the last baton | 520

ps. pretty please sambil dengerin lagunya ya! x


Gregory memejamkan matanya yang terasa perih sambil membaringkan tubuhnya di kasur. Sinar matahari yang menembus lewat kaca jendela apartemennya perlahan mulai redup, menandakan ia harus bergegas bangkit dari kasurnya untuk bersiap. Cuaca hari ini cukup panas, membuatnya harus beberapa kali mengganti kausnya yang basah karena keringat. Pendingin ruangan di apartemennya yang sudah diatur menjadi mode sejuk pun tidak cukup mengalahkan panasnya kota Paris.

Ia lalu melirik ke arah jam yang terlihat pada layar ponselnya dengan malas. Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, beberapa jam lagi ia harus sudah berada di Caveau de la Huchette untuk bekerja. Ia lantas menghela napas berat sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar tidurnya. Sunyi menyelimuti sore harinya, telinganya hanya menangkap bunyi mesin pendingin ruangan dan suara orang-orang yang sedang berlalu-lalang di depan apartemennya.

Gregory merentangkan kedua tangannya ke samping lalu menatap ke arah langit-langit kamarnya, merasa enggan untuk bangkit dari tidurnya dan segera mandi. Ia merasa beruntung, jarak apartemennya dan tempatnya bekerja hanya membutuhkan waktu lima menit dengan berjalan kaki, membuat segalanya menjadi lebih efisien. Ia tidak perlu lagi menghabiskan waktu di perjalanan dengan menggunakan metro, atau bahkan menembus kemacetan kota Paris yang seringkali membuat kadar emosinya naik dan kepalanya berdenyut.

Selama hidupnya, ia tidak pernah mengira bahwa pekerjaannya di Paris mampu membawanya untuk tinggal di apartemen seperti ini dengan letak yang strategis—berada di pusat kota, dekat dengan tempat hiburan dan restoran yang menjual makanan yang enak, walaupun dirinya harus merogoh kocek yang cukup dalam.

Mesin yang ada dalam kepalanya lantas bekerja, memikirkan betapa hampir seluruh aspek hidupnya berubah begitu cepat dalam waktu yang sangat singkat. Gregory seperti tidak diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya saat ini. Karirnya dapat dikatakan melesat, terbang tinggi seperti tertiup angin puting beliung, membuatnya terkadang merasa kewalahan menghadapi popularitas yang kerap “menggerayangi” seluruh bagian tubuhnya dan membuatnya tidak nyaman. Akhir-akhir ini ia lebih mudah merasa stres dan khawatir, takut akan respon orang-orang yang sudah mengenalnya sebagai solois. Pun jumlah pengikut yang bertambah pesat dimedia sosial miliknya serta para tamu bar yang perlahan mulai mengenalnya dan berkunjung ke bar hanya untuk melihatnya tampil diatas podium kecil itu.

Sejujurnya, Gregory sudah menantikan kesuksesan ini sejak lama, sejak dirinya merasa bahwa talentanya untuk bernyanyi dapat menjadi salah satu sumber bahagianya. Sejak lama ia ingin merasakan adrenalinnya terpacu kala menggenggam kesuksesan itu dengan kedua tangannya, ingin merasakan nikmatnya sensasi “kesuksesan” yang selalu dibicarakan banyak orang lewat setiap sel yang ada dalam tubuhnya.

Namun seiring berjalannya waktu, ia akhirnya menyadari bahwa ternyata, dirinya belum siap. Ia belum siap menghadapi perubahan yang luar biasa, yang seakan membuatnya semakin jauh dengan “dirinya” sendiri. Dan ia merasa belum siap, akan perubahan yang menariknya dengan paksa, untuk keluar dari zona nyaman yang selama ini mengungkungnya.

Gregory merasa “terkurung” dalam zona itu, namun ia merasa nyaman dan aman. Ia tidak merasa perlu mengorbankan apapun. Ia senang untuk berada di sana. Kata “sukses” dan “bahagia” yang selama ini ingin dicapai olehnya, kini menjadi momok yang bercokol dalam kepalanya. Apakah arti sebuah kesuksesan itu sendiri jika sebenarnya, ia tidak merasa bahagia? Ia pun merutuki dirinya sendiri karena naif, merasa bahwa dirinya mampu meraih keduanya, menggenggamnya erat tanpa ada sesuatu yang harus ia korbankan.

Ia lantas menggeleng dan menggeram, memejamkan kedua matanya lagi lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Semua hal yang tengah dirasakan olehnya sudah tertuang dalam surel* yang dikirim untuk Vincent dua hari lalu.

Yang hingga saat ini tak kunjung direspon oleh pria itu.

Jika Gregory boleh jujur, beberapa hari ini terasa berat untuknya. Tidak ada lagi sosok Vincent disampingnya, yang selalu menghujaninya dengan perhatian yang lebih. Tidak ada lagi sosok pria yang membuatnya selalu merasa nyaman dan aman. Tidak ada lagi sosok yang selalu menanyakan tentang harinya, dan tidak ada lagi sosok yang dapat “menenangkan” dirinya.

Gregory membutuhkan Vincent, membutuhkan kekasihnya itu untuk meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia butuh seseorang untuk meyakinkannya bahwa jalan yang ia tempuh saat ini adalah keputusan yang tepat.

Walaupun Gregory berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia mampu melakukannya untuk berubah dan membenahi dirinya seorang diri, namun ia membutuhkan dukungan Vincent sebagai sosok yang penting dalam hidupnya.

Namun segalanya terasa begitu sulit karena kekasihnya itu seperti hilang ditelan bumi.

Tunggu. Kekasih? Sebuah kata keramat itu lantas membuatnya menggelengkan kepala dan tertawa getir. Ia sendiri pun tidak tahu apakah hubungannya dengan pria yang lebih tua dua tahun darinya itu masih “ada”. Ia bahkan ragu apakah hubungannya dengan Vincent masih layak untuk diselamatkan. Pria itu menghilang tanpa kabar, namun ia pun tidak ingin “memaksa” untuk mencari tahu.

Gregory benar-benar menghargai apa yang Vincent inginkan, dengan cara melangkah mundur sejauh mungkin untuk memberikan waktu dan jarak.

Ia menghela napas panjang, mengangkat kepalanya sedikit dan melihat bahwa langit sudah mulai berganti warna menjadi oranye keemasan. Gregory lantas duduk dan menggeser tubuhnya untuk turun dari kasur, merapalkan dalam hati, berharap agar sisa harinya akan baik-baik saja.


Suasana Caveau de la Huchette malam ini cukup ramai, namun tidak penuh sesak seperti biasanya, membuat Gregory merasa senang karena ia tidak perlu berebut oksigen dengan para tamu bar. Ia sudah membawakan delapan lagu dengan hanya mengambil jeda antar lagu sekitar lima menit. Ia tidak ingin tetap berada di tempat ini hingga larut malam. Ia hanya ingin segera mandi dan mencuci rambutnya yang sudah semakin gondrong, untuk menghilangkan bau asap rokok dan aroma bar yang sudah menempel diseluruh tubuhnya.

Gregory hanya ingin merebahkan tubuhnya diatas kasur, mengubur dirinya dibalik selimut dan tertidur pulas hingga esok hari. Tubuhnya terasa pegal, pun kepalanya terasa berdenyut karena kurang tidur.

Entah mengapa, hari ini ia tidak merasa bersemangat. Sejak tadi ia gelisah, berharap dalam hatinya bahwa Vincent akan membalas pesannya yang tertulis dalam surel, mungkin menulis balasan bahwa pria itu merindukannya? Atau bahkan jika pria itu hanya akan meresponnya dengan satu kata, ia tidak peduli.

Ia seperti sedang menelan pil pahit, merasa bodoh saat mengatakan pada Thomas bahwa ia tidak mengharapkan jawaban apapun dari Vincent.

Hell, sejak Gregory dengan cepat memencet tombol kirim pada layar ponselnya, yang ia inginkan hanyalah mendapat respon dari pria itu.

Sedari tadi, ia meletakkan ponselnya tepat disebelah tablet miliknya diatas stand partitur yang ada tepat di depannya. Selama ia tampil malam ini pun, layar ponselnya sama sekali tidak menyala, menunjukkan bahwa ia tidak menerima notifikasi apapun.

Gregory tidak peduli jika para tamu bar yang sedang duduk di depan podium sambil menikmati kudapan dan bir mereka itu menyadari gestur tubuhnya. Ia selalu bersikap profesional saat bekerja, namun tidak hari ini.

Ia lantas menghela napas berat dan berdecak, berusaha mengalihkan pikirannya kembali dan memusatkan fokusnya pada lagu terakhir yang akan ia bawakan. Ia lalu menegakkan tubuhnya, menyesuaikan posisi yang nyaman untuk menutup penampilannya malam ini.

Hey,” ujar Gregory ceria, kembali menyapa pada tamu bar yang beberapa sudah ia kenali. Ia mengulas senyumnya, menghela napas sebelum akhirnya menyambung lagi. “So tonight I am going to finish my gig with a song, that has been stuck in my mind lately. I know it's not jazz, but,” jelasnya sambil terkekeh pelan, diikuti dengan suara tawa dari para tamu yang duduk di hadapannya. Eugene—seorang pria yang juga merupakan tamu reguler Caveau de la Huchette—malam ini dengan setia menonton penampilannya dan menempati meja terdekat dengan podium. Pria yang sebaya dengannya itu menyunggingkan senyumnya yang lebar, membuatnya lantas membalas senyum pria itu.

Sepasang mata bulatnya pun lalu menangkap sosok Alex, sang pemilik bar yang sedang duduk dekat pintu masuk itu. Pria itu hanya mengacungkan ibu jarinya sambil mengulas senyum, membuatnya ikut tersenyum lebar, menampilkan sederet giginya yang putih. Ia lalu kembali menatap para tamu dan menyambung lagi. “I hope you guys are okay with that. So, this is my last song for tonight. Thank you for coming, and have a great night! Let's go.”

Gregory lalu mengambil posisi bersiap dengan tangan kiri memegang bagian leher gitar, menekan jemarinya pada senar. Sedang ibu jari dan telunjuk tangan kanannya sudah menjepit pick gitar berwarna emas, pemberian Vincent beberapa bulan lalu saat pria itu menghadiahi dirinya sebuah gitar akustik berwarna hitam yang saat ini tengah dipeluknya erat.

Ia benar-benar merindukan Vincent, hanya ini yang dapat ia lakukan selain mengenakan kaus polos berwarna putih milik kekasihnya itu yang cukup longgar ditubuhnya. Ia berpikir, mungkin dengan mengenakan pakaian dan menggunakan gitar dan pick pemberian pria itu malam ini akan mengobati rasa rindunya yang semakin lama terasa seperti mengiris hatinya sendiri.

Jemarinya lalu bergerak memetik senar, memainkan nada yang sudah dihafalnya diluar kepala itu. Ia benar-benar tidak tahu mengapa lagu ini begitu membekas dikepalanya, setelah Vincent memberikan sebuah microcassette recorder berisi rekaman suaranya, menyanyikan lagu milik penyanyi yang sama.

Is there anything I can do to be better? To make you want me more than ever before I know I haven't been that good lately And I understand every bit of you hates me But I didn't know how much I'd miss you, babe And I didn't know how much I'd care And I didn't know that I would love you like I do Until you were gone, gone, gone Gone, gone, gone

Gregory benar-benar memejamkan matanya, menikmati setiap petikan yang menghasilkan instrumen indah, mengiringinya untuk bernyanyi. Ia melafalkan liriknya, kata demi kata dengan sempurna ia ucapkan, semakin lama semakin terasa menyayat hatinya sendiri begitu dalam. Penyesalan demi penyesalan menyerangnya setiap menit, seperti ada seseorang yang terus-menerus mengguyur kepalanya dengan ember berisi air dingin dengan dipenuhi bongkahan es.

Sungguh, salah satu cara Gregory menghadapi kesedihan yang ia alami adalah dengan mendengarkan dan/atau menyanyikan lagu yang menyedihkan. Namun, ia tidak pernah melakukannya saat bekerja.

Ia menganggap semua hal yang ia lakukan sepanjang hari ini adalah “pengecualian”.

Ia tidak ingin melihat ke arah pintu masuk atau bahkan ke area duduk yang ada di hadapannya. Karena ia tahu, Vincent tidak akan datang. Ia dengan susah payah berusaha menahan harapannya yang terasa seperti memberontak dari dalam dadanya.

Bodoh kamu, Gregory. Pria itu tidak akan datang malam ini, bahkan sampai kapanpun, batinnya dalam hati.

Gregory merasa harus melalui semua ini. Ia harus membenahi dirinya sendiri, menemukan hal dalam dirinya sebagai langkah awal untuk memaafkan dan akhirnya mencintai dirinya sendiri. Ia tahu bahwa semua ini adalah untuk kebaikannya. Namun mengapa sekarang rasanya kedua kakinya lemas? Langkahnya terasa pincang karena tidak adanya Vincent disampingnya yang tanpa ia sadari, selama ini berperan sebagai penopang.

Ia merasa kesepian, langkah kakinya begitu berat dan sulit. Gregory merasa seperti sedang berjalan diatas bara api yang membuat kedua telapak kakinya terluka.

Every day hurts like fuck since we broke up It feels like my heart has been ripped out and stamped on the floor I've made mistakes I'll live with forever I wish we could rewind and start fresh together 'Cause I didn't know how much I'd miss you babe I didn't know how much I'd cry I didn't know that I would need you like I do Until you were gone, gone, gone

Mungkin sebenarnya, hubungan mereka berdua memang sudah tidak bisa diselamatkan.

Gregory tidak menyadari bahwa air sudah menggenang dipelupuk matanya, suaranya pun perlahan sudah terdengar parau dan serak. Ia merasa malu. Ia tidak pernah melibatkan perasaannya sendiri saat bekerja, dan jujur, ia tidak pernah ingin melakukannya. Menurutnya, hal itu tidak profesional.

Seketika ia berdeham, menjauhkan bibirnya dari mikrofon barang sebentar, alih-alih mengatur suaranya sendiri, sambil kedua tangannya tetap memainkan nada dengan gitar akustik miliknya.

Ia tidak ingin mempersilakan perasannya sendiri mempengaruhi performanya malam ini.

Is there anything I can do to be better? Just name anything I can do I'll be better, much better If you stay forever

Gregory menyanyikan bait terakhir dari lagu itu dan menutupnya dengan sempurna, mendengar dengan jelas suara riuh tepuk tangan para tamu bar yang membuatnya lantas menyunggingkan senyum dan membuka kedua matanya. Ia menangkap sosok Eugene sudah berdiri dari duduknya, memberi standing ovation untuknya, pun beberapa tamu yang memberikan respon serupa. Ia lalu berdiri dari kursinya yang tinggi, mendekatkan bibirnya pada mikrofon untuk mengucapkan terima kasih.

Setidaknya, Gregory menutup penampilannya dengan perasaan lega dan sedikit terhibur, melihat respon para tamu bar yang terlihat puas dengan lagu terakhirnya. Setidaknya masih ada orang-orang yang peduli dengannya, memperhatikan dirinya dengan afeksi yang tak seberapa, namun cukup membuatnya tersenyum lebar malam ini.

Setelah para tamu bar kembali pada kegiatan di tempat duduknya masing-masing sambil menikmati sisa malam, Gregory lantas membereskan barang-barangnya, mengambil sarung gitar berbahan kulit yang tergeletak disebelah kursinya, menyadari bahwa ponselnya sudah bergetar beberapa kali dari balik saku celananya, menandakan bahwa dirinya baru saja mendapat notifikasi.

Gregory berdecak, menghiraukan benda itu sambil melangkahkan kakinya menuju loker untuk mengambil tas ranselnya yang disimpan di sana. Mungkin saja ia mendapat notifikasi dari media sosialnya, seperti yang biasa terjadi setelah ia tampil bernyanyi di Caveau de la Huchette.

Yang saat ini ia inginkan hanyalah pulang ke apartemennya dan pergi tidur, tidak ingin membuka ponselnya yang saat ini mungkin sudah dibanjiri oleh notifikasi itu.

Ia hanya ingin istirahat dan menutup hari ini.

Itu saja.


*surel: surat elektronik