the last baton | 409
cw // self doubt , insecure thoughts , slightly mention financial problem
ps. bacanya sambil dengerin lagu paling terakhir yang barusan aku add di-playlist the last baton ya! bisa diakses dari link yang aku drop sebelum narasi ini. don't want to ruin the little surprise hehe <3 enjoy!
Gregory terkejut saat membaca pesan Vincent, yang mengatakan bahwa pria itu sedang menunggunya di bawah dan ingin bertemu dengannya. Ia dengan cepat berdiri dari posisi duduknya di lantai, membuat tubuhnya sedikit terhuyung karena gerakannya yang tiba-tiba. Ia merasa sangat lelah, sekujur tubuhnya lemas. Malam tadi adalah hari pertamanya bekerja di Caveau de la Huchette untuk menghibur para tamu bar selama dua jam dengan suaranya.
Energinya benar-benar terkuras; punggungnya sakit dan tenggorokannya terasa serak karena ia hanya memiliki jeda waktu untuk break sekitar lima belas menit. Ia pun sempat merendam kedua kakinya dalam ember berisi air hangat sambil duduk diatas kloset.
Namun, lelah yang dirasakan seolah terbayarkan saat melihat reaksi para tamu bar yang tidak seberapa itu saat dirinya berdiri diatas panggung. Mereka terlihat menikmati beberapa lagu yang ia bawakan sambil mengobrol dengan tamu lainnya. Hal sesederhana itu benar-benar membuatnya senang sekaligus terenyuh. Teman-temannya yang menempati meja di dekat panggung pun terlihat antusias; Maximillian yang terus-menerus menatapnya dan tersenyum bangga, dengan Timothy dan Warren yang bertepuk tangan sambil berteriak “that's my best friend!” ke arahnya.
Selama ia berada diatas panggung, ia tak henti-hentinya merapalkan kata “syukur” dalam hati, sambil tetap menyunggingkan senyumnya dan melakukan yang terbaik. Ia ingin menyembunyikan rasa kecewanya karena Vincent memang tidak akan datang.
Gregory tahu benar bahwa pria itu pasti sudah tenggelam dalam rutinitasnya yang padat, persis seperti yang ia khawatirkan belakangan ini. Dan ia pun sebenarnya tahu, cepat atau lambat, kesibukan masing-masing akan menciptakan jarak diantara mereka berdua.
Apa yang akan mereka lakukan, jika keduanya sedang dirundung rasa rindu namun tidak bisa bertemu atau bahkan bertukar kabar? Apa yang akan terjadi jika mereka berdua sedang merasa lelah dan berakhir dengan melampiaskan emosinya pada satu sama lain? Bagaimana cara mereka mengatasinya?
Membayangkannya saja membuat dadanya nyeri, mengingat Vincent dan dirinya sudah beberapa kali terlibat salah paham hanya karena masalah komunikasi yang sepele. Gregory yang tidak sabaran, emosinya yang mudah tersulut seperti sumbu pendek, sedang kekasihnya yang terlalu kaku dan seringkali menyalahartikan sesuatu.
Bulu kuduknya meremang, tidak ingin membayangkan hal yang belum tentu akan terjadi. Ia lalu mengenakan hoodie miliknya yang berwarna hitam dari sandaran kursi, memasukkan handphonenya kedalam saku celananya dengan terburu-buru. Ia lalu membuka pintu dan menutupnya dengan pelan, tidak ingin mengganggu istirahat para tetangga apartemennya yang rata-rata sudah paruh baya itu.
Gregory takut—jantungnya seperti merosot dari tempatnya hingga ke dasar perut dengan kecepatan diatas normal, layaknya menaiki wahana “Hysteria” di taman bermain. Ia bingung, untuk apa Vincent datang ke apartemennya dini hari seperti ini? Apa mereka berdua sedang tidak baik-baik saja? Atau ada sesuatu yang ingin ia bicarakan? Atau sebenarnya... Vincent sudah mengetahui apa yang selama ini ia sembunyikan? Atau, pria itu hanya ingin mengunjunginya karena merasa bersalah tidak bisa hadir malam tadi?
Berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya, membuatnya sedikit menggeram sambil menuruni anak tangga. Gregory tidak menyadari bahwa area yang sedang ia lewati benar-benar gelap, hanya terdapat beberapa lampu yang menyala didepan pintu penghuhi lain di gedung itu.
Gregory membuka pintu utama gedung apartemennya dan melangkahkan kakinya ke luar. Seketika angin malam kota Paris menyapanya tanpa peringatan dan menusuk tulangnya tanpa ampun, membuat giginya bergemeletuk. Ia lalu memeluk dirinya sendiri dan mengangkat kepalanya.
Sepasang mata bulatnya menangkap sosok pria yang sangat dirindukannya itu tidak jauh dari tempatnya berdiri. Vincent terlihat sedang menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil sambil menundukkan kepala. Kedua tangannya terlipat didada, rambut gondrongnya terurai, menutupi wajahnya yang tampan. Pria itu terlihat mengenakan pakaian seadanya; kaus polos berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam, lengkap dengan sandal kesayangannya.
Ia lantas berlari-lari kecil, menerjang udara dingin yang terasa perlahan menggigit wajahnya. Vincent sepertinya menyadari kehadirannya, maka pria itu mengangkat kepalanya dan sungguh, sekilas ia melihat raut wajah Vincent yang terlihat sedikit terkejut. Saat sepasang mata mereka bertemu, pria itu dengan cepat membenahi letak kacamatanya lalu melambaikan tangan ke arahnya.
Gregory tersenyum lebar, melambaikan tangannya pula dan setengah berlari untuk menghampirinya. Dengan cepat Gregory mengulurkan kedua tangannya, menabrakkan tubuhnya ketubuh kekasihnya itu. Kedua tangannya dikalungkan pada leher Vincent, lalu ia membenamkan wajahnya pada ceruk leher pria itu.
Hangat sekali, membuatnya lantas menghela napas lega, seperti menemukan sepotong puzzle miliknya yang hilang.
“Bonsoir, Vin sayang,” sapanya sambil menghirup dalam-dalam aroma tubuh kekasihnya itu. Ia tersenyum saat merasakan kedua lengan Vincent memeluknya dengan sangat erat sambil mengecup pelipisnya. “Kenapa kamu tidak duduk didalam mobil? Udaranya dingin sekali lho ini.”
Gregory menyambung sambil menarik tangannya untuk melepaskan pelukannya dengan Vincent saat tiba-tiba kekasihnya itu menarik tubuhnya kembali, merengkuhnya. “Sebentar,” katanya lembut, menghela napas panjang dan berat. “Aku masih ingin memeluk kamu. Boleh?”
Ia merasakan telapak tangan Vincent mengusap belakang kepala dan punggungnya, membuat sekujur tubuhnya seketika merasakan kehangatan yang luar biasa. Ia menggumam, memperbolehkan pria itu melakukannya selama apapun. Gregory berusaha melupakan rasa khawatir dan penasarannya, memilih untuk menikmati waktu berdua dengan Vincent di pinggir jalan yang sangat sepi, seperti sekarang ini.
Belum pernah ada seorangpun yang rela menghabiskan waktu hanya untuk mengunjungi tempat tinggalnya yang jauh, seperti apa yang saat ini Vincent lakukan.
“I am truly sorry. Aku minta maaf karena tidak bisa hadir dengan alasan sibuk, though I really was. I'm sorry I wasn't there to support you, my love. But please know that's not my intention.”
Vincent berbicara ditelinganya, dengan lembut mengucapkan kata maaf yang membuat hatinya nyeri. Gregory tidak memberikan jawaban apapun, hanya membalas dengan menganggukkan kepalanya berulang kali dan menghujani rahang pria itu dengan kecupan.
Namun ia seketika melepaskan pelukannya saat Vincent melayangkan sebuah pertanyaan yang membuat hatinya mencelos.
“Gregory,” panggilnya lirih, sebelum menyambung lagi. “Are we okay?”
Ia mengernyitkan dahi, mata bulatnya menatap manik hazel yang biasanya terlihat berbinar, kini terlihat sayu dan putus asa. Gregory termenung. Ada apa sebenarnya dengan kekasihnya itu? Sebenarnya tanpa Vincent mengucapkan kata maaf pun, suatu hari nanti ia pasti akan melupakan fakta bahwa pria itu tidak bisa hadir dalam salah satu momen penting dalam hidupnya. Lagipula, jika dipikirkan lagi, semalam ia sudah cukup senang dengan hadirnya Timothy, Warren, dan Maximillian dan memberikan support.
Jika Vincent hanya ingin mengucapkan maaf seperti ini, menurutnya pria itu tidak perlu sampai menghabiskan waktu di perjalanan hingga ke apartemennya, 'kan? Semuanya itu, dapat disampaikan cukup melalui telepon ataupun pesan, 'kan?
Mengapa Vincent sampai rela datang ke tempat yang cukup jauh dari tempat tinggalnya hanya untuk mengucapkan hal itu?
“We are okay,” balas Gregory menekankan kalimatnya sendiri. Ia memejamkan mata bulatnya, tidak ingin melihat raut wajah Vincent yang sebentar lagi pasti akan membuatnya menangis. Dadanya begitu nyeri melihatnya. “And I already forgave you, Vin. Lagipula menurutku ini hanyalah hal kecil, kamu tidak perlu sampai datang ke apartemenku malam-malam begini—”
“You won't break up with me, right?” Tanya Vincent lirih, membuat sel-sel dalam tubuhnya seperti tersetrum aliran listrik. Kalimat yang diucapkan oleh kekasihnya itu sontak membuatnya mengangkat kepalanya dan membuka kedua matanya. Raut wajah Vincent begitu asing, ia merasa tidak mengenali sosok yang sedang berdiri di hadapannya.
Vincent, kekasihnya yang selalu percaya diri, kini terlihat seperti murung dan putus asa. Pria itu menggigit kuku jarinya, sorot matanya melihat ke arah lain, kaki kirinya bergerak naik-turun seperti sedang menjahit.
Ia tidak bisa menahan emosinya. Pertanyaan macam apa itu? “Tunggu sebentar. Sebentar,” katanya cepat, menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan dua kali, melipat kedua tangannya didada. Gregory tidak ingin mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya ia lontarkan pada Vincent. Tapi demi Tuhan, ia tidak bisa mengontrol nada bicaranya. “Vin, ada apa sih? Why are you saying this?”
Kekasihnya itu hanya melemparkan senyum kecut padanya, lalu melepas kacamatanya dan mengusap kasar kedua matanya. “I don't know, Gregory. I just...”
“You just?” Ia bertanya cepat, tidak sabar untuk mendengar jawaban pria itu. Hatinya terasa perih, seperti luka yang menganga diolesi dengan sepotong buah lemon yang asam. Ia menyesali pertanyaannya barusan yang terdengar ketus.
Vincent menggeram, menarik kedua telapak tangannya dari wajahnya. “I am just scared, okay!” Kekasihnya itu setengah berteriak, kedua matanya terlihat menyalang dan memerah. Suaranya cukup membuatnya tersentak, memecah kesunyian yang menyelimuti mereka. Napas Vincent terengah, seperti berusaha menahan luapan emosi yang sedari tadi dipendam olehnya. “Lately you always, always keep it all to yourself, and I have to try to figure it out by myself,” sambungnya terlihat putus asa, jari telunjuknya menekan dadanya sendiri. Vincent terlihat menyugar rambutnya kasar dan mengangkat kedua tangannya. “I just don't want us to fight like we had days ago! God.”
Wajah pria itu merah padam, seperti menahan amarah. Garis urat mulai terlihat dilehernya. Ini adalah kali pertama Gregory menyaksikan sisi lain Vincent dengan mata kepalanya sendiri. Pria yang pembawaannya begitu tenang, terkesan dingin, dan cuek dengan orang lain saat ini terlihat marah.
Kekasihnya itu tidak akan melakukan hal lain, 'kan?
Vincent lalu menundukkan kepalanya lagi dan menghela napas berat. Pria itu berbisik, membenamkan wajahnya pada telapak tangannya sambil membungkukkan tubuhnya. “Maaf, Gregory. Maaf kalau aku barusan berteriak. Aku, aku...” Pria itu terdengar terbata-bata, bibirnya bergetar pun sekujur tubuhnya.
Gregory tidak tahu apakah pria itu sedang menahan tangis atau sudah merasa kedinginan. Maka dengan cepat ia melangkahkan kedua kakinya mendekat ke arah Vincent, mengulurkan kedua tangannya dan mengusap lengan kekasihnya. Ia menangkup wajah Vincent, menempelkan dahinya pada pria itu. Hembusan hangat napas mereka melebur jadi satu. “Hey, it's okay, Vin sayang. Aku paham. It's okay,” katanya lirih, berusaha untuk menenangkan pria itu. Ia mendengar pria itu sedikit terisak, napasnya bergetar. “Apa kamu mau masuk kedalam mobil dan istirahat? Atau mau naik ke apartemenku? Kalau kamu mau saja, Vin. Sekarang dingin sekali dan pakaian kamu tipis. Kamu bisa sakit.”
Pria itu bergeming, tidak mengucapkan sepatah katapun selain terdengar berusaha mengatur ritme napasnya. Jalanan di sekitar apartemen Gregory saat ini sangat sepi, tidak seperti biasanya. Bahkan tidak ada satu orang dan kendaraan pun yang melewati jalanan di sana. Ia hanya mendengar deru kendaraan dari jalanan protokol dan ditemani oleh cahaya lampu berwarna kuning yang temaram di sepanjang jalan.
“Vin sayang,” bisiknya memecah keheningan diantara mereka. Kedua matanya perih karena kedinginan dan menahan air mata, melihat Vincent benar-benar diam tanpa suara dan tidak merespon kata-katanya sama sekali. Apa yang harus ia lakukan untuk meyakinkan pria itu bahwa mereka memang benar-benar baik-baik saja? Gregory hanya ingin menyudahi keheningan dan kesalahpahaman ini. Ia sudah memaafkan Vincent, ia pun sudah melupakan kejadian beberapa jam lalu.
Apa lagi yang harus ia lakukan?
“We are okay, Vin. Please just trust me, that we totally are.” Selama mereka berdua bersidiam, Gregory perlahan mulai memahami. Mungkin ini adalah hal baru untuk kekasihnya, memiliki rasa sayang pada orang lain selain dirinya sendiri. Mungkin kekasihnya itu ingin meyakinkannya bahwa ia tidak lagi bersifat kaku dan dingin, seperti saat pertama kali mereka bertemu. Mungkin kekasihnya itu sedang berlatih untuk membagi cintanya dengan orang lain, selain pada para sahabatnya dan dirinya sendiri. Dan mungkin ini adalah fase yang memang harus dilewati oleh Vincent untuk memahami orang lain selain dirinya sendiri?
Gregory lantas merengkuh Vincent dalam pelukannya, membiarkan pria itu membenamkan wajahnya pada ceruk lehernya. Membiarkan pria itu mengambil waktu selama mungkin. Ia tidak keberatan sama sekali. Ia hanya dapat menengadahkan kepalanya, menatap langit yang berwarna hitam pekat sambil menahan air matanya agar tidak jatuh mengenai bahu Vincent.
Tak lama kemudian, ia mendengar pria itu meresponnya dengan suara yang sedikit serak. “I believe you, Beau. I believe you.”
Oh betapa ia sedari tadi menunggu pria itu untuk memanggilnya “Beau”, seperti memberikan kepastian bahwa mereka berdua sudah baik-baik saja.
Gregory lalu menarik tubuhnya, melepaskan kedua tangannya dari punggung Vincent dan menatap manik hazel yang terlihat berair itu. Ia lalu menyentuh hidung kekasihnya dengan jari telunjuknya. “There you go,” balasnya sambil tersenyum lebar. “Ayo, Vin, kita naik.”
Ia mengulurkan tangannya ke arah Vincent, mengajak pria itu untuk naik ke apartemennya dan berbicara. Seketika ia merasakan nyaman dan aman, saat Vincent dengan hati-hati menggenggam telapak tangannya dan mengaitkan jemari mereka.
Yeah, they're going to be okay.
Gregory tetap menggandeng erat tangan Vincent yang sedang berjalan di belakangnya, menaiki anak tangga yang minim penerangan itu. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari saat mereka akhirnya masuk kedalam apartemennya. Ia menyalakan lampu ruangan, terlihat keadaan tempat tinggalnya saat ini seperti kapal pecah.
“Shit,” gumamnya mengumpat. “Maaf berantakan sekali, Vin,” katanya meminta maaf pada pria itu, sambil mengarahkannya untuk duduk pada sofa yang terlihat sudah sedikit lapuk dan robek. Gregory jarang sekali duduk di sana, ia lebih memilih duduk dikursi kayunya yang keras. “I was in the middle of something.”
Pria itu masih menggenggamnya, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya yang kasar. “It's okay, Beau. This place is nice.”
Terkadang ia ingin memutar kedua bola matanya dan tertawa jika mendengar Vincent yang sekarang sudah mulai pintar berbasa-basi. Ia hanya tersenyum lalu menggoyang-goyangkan tangan mereka. “Ah, iya. Kamu belum pernah masuk ke apartemenku, ya? Hanya sampai di depan gedung saja.”
Vincent menggumam, terlihat mengedarkan pandangannya untuk meneliti setiap inci ruangan apartemennya yang sempit itu. Ia lantas menggigit bibirnya, apakah yang pria itu sedang pikirkan?
“Kamu mau minum apa?” Tanya Gregory kemudian, berusaha mengalihkan fokus kekasihnya yang mengernyitkan dahi seperti sedang berpikir. “I will make something for you, meanwhile just wait in my room. Okay?”
Mata mereka bertemu. Vincent lalu mengangguk tanda setuju, menatap mata bulatnya lekat. “Do you have Darjeeling tea, Beau? Or just a glass of warm water is fine.”
“Ada dong,” jawabnya bangga sambil menarik tangan Vincent untuk berdiri, mengajak pria itu untuk melangkah ke arah kamar tidurnya. “Aku sempat beli satu kotak saat jalan-jalan dengan Thomas kemarin, karena aku suka rasanya. Ternyata enak. Aku buatkan sebentar ya, sayang?”
Pria yang lebih tua darinya itu hanya menggumam lalu terdengar menghela napas berat saat mereka berdua memasuki kamar tidurnya. Ruangan itu lebih kecil dari ruang tengah apartemennya, membuatnya lantas berpikir. Tidak mungkin Vincent akan menginap malam ini, 'kan? Namun Gregory juga tidak mau membiarkan pria itu menyetir dengan keadaan seperti ini, ia pun pasti sudah mengantuk.
Gregory mempersilakan kekasihnya duduk diatas kasurnya yang keras. Pria itu mengangguk, lalu mengambil sebuah ikat rambut dari dalam sakunya untuk mengikat surai hitamnya yang terlihat lepek sambil menunduk. Ia lantas tersenyum ke arah Gregory dan merespon kata-katanya. “Alright. Thank you, my love.”
Ia lalu berjongkok di hadapan Vincent, mengulurkan tangannya untuk memilin sisa rambut pria itu yang tidak terikat. Vincent membalasnya dengan memegang pergelangan tangannya dan mengusapnya pelan. “Vin, is it okay to kiss you?”
Vincent tertawa, membuat dadanya terasa hangat dan hatinya terenyuh. Pria itu menatapnya lekat, melepaskan pergelangan tangannya untuk mengusap dagu Gregory dengan ibu jarinya. “Of course it is, Gregory. Mine is yours only.”
Mendengarnya, Gregory hanya bisa mendengus dan memutar kedua bola matanya malas, sebelum akhirnya tertawa kecil. “Mon Dieu, cheesy sekali konduktor orkestraku ini,” candanya sambil menangkup wajah pria itu dan mengecup bibirnya yang kering tiga kali. Ia lalu memundurkan kepalanya sendiri dan membisikkan tiga kata pada pria itu dengan nada yang sangat tulus. “I love you, Vin.”
“I know, Beau,” jawab Vincent sambil menghela napas lalu melempar senyum simpul kepadanya. Gregory tidak akan menunggu pria itu membalas kata-katanya, menurutnya dengan Vincent mengetahui bahwa ia mencintai pria itu pun sudah lebih dari cukup.
Ia tahu bahwa waktu untuk Vincent akan datang, pasti akan datang.
Gregory terkekeh, kali ini mengecup pipi Vincent lalu berdiri. “Glad to know that you do. Be right back!”
Sesudah ia menyeduh teh Daarjeling untuk Vincent dan menuangkannya dalam sebuah cangkir, akhirnya ia kembali ke kamarnya, menemukan kekasihnya itu masih duduk dengan posisinya semula. Ia terlihat sedang memperhatikan deretan foto yang terpajang di dinding kamarnya; foto semasa kuliah di Indonesia, foto dengan Thomas, dan foto dengan Timothy, Warren, serta Maximillian beberapa tahun lalu.
Gregory lantas tersenyum dan menggigit bibirnya, menyandarkan tubuhnya diambang pintu, tidak ingin mengganggu konsentrasi Vincent yang terlihat sedang serius. Seketika sebuah ide pun terlintas dalam kepalanya, memikirkan waktu yang tepat untuk mencetak fotonya dengan Vincent untuk dipajang di sana.
Pria itu akhirnya menyadari kehadirannya, melemparkan senyum kotak padanya dan berdiri dari duduknya. Gregory mengibaskan tangannya, melangkah ke sisi lain kasurnya untuk mengajak pria itu merebahkan tubuhnya dikasur. Vincent mengiyakan permintaannya, tanpa menunjukkan adanya rasa ragu.
Sebenarnya, sejak awal Gregory mengenal Vincent dan akhirnya menjadi kekasihnya, ia selalu mempersiapkan mental dan hatinya jika tiba-tiba Vincent menjauhinya. Status ekonomi, pekerjaan, dan sifat mereka berdua yang jauh berbeda layaknya tanah dan langit cukup membuatnya merasa khawatir.
Tidak menutup kemungkinan bahwa kekasihnya itu tiba-tiba akan pergi meninggalkannya, bukan? Seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya di dalam hidupnya.
Namun tidak, Vincent dengan santai melepas sandalnya, merangkak naik keatas kasur dan menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan itu. Kasurnya hanya beralaskan palet kayu, tidak dengan dipan yang tinggi dan mewah seperti yang Vincent miliki di apartemennya.
Gregory lalu menggeser duduknya dan menaruh kepalanya diatas paha kekasihnya itu. Ia membiarkan Vincent menyisipkan jemarinya pada surai hitamnya, mengusap kepalanya nyaman. Mereka berdua bersidiam, membiarkan keheningan kembali menyelimuti mereka. Ia lalu menengadahkan kepalanya, melihat raut wajah Vincent yang sudah terlihat sangat lelah, namun Vincent masih bersikeras untuk membicarakan kejadian malam tadi. Pria itu akhirnya kembali meminta maaf padanya, menyesal karena tidak bisa menemaninya dan mendukungnya di sana.
Ia hanya dapat merespon pria itu dengan menepuk lengannya pelan sambil memutar kedua bola matanya malas. Gregory lalu kembali menjelaskan pada Vincent itu bahwa ia benar-benar sudah memaafkannya. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil mengaitkan kedua telapak tangannya didada, saat mendengar Vincent menanyakan padanya soal Matteo; siapakah dan apakah yang diinginkan oleh pria itu.
Ia hanya bisa terdiam, berpikir bagaimana caranya menjelaskan pada Vincent bahwa pria itulah yang selama ini mengejar dan menguntitnya? Mengikutinya ke mana pun, membalas cuitannya hanya sekedar untuk membuatnya geram. Gregory tahu, kekasihnya itu pasti memperhatikannya, adalah hal yang mustahil jika ia tidak menyadarinya. Vincent mengatakan bahwa ia merasa terganggu dan sempat menaruh curiga. Namun kekasihnya itu lebih memilih diam, mengamati dan menunggu saat yang tepat untuk menanyakan hal itu padanya.
Gregory mengangguk, memahami maksud Vincent. Kekasihnya itu hanya ingin menghargai privasinya, tidak ingin ikut campur dalam hal pribadinya sama sekali. Ia lantas mengucapkan terima kasih dengan menggumam, menarik kutikula kukunya sambil menimang-nimang. Vincent masih terus menyisir rambutnya, sesekali mengusap dahi dan puncak kepalanya dengan sayang.
Ia terdiam, berpikir apakah sebaiknya ia menceritakan semua isi hatinya sekarang? Ia pun berpikir, sampai kapan hidupnya akan dilewati dengan rasa takut dan was-was berlebihan seperti ini? Sampai kapan hidupnya akan dilewati dengan rasa sedih dan putus asa, seperti tidak memiliki tujuan hidup yang pasti? Gregory hanya menggantungkan hidupnya dengan Tuhan dan dirinya sendiri. Ia tidak ingin menjadi benalu didalam hidup orang lain, bahkan Thomas, yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri.
Gregory menghela napas berat lalu menoleh ke arah Vincent yang sedari tadi sudah memandang ke arahnya. Ia hanya melemparkan senyum ke arah pria itu, lalu mengangkat tangannya untuk mengusap lengannya. Vincent menatap kedua mata bulatnya lekat, seperti berbicara lewat manik hazelnya bahwa ia dapat mempercayai pria itu sepenuhnya, mempersilakan dirinya untuk menumpahkan isi hatinya diatas tangannya.
Ia lalu mendengar Vincent berkata padanya, membuatnya seketika yakin bahwa ia bisa mempercayai dan membagi seluruh isi hatinya dengan Vincent. “Your happiness is not my responsibility but I really want to make you happy, Gregory. Because you really deserve to be happy.”
Ia tertawa kecil, membiarkan air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia tidak pernah menyangka seseorang benar-benar rela menawarkan dirinya untuk merasakan sakit yang selama ini dikuburnya dalam-dalam. Ia merasakan hangat tangan Vincent menghapus air matanya, membisikkan padanya bahwa dengannya, semuanya akan baik-baik saja.
Gregory mengatur napasnya, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya menceritakan semuanya secara detail. Ia menjelaskan pada Vincent dengan hati-hati; tentang bagaimana seorang wanita yang adalah pemilik apartemen sudah lama mengejarnya seakan-akan dirinya berhutang ratusan juta, tentang bagaimana ia berjuang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dengan bayaran yang tinggi untuk mengembalikan uang orang tuanya, hingga alasan mengapa Gregory sangat bersikeras untuk dapat bekerja di Caveau de la Huchette. Ia menceritakannya tanpa henti, seperti menarik keluar kotak Pandora dari dalam dadanya, membukanya dengan kunci rahasia, dan menumpahkan seluruh isinya di depan Vincent, hingga kotak itu benar-benar kosong.
Ia masih menengadahkan kepalanya, memandang langit-langit kamar tidurnya, tidak memiliki nyali untuk melihat sepasang manik hazel yang sedari tadi menatapnya itu. Gregory mendengar kekasihnya itu menghela napas berat, sesekali menghentikan gerakan jemarinya saat menyisir surai hitamnya.
“Sudah, Vin” katanya kemudian pada Vincent, menatap mata pria itu sambil tersenyum getir. “Ceritanya sudah selesai.”
Pria itu tersenyum, mengusap dahinya dengan ibu jarinya. “Terima kasih sudah mau berbagi denganku.” Kata pria itu lalu meraih tangannya dan mengecup telapaknya. “Terima kasih.”
“Aku yang harus berterima kasih, Vin. I love you,” balasnya sambil berbisik, lalu membenamkan wajahnya diperut Vincent. Ia meringkuk, merasakan kantuk mulai menyerangnya, melirik ke arah nakas dan melihat waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Ia menghela napas berat, merasakan gerakan tangan Vincent perlahan melambat. Sepertinya pria itu mengira bahwa ia sudah tertidur.
Tiba-tiba ia merasakan gerakan tubuh Vincent. Pria itu membungkuk lalu dan mengecup dahinya cukup lama. “Aku mencintaimu, Gregory. Kamu adalah orang yang hebat,” bisik Vincent lirih ditelinganya, membuatnya lantas memejamkan kedua matanya sambil menahan tangis.
Pria itu mencintainya...
Gregory tidak ingin Vincent melihat reaksinya saat ini; menangis hanya karena mendengar dirinya mengatakan tiga kata yang selama ini ia nantikan sambil mendengar pria itu pamit padanya untuk pergi tidur.
Vincent tidak perlu tahu bahwa ia sudah mendengarnya, tidak perlu.
“I love you. Sweet dreams, Beau, you're safe with me,” kata pria itu lagi sambil memeluk tubuhnya.
Ya, Gregory yakin bahwa pria itu benar-benar mencintainya.