the last baton | 564
cw // slightly mentioned drinking and tipsy
part 1
31st August 2021
Setelah Vincent merasa yakin persiapan untuk kejutan ulang tahun Gregory sudah matang, ia lantas mengendarai mobilnya untuk menjemput kekasihnya itu. Seharian ini, dirinya benar-benar disibukkan dengan mengelilingi kota Paris. Ia pergi untuk mencari beberapa botol wine terbaik, lalu bertolak ke salah satu toko untuk mencari balon angka, bahkan memasukkan beberapa bungkus konfeti kedalam keranjang belanjaannya—ide Timothy, tentunya—agar kejutan terasa lebih meriah, katanya. Ia pun sudah memilih beberapa keping piringan hitam koleksi miliknya untuk mengiringi surprise malam ini. Sebastian dan Tobias pun rela pulang lebih cepat untuk membantunya mempersiapkan surprise yang sukses membuat keduanya heran. Vincent tidak akan bisa melupakan ekspresi mereka saat dirinya menjelaskan rencananya.
Jika boleh jujur, ia merasa sangat gugup. Ini adalah pertama kalinya Vincent meluangkan waktunya untuk memikirkan hal-hal yang selama ini tidak pernah disangka akan menjadi prioritas utamanya. Dan semua ini ia lakukan untuk Gregory, sosok pria yang resmi menjadi kekasihnya sejak enam bulan yang lalu. Pria yang memberi warna dihidupnya, pria yang menyentuh hatinya dengan lembut, namun sukses memorak-porandakan hidupnya yang monoton.
Belum ada seorang pun yang berhasil membuatnya benar-benar jatuh cinta dan rela melakukan apapun seperti ini. Beberapa orang mencoba mendekatinya sejak ia menginjakkan kaki di Benua Eropa ini beberapa tahun silam, namun tidak ada yang berani “menerjangnya” bak angin puting beliung seperti Gregory.
Hanya pria itu yang mampu melakukannya.
Perjalanannya menuju Rue de la Huchette hanya ditempuh dalam waktu sepuluh menit. Lalu lintas cenderung ramai lancar, sehingga Vincent dapat tiba di tempat tujuan lebih cepat dari perkiraan. Ia lantas melirik jam tangannya yang telah menunjukkan waktu tepat pukul sebelas malam. Gregory memberitahunya bahwa ia membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk mandi dan bersiap sebelum akhirnya mereka bertemu di ujung jalan dekat gedung apartemen Gregory berada.
Vincent sedang bertukar pesan dengan Timothy yang memberitahunya bahwa ia dan Maximillian sudah sampai di apartemennya, saat dirinya mendengar ketukan pada kaca mobilnya. Ia lantas mendongak, melihat Gregory sudah melambaikan tangan dari sisi kanan mobilnya.
Ia lalu memencet tombol kunci dan memberi isyarat pada kekasihnya itu untuk masuk.
Gregory lalu membuka pintu dan melangkah masuk kedalam mobilnya. Seketika aroma sabun mandi bercampur dengan parfum favorit pria itu menguar, menyapa indra penciumannya dan memenuhi seisi mobilnya. Vincent mengulas senyum, ingin segera merengkuh pria yang sebentar lagi akan bertambah usia itu.
“Hei,” sapa Gregory riang, sambil menaruh koper kecil berwarna hitam pada jok belakang mobilnya. Pria itu lalu menggenggam dagunya dengan tangannya untuk mengecup pipi kanannya pelan. “Thank you for picking me up, Vin.”
Vincent menggumam sambil menghadapkan tubuhnya ke samping, menangkup wajah pria itu dengan kedua tangannya dan mencium bibir kenyalnya yang terasa dingin. “My pleasure, Beau.” Ia tersenyum, merasakan dadanya berdegup kencang karena gugup. Apakah kekasihnya itu mampu mendengar detak jantungnya yang bahkan terdengar sampai telinganya sendiri? “Barang-barangmu hanya ini, Gregory?”
Pria itu mengangguk, lalu menarik sabuk pengaman dan mengenakannya sambil menghela napas. Gregory terlihat memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya pada sandaran jok. Sepertinya kekasihnya cukup lelah karena harus menyanyi malam ini. Ia sempat memberitahunya bahwa Alex, sang pemilik bar, menghubunginya secara mendadak. Beruntung Gregory tidak harus menyanyi sampai malam hari.
Vincent tidak ingin rencananya berakhir gagal.
“Ya. Semuanya sudah masuk dalam koper itu, kok. Anyway, kita jadi pergi malam ini, atau besok?”
Ia hanya merespon pertanyaan pria yang duduk di sampingnya itu dengan tertawa kecil, lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju apartemennya. “Aku harus mengambil barangku di apartemen. Lalu, kalau kamu mau istirahat dulu, tidak apa. Kita bisa pergi besok pagi, sebelum makan siang ke tempat yang kamu rencanakan, Gregory. Bagaimana?”
Malam ini, Vincent berencana untuk mengajak pria itu kembali ke apartemennya lebih dulu, dengan alasan ia harus mengambil barang bawaannya sebelum mereka pergi. Sesaat Vincent meringis, apakah Gregory akan menyukai kejutannya yang menurut Timothy, sangat tidak normal itu?
“Oh, masih di sekitar Paris. Oke, sayang,” respon Gregory ber-oh-ria. “Terserah kamu saja. I'm fine with both.” Gregory menyambung kalimatnya, sejenak terlihat melirik kearah ponselnya lalu menaruh benda itu dipangkuannya. “But where are we going, exactly?”
Bagi Vincent, menyembunyikan sesuatu dari Gregory merupakan hal yang cukup sulit. Karena, ya, pada dasarnya ia tidak pandai berbohong.
“Rahasia, Beau. It's a surprise for your birthday.”
Gregory menghela napas berat, menyerah untuk mencari tahu. “Alright then,” katanya sambil memutar kedua bola matanya malas. “I thought you somehow rented a private helicopter or something. Or maybe a whole cruise, or maybe another grandiose things like that...”
Mendengar kekasihnya berkata demikian, ia sontak terdiam. Vincent tidak berani menatap Gregory yang tengah berbicara panjang lebar, menyebutkan beberapa hal yang mungkin sedang terlintas dalam benaknya. Telinganya mendadak tidak mendengarkan apapun, seperti ada seseorang yang sedang menutup keduanya dengan segumpal kapas.
Seketika kepalanya memutar kembali memori beberapa bulan lalu saat ia memberikan sebuah gitar klasik berwarna hitam untuk Gregory, yang sayangnya, berakhir tidak sesuai dengan harapannya.
Vincent menggelengkan kepalanya pelan. Semua itu tidak akan terulang kembali, kan? Hubungannya dengan Gregory sudah membaik, pun mereka berdua sudah mengenal dan memahami satu sama lain. Ia hanya ingin mengajak Gregory ke tempat yang pria itu impikan. Selagi ia mampu membawa kekasihnya menginap di salah satu hotel terbaik di Paris, yang kebetulan sangat dekat dengan Menara Eiffel, mengapa tidak?
Sepasang manik hazelnya menatap lurus kedepan, alih-alih menyembunyikan rasa gugup yang bercokol didadanya. Ia belum sempat menjawab pertanyaan Gregory, saat dirinya menangkap dengan ekor matanya, pria yang disampingnya itu terlihat membelalakkan mata dengan mulut yang menganga.
“Vincentius?!” Gregory berseru, memukul lengannya pelan. You did not!” Pria itu terdengar sedikit mengamuk, walaupun Vincent tak kunjung menangkap tanda-tanda bahwa kekasihnya itu akan marah. Ia meringis, menggunakan tangannya yang satu untuk mengusap lengannya. “Are you fucking kidding me? Sayang, I told you not to spend too much money, didn't I?”
Vincent menghela napas panjang. “Yes, you told me already, so many times actually,” jawabnya santai sambil mencoba tersenyum. Ia menolehkan kepalanya ke arah Gregory, pria itu terlihat memajukan bibirnya kesal, pipi dan telinganya pun memerah, membuatnya lantas terkekeh. “But I didn't do any of that, baby,” rayu Vincent.
Gregory menjulurkan lidahnya sambil mengacungkan jari telunjuknya kedepan wajahnya. “Mon Dieu, I love you, but I don't believe you, Vin.”
Ia lantas tertawa sambil menggeleng lalu meraih tangan Gregory dan menggenggamnya erat. “That's okay, Beau. I know it's going to be worth it. Anggap saja ini sekaligus hadiah dariku sebelum kamu pulang ke Indonesia. Ya?”
Pria yang disampingnya itu hanya menggumam sambil menunduk, memfokuskan mata bulatnya pada sepatu boots yang dikenakannya malam ini. Gregory seperti sedang memikirkan sesuatu. Vincent bisa mendengar mesin dalam kepalanya bekerja.
Ia berharap dalam hatinya, semoga kekasihnya itu tidak memikirkan hal macam-macam. Ini semua Vincent lakukan murni karena keinginannya sendiri, tidak ada paksaan atau dorongan dari siapapun. Karena sejujurnya, Vincent hanya ingin membantu pria itu mewujudkan satu dari sekian banyak keinginan.
“I love you, Gregory. And it's your special day, let me spoil you, okay? I never treated anyone in my life like this before, except my friends. Ya walaupun kalau dengan teman pasti berbeda dengan kamu. And I have huge savings, so don't worry,” jelasnya pada pria yang terlihat tengah menatap ke arahnya dan perlahan mengulas senyum tipis.
Vincent dapat mendengar Gregory mendengus sambil membalas genggaman tangannya dan mengaitkan jemari mereka. “Fine, tapi aku juga berhak untuk spoil kamu someday, oke? Sekedar mengajak kamu liburan ke London, mungkin menghadiahi kamu gramofon atau saksofon baru,” balas pria itu lirih. Vincent pun mengangguk tanda setuju, sambil menggunakan ibu jarinya untuk mengusap punggung tangan pria itu.
Namun ia refleks menginjak pedal rem saat mendengar Gregory menyambung lagi, dengan suara yang hampir tidak terdengar. Ia beruntung memiliki pendengaran yang tajam. “I just don't want anyone to assume that I am your sugar baby or something, you know.”
Apa?!
“What?” Vincent lantas memperlambat laju mobilnya, tidak menyadari sejak kapan dan dari mana lalu lintas menjadi agak padat saat ini. Ia heran, hal apa yang menyebabkan Gregory berpikir demikian? Apakah ada seseorang yang pernah bertanya pada kekasihnya itu? Atau... sebenarnya selama ini kekasihnya itu merasa tidak nyaman dengan apa yang ia lakukan dan berikan?
Seketika dadanya terasa seperti tersambar petir, pun ada kilat dan suara gemuruh yang memenuhi kepalanya. Vincent merasa kesal, tidak menyadari tangan kirinya sudah mencengkeram setir kemudi hingga buku jarinya hampir memutih. “Does anyone ever ask you? I swear to God, Gregory, I'll be mad if you didn't tell me,” tanyanya dengan nada yang terdengar ketus.
Pria itu sepertinya menyadari gestur tubuh dan emosinya yang seketika membuat suasana didalam mobil berubah. Tak lama kemudian, Vincent merasakan pipi dan lehernya disapa oleh bibir yang basah dan lembab, seketika melunturkan emosinya. Gregory tengah mendaratkan beberapa kecupan pada kulitnya.
“Hey,” ujar pria itu terdengar santai. “No one, Vin. No one.” Gregory berkata, mencoba meyakinkannya sambil mengusap lengannya dan mengecup rahangnya. “But, just in case, okay? Aku tahu niatmu itu sama sekali tidak mengarah ke sana.”
Vincent lantas memejamkan matanya sambil mengatur napasnya. Ia tidak pernah bermaksud seperti itu, tidak sama sekali. Mungkin inilah yang sebenarnya membuatnya terkadang merasa serba salah. Gregory selalu menikmati hidupnya yang serba cukup dan tidak berlebihan. Berbeda jauh dengan dirinya yang seakan jarang sekali merasa terbebani.
Ia menyesal telah membuat kekasihnya itu merasa tidak nyaman.
Sekarang Vincent akhirnya memahami bahwa tidak semua hal dalam hubungan perlu ditunjukkan dengan sesuatu yang berlebihan. Sungguh, ia tidak pernah merasa keberatan melakukannya. Ia justru sangat menyukainya. Namun jika Gregory merasa tidak nyaman, maka ia harus menyesuaikannya, dengan menurunkan egonya agar mereka berdua menjadi seimbang. Dan ia tidak pernah menuntut balasan apapun dari kekasihnya itu. Dengan Gregory menyunggingkan senyum saja, hal itu sudah lebih dari cukup.
“No, you are not,” katanya merespon pernyataan pria itu dengan nada tegas. Ia tidak mau ada kesalahpahaman terjadi diantara mereka. Ia ingin melangkah bersama dan bersisian dengan Gregory, tanpa ada salah satu diantara mereka yang merasa timpang atau bahkan “kecil”. “I'll tone down everything if you're uncomfortable, okay, Beau?”
Gregory mencium bibirnya cepat. “Yes, please? I appreciate that, sayang,” katanya sambil tersenyum lalu menarik wajahnya dan menatap manik hazelnya dengan mata bulatnya. “Thank you.”
Ia tersenyum dan mencatat permintaan pria itu baik-baik dalam kepalanya. “Of course, whatever makes you happy and comfortable,” katanya sambil mengembalikan fokusnya pada jalanan.
Namun Vincent mendadak tercekat, saat ia menyadari sesuatu. Ia lantas menoleh dan menarik tangan Gregory lagi. Pria itu terlihat bingung dan mengernyitkan dahi. Ia menelan ludahnya.
“But, I really should apologize in advance, though,” katanya meminta maaf pada kekasihnya itu. “Because the surprises that I've prepared for you are quite equal to those you've mentioned earlier, Gregory.”
Pria yang disampingnya itu seketika terdengar menggeram dan memukul lengannya, kali ini lebih keras. “Vincent!”
Gregory melirik ke arah jam digital pada dasbor mobil Vincent dan menyadari bahwa sebentar lagi usianya akan bertambah satu tahun. Tahun lalu, ia menghabiskan waktu di bar dengan teman-teman klubnya, meminum alkohol hingga kepalanya pusing dan benar-benar mabuk. Ia selalu melakukan ritual itu setiap tahun untuk “merayakan” hari ulang tahunnya. Timothy dan Warren pun selalu gagal membujuknya untuk pulang dari bar dan kembali ke apartemennya. Dan mereka berdua tidak mengatakan apapun saat menjumpai dirinya seperti orang yang sangat berantakan keesokan harinya.
Namun tahun ini, semuanya berubah. Sejak ia bertemu dengan Vincent dan akhirnya menjalin hubungan dengan pria itu, ia seperti sedang menaiki wahana komidi putar dan Vincent berperan sebagai operatornya. Kekasihnya itu tak pernah berhenti memastikan bahwa ia akan selalu berada di udara dan tidak pernah diizinkan untuk turun kebawah. Pria itu selalu menghujaninya dengan rasa cinta yang luar biasa melimpah, membuatnya terkadang mabuk karenanya.
Mengenal Vincent membuatnya menyadari bahwa tidak ada salahnya hidup bahagia dan berada “di atas”. Selama ini ia terlena dengan hidupnya yang biasa saja, tanpa gairah dan tantangan. Seringkali ia bermimpi untuk memanjat ke atas, tapi tidak pernah melakukan usaha apapun untuk berada di sana. Gregory terjebak dalam zona nyamannya sendiri yang selama ini mengikat tubuhnya.
Lamunannya buyar saat mendengar Vincent menghela napas kasar. Ia lantas menoleh, melihat kekasihnya begitu sibuk dengan ponselnya. Dahi pria itu mengernyit dan tubuhnya terlihat tegang. Gregory refleks merasakan hal yang sama.
Apa yang sedang pria itu pikirkan?
“Vin? Ayo turun?” Ia bertanya pelan sambil menyentuh lengan pria itu dengan jari telunjuknya.
Kekasihnya itu terperanjat, mendongak lalu menoleh ke arahnya. Gregory tersenyum kikuk saat melihat Vincent menyunggingkan senyum yang seperti dipaksakan. Raut wajahnya berbeda, pria itu pun terlihat menggigit bibir bawahnya terlalu dalam.
“Yuk,” balas Vincent cepat. Pria itu mematikan mesin mobil, melepas sabuk pengaman yang dikenakannya dan memasukkan ponselnya kedalam saku celananya asal. Vincent pun keluar dari mobil dengan tergesa-gesa, membuat kakinya tersangkut sandalnya sendiri.
Gregory hanya menggelengkan kepalanya heran, melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil itu. Ia lalu membuka pintu mobil bagian belakang untuk mengambil kopernya. Ia sungguh tidak tahu akan rencana Vincent, namun menyadari bahwa sepertinya kekasihnya itu akan membawanya ke salah satu tempat yang mungkin akan membuat tabungannya berlubang dan menjerit, ia lantas merenungkan pilihan restoran yang sudah dipilihnya untuk mereka berdua.
Vincent memencet tombol pada remote untuk mengunci mobilnya, lalu mengulurkan tangan ke arahnya. Gregory lantas tersenyum, meraih tangan pria itu dan menggenggamnya, sedang tangan kanannya mengangkat kopernya yang ringan.
“Vin sayang,” panggilnya saat mereka sedang menaiki anak tangga gedung apartemen itu bersisian. Pria yang dipanggilnya itu hanya menggumam sambil menoleh dan memiringkan kepalanya. Gregory mengernyit saat melihat wajah kekasihnya sedikit pucat. “Ada apa? Kamu seperti gugup daritadi. Is everything okay?”
Pria itu mengangguk cepat, membuatnya lantas semakin penasaran dengan gelagatnya yang terlihat aneh. Vincent hanya menjawab pertanyaannya dengan satu kata. “Nervous.”
Kekasihnya merasa gugup? Gugup karena apa?
“Nervous of what, sayang?”
“Something,” jawab Vincent asal, menarik tangannya pelan untuk tetap menaiki anak tangga menuju unit apartemennya.
Gregory mengedikkan bahunya, memutuskan untuk tidak mencecar Vincent dengan pertanyaan yang akan membuat pria itu lebih stres. Ia khawatir kekasihnya itu malah akan semakin gugup atau bahkan kesal padanya jika ia bertanya lebih jauh.
Ponsel Gregory berbunyi keras dan memecah keheningan saat ia dan Vincent sampai didepan pintu apartemen pria itu. Ia lantas tersenyum lebar, menyadari bahwa hari sudah berganti dan waktu telah menunjukkan tepat pukul dua belas malam.
Ia lantas merogoh saku celananya dan memencet layar ponselnya asal untuk menghentikan suara itu. Ia mengernyit saat bertatapan dengan Vincent yang sedang tersenyum lebar ke arahnya. Pria itu sedikit membuka pintu apartemennya yang sepertinya tidak dikunci.
Vincent memegang kedua lengannya dan mengarahkan tubuhnya untuk menghadap ke arah pria itu, lalu mendekatkan wajahnya lalu mencium bibirnya sambil berbisik. “Bonne anniversaire, mon amour.”
Gregory hanya merespon dengan ber-ah-ria sambil tersenyum, sebelum akhirnya membalas ciuman kekasihnya. Ia sontak terkejut dan menarik wajahnya saat mendengar suara terompet yang melengking, memekakkan kedua telinganya. Sepasang matanya pun terbelalak kala melihat Timothy, Hosea, dan Tobias berlari ke arahnya sambil melontarkan konfeti yang berwarna-warni. Ia menangkap sosok Maximillian dan Sebastian yang terlihat melambaikan kedua tangannya dari ruang tengah sambil memegang balon angka tiga dan satu yang sangat besar, menjulang tinggi hampir menyentuh langit-langit ruangan itu.
Timothy lalu menarik tubuhnya dan memeluknya, berteriak dengan riang sambil menaruh gumpalan konfeti dipuncak kepalanya. “Happy birthday, Gregory!!!” Sahabatnya itu menggerakkan tubuhnya ke samping kanan dan kiri sambil mengeratkan pelukannya, membuat kedua lengannya sakit.
Namun ia tidak peduli, rasa bahagia yang membuncah dari dalam dadanya mengalahkan semua itu. Ini adalah kali pertama seseorang memberinya kejutan tepat dihari ulang tahunnya. Ini adalah kali pertama dirinya tidak berada di bar dan membiarkan dirinya mabuk dan merayakan hari spesialnya sendirian.
Gregory benar-benar bahagia, tidak mampu mencari sebuah kata yang cukup untuk menjelaskan perasaannya saat ini.
Vincent terdengar tertawa, terlihat sudah memegang satu loyang kue yang dilapisi krim berwarna putih dengan dua lilin angka usianya yang menyala dan sepotong coklat bertuliskan “Happy Birthday, Mon Amour” diatasnya. Gregory tertawa kecil, menyunggingkan senyum dan menyadari kedua matanya perlahan mulai panas. Air matanya sudah menggenang, hampir tumpah bersamaan dengan rasa bahagia yang sudah meledak dan memenuhi kepala dan hatinya. Ia merasakan dadanya berdebar, seperti ada yang menyalakan begitu banyak kembang api di sekitarnya.
“Happy birthday, my love,” kata pria itu berdiri di hadapannya sambil memajukan wajahnya untuk mencium bibirnya. Ia pun membalas ciuman Vincent cepat, merasakan air matanya lolos dan membasahi kedua pipinya.
“Make a wish, Grego!” Teman-temannya sudah berdiri mengelilinginya sambil berseru, membuatnya tertawa lalu memejamkan kedua matanya. Ia menundukkan kepalanya, mengucapkan keinginannya dalam hati sambil tersenyum.
God, thank you for everything, and thank you for giving me the life I need, not the life I want. I am so thankful for my boyfriend and best friend. And thank you for teaching me how to live happily. I want to achieve things slowly, I want to be able to love myself, and I want to be able to live happily with myself and Vincent.
Setelah Gregory selesai merapalkan keinginan doanya dalam hati, ia lalu membuka kedua matanya dan meniup lilin yang menyala diatas kue ulang tahun yang sedang dipegangnya.
“Thank you so much,” katanya sambil berjalan ke arah ruang tengah apartemen kekasihnya itu sambil tersenyum sumringah. “Still can't believe you guys really did this for my birthday.”
Sebastian menggelengkan kepalanya lalu mengambil kue itu dari tangannya dan meletakkannya diatas meja ruang tengah itu. “No, it's all Vincent. Gue dan lainnya benar-benar hanya membantu dia.”
Ia mendengar Vincent berdecak sambil menyerahkan segelas wine untuknya. Teman-temannya sudah memegang gelas wine masing-masing, lalu kekasihnya yang sedang memeluk pinggangnya itu mengajak mereka semua bersulang.
“Wishing you a better life, all the health, wealth and happiness, and also a great year ahead for you, sayang. Cheers!”
Gregory tersenyum sumringah, menatap Vincent lekat. Pria itu tengah menatap kedua mata dan bibirnya bergantian, lalu berseru kemudian diikuti teman-temannya. “Cheers! Happy Birthday Grego!”
Setelah bersulang, mereka mengambil duduk di ruang tengah sambil menikmati wine dan beberapa loyang pizza yang dibuat oleh Sebastian dan Tobias. Mereka berdua ternyata rela pulang lebih awal untuk memasak beberapa makanan untuk kejutannya malam ini.
Kedua telinganya menangkap lirih lagu jazz yang mengalun memenuhi seisi ruangan. Vincent terlihat sibuk dengan gramofon dan beberapa piringan hitam yang sepertinya sudah disiapkan untuknya. Ia lantas tersenyum, membayangkan bagaimana persiapan yang Vincent lakukan untuk hari ulang tahunnya.
Gregory lalu merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya, melihat layarnya dipenuhi oleh ucapan selamat ulang tahun dari Thomas dan beberapa rekan kerjanya di Caveau de la Huchette. Dengan cepat ia membalas pesan yang ada sambil menundukkan kepala, tidak sadar bahwa Vincent sudah duduk di sampingnya sambil memegang satu boks besar yang dibungkus dengan kertas kado berwarna biru gelap.
Ia mengernyitkan dahinya saat melihat Vincent tersenyum lebar. “Gregory, this is your birthday gift from me. I hope you like it,” kata pria itu sambil menyerahkan kotak itu padanya. Ia lantas melepaskan ponselnya asal, lalu meraih benda itu dan menaruhnya dipangkuannya.
“Tidak perlu repot, Vin. But thank you, I know your taste is spot on,” katanya berterima kasih sambil menggoncang-goncangkan kotak itu. Ia mendengar suara yang cukup berisik dari dalam kotak itu, seperti benda-benda kecil bertabrakan satu sama lain. “Apa ini?”
Vincent memajukan dagunya, memintanya untuk membuka kotak itu. “Open it.”
Maka dengan perlahan dan hati-hati, ia membuka bungkus kertas itu sambil menahan rasa penasarannya. Sepasang matanya membulat saat melihat kado pemberian Vincent. Ia terperangah, lalu menoleh ke arah kekasihnya yang sedang menatapnya.
“Aku ingat kamu tidak terlalu menyukai bunga dan kamu pernah kirimkan gambar ini ke aku, Gregory. So yeah, I bought this flower bouquet lego for you,” jelas Vincent sambil mengulurkan tangannya dan menyelipkan surai hitamnya dibelakang telinganya. “Aku harap kamu suka.”
Gregory menggigit bibirnya sambil mengangguk. Vincent ingat akan celetukan asalnya saat ia mengeluh karena bunga pemberian pria itu tidak bertahan lama. Vincent ingat akan sebuah foto yang ia kirimkan pada pria itu lewat pesan singkat, sekedar bertanya apakah barang itu cocok untuk menjadi pajangan di ruang tengah apartemennya atau tidak.
Vincent mengingat semua itu.
“I love it!” Gregory memekik riang lalu merangkul Vincent, menghirup aroma kuat tubuh pria itu sambil mencium lehernya. “Vin sayang, terima kasih. Aku suka sekali! Aku akan rangkai setelah ini, dan aku tidak mau dibantu!”
Pria itu tertawa kecil sambil mengusap kepalanya. “Okay, Gregory. I won't help you.”
Setelahnya, giliran Sebastian, Tobias, dan Hosea yang memberi hadiah untuknya. Kedua teman satu apartemen Vincent itu memberi satu botol red wine Merlot March by Umani Ronchi Vigor Sangiovese sebagai hadiah ulang tahunnya. Sedangkan Hosea memberinya sebuah bluetooth speaker Vifa Oslo warna biru langit yang selama ini menjadi salah satu wishlistnya. Gregory benar-benar tidak menyangka teman-temannya akan memberinya hadiah sebanyak ini, membuatnya tersenyum lebar hingga kedua pipinya terasa pegal dan nyeri.
Tak lama setelahnya, Timothy duduk di samping kirinya dengan membawa satu boks besar berwarna biru muda. “And this one is for you, Grego,” ujar sahabatnya riang sambil menyerahkan benda itu padanya. “Dari gue dan Maxy. Jangan lupa dipakai!”
Gregory lalu membuka kotak itu, melihat sepasang sepatu boots berwarna hitam mengkilat dengan sol yang tinggi menyambut kedua matanya. Ia terperangah, mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Timothy yang sedang menyunggingkan senyumnya. Ia menggelengkan kepalanya heran, Vincent dan sahabatnya itu benar-benar seperti saudara kembar; rela menyisihkan uang hanya untuk memberinya barang yang tidak disangka-sangka olehnya.
Tuhan, ini adalah sepatu boots impiannya!
“Gue tidak sengaja lihat lo sedang memandangi boots ini beberapa bulan lalu on their website, and I remember I saw stars in your eyes. So yeah, we decided to purchase this and give it as your birthday present. I hope you don't mind,” kata sahabatnya itu santai, terlihat mengulurkan tangannya untuk mengambil sepotong pizza buatan Sebastian dan menggigitnya.
Gregory mendengus sambil tertawa, tidak menyangka bahwa pria yang sudah dikenalnya cukup lama itu ternyata seseorang yang membeli stok terakhir boots impiannya. Ia lantas teringat, sempat merutuki layar ponselnya saat menyaksikan sepatu boots itu sudah tidak tersedia di seluruh butik kota Paris beberapa bulan lalu. “Thanks a lot, Timmy, Max,” balasnya tersenyum sumringah.
“That's our pleasure, bro,” timpal Maximillian kemudian sambil memeluk tubuhnya dan menepuk punggungnya pelan. “Hope you like it.”
Ia pun kembali menyampingkan tubuhnya ke arah Vincent yang tengah menatapnya sambil tersenyum. Pria itu mengalungkan tangannya dilehernya, lalu merengkuh tubuhnya. Vincent menghujani wajahnya dengan ciuman, membisikkan kata-kata ucapan dan harapan untuknya. Bulu kuduk disekujur tubuhnya meremang, merasakan cinta pria itu yang begitu luar biasa melimpah, menyusup hingga ke sel-sel dalam tubuhnya.
Hari ini adalah hari ulang tahun terbaik untuknya, dan sepertinya ucapan terima kasih dan senyum yang lebar tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan.
“Terima kasih ya Vin, kado dan surprisenya. It means a lot to me,” katanya sambil mencium bibir Vincent beberapa kali. Ia mendengar Vincent tertawa kecil sambil menangkup wajahnya dengan tangan kanannya. “This is the first time I was really surprised.”
“You did?” Vincent bertanya padanya sambil mengusap hidungnya pada pipinya, membuatnya merasa geli.
Ia menggumam, menaruh tangannya diatas paha Vincent dan memijatnya. Sorot mata pria itu teduh, terlihat senyum pun menghiasi wajahnya. Gregory bahagia melihat senyum terukir pada wajah kekasihnya itu. Vicent seperti ikut merasakan euforia dihari ulang tahunnya yang masih tersisa dua puluh tiga jam lagi.
“My pleasure, baby,” balas Vincent lirih dengan suaranya yang berat, membuat bulu kuduknya berdesir. Gregory berusaha menahan hasrat untuk menerjang kekasihnya itu hingga esok hari, teringat akan permintaan Vincent untuk menyimpan energi untuk hari ulang tahunnya. Ia bahkan sama sekali tidak tahu rencana apa yang akan mereka lakukan. Vincent benar-benar penuh dengan misteri. “I still have two surprises left, though.”
Damn, apa katanya? Dua?! Ia bahkan hampir lupa dengan kejutan itu.
Gregory memutar kedua bola matanya, berusaha menyembunyikan rasa penasaran dan gugupnya. Ide-ide gila yang dimiliki Vincent terkadang membuatnya menepuk dahinya sendiri, ingin rasanya melarang kekasihnya itu untuk menghabiskan uang untuk sesuatu yang kurang penting.
Namun apa yang dapat ia lakukan? Vincent adalah seseorang yang sangat keras kepala. Jika pria itu sudah menginginkan sesuatu, ia akan melakukan apapun untuk mewujudkannya. “Mon Dieu, sayang. I'm so nervous, you know?”
Vincent menggeleng sambil menghela napas pelan. “No need,” katanya sambil mencolek dagunya. “It's going to be worth it, Gregory.”
Ia mencebik, meledek kekasihnya yang terdengar sangat dramatis itu lalu tertawa. “Oh ya, Vin. Kamu baru pertama kali ini buat surprise, ya?”
Kekasihnya itu mengangguk, menggaruk tengkuknya yang ia yakin tidak gatal. “Yeah,” jawabnya kikuk. “Was that obvious, my love?”
Ia menggumam sambil meraih gelas wine miliknya dan menyesap isinya. “Very. Kamu tadi pucat sekali. I thought you were sick or something.”
Vincent tertawa. “No. That's me being nervous because it's you.” Pria itu berkata lirih sambil mengusap pipinya dengan punggung tangannya.
Tangannya lalu memukul lengan pria itu pelan. “You're so cheesy!”
“Just for you, Beau,” jelas Vincent final lalu mencium bibirnya. “To make you happy and claim it as the best day ever for you.”
Yeah, this is the best day ever for him, indeed.