the last baton | 591

Asing.

Begitulah yang Gregory rasakan saat ia mendengar seorang pramugari mengucapkan terima kasih padanya. Wanita itu berdiri tepat di ambang pintu bagian tengah pesawat, menyapanya sambil melempar senyum. Ia lantas membalas sapaan wanita itu dan akhirnya melangkah keluar, menginjakkan kedua kakinya diatas garbarata, menandakan bahwa dirinya sudah resmi sampai di Indonesia.

Sekujur tubuhnya terasa sangat pegal akibat duduk dengan posisi yang kurang nyaman hampir dua puluh empat jam, dengan ruang kaki yang tidak begitu luas—well, ia bukan Thomas yang mampu mengeluarkan uang cukup banyak untuk membeli tiket kelas bisnis dengan rute Jakarta-Paris-Jakarta. Gregory hanya ingin melanjutkan tidurnya.

Andai saja ia dapat menumpang salah satu buggy car untuk mempersingkat waktu dan menghemat tenaga, namun ia urungkan. Ia masih ingin mengamati setiap sudut gedung yang terasa asing untuknya ini, yang jujur saja, membuatnya terpukau.

Gregory sempat merasa norak dan lantas menggelengkan kepalanya. Hell, delapan tahun meninggalkan Jakarta membuatnya benar-benar ketinggalan berita atau bahkan perkembangan tanah kelahirannya ini.

Ah. Tidak. Ia memang tidak ingin tahu apapun dengan menutup segala akses yang memungkinkan dirinya mengetahui informasi yang ada secara cuma-cuma. Sungguh, Gregory tidak menyangka dirinya sudah kembali ke Jakarta, kota kelahirannya yang menyimpan banyak kenangan pahit dan manis.

Ia menarik kopernya, mengikuti arus para penumpang yang berjalan keluar dari garbarata menuju gedung utama Terminal 3, menganggap bahwa orang-orang yang sedang berjalan di depannya memiliki tujuan yang sama dengannya, yaitu ke area imigrasi—bukan hendak melakukan perjalanan ke tujuan selanjutnya dengan menggunakan pesawat atau bahkan maskapai yang baru.

Cuaca pagi ini sangat panas, terasa dari betapa teriknya sinar matahari yang menembus kaca gedung itu, membuatnya perlahan merasa kegerahan. Sepertinya cuaca di Jakarta tidak jauh berbeda dengan Paris—ya, ia sempat mengecek ponselnya untuk melihat ramalan cuaca hari ini—namun kelembabannya, demi Tuhan, hal inilah yang tidak pernah Gregory rindukan dari Jakarta.

Jarak yang harus ditempuh olehnya hingga sampai pada area imigrasi sepertinya begitu jauh. Keinginannya untuk menumpang salah satu buggy car semakin kuat, namun sedari tadi ia tidak melihat kendaraan itu berlalu-lalang. Rasa lapar pun mulai menyerangnya sejak ia masih berada di pesawat. Makanan yang dibelinya saat transit di bandara Changi tidak membuatnya kenyang, maka ia memutuskan untuk mengajak Thomas mampir ke salah satu restoran padang langganannya saat masih tinggal di Jakarta beberapa tahun silam.

Ia benar-benar merindukannya, ingin merangsang kembali indra perasanya dengan makanan Indonesia setelah sekian lama terbiasa dengan makanan Eropa.

Walaupun masakan khas Indonesia terlezat dan sempurna yang pernah ia rasakan adalah masakan buatan Sebastian dan Tobias. Menurutnya, teman satu apartemen Vincent itu adalah duo maut yang mampu mempengaruhinya untuk memberikan predikat terbaik untuk masakan Indonesia di Paris.

Mengingat hal itu membuatnya rindu dengan kekasihnya dan teman-temannya yang mungkin masih tertidur di kota Paris.

Saat Gregory menyusuri lorong panjang yang tak berujung itu, ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya, merasa asing sekaligus lega berada di antara orang-orang yang menggunakan bahasa ibunya dengan logat yang khas. Sejenak hatinya terketuk, seperti ada suara yang berbisik bahwa tidak ada salahnya menyimpan rindu pada tanah kelahiranmu, sebesar apapun kau menaruh benci padanya.

Ia melangkahkan kakinya dengan sangat lambat; rasa penasaran, kantuk dan lapar yang menggerayangi tubuhnya melebur jadi satu. Ia tidak sadar bahwa dirinya sudah sampai di area imigrasi, terlihat begitu banyak orang yang sedang berbaris untuk melewati lapisan terakhir hingga akhirnya para penumpang keluar dari bandara. Ia lantas mengambil ponselnya dari saku jaket yang dikenakannya, mengabari Thomas bahwa ia sebentar lagi akan melewati area itu untuk mengambil kopernya.

Gregory lantas melangkah ke arah sisi paling kiri untuk memindai sampul buku paspornya dan melewati gate yang otomatis akan terbuka, tidak perlu menghabiskan waktu dengan mengantre dan memindai sidik jari seperti penumpang lainnya. Setelah itu, ia berbelok ke kiri, mengikuti penunjuk arah untuk melihat tempat di mana pengambilan bagasi, sambil berharap dalam hati agar ia tidak menghabiskan waktu yang lama untuk mengambil kopernya.

Ia menunggu sekitar lima belas menit sampai akhirnya menemukan koper hitamnya, lalu bergegas mengambil sebuah troli untuk meletakkan barang bawaannya dan keluar dari ruangan yang sungguh, semakin lama semakin membuat tubuhnya kegerahan dan berkeringat.

Saat Gregory akhirnya keluar, ia langsung mengenali sosok Thomas dari kejauhan. Pria itu tengah berdiri dengan beberapa orang lain yang menunggu para penumpang keluar dari ruang kedatangan. Sahabatnya itu memiliki postur tubuh yang tinggi. Gregory tidak kesulitan mengenali pria yang sudah menjadi salah satu orang yang penting dalam hidupnya sejak keduanya menempuh pendidikan di jenjang kuliah.

Ia belum sempat memanggil Thomas saat pria itu menyadari keberadaannya. “Gre!” Pria itu berteriak memanggil namanya sambil melambaikan tangan bersemangat, membuat beberapa orang di sampingnya menoleh keheranan. Thomas seringkali memang tidak tahu malu, membuatnya lantas terkekeh dan membalas lambaian tangan pria sebayanya itu.

Thomas sedikit berlari ke arahnya dengan merentangkan kedua tangannya, mengundangnya untuk memeluknya. Ia hanya tertawa, lalu mendorong troli yang cukup berat ke arah sahabatnya itu.

“Nyet.” Gregory menyapa pria itu dengan ceria lalu memeluknya. Thomas terdengar menggeram sambil mengeratkan pelukannya, membuat sekujur tubuhnya yang nyeri semakin sakit. Namun tidak sebanding dengan rasa bahagia saat akhirnya bertemu kembali dengan sahabatnya itu. “Thanks sudah mau jemput gue di Bandara. Maaf gue merepotkan lo.”

Pria itu menggeleng lalu mengambil salah satu koper untuk dibawanya. Gregory lantas mengikuti dan mengambil kopernya yang lain, menyadari adanya tanda batas troli berada di samping tempatnya berdiri. “Santai, Gre, 'kan gue sudah mengajukan cuti selama dua minggu. It's fine. Kayak baru kenal saja sih lo,” ujarnya sambil mendengus. Thomas terlihat merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci mobil. “Yuk, mobil gue parkir tidak jauh dari sini.”

Ia menggumam, berjalan bersisian dengan sahabatnya itu sambil menarik kopernya yang berukuran besar dan agak berat. Saat mereka keluar dari ruangan ber-AC itu, seketika udara panas menerpa wajahnya, terasa sangat gersang seperti berada di tengah gurun pasir.

Ia berdecak dan memutar kedua bola matanya saat Thomas menertawainya.

Damn man, it's so hot in here. Nanti gue ganti kaus dulu ya, Thom di dalam mobil. Gue tidak akan tahan kalau harus pakai jaket seperti ini. Apalagi gue terakhir mandi kemarin pagi,” katanya santai, membuat Thomas hanya bergidik jijik. Gregory lantas mengacungkan jari tengah ke arah pria itu dan keduanya tertawa.

Beruntung ia sempat pergi ke toilet untuk mencuci muka dan menggosok giginya saat di pesawat, tidak ingin membuat orang lain terganggu saat ia berbicara—well, it's one of his pet peeves, for your information.

Setelah mengganti kaus dan menaruhnya pada jok belakang mobil, Thomaslalu mengemudikan mobilnya keluar dari gedung parkir Terminal 3. Sahabatnya itu menyetel pendingin ruangan mobil dengan suhu paling rendah. Jakarta sedang panas, katanya.

“Besok, rencana lo ingin ke mana saja, Gre?” Thomas bertanya sambil melirik ke arahnya sekilas. Hari ini, lalu lintas terlihat lengang, tidak seramai yang sempat sahabatnya itu katakan. “By the way, you will use this car, though. Gue bisa pulang naik taksi ke rumah, dan hanya sepuluh menit juga, 'kan, dari hotel lo menginap,” ujar pria itu santai sambil tetap fokus pada jalanan.

Gregory terbelalak, menoleh ke arah Thomas sambil menganga. Ia bahkan sendirian dengan barang bawaannya yang pasti tidak akan disimpan dalam mobil. Mengapa sahabatnya itu meminjamkan mobil seluas ini?

Maka ia lantas melayangkan protes pada pria itu. “Gila lo, nyet. Untuk apa mobil seluas ini, Thom? Gue, 'kan, hanya sendiri?”

Sahabatnya itu hanya berdecak sambil menoleh ke arahnya dan tersenyum kikuk. “Mobil sedan gue yang dulu kita sering kita pakai zaman masih kuliah, lo ingat?” Gregory lantas mengangguk, mengingat dengan jelas sedan tua milik sahabatnya yang dijuluki “si butut”—saksi bisu persahabatan mereka semasa kuliah; bagaimana keduanya bergantian mengendarai mobil itu dari Jakarta-Bandung-Jakarta dan mengalami mogok hingga tiga kali; bagaimana mobil itu pun menjadi saksi luapan emosinya saat ia mendengar kabar bahwa kedua orang tuanya akan menerbangkannya ke Paris. “Akhirnya gue jual, Gre, si butut.”

Mendengar berita yang cukup mencengangkan untuknya itu membuatnya lantas sedikit berteriak. “Hah?!” Suatu keajaiban yang luar biasa bahwa Thomas akhirnya merelakan mobil kesayangannya sejak sepuluh tahun lalu dan memutuskan untuk menjualnya. Ia seringkali mendengar sahabatnya itu mengeluh karena dipaksa oleh orang tuanya—Tante Ayu dan Oom Indra, yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri.

Finally, man. But why?”

Sahabatnya itu tertawa saat melihat dan mendengar responnya. “Bosan saja. Lagipula, rencana gue memang begitu, setelah beli mobil baru, gue akan jual si butut. Lumayan lah, lakunya juga ke orang yang paham mobil, jadi gue tidak begitu menyesal,” ujarnya sambil melirik ke arah kiri dan menyalakan lampu sein untuk berpindah lajur. “My dear friend's brother, the one who bought it. Ah, Gre gue harus mengenalkan lo dengan teman gue itu! Namanya Edmund.”

Thomas berkata dengan sangat bersemangat, pria itu bahkan mengacungkan ibu jarinya di depan wajahnya, membuatnya lantas mengernyitkan dahi. Ia bahkan belum genap satu hari tiba di Jakarta, namun Thomas sepertinya sudah mengatur jadwal sedemikian rupa untuknya selama beberapa hari kedepan.

Gregory hanya mendengus. “Damn. Teman apalagi, Thom? What kind of friend this time?” Tanyanya pada Thomas dengan nada jahil.

“Brengsek,” sahut pria itu kesal lalu tertawa. “Kenal karena dia juga model, jam terbang dia sama dengan gue. Tapi kami berdua beda agensi,” jelasnya singkat.

Gregory hanya menanggapi dengan menggumam, mencoba mencerna kata-kata sahabatnya yang suaranya semakin lama terdengar semakin pelan. Jujur saja, ia sudah mengantuk dan butuh tidur. Namun sedari tadi seperti ada yang memukul dari dalam perutnya dan berteriak 'ingin nasi padang secepatnya!'

Thomas lalu menoleh ke arahnya dan menggeleng cepat. “Man, no need to worry. He's a good person, won't cause any trouble and inconvenience for you,” kata sahabatnya itu menyambung lagi, seperti sedang membaca pikirannya.

Sial. Apa kau ingat tentang ucapan Gregory bahwa sahabatnya itu selalu mampu membaca pikirannya?

Ia tertawa, tak bisa menahan dirinya untuk tidak menguap. “Glad to know, Thom,” katanya sambil meregangkan kedua tangannya dan menyentuh atap mobil Thomas yang keras. “It's okay, looking forward to it.”

Yes! Alright! Obrolan lo dan dia pasti akan nyambung, lumayan menambah teman di Jakarta, Gre,” timpalnya.

Gregory menggumam, kedua matanya terasa semakin berat, seperti ada yang sedang bergelayut disana. Sekilas ia melihat gedung Mall Taman Anggrek yang masih berdiri kokoh di sebelah kiri, tempat pusat perbelanjaan yang tidak berubah sedikitpun sejak delapan tahun lalu ia pergi dari Jakarta, sebelum akhirnya bersandar dan mencari posisi yang nyaman untuk tubuhnya.

Ia menguap lagi, kali ini ia sungguh ingin tidur. Kepalanya terasa pusing. “Thom,” bisiknya pada pria itu sambil memejamkan matanya. “Ini... masih jauh atau tidak? Gue ingin tidur sebentar.”

Thomas lantas menjawab pertanyaannya, samar-samar terdengar tumpang tindih dengan suara mesin mobil yang ia tumpangi. “Masih jauh, sepertinya nanti akan sedikit macet di Sudirman. Lo tidur saja, Gre, I'll wake you up.”

Ia terkekeh saat mendengar kata “macet”, mengucapkan terima kasih kemudian sebelum akhirnya membiarkan rasa kantuk menariknya lebih dalam.

Welcome to Jakarta, Gregory, batinnya dalam hati.


Garbarata: jembatan yang berdinding dan beratap yang menghubungkan ruang tunggu penumpang ke pintu pesawat terbang untuk memudahkan penumpang masuk ke dalam dan keluar dari pesawat (biasanya bahasa tidak bakunya: Belalai)

Buggy car: biasanya bentuknya seperti golf caddy car