the last baton | 721

Tangan Vincent terasa dingin; hampir kaku karena udara kota Paris hari ini yang tidak bersahabat. Sejak pagi hari, ia beberapa kali mengecek aplikasi penyedia radar cuaca yang tersedia dalam ponselnya, menunjukkan bahwa cuaca hari ini akan cenderung cerah. Hujan akan diperkirakan turun pada pukul delapan malam, walaupun saat ini, musim gugur sedang mengungkung kota Paris. Ia berulang kali berdoa agar ramalan cuaca tidak meleset, tidak ingin para penonton akan terlambat menghadiri pertunjukan orkestranya.

Menyadari bahwa buku-buku jarinya semakin lama semakin sulit untuk ditekuk, ia lantas meminta sang chauffeur* yang duduk dibalik kemudi untuk menyalakan penghangat ruangan mobil. Pria yang bernama Damien itu hanya membalas permintaannya dengan satu anggukan, lalu mengulurkan tangannya untuk mengatur penghangat ruangan.

Vincent lalu mengucapkan terima kasih pada pria yang bertugas melayani dirinya dan Gregory hari ini; mengantar mereka berdua dari apartemennya yang berada di daerah Rue de la Ferronnerie menuju gedung Paris Philharmonic, tempat di mana pertunjukan orkestranya akan berlangsung.

Ia mendengar Gregory berbisik lirih, menggelitik indra pendengarannya bersamaan dengan rasa hangat yang perlahan mengalahkan rasa dingin pada telapak tangannya. Kekasihnya itu sudah menggenggam tangannya, menyisipkan jemarinya diantara jarinya yang hampir kaku.

Vincent merasakan suara kekasihnya membelai lembut wajahnya, membuat dada dan pipinya menghangat. “Vin sayang,” panggil pria itu. Ia lantas menoleh sambil membalas genggaman tangan kanan kekasihnya itu pada tangan kirinya. “Are you okay? Kamu nervous, ya?”

Ia hanya bisa tertawa kecil, melirik sekilas ke arah Damien yang sedang mengemudikan mobil Mercedes Benz S-Class Maybach S 560 yang disewanya khusus untuk hari istimewanya itu. Pria asing itu terlihat sedang berkonsentrasi melajukan mobil, tidak menghiraukan dirinya dan Gregory yang tengah berbincang di kursi belakang.

Baiklah, setidaknya pria itu mungkin tidak akan mendengar percakapannya dengan Gregory setelah ini, batinnya.

Ia lalu kembali menatap Gregory yang terlihat tampan dalam jas biru gelap bergaris yang membalut lekuk tubuhnya dengan sempurna, dengan kalung yang sedikit longgar melingkari lehernya.

Tuhan, jika saja ia dan Gregory memiliki waktu lebih, mungkin ia akan mengusulkan pada kekasihnya itu untuk melakukan sesuatu didalam mobil sebelum keduanya berpisah nanti.

Namun ia tahu, Gregory akan dengan sigap menolak permintaannya karena pria itu tidak ingin jas yang dikenakannya khusus untuk pertunjukan nanti akan lecek karena kegiatan mereka.

Yeah, a little, Gregory,” akunya sambil mengulum senyum. Ia lebih memilih untuk mengatakan yang sesungguhnya pada pria itu, daripada berbohong dan memendam rasa gugup yang sudah menggerayangi seluruh rongga dadanya sejak pagi tadi. Ia lalu menyambung kalimatnya lagi, setelah menarik pelan tangan kekasihnya dan meninggalkan beberapa kecupan pada bagian punggungnya. “Aku baru merasa gugup sejak pagi tadi, Gregory. Which is normal, because I have things to achieve, you know.”

Pria yang duduk di sisi kirinya itu tersenyum lebar, mengusapkan punggung tangannya yang sedikit hangat pada pipi Vincent yang dingin, menetralkan rasa gugup yang perlahan menjalar hingga ke kepalanya. “You will do great, Vin. Just like you always did in the past,” katanya lirih, kedua matanya yang bulat kini terbentuk seperti bulan sabit. Kekasihnya itu selalu tahu bagaimana caranya untuk membuat dadanya berdegup kencang tanpa melakukan apapun. “Jangan dijadikan beban, ya? Anggaplah semua penontonmu di gedung nanti adalah orang-orang terdekatmu. Lakukan yang terbaik saja, oke? Usahamu tidak akan mengkhianati hasil, kok, Vin. Percayalah.”

Lima kalimat sederhana yang baru saja diucapkan oleh Gregory sukses membuat seluruh ototnya yang tegang karena gugup, kini terasa rileks. Kekasihnya itu pun menjulurkan tangan kirinya, mengusap pelan bagian paha kirinya naik turun. Gregory selalu tahu bagaimana cara menenangkan badai yang melanda sekujur tubuhnya dan gemuruh rasa khawatir serta berbagai pikiran buruk yang mengokupasi rongga kepalanya.

Pria itu kini sudah menghadapkan tubuhnya ke arahnya, terlihat tidak memedulikan kemungkinan bahwa jas yang tengah membalut lekuk tubuhnya yang indah itu akan lecek dan kusut karena posisi duduknya.

Vincent menghela napasnya, lalu mengangkat tangannya untuk menangkup dagu Gregory. Ia perlahan mengusap bibir pria itu dengan lembut menggunakan ibu jarinya, sebelum akhirnya meminta Gregory untuk memajukan wajahnya. Ia mendengar pria itu terkekeh, lalu melakukan permintaannya dan menghembuskan napas hangat pada wajahnya.

Keduanya saling bertatapan; Gregory dengan sorot matanya yang sendu, dan Vincent dengan manik hazelnya yang tajam, tengah memperhatikan garis wajah Gregory dengan teliti. Pria itu lalu tertawa kecil, membasahi bibirnya dengan lidahnya, membuat Vincent lantas kehilangan konsentrasi. Ia pun tak sadar sudah melenguh, merasakan hangat napas keduanya melebur, mengalahkan udara dingin kota Paris yang terasa hingga permukaan kulit mereka.

Mon Dieu, Beau,” bisiknya ditengah ciuman mereka yang pelan namun pasti dan tidak terburu-buru. Mereka memilih untuk menikmati waktu yang tersisa menuju gedung Paris Philharmonic karena letaknya yang cukup jauh. Keduanya saling memagut bibir satu sama lain, memiringkan kepala mereka untuk menemukan posisi yang nyaman. Vincent tak lagi menghiraukan suara musik jazz yang mengalun memenuhi seisi mobil itu, yang digunakan olehnya sebagai pereda rasa gugupnya sejak keduanya bertolak menuju gedung yang terletak di daerah Avenue Jean Jaurès itu.

Je t'aime, mon amour. Je t'aime.”

Sepasang telinganya mampu mendengar senyum Gregory yang sumringah, pun bibirnya merasakan hal yang sama, membuatnya merasa bahagia. Ia masih memejamkan kedua matanya, ingin menikmati setiap detik dan menit yang tersisa sebelum akhirnya keduanya dipisahkan oleh status yang berbeda—Gregory sebagai salah satu tamu undangan dan Vincent sebagai konduktor orkestra.

Ini adalah kali pertama Gregory menonton konser orkestranya. Vincent sendiri tidak merasa heran jika dirinya dilanda mabuk perasaan gugup saat ini. Sejujurnya, setiap kali dirinya menggelar konser orkestra, ia selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia layak disandingkan dengan deretan pemegang predikat konduktor orkestra terbaik di dunia.

Menjadi seorang konduktor orkestra di negeri orang dengan berbekal pengetahuan dan bakat yang ia miliki, membuatnya semakin yakin dan percaya diri akan kemampuannya.

Walaupun profesinya menjadi konduktor orkestra dan kecintaannya pada musik sudah menjadi bagian dari hidupnya, namun memperkenalkan keduanya secara resmi pada Gregory hari ini, perlahan membuat segala aspek dalam hidupnya terasa lebih nyata. Vincent merasa bahwa mengundang Gregory untuk menyaksikan konser orkestranya adalah langkah tepat yang dapat ia lakukan untuk menyatukan dunianya dan memposisikan keduanya sejajar sama penting.

Bagi Vincent, perasaan dan pendapat Gregory adalah hal terpenting untuk saat ini, dan bantuan serta dukungan moral dari pria itu membuatnya tersadar bahwa selama ini, kekasihnya itu benar-benar berada di sisi Vincent untuk meyakinkannya bahwa ia mampu menjadi yang terbaik dari yang terbaik.

Tuhan, Vincent sudah tidak sabar untuk berlutut di atas podium dan mengucapkan kalimat yang sudah tertahan di ujung lidahnya pada Gregory.

Ia lantas merengkuh kekasihnya itu dalam pelukannya, memeluknya erat sambil membisikkan kata-kata yang mengawali semua rencananya itu.

I love you, Gregorius, my last baton. I love you more than anything.”


Vincent menepuk punggung tangan kekasihnya yang terasa hangat saat sepasang manik hazelnya menyadari keberadaan gedung megah yang dihiasi eksterior berwarna perak yang cantik di depan matanya. Ia lalu mengecek jam pada pergelangan tangannya, waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Ia harus segera turun dari mobil dan bertemu dengan tim orkestranya untuk mempersiapkan diri sebelum memulai konsernya.

Ekor matanya lalu menangkap sosok Gregory tengah melamun, menopang dagunya dengan tangan kirinya sambil memfokuskan pandangannya ke arah jalanan, tidak menyadari bahwa sedari tadi mobil yang membawa keduanya sudah memasuki area gedung Paris Philharmonic. Ia hanya tersenyum simpul saat melihat Gregory menoleh ke arahnya. Pria itu tersenyum kikuk, mengucapkan kata maaf setelahnya karena melamun.

Vincent hanya menggelengkan kepalanya pelan, lalu mencondongkan tubuhnya untuk mengikis jarak diantara mereka. Ia memandangi kedua mata indah Gregory yang tengah membulat, dahinya mengernyit, kedua alisnya hampir bertaut diantara batang hidungnya.

Ia dengan sigap menangkup wajah pria itu dengan kedua tangannya, lalu menarik wajah Gregory untuk mengecup dahinya cukup lama.

Sepasang telinganya mendengar helaan halus napas Gregory, membuatnya tersenyum.

“Kamu gugup ya, Gregory?” Vincent bertanya pada kekasihnya yang tengah menggenggam kedua pergelangan tangannya. Telapak tangan pria itu terasa hangat, seperti sedang menyalurkan energi positif keseluruh sel dalam tubuhnya. Namun Vincent tidak dapat melewatkan raut wajah Gregory yang terlihat berbeda. Ia dengan cepat melontarkan kalimat yang dinilai mampu mencairkan ketegangan yang mungkin sedang dirasakan oleh kekasihnya itu. “Padahal bukan kamu yang akan menggelar konser orkestra dalam hitungan jam, sayangku.”

Vincent menekan bibirnya kembali pada batang hidung kekasihnya itu, lalu menggesernya untuk mengecup kedua kelopak mata bulatnya yang tengah terpejam. Gregory terdengar menggeram, membuatnya terkekeh geli. Pria itu pasti merasa kesal karena kalimat candaannya barusan.

Ia lalu menarik wajahnya mundur dan melepaskan tangannya yang sedari tadi menangkup pipi kenyal pria itu. Ia menyunggingkan senyum lebar saat melihat Gregory memutar kedua bola matanya malas, sambil kedua tangannya dijulurkan untuk merapikan dasi kupu-kupu yang melingkar pada kerah kemeja putihnya.

“Ya, Vin, itu aku tahu,” desisnya sambil tetap merapikan dasi kupu-kupunya yang sedikit miring. Vincent tergelak barang sebentar, lalu dengan cepat melirik ke arah Damien dan luar mobil, menyadari bahwa mobil itu sedari tadi sudah berhenti di depan pintu masuk gedung.

Pria yang duduk dibalik kemudi itu bergeming, tidak menghiraukan sepasang kekasih yang sedari tadi hanya sibuk berbincang dan berciuman di jok belakang mobil mewah itu.

Pikirannya kembali fokus pada Gregory yang berbisik lirih. “I just... I feel like something is going to happen. Should I be prepared, Vin?”

Seketika Vincent tercekat, menghentikan tarikan napasnya sepersekian detik karena terkejut mendengar pertanyaan Gregory. Pria itu sudah kedua kalinya menanyakan hal yang sama padanya, membuatnya lantas khawatir dengan kejutan dan rencananya akan berantakan.

Gregory tidak mengetahui tentang dirinya yang akan melamar setelah konser orkestranya berakhir, 'kan? Semuanya akan sia-sia jika kekasihnya itu dengan tidak sengaja mendengar atau bahkan mengetahui seluruh rencananya yang telah diatur sedemikian rupa olehnya.

Maka satu-satunya hal yang dapat Vincent lakukan saat ini adalah berpura-pura, berusaha mengatur raut wajahnya agar Gregory tidak menyadari bahwa dirinya tengah menyembunyikan sesuatu.

Vincent lalu mengernyitkan dahi saat menatap kedua mata bulat Gregory yang terlihat sendu, sebelum menarik tubuh kekasihnya itu kembali dalam pelukannya. “Is there anything you want to tell me, Gregory? Sebelum kita berpisah setelah ini, karena aku harus bersiap dengan timku, sayang.”

Pria yang sedang membenamkan wajahnya pada ceruk lehernya itu menggeleng pelan, setiap helaan napasnya yang hangat sukses menggelitik leher Vincent dan membuatnya merasa geli. Gregory lalu menjawab sambil memainkan kancing jas berwarna hitamnya dengan jemarinya. Ia tidak peduli jika jasnya akan terlihat kusut akibat mendekap Gregory terlalu lama dalam pelukannya. Ia hanya peduli dengan kekasihnya yang tengah terlihat murung, entah karena apa, sambil berdoa bahwa pria itu tidak mengetahui rencananya sama sekali.

“Tidak. Aku hanya gugup, ingin sekali melihat reaksi senang dan puas saat menonton pertunjukanmu nanti. I just want you to be happy and feel proud of yourself, Vin. Because you deserve the recognition of your hard work,” jelas pria itu sambil mengeratkan kedua tangan yang melingkar dilehernya. “Aku ingin usahamu diakui banyak orang, termasuk beberapa orang penting yang mungkin akan datang untuk menonton konsermu. Itu saja.”

Vincent tersenyum, hatinya terenyuh saat mendengar kekasihnya menjelaskan padanya apa yang sedang dirasakannya. Gregory terdengar khawatir akan performanya hari ini, mengatakan bahwa dirinya layak untuk dikenal oleh banyak orang. Hal itu membuat Vincent semakin mengeratkan pelukannya, mengecup pelipis dan puncak kepala pria itu bergantian. “Kamu tidak perlu khawatir, Gregory, because I have you as my lucky charm, remember? I will be fine, and I know I will do great. Don't worry. Just sit tight, enjoy the show and try to stop worrying about me, my love. Okay?”

Ia tidak menyadari dirinya menghela napas panjang, merasa lega karena Gregory tidak menunjukkan kemungkinan bahwa pria itu mengetahui rencananya. Timothy dipastikan akan menyentil dahinya sekeras mungkin—dan mungkin saja pria itu akan koprol di depan podium—jika ternyata Gregory mengetahui seluruh rencananya hari ini.

Kekasihnya itu menggumamkan kata “oke”, sebelum akhirnya mengangkat kepalanya sambil melonggarkan kedua tangan pada lehernya. Sepasang manik hazelnya lalu bertemu dengan mata bulat Gregory.

Vincent merasa seperti seperti sedang bercermin saat melihat pria itu mengernyitkan dahinya. Pria itu terlihat bingung.

Ia lalu menggumam sambil menyisir surai hitam Gregory yang jatuh menutupi mata bulatnya. “Yes, Beau? I literally can hear the machine inside your head working so hard right now,” ujarnya sambil mengusap dahi kekasihnya itu pelan dengan ibu jarinya.

Gregory terlihat menggelengkan kepalanya tanpa suara, memejamkan matanya sambil menggumam, sepertinya menikmati setiap usapan lembut Vincent pada dahinya. “Hanya penasaran saja, Vin. Mengapa kamu selalu mampu mengontrol emosimu begitu tenang, setiap dihadapkan pada situasi seperti ini. I guess I need to learn a lot from you, don't you think?”

Vincent lantas berdecak, sesaat sebelum kembali mencium dahi pria itu. Ia benar-benar ingin meyakinkan Gregory bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebaliknya, Vincent lah yang seharusnya was-was dan gugup karena sebentar lagi, ia harus melakukan dua hal penting dalam hidupnya; dua hal yang pada akhirnya akan berada di posisi yang sama.

Dirinya yang dulu mungkin tidak akan pernah menyangka bahwa ia mampu melakukannya; memposisikan orkestranya sejajar dengan sesuatu—bahkan seseorang—yang dianggap penting dalam hidupnya.

Namun sepertinya Tuhan tidak mau membiarkan Vincent hidup dengan musik dan hanya untuk musik. Maka Ia memberikannya seseorang yang sempurna untuknya; yang mengajarkannya bahwa tidak ada salahnya membuka hati dan pikiranmu dengan mempersilakan hidupmu “ditemani” oleh orang lain, dan bagaimana Tuhan mengajarkan Vincent bahwa berubah menjadi pribadi yang lebih baik adalah hal yang positif.

Gregory mengajarkannya banyak hal, dan Vincent sudah tidak sabar untuk menjalani setiap lika-liku hidupnya untuk belajar dengan pria itu.

Vincent sungguh tidak sabar.


Setelah mengantar kekasihnya untuk bertemu dengan para sahabatnya yang sudah menunggu di depan pintu masuk gedung Paris Philharmonic, Vincent segera menenteng tasnya berisi saksofon, tongkatnya—serta sebuah kotak kecil berwarna merah marun berbahan suede berisi cincin yang diharapkan akan tersemat di jari Gregory terhitung dua jam dari sekarang—lalu melangkahkan kakinya ke arah belakang panggung.

Waktu telah menunjukkan pukul empat lebih dua puluh lima menit sore hari. Dalam tiga puluh menit, ia akan merubah mode dirinya dan pikirannya menjadi “Vincent, sang konduktor orkestra”. Ia harus mengontrol emosinya dan berfokus pada profesinya sebagai konduktor untuk memimpin jalannya konser.

Vincent mengatur napasnya sebanyak tiga kali—menarik dan menghembuskannya perlahan—sebelum memasuki sebuah ruangan yang terletak tidak jauh dengan area belakang panggung. Ia berharap dalam hati agar konsernya berjalan dengan lancar dan memuaskan. Ia sudah mengubur dalam-dalam harapannya untuk bertemu dengan beberapa pihak penting dari Vienna Philharmonic, karena seperti yang dikatakan oleh Josephine, salah satu klub orkestra terbaik di dunia itu akan menghadiri beberapa konser orkestra secara acak. Vincent tidak ingin menggantungkan harapannya terlalu tinggi. Ia hanya ingin fokus agar para penonton dan tamu undangan merasa senang dan menyukai konsernya yang akan diselenggarakan dalam beberapa menit itu.

Ia meletakkan tas berisi saksofon diatas meja yang ada di sudut ruangan itu, lalu menghampiri para anggota klub orkestranya yang tengah berdiri melingkar di tengah ruangan sambil berbincang dengan satu sama lain.

Vincent berdehem, memberi kode pada mereka bahwa ia sudah tiba dan siap untuk beraksi di panggung dengan timnya yang berjumlah sekitar lima puluh orang itu.

Josephine yang terlihat sedang berdiri bersisian dengan Eléonore sambil memegang biola dan alat geseknya itu menoleh, melambaikan tangan kanannya sambil memanggil namanya. Seketika para anggota klub orkestranya itu pun ikut menoleh lalu melempar senyum kearahnya. Vincent membalas sapaan mereka dengan senyum sumringah, lalu melangkahkan kaki mendekati lingkaran manusia di tengah ruangan itu.

Vincent memejamkan matanya lagi, menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia merasakan dadanya berdegup dua kali lebih cepat, merasakan adrenalinnya terpacu, membuatnya sangat bersemangat. Ia lalu menangkup kedua tangannya didada, menundukkan kepalanya untuk memanjatkan doa, berharap agar semua usahanya dan kerja kerasnya akan membuahkan hasil yang memuaskan.

Dua menit berlalu, Vincent akhirnya membuka matanya kembali dan mengajak para anggota klub orkestranya berbincang, meluangkan waktu yang tersisa untuk saling menyuntikkan kata-kata penuh semangat dan positif kepada satu sama lain, sambil terus memikirkan kalimat Gregory yang terngiang ditelinganya, membuatnya yakin dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saat ia mendengar seorang wanita yang terlihat mengenakan earpiece pada telinganya dan menggenggam alat komunikasi berwarna hitam itu mengatakan bahwa konser akan dimulai dalam waktu lima belas menit, Vincent lantas meminta para anggota klubnya untuk merapat dan menyatukan tangan mereka ditengah lingkaran.

Good luck to all of us. Faisons de notre mieux peu importe quoi*,” katanya mantap dengan setengah berteriak, memberikan semangat kepada semua orang yang ada di ruangan itu—termasuk dirinya sendiri—bahwa konser orkestranya akan berjalan dengan lancar.

Terdengar Mattheo, pemain alat musik biola sekaligus salah satu teman dalam klubnya berteriak, membuatnya lantas tergelak dan menyerukan kata yang sama dengan apa yang diteriakkan pria oleh itu. “Exquise!”

Exquise!”

Kerumunan anggota klub orkestranya akhirnya membubarkan diri lalu membentuk barisan untuk segera naik keatas panggung dan bersiap pada posisinya masing-masing. Konduktor orkestra biasanya akan naik ke podium saat konser dimulai, sehingga Vincent masih memiliki waktu untuk mempersiapkan diri dan mengambil waktu hening untuk dirinya sendiri.

Sesaat setelah Vincent menyelesaikan waktu heningnya, ia merasakan ponselnya yang disimpan dalam saku jasnya bergetar. Ia lantas merogoh sakunya, mengambil benda itu lalu membaca notifikasi pada layar.

Seketika, Vincent tersenyum lebar.

Mon Amour Gregory J: Vin sayang, good luck okay i know you'll do great i'll be the first person to give you a standing applause later aku hampir aja ngetik “break a leg”, but i guess it's not appropriate haha so yeah good luck Vin, and do the best i love you, my last baton my forever home

Vincent merasakan kedua pipinya menghangat dan hatinya terenyuh saat membaca pesan terakhir dari Gregory. Ia lantas melangkah ke arah meja tempatnya meletakkan tas berisi saksofon dan tongkatnya, lalu membukanya untuk meraih kotak kecil berwarna merah marun itu dan memasukkannya kedalam saku celana panjangnya.

Ia lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mengosongkan pikirannya untuk berkonsentrasi dan mengubah mode kepalanya menjadi “Vincent sang konduktor orkestra”, sebelum akhirnya mengambil tongkatnya dan melangkah keluar dari ruangan itu.

Langkah kakinya terasa ringan saat menaiki anak tangga menuju panggung. Ia sudah siap untuk memimpin jalannya konser hingga satu jam tiga puluh menit kedepan.

Dalam kepalanya dan pikirannya, hanya ada satu tujuan, yaitu mempersembahkan konser orkestranya pada para penonton dengan sempurna dan sukses. Tidak ada hal lain yang diperbolehkan mengokupasi pikirannya saat ini.

Vincent sempat menangkap sosok Gregory dan kelima sahabatnya tengah duduk di baris VIP yang memperhatikan dirinya berjalan ke arah podium dengan ekor matanya. Ia menatap lurus ke depan, enggan menolehkan kepalanya untuk menyapa mereka. Ia lalu bersalaman dengan Josephine saat berdiri dipinggir podium, sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah kursi penonton.

Ia mengedarkan pandangan, memperhatikan betapa padatnya ruangan itu, terisi penuh oleh lautan manusia tanpa terkecuali. Vincent tidak melihat satu kursi pun kosong. Manik hazelnya lalu menyusuri lantai dua area penonton, tak membutuhkan waktu lama hingga akhirnya bertemu mata dengan Thomas yang sudah duduk berdampingan dengan kedua orang tuanya.

Ia mengulum senyum, lalu mengalihkan perhatiannya lagi pada sosok pria yang sepertinya sudah menunggu dirinya untuk bertemu mata dengannya.

Manik hazelnya bertemu dengan mata bulat yang berbinar itu. Gregory terlihat tersenyum lebar, mengacungkan kedua ibu jarinya sambil melafalkan dua kata dengan bibirnya tanpa suara, yang dapat tertangkap jelas oleh kedua matanya.

Ia melempar senyum ke arah pria yang dicintainya itu, membungkukkan tubuhnya selama lima detik, lalu menatap kembali sepasang mata bulat itu sambil membalas kata-katanya tanpa suara.

“Aku mencintaimu.”

Tanpa menunggu reaksi Gregory atas kata-katanya barusan, Vincent lantas membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah anggota klub orkestranya yang sudah dalam posisi siap.

Lalu Vincent mengacungkan tongkatnya dan mengayunkannya.


Gregory terpukau, tidak ingin mengedipkan matanya barang sedikit pun. Kekasihnya sedang berdiri di atas podium dengan postur yang sempurna, mengayunkan tongkatnya kekanan dan kekiri, keatas dan kebawah dengan gerakan yang tegas. Vincent terlihat sangat berkharisma—walaupun dirinya hanya dapat melihat punggung bidang pria itu. Auranya benar-benar terpancar dan terasa berbeda, bila dibandingkan dengan Vincent yang dikenalnya sehari-hari selama enam bulan belakangan.

Dan tentu, berbeda dengan Vincent yang sejam lalu mencium dan memeluk tubuhnya didalam mobil mewah itu.

Konsentrasinya tertuju pada Vincent yang terlihat lihai menggerakkan tongkatnya, sesekali membalikkan lembaran partitur yang ada dihadapannya dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya masih mengayunkan tongkatnya.

Ia tidak menyangka akan menyaksikan Vincent “berubah” tepat didepan matanya. Kekasihnya benar-benar profesional dan terlihat fokus memandu klub orkestranya memainkan nada yang belum pernah didengar olehnya. Walaupun ia begitu mencintai musik seperti Vincent mencintai orkestranya, namun ia belum pernah mendengar untaian nada klasik seperti ini. Klub orkestra yang beranggotakan lebih dari lima puluh orang itu dengan lihai dan fokus memainkan alat musik mereka masing-masing.

Semuanya terlihat menakjubkan; memainkan alat musik sekaligus memperhatikan lembar partitur yang ada di hadapan mereka, sambil memperhatikan gerakan tangan Vincent dengan seksama secara bergantian.

Mulutnya menganga—tak henti-hentinya merapalkan kata “oh my God” berulang kali, mengedarkan pandangannya ke sana kemari kala mendengar rombongan orkestra itu memainkan nada yang intens dan dramatis.

Nada-nada itu sesekali bersahut-sahutan, sesekali terdengar lembut, dan sesekali melebur menjadi satu, menghasilkan lantunan nada yang indah.

Gregory tenggelam, mencurahkan seluruh perhatiannya pada konser yang Vincent bawakan, sedari tadi tidak mengindahkan teman-temannya yang duduk bersisian dengannya. Ia lalu melirik ke arah kanan; Timothy dan Maximillian terlihat fokus, mata mereka menatap lurus ke depan, kedua tangan mereka pun terlipat. Disisi kirinya, ia melihat Tobias dan Hosea sesekali mengerjapkan matanya, sepertinya sebentar lagi akan tertidur karena musik klasik yang mungkin tidak cocok dengan selera mereka.

Sedangkan Sebastian terlihat duduk dengan nyaman sambil melipat tangan kirinya, menggunakan tangan kanannya untuk menopang dagunya. Pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang putih, menatap Vincent layaknya seorang ayah yang bangga dengan apa yang sedang dilakukan oleh anak laki-lakinya.

Ia lantas tersenyum, merasa hatinya terenyuh dan matanya memanas saat melihat Sebastian menggelengkan kepalanya tidak percaya. Selama Gregory mengenal pria yang merupakan teman satu apartemen kekasihnya itu, Sebastian jarang sekali mengutarakan dan menunjukkannya perasaannya. Sebaliknya, pria itu hanya sibuk mengamati dan berbicara seperlunya. Gregory belum pernah melihat sisi lain pria itu seperti apa yang disaksikannya saat ini.

Dan hal sesederhana itu membuat Gregory sungguh bahagia.

Tak terasa satu jam lebih dua puluh menit telah berlalu, Gregory sempat melirik layar ponselnya yang disetel dengan mode malam itu. Ia sudah tidak sabar untuk melihat Vincent mencapai nada akhir pada lembar partiturnya, menandakan bahwa ia harus menjadi orang pertama diantara lautan manusia itu untuk berdiri dari duduknya dan memberikan tepuk tangan yang meriah untuk kekasihnya.

Walaupun posisi tempat duduknya yang agak dekat dengan panggung, namun Gregory mampu melihat respon dan antusiasme para penonton konser saat Vincent dan orkestranya memainkan lagu yang legendaris dan menakjubkan.

Gregory mampu melihat senyum dan raut wajah yang puas dari lautan manusia yang memenuhi ruangan ini, membuat hatinya terenyuh dan merasa sangat bangga dengan Vincent.

Ia lalu menghela napas saat mendengar lantunan musik semakin lama semakin intens, nada yang dimainkan pun semakin tinggi, menandakan bahwa Vincent akan menyentuh not balok terakhir dalam partiturnya dan menyelesaikan konser dengan sempurna.

Gregory lantas tertawa kecil, mempersiapkan diri dengan menegakkan tubuhnya, lalu melirik ke arah Timothy yang tengah berbicara sambil berbisik dengan Maximillian, pun ketiga temannya di samping kirinya yang terlihat sibuk dan saling berbicara satu dengan yang lain, entah apa yang dibicarakan.

Ia hanya mengedikkan bahu dan berdecak pelan, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Vincent yang tengah menggerakkan tangannya, mengayunkan tongkatnya dengan dramatis, sesaat sebelum akhirnya membentangkan tangannya sambil menengadahkan kepalanya.

Seketika, telinga Gregory terasa berdengung, dadanya berdegup kencang kala melihat lautan manusia yang menonton konser orkestra kekasihnya malam ini sudah berdiri dari duduknya dan bertepuk tangan dengan sangat meriah. Ia merasa bingung, lalu mengedarkan pandangannya ke arah teman-temannya yang sudah berdiri dan tersenyum lebar sambil bertepuk tangan. Mata Timothy terlihat berair, sahabatnya itu tertawa serak, pun Sebastian yang terlihat diam-diam tengah menghapus air matanya dengan punggung tangannya sambil tertawa.

Ia tidak melewatkan saat-saat terakhir Vincent memainkan not balok dalam partiturnya.

Gregory dengan cepat berdiri, bertepuk tangan dengan mulut yang masih menganga. Ia melihat Vincent membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat, lalu berdiri tegak sebelum akhirnya mengucapkan terima kasih pada para penonton tanpa suara. Gregory tetap bertepuk tangan, merasakan air mata tengah menggenang di pelupuk matanya. Dadanya bergemuruh, bulu kuduk disekujur tubuhnya meremang, dan kedua tangannya pun bergetar, mendengarkan riuh kebahagiaan ditelinganya yang memenuhi seluruh penjuru ruangan.

Ia tidak menunggu lebih lama lagi untuk mengedipkan kedua matanya, membiarkan air matanya menetes membasahi pipinya. Gregory tidak peduli jika reaksinya berlebihan, tidak sedikitpun. Ia merasa bangga, sungguh merasa bangga. Kekasihnya berhasil menyelesaikan konsernya dengan sempurna dan indah, membuat air matanya mengalir semakin deras. Pencapaian yang diraih oleh Vincent membuatnya tersadar, bahwa kekasihnya itu tidak perlu menyandang status resmi konduktor orkestra terbaik di dunia, saat dua ribu orang penonton yang memenuhi ruangan itu menghujani Vincent dan klub orkestranya dengan tepuk tangan yang meriah dan gelengan kepala—menandakan bahwa konsernya telah berakhir dengan apik dan sempurna.

Diatas podium, Vincent lalu mempersilakan satu-persatu kelompok pemegang alat musik orkestra itu untuk berdiri; mulai dari kelompok pemain simbal, drum, selo, hingga biola. Vincent dengan bangga memberikan tepuk tangan yang meriah untuk semua anggota orkestra yang terlibat, terlihat dari senyum yang merekah diwajahnya.

Gregory tertawa kecil sambil menangis, mampu membayangkan betapa bahagianya Vincent saat ini.

Ia menyadari lautan manusia yang menonton konser orkestra Vincent itu perlahan melangkah keluar dari ruangan, semakin lama semakin berkurang, diikuti dengan anggota klub orkestranya yang berdiri dari duduknya, meninggalkan alat musik mereka dan melangkah turun dari panggung.

Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, hanya berhasil menangkap tiga sosok pria paruh baya yang masih terduduk di sayap kiri deretan kursi penonton orkestra, terlihat sedang berbincang satu sama lain.

Timothy yang sedari tadi berdiri di sampingnya lantas merangkulnya sambil tersenyum, terdengar sisa-sisa tangis dari suaranya yang serak. “Vincent is so amazing, ya, Grego? Gue sangat bangga dengan dia.”

Gregory hanya dapat mengangguk sambil membalas rangkulan pria itu, melempar senyum ke arah sahabatnya yang juga merupakan sahabat dari kekasihnya sejak keduanya masih duduk di bangku kuliah. “Yes, Timmy. I'm so proud of him too. Vincent menyelesaikan konsernya dengan sangat sempurna,” ujarnya sambil melepas rangkulannya dari bahu pria itu. “Dia pasti sangat senang sekarang.”

Ia dengan cepat membalikkan tubuhnya saat mendengar suara seseorang yang sangat familier ditelinganya menyahut sambil tertawa.

Almost, Gre.”

Thomas?

Ia terperangah, mulutnya menganga lebar, tidak percaya dengan apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri saat ini. Sahabatnya, Thomas, tengah berdiri di belakangnya, didampingi kedua orang tuanya—Ayu dan Indra—yang berpakaian sangat rapi, seperti keduanya tengah menghadiri acara penting saat ini.

Tunggu... tidak mungkin, 'kan?

What,” ujarnya singkat, sangat bingung, tidak tahu respon apa yang harus ia berikan selain melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. “Thomas? Lo sedang apa di sini? Tante Ayu, Oom Indra? Kapan kalian tiba di Paris?”

Sahabatnya itu menggeleng, lalu mengulurkan tangannya dan menggenggam pergelangan tangannya. “It doesn't matter, Gre. The most important thing, actually the most important person in your life is waiting for you right now,” jelasnya kemudian sambil menggenggam kedua lengannya dan mengarahkan tubuhnya untuk menghadap ke arah podium. “There.”

Ia mengernyitkan dahinya, bingung dengan apa yang dimaksud oleh Thomas barusan.

Vincent terlihat tersenyum, manik hazelnya menatap matanya dengan penuh arti. Gregory hanya dapat memiringkan kepalanya, hendak bertanya pada Thomas, atau bahkan Timothy akan apa yang sedang terjadi, saat sepasang mata bulatnya terbelalak kala melihat Vincent mengeluarkan saksofon kesayangannya dari tas yang sedari tadi dibawa serta oleh pria itu.

Kekasihnya itu lalu melangkah keatas podium sambil memegang saksofon kesayangannya dengan posisi bersiap.

Gregory hanya dapat mengernyit, apa yang akan kekasihnya itu lakukan? Ia sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Apakah ada sebuah rencana yang terlewatkan olehnya? Ia lantas teringat betapa dirinya merasa gugup dan berusaha mengingat apakah ada sesuatu yang dilewatkan olehnya sejak pagi tadi.

Thomas tiba-tiba menyentuh lengannya, membuat lamunannya buyar. Ia lalu menoleh kearah sahabatnya itu yang meminta dirinya untuk mendekat ke arah podium. Ia sempat merasa bingung, namun perasaan itu luntur saat ia mendengar dengan jelas, suara saksofon yang sangat dikenalnya melantunkan nada dari lagu favoritnya.

Vincent, kekasihnya, memainkan lagu These Foolish Things—lagu pertama yang dimainkan oleh pria itu saat keduanya tengah berada di studio musik miliknya beberapa bulan lalu; lagu yang sukses membuatnya jatuh cinta pada Vincent untuk pertama kalinya, lagu yang sukses membuatnya lebih dekat dengan pria yang dengan rela memainkan lagu itu kembali dengan saksofonnya karena Gregory secara tidak langsung “memintanya”.

Tuhan, ia sungguh tidak mengerti akan apa yang sedang terjadi. Lidahnya terasa kelu, kedua lututnya terasa lemas, seperti tidak ada lagi roh yang tersisa dalam tubuhnya. Ia benar-benar bingung, seperti seorang anak kecil yang kehilangan arah.

Kedua matanya beberapa kali mengerjap, masih tidak percaya dengan apa yang dilihat dan terdengar oleh kedua telinganya saat ini.

Vincent tengah memainkan lagu favorit mereka berdua; lagu yang merupakan “awal” dari segalanya. Kekasihnya itu tengah memejamkan matanya, dengan berkonsentrasi penuh meniup saksofonnya dan memencet kunci nadanya dengan lihai.

Thomas lalu berbisik ditelinganya, sebelum akhirnya meninggalkannya di sana, berdiri di depan podium seorang diri, membuatnya semakin bingung dengan kata-katanya.

Always be happy, Gre. Because you really deserve it.”

Ia lantas menggumam dan membalikkan tubuhnya. Para teman-temannya terlihat berdiri di area VIP ruangan itu, memandangnya dari kejauhan sambil mengacungkan ibu jari mereka. Timothy sudah berada dalam pelukan Maximillian, sedang Hosea sudah siap dengan ponselnya—entah melakukan apa, Gregory benar-benar bingung.

Ia lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Vincent yang tengah meniup saksofonnya sambil menatap kedua matanya. Manik hazel itu berbinar, terlihat mengkilat seperti tertutup air mata.

Apakah Vincent-nya sedang menangis?

Lantunan nada yang dimainkan oleh kekasihnya itu sukses membuat tubuhnya terasa hangat, seperti selimut tebal yang membalut kulitnya, seperti sebuah payung yang sedang menudungnya, dan seperti cinta yang begitu tulus menyusup kedalam tubuhnya lewat permukaan kulitnya.

Ia hanya dapat tersenyum lebar dan membentangkan kedua tangannya saat melihat Vincent meletakkan saksofonnya diatas salah satu kursi di sana, lalu melangkahkan kakinya menuruni anak tangga dari podium tempatnya berdiri.

Pria itu lantas melangkahkan kakinya lebar-lebar menghampiri dirinya, lalu merengkuh tubuhnya kedalam pelukan, membuatnya sempat terhuyung.

Gregory tak sadar sudah menangis.

“Vin, sayang. Hei,” bisiknya lirih disela-sela tangisnya. Ia sudah tidak peduli jika air matanya akan membuat jas yang dikenakan Vincent akan basah. Ia sungguh tidak peduli. “They love it. They love it so much! I am so proud of you,” ujarnya lagi, kali ini sedikit lebih keras, ingin memberitahu Vincent seberapa bangga dirinya terhadap kekasihnya itu.

Vincent hanya membalas kalimatnya dengan mencium pelipisnya, berbisik ditelinganya dengan lembut. “Thank you, Beau. Thank you. I did it, we did it.”

Ia terkekeh lalu melonggarkan pelukannya, menatap sepasang mata Vincent yang terlihat basah. “Aku sangat bangga padamu, Vincent. Benar-benar bangga. Kamu berhasil, sayang.”

Kekasihnya itu menyunggingkan senyum lebar lalu menggeleng, membuatnya lantas mengernyitkan dahi.

Mengapa kekasihnya itu menggeleng?

Namun belum sempat Gregory bertanya, seketika kedua matanya terbelalak, kedua tangannya menutup mulutnya yang terbuka lebar saat Vincent merogoh saku dalam jasnya lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah marun. Kotak itu terlihat cukup sederhana namun elegan, membuatnya merasakan seluruh darah dalam tubuhnya terpompa naik ke kepalanya saat ia melihat pria itu berlutut di hadapannya.

Tidak mungkin.

Vincent lalu membuka kotak itu perlahan, terlihat cincin berwarna silver yang begitu simpel namun cantik berada di sana. Pria itu meraih tangannya, menggenggamnya erat sambil mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya.

Oh, Tuhan.

“Aku sudah berhasil memperkenalkan duniaku; kecintaanku pada orkestra dan musik, kepadamu, Gregory, seseorang yang sudah aku anggap sebagai duniaku sendiri. Terima kasih atas semua cinta dan dukungan yang kamu berikan selama ini untukku, tanpa berpikir untuk menyerah sedikitpun.” Vincent berkata sambil menengadahkan kepalanya, menatapnya yang tengah terperangah dan masih menutup mulutnya dengan tangan kirinya. “Terima kasih karena telah menuntunku menjadi seseorang yang jauh lebih baik dari enam bulan yang lalu. You don't know how grateful I am, Gregory. Aku sangat bersyukur memiliki sosok sepertimu dalam hidupku.

“Dan aku akan menilai konserku berhasil sebentar lagi,” jelas pria itu sambil menatap kedua matanya, sebelum menyambung lagi dengan suara yang terdengar mantap. “Sebentar lagi, setelah aku mendengar satu kata darimu.”

Gregory menelan ludahnya. Tenggorokannya terasa kering.

Tidak mungkin.

“Gregorius, mon amour, voulez-vous m'épouser?”

Ia merasa lemas, membuatnya tak bisa menghentikan air matanya. Ia merasakan kedua lututnya menyentuh lantai yang sangat dingin, mencoba menangkap sosok Vincent dari pandangan matanya yang buram. Ia berlutut di hadapan Vincent, lalu mengulurkan kedua tangannya untuk menangkup wajah kekasihnya itu.

Gregory hanya dapat mengangguk sambil terisak, membiarkan tangisnya sendiri pecah memenuhi seluruh ruangan itu.

A thousand percent yes, Vincent,” katanya terbata-bata. “I will marry you. Mon Dieu,” ujarnya singkat sambil menarik napas panjang. “Si, yes, of course I will marry you, my last baton.”

Vincent menghela napas dan terdengar tertawa, lalu menangkup wajahnya dan mencium bibirnya, membuat kepala dan dadanya dipenuhi oleh euforia kembang api yang meledak bersamaan dengan tangisnya.

Thank you for saying yes, mon amour,” bisik Vincent lirih sambil tetap menciumnya. “I love you. God, I love you more than anything.”

Ia mendengar siulan dan teriakan yang riuh dari arah bangku penonton, dengan jelas mengetahui bahwa suara itu berasal dari para sahabatnya yang tengah menyaksikan momen terindah untuknya.

Gregory benar-benar bahagia. Gregory pun mampu merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Vincent, kekasihnya, yang baru saja secara resmi melamarnya di depan panggung orkestra, tempat pria itu mencurahkan seluruh kecintaannya pada musik di hadapan ribuan penonton.

Ia benar-benar bahagia. Vincent pun terlihat merasa bahagia.

Dan ia berharap, perasaan itu akan selamanya menyelimuti mereka.

Ciuman mereka yang tak beritme itu terpaksa harus terhenti saat Gregory menyadari keberadaan beberapa orang asing sedang berdiri di samping mereka.

Ia lantas mengakhiri kegiatan mereka dan berdiri sambil tersenyum. Vincent terlihat mengernyitkan dahi, sepertinya tidak mengenal ketiga orang asing yang berdiri di hadapan mereka.

I'm sorry for interrupting this beautiful moment, Monsieur,” ucap salah satu pria paruh baya yang sempat dilihat olehnya beberapa saat lalu, tengah berbincang satu sama lain saat ruangan itu telah kosong dari lautan penonton.

We are from Vienna Philharmonic Orchestra. May I ask your time to talk after this, Monsieur Vincentius?”


Chauffeur: a person employed to drive a private or rented automobile

Faisons de notre mieux peu importe quoi: Let's do our best, no matter what.