the last baton | 547

Gregory merebahkan tubuhnya diatas kasur sambil menghela napas. Ia mengulas senyum kemudian, sambil menatap langit-langit kamar apartemennya yang terlihat pucat.

Hari ini adalah hari yang baik dan menyenangkan untuknya. Kedua pipinya terasa pegal karena ia tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya seharian, bahkan saat dirinya bernyanyi di bar beberapa jam yang lalu.

Entah hal itu terjadi karena Vincent memberi satu buket bunga untuknya, atau karena kekasihnya itu menontonnya bekerja malam ini dengan senyum lebar yang membuat hatinya terenyuh. Atau bahkan keduanya?

Gregory merasa asing dengan perasaannya sendiri, namun ia sangat menyukainya. Ia ingin mengulangi rasa yang sama esok hari, lusa, bahkan selamanya.

Apakah ini adalah salah satu ciri-ciri bahwa seseorang sedang merasa bahagia?

Satu hal yang Gregory sadari, bahwa setiap kali ia merasa bahagia, Vincent selalu ada di sana, menjadi pemeran kedua yang mendampinginya.

Dan, pria itu selalu merasa bahagia setiap melihat dirinya bahagia.

Tanpa Gregory sadari, Vincent adalah seseorang yang benar-benar ia butuhkan.

Ia lalu menoleh ke arah nakas yang terletak disamping kasurnya, memandang buket bunga peony berwarna merah muda pemberian Vincent yang sangat cantik, memberikan warna berbeda untuk kamar tidurnya yang cenderung bernuansa monokrom. Ia tidak peduli dengan beberapa orang yang berpapasan dengannya tadi saat pulang ke apartemennya dengan menggunakan metro.

Gregory menyadari orang-orang itu menatapnya dengan aneh, terheran-heran melihatnya membawa buket bunga yang beratnya cukup membuat kedua lengannya pegal.

Ia menggelengkan kepalanya sambil menggigit bibirnya. Vincent benar-benar terlihat seperti orang yang baru saja merasakan jatuh cinta dan sedang melakukan pendekatan. Pria itu bahkan akan mengajaknya pergi kencan esok hari, seperti anak muda saja!

Memikirkan hal itu membuatnya tersenyum, menyadari perasaan hangat yang mengetuk hatinya dan menuntut untuk singgah di sana. Gregory menggerak-gerakkan kedua kakinya dengan cepat bergantian, membuat seprai kasurnya lantas kusut dan berantakan.

Oh, mon Dieu. Ia benar-benar harus menelepon Thomas sekarang.

Gregory mengambil ponselnya, melihat waktu pada layar yang menunjukkan pukul sebelas lebih empat puluh lima malam. Ia tahu, Thomas pasti masih terlelap menikmati waktu istirahatnya, dan ia sendiri pun harus segera tidur.

Namun jujur, ia benar-benar tidak dapat menahan rasa senangnya hingga esok hari.

Ia menyejajarkan wajahnya dengan layar, lalu mencari kontak sahabatnya itu untuk meneleponnya.

Thomas mengangkat teleponnya pada dering keempat.

“Halo?” Gregory menyapa sahabatnya dengan suara pelan. Pria itu terdengar menggeram, seperti terganggu dengan telepon darinya. Bagaimana sahabatnya itu tidak kesal, saat ini di Jakarta masih menunjukkan pukul enam pagi.

Gregory lantas meringis, tidak enak hati dengan sahabatnya itu. “Thom, masih tidur?”

Sahabatnya itu mengeluh, berdecak lalu menjawab pertanyaannya dengan suara seperti mengigau. “Menurut lo?” Pria itu bertanya padanya, sesaat terdiam sebelum menyambung lagi. “Ini jam enam pagi, Gregory. Jesus Christ.”

“Sori,” katanya meminta maaf sambil terkekeh pelan. Ia benar-benar rindu mendengarkan Thomas mengumpat seperti ini. Mereka sudah lama tidak bicara lewat telepon, hanya mengobrol secukupnya lewat pesan singkat karena keduanya sedang sibuk. Ia dengan pekerjaannya dan Vincent, Thomas dengan pemotretan dan pekerjaannya yang lain. “I just need someone to talk to. Thought you are already awake, bro,” ujarnya santai.

Bangsat,” umpat Thomas cepat, membuatnya lantas tergelak. Ia tersenyum, sebentar lagi ia akan mendengar suara sahabatnya itu memaki-makinya secara langsung. “Mana ada gue subuh seperti ini sudah bangun, nyet. Weekend pula. Gue ingin teriak tapi Josh masih tidur,” omelnya walaupun dengan berbisik. Gregory mendengar suara berkeresak diujung telepon, seperti suara selimut sedang disibakkan. “Nggak usah ketawa lo ya. Awas lo.”

Gregory terkekeh. “Galak banget, anjing. Anyway, the reason why I called,” jelasnya sambil menegakkan tubuhnya dan bersandar pada dinding kamar apartemennya yang terasa dingin pada punggungnya. “I have a situation, Thom, but I want to tell you thru the phone instead of texting you,” jelasnya singkat. Ia menggumam lalu berpikir, apakah sebaiknya ia mengakhiri telepon mereka untuk mempersilakan sahabatnya itu untuk kembali beristirahat. “Atau, apa sebaiknya gue telepon lo lagi nanti siang saja?”

Ia bisa mendengar Thomas menggelengkan kepalanya. “Jangan. Lebih baik sekarang, karena gue setelah ini mau tidur lagi. Today is my day off but I’ll let you slide.” Thomas menjawab sekenanya sambil terdengar menguap. “Ada apa, Gre?”

Okay, so,” katanya memulai pembicaraan. Gregory tidak sadar sedari tadi sudah menggigit bibirnya. Ia terlalu bersemangat untuk menceritakan rencananya dengan Vincent esok hari pada Thomas. God, ia benar-benar terlihat seperti anak muda yang baru saja merasakan jatuh cinta. Gregory pun bingung dengan tingkah lakunya sendiri. Kalau saja saat ini bukan malam hari dan lantai gedung apartemennya yang tidak tipis yang cenderung akan mengganggu penghuni unit yang berada dibawahnya, mungkin saat ini ia akan melonjak-lonjak sambil berteriak.

Namun tentu ia urungkan, tidak ingin berurusan dengan pemilik apartemen yang baru bertemu dengannya satu kali itu. “Vincent besok bakal ajak gue nge-date. I don’t know exactly where to,” jelasnya sambil tertawa kecil. Kedua pipinya terasa pegal akibat terlalu lama tersenyum.

Thomas terdengar bertanya dengan heran. “Nge-date? God, kalian ini,” ujar sahabatnya diujung telepon sambil mendengus. “Seperti sedang pendekatan saja? Memangnya kalian berdua ada momen spesial apa?”

Momen spesial? Sepengetahuannya, Vincent dan dirinya tidak memiliki hari atau sesuatu yang harus dirayakan mendekati hari ulang tahunnya. “Justru itu, Thom. Tidak ada sama sekali. Ulang tahun gue pun masih sembilan hari lagi, ‘kan,” jelasnya sambil meraih bantal untuk dipeluknya. “He wants to do things differently this time, I guess?” Tanya Gregory retoris pada pria diujung telepon.

Gregory menangkap suara sahabatnya itu menggumam, pun suara samar-samar Joshua dibelakangnya. Tak lama kemudian, ia mendengar suara pintu seperti ditutup. “Sori, sebentar gue lagi mau pindah ke ruang tengah.”

Ia menggumam, menggunakan jeda waktu tersebut untuk merebahkan tubuhnya kembali. Ia merasa beruntung memiliki Thomas, satu-satunya sahabat yang rela mendengarnya bercerita walaupun perbedaan waktu enam jam antara Indonesia dan Paris, yang seringkali menjadi penghambat. Namun keduanya selalu rela meluangkan waktu walaupun sebenarnya akan mengganggu istirahat satu sama lain.

“It's going to be fancy. No?” Tanya pria itu tiba-tiba, terdengar menghela napas berat. “Tumben sekali, Gre?”

Ia mengedikkan bahu, walaupun tahu bahwa pria yang sedang berbicara diujung telepon tidak dapat melihatnya. “I don’t know. Ya seperti yang gue bilang, dia mungkin mau coba hal baru. Lagipula kami berdua jarang sekali pergi kencan.”

“Yeah, I know,” ujar pria itu singkat sambil menguap. “Dia tidak ada clue? But well, knowing Vincent sih sepertinya dia tidak akan memberitahu lo,” jelas Thomas menjawab pertanyaannya sendiri.

I know right,” katanya memberi respon sambil menghela napas berat.

“But, lo pasti telepon gue tidak hanya mau pamer kalau besok akan pergi kencan, ‘kan? I can hear you thinking right now. What’s wrong, Gre?”

Thomas. Selalu tahu apa isi hatinya tanpa ia bicara. Terkadang sahabatnya itu sedikit membuatnya takut.

“Gue,” mulainya dengan sedikit ragu, berusaha untuk menguburkan rasa khawatirnya. “Tiba-tiba teringat rencana gue itu. Ulang tahun gue sebentar lagi, Thom. And I can’t stop thinking about the fact that I will do my plans soon, three days after. Should I tell Vincent sooner? Kami berdua sedang bahagia-bahagianya. I’m afraid he’d be mad if I told him on short notice. Gue hanya tidak mau menghancurkan hari ulang tahun gue. I remember his promise, we’re going to celebrate my birthday together.”

Memang, tidak ada lagi rahasia diantara dirinya dan Vincent. Namun untuk rencananya kali ini, Gregory berusaha menutupinya rapat-rapat sampai waktu yang tepat untuk memberitahu kekasihnya itu. Sebenarnya ia yakin, bahwa pria itu pasti akan mendukungnya menjalankan rencananya itu.

Tapi Gregory juga manusia. Ia diperbolehkan untuk merasa takut, 'kan?”

Kalau rencana lo membuat lo mulas,” ujar Thomas, membuatnya menggeram. Ia terkadang merasa heran dengan perumpamaan yang digunakan oleh sahabatnya itu setiap kali mereka mengobrol. “Hei, gue serius, Gre. Kalau lo khawatir rencana lo itu akan membuat hari-hari lo kedepan akan berantakan, lebih baik lo cerita saja secepatnya.”

“Begitu, ya?” Tanyanya ragu, sambil tangannya memilin ujungnya sarung bantal miliknya.

“Yeah. Menurut gue sih begitu, Gre. Tapi ya, semua keputusan ada ditangan lo. Ikutin kata hati lo saja. Gre. Dan menurut gue, kalau dia benar-benar sayang lo, gue rasa dia akan setuju dengan rencana lo. And he won’t stop you, because that’s your life we’re talking about.”

Yeah I know. Gue hanya takut, Thom.”

Bahkan dirinya sendiri lelah membicarakan ketakutannya.

Takut?” Thomas bertanya dengan nada heran, membuatnya menghela napas pelan. “Lo takut kenapa?”

Gregory berusaha mengutarakan isi hatinya pada Thomas. Semua hal yang sedang direncanakan, adalah untuk kebaikan dirinya sendiri, 'kan? “I’m afraid I can’t convince him, that this is not me running from him. This is me going back to put myself back into one piece.”

Lo jujur saja ke Vincent, Gre. In my opinion, I know he will understand. But I’m not him, so you can’t ask me what he would say or do. Momennya sedang pas. Lo ajak dia ngobrol saja setelah kalian pulang dari nge-date. Usul gue sih, hanya itu.

Menurut gue, lo jangan bilang ke dia saat hari ulang tahun lo. Feeling gue, it will ruin your day.”

Dan feeling Thomas tidak pernah salah.

Alright then. Wish me luck, okay?”

“Always, bro. Apapun hasilnya besok, beritahu gue ya? Have fun tomorrow,” kata pria itu dengan nada yang dipaksa untuk ceria. Thomas pasti sudah mengantuk lagi.

Ia tertawa. “Yeah, thanks Thom.”

Pria itu meresponnya diujung telepon dengan suara yang kecil. Sepertinya sebentar lagi Thomas akan tertidur dengan ponsel masih menempel pada telinganya. “No worries, Gre. Gue balik tidur lagi ya?”

Ah, alright. Thanks though. Sori gue ganggu istirahat lo,” katanya meminta maaf, benar-benar tidak enak hati dengan sahabatnya itu.

Santai, nyet. Not at all. Good luck, Gre. Bye.”

Bye, Thom.”

Klik.

Telepon pun terputus, membuat Gregory lantas membiarkan ponselnya tergeletak di sampingnya dan berusaha memejamkan kedua matanya. Ia menghela napas panjang dan berat.

Ya, semoga semuanya baik-baik saja.


Waktu telah menunjukkan pukul lima sore saat Vincent memberitahunya bahwa pria itu sudah sampai di depan gedung apartemennya. Ia berkaca didepan cermin yang ada di ruang tengah apartemennya sambil tersenyum lebar, merasa puas dengan pilihan pakaiannya sebelum akhirnya turun dari unitnya untuk bertemu dengan Vincent.

Kekasihnya itu hanya berkata bahwa mereka akan pergi makan malam dengan tema kasual. Namun ia ragu. Vincent seringkali memberikan kejutan untuknya yang berbeda jauh dengan deskripsi pria itu. Maka malam ini, ia memutuskan untuk mengenakan kaus putih dengan dibalut kemeja lengan panjang berbahan flanel. Celana panjang jins ketat berwarna hitam yang membalut kedua kakinya membuat kakinya terlihat jenjang, pun dengan sepatu boots senada yang membuatnya sungguh terlihat menakjubkan malam ini.

Dengan cepat ia menuruni anak tangga gedung apartemennya dan berlari-lari kecil menuju pintu masuk gedung apartemen.

Sepasang mata bulatnya lalu menangkap sosok Vincent yang sedang merapikan blazer yang dikenakannya. Ia lantas menghampiri pria itu sambil berteriak sedikit keras. “Sayang!”

Vincent menoleh, lalu melambaikan tangan sebelum merentangkan kedua lengannya. “Hey, gorgeous,” sapa Vincent sambil merengkuh tubuhnya kedalam pelukan. Pria itu mengikis jarak diantara mereka dan mengecup bibirnya singkat. Gregory hanya dapat tersenyum sumringah saat mendengar kekasihnya itu memuji penampilannya malam ini sambil berbisik dibibirnya. “Mon Dieu, baby, you look so fucking amazing.”

Gregory terkekeh, lalu membalas ciuman kekasihnya itu sambil memagut bibir bawahnya. “You don't look to bad yourself, Vin.”

Vincent lantas menarik wajahnya, lalu mendaratkan kecupan pada dahinya, membuatnya tersenyum sambil menghirup aroma tubuh pria itu yang menguar kuat, menyapa indra penciumannya. Vincent tidak terlalu menyukai minyak wangi, ia hafal betul dengan wangi sabun yang menempel pada kulit kekasihnya itu.

Pria itu melirik ke arah jam tangannya lalu mengajaknya untuk segera berangkat dari sana. Keduanya berjalan bersisian menyusuri jalan Rue de la Huchette menuju tempat Vincent memarkirkan mobilnya. Udara kota Paris malam ini terasa begitu dingin, walaupun langit terlihat cerah.

Gregory berharap dalam hati, semoga kekasihnya itu tidak mengajaknya pergi makan malam di area luar restoran. Kaus yang dikenakan olehnya sangat tipis, tidak menyangka bahwa kemeja lengan panjangnya tidak mampu menghangatkan tubuhnya sendiri.

Sepertinya Vincent menyadari bahwa dirinya mulai merasa kedinginan, maka pria itu dengan cepat menarik tangannya dan mengaitkan jemari mereka. Gregory lantas menoleh, melihat Vincent sudah menyunggingkan senyum lebar kearahnya. Hatinya terenyuh, merasakan cinta yang Vincent berikan lewat hangat yang menjalar keseluruh tubuhnya.

Kekasihnya lalu memasukkan kedua tangan mereka kedalam saku blazer yang dikenakannya. Gregory merasakan ibu jari pria itu mengusap punggung tangannya berkali-kali, menggenggam tangannya begitu erat.

Dan untuk kesekian kalinya, ia merasa bahagia memiliki Vincent dihidupnya.


Vincent enggan memberi informasi apapun padanya tentang tujuan mereka, sekeras apapun usahanya bertanya pada kekasihnya itu. Pria yang sedang mengemudi disampingnya itu hanya menggeleng dan memintanya untuk memejamkan kedua mata bulatnya. Gregory hanya dapat menanggapi dengan mendengus, mau tidak mau melakukan apa yang diminta oleh Vincent.

Perjalanan mereka menuju lokasi hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Ia lalu merasakan Vincent menyentuh lengannya, mengatakan padanya bahwa mereka akan sampai di tempat tujuan. Laju kecepatan mobil kekasihnya itu pun melambat, sepertinya mereka sedang menyusuri jalan yang agak sempit.

Maka dengan cepat ia membuka matanya, mengernyitkan dahi kemudian.

Gregory sempat tidak mengenali tempat itu, namun akhirnya kedua matanya terbelalak, terkejut saat membaca papan tanda penunjuk bahwa mereka sedang berada di Port de la Bourdonnais.

Ia setengah berteriak, menoleh ke arah Vincent dengan mulut menganga. “Vincentius. No way!?”

Kekasihnya itu hanya terkekeh sambil mencari satu lot kosong untuk memarkirkan mobilnya. “Yes way, my love.”

Fuck,” umpatnya tiba-tiba, membuat Vincent lantas tergelak. Pria itu masih bisa tertawa?! Bahkan dirinya saat ini ingin membuka jendela mobil dan berteriak sekencang-kencangnya. Vincent sudah benar-benar gila. “You really remember about the suggestion, don't you?”

“Ya, Gregory,” ujarnya sambil mengulas senyum. “Aku ingat kamu pernah bilang, kalau kamu ingin sekali pergi makan malam di tempat ini. So yeah, aku memanfaatkan waktu luang kita berdua untuk mengunjungi tempat ini.”

“Kamu gila,” ujarnya masih tidak percaya. Gregory bisa mendengar detak jantungnya sendiri dengan kedua telinganya. Dadanya berdegup begitu kencang, khawatir jika pria itu akan melakukan sesuatu yang tentu akan membuatnya mungkin akan pingsan.

Setelah Vincent memarkirkan mobilnya, mereka lalu turun dan melangkah ke arah cruise yang terlihat sangat cantik pada sore hari seperti ini. Vincent menggenggam tangannya erat, memasukkan tangan mereka kedalam saku blazernya lagi.

Gregory lalu teringat akan sesuatu. Ia lantas menoleh, menengadahkan kepalanya dan melihat Menara Eiffel menjulang tinggi, terasa sangat dekat dengannya. Menara itu memancarkan cahaya kuning yang begitu cantik. Terakhir kali dirinya menikmati pemandangan seperti ini adalah saat ia menginap dengan Thomas di hotel yang berjarak hanya seratus meter dari menara Eiffel.

Ia mengikuti langkah Vincent memasuki cruise, seketika disambut dengan antrean beberapa tamu yang juga akan menikmati makan malam di restoran itu.

Kekasihnya merogoh saku dalam blazernya, mengeluarkan dua lembar tiket untuk masuk kedalam restoran. Seorang wanita yang berprofesi sebagai pramusaji lalu menyapa Vincent. Pria yang berdiri di sampingnya itu lantas tersenyum dan berkata dengan bahasa Perancis yang terdengar sangat seksi, sontak membuat kedua lututnya lemas.

Bonsoir, j’ai une réservation au nom de Vincentius,” ujarnya pada wanita itu dengan aksen yang kental. Kekasihnya itu menjelaskan bahwa ia sudah memiliki reservasi atas namanya sendiri. Pramusaji itu lalu menggerakkan jari telunjuknya pada layar tablet yang ada di hadapannya, seperti sedang mencari lokasi dan meja yang sudah disediakan untuk mereka.

Gregory mengedarkan pandangannya, melihat para tamu yang berdandan sangat tampan dan cantik, berbanding terbalik dengan dirinya yang berpenampilan seadanya. Ia hampir saja terlena dengan pikiran buruk dan kekhawatirannya, sesaat sebelum merasakan lengan kekasihnya merengkuh tubuhnya dan memeluknya.

Vincent seperti tahu apa yang sedang dipikirkannya.

This is too much, sayang,” bisik Gregory sambil menyandarkan kepalanya didada Vincent. Kekasihnya terdengar tertawa. Ia merasakan dada pria itu bergetar ditelinganya. Vincent lalu mengecup pelipisnya sekilas sambil mengusap punggungnya dengan sayang. “I don't deserve this, you know.”

Pria yang sedang mendekap tubuhnya itu berdecak, lalu mengeratkan pelukannya. Sungguh, Gregory menyukainya, berusaha tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang terlihat sedang memperhatikan mereka. Pelukan Vincent hangat, nyaman dan menenangkan. “Wait until your birthday, baby,” katanya menyambung lagi, membuat jantungnya seperti merosot tajam hingga kedasar perutnya.

Apa yang akan terjadi saat ulang tahunnya?

And you deserve this Gregory. You deserve a reward for yourself, for being tough and patient with your own self,” jelas Vincent lagi.

Detik itu juga, Gregory menengadahkan kepalanya, menatap sepasang manik hazel itu kemudian. Mereka beradu tatap, sorot mata Vincent begitu teduh, membuatnya terhanyut dalam suasana malam ini.

Ia begitu mencintai Vincent, dan ia yakin bahwa pria itu dapat merasakannya.

Are you happy?” Vincent bertanya lirih. Gregory hanya dapat menganggukan kepalanya lemah, menggumam lalu tersenyum sumringah ke arah kekasihnya itu. Ia mendengar Vincent menghela napas panjang, lalu mengecup dahi, kedua mata serta hidungnya. “Thank God. Because I am happy if you are.”

Sebelum Gregory menanggapinya, seorang wanita tadi memanggil nama Vincent, meminta mereka untuk berjalan ke arah meja yang sudah disediakan. Kekasihnya itu lantas menggandeng tangannya dan berjalan mendahuluinya.

Ia lalu mengedarkan pandangannya, memperhatikan interior restoran yang begitu cantik dan terkesan romantis. Walaupun tidak semewah yang ada dalam bayangannya, namun Gregory menyukainya. Ia pun melihat ke arah luar kaca jendela restoran, terlihat lampu gedung yang terletak dipinggir jalan sungai Seine mulai menyala. Beberapa kapal lainnya pun terlihat sepi, berjejer di seberang kapal tempatnya berdiri.

Restoran ini benar-benar menakjubkan, membuatnya berkali-kali berdecak dan ber-oh-ria. Ia tidak pernah menyangka, celetukan asalnya beberapa bulan lalu saat sedang mengobrol dengan Vincent akan menjadi kenyataan. Ingatannya kembali ke masa itu, saat mereka berdua sedang berjalan melintasi jembatan Pont de Alexandre III pada malam hari, dan Gregory membayangkan jika suatu saat mereka memiliki waktu luang untuk makan malam diatas cruise sambil menyusuri sungai Seine.

Dan hari ini, Vincent akhirnya mewujudkannya.

Keduanya akhirnya sampai pada meja yang disediakan untuk mereka. Gregory lantas menggelengkan kepalanya tidak percaya; meja ini adalah meja paling strategis dalam restoran itu, ia pernah membacanya pada salah satu artikel media lokal Paris. Dari meja ini, mereka berdua dapat menikmati pemandangan dan waktu tanpa merasa terganggu dengan tamu lainnya.

Vincent pun mengucapkan terima kasih pada wanita itu, lalu menarik kursi untuknya dan mempersilakan dirinya duduk.

Gregory menggigit bibirnya, berusaha menahan tawa melihat tingkah kekasihnya itu. Ia lalu mengucapkan terima kasih pada Vincent sambil berdiri diantara kursi dan meja itu. “Can’t believe you literally booked the best spot of this cruise just for a casual dinner, sayang. Really?”

Let me impress you, okay,” kata pria itu sambil mendengus pelan. Gregory hanya terkekeh lalu duduk tepat berhadapan dengan Vincent. “This is a date, Gregory,” katanya singkat lalu mengambil duduk.

Okay, then,” ujarnya sambil tertawa, melihat Vincent begitu senang dengan reaksinya. “Kamu dan egomu, tidak bisa diganggu gugat.”

Kekasihnya itu menggumam, menatap mata bulatnya lekat. “Do you like this, my love?”

Ia mengangguk. “I love this so much. Thanks, Vin sayang. Again, you always go the extra miles.”

I will do anything for you,” kata Vincent sambil mengulurkan tangan untuk meraih tangannya, dan meninggalkan beberapa kecupan pada bagian punggungnya. “I love you, Beau.”

Mon Dieu, how can I not love him? batin Gregory dalam hati. Ia merasakan bulu kuduknya meremang, bersamaan dengan kepakan sayap kupu-kupu yang memenuhi dada dan perutnya. Ia benar-benar seperti anak muda yang sedang merasakan jatuh cinta!

Gregory lantas menarik tangan Vincent untuk membalas pria itu dengan mengecup bagian punggung tangannya. Kekasihnya terlihat terkejut, membuatnya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Vincent tidak pernah bisa menyembunyikan raut wajahnya setiap kali mereka sedang bersama, apalagi saat Gregory melakukan sesuatu yang terasa asing untuk pria itu.

Cheesy deh,” ujar Gregory sambil menyandarkan wajahnya pada telapak tangan Vincent. Ia menatap manik hazel itu dengan sorot mata yang teduh. “I love you too, Vin.”

Tak lama setelahnya, seorang pramusaji tadi kembali menghampiri meja mereka, menyuguhkan welcome drinks, lalu bertanya pada Vincent tentang wine yang akan dikeluarkan terlebih dahulu. Sepertinya kekasihnya sudah mengatur menu mereka sedemikian rupa, sehingga akhirnya Gregory menggunakan kesempatan itu untuk mengambil ponselnya. Ia ingin mengabadikan momen istimewa mereka malam ini dengan mengambil foto pemandangan dan suasana restoran itu sebanyak-banyaknya.

Ia pun mengambil foto Vincent sedang menunduk, terlihat begitu fokus pada buku menu sambil mengernyitkan dahinya. Kekasihnya benar-benar sempurna, rambut hitamnya yang panjang dibiarkan terurai menutupi tengkuk lehernya. Vincent terlihat begitu tampan dengan mengenakan kemeja yang dibalut dengan sweater tanpa lengan berwarna hitam, dan mengenakan blazer berwarna monokrom sebagai luaran. Hidungnya yang mancung dan kedua alis hitam yang tebal mendampingi sorot manik hazelnya yang tajam.

Dengan cepat Gregory mengabadikan momen itu, berharap suatu hari ia dapat kembali melakukan hobi melukisnya. Sungguh, ia ingin mewujudkan keinginannya sejak lama untuk melukis Vincent, lalu memberikan hasil karyanya pada pria itu sebagai bentuk terima kasih.

Lima menit telah berlalu, ia menangkap dengan ekor matanya Vincent sedang menutup buku menu sambil menyebutkan dua botol wine yang ingin dipesannya. Pria itu lalu mengucapkan terima kasih pada pramusaji itu.

Gregory lantas menoleh ke arah kekasihnya sambil tersenyum, mengulurkan tangannya dan mengaitkan jemari mereka. Vincent tersenyum lebar, lalu meraih tangannya kemudian. Pria itu melafalkan tiga kata cinta dengan bibirnya tanpa suara. Tanpa berpikir, Gregory seketika membalas ucapan pria itu sambil tersenyum lebar, menunjukkan sederet giginya.

Ia terlalu larut dalam rasa bahagia yang membuncah dan memenuhi rongga dadanya tanpa permisi. Vincent seperti seorang malaikat untuknya, selalu memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Menjaga hatinya bak gelas kaca yang ringkih, namun tidak ingin menggenggamnya lagi terlalu erat untuk kedua kalinya.

Masing-masing perlahan kembali belajar menata hati yang sempat terluka.

Gregory merasa bahagia, sungguh bahagia. Ia bersyukur dapat merasakan cinta yang Vincent berikan terus menerus padanya, seperti suntikan semangat yang selalu memacu adrenalinnya. Ia pun merasa bahagia, dapat memberikan cintanya pada Vincent yang dengan setia menengadahkan kedua tangannya, menerimanya tanpa pamrih.

Gregory, we will be back around eleven. Want to stay over in my apartment tonight?”

Pertanyaan Vincent barusan membuatnya sedikit terkejut. Ia terlalu menikmati gelembung kebahagiaan yang mengungkungnya dan Vincent, sampai ia tidak mengingat bahwa hari ini ia harus memberitahu kekasihnya itu tentang rencananya yang akan dilakukan dalam hitungan hari.

Ini semua demi kebaikannya sendiri, dan mungkin saja akan menjadi hal yang baik untuk hubungannya dengan Vincent. Gregory harus memberitahu pria itu malam ini, sebelum semuanya terlambat.

Namun ia tahu untuk dirinya sendiri, tidak pernah ada kata terlambat.

Ia lalu menganggukan kepalanya, menoleh ke arah Vincent dengan senyum ceria. “I’d love to,” jawabnya singkat, lalu mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya menyambung lagi. “And also, there’s something I need to tell you.”

Vincent yang sedang mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya lantas menghentikan kegiatannya. Pria itu mengernyitkan dahi bingung, membuat hatinya sedikit nyeri. Kekasihnya tidak akan berpikiran macam-macam, 'kan?

Okay, should I be worried, Beau?”

Gregory menggeleng cepat. Ia merasakan kakinya sendiri bergetar, bergerak naik turun. Ia benar-benar gugup. “Tidak perlu khawatir, Vin,” katanya sambil mengulas senyum. “Everything is fine.”

“Baiklah,” ujar Vincent sambil menarik tangannya, terlihat yakin dengan ucapannya. “Come here, Gregory. I really want to kiss you.”

Ia lantas memajukan tubuh dan wajahnya, merasakan hangatnya telapak tangan Vincent diwajahnya. Mereka lalu berciuman, diiringi musik jazz yang mengalun lembut, mengisi seluruh ruangan. Gregory menyunggingkan senyum saat merasakan bibir Vincent memagut bibirnya. Ia sangat menikmati ritme yang Vincent mainkan, kali ini ia membiarkan pria itu untuk menuntunnya.

Napas mereka terengah, membuat Gregory akhirnya mengambil inisiatif untuk menghentikan ciuman mereka. Vincent tertawa kecil, lalu berbisik dibibirnya. “Let's enjoy the night, shall we, my love?”

Gregory tersenyum dan mengangguk. “Yeah, Vin. Let's.”

Mereka lalu meraih gelas wine masing-masing yang sudah terisi itu, lalu mengangkatnya tidak terlalu tinggi. Gregory menatap manik hazel pria yang ada disampingnya sambil tersenyum lebar. “To many more days and dates,” katanya riang.

And to our unbreakable love,” sahut Vincent kemudian dengan senyum yang berbeda. Pria itu tersenyum dengan matanya, membuat dada Gregory terasa hangat. Hatinya pun terenyuh melihatnya.

Ia begitu mencintai Vincent.

Keduanya mendekatkan gelas wine mereka, menimbulkan bunyi 'kling!' sebelum akhirnya keduanya berseru diikuti tawa yang renyah. “Cheers!”


Makan malam berlangsung dengan sangat intim. Langit biru perlahan digantikan dengan hamparan langit gelap yang membuat suasana malam ini terasa lebih sendu. Gregory dan Vincent tenggelam dalam dunia mereka sendiri, tidak memedulikan suara tamu di meja lainnya yang terdengar mengobrol dengan suara cukup keras.

Mereka saling bertukar cerita, membicarakan hampir semua hal yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Baik Vincent maupun Gregory dengan fokus mendengarkan cerita masing-masing, sesekali menanggapi dengan celetukan lelucon yang membuat tawa keduanya pecah.

Waktu yang tersisa pun mereka gunakan untuk menikmati pemandangan kota Paris selama menyusuri sungai Seine. Kedua mata bulat Gregory tak berhenti berbinar karena terpukau, sedang Vincent terlihat masih menikmati dessert yang dihidangkan dengan begitu cantik dan rasanya tak kalah menarik.

Gregory tidak menyadari bahwa dirinya sudah berkali-kali menggelengkan kepalanya karena mengagumi indahnya malam di kota Paris.

Seketika ia teringat akan pernyataannya pada Thomas beberapa tahun silam, bahwa sampai kapanpun, ia tidak akan pernah jatuh cinta dengan Paris dan seisinya.

Mungkin memang benar istilah tak kenal maka tak sayang. Gregory tidak pernah merasa senang dan jatuh cinta dengan Paris sampai akhirnya ia merasakannya sendiri. Dan sepanjang prosesnya berusaha mencintai dan menerima Paris dalam kehidupannya, ia memiliki Vincent yang senantiasa meyakinkannya bahwa kota ini sangat indah.

Tentu, dengan cinta Vincent yang begitu kuat, melengkapi semuanya.

Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh menit saat cruise itu menepi, kembali ke titik semula. Keduanya akhirnya turun dari kapal itu dan berjalan ke tempat di mana Vincent memarkirkan mobilnya sambil bergandengan tangan.

Vincent dan Gregory benar-benar merasa bahagia malam ini.

Thank you so much for tonight, Vin,” ucapnya sambil mengecup bibir pria itu saat mereka sudah berada didalam mobil. Tangan kanannya meraih sabuk pengaman dan mengenakannya. “It's a lovely night, really.”

My pleasure, Gregory,” balasnya tersenyum. Vincent lalu memajukan tubuhnya, menangkup wajahnya lalu mengecup kedua pipi dan dahinya. “I am happy too,” katanya kemudian sambil mencium bibirnya, begitu lama.

Mungkin bagi sebagian besar orang, kau akan merasa senang dan bahagia jika kau dan kekasihmu sedang berada dalam momen seperti ini; Vincent yang sedang mencium bibirnya, terbawa suasana malam yang begitu istimewa untuk mereka.

Namun tidak dengan Gregory. Semakin lama pria itu menciumnya, semakin sulit ia menahan kata-kata yang sudah bercokol dikerongkongannya, memaksa untuk keluar dalam hitungan detik.

Gregory seperti sedang dikejar oleh waktu.

Maka ia akhirnya mengakhiri ciuman mereka, lalu menempelkan dahinya pada Vincent. Gregory membiarkan dirinya mengatur napasnya sendiri, sambil merasakan dadanya berdegup sangat kencang.

“Vin,” mulainya dengan suara bergetar. “Aku, mau bicara sekarang saja. Boleh?”

Vincent menggumam, menghela napas berat sambil tetap menangkup wajahnya. Napas mereka menyatu, melebur jadi satu, membuat suhu dalam mobil Vincent terasa menghangat. “Boleh, Beau. Of course. What is it?”

Suara hatinya seperti berteriak, menggedor rongga dadanya dengan tidak sabar.

Sekarang, Gregory, atau semuanya akan terlambat.

Sekarang, atau tidak sama sekali!

Sekarang.

“Vin, aku,” katanya terbata-bata, seperti ada yang menahan lidahnya untuk berbicara.

Ia dapat merasakan kekasihnya itu tersenyum. “Kamu?”

Gregory. Sekarang.

“Aku… mau pulang ke Indonesia.”