reforget | 027
cw // contain harsh words
Dimas menarik napasnya kuat-kuat saat dirinya sudah berada di halaman luas di sebelah gedung Rektorat. Akhirnya ia berhasil keluar dari gedung Balairung yang penuh sesak oleh para mahasiswa baru itu, dengan keadaan tubuhnya basah kuyup karena keringat. Beruntung Dimas membawa pakaian ganti, tidak ingin membuat orang-orang yang berada disekitarnya merasa tidak nyaman karena pakaiannya lengket dan bau keringat—salahkan ventilasi gedung Balairung yang sangat minim, membuatnya sekarang merasa kegerahan.
Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi saat hari wisuda diselenggarakan sepekan dari sekarang. Bayangkan saja, beberapa jam lalu sebelum latihan paduan suara yang dipimpin oleh Pak Dibyo—pelatih vokal sekaligus dirigen paduan suara Universitas Indonesia—dimulai, beliau meminta tibum* untuk mengarahkan para mahasiswa baru agar menempati lantai dasar Balairung. Beliau mengatakan, area lantai dasar masih terlihat lengang, untuk apa bersusah payah untuk naik ke atas tribun hanya untuk mencari tempat duduk?
Mendengar demikian, Dimas lantas menyesali keputusannya untuk memisahkan diri dari barisan semula—bersama Kelvin—yang membuat dirinya lantas berada diantara para mahasiswa baru yang tidak ia kenali.
Pun ia harus merasa kegerahan sendirian, seperti sedang duduk di samping bara api pada tengah hari.
Sesaat kedua telinga Dimas semakin mendengar riuh lautan manusia yang perlahan memenuhi area halaman tempatnya berdiri. Ia lalu melangkahkan kakinya mendekat ke arah pilar selasar antara gedung Rektorat dan Balairung untuk menepi, menghindari orang yang sedang berlalu-lalang membubarkan diri.
Ia lalu menggerutu dalam hati, di mana kah Kelvin berada? Sahabatnya itu tidak menanggapi satu pesan pun yang dikirimkannya beberapa jam lalu, juga sambungan telepon yang langsung terputus saat ia mendengar nada sambung pertama.
“Bro!”
Dimas terperanjat saat merasakan seseorang memukul bahunya, bersamaan dengan suara Kelvin yang sedikit keras ditelinganya. Sepertinya laki-laki itu ingin mengalahkan suara lautan manusia yang saling tumpang tindih atau hanya ingin menarik perhatian para mahasiswa lainnya. Entahlah.
Ia lantas membalikkan tubuhnya, tak dapat menahan dirinya sendiri untuk tidak mengernyitkan dahi saat menyadari seorang laki-laki asing berdiri di samping sahabatnya itu.
Siapakah orang ini? Apakah Kelvin mendapatkan teman baru—yang mungkin adalah mahasiswa baru yang kebetulan satu jurusan dengan mereka berdua?
“Gila ya. Gue nyari lo ke mana-mana nggak berhasil, Dim. Ampun deh, bahkan telepon dan pesan gue nggak lo balas. Memangnya ponsel lo mati total?” Kelvin terdengar mengeluh.
Ia hanya menanggapi dengan memutar kedua bola matanya malas, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sahabatnya itu. “Says you. Gue sedari tadi telepon lo entah berapa kali sejak gue sudah duduk di tribun. Dan gue mengirim pesan pun nggak masuk. Lo tahu sendiri sinyal di sini jelek, Kel,” jelasnya panjang lebar sambil berkacak pinggang, tidak menghiraukan tatapan seorang laki-laki yang sedang berdiri di sebelah Kelvin.
Lawan bicaranya itu hanya mendengus lalu menggelengkan kepalanya, menyentuh rambut pendeknya yang berwarna coklat dengan ibu jari dan jari telunjuknya. “Ya sudah, yang penting gue sudah bertemu dengan lo,” ujarnya santai, lalu mematung saat menyadari ada seseorang yang sedang berdiri di sampingnya.
Kelvin sekilas menatap laki-laki itu sebelum menoleh ke arahnya dengan menyunggingkan senyum yang memiliki arti tertentu. “Ah, Dim, kenalin ini teman kita sesama maba*, namanya Hezekiah Fabian. But, actually, he's two years older than us. Ngulang lagi dari awal jadi maba karena nggak betah di jurusan Hubungan Internasional.”
Apa?
Dimas dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki yang sedang tersenyum simpul itu, terlihat melambaikan tangannya singkat sebelum memegang tali ransel dibahunya lagi.
Secara tidak sadar, ia sudah menggerakkan kedua matanya yang sorotnya tajam itu, mencoba meneliti sosok asing yang berdiri tak jauh darinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Sesaat kemudian, ia memejamkan kedua matanya sambil menghela napas berat. Ternyata dirinya masih belum mampu menghilangkan kebiasaan buruknya setiap kali bertemu dengan orang asing. Dimas, yang sampai saat ini hanya memiliki segelintir orang yang menjalin hubungan pertemanan dengannya tanpa menginginkan imbalan atau keuntungan apapun.
Kejadian beberapa tahun lalu mengharuskannya untuk selalu “waspada” setiap kali ada orang asing yang mengajaknya berkenalan.
Ia hanya tidak ingin membiarkan orang lain—bahkan siapapun—menyakiti dirinya lagi.
Dimas lalu membalas lambaian tangan laki-laki itu sambil berdecak. “Hei, Heze? Kia? Atau Hezekiah? Atau malah Fabian?” Ia berkata dengan nada santai, cenderung terdengar malas. Hanya Kelvin yang mengenal nada bicaranya. Ia yakin Kelvin akan menasihatinya setelah ini. “Ya seperti yang lo tahu, nama gue Dimas. Jurusan Politik, sama dengan Kelvin. Sudah bersahabat dengan teman gue ini sejak SMA. Salam kenal ya,” jelasnya dengan lengkap dan tanpa jeda, tidak ingin berbasa-basi lebih lama dengan orang asing yang lantas terdengar tertawa renyah di samping Kelvin itu.
Orang asing...
Memori Dimas seketika memutar kembali pertemuannya dengan sosok laki-laki asing yang baru saja ditemui beberapa hari lalu di samping gedung Balairung itu.
Sampai detik ini, ia masih mengingat sorot teduh kedua mata bulat pria itu dengan jelas didalam kepalanya. Bagaimana sepasang manik hazelnya merekam setiap garis yang tercetak diwajah laki-laki itu; kala ia berbicara atau bahkan tersenyum saat menunjukkan padanya letak Science Park UI yang sebenarnya sudah Dimas ketahui—Kelvin tidak henti meledeknya karena ia berpura-pura tidak tahu. Bagaimana sepasang matanya merekam setiap gerakan kelopak mata pria itu saat mengedipkan matanya pelan. Dan bagimana Dimas dengan sabar merekam senyum laki-laki asing itu yang sukses membuat dada dan seluruh tubuhnya lantas merasa hangat, walaupun terik matahari siang itu benar-benar menyengat kulitnya yang berwarna cokelat keemasan.
Seumur hidupnya, Dimas tidak pernah merasa semangatnya begitu menyala-nyala saat bertemu mata dengan orang lain yang baru pertama kali ia temui.
Siapapun itu.
Namun sepertinya, laki-laki pemilik mata bulat itu sukses mengubah sifatnya dan mematahkan kebiasaan buruknya lewat tatapan mata pertama.
Dan Dimas benar-benar tidak sabar untuk segera bertemu lagi dengan pria itu dikesempatan berikutnya.
“—mas? Hei? Kok lo melamun,” kata Kelvin sambil melambaikan tangannya didepan wajahnya, membuatnya kembali memijakkan kaki di realita. “Ayo, gue sudah lapar. Heze mau ajak kita ke Kancil? Apa betul itu namanya?”
Hezekiah mengangguk mantap, lalu menatap matanya dengan sorot yang sungguh, mulai sedikit membuat Dimas merasa risih. “Iya, kantin fakultas Psikologi. Daripada kita harus makan di kantin fakultas lain yang lebih jauh. Sekalian mampir ke gedung jurusan Politik. Bagaimana?”
Dimas hanya menyahut sambil berdecak, berusaha menghindari kontak mata dengan laki-laki asing itu. “Oke.”
“Jefri, lebih baik lo beli sendiri deh jusnya di konter sebelah sana kalau memang lo benar-benar haus,” protes Wahyu sambil menunjuk ke arah konter penjual minuman yang dimaksud, mengernyitkan dahinya yang terlihat basah oleh keringat karena cuaca siang ini yang terlalu terik. “Daripada gue harus beli dua gelas jus dengan porsi lebih karena lo selalu nebeng minuman gue.”
Paskal tetap mencoba mengunyah baksonya sambil mengulum senyum, tidak ingin dirinya tersedak sebutir daging bercampur tepung yang besar itu hanya karena menertawai kedua temannya yang duduk di hadapannya. Jefri lantas mencibir, meledek laki-laki di sampingnya yang sebentar lagi terlihat akan kembali mengeluh panjang lebar karena responnya barusan.
“Duh, cuman berapa belas ribu saja lo perhitungan banget, sih, Yu?!” Jefri terlihat mendelikkan kedua matanya jahil, sengaja menaikkan nada bicaranya saat Wahyu mengalihkan pandangannya. Teman laki-lakinya yang dijuluki “kotak bahagia berjalan” itu sedang mencoba menyendok seporsi nasi goreng gila miliknya yang asapnya masih mengebul dari piringnya itu.
Sesaat laki-laki itu kembali menoleh ke arah Jefri, dengan tangan kirinya sudah memegang sebuah botol air mineral, seperti hendak menyiram temannya saat itu juga.
Paskal lantas berdecak, meletakkan sendok dan garpunya didalam mangkuk sambil menelan makanannya sebelum akhirnya menengahi dengan nada khawatir. “Hei, hei,” katanya pelan, mencoba melerai kedua temannya yang terlihat sebentar lagi akan membuat keributan di kantin fakultas Psikologi itu. “You guys. Enough, please? Perkara segelas jus saja kalian sampai ribut begitu. Jangan malu-maluin makara* FISIP, deh. Kita ini sedang numpang makan di kantin fakultas orang, bukan fakultas sendiri.” Paskal berkata sambil memiringkan kepalanya, merasa malu saat menyadari bahwa orang-orang yang sedeang duduk di sekitar mereka sudah melirik ke arahnya.
Jefri mendengus sambil memutar kedua bola matanya malas. “Yeah, yeah. Lo nggak asik deh, Paskal. Kita hanya bercanda, daripada harus diam seperti sedang makan dengan orang asing. Kita nggak akan membuat keributan, lah. Ya, 'kan, Yu?” Temannya itu bertanya pada laki-laki di sampingnya, yang terlihat hanya menggumamkan satu kata dengan malas, lantas membuat Paskal tertawa.
“Nggak asik lo, Yu. Gue pikir kita berdua adalah teman,” ujar Jefri dramatis, memasang raut wajah sedih sambil menaruh kedua tangannya didada kirinya. Paskal yang sedang meneguk air mineralnya hampir saja tersedak, kalau saja ia tidak mengacungkan jari telunjuknya untuk meminta laki-laki itu menutup mulutnya.
Wahyu yang melihat gesturnya hanya terdengar tertawa mengejek sambil menjulurkan lidahnya, sedang Jefri hanya mencebik kesal. “Whatever,” katanya malas.
Ketiganya menikmati makan siang mereka dengan bersenda gurau, menggunakan waktu luang yang ada sebelum melanjutkan kegiatan mereka di FISIP. Beruntung siang ini, kantin fakultas Psikologi yang memiliki sebutan “Kancil” itu cenderung sepi, tidak seperti beberapa hari sebelumnya yang penuh sesak—mereka bertiga sempat tidak mendapatkan tempat untuk duduk—sesekali bergantian membicarakan masa lalu mereka sebelum akhirnya resmi menyandang status mahasiswa Universitas Indonesia.
Lewat pembicaraan mereka siang ini, Paskal akhirnya mengetahui bahwa Jefri dan Wahyu sudah saling mengenal satu sama lain sejak keduanya bertemu di sebuah lembaga kursus setahun silam. Keduanya bergabung pada waktu yang sama, namun setelah beberapa bulan berjalan, intensitas mereka untuk bertemu lambat-laun berkurang karena kesibukan dan waktu kursus yang berbeda. Namun akhirnya, keduanya kembali bertemu saat beberapa waktu lalu mendatangi gedung Rektorat UI untuk mengambil surat informasi sekaligus Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), dan memutuskan untuk bertukar kontak.
Paskal menopang dagunya selama mereka mengobrol, merasa bersyukur karena bertemu dengan dua orang yang dapat dianggap sebagai temannya. Ia sendiri adalah orang yang sedikit tertutup, tidak begitu menyukai obrolan yang menjurus kearah kehidupan pribadinya. Ia lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Toh, menurutnya, semua masa lalunya tidak begitu penting, lebih baik fokus pada apa yang dijalaninya saat ini. Namun bertemu dengan Jefri dan Wahyu, membuatnya sedikit demi sedikit mencoba untuk mulai terbuka pada orang lain.
Kedua laki-laki itu membuatnya merasa cukup nyaman, seperti sudah menjalin pertemanan dengan mereka sekian lama.
Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam dan merasa tidak ada hal yang dapat diceritakan lagi siang ini, Jefri lantas memukul kedua pahanya lalu merogoh saku celananya, sepertinya ingin mengeluarkan dompet lipatnya. Wahyu terlihat sedang menyeruput jus jeruknya hingga sedotan yang digunakannya itu mengeluarkan suara yang menandakan bahwa jusnya benar-benar tandas.
Jefri lalu menyampingkan tubuhnya, menjulurkan kaki kirinya keluar dari kolong meja kayu itu. “Paskal, gue mau beli air mineral dingin sebelum kita cabut. Lo mau titip apa?” Laki-laki itu bertanya sambil berdiri dari duduknya, kedua tangannya merapikan kemeja yang terlihat sedikit kusut pada bagian belakang. “Lo mau apa, Yu? Jus jeruk lagi?”
Laki-laki yang ditanya oleh Jefri hanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya, sedangkan Paskal hanya mengedikkan bahu, tidak merasa begitu haus, namun air mineral miliknya terlihat sudah habis saat dirinya sempat tersedak sambal beberapa saat lalu. “Gue titip air mineral dingin saja, Jef. Thanks, ya. Nanti gue ganti uangnya.”
Jefri yang hendak melangkah menuju konter penjual minuman itu hanya berdecak singkat sebelum menyahut. “Halah, santai saja. Gue bukan Wahyu yang perhitungan, Paskal. Tenang,” ujar temannya itu dengan nada jahil, lalu dengan cepat berlari dari tempat mereka duduk karena mendengar Wahyu mengumpat, membuat Paskal lantas tertawa.
“Bangsat. Awas lo ya, Jef!”
Setelah laki-laki itu meninggalkan meja mereka, ia dan Wahyu tenggelam dalam keheningan masing-masing. Paskal menangkap lewat ekor matanya, temannya yang duduk di hadapannya itu terlihat sedang mengetik sesuatu pada ponselnya sambil mengernyitkan dahi. Ia lantas memilih menyibukkan diri dengan menulis beberapa cuitan pada akun media sosialnya, menggerakkan jarinya ke sana kemari, kemudian menyempatkan diri untuk membalas pesan Julian yang mengatakan bahwa pria itu sedang menyantap makan siangnya di kantin FISIP dengan teman-temannya.
Paskal hendak meletakkan ponselnya pada meja kantin saat ia mendengar langkah kaki Jefri mendekat.
Ia lalu menoleh, mengikuti gerak-gerik laki-laki itu yang kemudian kembali duduk di hadapannya sambil tergesa-gesa. Jefri meletakkan minuman mereka dengan asal diatas meja—demi Tuhan, gelas plastik berisi jus jeruk milik Wahyu yang dibawanya hampir saja jatuh—lalu duduk sambil tersenyum lebar.
Ia mengernyitkan dahi melihat tingkah temannya yang tidak biasanya itu.
“Kenapa sih lo, Jef? Ada apa? Kenapa lo seperti sugar rush seperti itu?”
“What the fuck happened, Jefri? Apaan, sih?” Wahyu terdengar menimpali pertanyaannya dengan nada bingung, menjulurkan tangannya untuk “mengamankan” segelas jus jeruknya yang hampir tumpah.
Jefri terlihat menempelkan jari telunjuknya sendiri pada bibirnya, memintanya dan Wahyu untuk diam, sambil mencoba mengatur napasnya sendiri yang terdengar terengah-engah.
Ada apa dengan Jefri, sih? Apa dia baru saja dikejar oleh seekor anjing? Paskal membatin.
“Oke, jadi,” katanya singkat sebelum mengatur napasnya lagi. Laki-laki itu lalu membuka botol air mineral yang baru saja dibelinya dan meneguknya hingga isinya tersisa setengah. “Gue baru saja melewati segerombolan orang cakep! Well, tidak segerombol sih, hanya bertiga. But damn, they are so fucking handsome,” jelasnya setengah memekik dengan kecepatan yang melewati batas wajar, sambil menutup botol minumannya. “Gue hampir saja ngajak kenalan, sebelum akhirnya sadar kalau bisa saja mereka senior kita, 'kan? Gue tidak mau menjadi sasaran caci maki senior saat ospek besok hari kalau hipotesis gue benar.”
Wahyu terdengar menggumam, terpancing oleh kalimat yang barusan Jefri katakan. “Yang mana, yang mana? Mumpung kita bisa cuci mata, Jef,” kata laki-laki itu bersemangat, tersenyum sumringah, melupakan jus jeruknya.
Paskal hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa. “Sialan, gue kira ada apa, Jef. Gue kira lo dikejar anjing yang biasanya tidur di dekat lapangan voli itu atau apalah.”
Laki-laki yang masih terdengar terengah itu tidak menghiraukan kata-katanya, memilih untuk menjawab pertanyaan Wahyu dengan bersemangat. “Arah jam sebelas lo, Yu. Arah jam limanya Paskal. Orangnya menghadap ke arah sini seperti Paskal, jadi please, lo jangan langsung lihat ke arah orangnya. Be subtle, oke? Jangan terlihat seperti orang amatiran.”
Mendengarnya, Paskal kembali tertawa sambil menjulurkan tangannya untuk meraih botol air mineralnya, membukanya lalu meneguk airnya untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Sisa sambal tadi ternyata masih membakar tenggorokannya.
Namun ia sungguh tidak mampu menahan hasrat untuk tidak menolehkan kepalanya saat mendengar Wahyu sedikit kencang mengumpat. “Cakep banget, brengsek.”
Paskal lantas menutup botolnya dan mengernyitkan dahinya, hendak menolehkan kepalanya saat tiba-tiba merasakan cengkeraman yang begitu kuat pada pergelangannya.
“Tunggu!” Jefri terdengar menggeram, genggaman tangannya yang mungil pada pergelangan tangannya sukses membuatnya sedikit meringis. “Tunggu orangnya menoleh dan nggak melihat ke arah sini baru gue izinkan lo untuk lihat ke arah mereka,” jelas temannya itu sambil sedikit menunduk. “Kantin ini sedang sepi. Kalau kita bertiga melihat ke arah sana bersamaan, gue yakin orang itu akan sadar.”
Ia lantas menjulurkan tangannya dan menyentil dahi Jefri, membuat laki-laki itu mengaduh dan mengacungkan jari tengah ke arahnya.
Ia lalu tertawa dan akhirnya menyerah, tidak merasa perlu untuk melihat sosok yang dinilai “tampan” oleh kedua temannya itu. Paskal bahkan tidak tahu apakah kategori yang dimiliki Jefri dan Wahyu itu sama dengannya.
Paskal hendak menarik tangannya dari genggaman Jefri, saat teman laki-lakinya itu kembali mencengkeram tangannya dan berbisik, “Paskal, sekarang!”
Ia lalu menolehkan kepalanya cepat, melihat ke arah yang diminta oleh laki-laki itu.
Dan demi Tuhan, Paskal merasa dadanya berdegup kencang.
Dari kejauhan, ia mampu melihat sosok yang beberapa hari ini menghantui pikirannya dengan jelas. Laki-laki yang memiliki tubuh yang tinggi, senyum yang menawan, dan sorot mata tajam yang mampu membuat darahnya berdesir.
Laki-laki itu terlihat sedang duduk dengan dua orang laki-laki lainnya, mengenakan kaus putih oblong yang membuat tubuh bagian atasnya terlihat jelas. Dadanya terlihat bidang, bahunya terlihat lebar, kaus putih longgar itu memperlihatkan tulang selangkanya.
Sungguh, Paskal menelan air liurnya saat melihat laki-laki itu menyunggingkan senyum kotaknya saat sedang tertawa dengan lawan bicaranya.
Dan yang membuatnya terkejut dan terperangah adalah saat kedua mata bulatnya menangkap sebuah tali berwarna jingga terikat dilengan kanannya, membuat otot bisepnya terlihat jelas.
Laki-laki yang belum ia ketahui namanya itu... adalah mahasiswa baru FISIP, sama seperti dirinya?!
Maba : Mahasiswa baru
Makara : Lambang fakultas di Universitas Indonesia, contoh: Makara FISIP berwarna jingga, makara FH (Fakultas Hukum) berwarna merah, makara FT (Fakultas Teknik) berwarna biru
Tibum : Ketertiban Umum