the last baton | 602

tw // family issues , implied: anxiety attack ; lack of communication ; lack of parental love and support in the past ; neglected children ; self-doubt ; questioning self-worth

ps. this is fiction ya, teman-teman... but i used a glimpse of my own experience so yeah... i was struggling writing this so i'm sorry if somehow this seems kinda meh. dan kalau narasi ini sekiranya membuat kalian ke-trigger saat membaca, please stop reading immediately, okay? hurting you guys is never and will never be my intention <3


Cuaca siang ini tidak begitu bersahabat dengan Gregory, apalagi dengan dirinya yang sedang memakai kaus oblong berwarna hitam, walaupun cukup tipis. Sinar matahari terasa sangat terik menggigit kulitnya, membuat tubuhnya lantas mengeluarkan keringat. Ia yakin kedua kakinya akan terlihat belang sepulangnya nanti karena sandal yang dikenakannya kuran tertutup. Beruntung ia sempat mengoleskan tabir surya pada wajahnya agak tipis sebelum akhirnya melangkahkan kaki keluar dari kamar hotelnya.

Gregory memutuskan untuk mencari makan siang di sekitar hotel karena ia baru saja bangun dari tidurnya pukul satu siang. Ia tertidur pulas sejak pukul enam pagi setelah mengobrol dengan Vincent selama dua jam, membicarakan banyak hal mengenai harinya kemarin dan rencana yang akan dilakukan olehnya selama di Jakarta. Vincent pun sempat memberitahunya bahwa beberapa hari kedepan, jadwal latihan pria itu akan sedikit padat karena konser orkestranya yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.

Selama keduanya mengobrol lewat telepon, Gregory berulang kali mengatakan bahwa ia merindukan pria itu, merindukan apartemen kekasihnya di Rue de la Ferronnerie, dan tentu merindukan hangatnya pelukan Vincent yang selalu menjadi “selimut” keamanan dan kenyamanan untuknya.

Dan sebenarnya, ia merindukan Paris. Kota itu telah menjadi zona nyamannya, merasa bahwa Paris adalah “rumah” sebenarnya.

Well, Vincent is his home, though.

Ia seakan lupa dengan semua kenangan dan memori yang terukir di Jakarta, sejak delapan tahun lalu dirinya menginjakkan kakinya di Paris.

Gregory menghela napas kemudian, kembali fokus saat menyeberang dari hotel ke sisi kiri trotoar Jalan Sunda. Ia lalu menoleh dan melihat lahan parkir Sarinah, tempat pusat perbelanjaan yang berjaya pada masanya itu terlihat dipenuhi oleh kendaraan roda empat. Ia lantas mengulas senyum, mengingat saat masih duduk di bangku perkuliahan, ia dan Thomas seringkali mengunjungi Hard Rock Cafe jika sedang menginap di rumah sahabatnya itu pada akhir pekan.

Jika ia tidak memiliki teman dekat saat masih hidup di Jakarta, mungkin ia akan menetap di Paris selama dan tidak akan kembali.

Kedua telinganya lalu samar-samar menangkap suara dari segerombol pria yang sedang duduk-duduk di dekat pintu masuk parkir pusat perbelanjaan itu. Mereka terdengar bercengkrama, ditemani beberapa gelas kopi dan kudapan diatas piring kecil. Melihat keakraban dan senyum yang terukir diwajah para pengemudi ojek pangkalan itu lantas membuatnya terenyuh. Ia tidak bisa menemukan sesuatu semacam ini di Paris.

Setelah berjalan melewati gerombolan pria itu dan menyapa dengan seulas senyum, Gregory lantas mempercepat langkahnya dan berbelok ke kiri, menyusuri Jalan Haji Agus Salim yang terlihat sepi. Ia sudah tidak sabar untuk segera duduk di restoran padang dan menyantap makan siangnya.

Sesampainya Gregory di restoran padang yang terletak tepat di perempatan Jalan Haji Agus Salim dan Jalan Wahid Hasyim itu, ia segera melangkah masuk, melihat sosok Thomas sudah duduk di salah satu meja. Ia lalu menghampiri sahabatnya yang sedang mengobrol dengan seorang pramusaji, sepertinya hendak memesan minuman untuk mereka berdua.

Thomas lalu mendongak dan bertemu mata dengannya, menyunggingkan senyumnya yang lebar sambil melambaikan tangannya. Gregory membalas sapaan pria itu lalu melangkahkan kakinya mendekat, menarik kursi dan duduk berhadapan dengannya kemudian. Seorang pramusaji itu lantas menyapanya dan menanyakan pesanannya. Ia lalu memesan segelas jus sirsak, sedang Thomas memesan seporsi sate padang dan hanya ingin meminum segelas teh tawar panas yang sudah disediakan.

Keduanya menyantap makan siang mereka sambil mengobrol dan membicarakan banyak hal. Gregory sempat membuat mereka tertawa karena membahas kenangan mereka semasa kuliah; membolos untuk pergi ke Ancol dengan mengendarai si butut—mobil Thomas yang akhirnya sudah dijual—, menjadikan rumah sahabatnya itu base camp setiap akhir pekan, dan menghabiskan waktu di Hard Rock Cafe hingga “diusir” secara halus oleh seorang manajer yang sudah kenal dekat dengan mereka karena jam operasional kafe hampir berakhir.

Thomas ibarat sayap yang diberikan oleh Tuhan saat kedua sayapnya sendiri rapuh dan hampir patah. Sahabatnya itu selalu berada di sampingnya, menyaksikan bagaimana dirinya berproses hingga saat ini. Gregory tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya jika ia tidak memiliki Thomas sebagai salah satu sosok penting dihidupnya.

Ia teringat akan kejadian delapan tahun lalu saat meluapkan emosinya didalam mobil Thomas atas keputusan orang tuanya mengirimnya ke Paris dengan bermodalkan embel-embel kesuksesan jika mengambil sekolah Magister Komunikasi di luar negeri.

Sampai dengan detik ini, ia merasa semuanya sangat tidak masuk akal.

Gregory tahu, semakin lama ia tinggal di Jakarta, semakin lama ia mengulur waktu untuk sesuatu yang tidak penting, semakin lama pula ia mengetahui alasan kedua orang tuanya “membuang”nya di Paris.

Lebih cepat lebih baik, begitu mottonya.

“Thom,” katanya memanggil Thomas sambil membersihkan tangannya dengan tisu basah. Pria itu hanya menggumam sambil melirik ke arahnya sekilas. “Lo bisa menemani gue pulang ke rumah tidak?”

Thomas yang sedang terlihat mengunyah potongan ayam pop lantas memiringkan kepalanya. “Oh? Hari ini?” Pria itu bertanya padanya, ia hanya membalas dengan menggumam dan mengangguk. Thomas menelan makanannya sebelum akhirnya menyambung lagi. “Of course, gue tidak ada kegiatan lain. Tapi lo yakin mau gue antar?”

Gregory mengangguk sambil mengedikkan bahunya. Ia membutuhkan seseorang disampingnya untuk menemaninya berkendara menuju rumahnya. Rumah? Ia sedikit mendengus, merasa tidak yakin apakah kediaman yang berada di daerah Cibubur itu masih rumahnya.

Yeah,” jawabnya sambil bersandar pada kursi. “Feeling gue tidak enak, Thom. Apa karena gue nervous? Tidak tahu. It's been eight fucking years since I left, bro,” katanya menghela napas.

Jujur saja, beberapa hari ini ia lebih gelisah dari biasanya, terasa dari tidurnya yang bisa dikatakan tidak nyenyak. Ia mencoba mendengarkan recorder yang diberikan oleh Vincent untuknya, namun lantunan melodi yang dimainkan oleh kekasihnya itu pun hanya mampu meredam kegelisahannya sedikit.

Gregory ingin—tidak, ia butuh—jawaban, tapi ia belum siap. Apa yang akan ia lakukan jika ternyata orang tuanya memberikan penjelasan yang tidak bisa ia terima? Apakah ia akan marah, atau malah ia akan menangis? Atau bahkan, beliau berdua akan marah karena melihat Gregory menginjakkan kaki di rumahnya sendiri, 'kan?

Semua bisa saja terjadi. Ia seperti sedang mempertaruhkan seluruh kartunya diatas meja kasino, tidak tahu kartu mana yang akan dibuka oleh lawan mainnya, yang dalam hal ini adalah orang tuanya.

Ia merasa keputusannya benar-benar mentah dan gegabah untuk pulang ke Jakarta, membuatnya seketika meragukan keputusannya dan tentu saja, meragukan dirinya sendiri. Gregory merasa dirinya mundur seratus langkah, merasa semua usaha yang telah ia lakukan di Paris sebelum akhirnya menginjakkan kakinya kembali di Jakarta adalah sia-sia. Karena setelah Gregory merasa mampu dapat berubah, semua usahanya itu seakan runtuh saat menyadari bahwa dirinya benar-benar sudah di Jakarta.

Kembalinya ia ke kota ini memicu dirinya untuk melakukan kebiasaan buruknya yang ingin ia buang dan kubur dalam-dalam. Gregory mulai meragukan dirinya sendiri, berpikir apakah memang seharusnya ia memang tidak pantas bahagia, dan memikirkan apakah dirinya layak untuk dicintai.

Thomas menjentikkan jarinya didepan wajahnya, membuatnya lantas terperanjat. Sahabatnya itu menariknya kembali ke realita. Pria itu berdecak setelah meneguk habis teh panasnya. “Wajar lo gugup, Gre,” kata pria itu sambil menopang dagunya dengan kedua tangannya. Thomas lalu menyambung lagi, kali ini menjelaskan padanya tentang keadaan dirinya. Pria itu tahu bagaimana cara untuk mengurai pikirannya yang kusut. “Lo juga pergi dari Jakarta delapan tahun lalu, 'kan, tanpa ada “persiapan”, kasarnya,” lanjut Thomas sambil menjulurkan tangannya untuk meraih gelas jus sirsak miliknya.

Sahabatnya itu mencelupkan sedotan baru kedalam gelasnya, lalu menyeruputnya sedikit. “Anyway, Gre, lo akan ngomong apa dengan orang tua lo?”

Sebenarnya Thomas bertanya padanya dengan nada datar dan cenderung santai, namun sukses membuat perutnya perih dan dadanya sesak.

Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan pada orang tuanya.

Gregory menghela napas kasar, menggaruk dahinya dengan punggung tangannya yang bersih. “I don't know, really,” jawabnya putus asa. Ia benar-benar tidak tahu. “To be really honest, Thom, rencana gue pulang ke Jakarta semakin lama semakin membuat gue ragu. Apa iya memang gue harus pulang?”

Ia harus menghentikan pikiran buruknya sebelum hal itu semakin menggerogoti hatinya sendiri. Ia harus berhenti menyesali keputusannya untuk pulang dan menemui orang tuanya, merapalkan rasa sesal dalam hatinya sebelum akhirnya hal buruk akan terjadi padanya.

“Maksud lo?” Thomas bertanya dengan nada heran. Gregory mengenal sahabatnya, pria itu sebentar lagi akan meluapkan emosinya, dan ia tidak ingin sampai hal itu terjadi.

“Ya, I mean,” jawabnya sambil melihat ke arah lain, tidak ingin Thomas menatap kedua matanya dan membaca isi hatinya. Sahabatnya itu tahu segala hal tentangnya dan mampu menerka isi pikirannya. “I can heal myself in Paris, right? Why should I go back to_ Jakarta? Right?”

Ia tahu pertanyaan yang barusan ia katakan adalah omong kosong. Gregory merasa dirinya seperti pengecut, tidak siap menerima kenyataan yang sudah menantinya didepan. Ia tidak ingin menghadapi sesuatu yang memiliki kemungkinan akan tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Thomas menghela napas panjang, seperti tahu isi kepala dan hatinya yang sedari tadi berkecamuk. “Gre, menurut gue,” kata pria dengan nada seperti meminta, membuatnya terpaksa menoleh dan menatap sahabatnya itu. “Lo adalah tipikal orang yang akan melakukan apapun sampai lo mencapai tujuan lo. Sekarang, lo sedang berada di fase pembuktian. Lo bilang, lo mau healing and fix whatever that is, right? Ini lo sekarang sedang mau membuktikan, apakah teori lo benar? Dengan lo pulang ke Jakarta apakah jawaban yang lo cari itu bakal lo dapatkan? Dan apakah hipotesis yang lo punya tentang orang tua lo selama delapan tahun ini apakah terbukti?

“Ini tuh lo sedang gambling, Gre, which we don't really know what it's going to happen. And all of these are not multiple choices, these are literally an essay.”

“Dan apapun hasilnya nanti setelah lo ketemu dengan orang tua lo, lo harus ingat kalau perasaan lo itu valid. Apapun itu. Man, we are all human, for God's sake. And this never was will never be your fault.”

Thomas berbicara panjang lebar sambil menatapnya, namun Gregory tidak bisa fokus, tidak saat sahabatnya itu mengatakan bahwa semua ini bukanlah salahnya.

Tidak saat Gregory masih menyalahkan dirinya sendiri atas kurangnya kasih sayang, apresiasi, dan pengakuan yang ia dapatkan dari kedua orang tuanya.

Gregory tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, termasuk Thomas, apalagi Vincent, bahwa dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia selalu memendam rasa iri pada Thomas yang selalu didukung oleh orang tuanya dalam melakukan hal apapun. Ia mengenal beliau berdua sejak lama, dan menganggap keduanya layaknya orang tuanya sendiri. Dan sungguh, ia pun dapat merasakan bahwa kasih sayang orang tua Thomas padanya berbeda dengan apa yang diberikan oleh orang tuanya.

“Dan lo harus ingat, Gre,” kata pria itu padanya sebelum melambaikan tangan ke arah seorang pramusaji dan meminta bill. “You don't have to forgive in order to heal.”


Perjalanan menuju Cibubur ditempuh dalam waktu satu jam dua puluh menit. Lalu lintas siang ini terlalu padat—menurut Thomas adalah hal yang wajar—membuatnya harus ekstra hati-hati saat menyetir karena jujur saja, ia mulai merasa mengantuk.

Setelah keluar dari gerbang tol dan memasuki area pinggiran Jakarta itu, Gregory merasakan dadanya berdegup kencang dan kedua tangannya gemetar. Ia benar-benar takut akan hal yang akan dihadapinya sebentar lagi.

Ia sangat membutuhkan Vincent disampingnya, pria itu selalu tahu bagaimana cara membuatnya tenang dan menjauhkan pikiran buruk dan rasa gugup dari dalam dirinya. Sesaat ia merutuk, merasa kesal karena perbedaan waktu yang cukup jauh antara dirinya dan Vincent.

“Ya Allah,” “Iki bener Mas Grego?”

“Iya, Pak,” ... “Ibu sama Ayah ada?”

Pria paruh baya itu terlihat ragu saat mendengar pertanyaannya, seperti sedang ada yang disembunyikan. Gregory lantas memiringkan kepala dan sedikit menaikkan alisnya bingung. Apa kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah?

“Ada, Pak?” Gregory bertanya lagi, kali ini dengan nada yang ia tahu, terdengar tidak sabar dan sedikit tidak sopan. Namun, apa boleh buat? Ia seperti sedang menginjak bara api tanpa alas kaki, merasa ingin segera mengangkat kaki dari rumahnya dan pergi.

Pria itu mengangguk lemah. “Ada, ada. Ayo masuk, Mas.”

“Gue tunggu di mobil ya, Gre. Good luck.”

Thanks, bro. Maaf lo jadi harus nunggu didalam mobil.”

Don't worry, it's fine, serius,” “Gue bawa laptop, kok. Bisa nonton Netflix di mobil.”

Alright, gue masuk dulu.”

Gregory seperti kehabisan napas saat melepas sepatunya dan bersentuhan dengan lantai rumahnya yang dingin, masih sama seperti delapan tahun lalu. Ia lalu mengedarkan pandangan, terkejut saat melihat dinding rumahnya terlihat kosong, tidak ada lagi bingkai foto keluarga yang selalu tergantung di sana. Salah satu lemari kaca yang dahulu berisi koleksi lonceng dari berbagai negara—oleh-oleh pemberian saudaranya untuk ibunya—dan berbagai bentuk sendok teh antik pun kosong. Di ruang tamu itu hanya ada beberapa sofa yang kainnya sudah terlihat usang, bahkan meja yang biasanya digunakan untuk menyuguhkan makanan dan minuman untuk tamu pun sudah tidak ada.

Apa yang terjadi?

Asisten rumah tangganya lantas masuk ke ruang tengah dan meninggalkannya di ruang tamu. Gregory lantas menggelengkan kepala, bahkan di rumahnya sendiri, ia merasa asing. Ia seperti seseorang yang sedang bertamu di rumah orang lain yang tidak mengenalnya.

Ia baru saja ingin mengambil ponselnya dari saku celananya ketika mendengar suara seorang wanita—yang sangat ia kenali—berteriak histeris. Ia lantas berdiri dari duduknya saat mendengar suara seseorang sedang berlari ke arahnya sambil terengah.

Ibu.

“Tuhan,” “Gregory? Ini betul kamu?”

“Ya, Bu.”

“Ayah mana, Bu?”

“Ayah sedang ganti pakaian di kamar.”

Gregory tersenyum tulus, alih-alih mempertanyakan mengapa ayahnya harus repot-repot mengganti pakaiannya? Ia bukan tamu, 'kan? Ia adalah salah satu anggota keluarga ini. “Ah, oke.” “Ibu tadi sedang apa? Maaf, Grego ganggu, ya?”

Ibunya menggeleng cepat, terlihat meremas bantal yang sedang ada dipangkuannya. Ia dan ibunya duduk berhadapan, merasakan betapa canggungnya situasi saat ini. Gregory kehabisan kata-kata, lidahnya terasa kelu. Semua skrip yang ada dalam kepalanya perlahan memudar dan hilang tanpa jejak, membuatnya kebingungan. “Tidak. Ibu tadi sedang cuci baju di belakang, hanya terkejut kamu datang ke rumah.” ... “Ada perlu apa, Nak?”

Gregory mengernyitkan dahinya. Ada perlu apa, kata Ibunya? Apa ia tidak salah dengar?

Ini adalah rumahnya, bukan? Seingatnya, kedua orang tuanya tidak pernah mengusirnya untuk pergi dari rumah? Mengapa seakan-akan kedatangannya terdengar seperti sesuatu yang tidak boleh terjadi?

Ia belum membalas pertanyaan Ibunya saat ia mendengar langkah kaki

“Gregory.”

Mendengar suara itu, Gregory langsung mengatupkan mulutnya.

“Ayah.” “Apa kabar?”

“Ya Tuhan, Grego,” “Ayah rindu sekali dengan kamu.”

Rindu? Apa ini mimpi? Seumur hidupnya, ia tidak pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa pria itu merindukannya. Atau bahkan merasa kehilangan karena kepergiannya ke Paris. Selama delapan tahun, ia seperti berlayar di tengah samudera tak tahu arah, terombang-ambing tanpa adanya bantuan, memasrahkan hidupnya kepada angin dan ombak yang menopang perahunya.

Ia bersyukur ia tidak pernah menyerah untuk mengayuh perahunya dengan sekuat tenaga, membawa dirinya berlabuh di salah satu pesisir pantai dengan usaha yang luar biasa. Gregory bersyukur, selama hidupnya yang monoton dan penuh dengan ketidakjelasan, ia tidak pernah berhenti berdoa dan memohon agar Tuhan memberikannya jalan yang terbaik.

Gregory bersyukur dan merasa bangga terhadap dirinya sendiri bahwa ia sudah sampai dititik ini.

Seketika pertahanannya hancur. Gregory merasa dadanya sesak

“Ayah dan Ibu minta maaf ya, Nak. Kami minta maaf sekali,”

Semua pertanyaan yang ada didalam kepalanya rasanya menghilang seperti ditiup angin dan Gregory membiarkannya.

You don't have to forgive in order to heal.

Mendengar kedua orang tuanya menangis dan mengucapkan kata maaf berulang kali, sejak delapan tahun lalu dengan sepihak membiarkan dirinya sendirian di Paris untuk memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup.

Gregory lantas menyadari bahwa ia hanya menginginkan orang tuanya menyadari bahwa keduanya salah, kata “maaf”, dan bagaimana keduanya menyampaikan bahwa mereka bangga dengannya.

Ternyata selama ini... hanya itu yang ingin ia dengar dengan telinganya sendiri.

“Apa... Grego sudah punya kekasih di Paris?”

“Sudah, dia seorang konduktor orkestra,” jawabnya mantap, merasa bangga dan senang mendengar pertanyaan itu. Ia merindukan Vincent. “Orang Indonesia juga.”

“Anaknya baik?”

“Sangat.”

“Mapan?”

Gregory mengulum senyumnya, tidak ingin serta merta melupakan kenyataan bahwa kedua orang tuanya selalu berorientasi dengan uang. Mungkin pertanyaan itu adalah hal yang biasa, namun ia merasa risih mendengarnya. “Jauh lebih mapan dari Grego. Sangat. Tapi Grego tidak peduli. Toh, uang bisa dicari lagi. Kebahagiaan dan kesempatan yang tidak akan datang dua kali.”

“Siapa namanya?”

“Vincentius.”

Keduanya mengangguk tanpa suara. Gregory lantas mengernyit, tidak ingin mendengar komentar apapun dari mereka. Seingatnya, sejak dulu orang tuanya selalu mendukung keputusan hidupnya. Gregory bersyukur setidaknya kedua orang tuanya masih menghargai privasi dan keinginannya dalam hal itu. Mungkin ia akan benar-benar gila jika keduanya pun mengambil hak bebasnya untuk mencintai siapapun.

“Ada apa, Yah?”

“Tidak. Ayah hanya senang kamu sudah menemukan seseorang yang bisa menjaga hatimu dan menyayangimu. Karena kami berdua tidak mampu melakukan itu. Maaf, Nak.”

Yeah, I'm lucky to have him though,”

Do whatever makes you happy, then. Ayah bangga dengan kamu, mampu bertahan hingga saat ini walaupun harus berjuang sendirian selama bertahun-tahun.”

“Grego bingung,” “Ayah dan Ibu mau ada acara? Kok, semua barang tidak ada?”

“Kami... mau jual rumah ini, Nak.” “Tenang, semua barangmu aman. Pamanmu sudah bersedia mengirim semuanya ke Paris akhir bulan ini.”

Menjual rumah ini? Apakah hal itu beliau berdua lakukan karena ingin membayar hutang yang melilit mereka selama bertahun-tahun? Gregory bahkan tidak tahu apa sebenarnya “hutang” itu.

“Ayah dan Ibu akan pindah ke Jogja, Grego.” “Kami sudah kontrak rumah.”

Kali ini ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. “Apa?” Ia setengah berteriak, entah karena luapan emosi atau heran dengan alasan dibalik ini semua.

“Ya... Ayah kira kamu pulang ke Jakarta karena dengar kabar bahwa kami mau menghabiskan sisa hari tua di Jogja?”