poetlady

cw // contain harsh words


Dimas menarik napasnya kuat-kuat saat dirinya sudah berada di halaman luas di sebelah gedung Rektorat. Akhirnya ia berhasil keluar dari gedung Balairung yang penuh sesak oleh para mahasiswa baru itu, dengan keadaan tubuhnya basah kuyup karena keringat. Beruntung Dimas membawa pakaian ganti, tidak ingin membuat orang-orang yang berada disekitarnya merasa tidak nyaman karena pakaiannya lengket dan bau keringat—salahkan ventilasi gedung Balairung yang sangat minim, membuatnya sekarang merasa kegerahan.

Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi saat hari wisuda diselenggarakan sepekan dari sekarang. Bayangkan saja, beberapa jam lalu sebelum latihan paduan suara yang dipimpin oleh Pak Dibyo—pelatih vokal sekaligus dirigen paduan suara Universitas Indonesia—dimulai, beliau meminta tibum* untuk mengarahkan para mahasiswa baru agar menempati lantai dasar Balairung. Beliau mengatakan, area lantai dasar masih terlihat lengang, untuk apa bersusah payah untuk naik ke atas tribun hanya untuk mencari tempat duduk?

Mendengar demikian, Dimas lantas menyesali keputusannya untuk memisahkan diri dari barisan semula—bersama Kelvin—yang membuat dirinya lantas berada diantara para mahasiswa baru yang tidak ia kenali.

Pun ia harus merasa kegerahan sendirian, seperti sedang duduk di samping bara api pada tengah hari.

Sesaat kedua telinga Dimas semakin mendengar riuh lautan manusia yang perlahan memenuhi area halaman tempatnya berdiri. Ia lalu melangkahkan kakinya mendekat ke arah pilar selasar antara gedung Rektorat dan Balairung untuk menepi, menghindari orang yang sedang berlalu-lalang membubarkan diri.

Ia lalu menggerutu dalam hati, di mana kah Kelvin berada? Sahabatnya itu tidak menanggapi satu pesan pun yang dikirimkannya beberapa jam lalu, juga sambungan telepon yang langsung terputus saat ia mendengar nada sambung pertama.

“Bro!”

Dimas terperanjat saat merasakan seseorang memukul bahunya, bersamaan dengan suara Kelvin yang sedikit keras ditelinganya. Sepertinya laki-laki itu ingin mengalahkan suara lautan manusia yang saling tumpang tindih atau hanya ingin menarik perhatian para mahasiswa lainnya. Entahlah.

Ia lantas membalikkan tubuhnya, tak dapat menahan dirinya sendiri untuk tidak mengernyitkan dahi saat menyadari seorang laki-laki asing berdiri di samping sahabatnya itu.

Siapakah orang ini? Apakah Kelvin mendapatkan teman baru—yang mungkin adalah mahasiswa baru yang kebetulan satu jurusan dengan mereka berdua?

“Gila ya. Gue nyari lo ke mana-mana nggak berhasil, Dim. Ampun deh, bahkan telepon dan pesan gue nggak lo balas. Memangnya ponsel lo mati total?” Kelvin terdengar mengeluh.

Ia hanya menanggapi dengan memutar kedua bola matanya malas, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sahabatnya itu. “Says you. Gue sedari tadi telepon lo entah berapa kali sejak gue sudah duduk di tribun. Dan gue mengirim pesan pun nggak masuk. Lo tahu sendiri sinyal di sini jelek, Kel,” jelasnya panjang lebar sambil berkacak pinggang, tidak menghiraukan tatapan seorang laki-laki yang sedang berdiri di sebelah Kelvin.

Lawan bicaranya itu hanya mendengus lalu menggelengkan kepalanya, menyentuh rambut pendeknya yang berwarna coklat dengan ibu jari dan jari telunjuknya. “Ya sudah, yang penting gue sudah bertemu dengan lo,” ujarnya santai, lalu mematung saat menyadari ada seseorang yang sedang berdiri di sampingnya.

Kelvin sekilas menatap laki-laki itu sebelum menoleh ke arahnya dengan menyunggingkan senyum yang memiliki arti tertentu. “Ah, Dim, kenalin ini teman kita sesama maba*, namanya Hezekiah Fabian. But, actually, he's two years older than us. Ngulang lagi dari awal jadi maba karena nggak betah di jurusan Hubungan Internasional.”

Apa?

Dimas dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki yang sedang tersenyum simpul itu, terlihat melambaikan tangannya singkat sebelum memegang tali ransel dibahunya lagi.

Secara tidak sadar, ia sudah menggerakkan kedua matanya yang sorotnya tajam itu, mencoba meneliti sosok asing yang berdiri tak jauh darinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sesaat kemudian, ia memejamkan kedua matanya sambil menghela napas berat. Ternyata dirinya masih belum mampu menghilangkan kebiasaan buruknya setiap kali bertemu dengan orang asing. Dimas, yang sampai saat ini hanya memiliki segelintir orang yang menjalin hubungan pertemanan dengannya tanpa menginginkan imbalan atau keuntungan apapun.

Kejadian beberapa tahun lalu mengharuskannya untuk selalu “waspada” setiap kali ada orang asing yang mengajaknya berkenalan.

Ia hanya tidak ingin membiarkan orang lain—bahkan siapapun—menyakiti dirinya lagi.

Dimas lalu membalas lambaian tangan laki-laki itu sambil berdecak. “Hei, Heze? Kia? Atau Hezekiah? Atau malah Fabian?” Ia berkata dengan nada santai, cenderung terdengar malas. Hanya Kelvin yang mengenal nada bicaranya. Ia yakin Kelvin akan menasihatinya setelah ini. “Ya seperti yang lo tahu, nama gue Dimas. Jurusan Politik, sama dengan Kelvin. Sudah bersahabat dengan teman gue ini sejak SMA. Salam kenal ya,” jelasnya dengan lengkap dan tanpa jeda, tidak ingin berbasa-basi lebih lama dengan orang asing yang lantas terdengar tertawa renyah di samping Kelvin itu.

Orang asing...

Memori Dimas seketika memutar kembali pertemuannya dengan sosok laki-laki asing yang baru saja ditemui beberapa hari lalu di samping gedung Balairung itu.

Sampai detik ini, ia masih mengingat sorot teduh kedua mata bulat pria itu dengan jelas didalam kepalanya. Bagaimana sepasang manik hazelnya merekam setiap garis yang tercetak diwajah laki-laki itu; kala ia berbicara atau bahkan tersenyum saat menunjukkan padanya letak Science Park UI yang sebenarnya sudah Dimas ketahui—Kelvin tidak henti meledeknya karena ia berpura-pura tidak tahu. Bagaimana sepasang matanya merekam setiap gerakan kelopak mata pria itu saat mengedipkan matanya pelan. Dan bagimana Dimas dengan sabar merekam senyum laki-laki asing itu yang sukses membuat dada dan seluruh tubuhnya lantas merasa hangat, walaupun terik matahari siang itu benar-benar menyengat kulitnya yang berwarna cokelat keemasan.

Seumur hidupnya, Dimas tidak pernah merasa semangatnya begitu menyala-nyala saat bertemu mata dengan orang lain yang baru pertama kali ia temui.

Siapapun itu.

Namun sepertinya, laki-laki pemilik mata bulat itu sukses mengubah sifatnya dan mematahkan kebiasaan buruknya lewat tatapan mata pertama.

Dan Dimas benar-benar tidak sabar untuk segera bertemu lagi dengan pria itu dikesempatan berikutnya.

“—mas? Hei? Kok lo melamun,” kata Kelvin sambil melambaikan tangannya didepan wajahnya, membuatnya kembali memijakkan kaki di realita. “Ayo, gue sudah lapar. Heze mau ajak kita ke Kancil? Apa betul itu namanya?”

Hezekiah mengangguk mantap, lalu menatap matanya dengan sorot yang sungguh, mulai sedikit membuat Dimas merasa risih. “Iya, kantin fakultas Psikologi. Daripada kita harus makan di kantin fakultas lain yang lebih jauh. Sekalian mampir ke gedung jurusan Politik. Bagaimana?”

Dimas hanya menyahut sambil berdecak, berusaha menghindari kontak mata dengan laki-laki asing itu. “Oke.”


“Jefri, lebih baik lo beli sendiri deh jusnya di konter sebelah sana kalau memang lo benar-benar haus,” protes Wahyu sambil menunjuk ke arah konter penjual minuman yang dimaksud, mengernyitkan dahinya yang terlihat basah oleh keringat karena cuaca siang ini yang terlalu terik. “Daripada gue harus beli dua gelas jus dengan porsi lebih karena lo selalu nebeng minuman gue.”

Paskal tetap mencoba mengunyah baksonya sambil mengulum senyum, tidak ingin dirinya tersedak sebutir daging bercampur tepung yang besar itu hanya karena menertawai kedua temannya yang duduk di hadapannya. Jefri lantas mencibir, meledek laki-laki di sampingnya yang sebentar lagi terlihat akan kembali mengeluh panjang lebar karena responnya barusan.

“Duh, cuman berapa belas ribu saja lo perhitungan banget, sih, Yu?!” Jefri terlihat mendelikkan kedua matanya jahil, sengaja menaikkan nada bicaranya saat Wahyu mengalihkan pandangannya. Teman laki-lakinya yang dijuluki “kotak bahagia berjalan” itu sedang mencoba menyendok seporsi nasi goreng gila miliknya yang asapnya masih mengebul dari piringnya itu.

Sesaat laki-laki itu kembali menoleh ke arah Jefri, dengan tangan kirinya sudah memegang sebuah botol air mineral, seperti hendak menyiram temannya saat itu juga.

Paskal lantas berdecak, meletakkan sendok dan garpunya didalam mangkuk sambil menelan makanannya sebelum akhirnya menengahi dengan nada khawatir. “Hei, hei,” katanya pelan, mencoba melerai kedua temannya yang terlihat sebentar lagi akan membuat keributan di kantin fakultas Psikologi itu. “You guys. Enough, please? Perkara segelas jus saja kalian sampai ribut begitu. Jangan malu-maluin makara* FISIP, deh. Kita ini sedang numpang makan di kantin fakultas orang, bukan fakultas sendiri.” Paskal berkata sambil memiringkan kepalanya, merasa malu saat menyadari bahwa orang-orang yang sedeang duduk di sekitar mereka sudah melirik ke arahnya.

Jefri mendengus sambil memutar kedua bola matanya malas. “Yeah, yeah. Lo nggak asik deh, Paskal. Kita hanya bercanda, daripada harus diam seperti sedang makan dengan orang asing. Kita nggak akan membuat keributan, lah. Ya, 'kan, Yu?” Temannya itu bertanya pada laki-laki di sampingnya, yang terlihat hanya menggumamkan satu kata dengan malas, lantas membuat Paskal tertawa.

“Nggak asik lo, Yu. Gue pikir kita berdua adalah teman,” ujar Jefri dramatis, memasang raut wajah sedih sambil menaruh kedua tangannya didada kirinya. Paskal yang sedang meneguk air mineralnya hampir saja tersedak, kalau saja ia tidak mengacungkan jari telunjuknya untuk meminta laki-laki itu menutup mulutnya.

Wahyu yang melihat gesturnya hanya terdengar tertawa mengejek sambil menjulurkan lidahnya, sedang Jefri hanya mencebik kesal. “Whatever,” katanya malas.

Ketiganya menikmati makan siang mereka dengan bersenda gurau, menggunakan waktu luang yang ada sebelum melanjutkan kegiatan mereka di FISIP. Beruntung siang ini, kantin fakultas Psikologi yang memiliki sebutan “Kancil” itu cenderung sepi, tidak seperti beberapa hari sebelumnya yang penuh sesak—mereka bertiga sempat tidak mendapatkan tempat untuk duduk—sesekali bergantian membicarakan masa lalu mereka sebelum akhirnya resmi menyandang status mahasiswa Universitas Indonesia.

Lewat pembicaraan mereka siang ini, Paskal akhirnya mengetahui bahwa Jefri dan Wahyu sudah saling mengenal satu sama lain sejak keduanya bertemu di sebuah lembaga kursus setahun silam. Keduanya bergabung pada waktu yang sama, namun setelah beberapa bulan berjalan, intensitas mereka untuk bertemu lambat-laun berkurang karena kesibukan dan waktu kursus yang berbeda. Namun akhirnya, keduanya kembali bertemu saat beberapa waktu lalu mendatangi gedung Rektorat UI untuk mengambil surat informasi sekaligus Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), dan memutuskan untuk bertukar kontak.

Paskal menopang dagunya selama mereka mengobrol, merasa bersyukur karena bertemu dengan dua orang yang dapat dianggap sebagai temannya. Ia sendiri adalah orang yang sedikit tertutup, tidak begitu menyukai obrolan yang menjurus kearah kehidupan pribadinya. Ia lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Toh, menurutnya, semua masa lalunya tidak begitu penting, lebih baik fokus pada apa yang dijalaninya saat ini. Namun bertemu dengan Jefri dan Wahyu, membuatnya sedikit demi sedikit mencoba untuk mulai terbuka pada orang lain.

Kedua laki-laki itu membuatnya merasa cukup nyaman, seperti sudah menjalin pertemanan dengan mereka sekian lama.

Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam dan merasa tidak ada hal yang dapat diceritakan lagi siang ini, Jefri lantas memukul kedua pahanya lalu merogoh saku celananya, sepertinya ingin mengeluarkan dompet lipatnya. Wahyu terlihat sedang menyeruput jus jeruknya hingga sedotan yang digunakannya itu mengeluarkan suara yang menandakan bahwa jusnya benar-benar tandas.

Jefri lalu menyampingkan tubuhnya, menjulurkan kaki kirinya keluar dari kolong meja kayu itu. “Paskal, gue mau beli air mineral dingin sebelum kita cabut. Lo mau titip apa?” Laki-laki itu bertanya sambil berdiri dari duduknya, kedua tangannya merapikan kemeja yang terlihat sedikit kusut pada bagian belakang. “Lo mau apa, Yu? Jus jeruk lagi?”

Laki-laki yang ditanya oleh Jefri hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya, sedangkan Paskal hanya mengedikkan bahu, tidak merasa begitu haus, namun air mineral miliknya terlihat sudah habis saat dirinya sempat tersedak sambal beberapa saat lalu. “Gue titip air mineral dingin saja, Jef. Thanks, ya. Nanti gue ganti uangnya.”

Jefri yang hendak melangkah menuju konter penjual minuman itu hanya berdecak singkat sebelum menyahut. “Halah, santai saja. Gue bukan Wahyu yang perhitungan, Paskal. Tenang,” ujar temannya itu dengan nada jahil, lalu dengan cepat berlari dari tempat mereka duduk karena mendengar Wahyu mengumpat, membuat Paskal lantas tertawa.

“Bangsat. Awas lo ya, Jef!”

Setelah laki-laki itu meninggalkan meja mereka, ia dan Wahyu tenggelam dalam keheningan masing-masing. Paskal menangkap lewat ekor matanya, temannya yang duduk di hadapannya itu terlihat sedang mengetik sesuatu pada ponselnya sambil mengernyitkan dahi. Ia lantas memilih menyibukkan diri dengan menulis beberapa cuitan pada akun media sosialnya, menggerakkan jarinya ke sana kemari, kemudian menyempatkan diri untuk membalas pesan Julian yang mengatakan bahwa pria itu sedang menyantap makan siangnya di kantin FISIP dengan teman-temannya.

Paskal hendak meletakkan ponselnya pada meja kantin saat ia mendengar langkah kaki Jefri mendekat.

Ia lalu menoleh, mengikuti gerak-gerik laki-laki itu yang kemudian kembali duduk di hadapannya sambil tergesa-gesa. Jefri meletakkan minuman mereka dengan asal diatas meja—demi Tuhan, gelas plastik berisi jus jeruk milik Wahyu yang dibawanya hampir saja jatuh—lalu duduk sambil tersenyum lebar.

Ia mengernyitkan dahi melihat tingkah temannya yang tidak biasanya itu.

“Kenapa sih lo, Jef? Ada apa? Kenapa lo seperti sugar rush seperti itu?”

What the fuck happened, Jefri? Apaan, sih?” Wahyu terdengar menimpali pertanyaannya dengan nada bingung, menjulurkan tangannya untuk “mengamankan” segelas jus jeruknya yang hampir tumpah.

Jefri terlihat menempelkan jari telunjuknya sendiri pada bibirnya, memintanya dan Wahyu untuk diam, sambil mencoba mengatur napasnya sendiri yang terdengar terengah-engah.

Ada apa dengan Jefri, sih? Apa dia baru saja dikejar oleh seekor anjing? Paskal membatin.

“Oke, jadi,” katanya singkat sebelum mengatur napasnya lagi. Laki-laki itu lalu membuka botol air mineral yang baru saja dibelinya dan meneguknya hingga isinya tersisa setengah. “Gue baru saja melewati segerombolan orang cakep! Well, tidak segerombol sih, hanya bertiga. But damn, they are so fucking handsome,” jelasnya setengah memekik dengan kecepatan yang melewati batas wajar, sambil menutup botol minumannya. “Gue hampir saja ngajak kenalan, sebelum akhirnya sadar kalau bisa saja mereka senior kita, 'kan? Gue tidak mau menjadi sasaran caci maki senior saat ospek besok hari kalau hipotesis gue benar.”

Wahyu terdengar menggumam, terpancing oleh kalimat yang barusan Jefri katakan. “Yang mana, yang mana? Mumpung kita bisa cuci mata, Jef,” kata laki-laki itu bersemangat, tersenyum sumringah, melupakan jus jeruknya.

Paskal hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa. “Sialan, gue kira ada apa, Jef. Gue kira lo dikejar anjing yang biasanya tidur di dekat lapangan voli itu atau apalah.”

Laki-laki yang masih terdengar terengah itu tidak menghiraukan kata-katanya, memilih untuk menjawab pertanyaan Wahyu dengan bersemangat. “Arah jam sebelas lo, Yu. Arah jam limanya Paskal. Orangnya menghadap ke arah sini seperti Paskal, jadi please, lo jangan langsung lihat ke arah orangnya. Be subtle, oke? Jangan terlihat seperti orang amatiran.”

Mendengarnya, Paskal kembali tertawa sambil menjulurkan tangannya untuk meraih botol air mineralnya, membukanya lalu meneguk airnya untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Sisa sambal tadi ternyata masih membakar tenggorokannya.

Namun ia sungguh tidak mampu menahan hasrat untuk tidak menolehkan kepalanya saat mendengar Wahyu sedikit kencang mengumpat. “Cakep banget, brengsek.”

Paskal lantas menutup botolnya dan mengernyitkan dahinya, hendak menolehkan kepalanya saat tiba-tiba merasakan cengkeraman yang begitu kuat pada pergelangannya.

“Tunggu!” Jefri terdengar menggeram, genggaman tangannya yang mungil pada pergelangan tangannya sukses membuatnya sedikit meringis. “Tunggu orangnya menoleh dan nggak melihat ke arah sini baru gue izinkan lo untuk lihat ke arah mereka,” jelas temannya itu sambil sedikit menunduk. “Kantin ini sedang sepi. Kalau kita bertiga melihat ke arah sana bersamaan, gue yakin orang itu akan sadar.”

Ia lantas menjulurkan tangannya dan menyentil dahi Jefri, membuat laki-laki itu mengaduh dan mengacungkan jari tengah ke arahnya.

Ia lalu tertawa dan akhirnya menyerah, tidak merasa perlu untuk melihat sosok yang dinilai “tampan” oleh kedua temannya itu. Paskal bahkan tidak tahu apakah kategori yang dimiliki Jefri dan Wahyu itu sama dengannya.

Paskal hendak menarik tangannya dari genggaman Jefri, saat teman laki-lakinya itu kembali mencengkeram tangannya dan berbisik, “Paskal, sekarang!”

Ia lalu menolehkan kepalanya cepat, melihat ke arah yang diminta oleh laki-laki itu.

Dan demi Tuhan, Paskal merasa dadanya berdegup kencang.

Dari kejauhan, ia mampu melihat sosok yang beberapa hari ini menghantui pikirannya dengan jelas. Laki-laki yang memiliki tubuh yang tinggi, senyum yang menawan, dan sorot mata tajam yang mampu membuat darahnya berdesir.

Laki-laki itu terlihat sedang duduk dengan dua orang laki-laki lainnya, mengenakan kaus putih oblong yang membuat tubuh bagian atasnya terlihat jelas. Dadanya terlihat bidang, bahunya terlihat lebar, kaus putih longgar itu memperlihatkan tulang selangkanya.

Sungguh, Paskal menelan air liurnya saat melihat laki-laki itu menyunggingkan senyum kotaknya saat sedang tertawa dengan lawan bicaranya.

Dan yang membuatnya terkejut dan terperangah adalah saat kedua mata bulatnya menangkap sebuah tali berwarna jingga terikat dilengan kanannya, membuat otot bisepnya terlihat jelas.

Laki-laki yang belum ia ketahui namanya itu... adalah mahasiswa baru FISIP, sama seperti dirinya?!


Maba : Mahasiswa baru

Makara : Lambang fakultas di Universitas Indonesia, contoh: Makara FISIP berwarna jingga, makara FH (Fakultas Hukum) berwarna merah, makara FT (Fakultas Teknik) berwarna biru

Tibum : Ketertiban Umum

cw // Dimas' life background tw // implied toxic parents behavior , internal family problems

ps. please read at your own discretion, and please stop reading immediately if somehow this triggers you. hurting you guys is never and will never be my intention x.


Dimas mendengus saat membaca pesan yang dikirim oleh Kelvin, seorang laki-laki yang sudah dianggap sebagai teman dekatnya sejak keduanya masih duduk dibangku SMA.

Masih teringat jelas dalam kepalanya, saat nama seorang laki-laki yang tidak begitu dikenalnya itu dipanggil lewat pengeras suara saat upacara bendera pada hari Senin enam bulan silam. Dimas, seorang siswa yang cenderung memiliki sifat terlalu cuek dan nyaris tidak peduli dengan siapapun yang belum dikenalnya, lantas kembali mengunyah permen karetnya, melipat kedua tangannya didada sambil memicingkan kedua matanya.

Ia sama sekali tidak pernah mendengar nama seorang laki-laki yang sedang berdiri disamping Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan sambil menyunggingkan senyum lebarnya itu.

Laki-laki itu terlihat mengenakan kacamata, seragam yang dipakainya pun terlalu rapi, lengkap dengan dasi warna abu yang sepadan dengan celana panjang berbahan kain yang sepertinya disetrika dengan teknik khusus itu. Namun menariknya, laki-laki yang tengah menunduk karena merasa malu itu tidak terkesan cupu. Sebaliknya, sosok laki-laki itu terlihat berbeda—untuk ukuran siswa tingkat akhir versi Dominikus Dimas Yudhistira.

Beberapa teman satu kelasnya yang sedang berdiri berbaris di depannya itu satu-persatu terlihat berjinjit, tidak mau kalah dengan siswa lainnya yang sedang berebut melihat ke arah depan lapangan, membuatnya lantas memutar kedua bola matanya malas. Beberapa temannya yang berbaris dibelakangnya pun memintanya untuk membungkukkan tubuhnya—bahkan memintanya untuk minggir. Berbeda dengan Dimas yang tidak perlu repot-repot mengubah posisinya karena ia memiliki tinggi tubuh melebihi teman-temannya.

Ia berdecak. Memangnya laki-laki entah siapa yang sedang berdiri di depan lapangan itu sedemikian penting, hingga barisan siswa yang sedang mengikuti upacara harus saling berbisik dan membicarakannya itu seperti ini, batinnya kesal dalam hati, lalu memalingkan wajahnya ke arah area luar sekolah.

Dimas melihat beberapa kendaraan seperti tengah berebut untuk mendahului satu sama lain di depan area komplek sekolahnya yang terletak tidak jauh dengan perempatan jalan itu. Ia lantas menggelengkan kepalanya. Hari Senin pagi memang waktu yang sangat menantang bagi sebagian besar orang.

Mungkin dirinya akan melakukan hal yang sama jika saat ini berada diposisi para pengemudi kendaraan itu.

Ia tidak dapat memfokuskan pendengarannya pada satu suara; pikirannya melayang ke sana kemari, dari memikirkan apa yang akan dibelinya di kantin sekolah saat jam istirahat nanti, hingga memikirkan nasibnya jika dirinya sudah resmi lulus dari statusnya sebagai seorang siswa sekolah itu dalam hitungan minggu.

Namun tak lama kemudian, pikirannya yang sudah tersusun rapi layaknya kepingan domino itu lantas jatuh berantakan saat mendengar sang Wakil Kepala Sekolah itu menyebutkan nama salah satu universitas favorit yang menjadi “mimpinya”. Dimas menolehkan kepalanya dengan cepat, merasa beruntung saat itu lehernya tidak serta merta terkilir. Ia refleks membuat indra pendengarannya berfokus pada satu suara, saat mendengar pria paruh baya itu berkata dengan bangga sambil menaruh tangan kirinya pada bahu laki-laki yang sejak tadi berdiri di sampingnya.

“Saya merasa bangga dan senang karena ada perwakilan dari siswa kelas dua belas dan kakak kelas kalian, untuk para siswa kelas sepuluh dan sebelas, yang diterima di jurusan Politik Universitas Indonesia. Kamu menambah angka penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri dari sekolah kita tercinta, Kelvin. Selamat, ya.”

Kelvin.

Ia tidak pernah mengenal seseorang bernama Kelvin di sekolah ini, bahkan sepertinya ia tidak pernah bertemu dengan laki-laki yang secara tidak langsung membuat seantero sekolahnya merasa bangga dan kagum secara mendadak itu.

Situasi yang tidak biasa ini lantas membuatnya kembali teringat akan pembicaraannya dengan kedua orang tuanya beberapa waktu lalu, saat dirinya tengah melakukan aksi “diam” karena keputusan sepihak orang tuanya yang membuatnya marah.

Kami berdua, Ayah dan Mama, ingin yang terbaik untukmu. Maka Ayah dan Mama ingin kamu mendaftar ke perguruan tinggi negeri,” jelas ayahnya dengan nada tegas, sedang ibunya hanya duduk manis di samping pria paruh baya itu sambil menyeruput teh panas dari cangkir bermotif bunga itu. Kedua orang tuanya tengah duduk diatas kasurnya, sedangkan Dimas duduk dikursi belajarnya dengan menyilangkan kedua tangannya didada. Ia hampir merasa muak dengan obsesi dan cara pikir kedua orang tuanya yang tidak mengenal kata “gagal” dan “coba lagi”.

Beban berat yang menghasilkan tekanan demi tekanan diletakkan diatas dada Dimas terus-menerus, membuat napasnya sesak dan ruang geraknya terbatas. Ia tahu, semua ini dilakukan oleh orang tuanya semata-mata karena keduanya masih menjunjung tinggi rasa bangga yang melampaui akal sehat jika anak-anaknya berhasil diterima di perguruan tinggi negeri. Ia paham keinginan keduanya untuk “memamerkan” dirinya kepada teman-temannya, sebagai anak laki-laki pertama di keluarga mereka yang mampu meneruskan generasi orang tuanya, dengan embel-embel “kami mendorongmu seperti ini karena kami menyayangimu dan ingin kamu menjadi anak yang sukses.”

Dan bagi Dimas, alasan itu tidak dapat diterima oleh akal sehatnya.

Ayahnya yang sempat meregangkan tubuhnya karena pegal lalu menegakkan posisi tubuhnya kembali, melipat kedua tangannya didada seperti dirinya. Beliau menatapnya dengan sorot tajam dan “menuntut”. Dimas tahu, ia sedang berada di tengah lautan luas dengan dasar tak berujung. Ia tidak tahu jika tepat di bawah tempatnya mengapung, ada sebuah palung besar dan dalam yang akan menariknya jauh ke dasar laut dan sulit untuk berenang ke permukaan.

Dimas terpojok. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan selain mengangguk dan menelan kata-kata yang sudah berada diujung lidahnya untuk “menjawab” Ayahnya bulat-bulat.

Seperti yang selalu dilakukannya sejak entah kapan.

Ayah ingin kamu masuk di Universitas Indonesia. Pilihlah jurusan apapun yang kamu inginkan, kamu pasti punya salah satu keinginan, bukan? Jangan kalah dengan anak-anak dari teman-teman ayah. Mereka yang tidak begitu pintar seperti kamu saja mampu masuk ke universitas negeri favorit lewat jalur SNMPTN. Ayah tahu kamu pun mampu membuat Ayah dan Mama bangga, hanya Ayah kurang yakin kamu bisa lawan rasa malas dan mudah menyerahmu itu atau tidak.

Dimas mengulum senyum kecut, hampir saja membuka mulutnya dan tertawa nanar. Dengan susah payah dirinya menahan untuk tidak memutar kedua bola matanya malas lalu menyambar pamflet universitas yang sedang dipegang oleh ibunya dan merobeknya. Ia tidak pernah mengerti dengan ambisi kedua orang tuanya dengan perguruan tinggi negeri.

Memangnya segala sesuatu hanya akan tercapai jika melewati satu “jalan” saja? Memangnya tidak ada cara, atau bahkan tempat lain untuk menggapainya?

Bahkan kedua orang tuanya kerap kali membandingkan kemampuannya dan dirinya secara keseluruhan dengan orang lain—bahkan dengan para sepupunya sendiri.

Jika saja Dimas berani melawan keinginan kedua orang tuanya dan mengejar mimpinya sendiri sekali ini saja, mungkin saat ini ia sudah berada di Inggris, menempuh pendidikan sarjana dengan beasiswa yang hampir saja didapatkannya, jika saja ayahnya itu tidak mengintervensi rencananya saat hendak berangkat dari rumah untuk menghadiri wawancara yang harus dilakukan untuk keperluan beasiswa tersebut.

Oh tentu, ia sempat berontak dan hampir pergi dari rumah karena pertengkaran dengan ayahnya itu. Ia kalut, melampiaskan amarahnya dengan membanting pintu kamarnya dan mengambil koper miliknya yang terletak disamping kasur miliknya. Dimas dengan cepat membuka lemari pakaiannya, mengemasi pakaiannya—hanya yang dibelinya dengan uangnya sendiri—dengan gemuruh amarah yang masih mengungkung dada dan kepalanya. Ia benar-benar kecewa dengan tindakan ayahnya yang dengan sepihak “merenggut” mimpinya untuk tinggal di luar negeri, ingin mengejar mimpinya untuk berkuliah di University of Oxford dan mengambil jurusan Ilmu Politik, dengan jalur beasiswa yang sebentar lagi didapatkannya.

Namun emosi sesaatnya itu lantas luntur saat mendengar suara kedua adik laki-lakinya menangis tak jauh dari kamar tidurnya berada, sepertinya sempat terkejut saat mendengar suaranya meninggi saat beradu mulut dengan ayahnya beberapa saat lalu.

Dimas lalu mengambil napas panjang, membanting pakaiannya yang kusut akibat digenggam begitu erat kelantai, lalu menyandarkan tubuhnya dipinggir kasur hingga terkulai lemas. Ia lalu meraih setumpuk pakaiannya itu lalu membenamkan wajahnya dan berteriak, merasa lelah dan frustrasi dengan semua paksaan yang dituntut oleh kedua orang tuanya.

Sampai kapan dirinya harus seperti ini, mengiyakan keinginan kedua orang tua yang membesarkannya itu dan merelakan mimpinya lagi?

Dimas benar-benar lelah. Ia benar-benar ingin melarikan diri dari rumahnya itu dan melanjutkan hidupnya atas kemauannya sendiri. Namun ia tidak bisa. Dimas tidak bisa. Ia tidak mungkin meninggalkan kedua adiknya begitu saja. Ia merasa ketakutan jika kedua orang tuanya itu akan melampiaskan amarah dan kekecewaannya atas perlakuan Dimas kepada kedua adik laki-lakinya itu dengan perkataan yang dimungkinkan akan melukai kedua hati adiknya itu.

Maka dengan pasrah—lagi-lagi dengan pasrah—Dimas menyerah. Ia sempat mengurung dirinya di kamar tidurnya hingga keesokan harinya, memikirkan apa yang akan terjadi dikemudian hari jika ia akhirnya mengiyakan permintaan kedua orang tuanya.

Dan lagi-lagi, Dimas memutuskan untuk merelakan mimpinya dan menyetujui keinginan mereka.

Dimas sudah lelah. Ia lebih memilih untuk menuruti keinginan orang tuanya dan melakukan yang terbaik agar dirinya dapat diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Setidaknya, hanya itu yang dapat ia lakukan untuk membuat kedua orang tuanya “tenang dan diam”.

Setidaknya, keduanya tidak akan lagi mengejar-ngejar Dimas sampai keinginan mereka terpenuhi.

Maka untuk kali pertama dalam hidupnya, Dimas memutuskan untuk lebih menaruh perhatian pada sekitarnya, termasuk orang yang belum dikenalnya.

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Dimas mengakui bahwa dirinya jauh dari cukup.

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya saat itu, Dimas memutuskan untuk memulai; menghampiri laki-laki bernama Kelvin yang terlihat sedang melangkahkan kakinya menuju kantin sekolah setelah upacara hari Senin pagi itu dibubarkan untuk mengajaknya berkenalan.

Setidaknya, Dimas berpikir, mungkin hadirnya Kelvin secara tiba-tiba pagi itu memang ditakdirkan oleh Tuhan sebagai salah satu cara untuk meraih “mimpi”nya yang harus dimulai kembali dari nol.

Siapa yang menyangka bahwa Kelvin akan dengan senang hati menanggapi perkenalan singkat mereka itu dengan respon yang positif, lengkap dengan senyum lebar yang membuat satu lesung pipinya timbul dipipinya.

Siapa yang menyangka bahwa keduanya akan menjadi sangat dekat bagai pinang dibelah dua, walaupun keduanya memiliki sifat yang jauh berbeda layaknya langit dan tanah. Dimas dengan kepribadiannya yang menyenangkan, santai namun cuek, dengan Kelvin yang seperti memiliki magnet dalam tubuhnya untuk menarik semua faktor “kesempurnaan” yang ada di dunia ini.

Dan siapa yang pernah menyangka, laki-laki yang baru dikenalnya beberapa bulan itu adalah satu-satunya sosok dalam hidup Dimas yang dianggap pantas olehnya sebagai seorang sahabat.


Dimas menggeram saat kedua telinganya mendengar suara pesan masuk dari ponselnya yang tumpang tindih dengan suara riuh tepuk tangan penonton dari televisinya. Ia lalu mengerjapkan matanya dan melenguh, tidak menyadari bahwa ia menonton televisi hingga tertidur pulas karena kelelahan.

Ia meraih ponselnya dan melihat ke arah layar sambil menghela napas berat saat melihat waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam hari. Ia tidak mungkin keluar dari apartemennya hanya untuk membeli makan malam. Jalanan di depan gedung apartemen Margonda Residence itu dipastikan akan dipadati oleh kendaraan bermotor pada jam pulang kantor seperti saat ini. Ia pun merasa malas jika harus turun ke area basemen untuk mengendarai motor Yamaha miliknya atau mobil Fortuner berwarna hitam pemberian ayahnya karena telah berhasil menyandang status mahasiswa baru di Universitas Indonesia.

Dimas lalu teringat bahwa di lantai dasar gedung apartemen itu menyediakan fasilitas kantin yang menjual beraneka macam makanan dan minuman dengan harga murah hingga pukul sembilan malam. Maka ia tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi untuk berpikir dan akhirnya beranjak dari kasurnya, melangkahkan kakinya kekamar mandi untuk membersihkan diri.

Dua puluh menit berlalu, ia lantas mengenakan pakaian seadanya, meraih dompet, ponsel, serta sebungkus rokok miliknya sebelum akhirnya mengenakan sandal santainya dan keluar dari unit apartemennya menuju kantin. Ia belum mengenal satupun orang di gedung apartemennya yang menjadi salah satu pilihan untuk menjadi tempat tinggal para mahasiswa di sekitaran Depok itu.

Dimas pun merasa belum pernah berpapasan atau bahkan bertemu dengan satu orang senior pun di sini. Ia lalu mengedikkan bahu, mungkin saja banyak mahasiswa satu fakultas dengannya yang tinggal di gedung ini namun belum dikenalnya.

Ia akhirnya menginjakkan kaki di lantai kantin gedung itu, seketika mendengar suara yang ramai, tidak sepi seperti beberapa hari yang lalu saat ia melewati area kantin setelah memarkirkan mobilnya di area basemen.

Ia melangkahkan kakinya cepat, lalu sedikit terbelalak saat melihat ruang terbuka itu hampir penuh oleh pengunjung.

Dimas hampir mengurungkan niatnya untuk membeli makan malam dan menyantapnya di tempat, saat seorang pria dengan tidak sengaja menyenggol tubuhnya yang sedang berdiri mematung sambil berpikir itu.

Pria itu lantas menoleh sambil mengangkat tangannya, raut wajahnya terlihat menyesali kejadian barusan. “Eh, maaf,” ujar pria asing yang sepertinya tidak berbeda jauh umurnya dengannya itu cepat sambil meminta maaf. “Gue sedang buru-buru ambil slot kosong untuk duduk. Penuh banget, bro, tumben. Nggak seperti biasanya.”

Ia hanya tersenyum simpul sambil mengangguk. “Nggak apa, kok. Nggak perlu minta maaf,” balas Dimas sopan pada pria yang baru kali ini ditemuinya itu. Ia lalu menyambung lagi sambil mengedarkan pandangannya. “Iya, tumben banget ya, sepertinya kemarin nggak seramai ini.”

Ia lalu menyadari bahwa pria asing itu tengah memerhatikan wajahnya dengan seksama, membuatnya hampir merasa terganggu. Sebelum Dimas mengatakan apapun untuk bertanya, pria itu lalu berkata sambil mengulurkan tangannya. Pria itu tersenyum lebar. “Salam kenal, lo orang baru ya di gedung ini? Gue baru lihat lo sekarang. Sepertinya gue belum pernah bertemu lo, deh. Nama lo siapa?”

Dimas lalu melirik ke arah tangan pria dan wajahnya bergantian. Ia bahkan tidak tahu apakah dirinya harus membalas uluran tangan pria asing itu. Namun sesuatu dalam hatinya mengatakan bahwa dirinya harus menjabat tangan pria itu.

Harus.

Ia lalu menjabat tangan pria itu asal setelah memindahkan sebungkus rokok dan ponselnya kegenggaman tangan kirinya. “Nama gue Dimas. Iya, gue mahasiswa baru UI. Baru kemarin resmi tinggal di apartemen ini,” jelasnya santai.

Mengapa dirinya dengan mudahnya memberikan informasi seperti itu pada orang yang baru dikenalnya? Apa mungkin aura dari pria yang sedang berdiri di hadapannya ini yang membuatnya lantas memberitahu hal itu tanpa berpikir terlebih dahulu?

Pria itu hanya terdengar ber-oh-ria, lalu membalas jabatan tangannya lebih erat sambil tersenyum dan mengangguk. “Kenalin, nama gue Julian. Gue juga mahasiswa UI, tapi gue senior lo, Dimas.”

“Ah, oke,” balasnya cepat. “Maaf, Kak kalau gue kurang sopan.”

Julian mendengus sambil mengibaskan tangannya, sebelum mengurai poninya yang tertiup angin malam hari. “Halah, santai. Kalau di luar kampus, gue orangnya santai, kok.”

Pria itu menjawab dengan santai, lalu sekilas menoleh ke arah meja yang terlihat kosong.

“Eh, ada meja kosong di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah meja yang baru terisi oleh dua orang asing itu. “Mau gabung dengan gue dan teman-teman gue? Sekalian kita bakar rokok bareng.”

Entah mengapa, Dimas menganggukkan kepalanya cepat tanda menerima tawaran seniornya itu sambil tersenyum.

Sure, Kak.”

cw // Dimas' life background tw // implied toxic parents behavior , internal family problems

ps. please read at your own discretion, and please stop reading immediately if somehow this triggers you. hurting you guys is never and will never be my intention x.


Dimas mendengus saat membaca pesan yang dikirim oleh Kelvin, seorang laki-laki yang sudah dianggap sebagai teman dekatnya sejak keduanya masih duduk dibangku SMA.

Masih teringat jelas dalam kepalanya, saat nama seorang laki-laki yang tidak begitu dikenalnya itu dipanggil lewat pengeras suara saat upacara bendera pada hari Senin enam bulan silam. Dimas, seorang siswa yang cenderung memiliki sifat terlalu cuek dan nyaris tidak peduli dengan siapapun yang belum dikenalnya, lantas kembali mengunyah permen karetnya, melipat kedua tangannya didada sambil memicingkan kedua matanya.

Ia sama sekali tidak pernah mendengar nama seorang laki-laki yang sedang berdiri disamping Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan sambil menyunggingkan senyum lebarnya itu.

Laki-laki itu terlihat mengenakan kacamata, seragam yang dipakainya pun terlalu rapi, lengkap dengan dasi warna abu yang sepadan dengan celana panjang berbahan kain yang sepertinya disetrika dengan teknik khusus itu. Namun menariknya, laki-laki yang tengah menunduk karena merasa malu itu tidak terkesan cupu. Sebaliknya, sosok laki-laki itu terlihat berbeda—untuk ukuran siswa tingkat akhir versi Dominikus Dimas Yudhistira.

Beberapa teman satu kelasnya yang sedang berdiri berbaris di depannya itu satu-persatu terlihat berjinjit, tidak mau kalah dengan siswa lainnya yang sedang berebut melihat ke arah depan lapangan, membuatnya lantas memutar kedua bola matanya malas. Beberapa temannya yang berbaris dibelakangnya pun memintanya untuk membungkukkan tubuhnya—bahkan memintanya untuk minggir. Berbeda dengan Dimas yang tidak perlu repot-repot mengubah posisinya karena ia memiliki tinggi tubuh melebihi teman-temannya.

Ia berdecak. Memangnya laki-laki entah siapa yang sedang berdiri di depan lapangan itu sedemikian penting, hingga barisan siswa yang sedang mengikuti upacara harus saling berbisik dan membicarakannya itu seperti ini, batinnya kesal dalam hati, lalu memalingkan wajahnya ke arah area luar sekolah.

Dimas melihat beberapa kendaraan seperti tengah berebut untuk mendahului satu sama lain di depan area komplek sekolahnya yang terletak tidak jauh dengan perempatan jalan itu. Ia lantas menggelengkan kepalanya. Hari Senin pagi memang waktu yang sangat menantang bagi sebagian besar orang.

Mungkin dirinya akan melakukan hal yang sama jika saat ini berada diposisi para pengemudi kendaraan itu.

Ia tidak dapat memfokuskan pendengarannya pada satu suara; pikirannya melayang ke sana kemari, dari memikirkan apa yang akan dibelinya di kantin sekolah saat jam istirahat nanti, hingga memikirkan nasibnya jika dirinya sudah resmi lulus dari statusnya sebagai seorang siswa sekolah itu dalam hitungan minggu.

Namun tak lama kemudian, pikirannya yang sudah tersusun rapi layaknya kepingan domino itu lantas jatuh berantakan saat mendengar sang Wakil Kepala Sekolah itu menyebutkan nama salah satu universitas favorit yang menjadi “mimpinya”. Dimas menolehkan kepalanya dengan cepat, merasa beruntung saat itu lehernya tidak serta merta terkilir. Ia refleks membuat indra pendengarannya berfokus pada satu suara, saat mendengar pria paruh baya itu berkata dengan bangga sambil menaruh tangan kirinya pada bahu laki-laki yang sejak tadi berdiri di sampingnya.

“Saya merasa bangga dan senang karena ada perwakilan dari siswa kelas dua belas dan kakak kelas kalian, untuk para siswa kelas sepuluh dan sebelas, yang diterima di jurusan Politik Universitas Indonesia. Kamu menambah angka penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri dari sekolah kita tercinta, Kelvin. Selamat, ya.”

Kelvin.

Ia tidak pernah mengenal seseorang bernama Kelvin di sekolah ini, bahkan sepertinya ia tidak pernah bertemu dengan laki-laki yang secara tidak langsung membuat seantero sekolahnya merasa bangga dan kagum secara mendadak itu.

Situasi yang tidak biasa ini lantas membuatnya kembali teringat akan pembicaraannya dengan kedua orang tuanya beberapa waktu lalu, saat dirinya tengah melakukan aksi “diam” karena keputusan sepihak orang tuanya yang membuatnya marah.

Kami berdua, Ayah dan Mama, ingin yang terbaik untukmu. Maka Ayah dan Mama ingin kamu mendaftar ke perguruan tinggi negeri,” jelas ayahnya dengan nada tegas, sedang ibunya hanya duduk manis di samping pria paruh baya itu sambil menyeruput teh panas dari cangkir bermotif bunga itu. Kedua orang tuanya tengah duduk diatas kasurnya, sedangkan Dimas duduk dikursi belajarnya dengan menyilangkan kedua tangannya didada. Ia hampir merasa muak dengan obsesi dan cara pikir kedua orang tuanya yang tidak mengenal kata “gagal” dan “coba lagi”.

Beban berat yang menghasilkan tekanan demi tekanan diletakkan diatas dada Dimas terus-menerus, membuat napasnya sesak dan ruang geraknya terbatas. Ia tahu, semua ini dilakukan oleh orang tuanya semata-mata karena keduanya masih menjunjung tinggi rasa bangga yang melampaui akal sehat jika anak-anaknya berhasil diterima di perguruan tinggi negeri. Ia paham keinginan keduanya untuk “memamerkan” dirinya kepada teman-temannya, sebagai anak laki-laki pertama di keluarga mereka yang mampu meneruskan generasi orang tuanya, dengan embel-embel “kami mendorongmu seperti ini karena kami menyayangimu dan ingin kamu menjadi anak yang sukses.”

Dan bagi Dimas, alasan itu tidak dapat diterima oleh akal sehatnya.

Ayahnya yang sempat meregangkan tubuhnya karena pegal lalu menegakkan posisi tubuhnya kembali, melipat kedua tangannya didada seperti dirinya. Beliau menatapnya dengan sorot tajam dan “menuntut”. Dimas tahu, ia sedang berada di tengah lautan luas dengan dasar tak berujung. Ia tidak tahu jika tepat di bawah tempatnya mengapung, ada sebuah palung besar dan dalam yang akan menariknya jauh ke dasar laut dan sulit untuk berenang ke permukaan.

Dimas terpojok. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan selain mengangguk dan menelan kata-kata yang sudah berada diujung lidahnya untuk “menjawab” Ayahnya bulat-bulat.

Seperti yang selalu dilakukannya sejak entah kapan.

“Ayah ingin kamu masuk di Universitas Indonesia. Pilihlah jurusan apapun yang kamu inginkan, kamu pasti punya salah satu keinginan, bukan? Jangan kalah dengan anak-anak dari teman-teman ayah. Mereka yang tidak begitu pintar seperti kamu saja mampu masuk ke universitas negeri favorit lewat jalur SNMPTN. Ayah tahu kamu pun mampu membuat Ayah dan Mama bangga, hanya Ayah kurang yakin kamu bisa lawan rasa malas dan mudah menyerahmu itu atau tidak.”

Dimas mengulum senyum kecut, hampir saja membuka mulutnya dan tertawa nanar. Dengan susah payah dirinya menahan untuk tidak memutar kedua bola matanya malas lalu menyambar pamflet universitas yang sedang dipegang oleh ibunya dan merobeknya. Ia tidak pernah mengerti dengan ambisi kedua orang tuanya dengan perguruan tinggi negeri. Memangnya segala sesuatu hanya akan tercapai jika melewati satu “jalan” saja? Memangnya tidak ada cara, atau bahkan tempat lain untuk menggapainya?

Bahkan kedua orang tuanya kerap kali membandingkan kemampuannya dan dirinya secara keseluruhan dengan orang lain—bahkan dengan para sepupunya sendiri.

Jika saja Dimas berani melawan keinginan kedua orang tuanya dan mengejar mimpinya sendiri sekali ini saja, mungkin saat ini ia sudah berada di Inggris, menempuh pendidikan sarjana dengan beasiswa yang hampir saja didapatkannya, jika saja ayahnya itu tidak mengintervensi rencananya saat hendak berangkat dari rumah untuk menghadiri wawancara yang harus dilakukan untuk keperluan beasiswa tersebut.

Oh tentu, ia sempat berontak dan hampir pergi dari rumah karena pertengkaran dengan ayahnya itu. Ia kalut, melampiaskan amarahnya dengan membanting pintu kamarnya dan mengambil koper miliknya yang terletak disamping kasur miliknya. Dimas dengan cepat membuka lemari pakaiannya, mengemasi pakaiannya—hanya yang dibelinya dengan uangnya sendiri—dengan gemuruh amarah yang masih mengungkung dada dan kepalanya. Ia benar-benar kecewa dengan tindakan ayahnya yang dengan sepihak “merenggut” mimpinya untuk tinggal di luar negeri, ingin mengejar mimpinya untuk berkuliah di University of Oxford dan mengambil jurusan Ilmu Politik, dengan jalur beasiswa yang sebentar lagi didapatkannya.

Namun emosi sesaatnya itu lantas luntur saat mendengar suara kedua adik laki-lakinya menangis tak jauh dari kamar tidurnya berada, sepertinya sempat terkejut saat mendengar suaranya meninggi saat beradu mulut dengan ayahnya beberapa saat lalu.

Dimas lalu mengambil napas panjang, membanting pakaiannya yang kusut akibat digenggam begitu erat kelantai, lalu menyandarkan tubuhnya dipinggir kasur hingga terkulai lemas. Ia lalu meraih setumpuk pakaiannya itu lalu membenamkan wajahnya dan berteriak, merasa lelah dan frustrasi dengan semua paksaan yang dituntut oleh kedua orang tuanya.

Sampai kapan dirinya harus seperti ini, mengiyakan keinginan kedua orang tua yang membesarkannya itu dan merelakan mimpinya lagi?

Dimas benar-benar lelah. Ia benar-benar ingin melarikan diri dari rumahnya itu dan melanjutkan hidupnya atas kemauannya sendiri. Namun ia tidak bisa. Dimas tidak bisa. Ia tidak mungkin meninggalkan kedua adiknya begitu saja. Ia merasa ketakutan jika kedua orang tuanya itu akan melampiaskan amarah dan kekecewaannya atas perlakuan Dimas kepada kedua adik laki-lakinya itu dengan perkataan yang dimungkinkan akan melukai kedua hati adiknya itu.

Maka dengan pasrah—lagi-lagi dengan pasrah—Dimas menyerah. Ia sempat mengurung dirinya di kamar tidurnya hingga keesokan harinya, memikirkan apa yang akan terjadi dikemudian hari jika ia akhirnya mengiyakan permintaan kedua orang tuanya.

Dan lagi-lagi, Dimas memutuskan untuk merelakan mimpinya dan menyetujui keinginan mereka.

Dimas sudah lelah. Ia lebih memilih untuk menuruti keinginan orang tuanya dan melakukan yang terbaik agar dirinya dapat diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Setidaknya, hanya itu yang dapat ia lakukan untuk membuat kedua orang tuanya “tenang dan diam”.

Setidaknya, keduanya tidak akan lagi mengejar-ngejar Dimas sampai keinginan mereka terpenuhi.

Maka untuk kali pertama dalam hidupnya, Dimas memutuskan untuk lebih menaruh perhatian pada sekitarnya, termasuk orang yang belum dikenalnya.

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Dimas mengakui bahwa dirinya jauh dari cukup.

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya saat itu, Dimas memutuskan untuk memulai; menghampiri laki-laki bernama Kelvin yang terlihat sedang melangkahkan kakinya menuju kantin sekolah setelah upacara hari Senin pagi itu dibubarkan untuk mengajaknya berkenalan.

Setidaknya, Dimas berpikir, mungkin hadirnya Kelvin secara tiba-tiba pagi itu memang ditakdirkan oleh Tuhan sebagai salah satu cara untuk meraih “mimpi”nya yang harus dimulai kembali dari nol.

Siapa yang menyangka bahwa Kelvin akan dengan senang hati menanggapi perkenalan singkat mereka itu dengan respon yang positif, lengkap dengan senyum lebar yang membuat satu lesung pipinya timbul dipipinya.

Siapa yang menyangka bahwa keduanya akan menjadi sangat dekat bagai pinang dibelah dua, walaupun keduanya memiliki sifat yang jauh berbeda layaknya langit dan tanah. Dimas dengan kepribadiannya yang menyenangkan, santai namun cuek, dengan Kelvin yang seperti memiliki magnet dalam tubuhnya untuk menarik semua faktor “kesempurnaan” yang ada di dunia ini.

Dan siapa yang pernah menyangka, laki-laki yang baru dikenalnya beberapa bulan itu adalah satu-satunya sosok dalam hidup Dimas yang dianggap pantas olehnya sebagai seorang sahabat.


Dimas menggeram saat kedua telinganya mendengar suara pesan masuk dari ponselnya yang tumpang tindih dengan suara riuh tepuk tangan penonton dari televisinya. Ia lalu mengerjapkan matanya dan melenguh, tidak menyadari bahwa ia menonton televisi hingga tertidur pulas karena kelelahan.

Ia meraih ponselnya dan melihat ke arah layar sambil menghela napas berat saat melihat waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam hari. Ia tidak mungkin keluar dari apartemennya hanya untuk membeli makan malam. Jalanan di depan gedung apartemen Margonda Residence itu dipastikan akan dipadati oleh kendaraan bermotor pada jam pulang kantor seperti saat ini. Ia pun merasa malas jika harus turun ke area basemen untuk mengendarai motor Yamaha miliknya atau mobil Fortuner berwarna hitam pemberian ayahnya karena telah berhasil menyandang status mahasiswa baru di Universitas Indonesia.

Dimas lalu teringat bahwa di lantai dasar gedung apartemen itu menyediakan fasilitas kantin yang menjual beraneka macam makanan dan minuman dengan harga murah hingga pukul sembilan malam. Maka ia tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi untuk berpikir dan akhirnya beranjak dari kasurnya, melangkahkan kakinya kekamar mandi untuk membersihkan diri.

Dua puluh menit berlalu, ia lantas mengenakan pakaian seadanya, meraih dompet, ponsel, serta sebungkus rokok miliknya sebelum akhirnya mengenakan sandal santainya dan keluar dari unit apartemennya menuju kantin. Ia belum mengenal satupun orang di gedung apartemennya yang menjadi salah satu pilihan untuk menjadi tempat tinggal para mahasiswa di sekitaran Depok itu.

Dimas pun merasa belum pernah berpapasan atau bahkan bertemu dengan satu orang senior pun di sini. Ia lalu mengedikkan bahu, mungkin saja banyak mahasiswa satu fakultas dengannya yang tinggal di gedung ini namun belum dikenalnya.

Ia akhirnya menginjakkan kaki di lantai kantin gedung itu, seketika mendengar suara yang ramai, tidak sepi seperti beberapa hari yang lalu saat ia melewati area kantin setelah memarkirkan mobilnya di area basemen.

Ia melangkahkan kakinya cepat, lalu sedikit terbelalak saat melihat ruang terbuka itu hampir penuh oleh pengunjung.

Dimas hampir mengurungkan niatnya untuk membeli makan malam dan menyantapnya di tempat, saat seorang pria dengan tidak sengaja menyenggol tubuhnya yang sedang berdiri mematung sambil berpikir itu.

Pria itu lantas menoleh sambil mengangkat tangannya, raut wajahnya terlihat menyesali kejadian barusan. “Eh, maaf,” ujar pria asing yang sepertinya tidak berbeda jauh umurnya dengannya itu cepat sambil meminta maaf. “Gue sedang buru-buru ambil slot kosong untuk duduk. Penuh banget, bro, tumben. Nggak seperti biasanya.”

Ia hanya tersenyum simpul sambil mengangguk. “Nggak apa, kok. Nggak perlu minta maaf,” balas Dimas sopan pada pria yang baru kali ini ditemuinya itu. Ia lalu menyambung lagi sambil mengedarkan pandangannya. “Iya, tumben banget ya, sepertinya kemarin nggak seramai ini.”

Ia lalu menyadari bahwa pria asing itu tengah memerhatikan wajahnya dengan seksama, membuatnya hampir merasa terganggu. Sebelum Dimas mengatakan apapun untuk bertanya, pria itu lalu berkata sambil mengulurkan tangannya. Pria itu tersenyum lebar. “Salam kenal, lo orang baru ya di gedung ini? Gue baru lihat lo sekarang. Sepertinya gue belum pernah bertemu lo, deh. Nama lo siapa?”

Dimas lalu melirik ke arah tangan pria dan wajahnya bergantian. Ia bahkan tidak tahu apakah dirinya harus membalas uluran tangan pria asing itu.

Namun sesuatu dalam hatinya mengatakan bahwa dirinya harus menjabat tangan pria itu.

Harus.

Ia lalu menjabat tangan pria itu asal setelah memindahkan sebungkus rokok dan ponselnya kegenggaman tangan kirinya. “Nama gue Dimas. Iya, gue mahasiswa baru UI. Baru kemarin resmi tinggal di apartemen ini,” jelasnya santai. Mengapa dirinya dengan mudahnya memberikan informasi seperti itu pada orang yang baru dikenalnya? Apa mungkin aura dari pria yang sedang berdiri di hadapannya ini yang membuatnya lantas memberitahu hal itu tanpa berpikir terlebih dahulu?

Pria itu hanya terdengar ber-oh-ria, lalu membalas jabatan tangannya lebih erat sambil tersenyum dan mengangguk. “Kenalin, nama gue Julian. Gue juga mahasiswa UI, tapi gue senior lo, Dimas.”

“Ah, oke,” balasnya cepat. “Maaf, Kak kalau gue kurang sopan.”

Julian mendengus sambil mengibaskan tangannya, sebelum mengurai poninya yang tertiup angin malam hari. “Halah, santai. Kalau di luar kampus, gue orangnya santai, kok.”

Pria itu menjawab dengan santai, lalu sekilas menoleh ke arah meja yang terlihat kosong.

“Eh, ada meja kosong di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah meja yang baru terisi oleh dua orang asing itu. “Mau gabung dengan gue dan teman-teman gue? Sekalian kita bakar rokok bareng.”

Entah mengapa, Dimas menganggukkan kepalanya cepat tanda menerima tawaran seniornya itu sambil tersenyum.

Sure, Kak.”

Paskal merasa tidak mengenali dirinya sendiri pagi ini. Ia perlahan membuka kedua matanya sambil mengernyit, merasakan sinar matahari yang cukup terik menyapa indra penglihatannya tanpa permisi. Ia lantas menggeram, menyesali keputusannya semalam untuk tidak menutup tirai jendela kamarnya yang berada di sisi paling depan gedung kos itu. Ia lalu mengerjapkan matanya, menarik selimut tebalnya karena suhu ruangan yang sangat dingin dengan kedua tangannya.

Ia menghela napas panjang, mengumpulkan kesadaran yang masih sedikit tercecer untuk mencoba mengingat apa saja kegiatan yang harus dilakukannya sepanjang hari ini.

Kedua telinganya seketika menangkap banyak suara; seseorang yang sedang mengunci pintu kamar kos yang sepertinya tak jauh dari kamarnya, suara pembawa acara yang sedang membicarakan sesuatu dengan heboh lewat saluran televisi, dan deru mesin kendaraan bermotor yang berlalu-lalang didepan gedung kosnya berada.

Indra pendengarannya pun tak melewati suara cicit burung yang terasa begitu dekat ditelinganya, seperti menyampaikan padanya bahwa ia harus segera beranjak dari kasur untuk memulai harinya.

Namun sesaat, dahinya kembali mengernyit. Ia mendengar semua suara.

Semuanya, kecuali alarm pada ponselnya.

Paskal yang sedang melamun sambil mengiggit kuku ibu jarinya, lantas menyadari ada sesuatu yang salah, sesuatu yang terjadi tidak seperti biasanya. Ia lantas menegakkan tubuhnya dari posisi yang semula telentang, memicingkan mata kearah meja belajar yang terletak tidak jauh dari kasurnya untuk mengecek jam meja kesayangannya, dan menyadari bahwa waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi.

Ia terperangah, menyadari bahwa dirinya bangun satu jam lebih cepat mendahului alarm yang diaturnya sejak semalam. Hal ini jarang terjadi, biasanya bahkan ia harus menyentuh layar ponselnya asal hanya untuk menghentikan suara repetitif yang kerap kali memekakkan kedua telinganya itu.

Paskal lalu turun dari kasur, memijakkan kedua kakinya pada lantai yang terasa sangat dingin dan meregangkan tubuhnya sebelum akhirnya melangkah ke arah kamar mandi. Walaupun dirinya merasa waktu istirahatnya belum cukup, namun fakta itu tidak akan mengurungkan niatnya sedikit pun untuk bergegas mencari sarapan di sekitaran area gedung kosnya lalu berangkat menuju Balairung Universitas Indonesia. Ia merasa sangat bersemangat untuk bertemu Jefri dan Wahyu, dua orang pria yang baru saja dikenalnya kemarin saat pengarahan ospek* jurusan.

Paskal memang pandai bergaul, namun ia tidak menyangka akan secepat itu mendapatkan teman satu jurusan yang menyenangkan. Well, ia tahu dirinya terdengar sangat optimis bahwa kedua pria asing itu akan tetap menjadi temannya setelah kegiatan ospek berakhir. Namun, tidak ada salahnya untuk berpikir positif, 'kan?

Setelah menghabiskan waktu selama lima belas menit untuk mandi, Paskal lalu mengambil alat cukur pada tas kecil berisi peralatan mandinya untuk mencukur janggutnya yang tipis. Ia lalu mengangkat kepalanya, melihat pantulan wajahnya pada cermin yang tergantung diatas wastafel kecil itu, lantas tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya pelan. Tidak akan ada lagi satu orang pun yang menemani dan tinggal bersama dengannya; tidak ada lagi yang akan membantu alarm ponselnya untuk membangunkannya untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke sekolah, tidak ada lagi sosok ibunya yang akan mengetuk pintu kamarnya berkali-kali hingga dirinya terbangun dari tidurnya.

Walaupun Paskal sudah tinggal di Depok—jauh dari kedua orang tuanya di Bandung, ia pun masih berusaha untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi hidupnya yang berubah seratus delapan puluh derajat sejak memutuskan untuk menyewa sebuah kamar kos kecil dekat kampus. Kamar tidur yang baru ditempati olehnya selama seminggu itu dapat dikatakan cukup nyaman; dengan harga yang tidak lebih dari dua juta rupiah, ia sudah mendapatkan fasilitas berupa AC dan kamar mandi dalam, pun ruangan yang sudah terisi sebuah kasur, lengkap dengan sepasang bantal dan guling, lemari pakaian, meja belajar serta jaringan wi-fi sepuasnya.

Gedung kos pria yang akhirnya ditempati olehnya ini adalah pilihan kedua, setelah mengecek beberapa unit apartemen di Margonda Residence (Mares), gedung tempat Julian—kakak laki-lakinya—tinggal selama dua tahun belakangan ini. Sebenarnya ia bisa saja memilih untuk tinggal berdekatan dengan pria yang lebih tua darinya dua tahun itu—sekaligus jauh dari deru kendaraan yang mungkin akan mengganggu tidurnya setiap pagi—namun ia lebih memilih untuk hidup mandiri, membiasakan untuk tinggal berjauhan dengan kakaknya. Keduanya pun hanya memiliki kesempatan untuk bertemu seminggu sekali selama dua tahun belakangan ini, berujung menahan rasa rindu karena keduanya tak jarang bertengkar kecil. Namun, kakak laki-lakinya itu selalu menanyakan kabarnya via telepon, tak henti memberikan suntikan semangat dan motivasi saat mengetahui bahwa dirinya ingin menyusul Julian untuk menimba ilmu di kampus yang sama.

Setelah melalu perjalanan yang panjang; berjuang selama beberapa bulan yang selalu berakhir gagal; ditolak saat mendaftar di jurusan Hubungan Internasional pada tes seleksi masuk Universitas Indonesia—mimpinya sejak masih duduk dibangku SMA—pada seleksi tes jalur mandiri Universitas Padjajaran dan tes SNMPTN, akhirnya semua usaha, rasa frustrasi serta tangisnya itu terbayar.

Masih teringat jelas dalam benaknya, saat hari itu, tepat pukul lima pagi, ayah dan ibunya mengetuk kamarnya dengan membawa serta surat kabar dengan perasaan waswas. Paskal hanya dapat mengulum senyum kecut, berusaha berpikir positif dan optimis ditengah rasa putus asa yang sudah bercokol begitu lama didadanya. Dan dengan pikiran yang berkecamuk dan perasaan pasrah, dilengkapi kedua matanya yang setengah tertutup karena kurang tidur akibat belajar hingga larut malam sambil sesekali menangis, Paskal akhirnya menemukan nomor peserta ujian miliknya tercantum diantara ribuan deret nomor pada salah satu halaman koran yang memampangkan hasil pengumuman lolos tes seleksi jalur SIMAK UI.

Paskal masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa dirinya telah resmi menyandang status seorang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia—betapa susah payah dirinya ingin mengejar mimpinya itu dan menggenggamnya dengan kedua tangannya.

Ia bersyukur, setidaknya hingga hari ini, keinginannya untuk mencapai sesuatu hampir selalu terpenuhi.

Dan dirinya hanya berharap, selamanya keberuntungan akan tetap berpihak padanya.


Sesampainya di Halte Pondok Cina yang terlihat ramai, Paskal lantas melangkahkan kaki kirinya turun dari bus kuning—salah satu moda transportasi sekaligus fasilitas milik Universitas Indonesia yang ditumpanginya dari halte Kukusan Teknik—halte terdekat dari gedung kosnya.

Ia sedikit membalikkan tubuhnya saat bus kuning itu hendak melaju dan mengeluarkan asap hitam dari knalpot yang dipastikan akan membuat pakaiannya bau, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menyeberangi jalan menuju Balairung.

Cuaca siang ini cenderung cerah, namun masih bisa ditoleransi oleh tubuhnya. Paskal hanya berharap, hari ini ia tidak salah kostum. Hell, ia akan sangat kegerahan jika cuaca tiba-tiba berubah menjadi terik dan panas. Ia pun juga ingin cuaca tidak berubah menjadi mendung dan lembab jika dirinya tidak ingin tersiksa dibalik pakaian rapinya.

Ini adalah kali kedua Paskal mengunjungi area Balairung yang berdiri megah di samping danau universitas yang sangat luas itu. Sebelumnya, ia sempat berada di sekitaran gedung ini untuk mengambil pembagian jaket kuning beberapa hari lalu seorang diri, tidak ada satupun mahasiswa yang dikenalnya. Ia pun tidak berusaha mencari teman-teman semasa sekolahnya yang ia tahu juga merupakan mahasiswa baru di kampus itu.

Ia lebih memilih untuk menikmati waktunya sendiri, sekaligus mencari lokasi baru di sekitar gedung untuk menyalurkan hobinya bermain basket.

Paskal melangkahkan kakinya santai, menyusuri jalan setapak di pinggir danau menuju ke gedung rektorat, titik di mana ia akan bertemu dengan Jefri dan Wahyu sebelum berkumpul di Science Park UI dengan para mahasiswa baru. Ia lalu melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kirinya, menyadari bahwa ia masih memiliki waktu lima belas menit sampai kedua temannya itu datang.

Maka ia memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan mengitari area rektorat dan balairung—tidak mengenakan handbelt berwarna oranye pada lengannya yang menunjukkan bahwa dirinya adalah salah satu dari mahasiswa baru yang akan menghadiri kegiatan fakultasnya.

Setelah merasa lelah akibat berjalan kaki agak jauh, ia lalu berhenti dipinggir Lapangan Rotunda yang berada di depan gedung Rektorat UI, membasuh peluh pada dahinya dengan handuk kecil yang dibawanya didalam tas. Ia lalu merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya dan mengabadikan gedung Balairung yang terlihat megah dari kejauhan dengan kamera ponselnya. Ia meringis saat merasakan keringat perlahan mengalir dari leher hingga punggungnya, menyesali keputusannya untuk memakai kemeja lengan panjang yang sudah membuatnya kegerahan, padahal kegiatannya siang ini dengan para senior BEM* fakultas belum dimulai.

Matahari yang semula bersembunyi dibalik selimut awan, kali ini dengan gagah berani memancarkan cahayanya, membuat tubuh Paskal semakin terasa panas dan gerah. Ia lalu mengedarkan pandangan, melihat ke arah area Balairung yang terlihat sepi, dengan undakan beton yang mengelilinginya dipinggirnya. Ia lantas melangkahkan kakinya ke sana, bermaksud untuk mencari tempat untuk berteduh dibawah pohon rindang sambil menunggu kedua temannya itu datang.

Paskal melihat beberapa mahasiswa baru yang tengah bergerombol di selasar Balairung, mereka sudah mengenakan tali oranye pada lengan kanannya sambil berbincang. Ia hanya mengedikkan bahu, mengambil duduk diatas beton yang tidak terkena sinar matahari itu lalu mengeluarkan ponselnya kembali dari sakunya. Ia mengirim beberapa pesan singkat pada Julian yang sepertinya akan ikut berpartisipasi pada kegiatan ospek hari ini.

Namun dengan cepat pria itu mengirim balasan dan memberitahunya bahwa ia tidak akan bergabung hari ini. Well, setidaknya ia tidak harus bersandiwara untuk pura-pura tidak mengenal kakaknya sama sekali, karena dirinya dan Julian memutuskan untuk tidak memberitahu hubungan mereka pada siapapun sampai ia resmi memulai kegiatan perkuliahannya dua minggu lagi. Ia tidak ingin menjadi sasaran empuk para senior karena memiliki hubungan darah dengan Julian. Kakaknya itu pun tidak ingin Paskal menjadi bahan ejekan dan kejahilan teman-temannya karena menyandang status adik kandung salah satu pria yang namanya sangat eksis di jurusan Komunikasi dan juga FISIP.

Ia hendak melanjutkan obrolannya dengan Julian saat menyadari ada dua orang pria berjalan ke arahnya, menolehkan kepala ke kanan dan kiri, seperti kebingungan.

Paskal lalu menyimpan kembali ponselnya didalam saku celananya lalu berdiri dari duduknya, saat seorang pria asing bertemu mata dengannya.

“Halo, maaf,” sapa pria itu dengan senyum yang ramah dengan suara yang berat, menunjukkan deret giginya yang putih dibalik senyum kotak yang membuat sepasang matanya hampir saja mengerling.

Oh, Paskalis, tolong kontrol dirimu sendiri, teriaknya dalam hati.

“Gedung Science Park, ada di mana ya? Lo... apakah mahasiswa baru juga?”

Paskal pun mengangguk, sambil tangan kirinya membersihkan bagian belakang celananya yang dipastikan sedikit kotor karena debu. “Iya, gue mahasiswa baru,” jawabnya sambil meneliti wajah pria yang sepertinya sebaya dengannya.

Banyak pertanyaan yang terlintas dalam benaknya, siapakah nama pria ini? Apakah ia juga seorang mahasiswa baru? Sial, apakah pria yang memiliki tahi lalat diujung hidungnya itu juga akan berada satu fakultas dengannya?

Apa yang harus ia katakan untuk melontarkan semua pertanyaan yang sudah bercokol dikerongkongannya dan hampir bergerak menuju ujung lidahnya itu?

Ia lalu mengedipkan kedua matanya, menyadari dirinya tertangkap basah sedang melamun saat pria itu memiringkan kepalanya sambil mengernyitkan dahi. Satu pria lain—sepertinya adalah temannya—yang berdiri di samping pria pemilik senyum kotak itu mengenakan kacamata, rambutnya berwarna cokelat tua dan postur tubuhnya tegap.

Demi Tuhan, kata-kata Julian beberapa saat lalu lewat pesan singkat itu benar-benar membuat otaknya mendadak macet.

Oke, Nan. Gebet langsung kalau cakep.

Ia tidak menyangka akan langsung bertemu dengan dua pria tampan dihadapannya.

Paskal menjilat bibirnya sekilas, membuat pemilik sepasang manik hazel dengan lekuk kelopak mata yang berbeda itu lantas melirik kearah bibirnya.

Ia menelan ludahnya.

“Science Park ada di sana,” jawabnya kemudian sambil menunjuk ke arah gedung yang dimaksud. Jika pria yang ada dihadapannya itu menanyakan tempat yang menjadi tujuannya pula, hanya ada dua jawaban yang tersedia untuk pertanyaannya.

Antara pria itu adalah juga mahasiswa baru FISIP, atau ya, ia adalah seorang senior yang sedang memberinya sebuah “tes”.

Ia tidak tahu, sungguh tidak tahu. Ia hanya berharap tidak akan bertemu lagi dengan pria itu dengan posisi yang berbeda; Paskal berdiri didalam barisan, dengan pria itu berdiri di pinggir barisan dengan menggunakan jaket kuning dan handbelt hitam dilengannya.

Seorang pria berkacamata terdengar ber-oh-ria, lalu mengucapkan terima kasih padanya, berlalu mendahuluinya yang sedang bertatapan dengan pria yang tinggi tubuhnya tidak jauh berbeda dengannya itu.

Sedangkan pria pemilik suara berart yang sedang berdiri di hadapannya itu hanya mengangguk dan berdecak, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.

Senyum yang membuat Paskal merasa harus mengetahui nama pria asing itu saat ini juga.

“Ah, thanks, bro,” sahut pria itu sambil tersenyum lebar lalu melangkahkan kakinya mundur, menjauhi dirinya yang sedang berdiri sambil memegangi tali tas ranselnya. “Sampai ketemu lagi, stranger!”

Pria itu lantas berlari-lari kecil menyusul sang pria berkacamata sambil menggelengkan kepalanya.

Paskal dapat merasakan pria asing itu menyunggingkan senyumnya sambil menundukkan kepala.

Ia hanya bisa berdiri mematung dan menggigit bibirnya.

Tuhan, apa yang baru saja terjadi padanya?


Ospek: Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus

BEM: Badan Eksekutif Mahasiswa

Tangan Vincent terasa dingin; hampir kaku karena udara kota Paris hari ini yang tidak bersahabat. Sejak pagi hari, ia beberapa kali mengecek aplikasi penyedia radar cuaca yang tersedia dalam ponselnya, menunjukkan bahwa cuaca hari ini akan cenderung cerah. Hujan akan diperkirakan turun pada pukul delapan malam, walaupun saat ini, musim gugur sedang mengungkung kota Paris. Ia berulang kali berdoa agar ramalan cuaca tidak meleset, tidak ingin para penonton akan terlambat menghadiri pertunjukan orkestranya.

Menyadari bahwa buku-buku jarinya semakin lama semakin sulit untuk ditekuk, ia lantas meminta sang chauffeur* yang duduk dibalik kemudi untuk menyalakan penghangat ruangan mobil. Pria yang bernama Damien itu hanya membalas permintaannya dengan satu anggukan, lalu mengulurkan tangannya untuk mengatur penghangat ruangan.

Vincent lalu mengucapkan terima kasih pada pria yang bertugas melayani dirinya dan Gregory hari ini; mengantar mereka berdua dari apartemennya yang berada di daerah Rue de la Ferronnerie menuju gedung Paris Philharmonic, tempat di mana pertunjukan orkestranya akan berlangsung.

Ia mendengar Gregory berbisik lirih, menggelitik indra pendengarannya bersamaan dengan rasa hangat yang perlahan mengalahkan rasa dingin pada telapak tangannya. Kekasihnya itu sudah menggenggam tangannya, menyisipkan jemarinya diantara jarinya yang hampir kaku.

Vincent merasakan suara kekasihnya membelai lembut wajahnya, membuat dada dan pipinya menghangat. “Vin sayang,” panggil pria itu. Ia lantas menoleh sambil membalas genggaman tangan kanan kekasihnya itu pada tangan kirinya. “Are you okay? Kamu nervous, ya?”

Ia hanya bisa tertawa kecil, melirik sekilas ke arah Damien yang sedang mengemudikan mobil Mercedes Benz S-Class Maybach S 560 yang disewanya khusus untuk hari istimewanya itu. Pria asing itu terlihat sedang berkonsentrasi melajukan mobil, tidak menghiraukan dirinya dan Gregory yang tengah berbincang di kursi belakang.

Baiklah, setidaknya pria itu mungkin tidak akan mendengar percakapannya dengan Gregory setelah ini, batinnya.

Ia lalu kembali menatap Gregory yang terlihat tampan dalam jas biru gelap bergaris yang membalut lekuk tubuhnya dengan sempurna, dengan kalung yang sedikit longgar melingkari lehernya.

Tuhan, jika saja ia dan Gregory memiliki waktu lebih, mungkin ia akan mengusulkan pada kekasihnya itu untuk melakukan sesuatu didalam mobil sebelum keduanya berpisah nanti.

Namun ia tahu, Gregory akan dengan sigap menolak permintaannya karena pria itu tidak ingin jas yang dikenakannya khusus untuk pertunjukan nanti akan lecek karena kegiatan mereka.

Yeah, a little, Gregory,” akunya sambil mengulum senyum. Ia lebih memilih untuk mengatakan yang sesungguhnya pada pria itu, daripada berbohong dan memendam rasa gugup yang sudah menggerayangi seluruh rongga dadanya sejak pagi tadi. Ia lalu menyambung kalimatnya lagi, setelah menarik pelan tangan kekasihnya dan meninggalkan beberapa kecupan pada bagian punggungnya. “Aku baru merasa gugup sejak pagi tadi, Gregory. Which is normal, because I have things to achieve, you know.”

Pria yang duduk di sisi kirinya itu tersenyum lebar, mengusapkan punggung tangannya yang sedikit hangat pada pipi Vincent yang dingin, menetralkan rasa gugup yang perlahan menjalar hingga ke kepalanya. “You will do great, Vin. Just like you always did in the past,” katanya lirih, kedua matanya yang bulat kini terbentuk seperti bulan sabit. Kekasihnya itu selalu tahu bagaimana caranya untuk membuat dadanya berdegup kencang tanpa melakukan apapun. “Jangan dijadikan beban, ya? Anggaplah semua penontonmu di gedung nanti adalah orang-orang terdekatmu. Lakukan yang terbaik saja, oke? Usahamu tidak akan mengkhianati hasil, kok, Vin. Percayalah.”

Lima kalimat sederhana yang baru saja diucapkan oleh Gregory sukses membuat seluruh ototnya yang tegang karena gugup, kini terasa rileks. Kekasihnya itu pun menjulurkan tangan kirinya, mengusap pelan bagian paha kirinya naik turun. Gregory selalu tahu bagaimana cara menenangkan badai yang melanda sekujur tubuhnya dan gemuruh rasa khawatir serta berbagai pikiran buruk yang mengokupasi rongga kepalanya.

Pria itu kini sudah menghadapkan tubuhnya ke arahnya, terlihat tidak memedulikan kemungkinan bahwa jas yang tengah membalut lekuk tubuhnya yang indah itu akan lecek dan kusut karena posisi duduknya.

Vincent menghela napasnya, lalu mengangkat tangannya untuk menangkup dagu Gregory. Ia perlahan mengusap bibir pria itu dengan lembut menggunakan ibu jarinya, sebelum akhirnya meminta Gregory untuk memajukan wajahnya. Ia mendengar pria itu terkekeh, lalu melakukan permintaannya dan menghembuskan napas hangat pada wajahnya.

Keduanya saling bertatapan; Gregory dengan sorot matanya yang sendu, dan Vincent dengan manik hazelnya yang tajam, tengah memperhatikan garis wajah Gregory dengan teliti. Pria itu lalu tertawa kecil, membasahi bibirnya dengan lidahnya, membuat Vincent lantas kehilangan konsentrasi. Ia pun tak sadar sudah melenguh, merasakan hangat napas keduanya melebur, mengalahkan udara dingin kota Paris yang terasa hingga permukaan kulit mereka.

Mon Dieu, Beau,” bisiknya ditengah ciuman mereka yang pelan namun pasti dan tidak terburu-buru. Mereka memilih untuk menikmati waktu yang tersisa menuju gedung Paris Philharmonic karena letaknya yang cukup jauh. Keduanya saling memagut bibir satu sama lain, memiringkan kepala mereka untuk menemukan posisi yang nyaman. Vincent tak lagi menghiraukan suara musik jazz yang mengalun memenuhi seisi mobil itu, yang digunakan olehnya sebagai pereda rasa gugupnya sejak keduanya bertolak menuju gedung yang terletak di daerah Avenue Jean Jaurès itu.

Je t'aime, mon amour. Je t'aime.”

Sepasang telinganya mampu mendengar senyum Gregory yang sumringah, pun bibirnya merasakan hal yang sama, membuatnya merasa bahagia. Ia masih memejamkan kedua matanya, ingin menikmati setiap detik dan menit yang tersisa sebelum akhirnya keduanya dipisahkan oleh status yang berbeda—Gregory sebagai salah satu tamu undangan dan Vincent sebagai konduktor orkestra.

Ini adalah kali pertama Gregory menonton konser orkestranya. Vincent sendiri tidak merasa heran jika dirinya dilanda mabuk perasaan gugup saat ini. Sejujurnya, setiap kali dirinya menggelar konser orkestra, ia selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia layak disandingkan dengan deretan pemegang predikat konduktor orkestra terbaik di dunia.

Menjadi seorang konduktor orkestra di negeri orang dengan berbekal pengetahuan dan bakat yang ia miliki, membuatnya semakin yakin dan percaya diri akan kemampuannya.

Walaupun profesinya menjadi konduktor orkestra dan kecintaannya pada musik sudah menjadi bagian dari hidupnya, namun memperkenalkan keduanya secara resmi pada Gregory hari ini, perlahan membuat segala aspek dalam hidupnya terasa lebih nyata. Vincent merasa bahwa mengundang Gregory untuk menyaksikan konser orkestranya adalah langkah tepat yang dapat ia lakukan untuk menyatukan dunianya dan memposisikan keduanya sejajar sama penting.

Bagi Vincent, perasaan dan pendapat Gregory adalah hal terpenting untuk saat ini, dan bantuan serta dukungan moral dari pria itu membuatnya tersadar bahwa selama ini, kekasihnya itu benar-benar berada di sisi Vincent untuk meyakinkannya bahwa ia mampu menjadi yang terbaik dari yang terbaik.

Tuhan, Vincent sudah tidak sabar untuk berlutut di atas podium dan mengucapkan kalimat yang sudah tertahan di ujung lidahnya pada Gregory.

Ia lantas merengkuh kekasihnya itu dalam pelukannya, memeluknya erat sambil membisikkan kata-kata yang mengawali semua rencananya itu.

I love you, Gregorius, my last baton. I love you more than anything.”


Vincent menepuk punggung tangan kekasihnya yang terasa hangat saat sepasang manik hazelnya menyadari keberadaan gedung megah yang dihiasi eksterior berwarna perak yang cantik di depan matanya. Ia lalu mengecek jam pada pergelangan tangannya, waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Ia harus segera turun dari mobil dan bertemu dengan tim orkestranya untuk mempersiapkan diri sebelum memulai konsernya.

Ekor matanya lalu menangkap sosok Gregory tengah melamun, menopang dagunya dengan tangan kirinya sambil memfokuskan pandangannya ke arah jalanan, tidak menyadari bahwa sedari tadi mobil yang membawa keduanya sudah memasuki area gedung Paris Philharmonic. Ia hanya tersenyum simpul saat melihat Gregory menoleh ke arahnya. Pria itu tersenyum kikuk, mengucapkan kata maaf setelahnya karena melamun.

Vincent hanya menggelengkan kepalanya pelan, lalu mencondongkan tubuhnya untuk mengikis jarak diantara mereka. Ia memandangi kedua mata indah Gregory yang tengah membulat, dahinya mengernyit, kedua alisnya hampir bertaut diantara batang hidungnya.

Ia dengan sigap menangkup wajah pria itu dengan kedua tangannya, lalu menarik wajah Gregory untuk mengecup dahinya cukup lama.

Sepasang telinganya mendengar helaan halus napas Gregory, membuatnya tersenyum.

“Kamu gugup ya, Gregory?” Vincent bertanya pada kekasihnya yang tengah menggenggam kedua pergelangan tangannya. Telapak tangan pria itu terasa hangat, seperti sedang menyalurkan energi positif keseluruh sel dalam tubuhnya. Namun Vincent tidak dapat melewatkan raut wajah Gregory yang terlihat berbeda. Ia dengan cepat melontarkan kalimat yang dinilai mampu mencairkan ketegangan yang mungkin sedang dirasakan oleh kekasihnya itu. “Padahal bukan kamu yang akan menggelar konser orkestra dalam hitungan jam, sayangku.”

Vincent menekan bibirnya kembali pada batang hidung kekasihnya itu, lalu menggesernya untuk mengecup kedua kelopak mata bulatnya yang tengah terpejam. Gregory terdengar menggeram, membuatnya terkekeh geli. Pria itu pasti merasa kesal karena kalimat candaannya barusan.

Ia lalu menarik wajahnya mundur dan melepaskan tangannya yang sedari tadi menangkup pipi kenyal pria itu. Ia menyunggingkan senyum lebar saat melihat Gregory memutar kedua bola matanya malas, sambil kedua tangannya dijulurkan untuk merapikan dasi kupu-kupu yang melingkar pada kerah kemeja putihnya.

“Ya, Vin, itu aku tahu,” desisnya sambil tetap merapikan dasi kupu-kupunya yang sedikit miring. Vincent tergelak barang sebentar, lalu dengan cepat melirik ke arah Damien dan luar mobil, menyadari bahwa mobil itu sedari tadi sudah berhenti di depan pintu masuk gedung.

Pria yang duduk dibalik kemudi itu bergeming, tidak menghiraukan sepasang kekasih yang sedari tadi hanya sibuk berbincang dan berciuman di jok belakang mobil mewah itu.

Pikirannya kembali fokus pada Gregory yang berbisik lirih. “I just... I feel like something is going to happen. Should I be prepared, Vin?”

Seketika Vincent tercekat, menghentikan tarikan napasnya sepersekian detik karena terkejut mendengar pertanyaan Gregory. Pria itu sudah kedua kalinya menanyakan hal yang sama padanya, membuatnya lantas khawatir dengan kejutan dan rencananya akan berantakan.

Gregory tidak mengetahui tentang dirinya yang akan melamar setelah konser orkestranya berakhir, 'kan? Semuanya akan sia-sia jika kekasihnya itu dengan tidak sengaja mendengar atau bahkan mengetahui seluruh rencananya yang telah diatur sedemikian rupa olehnya.

Maka satu-satunya hal yang dapat Vincent lakukan saat ini adalah berpura-pura, berusaha mengatur raut wajahnya agar Gregory tidak menyadari bahwa dirinya tengah menyembunyikan sesuatu.

Vincent lalu mengernyitkan dahi saat menatap kedua mata bulat Gregory yang terlihat sendu, sebelum menarik tubuh kekasihnya itu kembali dalam pelukannya. “Is there anything you want to tell me, Gregory? Sebelum kita berpisah setelah ini, karena aku harus bersiap dengan timku, sayang.”

Pria yang sedang membenamkan wajahnya pada ceruk lehernya itu menggeleng pelan, setiap helaan napasnya yang hangat sukses menggelitik leher Vincent dan membuatnya merasa geli. Gregory lalu menjawab sambil memainkan kancing jas berwarna hitamnya dengan jemarinya. Ia tidak peduli jika jasnya akan terlihat kusut akibat mendekap Gregory terlalu lama dalam pelukannya. Ia hanya peduli dengan kekasihnya yang tengah terlihat murung, entah karena apa, sambil berdoa bahwa pria itu tidak mengetahui rencananya sama sekali.

“Tidak. Aku hanya gugup, ingin sekali melihat reaksi senang dan puas saat menonton pertunjukanmu nanti. I just want you to be happy and feel proud of yourself, Vin. Because you deserve the recognition of your hard work,” jelas pria itu sambil mengeratkan kedua tangan yang melingkar dilehernya. “Aku ingin usahamu diakui banyak orang, termasuk beberapa orang penting yang mungkin akan datang untuk menonton konsermu. Itu saja.”

Vincent tersenyum, hatinya terenyuh saat mendengar kekasihnya menjelaskan padanya apa yang sedang dirasakannya. Gregory terdengar khawatir akan performanya hari ini, mengatakan bahwa dirinya layak untuk dikenal oleh banyak orang. Hal itu membuat Vincent semakin mengeratkan pelukannya, mengecup pelipis dan puncak kepala pria itu bergantian. “Kamu tidak perlu khawatir, Gregory, because I have you as my lucky charm, remember? I will be fine, and I know I will do great. Don't worry. Just sit tight, enjoy the show and try to stop worrying about me, my love. Okay?”

Ia tidak menyadari dirinya menghela napas panjang, merasa lega karena Gregory tidak menunjukkan kemungkinan bahwa pria itu mengetahui rencananya. Timothy dipastikan akan menyentil dahinya sekeras mungkin—dan mungkin saja pria itu akan koprol di depan podium—jika ternyata Gregory mengetahui seluruh rencananya hari ini.

Kekasihnya itu menggumamkan kata “oke”, sebelum akhirnya mengangkat kepalanya sambil melonggarkan kedua tangan pada lehernya. Sepasang manik hazelnya lalu bertemu dengan mata bulat Gregory.

Vincent merasa seperti seperti sedang bercermin saat melihat pria itu mengernyitkan dahinya. Pria itu terlihat bingung.

Ia lalu menggumam sambil menyisir surai hitam Gregory yang jatuh menutupi mata bulatnya. “Yes, Beau? I literally can hear the machine inside your head working so hard right now,” ujarnya sambil mengusap dahi kekasihnya itu pelan dengan ibu jarinya.

Gregory terlihat menggelengkan kepalanya tanpa suara, memejamkan matanya sambil menggumam, sepertinya menikmati setiap usapan lembut Vincent pada dahinya. “Hanya penasaran saja, Vin. Mengapa kamu selalu mampu mengontrol emosimu begitu tenang, setiap dihadapkan pada situasi seperti ini. I guess I need to learn a lot from you, don't you think?”

Vincent lantas berdecak, sesaat sebelum kembali mencium dahi pria itu. Ia benar-benar ingin meyakinkan Gregory bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebaliknya, Vincent lah yang seharusnya was-was dan gugup karena sebentar lagi, ia harus melakukan dua hal penting dalam hidupnya; dua hal yang pada akhirnya akan berada di posisi yang sama.

Dirinya yang dulu mungkin tidak akan pernah menyangka bahwa ia mampu melakukannya; memposisikan orkestranya sejajar dengan sesuatu—bahkan seseorang—yang dianggap penting dalam hidupnya.

Namun sepertinya Tuhan tidak mau membiarkan Vincent hidup dengan musik dan hanya untuk musik. Maka Ia memberikannya seseorang yang sempurna untuknya; yang mengajarkannya bahwa tidak ada salahnya membuka hati dan pikiranmu dengan mempersilakan hidupmu “ditemani” oleh orang lain, dan bagaimana Tuhan mengajarkan Vincent bahwa berubah menjadi pribadi yang lebih baik adalah hal yang positif.

Gregory mengajarkannya banyak hal, dan Vincent sudah tidak sabar untuk menjalani setiap lika-liku hidupnya untuk belajar dengan pria itu.

Vincent sungguh tidak sabar.


Setelah mengantar kekasihnya untuk bertemu dengan para sahabatnya yang sudah menunggu di depan pintu masuk gedung Paris Philharmonic, Vincent segera menenteng tasnya berisi saksofon, tongkatnya—serta sebuah kotak kecil berwarna merah marun berbahan suede berisi cincin yang diharapkan akan tersemat di jari Gregory terhitung dua jam dari sekarang—lalu melangkahkan kakinya ke arah belakang panggung.

Waktu telah menunjukkan pukul empat lebih dua puluh lima menit sore hari. Dalam tiga puluh menit, ia akan merubah mode dirinya dan pikirannya menjadi “Vincent, sang konduktor orkestra”. Ia harus mengontrol emosinya dan berfokus pada profesinya sebagai konduktor untuk memimpin jalannya konser.

Vincent mengatur napasnya sebanyak tiga kali—menarik dan menghembuskannya perlahan—sebelum memasuki sebuah ruangan yang terletak tidak jauh dengan area belakang panggung. Ia berharap dalam hati agar konsernya berjalan dengan lancar dan memuaskan. Ia sudah mengubur dalam-dalam harapannya untuk bertemu dengan beberapa pihak penting dari Vienna Philharmonic, karena seperti yang dikatakan oleh Josephine, salah satu klub orkestra terbaik di dunia itu akan menghadiri beberapa konser orkestra secara acak. Vincent tidak ingin menggantungkan harapannya terlalu tinggi. Ia hanya ingin fokus agar para penonton dan tamu undangan merasa senang dan menyukai konsernya yang akan diselenggarakan dalam beberapa menit itu.

Ia meletakkan tas berisi saksofon diatas meja yang ada di sudut ruangan itu, lalu menghampiri para anggota klub orkestranya yang tengah berdiri melingkar di tengah ruangan sambil berbincang dengan satu sama lain.

Vincent berdehem, memberi kode pada mereka bahwa ia sudah tiba dan siap untuk beraksi di panggung dengan timnya yang berjumlah sekitar lima puluh orang itu.

Josephine yang terlihat sedang berdiri bersisian dengan Eléonore sambil memegang biola dan alat geseknya itu menoleh, melambaikan tangan kanannya sambil memanggil namanya. Seketika para anggota klub orkestranya itu pun ikut menoleh lalu melempar senyum kearahnya. Vincent membalas sapaan mereka dengan senyum sumringah, lalu melangkahkan kaki mendekati lingkaran manusia di tengah ruangan itu.

Vincent memejamkan matanya lagi, menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia merasakan dadanya berdegup dua kali lebih cepat, merasakan adrenalinnya terpacu, membuatnya sangat bersemangat. Ia lalu menangkup kedua tangannya didada, menundukkan kepalanya untuk memanjatkan doa, berharap agar semua usahanya dan kerja kerasnya akan membuahkan hasil yang memuaskan.

Dua menit berlalu, Vincent akhirnya membuka matanya kembali dan mengajak para anggota klub orkestranya berbincang, meluangkan waktu yang tersisa untuk saling menyuntikkan kata-kata penuh semangat dan positif kepada satu sama lain, sambil terus memikirkan kalimat Gregory yang terngiang ditelinganya, membuatnya yakin dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saat ia mendengar seorang wanita yang terlihat mengenakan earpiece pada telinganya dan menggenggam alat komunikasi berwarna hitam itu mengatakan bahwa konser akan dimulai dalam waktu lima belas menit, Vincent lantas meminta para anggota klubnya untuk merapat dan menyatukan tangan mereka ditengah lingkaran.

Good luck to all of us. Faisons de notre mieux peu importe quoi*,” katanya mantap dengan setengah berteriak, memberikan semangat kepada semua orang yang ada di ruangan itu—termasuk dirinya sendiri—bahwa konser orkestranya akan berjalan dengan lancar.

Terdengar Mattheo, pemain alat musik biola sekaligus salah satu teman dalam klubnya berteriak, membuatnya lantas tergelak dan menyerukan kata yang sama dengan apa yang diteriakkan pria oleh itu. “Exquise!”

Exquise!”

Kerumunan anggota klub orkestranya akhirnya membubarkan diri lalu membentuk barisan untuk segera naik keatas panggung dan bersiap pada posisinya masing-masing. Konduktor orkestra biasanya akan naik ke podium saat konser dimulai, sehingga Vincent masih memiliki waktu untuk mempersiapkan diri dan mengambil waktu hening untuk dirinya sendiri.

Sesaat setelah Vincent menyelesaikan waktu heningnya, ia merasakan ponselnya yang disimpan dalam saku jasnya bergetar. Ia lantas merogoh sakunya, mengambil benda itu lalu membaca notifikasi pada layar.

Seketika, Vincent tersenyum lebar.

Mon Amour Gregory J: Vin sayang, good luck okay i know you'll do great i'll be the first person to give you a standing applause later aku hampir aja ngetik “break a leg”, but i guess it's not appropriate haha so yeah good luck Vin, and do the best i love you, my last baton my forever home

Vincent merasakan kedua pipinya menghangat dan hatinya terenyuh saat membaca pesan terakhir dari Gregory. Ia lantas melangkah ke arah meja tempatnya meletakkan tas berisi saksofon dan tongkatnya, lalu membukanya untuk meraih kotak kecil berwarna merah marun itu dan memasukkannya kedalam saku celana panjangnya.

Ia lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mengosongkan pikirannya untuk berkonsentrasi dan mengubah mode kepalanya menjadi “Vincent sang konduktor orkestra”, sebelum akhirnya mengambil tongkatnya dan melangkah keluar dari ruangan itu.

Langkah kakinya terasa ringan saat menaiki anak tangga menuju panggung. Ia sudah siap untuk memimpin jalannya konser hingga satu jam tiga puluh menit kedepan.

Dalam kepalanya dan pikirannya, hanya ada satu tujuan, yaitu mempersembahkan konser orkestranya pada para penonton dengan sempurna dan sukses. Tidak ada hal lain yang diperbolehkan mengokupasi pikirannya saat ini.

Vincent sempat menangkap sosok Gregory dan kelima sahabatnya tengah duduk di baris VIP yang memperhatikan dirinya berjalan ke arah podium dengan ekor matanya. Ia menatap lurus ke depan, enggan menolehkan kepalanya untuk menyapa mereka. Ia lalu bersalaman dengan Josephine saat berdiri dipinggir podium, sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah kursi penonton.

Ia mengedarkan pandangan, memperhatikan betapa padatnya ruangan itu, terisi penuh oleh lautan manusia tanpa terkecuali. Vincent tidak melihat satu kursi pun kosong. Manik hazelnya lalu menyusuri lantai dua area penonton, tak membutuhkan waktu lama hingga akhirnya bertemu mata dengan Thomas yang sudah duduk berdampingan dengan kedua orang tuanya.

Ia mengulum senyum, lalu mengalihkan perhatiannya lagi pada sosok pria yang sepertinya sudah menunggu dirinya untuk bertemu mata dengannya.

Manik hazelnya bertemu dengan mata bulat yang berbinar itu. Gregory terlihat tersenyum lebar, mengacungkan kedua ibu jarinya sambil melafalkan dua kata dengan bibirnya tanpa suara, yang dapat tertangkap jelas oleh kedua matanya.

Ia melempar senyum ke arah pria yang dicintainya itu, membungkukkan tubuhnya selama lima detik, lalu menatap kembali sepasang mata bulat itu sambil membalas kata-katanya tanpa suara.

“Aku mencintaimu.”

Tanpa menunggu reaksi Gregory atas kata-katanya barusan, Vincent lantas membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah anggota klub orkestranya yang sudah dalam posisi siap.

Lalu Vincent mengacungkan tongkatnya dan mengayunkannya.


Gregory terpukau, tidak ingin mengedipkan matanya barang sedikit pun. Kekasihnya sedang berdiri di atas podium dengan postur yang sempurna, mengayunkan tongkatnya kekanan dan kekiri, keatas dan kebawah dengan gerakan yang tegas. Vincent terlihat sangat berkharisma—walaupun dirinya hanya dapat melihat punggung bidang pria itu. Auranya benar-benar terpancar dan terasa berbeda, bila dibandingkan dengan Vincent yang dikenalnya sehari-hari selama enam bulan belakangan.

Dan tentu, berbeda dengan Vincent yang sejam lalu mencium dan memeluk tubuhnya didalam mobil mewah itu.

Konsentrasinya tertuju pada Vincent yang terlihat lihai menggerakkan tongkatnya, sesekali membalikkan lembaran partitur yang ada dihadapannya dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya masih mengayunkan tongkatnya.

Ia tidak menyangka akan menyaksikan Vincent “berubah” tepat didepan matanya. Kekasihnya benar-benar profesional dan terlihat fokus memandu klub orkestranya memainkan nada yang belum pernah didengar olehnya. Walaupun ia begitu mencintai musik seperti Vincent mencintai orkestranya, namun ia belum pernah mendengar untaian nada klasik seperti ini. Klub orkestra yang beranggotakan lebih dari lima puluh orang itu dengan lihai dan fokus memainkan alat musik mereka masing-masing.

Semuanya terlihat menakjubkan; memainkan alat musik sekaligus memperhatikan lembar partitur yang ada di hadapan mereka, sambil memperhatikan gerakan tangan Vincent dengan seksama secara bergantian.

Mulutnya menganga—tak henti-hentinya merapalkan kata “oh my God” berulang kali, mengedarkan pandangannya ke sana kemari kala mendengar rombongan orkestra itu memainkan nada yang intens dan dramatis.

Nada-nada itu sesekali bersahut-sahutan, sesekali terdengar lembut, dan sesekali melebur menjadi satu, menghasilkan lantunan nada yang indah.

Gregory tenggelam, mencurahkan seluruh perhatiannya pada konser yang Vincent bawakan, sedari tadi tidak mengindahkan teman-temannya yang duduk bersisian dengannya. Ia lalu melirik ke arah kanan; Timothy dan Maximillian terlihat fokus, mata mereka menatap lurus ke depan, kedua tangan mereka pun terlipat. Disisi kirinya, ia melihat Tobias dan Hosea sesekali mengerjapkan matanya, sepertinya sebentar lagi akan tertidur karena musik klasik yang mungkin tidak cocok dengan selera mereka.

Sedangkan Sebastian terlihat duduk dengan nyaman sambil melipat tangan kirinya, menggunakan tangan kanannya untuk menopang dagunya. Pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang putih, menatap Vincent layaknya seorang ayah yang bangga dengan apa yang sedang dilakukan oleh anak laki-lakinya.

Ia lantas tersenyum, merasa hatinya terenyuh dan matanya memanas saat melihat Sebastian menggelengkan kepalanya tidak percaya. Selama Gregory mengenal pria yang merupakan teman satu apartemen kekasihnya itu, Sebastian jarang sekali mengutarakan dan menunjukkannya perasaannya. Sebaliknya, pria itu hanya sibuk mengamati dan berbicara seperlunya. Gregory belum pernah melihat sisi lain pria itu seperti apa yang disaksikannya saat ini.

Dan hal sesederhana itu membuat Gregory sungguh bahagia.

Tak terasa satu jam lebih dua puluh menit telah berlalu, Gregory sempat melirik layar ponselnya yang disetel dengan mode malam itu. Ia sudah tidak sabar untuk melihat Vincent mencapai nada akhir pada lembar partiturnya, menandakan bahwa ia harus menjadi orang pertama diantara lautan manusia itu untuk berdiri dari duduknya dan memberikan tepuk tangan yang meriah untuk kekasihnya.

Walaupun posisi tempat duduknya yang agak dekat dengan panggung, namun Gregory mampu melihat respon dan antusiasme para penonton konser saat Vincent dan orkestranya memainkan lagu yang legendaris dan menakjubkan.

Gregory mampu melihat senyum dan raut wajah yang puas dari lautan manusia yang memenuhi ruangan ini, membuat hatinya terenyuh dan merasa sangat bangga dengan Vincent.

Ia lalu menghela napas saat mendengar lantunan musik semakin lama semakin intens, nada yang dimainkan pun semakin tinggi, menandakan bahwa Vincent akan menyentuh not balok terakhir dalam partiturnya dan menyelesaikan konser dengan sempurna.

Gregory lantas tertawa kecil, mempersiapkan diri dengan menegakkan tubuhnya, lalu melirik ke arah Timothy yang tengah berbicara sambil berbisik dengan Maximillian, pun ketiga temannya di samping kirinya yang terlihat sibuk dan saling berbicara satu dengan yang lain, entah apa yang dibicarakan.

Ia hanya mengedikkan bahu dan berdecak pelan, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Vincent yang tengah menggerakkan tangannya, mengayunkan tongkatnya dengan dramatis, sesaat sebelum akhirnya membentangkan tangannya sambil menengadahkan kepalanya.

Seketika, telinga Gregory terasa berdengung, dadanya berdegup kencang kala melihat lautan manusia yang menonton konser orkestra kekasihnya malam ini sudah berdiri dari duduknya dan bertepuk tangan dengan sangat meriah. Ia merasa bingung, lalu mengedarkan pandangannya ke arah teman-temannya yang sudah berdiri dan tersenyum lebar sambil bertepuk tangan. Mata Timothy terlihat berair, sahabatnya itu tertawa serak, pun Sebastian yang terlihat diam-diam tengah menghapus air matanya dengan punggung tangannya sambil tertawa.

Ia tidak melewatkan saat-saat terakhir Vincent memainkan not balok dalam partiturnya.

Gregory dengan cepat berdiri, bertepuk tangan dengan mulut yang masih menganga. Ia melihat Vincent membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat, lalu berdiri tegak sebelum akhirnya mengucapkan terima kasih pada para penonton tanpa suara. Gregory tetap bertepuk tangan, merasakan air mata tengah menggenang di pelupuk matanya. Dadanya bergemuruh, bulu kuduk disekujur tubuhnya meremang, dan kedua tangannya pun bergetar, mendengarkan riuh kebahagiaan ditelinganya yang memenuhi seluruh penjuru ruangan.

Ia tidak menunggu lebih lama lagi untuk mengedipkan kedua matanya, membiarkan air matanya menetes membasahi pipinya. Gregory tidak peduli jika reaksinya berlebihan, tidak sedikitpun. Ia merasa bangga, sungguh merasa bangga. Kekasihnya berhasil menyelesaikan konsernya dengan sempurna dan indah, membuat air matanya mengalir semakin deras. Pencapaian yang diraih oleh Vincent membuatnya tersadar, bahwa kekasihnya itu tidak perlu menyandang status resmi konduktor orkestra terbaik di dunia, saat dua ribu orang penonton yang memenuhi ruangan itu menghujani Vincent dan klub orkestranya dengan tepuk tangan yang meriah dan gelengan kepala—menandakan bahwa konsernya telah berakhir dengan apik dan sempurna.

Diatas podium, Vincent lalu mempersilakan satu-persatu kelompok pemegang alat musik orkestra itu untuk berdiri; mulai dari kelompok pemain simbal, drum, selo, hingga biola. Vincent dengan bangga memberikan tepuk tangan yang meriah untuk semua anggota orkestra yang terlibat, terlihat dari senyum yang merekah diwajahnya.

Gregory tertawa kecil sambil menangis, mampu membayangkan betapa bahagianya Vincent saat ini.

Ia menyadari lautan manusia yang menonton konser orkestra Vincent itu perlahan melangkah keluar dari ruangan, semakin lama semakin berkurang, diikuti dengan anggota klub orkestranya yang berdiri dari duduknya, meninggalkan alat musik mereka dan melangkah turun dari panggung.

Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, hanya berhasil menangkap tiga sosok pria paruh baya yang masih terduduk di sayap kiri deretan kursi penonton orkestra, terlihat sedang berbincang satu sama lain.

Timothy yang sedari tadi berdiri di sampingnya lantas merangkulnya sambil tersenyum, terdengar sisa-sisa tangis dari suaranya yang serak. “Vincent is so amazing, ya, Grego? Gue sangat bangga dengan dia.”

Gregory hanya dapat mengangguk sambil membalas rangkulan pria itu, melempar senyum ke arah sahabatnya yang juga merupakan sahabat dari kekasihnya sejak keduanya masih duduk di bangku kuliah. “Yes, Timmy. I'm so proud of him too. Vincent menyelesaikan konsernya dengan sangat sempurna,” ujarnya sambil melepas rangkulannya dari bahu pria itu. “Dia pasti sangat senang sekarang.”

Ia dengan cepat membalikkan tubuhnya saat mendengar suara seseorang yang sangat familier ditelinganya menyahut sambil tertawa.

Almost, Gre.”

Thomas?

Ia terperangah, mulutnya menganga lebar, tidak percaya dengan apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri saat ini. Sahabatnya, Thomas, tengah berdiri di belakangnya, didampingi kedua orang tuanya—Ayu dan Indra—yang berpakaian sangat rapi, seperti keduanya tengah menghadiri acara penting saat ini.

Tunggu... tidak mungkin, 'kan?

What,” ujarnya singkat, sangat bingung, tidak tahu respon apa yang harus ia berikan selain melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. “Thomas? Lo sedang apa di sini? Tante Ayu, Oom Indra? Kapan kalian tiba di Paris?”

Sahabatnya itu menggeleng, lalu mengulurkan tangannya dan menggenggam pergelangan tangannya. “It doesn't matter, Gre. The most important thing, actually the most important person in your life is waiting for you right now,” jelasnya kemudian sambil menggenggam kedua lengannya dan mengarahkan tubuhnya untuk menghadap ke arah podium. “There.”

Ia mengernyitkan dahinya, bingung dengan apa yang dimaksud oleh Thomas barusan.

Vincent terlihat tersenyum, manik hazelnya menatap matanya dengan penuh arti. Gregory hanya dapat memiringkan kepalanya, hendak bertanya pada Thomas, atau bahkan Timothy akan apa yang sedang terjadi, saat sepasang mata bulatnya terbelalak kala melihat Vincent mengeluarkan saksofon kesayangannya dari tas yang sedari tadi dibawa serta oleh pria itu.

Kekasihnya itu lalu melangkah keatas podium sambil memegang saksofon kesayangannya dengan posisi bersiap.

Gregory hanya dapat mengernyit, apa yang akan kekasihnya itu lakukan? Ia sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Apakah ada sebuah rencana yang terlewatkan olehnya? Ia lantas teringat betapa dirinya merasa gugup dan berusaha mengingat apakah ada sesuatu yang dilewatkan olehnya sejak pagi tadi.

Thomas tiba-tiba menyentuh lengannya, membuat lamunannya buyar. Ia lalu menoleh kearah sahabatnya itu yang meminta dirinya untuk mendekat ke arah podium. Ia sempat merasa bingung, namun perasaan itu luntur saat ia mendengar dengan jelas, suara saksofon yang sangat dikenalnya melantunkan nada dari lagu favoritnya.

Vincent, kekasihnya, memainkan lagu These Foolish Things—lagu pertama yang dimainkan oleh pria itu saat keduanya tengah berada di studio musik miliknya beberapa bulan lalu; lagu yang sukses membuatnya jatuh cinta pada Vincent untuk pertama kalinya, lagu yang sukses membuatnya lebih dekat dengan pria yang dengan rela memainkan lagu itu kembali dengan saksofonnya karena Gregory secara tidak langsung “memintanya”.

Tuhan, ia sungguh tidak mengerti akan apa yang sedang terjadi. Lidahnya terasa kelu, kedua lututnya terasa lemas, seperti tidak ada lagi roh yang tersisa dalam tubuhnya. Ia benar-benar bingung, seperti seorang anak kecil yang kehilangan arah.

Kedua matanya beberapa kali mengerjap, masih tidak percaya dengan apa yang dilihat dan terdengar oleh kedua telinganya saat ini.

Vincent tengah memainkan lagu favorit mereka berdua; lagu yang merupakan “awal” dari segalanya. Kekasihnya itu tengah memejamkan matanya, dengan berkonsentrasi penuh meniup saksofonnya dan memencet kunci nadanya dengan lihai.

Thomas lalu berbisik ditelinganya, sebelum akhirnya meninggalkannya di sana, berdiri di depan podium seorang diri, membuatnya semakin bingung dengan kata-katanya.

Always be happy, Gre. Because you really deserve it.”

Ia lantas menggumam dan membalikkan tubuhnya. Para teman-temannya terlihat berdiri di area VIP ruangan itu, memandangnya dari kejauhan sambil mengacungkan ibu jari mereka. Timothy sudah berada dalam pelukan Maximillian, sedang Hosea sudah siap dengan ponselnya—entah melakukan apa, Gregory benar-benar bingung.

Ia lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Vincent yang tengah meniup saksofonnya sambil menatap kedua matanya. Manik hazel itu berbinar, terlihat mengkilat seperti tertutup air mata.

Apakah Vincent-nya sedang menangis?

Lantunan nada yang dimainkan oleh kekasihnya itu sukses membuat tubuhnya terasa hangat, seperti selimut tebal yang membalut kulitnya, seperti sebuah payung yang sedang menudungnya, dan seperti cinta yang begitu tulus menyusup kedalam tubuhnya lewat permukaan kulitnya.

Ia hanya dapat tersenyum lebar dan membentangkan kedua tangannya saat melihat Vincent meletakkan saksofonnya diatas salah satu kursi di sana, lalu melangkahkan kakinya menuruni anak tangga dari podium tempatnya berdiri.

Pria itu lantas melangkahkan kakinya lebar-lebar menghampiri dirinya, lalu merengkuh tubuhnya kedalam pelukan, membuatnya sempat terhuyung.

Gregory tak sadar sudah menangis.

“Vin, sayang. Hei,” bisiknya lirih disela-sela tangisnya. Ia sudah tidak peduli jika air matanya akan membuat jas yang dikenakan Vincent akan basah. Ia sungguh tidak peduli. “They love it. They love it so much! I am so proud of you,” ujarnya lagi, kali ini sedikit lebih keras, ingin memberitahu Vincent seberapa bangga dirinya terhadap kekasihnya itu.

Vincent hanya membalas kalimatnya dengan mencium pelipisnya, berbisik ditelinganya dengan lembut. “Thank you, Beau. Thank you. I did it, we did it.”

Ia terkekeh lalu melonggarkan pelukannya, menatap sepasang mata Vincent yang terlihat basah. “Aku sangat bangga padamu, Vincent. Benar-benar bangga. Kamu berhasil, sayang.”

Kekasihnya itu menyunggingkan senyum lebar lalu menggeleng, membuatnya lantas mengernyitkan dahi.

Mengapa kekasihnya itu menggeleng?

Namun belum sempat Gregory bertanya, seketika kedua matanya terbelalak, kedua tangannya menutup mulutnya yang terbuka lebar saat Vincent merogoh saku dalam jasnya lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah marun. Kotak itu terlihat cukup sederhana namun elegan, membuatnya merasakan seluruh darah dalam tubuhnya terpompa naik ke kepalanya saat ia melihat pria itu berlutut di hadapannya.

Tidak mungkin.

Vincent lalu membuka kotak itu perlahan, terlihat cincin berwarna silver yang begitu simpel namun cantik berada di sana. Pria itu meraih tangannya, menggenggamnya erat sambil mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya.

Oh, Tuhan.

“Aku sudah berhasil memperkenalkan duniaku; kecintaanku pada orkestra dan musik, kepadamu, Gregory, seseorang yang sudah aku anggap sebagai duniaku sendiri. Terima kasih atas semua cinta dan dukungan yang kamu berikan selama ini untukku, tanpa berpikir untuk menyerah sedikitpun.” Vincent berkata sambil menengadahkan kepalanya, menatapnya yang tengah terperangah dan masih menutup mulutnya dengan tangan kirinya. “Terima kasih karena telah menuntunku menjadi seseorang yang jauh lebih baik dari enam bulan yang lalu. You don't know how grateful I am, Gregory. Aku sangat bersyukur memiliki sosok sepertimu dalam hidupku.

“Dan aku akan menilai konserku berhasil sebentar lagi,” jelas pria itu sambil menatap kedua matanya, sebelum menyambung lagi dengan suara yang terdengar mantap. “Sebentar lagi, setelah aku mendengar satu kata darimu.”

Gregory menelan ludahnya. Tenggorokannya terasa kering.

Tidak mungkin.

“Gregorius, mon amour, voulez-vous m'épouser?”

Ia merasa lemas, membuatnya tak bisa menghentikan air matanya. Ia merasakan kedua lututnya menyentuh lantai yang sangat dingin, mencoba menangkap sosok Vincent dari pandangan matanya yang buram. Ia berlutut di hadapan Vincent, lalu mengulurkan kedua tangannya untuk menangkup wajah kekasihnya itu.

Gregory hanya dapat mengangguk sambil terisak, membiarkan tangisnya sendiri pecah memenuhi seluruh ruangan itu.

A thousand percent yes, Vincent,” katanya terbata-bata. “I will marry you. Mon Dieu,” ujarnya singkat sambil menarik napas panjang. “Si, yes, of course I will marry you, my last baton.”

Vincent menghela napas dan terdengar tertawa, lalu menangkup wajahnya dan mencium bibirnya, membuat kepala dan dadanya dipenuhi oleh euforia kembang api yang meledak bersamaan dengan tangisnya.

Thank you for saying yes, mon amour,” bisik Vincent lirih sambil tetap menciumnya. “I love you. God, I love you more than anything.”

Ia mendengar siulan dan teriakan yang riuh dari arah bangku penonton, dengan jelas mengetahui bahwa suara itu berasal dari para sahabatnya yang tengah menyaksikan momen terindah untuknya.

Gregory benar-benar bahagia. Gregory pun mampu merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Vincent, kekasihnya, yang baru saja secara resmi melamarnya di depan panggung orkestra, tempat pria itu mencurahkan seluruh kecintaannya pada musik di hadapan ribuan penonton.

Ia benar-benar bahagia. Vincent pun terlihat merasa bahagia.

Dan ia berharap, perasaan itu akan selamanya menyelimuti mereka.

Ciuman mereka yang tak beritme itu terpaksa harus terhenti saat Gregory menyadari keberadaan beberapa orang asing sedang berdiri di samping mereka.

Ia lantas mengakhiri kegiatan mereka dan berdiri sambil tersenyum. Vincent terlihat mengernyitkan dahi, sepertinya tidak mengenal ketiga orang asing yang berdiri di hadapan mereka.

I'm sorry for interrupting this beautiful moment, Monsieur,” ucap salah satu pria paruh baya yang sempat dilihat olehnya beberapa saat lalu, tengah berbincang satu sama lain saat ruangan itu telah kosong dari lautan penonton.

We are from Vienna Philharmonic Orchestra. May I ask your time to talk after this, Monsieur Vincentius?”


Chauffeur: a person employed to drive a private or rented automobile

Faisons de notre mieux peu importe quoi: Let's do our best, no matter what.

tw // implied slight insecure thoughts


It’s so tiring ya, Vin, cari apartemen baru.”

Vincent mendengar kekasihnya itu menghela napas berat—hampir terdengar seperti mendengus—membuatnya lantas tertawa renyah sambil menengadahkan kepalanya. Sepasang mata hazelnya menyipit, hilang dibalik lipatan kelopak matanya yang berbeda satu dengan yang lain.

Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Gregory memang benar, mencari apartemen yang akan menjadi tempat tinggal baru untuk mereka berdua sungguh melelahkan. Vincent dengan keinginannya serta egonya—ia baru saja menyadarinya beberapa saat lalu—dan Gregory dengan sudut pandang yang berbeda, namun sangat masuk akal dan dapat diterima olehnya. Walaupun tidak terjadi adu argumen yang sengit diantara mereka—keduanya hanya melakukan sesi bertukar pikiran yang sedikit alot.

Namun setelah mengobrol dengan Gregory selama hampir dua jam, Vincent lantas berpikir, sepertinya ia memang harus menurunkan “ego”nya agar ia dan kekasihnya itu dapat menemukan titik tengah.

Vincent ingin tinggal di sebuah unit apartemen baru yang cukup luas—setidaknya, luasnya harus sama atau mendekati unit yang ia tinggali saat ini. Bukannya ia ingin membuang-buang uang, bukan sama sekali. Ia hanya bermaksud jika teman-temannya berkunjung, ia dan Gregory memiliki ruang yang nyaman dan memadai untuk mereka. Sedangkan kekasihnya mengusulkan agar unit apartemen miliknya yang berada di daerah Rue la Bruyère itu dapat “disulap” menjadi tempat tinggal mereka kelak.

Tentu saja, tanpa berpikir dua kali, ia dengan cepat menolak usulan Gregory dan mengalihkan pembicaraan mereka.

Alasan Vincent sebenarnya sangat sederhana. Ia merasa belum mampu merelakan unit apartemennya itu menjadi “rumah” baru untuknya dan Gregory. Tempat tinggalnya itu menyimpan banyak sekali kenangan pahit selama lima tahun belakangan ini. Jika Vincent merasa sedang stres dan bosan dengan profesinya sebagai konduktor orkestra, ia lebih memilih menyendiri dan menjauh dari teman-temannya. Ia cenderung akan “melarikan diri” dari Rue de la Ferronnerie untuk menjernihkan pikirannya—bermain alat musik hingga pagi hari tanpa beristirahat. Ia hanya tidak ingin emosi yang sedang dirasakannya akan meluap, memenuhi seluruh ruangan dan berakhir mempengaruhi emosi orang lain, terutama Sebastian dan Tobias yang tinggal satu atap dengannya.

Hingga detik ini, Vincent masih enggan melepas status unit apartemen miliknya itu sebagai “tempat pelarian”nya.

Mungkin suatu hari nanti, ia akan menceritakannya pada Gregory. Tidak sekarang.

Ia dan Gregory tengah duduk bersisian pada sofa di ruang tengah apartemennya, menyandarkan tubuh mereka pada sandaran yang empuk dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ia mempersilakan keheningan mengungkung seluruh ruangan, menuntut kedua telinganya untuk hanya mendengar suara halus napas Gregory yang terlihat sedang melihat ke arah jendela unit apartemennya sambil melamun.

Sinar matahari yang terik menembus kaca jendela gedung itu, mengenai sisi kanan sofa tempat mereka duduk. Hangatnya sinar matahari pagi ini pun seperti selimut untuk mereka, memeluk tubuh keduanya dari dinginnya udara kota Paris. Cuaca di luar terlihat cerah, walaupun Vincent sempat melihat bahwa suhu kota Paris saat ini sudah menyentuh angka tujuh belas derajat celcius.

Yeah it indeed is tiring, my love,” balasnya singkat sambil meraih tangan Gregory yang terasa dingin. Pria itu menoleh ke arahnya, sepasang manik hazelnya lantas bertemu dengan kedua mata bulat pria yang sedang duduk disampingnya itu.

Bahkan disaat-saat seperti ini saja, Gregory terlihat sangat tampan. Oh Tuhan, Vincent mencintai pria itu, sungguh sangat mencintainya.

Ia tak ingin berhenti mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa karena Gregory seperti seseorang yang diutus oleh-Nya untuk menjadi “pelengkap dan penyeimbang” dalam hidupnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya saat ini jika ia tidak menerima tawaran Timothy untuk berkenalan dengan pria itu beberapa bulan yang lalu.

Entah sudah berapa kali ia berandai-andai tentang hal ini; apa yang akan terjadi jika ia tidak bertemu dengan Gregory, jika ia tidak memutuskan untuk menyewa sebuah studio musik di Paris, dan apa yang akan terjadi jika ia tidak mencoba untuk mengenal Gregory lebih jauh, mungkin ia sendiri tidak akan sampai pada titik ini, duduk bersisian dengan kekasihnya itu dan merasakan cinta yang luar biasa dan terkadang hampir membuatnya gila.

Vincent lantas teringat akan obrolannya dengan Gregory beberapa saat lalu; bagaimana pria itu dengan sabar menyanggah pendapatnya, beberapa kali mengalah dan menunggu sampai akhirnya memiliki kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya yang jauh berbeda dengannya. Kekasihnya itu menyadarkannya bahwa ia benar-benar harus menurunkan egonya, karena bagaimanapun juga, mereka akan tinggal satu atap dalam waktu dekat.

“Sepertinya aku harus menurunkan egoku sendiri agar keinginan kita berdua menemukan jalan tengah, Gregory,” katanya final sambil mengusap punggung tangan pria itu dengan ibu jarinya. “It's going to be our new home, after all. Maaf kalau aku terdengar sangat keras kepala. Aku hanya ingin tempat tinggal yang terbaik untuk kita berdua, itu saja.”

Kekasihnya itu mengernyitkan dahi sebelum akhirnya tergelak. “You know home is wherever you are, but I guess we both should, Vin sayang,” ujarnya sambil berdecak, lalu memiringkan kepalanya dan meletakkan tangan kanannya diatas punggung tangan Vincent. “Kamu tidak perlu minta maaf, oke? Lagipula, tidak ada salahnya kok untuk memiliki ekspektasi dan keinginan. I also have my dream house, too. Tapi, tidak semuanya harus buru-buru, 'kan? Kita masih punya banyak waktu untuk berpikir.”

Gregory lalu mengangkat tangannya dan menepuk pipinya lembut. “So, no rush. Okay?”

Vincent sedikit terkejut saat mendengar kalimat Gregory barusan. Ia hanya membalas dengan menggumam, otaknya masih bekerja untuk memproses respon yang diberikan oleh kekasihnya itu. Gregory benar-benar mulai merubah cara berpikirnya dan sepertinya, perlahan mulai belajar untuk menurunkan egonya sendiri.

Jujur saja, ia sempat mengira bahwa pembicaraan mereka mengenai apartemen baru ini akan berakhir dengan perdebatan atau bahkan pertengkaran.

Namun justru sebaliknya, Gregory terlihat sangat tenang dan sabar saat mendengar dirinya mengutarakan pendapatnya.

Ia lantas mengulas senyum lalu mengulurkan tangannya untuk menyisir surai hitam Gregory dan menyelipkannya dibelakang telinga pria itu. “Okay, Beau. No rush,” jawabnya dengan nada lembut sambil memindahkan tangannya untuk memijat leher kekasihnya. Gregory terlihat mengangguk dan tersenyum lebar sesaat setelah ia mengucapkan dua kata untuk pria yang sangat dicintainya itu. “Je t'aime, mon amour.”

Gregory mendengus lalu menggigit bibirnya, menggenggam pergelangan tangannya sambil tersenyum sumringah padanya. “I love you too, Vin.”

Tak lama setelahnya, Vincent seketika teringat akan pembicaraannya dengan Josephine lewat pesan singkat saat Gregory tengah melihat-lihat unit apartemen di daerah Champs-Elysées pada laman pencarian layar laptop miliknya. Ia sempat menangkap dengan ekor matanya, kekasihnya itu melirik sekilas ke arahnya sambil mengernyitkan dahi, seperti sadar akan perubahan raut wajahnya yang cukup drastis saat membaca pesan yang dikirimkan oleh rekan anggota klub orkestranya itu.

Vincent sebenarnya enggan menceritakan hal itu pada Gregory saat ini. Ia merasa khawatir dan takut jika kekasihnya itu akan berpikir hal yang macam-macam dan berujung dengan menimbulkan prasangka buruk. Ia tidak tahu apakah orang yang berperan penting dari Vienna Philharmonic itu benar-benar akan datang pada saat konser orkestranya berlangsung. Ia tidak tahu apakah pihak mereka akan menontonnya dan lalu memutuskan untuk “merekrut” dirinya.

Semua itu adalah hal yang mustahil, walaupun Vincent mengenal dan mengakui kemampuannya sendiri, namun rasanya itu semua hanyalah mimpi belaka.

Ia belum siap menceritakannya pada Gregory, karena jika ia melakukannya, ia tahu pasti dirinya akan menggantungkan harapannya setinggi langit dan mengejarnya, tanpa memedulikan apapun dan siapapun. Vincent khawatir dirinya akan terlalu ambisius dan gelap mata, dan berakhir membuat Gregory tidak nyaman dengan ambisinya.

Ia bahkan takut hubungannya dengan pria itu akan kembali terancam, karena bisa saja Gregory akan berpikir bahwa ia lebih mementingkan orkestra dibanding dirinya sendiri, 'kan?

Vincent benar-benar takut. Ia lebih baik mengejar mimpinya perlahan daripada ia harus merelakan hubungannya dengan Gregory melewati kerikil tajam dan bara api seperti beberapa waktu lalu.

Namun ia tidak akan pernah mengetahui tanggapan pria itu jika ia tidak pernah bertanya, 'kan?

“Gregory,” ujarnya memecah keheningan, merasakan tenggorokannya kering karena gugup. Dan sungguh, Vincent jarang sekali merasa gugup. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu.”

Pria yang duduk disampingnya itu terlihat sedang mengunyah sepotong sandwich yang sempat dibuat olehnya sebagai sarapan untuk mereka berdua. Gregory membalas kalimatnya dengan menggumam, mulutnya bergerak dan terlihat penuh. “Yes? Ada apa, Vin?”

Melihat kekasihnya berbuat demikian, Vincent mengulurkan tangannya untuk menepuk pipinya dengan lembut sambil terkekeh. Ia lalu meraih gelas berisi air mineral yang terletak diatas meja dihadapan mereka dan menyuguhkannya pada Gregory. “Actually,” sambung pria itu setelah meneguk segelas air putih itu hingga habis. “You've been kind of weird and awkward since you got some text messages earlier, Vin. Is everything okay?”

Gregory tentu menyadarinya, dan ini mungkin adalah saat yang tepat bagi Vincent untuk menerobos kekhawatirannya dan mempersilakan Gregory mengetahui hal apa yang sedang memenuhi kepalanya.

It's about me and my concert, my love.”

Kekasihnya itu seketika mematung, lantas meletakkan gelasnya yang kosong diatas meja lalu duduk menghadap ke arahnya. Kedua tangannya dengan cepat terulur untuk meraih dan mengeratkan jemari mereka. Gregory terlihat khawatir. “Ada apa, Vin? Tidak ada sesuatu yang buruk terjadi denganmu atau anggota klubmu, 'kan?”

Vincent menggeleng pelan sambil tersenyum melihat kekasihnya khawatir seperti ini. Apakah perubahan raut wajahnya saat membaca pesan Josephine sangat terlihat berbeda? “Tidak ada, sayang. It's just,” ujarnya lagi sambil menatap mata bulat Gregory. “Do you know Vienna Philharmonic Orchestra by any chance?”

Gregory menggelengkan kepalanya, terlihat ragu sambil terdengar menggumam. “Tidak pernah dengar sama sekali, Vin. Apa kamu pernah memberitahu atau menceritakannya padaku sebelumnya?”

Ia mengedikkan bahu sambil menghela napas berat. Right, sepertinya ia harus menjelaskan salah satu grup orkestra terbaik di dunia itu kepada Gregory dari awal. “Sepertinya tidak pernah, Gregory. Aku pun lupa. Apakah kamu keberatan jika aku menjelaskannya dari awal?”

Of course not, Vin sayang. You know how much I'd like to hear the stories about your “world”,” ujar kekasihnya itu santai sambil membuat tanda kutip dengan dua pasang jarinya, membuatnya lantas tersenyum.

Hatinya terasa menghangat saat melihat antusiasme Gregory yang tulus, tidak dibuat-buat semata-mata hanya untuk membuatnya merasa senang. Respon yang diberikan oleh pria itu seperti lampu hijau untuknya, sebuah tanda yang membuatnya yakin bahwa ia dapat menceritakan hal yang mengganggu pikirannya tanpa harus khawatir bahwa kekasihnya itu akan merasa terbebani.

Maka Vincent menghadapkan tubuhnya ke arah Gregory, meletakkan tangannya diatas sandaran sofa untuk menyangga kepalanya. Ia duduk bersila, mencari posisi senyaman mungkin untuk menceritakan tentang salah satu klub orkestra yang selama ini menjadi contoh dan acuan semangat untuk dirinya mencapai mimpinya sebagai konduktor orkestra terbaik di dunia.

So, Gregory, Vienna Philharmonic Orchestra is currently one of the best orchestras in the world.” Vincent memulai ceritanya dengan nada bangga, seperti sedang bercerita tentang klub orkestranya sendiri. “And its based is in Vienna, Austria. Obviously, yes, based on the name itself,” lanjutnya sambil tertawa renyah, mencoba mencairkan suasana yang menurutnya canggung.

Mungkin ia harus bersiap jika Gregory menyadari ke arah mana pembicaraan ini akan mengalir.

Gregory terlihat mengangguk sambil menggumam. “Lalu, Vin?”

Ia sejenak mengernyit, menatap Gregory yang terlihat sedang memandangnya dengan raut wajah yang ceria dan terdengar menanggapinya dengan nada yang antusias.

Baiklah, mungkin kekasihnya itu belum menemukan benang merah dari apa yang sedang dibicarakan olehnya.

“Josephine lalu memberitahuku, kalau klub orkestra Vienna Philharmonic sedang mencari konduktor bertalenta di seluruh dunia untuk tim orkestra mereka yang baru. Sejak dulu, mereka tidak pernah membuka audisi khusus untuk konduktor orkestra. But this year, Josephine told me that the members of the club will be attending several orchestra concerts and “choose” the talented ones randomly to join their new team.”

Secara tidak sadar, Vincent menceritakan hal itu pada Gregory dengan sangat bersemangat, membuat kekasihnya itu tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya. Ia lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa malu karena tidak berhasil menyembunyikan perasaannya. Ia menyadari bahwa bulu kuduknya sudah meremang, kedua pipinya menghangat dan dadanya berdegup kencang. Vincent tidak ingin munafik, sesaat ia benar-benar menginginkan agar pihak Vienna Philharmonic melirik dirinya dan merekrutnya. Namun di sisi lain, ia tidak ingin mengorbankan semua hal yang telah ia genggam begitu erat saat ini—kesuksesan karirnya, kehidupan materinya, dan hubungannya dengan teman-teman dekatnya, terutama dengan Gregory.

Vincent tidak ingin ceroboh. Ia ingin memperhitungkan agar semuanya berjalan sesuai dengan apa yang diinginkannya, agar semuanya masih dalam genggamannya.

Akan tetapi, ia benar-benar tahu dan menyadari bahwa saat ini ia terdengar seperti orang yang rakus dan egois.

Ia tahu ia tidak mampu menggenggam semuanya secara bersamaan. Ia tahu bahwa ada salah satu yang harus ia lepaskan jika ia ingin bergabung dengan Vienna Philharmonic dan meneruskan hidupnya di Austria.

That's great, Vin. Really.” Gregory menanggapi ceritanya dengan tulus. Vincent tidak mendengar nada keberatan atau bahkan kebohongan di sana. Kedua mata bulat kekasihnya itu berbinar, pria itu terdengar antusias sama seperti dirinya. “So, what's your next steps to achieve that, sayang?”

Tunggu sebentar. Apakah Vincent tidak salah dengar? Apakah Gregory menyadari apa yang baru saja ia katakan?

Vincent lalu menegakkan tubuhnya sambil membetulkan letak kacamata bulatnya yang sedikit melorot dari batang hidungnya. “Next step? Gregory, apa kamu sadar dengan apa yang kamu baru saja katakan?”

Kekasihnya terlihat menegakkan tubuhnya pula, raut wajahnya pun berubah. Dahinya mengernyit kebingungan, terlihat sama sekali tidak paham dengan maksud dari pertanyaannya. Kedua mata bulatnya kini memicing, berusaha memahami situasi saat ini. “Huh? Maksudnya bagaimana, Vin? Of course I know what I was saying, sayang. Apa ada yang salah dari perkataanku tadi?”

Ia menggelengkan kepalanya cepat, tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman diantara mereka.

Bukannya ia meragukan Gregory, tidak sama sekali. Ia hanya bingung.

No offense, my love, but I thought,” sambung Vincent cepat sambil meraih tangan kekasihnya itu dan mengusap pelan telapak tangannya. “Aku pikir kamu akan merasa khawatir, atau bahkan marah padaku karena aku lebih mementingkan orkestra dibandingkan dirimu? And no, okay. That's not the case. I will prioritize you more than anything. Gregory, baik kamu maupun orkestra selalu aku posisikan dengan setara. Aku tidak mungkin mengabaikan—”

Kata-kata yang ingin diucapkan oleh Vincent seketika menggantung diudara, saat ia mendengar Gregory memotong kalimatnya dengan nada tegas sambil menutup mulutnya dengan tangannya. “Vincent sayang, for the love of God, please stop talking.”

Vincent membelalakkan matanya, tidak menyangka bahwa Gregory akan melakukan hal itu dan sukses membuatnya menutup mulutnya. Kekasihnya itu terdengar serius saat menegurnya, raut wajahnya pun tidak berubah.

Ia lantas menyesali kalimatnya, menyadari bahwa ia sudah pasti secara tidak langsung menyakiti hati Gregory karena tidak memilih kata-katanya dengan baik.

Gregory lalu melepas tangannya dari mulutnya lalu menghela napas kasar. Kekasihnya itu melipat kedua tangannya didada setelah menyugar surai hitamnya yang menutupi dahi dan kedua matanya. Sesaat Vincent melihat bagian alis sebelah kanan Gregory yang dihiasi oleh sebuah tindikan.

Oh Tuhan, bahkan hanya dengan melihatnya saja, sekujur tubuhnya benar-benar hampir bergetar—

“Vincentius,” panggil Gregory dengan ketus, membuat sekujur tubuhnya hampir lemas. Sial, mengapa ia menjadi menyedihkan dan lemah seperti ini? “Eyes on me and my eyes obly, not on my eyebrow piercing.”

Ia menggeram lalu menatap lekat sepasang mata bulat yang kini menyorot tajam, menusuk hingga manik hazel dan juga hatinya. Mon dieu, he's so fucking hot, batin Vincent. “No offense, baby, but you're so fucking hot when you're mad. You should know about that. And my eyes are always on you, okay. Don't worry about that.”

Pria yang sedang duduk berhadapan dengannya diatas sofa itu terdengar mendengus lalu menundukkan kepalanya, sepertinya berusaha menyembunyikan kedua pipinya yang dipastikan sedang memerah—Vincent melihatnya dari sepasang telinga kekasihnya itu.

Tidak ada yang dapat ia lakukan selain mengulum senyumnya melihat kekasihnya tersipu malu akibat kata-katanya. Vincent tidak akan pernah lelah memuji dan menyanjung Gregory sampai kapan pun.

Gregory lalu mengangkat wajahnya dan menghela napas kasar, berusaha mengembalikan fokusnya dengan menggerakkan tangannya seperti membentuk corong tepat didepan wajahnya untuk menetralkan raut wajahnya.

Mau tidak mau Vincent terkekeh karena gestur kekasihnya itu.

“Vincent, aku mau bicara serius.”

“Ya, cintaku. Silakan.”

Ia mendengar kekasihnya berdecak malas saat mendengarnya memanggil dengan sebutan 'cintaku', panggilan favoritnya untuk Gregory. Entahlah, anggaplah ia adalah orang yang kuno, kolot, dan kaku, namun Vincent benar-benar menyukainya. Dan Gregory tidak pernah protes saat mendengarnya memanggil dengan sebutan itu. Justru sebaliknya, beberapa hari yang lalu pria itu sempat memintanya untuk memanggilnya demikian selama sehari penuh. Tentu Vincent melakukannya dengan senang hati.

“Vin, aku berterima kasih karena kamu memikirkan perasaanku sampai sejauh itu—memikirkan apakah aku akan merasa insecure, mungkin itu kata paling tepat yang bisa aku sebutkan untuk menjelaskan perasaanku, dan khawatir berlebihan bahwa kamu akan meninggalkanku demi mimpimu dan orkestramu. And it's totally okay, because that's how I used to think.

“Tapi, Vin, mungkin kamu belum sepenuhnya menyadari, bahwa, demi Tuhan, aku ingin berubah. Kebiasaan burukku untuk memikirkan apapun yang berada di luar kuasaku secara berlebihan, mengkhawatirkan apapun yang belum tentu terjadi, dan masih banyak lagi. Aku ingin mendukungmu seratus persen, dua ribu persen kalau perlu, karena itu semua adalah mimpimu.”

Vincent hendak memotong kalimat Gregory, namun ia urungkan saat kekasihnya itu mengangkat telapak tangannya dengan cepat. “Maaf, tapi aku belum selesai bicara, Vin. Aku minta tolong, jangan dipotong dulu, ya?”

Ia hanya dapat mengangguk. Siapakah sosok yang sedang duduk dihadapannya saat ini? Vincent hampir tidak mengenalinya.

Thank you, sayang,” katanya kemudian sebelum akhirnya menyambung lagi. “My point is, I'm sorry for everything I've caused in the past, for being so insecure and mad about everything, for being so childish about your orchestra, everytime you're practicing until late because of your ambition. For being selfish and asked you to prioritize me over anything else. I'm so sorry, okay?”

Gregory terdengar menghela napas, membuatnya lantas menggenggam tangan pria itu erat, ingin menyalurkan rasa nyaman dan hangat hingga keseluruh sel dalam tubuh kekasihnya itu.

Pria itu lalu menyambung lagi. “Tapi aku tidak menyesali semua itu sama sekali, karena dengan semuanya, hubunganku dengan kamu yang naik turun, membuatku sadar bahwa aku sedang berproses untuk memahami diriku dan emosiku sendiri. Aku jauh dari kata sempurna; aku rapuh, Vincent, tapi kamu mau membantuku mengumpulkan kepingan diriku perlahan-lahan dengan memberikanku waktu sepanjang yang aku butuhkan. Dan aku merasa bersyukur karena itu.

“Kamu adalah pria yang sangat hebat, Vincent. Kamu harus terbang setinggi mungkin, berlayar sejauh mungkin, jangan mendaratkan jangkar hidupmu didalam palung hidupku. Just think of me as the airport to your plane, think of me as the harbor to your ship. I'm not going anywhere, Vin. I'll always be there to keep you safe.”

Ia tidak menyadari bahwa air matanya sudah menggenang dipelupuk matanya, menunggu aba-aba hingga akhirnya diperbolehkan meluncur turun untuk membasahi pipinya.

Gregory lalu mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan helai rambut yang menutupi manik hazelnya, sambil memintanya untuk melirik ke arah pergelangan tangannya yang dilingkari oleh gelang pemberiannya. Vincent lantas menggerakkan matanya untuk melihat gelang yang diberikan untuk Gregory sebagai hadiah ulang tahun kekasihnya itu sebulan yang lalu.

And this one, Vin. It's your promise, it's our promise, remember? Aku selalu memandangi gelang ini saat aku merasa ada keraguan mencoba menyusup kedalam hati dan pikiranku. Aku selalu merapalkan dalam hati bahwa aku mencintaimu, dan mengingatkan diriku sendiri bahwa kamu mencintaiku. Aku pun sedang belajar untuk berubah, Vin. Apa yang aku rasakan, biarlah itu menjadi tanggung jawabku sendiri. Ya? Kamu tidak perlu khawatir.”

Pandangan mata Vincent mulai kabur. Ia tahu sebentar lagi air matanya akan tumpah.

And for the love of God, sayangku, you asked me to move in together with you, and I said yes. I took it as our promise, too. We have two things as our promises and I know I'll always be safe with you,” jelasnya kemudian sambil tersenyum lebar dengan tatapan mata yang teduh, menudungi hati dan pikiran Vincent yang bergemuruh.

Ia benar-benar mencintai Gregory. Tuhan, ia tidak akan pernah berhenti mengucap syukur.

So, don't worry about me, okay? I will be your last baton, too, Vin,” sambung pria itu lirih, mengucapkan kalimat yang sempat ia unggah dimedia sosial untuk Gregory saat keduanya belum menjadi sepasang kekasih. Vincent menorehkan kalimat itu didalam pikirannya dengan tinta hitam yang tebal dan dalam, ingin selalu mengingat janjinya untuk berjalan bersisian dengan Gregory sampai kapanpun.

Ia sudah tidak dapat menahan tangisnya saat mendengar kalimat terakhir yang Gregory ucapkan, sebelum akhirnya mengizinkan air matanya lolos membasahi pipi dan lehernya, lalu meraih tangan Gregory dan mencium telapak tangan pria itu berkali-kali.

And I will always be with you to reach the level of happiness you've always dreamt of, Vincent. So go reach your dreams, I'll always be walking or running beside you. Always. Je t'aime, my home.”

tw // family issues , implied: anxiety attack ; lack of communication ; lack of parental love and support in the past ; neglected children ; self-doubt ; questioning self-worth

ps. this is fiction ya, teman-teman... but i used a glimpse of my own experience so yeah... i was struggling writing this so i'm sorry if somehow this seems kinda meh. dan kalau narasi ini sekiranya membuat kalian ke-trigger saat membaca, please stop reading immediately, okay? hurting you guys is never and will never be my intention <3


Cuaca siang ini tidak begitu bersahabat dengan Gregory, apalagi dengan dirinya yang sedang memakai kaus oblong berwarna hitam, walaupun cukup tipis. Sinar matahari terasa sangat terik menggigit kulitnya, membuat tubuhnya lantas mengeluarkan keringat. Ia yakin kedua kakinya akan terlihat belang sepulangnya nanti karena sandal yang dikenakannya kuran tertutup. Beruntung ia sempat mengoleskan tabir surya pada wajahnya agak tipis sebelum akhirnya melangkahkan kaki keluar dari kamar hotelnya.

Gregory memutuskan untuk mencari makan siang di sekitar hotel karena ia baru saja bangun dari tidurnya pukul satu siang. Ia tertidur pulas sejak pukul enam pagi setelah mengobrol dengan Vincent selama dua jam, membicarakan banyak hal mengenai harinya kemarin dan rencana yang akan dilakukan olehnya selama di Jakarta. Vincent pun sempat memberitahunya bahwa beberapa hari kedepan, jadwal latihan pria itu akan sedikit padat karena konser orkestranya yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.

Selama keduanya mengobrol lewat telepon, Gregory berulang kali mengatakan bahwa ia merindukan pria itu, merindukan apartemen kekasihnya di Rue de la Ferronnerie, dan tentu merindukan hangatnya pelukan Vincent yang selalu menjadi “selimut” keamanan dan kenyamanan untuknya.

Dan sebenarnya, ia merindukan Paris. Kota itu telah menjadi zona nyamannya, merasa bahwa Paris adalah “rumah” sebenarnya.

Well, Vincent is his home, though.

Ia seakan lupa dengan semua kenangan dan memori yang terukir di Jakarta, sejak delapan tahun lalu dirinya menginjakkan kakinya di Paris.

Gregory menghela napas kemudian, kembali fokus saat menyeberang dari hotel ke sisi kiri trotoar Jalan Sunda. Ia lalu menoleh dan melihat lahan parkir Sarinah, tempat pusat perbelanjaan yang berjaya pada masanya itu terlihat dipenuhi oleh kendaraan roda empat. Ia lantas mengulas senyum, mengingat saat masih duduk di bangku perkuliahan, ia dan Thomas seringkali mengunjungi Hard Rock Cafe jika sedang menginap di rumah sahabatnya itu pada akhir pekan.

Jika ia tidak memiliki teman dekat saat masih hidup di Jakarta, mungkin ia akan menetap di Paris selama dan tidak akan kembali.

Kedua telinganya lalu samar-samar menangkap suara dari segerombol pria yang sedang duduk-duduk di dekat pintu masuk parkir pusat perbelanjaan itu. Mereka terdengar bercengkrama, ditemani beberapa gelas kopi dan kudapan diatas piring kecil. Melihat keakraban dan senyum yang terukir diwajah para pengemudi ojek pangkalan itu lantas membuatnya terenyuh. Ia tidak bisa menemukan sesuatu semacam ini di Paris.

Setelah berjalan melewati gerombolan pria itu dan menyapa dengan seulas senyum, Gregory lantas mempercepat langkahnya dan berbelok ke kiri, menyusuri Jalan Haji Agus Salim yang terlihat sepi. Ia sudah tidak sabar untuk segera duduk di restoran padang dan menyantap makan siangnya.

Sesampainya Gregory di restoran padang yang terletak tepat di perempatan Jalan Haji Agus Salim dan Jalan Wahid Hasyim itu, ia segera melangkah masuk, melihat sosok Thomas sudah duduk di salah satu meja. Ia lalu menghampiri sahabatnya yang sedang mengobrol dengan seorang pramusaji, sepertinya hendak memesan minuman untuk mereka berdua.

Thomas lalu mendongak dan bertemu mata dengannya, menyunggingkan senyumnya yang lebar sambil melambaikan tangannya. Gregory membalas sapaan pria itu lalu melangkahkan kakinya mendekat, menarik kursi dan duduk berhadapan dengannya kemudian. Seorang pramusaji itu lantas menyapanya dan menanyakan pesanannya. Ia lalu memesan segelas jus sirsak, sedang Thomas memesan seporsi sate padang dan hanya ingin meminum segelas teh tawar panas yang sudah disediakan.

Keduanya menyantap makan siang mereka sambil mengobrol dan membicarakan banyak hal. Gregory sempat membuat mereka tertawa karena membahas kenangan mereka semasa kuliah; membolos untuk pergi ke Ancol dengan mengendarai si butut—mobil Thomas yang akhirnya sudah dijual—, menjadikan rumah sahabatnya itu base camp setiap akhir pekan, dan menghabiskan waktu di Hard Rock Cafe hingga “diusir” secara halus oleh seorang manajer yang sudah kenal dekat dengan mereka karena jam operasional kafe hampir berakhir.

Thomas ibarat sayap yang diberikan oleh Tuhan saat kedua sayapnya sendiri rapuh dan hampir patah. Sahabatnya itu selalu berada di sampingnya, menyaksikan bagaimana dirinya berproses hingga saat ini. Gregory tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya jika ia tidak memiliki Thomas sebagai salah satu sosok penting dihidupnya.

Ia teringat akan kejadian delapan tahun lalu saat meluapkan emosinya didalam mobil Thomas atas keputusan orang tuanya mengirimnya ke Paris dengan bermodalkan embel-embel kesuksesan jika mengambil sekolah Magister Komunikasi di luar negeri.

Sampai dengan detik ini, ia merasa semuanya sangat tidak masuk akal.

Gregory tahu, semakin lama ia tinggal di Jakarta, semakin lama ia mengulur waktu untuk sesuatu yang tidak penting, semakin lama pula ia mengetahui alasan kedua orang tuanya “membuang”nya di Paris.

Lebih cepat lebih baik, begitu mottonya.

“Thom,” katanya memanggil Thomas sambil membersihkan tangannya dengan tisu basah. Pria itu hanya menggumam sambil melirik ke arahnya sekilas. “Lo bisa menemani gue pulang ke rumah tidak?”

Thomas yang sedang terlihat mengunyah potongan ayam pop lantas memiringkan kepalanya. “Oh? Hari ini?” Pria itu bertanya padanya, ia hanya membalas dengan menggumam dan mengangguk. Thomas menelan makanannya sebelum akhirnya menyambung lagi. “Of course, gue tidak ada kegiatan lain. Tapi lo yakin mau gue antar?”

Gregory mengangguk sambil mengedikkan bahunya. Ia membutuhkan seseorang disampingnya untuk menemaninya berkendara menuju rumahnya. Rumah? Ia sedikit mendengus, merasa tidak yakin apakah kediaman yang berada di daerah Cibubur itu masih rumahnya.

Yeah,” jawabnya sambil bersandar pada kursi. “Feeling gue tidak enak, Thom. Apa karena gue nervous? Tidak tahu. It's been eight fucking years since I left, bro,” katanya menghela napas.

Jujur saja, beberapa hari ini ia lebih gelisah dari biasanya, terasa dari tidurnya yang bisa dikatakan tidak nyenyak. Ia mencoba mendengarkan recorder yang diberikan oleh Vincent untuknya, namun lantunan melodi yang dimainkan oleh kekasihnya itu pun hanya mampu meredam kegelisahannya sedikit.

Gregory ingin—tidak, ia butuh—jawaban, tapi ia belum siap. Apa yang akan ia lakukan jika ternyata orang tuanya memberikan penjelasan yang tidak bisa ia terima? Apakah ia akan marah, atau malah ia akan menangis? Atau bahkan, beliau berdua akan marah karena melihat Gregory menginjakkan kaki di rumahnya sendiri, 'kan?

Semua bisa saja terjadi. Ia seperti sedang mempertaruhkan seluruh kartunya diatas meja kasino, tidak tahu kartu mana yang akan dibuka oleh lawan mainnya, yang dalam hal ini adalah orang tuanya.

Ia merasa keputusannya benar-benar mentah dan gegabah untuk pulang ke Jakarta, membuatnya seketika meragukan keputusannya dan tentu saja, meragukan dirinya sendiri. Gregory merasa dirinya mundur seratus langkah, merasa semua usaha yang telah ia lakukan di Paris sebelum akhirnya menginjakkan kakinya kembali di Jakarta adalah sia-sia. Karena setelah Gregory merasa mampu dapat berubah, semua usahanya itu seakan runtuh saat menyadari bahwa dirinya benar-benar sudah di Jakarta.

Kembalinya ia ke kota ini memicu dirinya untuk melakukan kebiasaan buruknya yang ingin ia buang dan kubur dalam-dalam. Gregory mulai meragukan dirinya sendiri, berpikir apakah memang seharusnya ia memang tidak pantas bahagia, dan memikirkan apakah dirinya layak untuk dicintai.

Thomas menjentikkan jarinya didepan wajahnya, membuatnya lantas terperanjat. Sahabatnya itu menariknya kembali ke realita. Pria itu berdecak setelah meneguk habis teh panasnya. “Wajar lo gugup, Gre,” kata pria itu sambil menopang dagunya dengan kedua tangannya. Thomas lalu menyambung lagi, kali ini menjelaskan padanya tentang keadaan dirinya. Pria itu tahu bagaimana cara untuk mengurai pikirannya yang kusut. “Lo juga pergi dari Jakarta delapan tahun lalu, 'kan, tanpa ada “persiapan”, kasarnya,” lanjut Thomas sambil menjulurkan tangannya untuk meraih gelas jus sirsak miliknya.

Sahabatnya itu mencelupkan sedotan baru kedalam gelasnya, lalu menyeruputnya sedikit. “Anyway, Gre, lo akan ngomong apa dengan orang tua lo?”

Sebenarnya Thomas bertanya padanya dengan nada datar dan cenderung santai, namun sukses membuat perutnya perih dan dadanya sesak.

Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan pada orang tuanya.

Gregory menghela napas kasar, menggaruk dahinya dengan punggung tangannya yang bersih. “I don't know, really,” jawabnya putus asa. Ia benar-benar tidak tahu. “To be really honest, Thom, rencana gue pulang ke Jakarta semakin lama semakin membuat gue ragu. Apa iya memang gue harus pulang?”

Ia harus menghentikan pikiran buruknya sebelum hal itu semakin menggerogoti hatinya sendiri. Ia harus berhenti menyesali keputusannya untuk pulang dan menemui orang tuanya, merapalkan rasa sesal dalam hatinya sebelum akhirnya hal buruk akan terjadi padanya.

“Maksud lo?” Thomas bertanya dengan nada heran. Gregory mengenal sahabatnya, pria itu sebentar lagi akan meluapkan emosinya, dan ia tidak ingin sampai hal itu terjadi.

“Ya, I mean,” jawabnya sambil melihat ke arah lain, tidak ingin Thomas menatap kedua matanya dan membaca isi hatinya. Sahabatnya itu tahu segala hal tentangnya dan mampu menerka isi pikirannya. “I can heal myself in Paris, right? Why should I go back to_ Jakarta? Right?”

Ia tahu pertanyaan yang barusan ia katakan adalah omong kosong. Gregory merasa dirinya seperti pengecut, tidak siap menerima kenyataan yang sudah menantinya didepan. Ia tidak ingin menghadapi sesuatu yang memiliki kemungkinan akan tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Thomas menghela napas panjang, seperti tahu isi kepala dan hatinya yang sedari tadi berkecamuk. “Gre, menurut gue,” kata pria dengan nada seperti meminta, membuatnya terpaksa menoleh dan menatap sahabatnya itu. “Lo adalah tipikal orang yang akan melakukan apapun sampai lo mencapai tujuan lo. Sekarang, lo sedang berada di fase pembuktian. Lo bilang, lo mau healing and fix whatever that is, right? Ini lo sekarang sedang mau membuktikan, apakah teori lo benar? Dengan lo pulang ke Jakarta apakah jawaban yang lo cari itu bakal lo dapatkan? Dan apakah hipotesis yang lo punya tentang orang tua lo selama delapan tahun ini apakah terbukti?

“Ini tuh lo sedang gambling, Gre, which we don't really know what it's going to happen. And all of these are not multiple choices, these are literally an essay.”

“Dan apapun hasilnya nanti setelah lo ketemu dengan orang tua lo, lo harus ingat kalau perasaan lo itu valid. Apapun itu. Man, we are all human, for God's sake. And this never was will never be your fault.”

Thomas berbicara panjang lebar sambil menatapnya, namun Gregory tidak bisa fokus, tidak saat sahabatnya itu mengatakan bahwa semua ini bukanlah salahnya.

Tidak saat Gregory masih menyalahkan dirinya sendiri atas kurangnya kasih sayang, apresiasi, dan pengakuan yang ia dapatkan dari kedua orang tuanya.

Gregory tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, termasuk Thomas, apalagi Vincent, bahwa dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia selalu memendam rasa iri pada Thomas yang selalu didukung oleh orang tuanya dalam melakukan hal apapun. Ia mengenal beliau berdua sejak lama, dan menganggap keduanya layaknya orang tuanya sendiri. Dan sungguh, ia pun dapat merasakan bahwa kasih sayang orang tua Thomas padanya berbeda dengan apa yang diberikan oleh orang tuanya.

“Dan lo harus ingat, Gre,” kata pria itu padanya sebelum melambaikan tangan ke arah seorang pramusaji dan meminta bill. “You don't have to forgive in order to heal.”


Perjalanan menuju Cibubur ditempuh dalam waktu satu jam dua puluh menit. Lalu lintas siang ini terlalu padat—menurut Thomas adalah hal yang wajar—membuatnya harus ekstra hati-hati saat menyetir karena jujur saja, ia mulai merasa mengantuk.

Setelah keluar dari gerbang tol dan memasuki area pinggiran Jakarta itu, Gregory merasakan dadanya berdegup kencang dan kedua tangannya gemetar. Ia benar-benar takut akan hal yang akan dihadapinya sebentar lagi.

Ia sangat membutuhkan Vincent disampingnya, pria itu selalu tahu bagaimana cara membuatnya tenang dan menjauhkan pikiran buruk dan rasa gugup dari dalam dirinya. Sesaat ia merutuk, merasa kesal karena perbedaan waktu yang cukup jauh antara dirinya dan Vincent.

“Ya Allah,” “Iki bener Mas Grego?”

“Iya, Pak,” ... “Ibu sama Ayah ada?”

Pria paruh baya itu terlihat ragu saat mendengar pertanyaannya, seperti sedang ada yang disembunyikan. Gregory lantas memiringkan kepala dan sedikit menaikkan alisnya bingung. Apa kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah?

“Ada, Pak?” Gregory bertanya lagi, kali ini dengan nada yang ia tahu, terdengar tidak sabar dan sedikit tidak sopan. Namun, apa boleh buat? Ia seperti sedang menginjak bara api tanpa alas kaki, merasa ingin segera mengangkat kaki dari rumahnya dan pergi.

Pria itu mengangguk lemah. “Ada, ada. Ayo masuk, Mas.”

“Gue tunggu di mobil ya, Gre. Good luck.”

Thanks, bro. Maaf lo jadi harus nunggu didalam mobil.”

Don't worry, it's fine, serius,” “Gue bawa laptop, kok. Bisa nonton Netflix di mobil.”

Alright, gue masuk dulu.”

Gregory seperti kehabisan napas saat melepas sepatunya dan bersentuhan dengan lantai rumahnya yang dingin, masih sama seperti delapan tahun lalu. Ia lalu mengedarkan pandangan, terkejut saat melihat dinding rumahnya terlihat kosong, tidak ada lagi bingkai foto keluarga yang selalu tergantung di sana. Salah satu lemari kaca yang dahulu berisi koleksi lonceng dari berbagai negara—oleh-oleh pemberian saudaranya untuk ibunya—dan berbagai bentuk sendok teh antik pun kosong. Di ruang tamu itu hanya ada beberapa sofa yang kainnya sudah terlihat usang, bahkan meja yang biasanya digunakan untuk menyuguhkan makanan dan minuman untuk tamu pun sudah tidak ada.

Apa yang terjadi?

Asisten rumah tangganya lantas masuk ke ruang tengah dan meninggalkannya di ruang tamu. Gregory lantas menggelengkan kepala, bahkan di rumahnya sendiri, ia merasa asing. Ia seperti seseorang yang sedang bertamu di rumah orang lain yang tidak mengenalnya.

Ia baru saja ingin mengambil ponselnya dari saku celananya ketika mendengar suara seorang wanita—yang sangat ia kenali—berteriak histeris. Ia lantas berdiri dari duduknya saat mendengar suara seseorang sedang berlari ke arahnya sambil terengah.

Ibu.

“Tuhan,” “Gregory? Ini betul kamu?”

“Ya, Bu.”

“Ayah mana, Bu?”

“Ayah sedang ganti pakaian di kamar.”

Gregory tersenyum tulus, alih-alih mempertanyakan mengapa ayahnya harus repot-repot mengganti pakaiannya? Ia bukan tamu, 'kan? Ia adalah salah satu anggota keluarga ini. “Ah, oke.” “Ibu tadi sedang apa? Maaf, Grego ganggu, ya?”

Ibunya menggeleng cepat, terlihat meremas bantal yang sedang ada dipangkuannya. Ia dan ibunya duduk berhadapan, merasakan betapa canggungnya situasi saat ini. Gregory kehabisan kata-kata, lidahnya terasa kelu. Semua skrip yang ada dalam kepalanya perlahan memudar dan hilang tanpa jejak, membuatnya kebingungan. “Tidak. Ibu tadi sedang cuci baju di belakang, hanya terkejut kamu datang ke rumah.” ... “Ada perlu apa, Nak?”

Gregory mengernyitkan dahinya. Ada perlu apa, kata Ibunya? Apa ia tidak salah dengar?

Ini adalah rumahnya, bukan? Seingatnya, kedua orang tuanya tidak pernah mengusirnya untuk pergi dari rumah? Mengapa seakan-akan kedatangannya terdengar seperti sesuatu yang tidak boleh terjadi?

Ia belum membalas pertanyaan Ibunya saat ia mendengar langkah kaki

“Gregory.”

Mendengar suara itu, Gregory langsung mengatupkan mulutnya.

“Ayah.” “Apa kabar?”

“Ya Tuhan, Grego,” “Ayah rindu sekali dengan kamu.”

Rindu? Apa ini mimpi? Seumur hidupnya, ia tidak pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa pria itu merindukannya. Atau bahkan merasa kehilangan karena kepergiannya ke Paris. Selama delapan tahun, ia seperti berlayar di tengah samudera tak tahu arah, terombang-ambing tanpa adanya bantuan, memasrahkan hidupnya kepada angin dan ombak yang menopang perahunya.

Ia bersyukur ia tidak pernah menyerah untuk mengayuh perahunya dengan sekuat tenaga, membawa dirinya berlabuh di salah satu pesisir pantai dengan usaha yang luar biasa. Gregory bersyukur, selama hidupnya yang monoton dan penuh dengan ketidakjelasan, ia tidak pernah berhenti berdoa dan memohon agar Tuhan memberikannya jalan yang terbaik.

Gregory bersyukur dan merasa bangga terhadap dirinya sendiri bahwa ia sudah sampai dititik ini.

Seketika pertahanannya hancur. Gregory merasa dadanya sesak

“Ayah dan Ibu minta maaf ya, Nak. Kami minta maaf sekali,”

Semua pertanyaan yang ada didalam kepalanya rasanya menghilang seperti ditiup angin dan Gregory membiarkannya.

You don't have to forgive in order to heal.

Mendengar kedua orang tuanya menangis dan mengucapkan kata maaf berulang kali, sejak delapan tahun lalu dengan sepihak membiarkan dirinya sendirian di Paris untuk memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup.

Gregory lantas menyadari bahwa ia hanya menginginkan orang tuanya menyadari bahwa keduanya salah, kata “maaf”, dan bagaimana keduanya menyampaikan bahwa mereka bangga dengannya.

Ternyata selama ini... hanya itu yang ingin ia dengar dengan telinganya sendiri.

“Apa... Grego sudah punya kekasih di Paris?”

“Sudah, dia seorang konduktor orkestra,” jawabnya mantap, merasa bangga dan senang mendengar pertanyaan itu. Ia merindukan Vincent. “Orang Indonesia juga.”

“Anaknya baik?”

“Sangat.”

“Mapan?”

Gregory mengulum senyumnya, tidak ingin serta merta melupakan kenyataan bahwa kedua orang tuanya selalu berorientasi dengan uang. Mungkin pertanyaan itu adalah hal yang biasa, namun ia merasa risih mendengarnya. “Jauh lebih mapan dari Grego. Sangat. Tapi Grego tidak peduli. Toh, uang bisa dicari lagi. Kebahagiaan dan kesempatan yang tidak akan datang dua kali.”

“Siapa namanya?”

“Vincentius.”

Keduanya mengangguk tanpa suara. Gregory lantas mengernyit, tidak ingin mendengar komentar apapun dari mereka. Seingatnya, sejak dulu orang tuanya selalu mendukung keputusan hidupnya. Gregory bersyukur setidaknya kedua orang tuanya masih menghargai privasi dan keinginannya dalam hal itu. Mungkin ia akan benar-benar gila jika keduanya pun mengambil hak bebasnya untuk mencintai siapapun.

“Ada apa, Yah?”

“Tidak. Ayah hanya senang kamu sudah menemukan seseorang yang bisa menjaga hatimu dan menyayangimu. Karena kami berdua tidak mampu melakukan itu. Maaf, Nak.”

Yeah, I'm lucky to have him though,”

Do whatever makes you happy, then. Ayah bangga dengan kamu, mampu bertahan hingga saat ini walaupun harus berjuang sendirian selama bertahun-tahun.”

“Grego bingung,” “Ayah dan Ibu mau ada acara? Kok, semua barang tidak ada?”

“Kami... mau jual rumah ini, Nak.” “Tenang, semua barangmu aman. Pamanmu sudah bersedia mengirim semuanya ke Paris akhir bulan ini.”

Menjual rumah ini? Apakah hal itu beliau berdua lakukan karena ingin membayar hutang yang melilit mereka selama bertahun-tahun? Gregory bahkan tidak tahu apa sebenarnya “hutang” itu.

“Ayah dan Ibu akan pindah ke Jogja, Grego.” “Kami sudah kontrak rumah.”

Kali ini ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. “Apa?” Ia setengah berteriak, entah karena luapan emosi atau heran dengan alasan dibalik ini semua.

“Ya... Ayah kira kamu pulang ke Jakarta karena dengar kabar bahwa kami mau menghabiskan sisa hari tua di Jogja?”

Asing.

Begitulah yang Gregory rasakan saat ia mendengar seorang pramugari mengucapkan terima kasih padanya. Wanita itu berdiri tepat di ambang pintu bagian tengah pesawat, menyapanya sambil melempar senyum. Ia lantas membalas sapaan wanita itu dan akhirnya melangkah keluar, menginjakkan kedua kakinya diatas garbarata, menandakan bahwa dirinya sudah resmi sampai di Indonesia.

Sekujur tubuhnya terasa sangat pegal akibat duduk dengan posisi yang kurang nyaman hampir dua puluh empat jam, dengan ruang kaki yang tidak begitu luas—well, ia bukan Thomas yang mampu mengeluarkan uang cukup banyak untuk membeli tiket kelas bisnis dengan rute Jakarta-Paris-Jakarta. Gregory hanya ingin melanjutkan tidurnya.

Andai saja ia dapat menumpang salah satu buggy car untuk mempersingkat waktu dan menghemat tenaga, namun ia urungkan. Ia masih ingin mengamati setiap sudut gedung yang terasa asing untuknya ini, yang jujur saja, membuatnya terpukau.

Gregory sempat merasa norak dan lantas menggelengkan kepalanya. Hell, delapan tahun meninggalkan Jakarta membuatnya benar-benar ketinggalan berita atau bahkan perkembangan tanah kelahirannya ini.

Ah. Tidak. Ia memang tidak ingin tahu apapun dengan menutup segala akses yang memungkinkan dirinya mengetahui informasi yang ada secara cuma-cuma. Sungguh, Gregory tidak menyangka dirinya sudah kembali ke Jakarta, kota kelahirannya yang menyimpan banyak kenangan pahit dan manis.

Ia menarik kopernya, mengikuti arus para penumpang yang berjalan keluar dari garbarata menuju gedung utama Terminal 3, menganggap bahwa orang-orang yang sedang berjalan di depannya memiliki tujuan yang sama dengannya, yaitu ke area imigrasi—bukan hendak melakukan perjalanan ke tujuan selanjutnya dengan menggunakan pesawat atau bahkan maskapai yang baru.

Cuaca pagi ini sangat panas, terasa dari betapa teriknya sinar matahari yang menembus kaca gedung itu, membuatnya perlahan merasa kegerahan. Sepertinya cuaca di Jakarta tidak jauh berbeda dengan Paris—ya, ia sempat mengecek ponselnya untuk melihat ramalan cuaca hari ini—namun kelembabannya, demi Tuhan, hal inilah yang tidak pernah Gregory rindukan dari Jakarta.

Jarak yang harus ditempuh olehnya hingga sampai pada area imigrasi sepertinya begitu jauh. Keinginannya untuk menumpang salah satu buggy car semakin kuat, namun sedari tadi ia tidak melihat kendaraan itu berlalu-lalang. Rasa lapar pun mulai menyerangnya sejak ia masih berada di pesawat. Makanan yang dibelinya saat transit di bandara Changi tidak membuatnya kenyang, maka ia memutuskan untuk mengajak Thomas mampir ke salah satu restoran padang langganannya saat masih tinggal di Jakarta beberapa tahun silam.

Ia benar-benar merindukannya, ingin merangsang kembali indra perasanya dengan makanan Indonesia setelah sekian lama terbiasa dengan makanan Eropa.

Walaupun masakan khas Indonesia terlezat dan sempurna yang pernah ia rasakan adalah masakan buatan Sebastian dan Tobias. Menurutnya, teman satu apartemen Vincent itu adalah duo maut yang mampu mempengaruhinya untuk memberikan predikat terbaik untuk masakan Indonesia di Paris.

Mengingat hal itu membuatnya rindu dengan kekasihnya dan teman-temannya yang mungkin masih tertidur di kota Paris.

Saat Gregory menyusuri lorong panjang yang tak berujung itu, ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya, merasa asing sekaligus lega berada di antara orang-orang yang menggunakan bahasa ibunya dengan logat yang khas. Sejenak hatinya terketuk, seperti ada suara yang berbisik bahwa tidak ada salahnya menyimpan rindu pada tanah kelahiranmu, sebesar apapun kau menaruh benci padanya.

Ia melangkahkan kakinya dengan sangat lambat; rasa penasaran, kantuk dan lapar yang menggerayangi tubuhnya melebur jadi satu. Ia tidak sadar bahwa dirinya sudah sampai di area imigrasi, terlihat begitu banyak orang yang sedang berbaris untuk melewati lapisan terakhir hingga akhirnya para penumpang keluar dari bandara. Ia lantas mengambil ponselnya dari saku jaket yang dikenakannya, mengabari Thomas bahwa ia sebentar lagi akan melewati area itu untuk mengambil kopernya.

Gregory lantas melangkah ke arah sisi paling kiri untuk memindai sampul buku paspornya dan melewati gate yang otomatis akan terbuka, tidak perlu menghabiskan waktu dengan mengantre dan memindai sidik jari seperti penumpang lainnya. Setelah itu, ia berbelok ke kiri, mengikuti penunjuk arah untuk melihat tempat di mana pengambilan bagasi, sambil berharap dalam hati agar ia tidak menghabiskan waktu yang lama untuk mengambil kopernya.

Ia menunggu sekitar lima belas menit sampai akhirnya menemukan koper hitamnya, lalu bergegas mengambil sebuah troli untuk meletakkan barang bawaannya dan keluar dari ruangan yang sungguh, semakin lama semakin membuat tubuhnya kegerahan dan berkeringat.

Saat Gregory akhirnya keluar, ia langsung mengenali sosok Thomas dari kejauhan. Pria itu tengah berdiri dengan beberapa orang lain yang menunggu para penumpang keluar dari ruang kedatangan. Sahabatnya itu memiliki postur tubuh yang tinggi. Gregory tidak kesulitan mengenali pria yang sudah menjadi salah satu orang yang penting dalam hidupnya sejak keduanya menempuh pendidikan di jenjang kuliah.

Ia belum sempat memanggil Thomas saat pria itu menyadari keberadaannya. “Gre!” Pria itu berteriak memanggil namanya sambil melambaikan tangan bersemangat, membuat beberapa orang di sampingnya menoleh keheranan. Thomas seringkali memang tidak tahu malu, membuatnya lantas terkekeh dan membalas lambaian tangan pria sebayanya itu.

Thomas sedikit berlari ke arahnya dengan merentangkan kedua tangannya, mengundangnya untuk memeluknya. Ia hanya tertawa, lalu mendorong troli yang cukup berat ke arah sahabatnya itu.

“Nyet.” Gregory menyapa pria itu dengan ceria lalu memeluknya. Thomas terdengar menggeram sambil mengeratkan pelukannya, membuat sekujur tubuhnya yang nyeri semakin sakit. Namun tidak sebanding dengan rasa bahagia saat akhirnya bertemu kembali dengan sahabatnya itu. “Thanks sudah mau jemput gue di Bandara. Maaf gue merepotkan lo.”

Pria itu menggeleng lalu mengambil salah satu koper untuk dibawanya. Gregory lantas mengikuti dan mengambil kopernya yang lain, menyadari adanya tanda batas troli berada di samping tempatnya berdiri. “Santai, Gre, 'kan gue sudah mengajukan cuti selama dua minggu. It's fine. Kayak baru kenal saja sih lo,” ujarnya sambil mendengus. Thomas terlihat merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci mobil. “Yuk, mobil gue parkir tidak jauh dari sini.”

Ia menggumam, berjalan bersisian dengan sahabatnya itu sambil menarik kopernya yang berukuran besar dan agak berat. Saat mereka keluar dari ruangan ber-AC itu, seketika udara panas menerpa wajahnya, terasa sangat gersang seperti berada di tengah gurun pasir.

Ia berdecak dan memutar kedua bola matanya saat Thomas menertawainya.

Damn man, it's so hot in here. Nanti gue ganti kaus dulu ya, Thom di dalam mobil. Gue tidak akan tahan kalau harus pakai jaket seperti ini. Apalagi gue terakhir mandi kemarin pagi,” katanya santai, membuat Thomas hanya bergidik jijik. Gregory lantas mengacungkan jari tengah ke arah pria itu dan keduanya tertawa.

Beruntung ia sempat pergi ke toilet untuk mencuci muka dan menggosok giginya saat di pesawat, tidak ingin membuat orang lain terganggu saat ia berbicara—well, it's one of his pet peeves, for your information.

Setelah mengganti kaus dan menaruhnya pada jok belakang mobil, Thomaslalu mengemudikan mobilnya keluar dari gedung parkir Terminal 3. Sahabatnya itu menyetel pendingin ruangan mobil dengan suhu paling rendah. Jakarta sedang panas, katanya.

“Besok, rencana lo ingin ke mana saja, Gre?” Thomas bertanya sambil melirik ke arahnya sekilas. Hari ini, lalu lintas terlihat lengang, tidak seramai yang sempat sahabatnya itu katakan. “By the way, you will use this car, though. Gue bisa pulang naik taksi ke rumah, dan hanya sepuluh menit juga, 'kan, dari hotel lo menginap,” ujar pria itu santai sambil tetap fokus pada jalanan.

Gregory terbelalak, menoleh ke arah Thomas sambil menganga. Ia bahkan sendirian dengan barang bawaannya yang pasti tidak akan disimpan dalam mobil. Mengapa sahabatnya itu meminjamkan mobil seluas ini?

Maka ia lantas melayangkan protes pada pria itu. “Gila lo, nyet. Untuk apa mobil seluas ini, Thom? Gue, 'kan, hanya sendiri?”

Sahabatnya itu hanya berdecak sambil menoleh ke arahnya dan tersenyum kikuk. “Mobil sedan gue yang dulu kita sering kita pakai zaman masih kuliah, lo ingat?” Gregory lantas mengangguk, mengingat dengan jelas sedan tua milik sahabatnya yang dijuluki “si butut”—saksi bisu persahabatan mereka semasa kuliah; bagaimana keduanya bergantian mengendarai mobil itu dari Jakarta-Bandung-Jakarta dan mengalami mogok hingga tiga kali; bagaimana mobil itu pun menjadi saksi luapan emosinya saat ia mendengar kabar bahwa kedua orang tuanya akan menerbangkannya ke Paris. “Akhirnya gue jual, Gre, si butut.”

Mendengar berita yang cukup mencengangkan untuknya itu membuatnya lantas sedikit berteriak. “Hah?!” Suatu keajaiban yang luar biasa bahwa Thomas akhirnya merelakan mobil kesayangannya sejak sepuluh tahun lalu dan memutuskan untuk menjualnya. Ia seringkali mendengar sahabatnya itu mengeluh karena dipaksa oleh orang tuanya—Tante Ayu dan Oom Indra, yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri.

Finally, man. But why?”

Sahabatnya itu tertawa saat melihat dan mendengar responnya. “Bosan saja. Lagipula, rencana gue memang begitu, setelah beli mobil baru, gue akan jual si butut. Lumayan lah, lakunya juga ke orang yang paham mobil, jadi gue tidak begitu menyesal,” ujarnya sambil melirik ke arah kiri dan menyalakan lampu sein untuk berpindah lajur. “My dear friend's brother, the one who bought it. Ah, Gre gue harus mengenalkan lo dengan teman gue itu! Namanya Edmund.”

Thomas berkata dengan sangat bersemangat, pria itu bahkan mengacungkan ibu jarinya di depan wajahnya, membuatnya lantas mengernyitkan dahi. Ia bahkan belum genap satu hari tiba di Jakarta, namun Thomas sepertinya sudah mengatur jadwal sedemikian rupa untuknya selama beberapa hari kedepan.

Gregory hanya mendengus. “Damn. Teman apalagi, Thom? What kind of friend this time?” Tanyanya pada Thomas dengan nada jahil.

“Brengsek,” sahut pria itu kesal lalu tertawa. “Kenal karena dia juga model, jam terbang dia sama dengan gue. Tapi kami berdua beda agensi,” jelasnya singkat.

Gregory hanya menanggapi dengan menggumam, mencoba mencerna kata-kata sahabatnya yang suaranya semakin lama terdengar semakin pelan. Jujur saja, ia sudah mengantuk dan butuh tidur. Namun sedari tadi seperti ada yang memukul dari dalam perutnya dan berteriak 'ingin nasi padang secepatnya!'

Thomas lalu menoleh ke arahnya dan menggeleng cepat. “Man, no need to worry. He's a good person, won't cause any trouble and inconvenience for you,” kata sahabatnya itu menyambung lagi, seperti sedang membaca pikirannya.

Sial. Apa kau ingat tentang ucapan Gregory bahwa sahabatnya itu selalu mampu membaca pikirannya?

Ia tertawa, tak bisa menahan dirinya untuk tidak menguap. “Glad to know, Thom,” katanya sambil meregangkan kedua tangannya dan menyentuh atap mobil Thomas yang keras. “It's okay, looking forward to it.”

Yes! Alright! Obrolan lo dan dia pasti akan nyambung, lumayan menambah teman di Jakarta, Gre,” timpalnya.

Gregory menggumam, kedua matanya terasa semakin berat, seperti ada yang sedang bergelayut disana. Sekilas ia melihat gedung Mall Taman Anggrek yang masih berdiri kokoh di sebelah kiri, tempat pusat perbelanjaan yang tidak berubah sedikitpun sejak delapan tahun lalu ia pergi dari Jakarta, sebelum akhirnya bersandar dan mencari posisi yang nyaman untuk tubuhnya.

Ia menguap lagi, kali ini ia sungguh ingin tidur. Kepalanya terasa pusing. “Thom,” bisiknya pada pria itu sambil memejamkan matanya. “Ini... masih jauh atau tidak? Gue ingin tidur sebentar.”

Thomas lantas menjawab pertanyaannya, samar-samar terdengar tumpang tindih dengan suara mesin mobil yang ia tumpangi. “Masih jauh, sepertinya nanti akan sedikit macet di Sudirman. Lo tidur saja, Gre, I'll wake you up.”

Ia terkekeh saat mendengar kata “macet”, mengucapkan terima kasih kemudian sebelum akhirnya membiarkan rasa kantuk menariknya lebih dalam.

Welcome to Jakarta, Gregory, batinnya dalam hati.


Garbarata: jembatan yang berdinding dan beratap yang menghubungkan ruang tunggu penumpang ke pintu pesawat terbang untuk memudahkan penumpang masuk ke dalam dan keluar dari pesawat (biasanya bahasa tidak bakunya: Belalai)

Buggy car: biasanya bentuknya seperti golf caddy car

Setelah Gregory menaruh kopernya yang cukup besar pada check-in counter salah satu maskapai penerbangan asing yang akan membawanya terbang ke Jakarta, ia dan Vincent lantas memutuskan untuk mampir ke salah satu restoran untuk mengisi perut mereka. Keduanya sudah merasa lapar karena pagi tadi, mereka hanya menyantap setangkup roti panggang seadanya sebelum akhirnya berangkat menuju bandara.

Ini adalah pertama kalinya Gregory menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle (CDG) untuk terbang ke luar dari kota Paris. Sebelumnya, ia mengunjungi tempat ini hanya untuk menjemput Thomas beberapa bulan yang lalu. Selain itu, tidak pernah sama sekali, sejak delapan tahun yang lalu ia berada di ruang kedatangan dengan muka pucat sehabis memuntahkan seluruh isi perutnya.

Sejak delapan tahun lalu kedua orang tuanya membiarkan dirinya berkelana sendirian di kota Paris.

Ia lantas menggelengkan kepalanya, tidak ingin memikirkan memori buruk yang sudah lama tidak muncul ke permukaan, berusaha fokus untuk mencari restoran yang tersedia di public area Terminal 2E bandara ini.

Matanya menangkap tiga nama restoran pada papan penunjuk, dan satu-satunya yang familiar untuknya—dan cocok untuk lidahnya, tentunya—adalah restoran cepat saji yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Vincent yang jarang sekali mengonsumsi junkfood—kecuali Shiso Burger—pun hanya menurut, lalu menggandeng tangannya sambil melangkah masuk ke restoran.

Keduanya hanya menunggu selama lima menit saat mengantre, beruntung restoran sedang tidak terlalu ramai oleh pengunjung. Mereka akhirnya memesan dua paket burger dan kentang, lengkap dengan dua gelas minuman bersoda. Gregory lalu menyeret koper kecilnya yang berisi sebuah laptop, kamera, dan beberapa kabel charger miliknya yang akan disimpan dalam kabin pesawat ke arah meja yang kosong. Sedang Vincent berjalan mengekor dibelakangnya dengan membawa baki pesanan mereka.

Sejak tadi, Gregory berulang kali mengecek penunjuk jam pada layar ponselnya, menyadari bahwa ia hanya memiliki sisa waktu satu jam untuk mengobrol dengan Vincent sebelum akhirnya masuk ke ruang keberangkatan. Dan sejak keduanya tadi memasuki public area dan berjalan menuju check-in counter, Vincent lebih banyak diam. Pria itu memilih untuk “berbicara” lewat gestur yang membuatnya hatinya seketika menghangat; menggandeng tangannya begitu erat, memeluk tubuhnya dari belakang dan menyandarkan wajahnya pada pelipisnya saat keduanya tengah mengantre untuk menaruh koper miliknya.

Vincent tidak menghiraukan lirikan beberapa calon penumpang—sepertinya akan terbang satu pesawat dengannya dengan tujuan yang sama—yang tertuju pada mereka, membuatnya hanya menggelengkan kepala sambil mengulum senyumnya. Pelukan kekasihnya itu terasa berbeda dari biasanya. Kali ini pria itu memeluknya dengan sangat erat, seperti takut jika Gregory tiba-tiba akan hilang dari dekapannya dan tidak akan kembali.

Raut wajah Vincent pun tak terbaca, membuatnya kerap kali melirik ke arah pria itu sambil mengernyitkan dahi saat mereka bertemu mata. Manik hazel kekasihnya menatap mata bulatnya bergantian, seperti sedang mencari jawaban dan “kepastian” untuk dirinya sendiri. Gregory hanya dapat memberi “jawaban” lewat genggaman tangannya, ia berharap setidaknya gestur itu dapat menenangkan Vincent sejenak dari apapun yang sedang pria itu pikirkan.

Namun hingga akhirnya mereka duduk berhadapan saat ini pun, Vincent masih menatapnya, seperti ingin menyampaikan sesuatu padanya. Maka Gregory memberi pria itu waktu dengan menyantap burgernya sambil menunduk dan memperhatikan layar ponselnya, berharap kekasihnya itu pun menyantap makanannya juga, atau mungkin akan berbicara padanya nanti.

Beberapa menit berlalu, ia sekilas menangkap dengan ekor matanya, pria itu sedang termangu di hadapannya, menopang dagunya dengan telapak tangannya, tanpa menyentuh makanannya sama sekali.

Gregory lantas mendongak, bertemu mata dengan kekasihnya itu sambil tersenyum. Baiklah, jika Vincent tidak akan berbicara, Gregory yang akan berinisiatif untuk memecah keheningan diantara mereka.

Maka ia menelan makanannya lalu bertanya pada Vincent setelah meneguk minuman bersoda yang dipesannya tadi. “Vin, kok tidak dimakan? You really don't like it, do you?” Ia bertanya pada pria itu sambil menunjuk ke arah makanannya yang masih utuh.

Kekasihnya itu hanya berdecak lalu menggelengkan kepalanya tanpa suara. Pria itu hanya menghela napas panjang dan melipat kedua tangannya diatas meja, matanya menatap ke arah burger dan kentang di hadapannya yang masih utuh itu. “No, it's just...”

Gregory menyambung kalimat pria itu sambil mengernyit. “It's just...?”

Vincent seperti kesulitan mengutarakan isi hatinya saat ini, sangat kontras bila dibandingkan dengan saat mereka berdua menginap di Shangri-La hotel pada hari ulang tahunnya. Oh Tuhan, mereka bahkan tidak bisa berhenti membicarakan momen itu saat keduanya tiba di apartemen kekasihnya.

Vincent lalu mengangkat kepalanya dan menatap kedua matanya lekat. Pria itu tersenyum simpul sambil memiringkan kepalanya. “I'm going to miss you so much, Gregory,” ujarnya lirih, lalu menghela napas berat kemudian.

Oh.

Mendengar kekasihnya berkata demikian, Gregory lantas terkekeh. Ia membersihkan tangannya dengan tisu basah yang dibawanya, lalu menjulurkan tangannya dan meraih tangan Vincent. Kekasihnya itu dengan sigap menegakkan tubuhnya dan menggenggamnya dengan kedua tangannya.

“Aku juga pasti akan kangen kamu saat di Jakarta,” timpalnya sambil mengulas senyum. Vincent terlihat murung. Gregory tidak mungkin melewatkan kerutan pada dahi kekasihnya yang semakin lama terlihat semakin dalam itu.

Don't worry, Vin. I won't be long,” jawabnya asal, tidak menyadari bahwa dirinya sedikit berbohong.

Ia bahkan belum merencanakan kapan akan kembali ke Paris. Entah seminggu kedepan, atau bahkan sebulan kedepan. Gregory hanya membeli tiket satu arah dan ia belum mau memberitahu Vincent kapan ia akan kembali.

Namun ia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu lama. Alex, pemilik bar tempatnya bekerja hanya memberikan waktu selama dua minggu untuk mengambil cuti.

Ini adalah kedua kalinya mereka dipisahkan oleh jarak. Yang pertama adalah saat keduanya memutuskan untuk break beberapa waktu lalu. Namun saat itu, Gregory tidak merasa khawatir berlebihan, karena toh, mereka masih tinggal di kota yang sama. Sedangkan sekarang, mereka harus berpisah sejauh 14,424 km, dengan dirinya yang berada di benua yang berbeda dan waktu yang lebih cepat enam jam dari Paris.

Gregory belum pernah menjalin hubungan jarak jauh, apalagi ini adalah kali pertama Vincent menjalin hubungan serius dengan seseorang selama hidupnya.

Ia tidak ingin memberi “janji palsu” pada Vincent, pun tidak ingin merasa terbebani dengan janjinya pada pria itu.

Semua ini Gregory lakukan demi kebaikannya sendiri.

Mungkin saja, ia akan pulang lebih cepat dari perkiraannya, 'kan?

Ia belum memberitahu Vincent bahwa beberapa hari lalu, ia sempat merenungkan kembali keinginannya untuk terbang ke Jakarta, sesaat setelah Vincent membuat hatinya mencelos dan kepalanya berputar. Ia tidak bisa menahan air matanya yang sudah menggenang saat kekasihnya itu mengejutkannya dengan memberi sebuah gelang emas berwarna keemasan padanya sebagai hadiah ulang tahunnya.

Dan yang lebih membuatnya menangis meraung-raung, adalah saat Vincent meminta pada dirinya untuk tinggal bersama. Setelah sekian lama, kekasihnya itu akhirnya mengajaknya untuk tinggal bersama. Ia merasa seperti semua masalah dan keraguan masa lalunya dengan hubungan mereka dan dirinya sendiri perlahan runtuh.

Gregory pun bersyukur, mungkin jalan cerita cinta mereka akan berbeda jika Vincent menanyakan hal yang sama beberapa bulan lalu, saat keduanya masih diikat kesalahpahaman dan masalah yang selalu menghambat komunikasi dan kelancaran hubungan mereka.

Menurutnya, Tuhan pasti akan memberikan waktu yang terbaik untuk mereka berdua.

Saat Vincent tengah mengurus check-out hotel dengan Mathias dua hari lalu, kejutan dan kado istimewa yang diberikan oleh Vincent di hari istimewanya lantas membuatnya berpikir. Apa yang sebenarnya akan Gregory lakukan di Jakarta? Apakah ia hanya akan pulang ke rumahnya dan memperhatikan dari kejauhan? Ataukah ia akan mengetuk pintu rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya yang bahkan ia sama sekali tidak tahu bagaimana kabarnya lalu pergi? Ataukah ia akan mengkonfrontasi beliau berdua dan menumpahkan seluruh isi hatinya selama delapan tahun belakangan dan meminta penjelasan?

Pertanyaan demi pertanyaan sempat bermunculan dalam kepalanya, membuatnya bingung dan merasa terjebak dalam pikirannya sendiri. Bahkan ia sudah menjelaskan pada Vincent panjang lebar lewat surel yang dikirim olehnya bahwa, ya, tidak semua hal dapat diperbaiki! Dan ia tidak perlu memaafkan kedua orang tuanya yang bahkan mungkin, tidak menyadari bahwa selama delapan tahun ini adalah sebuah keanehan atau keputusan yang salah.

Namun tidak, Gregory tidak akan menyerah sampai ia mendapatkan semua jawaban atas benang kusut yang selama ini terputus. Ia ingin memuaskan dirinya sendiri, berusaha ingin membuktikan beberapa hipotesis yang selama ini ia simpan rapat-rapat dalam hatinya.

Gregory kembali pada realita saat merasakan genggaman yang begitu erat pada tangannya. Maka sepasang matanya kembali menatap Vincent yang tengah menggelengkan kepalanya, kali ini lebih mantap. Sorot matanya terlihat tajam, tak sesendu beberapa menit lalu. “No, take your time as long as you need, okay, baby?” Kekasihnya itu berbicara dengan nada tegas. “I just have to get used to it. Not having you in my arms, to hug or even kiss you for a week, maybe more, you know.

Paris will be so boring without you.”

Kalimat Vincent yang sederhana seperti itu saja mampu melunturkan seluruh pikirannya, seperti ombak yang dengan kuat menghancurkan istana pasir di pesisir pantai. Gregory hanya memutar kedua bola matanya malas sambil mendengus, lalu menjulurkan tangannya untuk membetulkan letak kacamata Vincent yang terlihat sedikit turun. “Cheesy! Tapi, ya, menurutku, hitung-hitung mencoba untuk terbiasa kalau harus long distance relationship. Ya 'kan Vin?”

Ia merasakan sekujur tubuh Vincent menegang, pun genggaman tangannya yang terasa lebih kencang. Pria itu mengernyitkan dahi sambil memiringkan kepalanya. Rahangnya terlihat mengeras. “Memangnya kamu mau pergi ke mana, Gregory? Kok harus long distance relationship?”

Gregory bahkan tidak sadar kalimatnya barusan akan membuat kekasihnya itu salah paham dengan maksudnya.

Rasanya ia ingin memukul dahinya sendiri.

What if, Vin sayang.” Gregory menjawab sekenanya sambil tertawa kikuk, tidak ingin membuat Vincent berpikiran macam-macam. Ia melanjutkan kalimatnya lagi, kali ini dengan tulus dan tanpa ada maksud yang terselubung. “I'm not going anywhere after this. Okay?”

Raut wajah Vincent berubah, perlahan pria itu meyunggingkan senyumnya lebar. “Oh,” ujarnya sambil mendengus dan menggelengkan kepala. “Thought you wanted to go somewhere and left me behind.”

Ia tidak akan pernah meninggalkan Vincent. Hanya pria itu satu-satunya orang yang inginkan sebagai pelabuhan terakhir hatinya.

Vincent is the only one that can be his last baton of his life.

Gregory tidak akan pernah pergi dari “rumah”nya.

Ia menggeleng pelan. “I won't do that, ever,” sanggahnya cepat. “You're too much.”

Vincent mengangguk sambil tertawa. “Yet you love me, Beau,” balasnya sambil menatap kedua matanya lekat.

Ia benar-benar akan merindukan Vincent selama dirinya berada di Jakarta. Hanya pria itu yang mampu membuatnya nyaman dan merasa aman hanya dengan sorot matanya, hangat napasnya, dan sentuhan cinta pada kulitnya.

Hanya Vincent.

Gregory lantas menjawab dengan mantap sambil mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya.

Ia mencium bibir pria itu dan berbisik tanpa ragu. “Yet I love you so much, Vincent. Yes.”


“Sudah? Kamu tidak masuk? Ini sudah jam setengah sebelas, Gregory. Kamu harus melewati beberapa lapis keamanan di dalam, 'kan?”

Vincent bertanya padanya saat mereka tengah berdiri bersisian dekat pintu keberangkatan. Waktu telah menunjukkan pukul setengah sebelas siang dan Gregory harus melewati security check-in, bahkan bagian imigrasi yang antreannya pasti akan mengular.

Ia menangkap dengan mata bulatnya, terlihat banyak calon penumpang pesawat yang sedang berbaris rapi untuk masuk ke ruangan selanjutnya, membuatnya mual dan enggan untuk melangkahkan kaki dan menjauh dari kekasihnya.

Gregory hanya mengangguk dan menggumam. Ia benar-benar tidak mau pulang. Ia masih ingin memeluk Vincent dan merasakan hangat tubuh pria itu pada tubuhnya. Beruntung ia membawa beberapa pakaian Vincent yang disimpan dalam kopernya, dan kekasihnya itu tidak melarangnya sama sekali.

I don't want to go,” katanya lirih sambil menaruh dagunya pada bahu Vincent, menggunakan sisa waktu yang ada untuk menghirup aroma tubuh pria itu kuat-kuat dan menyimpannya didalam paru-parunya. “I still want to talk to you and hug you,” bisiknya sambil menyentuh pipi Vincent yang dingin dengan bibirnya.

Seketika Vincent merengkuh tubuhnya, menggunakan tangan kirinya untuk mengusap punggungnya pelan. “Alright, let's hug for five minutes, Gregory. How does that sound?” Pria itu berbisik ditelinganya, lalu mengecup puncak kepalanya.

Kini kedua tangan Vincent memeluk tubuhnya erat, membuatnya lantas melepas tas ransel yang sedang dibawanya untuk membalas pelukan pria itu. Gregory mengalungkan kedua tangannya pada leher Vincent dan membenamkan wajahnya pada ceruk leher kekasihnya.

Ia menghirup aroma tubuh Vincent, mencoba membuka rongga dadanya selebar mungkin, sambil merasakan hangat napas pria itu pada pipinya.

Gregory sungguh ingin membatalkan rencananya untuk pulang ke Jakarta.

Don't let me go, Vin,” bisiknya sambil mengeratkan pelukannya. Ia tidak sanggup memikirkan apa yang harus ia lakukan selama mereka berpisah. Apa yang harus ia lakukan jika ia merindukan pelukan Vincent?

Gregory bahkan membawa serta recorder berwarna abu gelap, pemberian kekasihnya itu. Walaupun ia tahu, benda itu tidak akan cukup untuk mengobati rasa rindunya.

Ia hanya tersenyum getir saat mendengar Vincent tertawa sambil mengusap belakang kepalanya. “Never in a million years, sayang.”

Keduanya berdiri tak jauh dari pintu keberangkatan sambil berpelukan, tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulut mereka. Ia dan Vincent menikmati waktu, memanfaatkan kesempatan yang tersisa untuk mentransfer energi dan hangat tubuh masing-masing.

Gregory samar-samar mendengar suara orang berlalu lalang dan mengobrol, pun suara seorang wanita sedang mengumumkan jadwal keberangkatan dan panggilan terakhir untuk penumpang maskapai penerbangan lainnya dari pengeras suara.

Namun ia menghiraukannya, berharap dalam hati agar Tuhan memperlambat waktu yang semakin menipis.

Mesdames et messieurs, votre attention s'il vous plaît. Ceci est le tout dernier appel avant la fermeture des portes du vol Singapore Airlines...

Vincent lantas melepas pelukannya saat ia mendengar pengumuman dari pengeras suara, bahwa penumpang yang akan terbang ke Singapura dengan maskapai penerbangan yang sama dengan pilihannya diminta untuk segera naik ke pesawat. Itu adalah tanda bagi Gregory untuk segera masuk dan melewati konter imigrasi, karena ia akan terbang ke Jakarta satu jam setelah pesawat dengan tujuan ke negara tetangga Indonesia itu lepas landas.

Ia hanya bisa menghela napas kasar dan menatap manik hazel yang akan sangat ia rindukan itu.

Take care, my love. I'm going to miss you so much,” bisik Vincent sambil mencium dahinya dua kali, lalu menggerakkan bibirnya turun untuk mencium kedua matanya yang terpejam. Pria itu lalu mengecup hidungnya dan kedua pipinya, hingga akhirnya pria itu berbisik tepat dibibirnya.

Vincent terdengar menghela napas panjang. “I love you, so much. Have a safe flight, okay, Gregory?”

Gregory memagut bibir kekasihnya lebih lama sampai ia merasa puas dan cukup untuk membawanya hingga ke Jakarta. “Thanks, Vin sayang. Kamu jangan kecapekan latihan, ya? Makan yang teratur. Jangan sampai sakit. Take care,” bisiknya sebelum menyudahi ciuman mereka. “I love you so much.”

Vincent mengangguk, lalu merengkuh tubuhnya lagi sebagai pelukan terakhir. Ia tersenyum sambil mengusap punggung kekasihnya itu. “Kabari aku kalau sudah naik pesawat. Ya?”

Ia mengacungkan ibu jarinya, sambil tangannya mengangkat tas ranselnya untuk diletakkan diatas koper kecil miliknya. Ia lalu melirik ke arah pintu masuk keberangkatan yang terlihat sepi.

Gregory lalu menghela napas panjang dan kembali menatap kedua mata Vincent yang teduh.

“Aku berangkat ya, sayang? Tidak perlu menunggu sampai aku take off,” katanya lalu menjulurkan tangannya dan menangkup wajah Vincent yang terlihat murung.

Pria itu hanya menggeleng. “I want to.”

Gregory menggeram. Vincent dengan egonya, tidak bisa diganggu gugat.

Akhirnya ia menyerah. “Ya sudah, oke,” katanya sambil mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Vincent untuk terakhir kali. “Nanti aku kabari ya, Vin,” ujarnya lagi lalu tertawa, kala Vincent menahan belakang kepalanya untuk membalas ciumannya.

Ia lalu menarik wajahnya, menempelkan dahinya dengan Vincent sambil merasakan napas yang hangat menyapu bibir dan hidungnya. Pria itu berdeham. “Go. Nanti kamu terlambat, Beau.”

Ia mengangguk dan berdecak. “Alright,” jawabnya tersenyum sambil menarik gagang kopernya.

Gregory akhirnya melangkah ke arah seorang petugas dan menunjukkan tiketnya, lalu memasukkan kopernya dalam mesin x-ray dan melewati walk through metal detector. Ia lalu berterima kasih pada petugas yang berdiri di sana, sebelum akhirnya mengambil kopernya dna membalikkan tubuhnya, melihat Vincent masih berdiri di tempat yang sama.

Ia lantas tersenyum, lalu melambaikan tangan ke arah pria itu dan mengucapkan tiga kata tanpa suara, berharap Vincent dapat membaca gerak bibirnya. “I love you, Vin.”

Dari kejauhan, kekasihnya itu tersenyum lebar, lalu melambaikan tangannya tinggi sambil menggerakkan bibirnya tanpa suara.

Gregory mampu membacanya walaupun ia tidak dapat mendengarnya. “I love you.”

Ia tak menyadari kedua matanya sudah terasa panas. Ia ingin menangis.

Maka dengan cepat ia membalikkan tubuhnya dan melangkah menjauh, tidak ingin Vincent melihat air matanya yang sudah menetes membasahi kedua pipinya.

Here we go, batinnya dalam hati sambil menarik kopernya cepat.

Vincent memulai harinya dengan mengeluh. Sekujur tubuhnya terasa kaku, lehernya pun terasa nyeri saat ia mencoba menggerakkan tubuhnya dibalik selimut. Tenggorokannya terasa kering saat ia berdeham, sepertinya suaranya sebentar lagi akan habis. Mungkin ini akibat dirinya tidak mengubah posisinya selama beberapa jam saat ia dan Gregory bercinta semalam.

Namun seketika semua rasa sakit itu hilang kala kedua telinganya samar-samar menangkap suara dengkuran halus dari pria yang tengah tertidur pulas dalam dekapannya itu. Ia mengingat dengan jelas, semalam Gregory sempat merengek padanya untuk segera beristirahat karena sudah terlalu lelah. Saat itu keduanya baru saja selesai mandi dan akhirnya memutuskan untuk memesan kudapan lewat layanan kamar hotel terlebih dahulu untuk mengisi perut.

Ia mengangkat tangannya, tak bisa menahan senyumnya saat melihat bekas cakaran Gregory menghiasi lengannya. Vincent menghela napas panjang mengingat kegiatan mereka semalam. Ia dan kekasihnya itu begitu larut dalam gairah cinta mereka yang terasa manis dan lengket seperti madu, namun membuatnya ingin melakukannya lagi, lagi, dan lagi.

Semalam setelah Vincent membersihkan tubuhnya dan Gregory, kekasihnya itu lantas tertidur pulas dipelukannya. Keheningan seketika memenuhi seisi ruangan, namun ia tidak bisa tidur. Mesin dalam kepalanya bekerja, memutar kembali memori yang terekam seperti seseorang menorehkan tinta hitam diatas lembar partitur miliknya, meninggalkan bekas hingga menembus bagian belakang lembaran itu.

Vincent memikirkan betapa seks mereka kali ini terasa berbeda dari biasanya. Dan Gregory, oh Tuhan, pria itu benar-benar luar biasa; staminanya tetap terjaga sejak mereka berdua berendam didalam bathtub, hingga akhirnya terkulai dipangkuannya karena lelah bergerak.

Ia lalu meneliti wajah Gregory yang begitu tampan, walaupun rambut pria itu menutup dahi dan sebagian wajahnya yang lelah. Bibir mungilnya terlihat maju, hidung bangirnya sedikit mengkilap. Ia mengulas senyum, mengecup puncak kepala kekasihnya itu sambil menggumam. Jemari tangan kanannya menyisir rambut Gregory dengan hati-hati, tak ingin gerakannya lantas membangunkan pria itu dari tidurnya.

“Aku mencintaimu,” bisiknya lirih sambil membenamkan wajahnya pada puncak kepala Gregory, walaupun pria itu tidak bisa mendengar suaranya karena masih berada dialam mimpi.

Saat Vincent sedang mengecup puncak kepala Gregory, ia merasakan kaki pria itu bergerak, tidak sengaja menyentuh miliknya yang masih terasa sedikit sensitif. Rasa geli menjalar diatas kulitnya, membuat bulu kuduknya meremang, sebelum akhirnya meringis kala merasakan pelukan pada pinggangnya itu mengencang.

Ia lantas tersenyum simpul, menyapa pria itu kemudian sambil mengusap pelan lengannya dengan telapak tangannya yang dingin. Tangan kirinya bergerak naik turun pada punggung kekasihnya itu. “Bonjour, Beau,” bisiknya pelan, khawatir jika pria itu memang sedang mengigau dalam tidurnya.

Gregory terdengar menggeram menanggapi sapaannya, seperti enggan membuka mata untuk bangun dari tidurnya.

What time is it?” Pria itu menggumam dan melenguh, lalu menggerak-gerakkan anggota tubuhnya yang lain dan menumpukan beban tubuhnya diatas tubuh Vincent. Ia terkekeh pelan, mengusap hidungnya dipuncak kepala Gregory sebelum akhirnya melirik ke arah ponselnya yang terletak diatas nakas.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi, mereka berdua masih memiliki kesempatan untuk menikmati fasilitas hotel selama enam jam, sebelum akhirnya check-out dari kamar hotel itu.

Kemarin, Mathias sempat menawarkan jika ia dan Gregory membutuhkan bantuan untuk memperpanjang rencana menginap mereka. Namun ia menolak tawaran pria itu dengan halus, mengingat bahwa kekasihnya ingin membereskan barang-barangnya untuk dibawanya serta ke Jakarta.

Ten in the morning, Gregory,” jawabnya singkat, lalu mendengar kekasihnya itu menghela napas berat. Gregory bergerak, merebahkan tubuhnya yang semula menghadap kearahnya. Pria itu mengusap kedua matanya kasar dengan tangannya sambil menguap lebar.

Kali ini giliran Vincent yang memposisikan tubuhnya menyamping, melipat tangan kirinya dibawah kepalanya dan menyapa kekasihnya itu lagi. “Hey, baby.”

Gregory menggumam lalu menoleh ke arahnya dan tersenyum. Seketika bulu kuduknya meremang saat menatap kedua mata pria itu berbinar. Gregory sedang tersenyum dengan kedua mata bulatnya, mata yang sukses menghipnotisnya sejak pertama kali mereka bertemu mata enam bulan yang lalu.

Vincent lantas menyadari, betapa senyum dan raut wajah itu adalah satu-satunya ekspresi yang ingin menjadi sapaan untuknya dipagi hari dan menjadi pengantar tidurnya dimalam hari. “Hey, yourself. Good morning,” balasnya singkat sambil menjulurkan tangannya untuk menyisir rambut kekasihnya dengan jemarinya.

Pria itu menatap manik hazelnya lekat, lalu menyambung kalimatnya lagi. “Bagaimana tidurmu tadi malam, Vin?”

Ia berdecak sambil menyeringai. Tentu Gregory sudah tahu akan jawaban yang akan ia berikan. “The best so far. How about you?”

Vincent menatap sepasang mata bulat nan indah itu, yang selama beberapa bulan terakhir menjadi “rumah”nya, membuatnya ingin selalu pulang.

Ia begitu mencintai Gregory.

Siapa yang menyangka, berawal dari perkenalan singkat di sebuah restoran akan membawanya hingga saat ini? Gregory mampu membuatnya memiliki keinginan untuk mencintai orang lain, selain dirinya sendiri.

Gregory adalah “orang lain” itu. Gregory adalah seseorang yang tepat untuknya.

It feels amazing, Vin.” Pria itu dengan mantap menanggapi pertanyaannya lalu mencondongkan wajahnya dan mencium bibirnya sekilas, sebelum akhirnya menghadapkan tubuhnya ke arah balkon dan memunggunginya.

This is the perfect time, batinnya.

Vincent merasa ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan kejutan sekaligus kado terakhirnya untuk pria itu. Ia lalu dengan hati-hati membalikkan tubuhnya, menjulurkan tangan kanannya untuk membuka laci teratas nakas yang terletak disebelah kasur mereka itu.

Ia tertawa dalam hati, mengingat kejadian saat pertanyaan yang ia lontarkan pada Gregory tak kunjung mendapat jawaban karena pria itu sudah tertidur pulas semalam.

Ini adalah waktu yang tepat.

Dadanya berdegup kencang saat mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah marun yang dihasi guratan berwarna emas yang mengelilingi bagian luarnya. Vincent tidak membutuhkan waktu lama untuk memilih kado yang pas untuk kekasihnya itu, membuat Timothy hanya merespon dengan memutar kedua bola matanya sekilas, lalu mengacungkan kedua ibu jarinya di udara dan memuji selerana.

Gregory terdengar sedang bersenandung sambil menggerak-gerakkan telapak kakinya. Tubuh indahnya itu masih menghadap ke arah balkon kamar mereka, sinar matahari membuat lekukan tubuh pria itu terlihat sempurna.

Vincent lalu menggeser tubuhnya, menggunakan kesempatan yang ada untuk menjulurkan tangannya dan meletakkan kotak itu tepat didepan dada Gregory.

Sesaat ia mendengar Gregory terkejut. Pria itu dengan cepat membalikkan badannya, mulutnya menganga sambil mengernyitkan dahinya. “Vin, what is this?” Kekasihnya bertanya padanya sambil menunjuk kotak itu, lalu menatap manik hazelnya bergantian.

Vincent tersenyum, dadanya terasa hangat.

Now, bud.

This is my last surprise,” bisiknya ditelinga pria itu sambil mencium pelipisnya yang terasa hangat pada bibirnya. Ia perlahan meraih kotak itu, lalu meletakkannya diatas dada Gregory dan membukanya, memberi pria itu waktu untuk memproses semuanya. “Happy birthday again, mon amour.”

Kedua mata pria itu membulat. Ia terbelalak, menatap gelang berwarna emas merah muda yang berbentuk seperti paku melingkar itu berkilau saat terkena pantulan sinar matahari pagi yang menembus masuk kedalam kamar tidur mereka.

Vincent hanya dapat tertawa kecil saat menyadari reaksi Gregory.

Kekasihnya itu tidak mengatakan satu patah kata pun, maka ia memberanikan diri untuk memulai pembicaraan diantara mereka, ingin mengutarakan apa yang tengah dirasakan pada pria yang begitu dicintainya itu.

“Sayang,” panggilnya sambil mengeluarkan gelang itu dari kotaknya, merasakan tangannya sedikit kaku. Ia sangat gugup, khawatir jika pria itu akan menolak pemberiannya. Ia lalu meraih tangan Gregory yang terlihat masih mematung sambil menatapnya.

This is a promise bracelet, for you. I also bought for myself,” jelasnya sambil mendekatkan wajahnya dan mencium bibir pria itu pelan, kemudian menyambung lagi. “And this is me proposing to you, my love.”

Gregory berteriak, membuat dirinya tersentak. “Hah?” Hanya satu kata keluar dari mulut kekasihnya itu. “Proposing?” Pria itu menyambung lagi, bertanya padanya dengan nada bingung, heran, dan terkejut yang melebur jadi satu. “Vincent? Propo... proposing bagaimana maksud kamu!?”

Vincent menaruh gelang itu kembali dalam kotaknya. Ia menggenggam tangan pria itu erat sambil mengusap punggung tangannya yang terasa dingin dengan ibu jarinya.

Ia menyunggingkan senyum kotaknya, perlahan merasakan kekhawatirannya luntur bersamaan dengan hangat tubuh Gregory yang mengalir dalam tubuhnya. “I want you to move in with me,” katanya lirih, namun terdengar mantap. Vincent mengatakannya tanpa ragu, tak ada lagi kekhawatiran yang bercokol didadanya. Tidak ada. Kali ini ia hanya menaruh harapan di sana. “I want to live with you every single night and day, wake up to and sleep with that gorgeous smile until you finally get bored of me,” katanya panjang lebar. “Apakah kamu mau, Gregory?”

Senyumnya perlahan memudar kala melihat pria itu menitikkan air matanya sambil terisak, masih terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Vincent dengan cepat menangkup wajah pria itu, lalu menghapus kantung mata yang sudah basah itu.

Fuck.” Ia mendengar Gregory mengumpat. Vincent tersenyum, membiarkan pria yang sedang menangis itu mengambil waktu selama apapun yang ia butuhkan.

Gregory membuka mulutnya sambil menghela napas kasar, sesaat terdengar tertawa kecil disela-sela isak tangisnya.”Of course, Vin,” katanya lirih, menjawab pertanyaannya. Seketika dadanya bergemuruh, seperti ada yang sedang membakar kembang api di sana. “I'd love to move in with you. One hundred percent YES!” Gregory berseru sambil mengalungkan kedua tangannya pada lehernya lalu menariknya. “I love you, I love you, I love you,” katanya menyambung lagi kalimatnya sambil menempelkan dahi mereka berdua. Pria itu menjawab pertanyaannya dengan mantap dan bersemangat.

Ah, Vincent merasa bahagia. Kupu-kupu sedang mengepakkan sayapnya ke sana kemari didalam perut dan dadanya.

Ia begitu mencintai Gregory.

Vincent lantas mengungkung tubuh pria itu dan memeluknya erat. “Thank you for saying yes, Beau. I love you, more than anything.”

Ah. Finally.