the last baton | 426
cw // slightly mentioned of neglected children , cigarettes , jealousy
Vincent tersenyum saat menatap layarnya, melihat foto yang terpampang jelas menunjukkan jembatan Pont des Arts yang melintang diatas sungai Seine yang diunggah oleh Gregory. Langit pada foto itu terlihat begitu cerah, bersyukur hari ini cuaca sedang bersahabat. Vincent saat ini sedang menjalankan latihan didalam gedung orkestra, tidak tahu akan keadaan di luar dari tempatnya sekarang. Jembatan itu terlihat sepi pengunjung, Gregory pasti merasa senang karena bisa menikmati jembatan cinta itu sendirian. Maka dengan cepat ia mengetik pada kolom balasan, mengatakan semoga kekasihnya itu menikmati waktu luangnya.
Gregory semalam memberitahunya bahwa ia akan pergi bersama Thomas hari ini. Pria yang merupakan sahabat kekasihnya itu akan kembali ke Indonesia besok malam, membuatnya lantas mengiyakan agar kekasihnya itu dapat mengajak sahabatnya mengunjungi beberapa tempat di sekitar jantung kota Paris.
Ia pun bersyukur, hari libur Gregory dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin dengan menikmati kota Paris hari ini. Karena jujur saja, ia benar-benar tidak bisa menemani kekasihnya hingga sore hari, mengingat waktu yang berlalu begitu cepat dengan target yang harus dikejar olehnya dan anggota klub orkestranya dalam waktu empat bulan.
Ia menghela napas, memasukkan ponselnya kedalam saku celana, lalu meraih baton stick miliknya yang terletak pada standing partitur dihadapannya. Ia menengadahkan kepala, memejamkan matanya sambil sedikit menggeram, merasakan beban yang semakin berat pada bahunya. Entah mengapa, persiapan konser orkestranya kali ini terasa lebih rumit, dan Vincent tidak pernah meragukan kemampuannya memimpin klub orkestranya. Ia tidak pernah meragukan dirinya sendiri.
Vincent sempat berbincang dengan penyelenggara konser orkestranya yang mengatakan bahwa konsernya kali ini adalah konser yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak, tidak terkecuali beberapa pemain dan konduktor orkestra ternama yang dikabarkan akan datang dari Vienna dan Berlin. Mendengar berita itu saja sudah membuat dadanya berdegup kencang, kedua telapak tangannya berkeringat, dan kepalanya berdenyut.
Mimpinya menjadi konduktor orkestra terbaik di dunia sepertinya bukanlah hal yang mustahil? The Vienna Philharmonic adalah orkestra terbaik di dunia saat ini, membuatnya menjadi sangat bersemangat sekaligus gugup. Ia tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri, tidak ingin mengecewakan klub orkestranya yang sudah berlatih dengan keras dan giat.
Kenyataan bahwa konser orkestra yang digelar dalam empat bulan kedepan adalah kesempatan emas untuknya dan juga anggota klubnya. Walaupun Vincent sendiri tidak tahu apa maksud dibalik kedatangan orang-orang itu, namun tidak ada salahnya berharap, bukan? Ia mengenal kemampuannya sendiri, maka jangan merasa heran jika sejak ia kembali tenggelam dalam kegiatan latihan setiap hari, ia benar-benar memfokuskan dirinya dan terasa seperti tidak memedulikan orang lain.
Obsesi dan ambisinya yang kian tajam seperti pisau sempat menjadi kerikil dalam hubungannya dengan Gregory. Vincent sempat melewatkan hari penting kekasihnya itu karena ia tidak bisa menyudahi kegiatan latihannya begitu saja. Benar-benar tidak bisa, bukannya ia tidak mau hadir dan menyaksikan Gregory beraksi di Caveau de la Huchette.
Nasihat dari Timothy membuatnya tersadar bahwa ia tidak bisa meraih keduanya sesuai dengan keinginannya tanpa usaha yang lebih keras. Jujur, Vincent masih dalam tahap berusaha, mengerti bahwa ia tidak serta merta dapat menyejajarkan kedua hal yang sama penting didalam hidupnya.
Namun terkadang, Vincent masih sedikit lebih mementingkan karirnya.
Ia sempat khawatir dan memikirkan apakah keputusannya untuk menjalin hubungan dengan Gregory terjadi diwaktu yang tidak tepat? Tentu ia hanya menuliskan kekhawatirannya itu pada kertas usang didalam buku catatan hariannya. Tidak perlu ada orang lain yang tahu tentang keraguannya. Ia hafal betul bagaimana pikiran Gregory seringkali dengan mudahnya dipenuhi kabut kekhawatiran, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini pada siapapun, termasuk Timothy, sahabatnya sendiri.
Memikirkan apa yang Gregory keluhkan padanya beberapa saat lalu pun akhirnya membuatnya berpikir, untuk apa Eléonore mengabadikan fotonya setiap hari dengan kamera ponselnya tanpa izin? Ia memang menyadari apa yang wanita itu lakukan dan jujur saja, ia merasa cukup terganggu. Namun Vincent tidak pernah sampai hati, karena ia tidak mau perkataannya menyakiti seseorang yang sudah dianggap sebagai orang yang cukup dekat diantara anggota klub lainnya.
Akan tetapi, tidak mungkin ia akan membiarkan Eléonore terus-menerus seperti ini, 'kan? Ia pun juga ingin menjaga perasaan Gregory. Bagaimana pun, pria itu adalah kekasihnya.
Maka Vincent memejamkan matanya lalu melepas kacamatanya dan meletakkan benda itu di sana. Ia mengusap wajahnya sebentar sambil menghela napas, lalu mengedarkan pandangannya ke arah rekan sesama klubnya yang sedang membereskan alat musik dan barang-barang mereka. Beberapa saat lalu, Vincent merasa latihan pada hari ini sudah cukup, maka tepat pukul tiga siang, ia memutuskan untuk menyudahi kegiatan mereka hari ini, dan akan melanjutkannya esok hari.
“Elé, can we talk for a sec?” Vincent memanggil wanita yang terlihat sedang membereskan lembar partitur yang tertumpuk pada standing di hadapannya itu. Eléonore lantas menoleh, melemparkan senyuman, lalu berdiri dan melangkah ke arahnya. Ia lalu mengisyaratkan wanita itu untuk mendekat dengan tangannya, mengajaknya untuk berbicara di area yang agak sepi.
Eléonore terlihat sangat antusias, kedua matanya mengerling penuh harap. Wanita itu memang terlihat cantik walaupun hanya merias wajahnya dengan simpel dan tidak berlebihan. Hari ini surai coklatnya yang panjang itu diikat bulat seperti sebuah donat. “Of course, Vincent. What is it?”
Ia lalu berdeham sebelum akhirnya menjawab pertanyaan wanita yang sedang berdiri di hadapannya itu. “I don't want to be rude, but can you send all photos of mine that you have been taking, to me? Just use AirDrop is fine,” pintanya dengan nada yang sangat sopan. Vincent tidak ingin menyakiti perasaan wanita itu dengan permintaannya, karena ia khawatir jika terjadi sesuatu, hal itu akan mempengaruhi kerja sama sesama anggota klub orkestranya.
Mendengarnya, Eléonore menganggukkan kepalanya cepat, sambil mengangkat kedua tangannya dan mengacungkan ibu jarinya. “Oh! Bien sûr!” Wanita itu berkata bahwa ia menyanggupi dan akan mengirimkan semua foto yang diminta.
Vincent lalu menghela napas pelan sambil mengernyit, menundukkan kepalanya sebentar lalu mengangkat wajahnya. Manik hazelnya bertemu dengan mata wanita itu, terlihat mengernyitkan dahi dan terkejut saat mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Vincent. “And with all due respect, can you stop doing it?”
“Oh,” jawab Eléonore sambil mengerjapkan matanya, raut wajahnya terlihat sedih, atau entah... sepertinya wanita itu bingung akan permintaannya yang sangat tiba-tiba. “Pourquoi ça? Did I do something wrong?” Wanita itu menanyakan mengapa Vincent memintanya melakukan demikian.
Ia lantas membatin, tidak mungkin ia mengatakan dengan terang-terangan bahwa Gregory tahu akan hal ini dan berujung tidak menyukainya, 'kan?
Lagipula sebenarnya, ia sempat memikirkan apa yang kekasihnya itu katakan. Hingga saat ini, Vincent selalu membiarkan rekan satu klub orkestranya itu mengabadikan fotonya dengan diam-diam, walaupun sebenarnya selama ini dirinya sadar akan hal itu. Namun ia selalu mengabaikannya. Vincent merasa, melakukan konfrontasi pada wanita itu tidak ada gunanya. Eléonore juga tidak menyebarkan fotonya di mana pun, 'kan? Dan setiap fotonya yang diambil oleh wanita itu selalu pada saat mereka sedang latihan, dan ia selalu berpakaian dengan sopan dan kasual pula.
Vincent tersenyum kecut, benar-benar berusaha mengontrol raut wajahnya sendiri. Bagaimanapun, ia tidak ingin terlihat seperti orang yang bereaksi berlebihan. “No, it's just... I'm feeling slightly uncomfortable with it. And as far as I remember, you took my photos without my permission.”
“Oh! I am sorry if you feel that way, but it's for our documentary purpose, Vincent,” jawab wanita itu terbata-bata, seperti kebingungan harus menjawab apa.
Ia melihat Eléonore menundukkan kepalanya sambil memilin ujung kemejanya. Vincent lantas mengernyitkan dahi dan memiringkan kepalanya, membuat sisa surai hitamnya yang tidak terikat sedikit menutupi kedua matanya.
Jika hal itu memang alasan utama rekan satu klub orkestranya untuk mengambil fotonya, lebih baik ia menggunakan jasa orang lain, bukan? Bahkan Vincent dapat meminta tolong Gregory untuk melakukannya. Maka dengan nada yang setenang mungkin, ia menjawab sanggahan wanita itu dan menegaskan keinginannya kembali. “If that's really the case, I know someone who can take it more properly. So you can focus on our practice too.”
Wanita itu menghela napas dan berdecak. “Alright then, sorry for making you feel uncomfortable,” balasnya sambil melangkah dengan berjalan mundur ke arah tempat duduknya semula. Eléonore lalu memeluk alat musik selo miliknya yang besar itu dan merapikannya. Tidak membutuhkan waktu yang lama hingga akhirnya pemain selo itu terlihat mengambil ponselnya dari saku celana sambil melempar senyum ke arahnya. Senyum yang menurut Vincent sedikit menakutkan. Eléonore seperti memiliki maksud tersembunyi. Ataukah Vincent hanya berpikir macam-macam? Ia tidak mengerti. “I will send it to you thru G-Drive or Dropbox later today, Vincent.”
“Thanks a lot. No offense, though,” jawabnya sambil berjalan ke arah podium tempatnya biasa memimpin orkestra sambil meraih ponselnya dari sana.
“No, it's fine. None taken. I am sorry for being rude and take it without your permission, Patron,” katanya dengan nada sedikit mengejek, membuat bulu kuduknya sendiri meremang. Vincent mengepalkan tangan kanannya jengkel dan memutar tubuhnya sehingga berhadapan dengan wanita itu.
“Stop calling me Patron, Elé,” keluhnya pelan sambil melipat kedua tangannya didada. Ia benar-benar tidak suka dengan panggilan “bos”, dan ia mengingat jelas bahwa ia sudah menyampaikan pada rekan klub orkestranya bahwa ia tidak menyukainya. “I am only asking you to stop taking my photos, that's it.”
Vincent jarang sekali menunjukkan emosinya, apalagi jika ia sedang bersama dengan orang asing selain kekasihnya dan para teman dekatnya. Namun melihat raut wajah Eléonore saat ini sedikit membuat amarahnya tergelitik.
Wanita itu terlihat memutar kedua bola matanya malas sambil mengedikkan bahu, membuat Vincent benar-benar kehilangan respek. Eléonore hanya mengangguk pelan sambil menghela napas berat dan meminta maaf padanya lagi. “Okay, je suis désolé.”
“Thank you,” balasnya dengan nada datar. Jika wanita itu masih terlihat aneh dan berjarak seperti ini, mungkin memang sebaiknya Vincent, kembali berbicara formal layaknya orang asing. Toh baginya, hubungan antara dirinya dan Eléonore sebenarnya hanya sebatas rekan sesama anggota klub orkestra, tidak lebih. “I appreciate it.”
Tidak ada sesuatu yang akan terjadi dan berubah, 'kan?
Waktu telah menunjukkan pukul setengah empat sore saat Vincent memarkirkan mobilnya persis di depan kafe yang diberitahu oleh Gregory. Kekasihnya itu sedang menunggunya di sana bersama dengan Thomas setelah seharian menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan ke beberapa tempat wisata di jantung kota Paris.
Ia melepas kacamatanya dan menaruhnya dipuncak kepalanya, tersenyum kemudian saat menangkap sosok Gregory dan Thomas sedang duduk di area luar kafe itu. Mereka berdua terdengar sedang tertawa terbahak-bahak sambil memukul paha masing-masing berbarengan. Dari kejauhan, ia dapat melihat paras pria yang sedang duduk berhadapan dengan Gregory.
Sekilas, Thomas memiliki wajah yang tampan dan senyum yang lebar, lengannya terbentuk, menunjukkan bahwa pria itu rajin berolahraga. Ia terlihat mengenakan kaus oblong lengan pendek berwarna hitam dengan celana panjang dan sepatu boots senada. Melihat Thomas saat ini seperti sedang melihat kekasihnya sendiri, mereka berdua benar-benar layaknya anak kembar, lengkap dengan gaya berpakaian yang sama.
Vincent tersenyum, melangkahkan kakinya pelan ke arah meja mereka sambil memasukkan kedua tangannya pada saku celananya. Ia sudah merindukan Gregory, padahal mereka berdua baru saja bertemu sehari sebelumnya. Rasa rindunya pada Gregory kian menumpuk seiring berjalannya waktu, layaknya lembaran partitur yang sudah penuh sesak memenuhi lemarinya. Vincent rasanya selalu ingin dekat dengan kekasihnya itu, merengkuhnya dalam pelukan tanpa mengenal waktu.
Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Vincent pada awalnya tidak mengerti apa arti jatuh cinta dengan orang lain. Ia hanya tahu bagaimana cara jatuh cinta dengan mimpi dan karirnya; orkestra dan musik.
Itu saja, tidak lebih. Hingga akhirnya Gregory datang, masuk kedalam hidupnya seperti oasis ditengah padang pasir. Kekasihnya itu dengan natural mengajarkannya apa arti cinta itu.
Memang benar, ia membutuhkan waktu cukup lama hingga akhirnya dapat membalas tiga kata cinta itu dan mengatakannya pada Gregory. But he knows it's all worth it.
It all is.
Kafe yang tidak terlalu luas itu terlihat ramai oleh pengunjung. Beruntung Gregory memilih untuk duduk di area luar yang sekaligus dikhususkan untuk area merokok. Ia ingin bernapas dengan leluasa, tidak berbagi oksigen dengan para tamu yang terlihat mulai memadati area dalam kafe itu.
“Gregory, bonjour,” sapanya dengan suara yang sedikit lebih kencang, membuat si empunya nama menoleh ke arahnya, diikuti dengan Thomas yang terlihat terkejut. Pria yang adalah sahabat kekasihnya itu membelalakkan matanya lalu berdiri dari duduknya, membuka topinya dan meletakkan benda itu diatas meja.
Gregory yang masih terduduk di kursi hanya tertawa meledek saat melihat gerak-gerik Thomas, lalu mengulurkan kedua tangannya ke arahnya. Ia tersenyum saat melihat gelagat Gregory, lalu mengikis jarak diantara mereka dengan menangkup wajah kekasihnya itu. Vincent membungkukkan tubuhnya sedikit untuk mencium bibir Gregory yang terlihat merona itu. “Bonjour, Vin sayang,” katanya membalas sapaannya disela-sela ciuman mereka.
Entah sudah berapa ratus kali ia dan Gregory berciuman, namun sensasi yang ditimbulkan selalu berbeda, membuat Vincent selalu ingin melakukannya lagi, lagi, dan lagi.
Ia merasakan beban yang sedang dipikulnya menjadi lebih ringan, seperti ada seseorang yang membantu mengangkat semuanya dari dada dan bahunya. Hadirnya Gregory dalam hidupnya selalu membuat hari-harinya lebih berwarna dan menyenangkan, walaupun ia sedang merasakan beban berat.
Kekasihnya itu seperti seseorang yang diberikan oleh Tuhan khusus untuknya, salah satu alasan bagi Vincent untuk terus selalu bersyukur.
Ia mengakhiri ciuman mereka dan mengecup dahi Gregory pelan, menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah Thomas yang sudah tersenyum sumringah. Vincent lantas mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan pria itu. “Halo, Thomas, perkenalkan nama saya Vincentius. Senang bertemu denganmu.”
Thomas dengan sigap menjabat tangannya, meremasnya dengan yakin, membuatnya lantas menyunggingkan senyumnya. Pria yang sedang berdiri di hadapannya itu sangat percaya diri, terlihat dari caranya menjabat tangan dan menggoyangkannya pelan dengan mantap. Vincent menyukainya. “The pleasure is all mine, bro.”
Melihatnya, Vincent hanya dapat tertawa pelan, membuat Gregory lantas memutar kedua bola matanya yang bulat itu sambil mendengus. Kekasihnya itu terlihat kesal akan jawaban yang dilontarkan oleh sahabatnya. “Dilarang genit ke pacar gue, ya, Thom. Ingat Joshua di Indonesia,” ujarnya sambil mencebik, masih menggenggam tangannya untuk memintanya duduk pada kursi kosong di sampingnya. Thomas hanya mencibir, meledek Gregory sambil melemparinya dengan seiris kentang goreng. Ia menggelengkan kepala melihat tingkah laku keduanya sambil melangkah ke sisi kiri Gregory untuk mengambil duduk.
Suasana siang menuju sore di kafe itu terasa sangat nyaman; angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, pun udara tidak terlalu panas. Ia pun melihat banyak sekali pejalan kaki yang berlalu-lalang di depan mereka; hanya untuk menikmati pemandangan atau bahkan lari sore. Jembatan Pont des Arts yang terletak tidak jauh dari kafe itu pun terlihat mulai sedikit ramai.
Mereka bertiga akhirnya larut dalam obrolan, membicarakan pengalaman Thomas selama di Paris yang sedang bekerja sekaligus liburan. Vincent pun sempat memberikan rekomendasi beberapa toko yang harus didatangi sebelum akhirnya pria itu kembali ke Jakarta besok malam. Pria itu lantas mengambil ponselnya untuk mengetik, membuat Gregory dengan jahil mencondongkan tubuhnya ke arah Thomas untuk mengintip tulisan pada layar.
Waktu terus berlalu, hingga tiba-tiba Gregory menepuk dahinya pelan sambil mengaduh. Pria itu terdengar mengeluh dan meminta maaf padanya karena tidak menawarkan untuk memesan makanan dan minuman sama sekali.
“Vin, kamu mau pesan apa? Let me treat you, okay?” Gregory menepuk lengannya pelan dan bertanya padanya. Pria itu tersenyum sumringah, seperti bangga akan pencapaiannya sendiri, membuat Vincent lantas menyunggingkan senyum lebarnya sambil mengangguk setuju. Kekasihnya itu terlihat sangat bahagia, membuat hatinya terenyuh. “Uang mingguan aku dari kafe sudah turun. Giliran aku yang pesan sesuatu, ya?”
Vincent mengangguk, memajukan kepalanya untuk mengecup pipi kiri pria itu. “Thanks, Beau. Pesan apa saja aku oke, asalkan jangan kopi ya, Gregory. Aku tidak bisa minum,” jelasnya sambil meraih tangan Gregory dan mengecup telapaknya. Ia lalu menempelkannya pada pipinya, membuat Gregory seketika memutar kedua bola matanya, ingin menyembunyikan rona merah dipipinya yang dihiasi bekas luka kecil itu.
“Iya, aku tahu, Vin,” ujarnya lalu berdiri dari duduknya, tangan kanannya meraih dompet dan ponsel miliknya yang terletak di samping gelas minumannya. “Aku tinggal sebentar ya, Vin. Gue tinggal dulu, Thom,” kata Gregory padanya lalu menoleh untuk berbicara dengan Thomas. “Awas lo ya, jangan bocorin apapun ke Vincent.”
Thomas mengerlingkan matanya sambil menjulurkan lidahnya jahil, membuat Vincent lantas tertawa dan menggelengkan kepalanya. Mereka berdua terlihat seperti anak kecil, meributkan hal yang tidak penting, namun entah mengapa membuat dadanya terasa hangat. “Memangnya ada apa? Everything is fine, no? Don't worry, Gre. Gue tidak akan cerita apapun.”
Kekasihnya itu mendengus, lalu membungkukkan tubuhnya sedikit dan mencuri sebuah kecupan pada bibirnya, mengulumnya barang sebentar layaknya permen karamel. Vincent tersenyum karenanya, mengangkat tangannya untuk memegang tengkuk pria itu, membuat Gregory lantas tertawa kecil. Pria itu berbisik, “Jangan percaya apapun ya, Vin sayang.”
Vincent menjawab singkat sambil tangannya berpindah pada pipi pria itu dan menepuknya pelan. “Alright, my love. Thanks for the treat though.”
“My pleasure!” Jawab pria yang lebih muda darinya itu ceria lalu melangkah masuk ke dalam kafe untuk memesan makanan dan minuman untuknya.
Ia lalu menoleh ke arah Thomas yang sudah memperhatikannya sejak tadi, sempat menyadarinya dengan ekor matanya. Pria itu tersenyum, lalu merogoh saku celananya, terlihat mengeluarkan sebungkus rokok dan sebuah pemantik api. Thomas membuka bungkusnya, mengeluarkan satu linting rokok dan menjepitnya diantara bibirnya. Pria itu menawarkan bungkus rokok padanya, namun dengan cepat ia menggeleng, menolak secara halus dengan mengangkat satu tangannya.
Thomas lalu mengangkat sebelah alisnya dan mengucapkan maaf. Ia lantas menyalakan lintingan rokok itu dan menghisapnya, menghembuskan asap rokok itu ke arah berlawanan. Pria itu mengetukkan rokoknya pada asbak, membuang abunya di sana. “You really like to observe others, don't you?”
Sahabat kekasihnya itu tiba-tiba bertanya, membuatnya lantas mengernyitkan dahi dan memiringkan kepalanya. Ia bingung, apa maksud dari pertanyaan pria itu barusan? Ia hanya bisa bertanya dengan nada datar, menyusun kata-katanya sedemikian rupa agar terdengar formal dan sopan. “Maksudmu? Saya tidak mengerti, Thomas.”
Sepertinya Thomas sadar akan responnya itu, maka dengan cepat ia meniup asap rokoknya, lalu meletakkan lintingan itu pada asbak. Ia lalu mengibaskan tangannya, seperti ingin mengoreksi kata-katanya sendiri. “Ah, tidak. Maaf kalau gue lancang, Vincent. Gue hanya memperhatikan cara lo meneliti gerak gerik gue sejak tadi. Lo biasa seperti ini dengan orang baru, ya?”
Vincent lalu membentuk mulutnya seperti huruf vokal “O” dan mengangguk. Bagaimana pria itu bisa tahu hanya dalam waktu yang singkat? “Ya, Thomas, bisa dibilang begitu.”
“Jangan khawatir, gue tidak akan “menggoda” lo seperti apa kata Gre, tenang saja,” katanya sambil tersenyum, lalu mengambil gelas es kopi miliknya dan meneguk isinya. “Gue sudah memiliki pacar di Indonesia.”
Ia mengingat sempat membaca nama pria yang asing sedang berinteraksi dengan Gregory dan sahabatnya itu pada laman media sosial milik kekasihnya itu. “Ah, Joshua, ya? If I'm not mistaken.”
Pria yang duduk di sampingnya itu mengangguk, sambil meletakkan gelasnya kembali diatas meja. “Yep. Pembalap, seumuran dengan gue dan Gre,” jawabnya sambil menghela napas berat. Thomas terlihat mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. “Jujur saja, lo berdua benar-benar membuat gue iri setengah mati.”
“Oh, memangnya ada apa?” Tanya Vincent sedikit bingung. Mengapa pria itu harus merasa iri? Ia tidak merasa hubungannya dengan Gregory begitu istimewa hingga sampai membuat orang lain ingin merasakan hal yang sama.
Thomas meraih rokoknya yang hampir habis, menjepitnya dengan kedua jarinya sebelum akhirnya menghisap benda itu lagi. “Ya, gue selama dua minggu ini ada di Paris dan beberapa kali menghabiskan waktu dengan Gre, rasanya kedua telinga gue sudah cukup panas mendengarkan dia selalu memuji dan membicarakan lo.
“But in the end, I understand though. I can see the way you look at him, Vincent.”
Pria itu mematikan rokoknya pada asbak lalu menoleh ke arahnya, menatapnya sambil tersenyum lebar. “You really love him, don't you?”
Wow, sepertinya Gregory benar-benar menceritakan semua hal yang ia lewati dan alami pada Thomas, ya? Vincent bertanya dalam hati.
“Oh, he told you?”
“Tentu saja. Dia benar-benar bahagia saat itu, sempat menelepon gue sambil terisak,” jelasnya lalu menyampingkan tubuhnya dan menghadap ke arahnya. Vincent lantas menaruh kedua sikunya pada pinggir kursi itu dan mendengarkan kata-kata pria itu dengan serius. “Gue dan Gre sudah bersahabat sejak lama, Vincent. We are like brothers, my Mom always asks how he has been, et cetera. Sejak dia tinggal di Paris, baru kali ini kami bertemu lagi setelah sekian lama. Tapi gue bersyukur, Gre akhirnya dapat teman seperti Warren, Timmy, dan Max. Mereka bertiga benar-benar orang yang baik.
“Especially you,” kata pria itu lagi sambil berdecak. “So, please, always keep him safe, ya, Vincent? Gue selalu merasa khawatir dari Indonesia, merasa tidak bisa menemani dia secara langsung setiap kali dia membutuhkan bantuan gue.” Thomas meminta tolong padanya yang dengan sigap ia tanggapi dengan mengangguk mantap sambil mengacungkan ibu jarinya.
Vincent menghela napas, memikirkan betapa beruntungnya ia bertemu dengan Gregory, pria yang sudah membuatnya tertarik sejak pertama kali mereka berdua bertemu di restoran Page 35; membuatnya merasa kagum akan kekasihnya itu. Thomas lalu menepuk bahunya pelan, mengusapnya dan berkata kemudian. “Gue bersyukur dia bertemu dengan lo. Gue lihat lo memang pria yang baik, benar-benar menyayangi dan menghargai dia. Thanks, ya.”
Ia mengangguk dan menepuk punggung tangan pria itu singkat. “Ya. Saya benar-benar mencintai Gregory. Dan jangan khawatir, saya akan terus mendampinginya sampai kapanpun,” jawabnya mantap dan merasa lega, setidaknya Thomas memercayainya untuk terus menemani dan menjalin hubungan dengan Gregory.
Sahabat kekasihnya itu lalu mengucapkan terima kasih padanya lalu menegakkan tubuhnya. Ia mengambil topinya yang berwarna hitam itu dan mengenakannya dan menyambung lagi. “Gue tahu, ini adalah hubungan kalian, tapi gue apa boleh minta tolong, bro?”
Vincent mengernyitkan dahi, merasa sedikit ragu. “Sure. Apa itu?”
“Gre adalah orang yang rapuh. Dia memang tertutup, tidak pernah mau terbuka dengan orang lain. Namun tolong dimengerti, ya? Dia hanya tidak mau menyakiti lo atau orang lain di sekitarnya. Dia selalu berpikir bahwa dirinya hanya menyusahkan orang lain, which is not. Dia keras kepala, sangat keras kepala.
“Gue tahu lo sudah tahu ini, jadi gue berusaha berbagi cerita dengan lo. The fact that his parents neglected him always haunt him, every single night. Gre is like a bowl, and love is like a water, I guess?
“He knows his parents don't love him, so the bowl has been dry and fucking empty. And now you're pouring him with so much love, to fill the bowl up, sampai airnya luber. Dan dia benar-benar bahagia karena itu. Tapi dia takut, kalau lo tiba-tiba pergi dan tidak ada di sana untuk menjaga supaya airnya tidak habis,” jelasnya panjang lebar, membuat Vincent lantas membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mencerna semuanya itu. Ia mengangguk, merasakan bahwa Gregory layak mendapatkan cinta dan perhatian yang begitu banyak. Ia pun mengamini semua yang dijelaskan oleh Thomas, kekasihnya itu benar-benar persis seperti apa yang baru saja diceritakan oleh pria itu.
Thomas bertanya lagi saat tak kunjung mendengar jawaban darinya. Pria itu terkekeh pelan. “Paham maksud gue, 'kan, Vincent?”
Ia lantas mengerjapkan matanya, menyadari bahwa sedari tadi ia sudah larut dalam pikirannya sendiri. “Ah, ya, saya paham, Thomas. Thanks, though, for trusting me.”
“I know I can trust you, bro,” jawabnya mantap. Vincent tersenyum melihat reaksi sahabat kekasihnya itu. “Oh ya, satu lagi. Kalau Gre suatu saat menunjukkan seperti sedang cemburu atau menyebalkan, diajak bicara saja. Tadi dia sempat cerita ke gue soal teman satu klub orkestra lo, dan sudah gue nasihati.”
Ah, Vincent benar-benar lupa akan hal itu. Ia harus menyampaikannya pada Gregory setelah ini.
“Dari gelagat dia sih sepertinya paham, tapi tidak tahu sebenarnya iya atau tidak,” ujar pria itu lalu tertawa keras, membuatnya tersedak oleh asap rokoknya sendiri. Vincent lantas tertawa, lalu menjulurkan tangannya untuk mengambil segelas air mineral milik pria itu dan menyerahkannya padanya.
Ia dan Thomas sibuk tertawa hingga perutnya terasa kram, tidak menyadari bahwa Gregory sudah berjalan ke arah mereka dengan membawa sebuah nampan berisi beberapa makanan dan minuman yang dipesan oleh kekasihnya itu sambil mengumpat.
“Fuck, you guys must be talking about me!”