the last baton | 480

cw // angst ahead , insecurities , self-doubt , self-blame , lack of communication , heated argument tw // implied anxiety attack

ps. i apologize in advance.


Vincent meletakkan buket bunga yang baru saja dibeli olehnya pada jok mobil di sampingnya sambil tersenyum. Ia beruntung, toko bunga bernama Elyfleur itu terlihat sepi pengunjung. Ia mengernyitkan dahinya bingung, biasanya bahkan orang-orang akan kesulitan melihat banyaknya pot yang dipamerkan di area depan toko. Vincent lantas melangkah keluar dari mobil dengan terburu-buru, membuat kakinya sempat terantuk pembatas trotoar yang terbuat dari besi itu. Kaki kanannya terasa nyeri dan berkedut dari balik sepatu pantofel warna hitam miliknya yang terlihat agak kotor. Ia meringis dan menghela napas panjang dan kembali melangkahkan kakinya memasuki toko bunga itu.

Seketika seorang florist menyambutnya dari balik mesin kasir saat ia sudah berada di dalam area toko. Penjaga toko bunga itu adalah salah satu staf dari Maximillian, terlihat sedang memegang beberapa lembar uang kertas dan memegang bolpoin ditangannya. Wanita bernama Clara itu tersenyum ramah ke arahnya sambil menaruh semua barang yang sempat dipegangnya diatas mesin kasir. Ia dan wanita itu sudah saling mengenal satu sama lain, sejak Timothy mengenalkan Maximillian padanya di tempat ini beberapa tahun silam.

Vincent lantas mengulas senyum, mengucapkan terima kasih pada Clara karena masih bersedia melayaninya malam ini. Dengan cepat ia menunjuk ke arah pot yang dipenuhi puluhan tangkai bunga mawar putih yang terlihat segar dan gendut sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Vincent selalu menikmati waktunya di tempat ini jika sedang sepi, karena ia dapat menggunakan kesempatan untuk melihat bermacam-macam jenis bunga lainnya yang dari namanya saja membuatnya pusing. Ia merasa cukup menikmati jenis-jenis bunga itu dari bentuknya yang unik dan beragam, serta dari aroma yang menyeruak menyapa indra penciumannya—memberikan kesan nyaman dan tenang seperti sedang berada di taman bunga.

Jujur, ia kagum dengan kemampuan Maximillian dalam membagi waktunya sendiri antara pekerjaan, hobi, dan kehidupan pribadinya. Kekasih Timothy adalah contoh terdekatnya bahwa menyeimbangkan segala hal yang penting dalam hidupnya bukanlah hal yang sulit. Mencoba adalah langkah awal yang harus dilakukan. Mungkin Vincent memang harus banyak belajar dari pria yang berprofesi sebagai kurator itu.

Clara tidak membutuhkan waktu yang lama untuk merangkai dua puluh tangkai bunga mawar putih menjadi satu buket bunga yang cantik. Vincent pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih setelah membayar hasil karya sang florist itu, lalu bergegas keluar dari toko dan berlari-lari kecil ke arah mobilnya.

Hari ini adalah hari terakhir Gregory tinggal di studio, sebelum akhirnya pindah ke apartemennya yang baru, yang terletak tidak jauh dari Caveau de la Huchette. Setidaknya kekasihnya itu mungkin akan merasa lebih baik dan tenang setelah menerima buket bunga darinya? Vincent tidak akan pernah melupakan reaksi Gregory saat itu; kedua pipi yang memerah dan senyum yang merekah mengalahkan bunga mawar putih yang dibelinya saat menjemput pria itu setelah seharian menghabiskan waktu dengan Thomas.

Vincent pun sudah menyiapkan hadiah kecil lainnya untuk Gregory, berharap semoga kekasihnya itu menyukainya. Alasannya ingin memberikan hadiah itu cukup sederhana. Vincent merasa akhir-akhir ini pria itu terlihat stres dan murung. Namun tentu, Gregory selalu menutupnya rapat-rapat dengan senyum manis yang luar biasa menipu, jika kau tidak mengenal pria itu dengan baik. Vincent hanya bisa mengobservasi, mengamati dari jauh, dan berpikir bahwa Gregory adalah tipikal seseorang yang akan memukulmu mundur jika kau terlalu dekat dan mengganggu lingkaran privasinya, sedekat apapun hubunganmu dengan pria itu.

Vincent hanya tidak ingin membuat kekasihnya itu merasa terganggu atau risih dengan menghujaninya dengan beberapa pertanyaan yang membuatnya tidak nyaman. Maka ia hanya bermain dengan imajinasinya, memikirkan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Mungkin saja Gregory gugup karena sebentar lagi akan pindah ke tempat yang baru, yang mungkin akan membuat gaya hidupnya otomatis akan berubah? Atau pekerjaannya sebagai solois di Caveau de la Huchette sedang membuatnya jenuh? Atau mungkin, orang tuanya sempat menghubunginya kembali?

Vincent akui, ia sempat mencurigai apakah Mattheo kembali meneror dan menguntit kekasihnya. Namun ia urungkan. Ia tidak ingin membuat Gregory lebih stres dari sebelumnya karena dengan sengaja membahas nama pria berengsek itu lagi. Pada akhirnya, yang Vincent lakukan untuk “menenangkan” kekasihnya itu adalah dengan menunjukkan afeksi yang lebih dari biasanya pada Gregory. Ia pun sesekali memastikan bahwa kekasihnya itu baik-baik saja.

Setidaknya hanya itu yang dapat Vincent lakukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Walaupun sebenarnya, hati dan kepalanya selalu diselimuti perasaan khawatir.

Suasana jalanan di sekitar toko bunga itu masih ramai oleh kerumunan orang. Beberapa terlihat sedang berswafoto dengan kamera ponsel, memanfaatkan pencahayaan dari langit malam itu yang terlihat hampir menampilkan warna oranye, yang biasa disebut “golden-hour” oleh Gregory. Vincent lantas melirik ke arah jam yang dikenakan pada pergelangan tangan kirinya, memperlihatkan kedua jarum jam yang menunjukkan pukul delapan lebih lima puluh malam. Ia hanya berharap lalu lintas menuju studio musik Gregory tidak begitu padat, karena mereka berdua harus mengejar waktu untuk pergi makan malam di Indo Pride.

Perjalanan dari area gedung tempatnya berlatih orkestra menuju Rue Richer hanya membutuhkan waktu sekitar dua belas menit, membuat Vincent lantas menghela napas panjang dan mengambil barang-barangnya. Ia pun tak lupa meraih buket bunga mawar yang wanginya sudah bercampur dengan pengharum ruangan mobilnya yang membuat dadanya sesak dengan rasa bahagia, ditemani oleh rombongan kupu-kupu yang beterbangan ke sana kemari.

Ia berharap semoga kekasihnya itu menyukai buket bunga dan hadiah pemberiannya.

Vincent mendorong pintu masuk gedung itu dengan sikunya, berharap semoga ia tidak terlambat untuk menjemput Gregory. Pria itu tidak mengirim pesan atau bahkan meneleponnya sama sekali sejak terakhir kali mereka bertukar kabar beberapa saat lalu. Ia hanya mengedikkan bahu sambil berdecak, mungkin saja Gregory masih sibuk membereskan beberapa barang dan studionya. Seketika sedikit rasa penyesalan timbul dari dalam dadanya, seharusnya ia bisa lebih cepat tiba di tempat ini agar bisa membantu kekasihnya itu. Semoga saja Gregory tidak kelelahan dan menyebabkan ia harus membatalkan janji makan malam mereka hari ini.

Keheningan menyelimuti saat Vincent menyusuri lorong menuju ruang kedap suara tempat Gregory tinggal selama beberapa waktu belakangan. Vincent sempat berpikir apakah kekasihnya itu tertidur, namun tidak, ia malah disambut dengan sosok Gregory yang sedang duduk bersila diatas sofa sambil bersandar dan menengadahkan kepalanya. Sepertinya kekasihnya itu sedang melamun, hingga tidak mendengar suara pintu ruangan itu terbuka.

Gregory terlihat sangat tampan seperti biasanya. Kekasihnya itu sepertinya baru saja selesai mandi. Rambut hitamnya yang sudah mulai panjang terlihat basah, wajahnya terlihat segar namun Vincent tidak melewatkan sorot mata bulat kekasihnya itu terlihat sayu, sedang memperhatikan langit-langit sambil menyenandungkan nada yang tidak ia kenali. Gregory mengenakan sweatshirt yang longgar berwarna biru gelap dengan celana panjang senada, membuat tubuhnya terlihat mungil.

Vincent diam-diam melangkah masuk, lalu menutup pintu studio dengan pelan. Ia melihat beberapa tumpukan kardus terlihat sudah tersusun rapi disamping pintu masuk, lengkap dengan empat koper dan sebuah gitar milik Gregory.

Bonsoir, Beau?” Panggil Vincent sambil berbisik, tidak ingin mengganggu kekasihnya yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Gregory terkesiap, lalu menolehkan kepalanya lesu ke arahnya sambil tersenyum simpul. Pria itu menyunggingkan senyumnya sambil mengerjapkan kedua mata bulatnya.

“Hei, Vin sayang,” sapa pria itu sambil menegakkan tubuhnya, tidak beranjak dari sofa itu sama sekali. Apakah kekasihnya benar-benar kelelahan, atau bahkan sakit?

Vincent bertanya, sambil menyembunyikan buket bunga yang dibawanya dibelakang punggungnya. “I'm so sorry I'm late. Kamu sudah menunggu lama, ya?”

Gregory mengernyitkan dahinya lalu menatap kedua matanya sambil menggeleng. “Tidak, kok. Itu, kamu bawa apa, Vin?” Kekasihnya itu menunjuk ke arah punggungnya. Sepertinya ia memang tidak pandai memberi kejutan.

Vincent lantas berdecak dramatis, lalu tertawa kecil saat Gregory memiringkan kepalanya heran. “Ini,” katanya sambil menggerakkan tangannya dari belakang punggungnya lalu melangkah ke hadapan pria itu dan akhirnya berlutut. “Untuk kamu, Gregory sayang.”

Ia berbohong jika ia mengatakan tidak menyadari reaksi yang berbeda dari kekasihnya. Gregory bahkan terkejut melihat buket bunga mawar yang memang ukurannya lebih besar dari yang pernah ia berikan pada pria itu. Gregory meraihnya dan mencium bunga mawar putih itu. “Thank you, sayang,” katanya sambil tersenyum tipis. “Dalam rangka apa?”

Ia mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut kekasihnya yang terlihat basah itu, lalu menyelipkannya dibelakang telinganya. “Tidak, sedang ingin membelikan sesuatu untuk kamu, a gift to appreciate you because you moved out from here to the new apartment tomorrow?”

“Kamu tidak perlu repot,” balas kekasihnya singkat sambil memajukan wajahnya. Gregory mengecup bibirnya cukup lama, namun Vincent merasakan adanya perbedaan dengan ciuman mereka sebelumnya, membuat firasat buruk seketika timbul dari dalam kepalanya. “Terima kasih banyak, Vin. Aku suka. Besok aku taruh di vas bunga yang kemarin kita beli, ya.”

Vincent tersenyum, berusaha mengubur firasat buruknya dengan menggumam dan mengesampikan hal itu dari kepalanya. Hari ini adalah hari yang spesial untuknya dan Gregory, ia tidak ingin membiarkan hal-hal buruk menyelimuti pikirannya. “You're welcome, Beau,” balas Vincent sambil mendorong sedikit belakang kepala Gregory untuk mengecup dahinya sayang.

Kekasihnya hanya terdengar terkekeh pelan sambil memegang bagian depan pakaiannya, membuatnya mengernyitkan dahi. Gregory jarang sekali melakukan hal ini. Apa ada yang ingin diutarakan oleh pria itu padanya?

Penny of your thoughts, Gregory? Kamu tidak seceria biasanya.” Vincent bertanya sambil mendaratkan pantatnya untuk duduk disamping Gregory. Ia menaruh punggung tangannya pada dahi kekasihnya kemudian, yang terasa dingin, tidak panas seperti apa yang dikhawatirkan. “Apa kamu sedang sakit? Or it's been a rough and hard day?”

Gregory menggeleng. “It's the latter,” jawab pria itu sekenanya sambil menghela napas pelan. Vincent lantas mengusap pipi kekasihnya itu dengan punggung tangannya, memberi afeksi lebih untuk setidaknya meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja dan merasa bangga karena pria itu dapat melewati hari ini. Namun Vincent sungguh tidak siap saat Gregory berkata lagi setelahnya, sambil menangkup tangan yang sedang mengusap pipinya. “But I really need to talk to you.”

Ia hanya menanggapi dengan mengangguk, masih mengusap pipi Gregory dengan sayang. “Sure, Beau. What's wrong?”

Vincent melihat kekasihnya itu memejamkan mata dan menarik napas panjang, sebelum akhirnya menatap manik hazelnya dan menanggapi pertanyaannya. “Vin sayang, please don't get me wrong, but,” ucapnya terlihat kesulitan mengutarakan isi hatinya. “Apa kita berdua bisa mengurangi intensitas waktu untuk bertemu?”

Vincent tidak pernah merasa terkejut seperti saat ini sebelumnya. Mendengar Gregory berkata kemudian membuatnya tidak bisa mengontrol raut wajahnya sendiri, ia menyadari hal itu dari sepasang mata Gregory yang saat ini tengah terbelalak.

Mengurangi intensitas waktu untuk bertemu? Apa pria itu akan lebih sibuk karena pekerjaannya? Vincent tahu, tuntutan pekerjaan sebagai solois di Caveau de la Huchette memang membuat kekasihnya itu perlahan mulai dikenal oleh masyarakat luas di Paris, terutama penikmat musik. Ia sempat dengan tidak sengaja mendengar anggota klub orkestranya membicarakan tentang seseorang bernama Gregory yang merupakan solois baru dan memiliki suara yang sangat bagus. Vincent hanya mengulum senyum saat mendengar hal itu beberapa waktu lalu.

“Oh? What happened, Beau? Boleh saja. Why is it? Because of your tight schedule or—

Gregory memotong pertanyaan dengan satu kalimat yang membuatnya seperti sedang tersetrum aliran listrik. “Vin, aku... merasa bosan.”

Kekasihnya... merasa bosan? Bosan bagaimana? Apa yang ia lakukan hingga satu-satunya pria yang menempati posisi paling istimewa dihati dan pikirannya itu merasa bosan?

Oh.” Vincent hanya bisa menanggapi dengan singkat. Ia bingung dan linglung. Ia melepas kacamatanya, menaruhnya diatas sandaran sofa lalu memiringkan kepalanya. “Gregory,” katanya memulai pembicaraan sambil meraih tangan Gregory dan mengusap punggung tangan pria itu. “Kamu bosan denganku, as a person? Atau kamu bosan dengan hubungan kita yang monoton?”

Monoton. Kata itu membuatnya berpikir keras, tidak menghiraukan keheningan yang seketika memenuhi ruangan kedap suara itu. Vincent tahu kekurangan dirinya. Ia paham betul akan kelemahannya dalam membangun suatu percakapan, atau mungkin memiliki ide untuk mengajak kekasihnya berkencan yang lebih bermanfaat dan menyenangkan. Vincent hanya mampu mengajak Gregory pergi kencan dengan duduk santai dan ngobrol di kafe, makan siang dan malam di restoran, atau bahkan hanya pergi ke Versailles. Ia tidak bisa merencanakan kencan yang menyenangkan seperti yang pernah teman-temannya lakukan dengan kekasih mereka.

Vincent lantas merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan? Kata-kata Gregory barusan membuat hatinya mencelos dan membuatnya meragukan dirinya sendiri. Jadi... sejak kapan kekasihnya itu merasa bosan dengannya? Vincent sungguh tidak mengerti. Apakah waktu yang dihabiskan oleh mereka selama ini membuat Gregory bosan? Mengapa pria yang sedang duduk dihadapannya itu tidak jujur padanya?

Vincent merasa bodoh, seperti disia-siakan oleh kekasihnya sendiri.

Jika dirinya ingin menjadi seseorang yang jahat, saat ini juga mungkin ia akan mempersilakan pikiran buruknya mempengaruhi dirinya, membuatnya buta dan memblokir semua penjelasan yang akan Gregory katakan nanti. Membiarkan kekasihnya itu berbicara padanya hingga berbusa, namun tidak akan ia hiraukan.

Akan tetapi, Vincent tidak ingin bertingkah seperti anak kecil. Ia sendiri tahu bahwa rasa bosan adalah hal yang wajar. Ia pun pernah mengalaminya, merasa frustrasi akan sesuatu yang dilakukan terus-menerus tanpa adanya hal yang membuat rutinitas itu terasa “berbeda”.

Bosan adalah sesuatu hal yang wajar, 'kan? Berulang kali Vincent mengajak kepalanya berpikir, seperti mesin yang terus-menerus dipaksa bekerja. Seketika kepalanya terasa panas dan aus, mungkin sebentar lagi akan meledak. Hatinya yang diajak bekerja pun bahkan tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya barusan.

Jadi, pada siapakah Vincent harus mencari tahu?

“Aku bicara dulu, boleh?” Pertanyaan Gregory memecah keheningan diantara mereka, seketika membuyarkan lamunan Vincent. Kekuatan mesin yang sedang bekerja didalam kepalanya lantas melemah, perlahan mulai bergerak lambat hingga akhirnya mati. Ia berhenti memikirkan beberapa kemungkinan itu untuk mendengarkan penjelasan Gregory.

Vincent hanya menanggapi dengan menggumam sambil mengangguk, menegakkan posisi duduknya dan melipat kedua tangannya didada. Ia tahu betul, gestur ini adalah sisi lain dirinya yang sedang defensif, berusaha “melindungi” dirinya sendiri dari Gregory.

Ia bingung, apa yang salah dalam hubungan mereka sehingga pria yang sedang duduk disampingnya itu mengatakan bahwa ia merasa bosan? Ia juga manusia, membutuhkan alasan yang masuk akal mengapa kekasihnya itu merasa bosan. Selama ini ia tidak pernah memikirkan hal tersebut; apakah seseorang pernah bosan dan merasa kesal dengannya? Tidak, sama sekali tidak pernah. Selama ini Vincent hanya mementingkan perasaannya sendiri, merasa wajar jika orang-orang yang hidup di sekelilingnya menyebutnya kaku seperti kawat dan dingin seperti es.

Vincent yang dulu akan memedulikan egonya sendiri dan tidak memikirkan perasaan orang lain, apalagi Gregory.

Namun Vincent yang dahulu sudah lama hilang sejak pria yang lebih muda dua tahun darinya itu hadir dalam hidupnya. Sifatnya yang mementingkan egonya sendiri dan terlalu kaku mengikuti prinsip hidupnya, saat ini sudah digantikan dengan Vincent yang selalu memikirkan perasaan orang lain, memikirkan apa arti toleransi dan melakukannya. Terutama pada Gregory, salah satu sosok yang saat ini sangat penting dalam hidupnya. Tanpa ia sadari, Gregory sudah mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik.

“Aku merasa bosan... dengan hubungan kita, Vin. But to be honest, and I swear, aku tidak pernah merasa bosan dengan kamu.”

Fuck.

“Apa ya, aku merasa hubungan kita monoton...? I'm not saying that all these months are not memorable and didn't make me happy, no. But, don't you think we're too fast?”

Terlalu cepat? Terlalu cepat untuk apa?

“Gregory, I don't understand.”

“Maaf...”

Vincent berdecak, tidak tahu reaksi apa yang harus ia berikan, karena jujur, ia sangat bingung. Hubungan mereka baik-baik saja, 'kan? Dengan Gregory memberitahunya bahwa pria itu merasa bosan, ia merasa semua hal yang telah dilakukan untuk Gregory terasa seperti sia-sia.

Is there any reason why? Apa kamu bisa jelaskan?”

Ia mengira Gregory akan terbuka dengannya, menjelaskan padanya apa yang salah dengan dirinya atau bahkan hubungan mereka. Apa yang menyebabkan kekasihnya itu merasa bosan? Apakah tidak ada warna dalam hubungan mereka, yang sebenarnya Vincent sendiri sudah rasakan?

Namun tidak ada satu katapun keluar dari mulut kekasihnya itu. Gregory bergeming, tidak mengucapkan apapun. Pria itu hanya menggeleng, demi Tuhan.

Sungguh, Vincent sudah lelah jika harus selalu memecahkan ini sendirian. Ia butuh bimbingan, ia butuh pria itu untuk memberinya arahan. Ia sudah tidak sanggup mengikuti keputusan Gregory yang mengajaknya masuk kedalam pikirannya yang berbentuk seperti labirin. Pria itu ada di sana, mendampinginya untuk memahami isi kepala dan hatinya. Namun di tengah perjalanan menuju jalan keluar, kekasihnya itu membiarkannya sendirian, meninggalkannya di tengah labirin antah berantah yang tidak ia kenali.

Apa yang harus Vincent lakukan? Ia selalu berpikir, penyesalan akan selalu datang di akhir. Namun rasa sesal itu tidak akan timbul jika ia hanya diam, 'kan?

Vincent hanya membutuhkan jawaban. Dan mungkin, setitik penjelasan.

“Tidak apa. Thanks for telling me the truth, Gregory. I really appreciate it.”

Entah mengapa dadanya terasa nyeri. Vincent tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Hatinya remuk. Ia terdiam, melihat dari ekor matanya bahwa Gregory hanya menundukkan kepalanya sambil memilin ujung pakaiannya, rambutnya yang sudah panjang menutupi kedua mata bulatnya.

Apa yang sedang kamu pikirkan, Gregory, tolong beritahu aku, batin Vincent dalam hati. Ia hanya dapat bertanya satu kalimat yang mungkin akan memecah keheningan itu.

Apakah ini adalah saatnya? Jika memang Gregory merasa terbelenggu dalam hubungan yang monoton dan biasa saja, untuk apa mereka teruskan hubungan ini? Vincent tidak ingin berjuang sendirian seperti orang bodoh yang kehilangan arah. Mereka berdua harus bekerja sama, ia tidak bisa jatuh cinta sendirian. Vincent mencoba untuk memahami kata bosan yang memiliki arti yang beragam, sedang kekasihnya itu tidak mau menjelaskannya lebih jauh.

Haruskah ia mengambil keputusan sepihak, untuk menyelamatkan mereka berdua? Ia dan Gregory seperti sedang berada di persimpangan jalan dengan jalan buntu yang sudah menyambut di depan mata. Mereka harus berhenti, memilih akan membawa diri mereka berjalan ke kanan atau ke kiri.

“Jadi, jika aku simpulkan, kamu sebenarnya ingin sendiri dulu?”

Gregory dengan cepat mengangkat kepalanya, dahinya mengernyit. Kekasihnya itu menggeleng berkali-kali. “No? Of course not? Vin—”

Vincent menghela napas panjang sambil memijat batang hidungnya. “Jujurlah pada dirimu sendiri. To be honest, Gregory. I am happy as long as you're happy. And knowing that you feel like you aren't, it makes me sad. Kalau kamu memang ingin sendiri dulu, aku tidak masalah. Atau,” ucapnya sebelum akhirnya berhenti sejenak, menggigit bibirnya sendiri. Vincent tidak pernah mengira akan melontarkan satu kata yang membuat lidahnya terasa kelu dan mulutnya terasa pahit, mengulum kata itu layaknya racun yang tidak ingin ia telan. Ia bertemu mata dengan Gregory, pria yang membuatnya harinya berwarna dan bahagia sejak hari pertama mereka bertemu.

Ia hanya dapat melemparkan senyum getirnya, merasakan kedua rahangnya mengeras karena menahan amarah. Vincent tidak pernah ingin melontarkan kata terkutuk itu. Ia takut jika ia mengatakannya, Gregory akan mengiyakan permintaannya dan benar-benar pergi dari hidupnya. Namun ia tidak bisa, sungguh. Vincent sudah lelah. “Kamu mau kita break? Atau aku rasa, apa sebaiknya kita putus saja?”

What?” Gregory bertanya setengah berteriak, suaranya seketika membuat kepala Vincent berdenyut. “Just please, Vin, I don't want us to break up. How can you say that so easily?”

Gregory dengan emosinya. Pria itu berdiri dari duduknya dan tubuhnya bergetar. Vincent menatap kedua mata bulat nan indah itu kini diselimuti kilat amarah. Kedua pipinya memerah dan rahangnya mengeras. Vincent hanya dapat menghela napas panjang, mengusap wajahnya kasar. Seharusnya malam ini berakhir menyenangkan, bukan ditutup dengan bertengkar dan adu mulut seperti ini.

Namun Vincent benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya kala Gregory berteriak ke arahnya, mengucapkan kata-kata tuduhan yang membuat hatinya panas. Ia tidak rela. Sungguh tidak rela jika dirinya dituduh seperti itu oleh siapapun, apalagi kekasihnya sendiri, sosok yang selama ini ia percaya akan menjaga hatinya. “I wanted to repair things, but you said that word instead!” Gregory melayangkan jari telunjuknya depan wajahnya, hampir mengenai ujung hidungnya yang mancung. “Kamu sepertinya memang tidak pernah mencintaiku, 'kan? Kalau kamu sayang dengan aku, Vin, kamu tidak akan meminta untuk break atau putus. Bahkan memikirkan dua kata sialan itu!”

Sudah cukup. Sudah. Ia sudah tidak sanggup lagi.

“Gregory!” Vincent tidak sadar sudah berteriak, kedua tangan yang tadinya mengepal, kini sudah meregang. Namun tangan kanannya terangkat, kali ini gilirannya menunjuk ke arah wajah Gregory yang terlihat merah padam. Sungguh, ia sudah tidak bisa lagi menjaga emosinya. “Jaga. Bicaramu.”

Gregory terbelalak mendengar nada bicaranya yang berbeda. Vincent sudah tidak tahu bagaimana raut wajahnya saat ini. Ia tidak peduli, ia sungguh sudah lelah dengan semua omong kosong ini.

“Sepertinya memang semua yang saya berikan tidak pernah membuat kamu puas, ya, Gregory,” katanya sambil mendengus, lalu beranjak dari duduknya. Ia menyugar surai hitamnya kasar dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya berkacak pinggang. Demi Tuhan, Vincent rasanya sedang berbicara dengan tembok beton yang sangat tinggi. “Saya terlihat seperti orang bodoh, berusaha sendirian, meyakinkan dirimu dan kekhawatiranmu itu bahwa saya benar-benar mencintai kamu.

“Kamu sebenarnya bosan dengan saya, dengan hubungan kita, atau dengan dirimu sendiri? Saya pikir, dengan semua yang saya lakukan selama ini akan membuahkan hasil. Kita berdua bisa berubah, saling merasakan cinta satu sama lain. Saya tidak pernah merasa keberatan, sama sekali, memberikan cinta saya untuk kamu. Karena saya benar-benar tulus. But, can you please just stop questioning my love for you because of your insecurities, for God's sake?!”

Vincent lantas berhenti berbicara, menyadari kesalahannya yang fatal. Ia terengah, berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. Ia benar-benar sudah dipengaruhi oleh amarah. But wait, his own feelings are valid too, right?

Don't bring my insecurities into this. You know nothing about me!”

You know nothing about me.

Ia hanya tertawa getir, memikirkan kata-kata yang Gregory ucapkan berulang kali. Vincent menengadahkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang mengancam akan turun dari ujung matanya. Semakin ia memikirkan kata itu, semakin ia yakin bahwa ya, dirinya memang tidak mengenali sosok Gregory yang misterius itu. Kekasihnya itu penuh dengan rahasia dibalik rahasia. Vincent mengira, kotak usang yang selama ini dibicarakan itu adalah kotak terakhir miliknya yang dibuka untuknya, berisi luka yang ditutupi oleh setumpuk rahasia yang tidak terhitung.

Namun ternyata, Vincent salah besar. Sekeras apapun ia berusaha, ia tidak akan mampu membantu Gregory menyembuhkan luka itu, karena pria itu tidak mempersilakannya sama sekali.

“Ya, Gregory, kamu benar,” katanya mengiyakan semua tudingan yang Gregory layangkan padanya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan mengambil dan membuang napas berkali-kali, tidak ingin memiliki rasa penyesalan setelah mengatakan kalimat yang ia tahu akan menyakiti kekasihnya sendiri. “Nyatanya saya memang tidak mengenalmu sedikitpun.”

“Vin?”

Ia tidak menghiraukan Gregory yang memanggil namanya dengan suara bergetar. Ia harus cepat bergerak, sebelum penyesalan merambat hingga ke dasar hatinya.

I recorded something for you days ago,” katanya merogoh saku celananya, mengambil micro-cassette recorder berwarna abu yang kemarin ia gunakan untuk merekam suaranya, diiringi denting nada dari piano yang khusus ia mainkan hanya untuk Gregory. Vincent bermaksud memberikan rekaman itu kepada kekasihnya jika sedang merasa sedih atau tidak bersemangat, seperti hadiah yang sering ia berikan pada pria itu sejak awal mereka menjalin hubungan.

Vincent tidak pernah menyangka, hadiah kecilnya ini mungkin akan menjadi hadiah terakhir. Siapa yang ingin mengakhiri hubungan atau bahkan mengambil keputusan untuk “time out” seperti ini? Vincent tidak pernah memikirkannya sama sekali.

Emosi benar-benar memenuhi kepala dan hatinya, mengikatnya terlalu erat seperti tali tambang yang tebal dan keras. Vincent memencet tombol play pada recorder itu, lalu melemparnya ke arah sofa lalu menatap Gregory dengan tatapan marah. “Kalau kamu masih merasa saya tidak pernah mencintai kamu setelah kamu dengar rekaman ini, I'm sorry to say this to you, Gregory, but you're so stupid.”

Jika memang ini adalah satu-satunya jalan yang harus ia ambil, sepertinya ia harus menerimanya dengan lapang. Apapun akan Vincent lakukan, untuk memperbaiki hubungan mereka yang terikat layaknya benang kusut.

Namun sungguh, saat ini ia merasa tidak sanggup, Vincent tidak sanggup jika harus jatuh cinta sendirian.

Seketika ia mendengar suaranya sendiri memenuhi seluruh ruangan kedap suara itu, membuatnya meringis dan menoleh ke arah Gregory. Kekasihnya itu terpaku melihat alat rekam yang tergeletak diatas sofa sambil menangis tanpa suara.

I won't give up on you If you will never give up on me Anytime that you're off the beat I'll put you on the groove and in key

I'm sorry, Gregory,” katanya lirih, berusaha menenangkan kekasihnya itu yang berdiri mematung sambil menangis. Ia melangkahkan kakinya mendekat, mengangkat tangannya untuk mengusap belakang kepala Gregory dan mengikis jarak diantara mereka. Vincent meninggalkan satu kecupan pada dahi Gregory sambil memejamkan mata, berharap semoga afeksi yang ia berikan ini bukanlah yang terakhir. Ia tidak ingin menyesali keputusannya. Tidak. Ini adalah yang terbaik untuknya dan Gregory. “Saya harap kamu tahu dan sadar bahwa saya benar-benar mencintai kamu.”

Kekasihnya dengan cepat mencengkram lengannya sambil menggeleng. “I love you, Vin. I love you, please don't do this,” pinta Gregory ditengah isakan tangis yang membuat hati Vincent terasa pilu. Ini adalah kali pertama untuknya mendengar Gregory menangis meraung-raung seperti akan kehabisan napas. Namun tidak, tidak bisa. Ia juga harus menjaga hatinya sendiri, pria itu tidak memiliki hak sama sekali untuk meminta hatinya lagi dan kembali membuatnya remuk dengan kedua tangannya. “Please don't leave me...”

Vincent menarik tangannya dan dengan cepat melangkah keluar dari ruangan itu. Sekilas ia melihat dari ekor matanya, Gregory sudah bersujud di lantai dan membungkuk, memeluk tubuhnya sendiri sambil menangis histeris.

Aku mencintaimu. I'm sorry, my love, batin Vincent dalam hati sebelum akhirnya ia membuka pintu studio itu dan melangkah pergi dari sana.

Ia yakin, ini hanyalah fase yang harus mereka berdua lewati. Tidak ada seorang pun yang memiliki panduan bagaimana caranya menjalin sebuah hubungan yang baik dan sehat. Ia dan Gregory selama ini mencoba belajar bersama; bagaimana cara menghargai, menyesuaikan, dan menerima satu sama lain apa adanya.

Namun ia tidak bisa terus-menerus menjaga perasaan Gregory yang secara tidak langsung membuat dirinya sendiri pun terluka. Kekasihnya itu ibarat gelas yang pecah, kepingannya berserakan mengelilingi tempat di mana Vincent berdiri. Ia benar-benar akan melukai dirinya sendiri jika terus-menerus memungut pecahan kaca itu dengan tangan kosongnya, walaupun ia sudah sangat berhati-hati.

Menurut Vincent, rasa percaya adalah salah satu fondasi yang kuat.

Dan Vincent percaya, mereka berdua akan baik-baik saja.

Namun mungkin, tidak sekarang.