

Pria itu lalu mengajaknya dan Vincent untuk masuk kedalam hotel, membuatnya lantas melangkahkan kaki dan berdiri bersisian dengan kekasihnya. Ia mengaitkan jemari tangannya dengan Vincent tanpa melihat, sambil memutar kedua bola matanya saat kekasihnya itu hanya terkekeh lalu mendekatkan wajahnya untuk mengecup bibirnya.

I ask my good friend, Henry, to use the privilege, okay?” Vincent berbisik ditengah ciuman mereka, membuat bulu kuduknya meremang. Pria itu seperti tahu isi pikirannya yang berkecamuk yang sedang berusaha memproses semua kejutan ini.

Gregory bukan tidak bersyukur akan semua hal yang Vincent berikan padanya, bukan sama sekali. Ia hanya tidak habis pikir dengan ide Vincent yang, sekali lagi, sangat gila itu. “I will explain it to you later, sayang. Kalau sudah di suite. Ya?”

Suite, katanya?!

Apakah hotel ini memperbolehkan adanya sedikit kekerasan terjadi? Karena ia benar-benar ingin memukul lengan Vincent cukup keras saat ini, tidak peduli ia sedang berada di lobi yang terdapat beberapa kamera pengawas disetiap sudut koridor itu.

Ia berdecak, sungguh tidak tahu apa yang harus ia katakan pada kekasihnya itu. “Ya, oke. Aku sudah kehabisan kata-kata untuk berkomentar, Vin.”

Vincent menarik wajahnya lalu menempelkan kedua dahi mereka. Ia dapat merasakan hangat napas kekasihnya menyapu wajah dan bibirnya. “Are you happy?”

Gregory mendengus sambil tersenyum. Vincent dengan perhatiannya, membuatnya terkadang mabuk dan hilang arah. Pria itu benar-benar menyuntikkan cintanya kedalam sel-sel tubuhnya hingga ia hilang akal.

“Sebenarnya aku ingin marah,” balasnya cepat, membuat Vincent terdengar meringis. Ia lantas menggigit bibirnya, tidak tahu apa yang harus ia katakan pada pria itu bahwa dibalik rasa kesalnya, terdapat perasaan bahagia yang mendalam, membuat hatinya terasa nyeri. “Tapi aku lebih merasa bahagia dibandingkan ingin marah. So yeah, I am happy. Very. But I still need an explanation, okay?”

Vincent mengangguk, lalu menarik wajahnya dan mengacungkan ibu jarinya, sebelum Mathias memanggil kekasihnya untuk mendekat ke bagian concierge dan mengurus beberapa administrasi wajib saat check-in.

Gregory melepas genggaman tangannya dan Vincent, memilih menggunakan waktunya untuk mengagumi keindahan area lantai dasar hotel yang begitu megah dan terlihat mewah itu. Saat dirinya memasuki area itu beberapa saat lalu, ia disambut oleh lorong dengan nuansa kerajaan, benar-benar terasa seperti sedang masuk ke dalam sebuah istana.

Di sisi kanannya terdapat ruang santai yang terlihat kosong, ia hanya memperhatikan sekilas ruangan yang menyediakan beberapa sofa dan meja antik untuk tamu hotel. Sedangkan di sisi kirinya adalah ruang resepsionis yang terlihat sepi, hanya ada seorang pria yang sedang duduk dibalik meja sedang mengerjakan sesuatu. Gregory tidak masuk ke sana, lebih memilih untuk mengeksplorasi setiap sudut hotel yang membuat mata bulatnya berbinar. Semua ini begitu asing untuknya. Ia tidak tahu sudah berapa lama kedua matanya mencoba menangkap dan merekam apapun yang dilihatnya, dengan mulut yang sedikit menganga karena terlalu terpukau.

Ia lalu mendongak dan melihat ke arah langit-langit, terdapat lampu gantung yang begitu cantik dengan cahaya berwarna kuning. Pada sisi kanan dan kiri dinding lorong itu tergantung sebuah kaca besar yang disampingnya berdiri lampu hias dan beberapa vas bunga kecil untuk mempercantik bagian itu. Gregory melangkahkan kakinya lagi, melirik ke arah kanan, melihat Vincent dan Mathias masih mengobrol dengan petugas hotel di bagian Concierge. Ia mengedikkan bahu, mungkin keduanya masih membutuhkan waktu agak lama untuk mengurus beberapa hal sebelum akhirnya berpindah ke kamar hotel. Ia lalu melihat tak jauh darinya, ada sebuah meja bulat di tengah ruangan yang dihiasi beberapa macam vas berisi bunga diatasnya.

Saat Gregory sampai di sana, ia melihat ke arah kiri, ada sebuah tangga yang begitu besar menyambutnya, membuatnya semakin merasa seperti sedang berada di istana. Ukir-ukiran pada pagar yang terlihat sangat khas Perancis membuat ruangan itu terlihat lebih cantik.

Ia menggelengkan kepalanya sambil membatin. Di mana kah ini? Ia seperti tidak sedang berada di dalam hotel di Paris, melainkan di istana Versailles, istana yang menjadi saksi bisu awal perjalanan cintanya dengan Vincent. Ia tidak mampu menahan senyumnya, kedua pipinya terasa hangat. Entah sudah berapa kali ia merapalkan dalam hatinya, bahwa ia sangat bahagia hari ini. Benar-benar hari yang sangat luar biasa untuknya.

Samar-samar ia mendengar langkah kaki beberapa orang semakin dekat ke arah tempatnya berdiri. Maka ia menoleh dan bertemu mata dengan Vincent yang sudah melepas jaket berwarna coklat susu yang sempat dikenakan. Pria itu lalu berjalan mendekat lalu merengkuh tubuhnya, melingkarkan tangan pada pinggangnya.

Tangan Vincent terasa sangat pas, seperti diciptakan oleh Tuhan untuk diletakkan disana.

Mathias menjulurkan tangannya dan menunjuk ke arah ruangan yang sedari tadi menyita perhatiannya. “Di sana itu salon, Pak Gregory,” jelas pria itu sambil mengulas senyum padanya. “Mungkin besok Anda ingin coba. Pak Henry kebetulan punya akses penuh di hotel ini. Dan saya siap membantu Bapak dan juga Pak Vincent jika membutuhkan apapun. Saya akan standby dua puluh empat jam.”

Ia mendengar kekasihnya tertawa dan mengucapkan terima kasih pada orang kepercayaan Henry itu. “Thank you, Mathias.”

Pria itu hanya mengangguk lalu meminta mereka berdua untuk mengikutinya. “Dengan senang hati. Mari, Pak, saya antar ke suitenya.”


Gregory benar-benar merasa gugup, tidak tahu kamar hotel tipe apa yang dipesan Vincent untuk mereka berdua. Selama mereka berdua berada didalam lift bersama dengan Mathias, keheningan menyelimuti mereka. Ia bahkan mampu mendengar napas Vincent, sesekali ia dan kekasihnya itu pun beradu tatap lewat kaca lift.

Mungkin jika Mathias tidak berada di sana dengan mereka, Gregory akan menggunakan kesempatan yang ada untuk mencium Vincent sampai mereka kehabisan napas. Lagi, tidak peduli dengan kamera pengawas yang terarah ketitik tempatnya berdiri.

Ia sungguh bahagia hari ini, seperti sedang dibawa hingga kelangit ketujuh. Napasnya seperti tercekat dan berat, tidak sabar untuk segera menikmati keindahan seluruh kota Paris dan Menara Eiffel dari kamar hotel dengan bebas. Ia sempat melihat Mathias memencet tombol lantai teratas bangunan itu, yang menandakan bahwa Vincent memesan kamar hotel yang tidak biasa.

Tak lama setelahnya, suara lift berdenting memecah keheningan, tanda mereka sudah sampai di lantai tertinggi gedung hotel itu. Ia lantas menoleh ke arah Vincent lalu mendaratkan tiga kecupan pada pipi pria itu. Kekasihnya sedikit terkejut, hanya mampu mengulas senyum sambil membalas ciumannya tepat dibibirnya.

“Sayang, terima kasih,” kata Gregory sambil tersenyum lebar. Sungguh pipinya sudah terasa nyeri karena tersenyum hari ini. Namun ia tidak peduli. “Sungguh, terima kasih. Aku mencintaimu.”

Vincent memiringkan kepalanya dan menatapnya dengan sorot mata yang sendu. “My pleasure, Gregory. Shall we?”

Ia menggumam, lalu melangkah keluar dari lift terlebih dahulu sambil menggandeng tangan Vincent erat.

Mathias membawa mereka menyusuri lorong yang panjang. Ia tidak mendapati adanya pintu kamar lain sama sekali, menandakan bahwa pada lantai itu, hanya terdapat satu kamar hotel. Dan sungguh, letak pintu kamar itu cukup jauh dari area tempat lift berada. Gregory mengernyit, memikirkan seberapa luas suite yang akan ditempati mereka itu.

Gregory mendengar Vincent menyenandungkan salah satu lagu yang akan dibawakan saat ia menggelar konser orkestranya beberapa bulan lagi. Ia lalu menoleh ke arah kekasihnya itu sambil mempererat genggaman tangannya, membuat pria itu lantas menatap matanya dan tersenyum lebar.

Mereka akhirnya sampai di depan pintu kamar hotel itu. Ia dan Vincent lalu menghela napas panjang hampir bersamaan, seperti membuang segala rasa gugup yang telah lama bercokol dalam dada mereka.

Ia memejamkan mata, lalu mendengar pegangan pintu kamar itu mengeluarkan suara, tanda kunci akses yang ditempelkan oleh Mathias sudah berfungsi untuk membuka kunci pintu kamar itu. Pria itu lalu membuka pintu itu, bersamaan dengan kedua matanya yang terbuka.

Dan... kedua lutut Gregory terasa lemas.

Langkahnya terasa sangat berat, seperti ada seseorang yang sedang menahan kakinya untuk melangkah.

Vincent terdengar ber-oh-ria dibelakangnya, namun Gregory tidak menoleh ke arah pria itu barang sedikitpun. Ia sungguh terpaku dengan pemandangan yang menyambut matanya. Ia melihat hamparan langit biru cerah menyapanya, berikut bangunan-bangunan di jantung kota Paris. Gregory dapat melihat dengan jelas bangunan Notre Dame, Sacre Coeur Basilica, Arc de Triomphe, Museum Louvre, dan Menara Eiffel dari tempatnya berdiri. Ia sudah tidak peduli dengan suara Mathias yang memanggilnya. Ia sekilas hanya mengucapkan terima kasih pada pria itu asal, lalu melangkahkan kaki mendekat ke arah balkon kamar itu. Ia mendengar Vincent tertawa dan meminta maaf pada pria itu karena sikapnya barusan.

Gregory mencoba menggeser pintu kaca yang tertutup, sesaat merasakan kencangnya angin kota Paris yang menerpa rambut dan tubuhnya. Ia menyadari surai hitamnya berantakan, namun ia sungguh tidak peduli. Ia lalu bersandar pada pembatas balkon dan mengedarkan pandangannya yang tidak berujung sambil menghirup udara sore ini dengan kuat-kuat.

Sungguh, ia sama sekali tidak tahu apa yang ingin ia lakukan terlebih dahulu; apakah ia ingin berteriak, tertawa, atau menangis?

Demi Tuhan, ia tidak pernah menyangka akan menginjakkan kaki di tempat ini sampai kapanpun.

Ia mendengar langkah kaki Vincent bersamaan dengan kayu yang bergesekan dengan alas sepatu pria itu, membuatnya lantas membalikkan tubuhnya.

My love,” sapa pria itu lirih. Ia merasakan kedua tangan Vincent pada pinggangnya memeluknya erat. Kekasihnya itu menaruh dagunya pada bahunya, membuatnya mampu merasakan hembusan napas Vincent yang begitu hangat. Pria itu lalu mengecup lehernya, membuatnya melenguh lalu tertawa renyah saat ia mendengar pria itu berkata dengan lirih. “Do you like it?”

Gregory mengangguk kuat, merasakan deru napasnya semakin cepat bersamaan dengan air matanya yang mengalir lolos dari pelupuk matanya. “I love it. I love you, so much, Vin. Thank you.”

Vincent hanya tertawa sambil memeluk tubuhnya lebih erat dan mencium bibirnya lalu berbisik lirih. “Aku mencintaimu, Gregory. Selamat ulang tahun.”