reforget | 011

Paskal merasa tidak mengenali dirinya sendiri pagi ini. Ia perlahan membuka kedua matanya sambil mengernyit, merasakan sinar matahari yang cukup terik menyapa indra penglihatannya tanpa permisi. Ia lantas menggeram, menyesali keputusannya semalam untuk tidak menutup tirai jendela kamarnya yang berada di sisi paling depan gedung kos itu. Ia lalu mengerjapkan matanya, menarik selimut tebalnya karena suhu ruangan yang sangat dingin dengan kedua tangannya.

Ia menghela napas panjang, mengumpulkan kesadaran yang masih sedikit tercecer untuk mencoba mengingat apa saja kegiatan yang harus dilakukannya sepanjang hari ini.

Kedua telinganya seketika menangkap banyak suara; seseorang yang sedang mengunci pintu kamar kos yang sepertinya tak jauh dari kamarnya, suara pembawa acara yang sedang membicarakan sesuatu dengan heboh lewat saluran televisi, dan deru mesin kendaraan bermotor yang berlalu-lalang didepan gedung kosnya berada.

Indra pendengarannya pun tak melewati suara cicit burung yang terasa begitu dekat ditelinganya, seperti menyampaikan padanya bahwa ia harus segera beranjak dari kasur untuk memulai harinya.

Namun sesaat, dahinya kembali mengernyit. Ia mendengar semua suara.

Semuanya, kecuali alarm pada ponselnya.

Paskal yang sedang melamun sambil mengiggit kuku ibu jarinya, lantas menyadari ada sesuatu yang salah, sesuatu yang terjadi tidak seperti biasanya. Ia lantas menegakkan tubuhnya dari posisi yang semula telentang, memicingkan mata kearah meja belajar yang terletak tidak jauh dari kasurnya untuk mengecek jam meja kesayangannya, dan menyadari bahwa waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi.

Ia terperangah, menyadari bahwa dirinya bangun satu jam lebih cepat mendahului alarm yang diaturnya sejak semalam. Hal ini jarang terjadi, biasanya bahkan ia harus menyentuh layar ponselnya asal hanya untuk menghentikan suara repetitif yang kerap kali memekakkan kedua telinganya itu.

Paskal lalu turun dari kasur, memijakkan kedua kakinya pada lantai yang terasa sangat dingin dan meregangkan tubuhnya sebelum akhirnya melangkah ke arah kamar mandi. Walaupun dirinya merasa waktu istirahatnya belum cukup, namun fakta itu tidak akan mengurungkan niatnya sedikit pun untuk bergegas mencari sarapan di sekitaran area gedung kosnya lalu berangkat menuju Balairung Universitas Indonesia. Ia merasa sangat bersemangat untuk bertemu Jefri dan Wahyu, dua orang pria yang baru saja dikenalnya kemarin saat pengarahan ospek* jurusan.

Paskal memang pandai bergaul, namun ia tidak menyangka akan secepat itu mendapatkan teman satu jurusan yang menyenangkan. Well, ia tahu dirinya terdengar sangat optimis bahwa kedua pria asing itu akan tetap menjadi temannya setelah kegiatan ospek berakhir. Namun, tidak ada salahnya untuk berpikir positif, 'kan?

Setelah menghabiskan waktu selama lima belas menit untuk mandi, Paskal lalu mengambil alat cukur pada tas kecil berisi peralatan mandinya untuk mencukur janggutnya yang tipis. Ia lalu mengangkat kepalanya, melihat pantulan wajahnya pada cermin yang tergantung diatas wastafel kecil itu, lantas tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya pelan. Tidak akan ada lagi satu orang pun yang menemani dan tinggal bersama dengannya; tidak ada lagi yang akan membantu alarm ponselnya untuk membangunkannya untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke sekolah, tidak ada lagi sosok ibunya yang akan mengetuk pintu kamarnya berkali-kali hingga dirinya terbangun dari tidurnya.

Walaupun Paskal sudah tinggal di Depok—jauh dari kedua orang tuanya di Bandung, ia pun masih berusaha untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi hidupnya yang berubah seratus delapan puluh derajat sejak memutuskan untuk menyewa sebuah kamar kos kecil dekat kampus. Kamar tidur yang baru ditempati olehnya selama seminggu itu dapat dikatakan cukup nyaman; dengan harga yang tidak lebih dari dua juta rupiah, ia sudah mendapatkan fasilitas berupa AC dan kamar mandi dalam, pun ruangan yang sudah terisi sebuah kasur, lengkap dengan sepasang bantal dan guling, lemari pakaian, meja belajar serta jaringan wi-fi sepuasnya.

Gedung kos pria yang akhirnya ditempati olehnya ini adalah pilihan kedua, setelah mengecek beberapa unit apartemen di Margonda Residence (Mares), gedung tempat Julian—kakak laki-lakinya—tinggal selama dua tahun belakangan ini. Sebenarnya ia bisa saja memilih untuk tinggal berdekatan dengan pria yang lebih tua darinya dua tahun itu—sekaligus jauh dari deru kendaraan yang mungkin akan mengganggu tidurnya setiap pagi—namun ia lebih memilih untuk hidup mandiri, membiasakan untuk tinggal berjauhan dengan kakaknya. Keduanya pun hanya memiliki kesempatan untuk bertemu seminggu sekali selama dua tahun belakangan ini, berujung menahan rasa rindu karena keduanya tak jarang bertengkar kecil. Namun, kakak laki-lakinya itu selalu menanyakan kabarnya via telepon, tak henti memberikan suntikan semangat dan motivasi saat mengetahui bahwa dirinya ingin menyusul Julian untuk menimba ilmu di kampus yang sama.

Setelah melalu perjalanan yang panjang; berjuang selama beberapa bulan yang selalu berakhir gagal; ditolak saat mendaftar di jurusan Hubungan Internasional pada tes seleksi masuk Universitas Indonesia—mimpinya sejak masih duduk dibangku SMA—pada seleksi tes jalur mandiri Universitas Padjajaran dan tes SNMPTN, akhirnya semua usaha, rasa frustrasi serta tangisnya itu terbayar.

Masih teringat jelas dalam benaknya, saat hari itu, tepat pukul lima pagi, ayah dan ibunya mengetuk kamarnya dengan membawa serta surat kabar dengan perasaan waswas. Paskal hanya dapat mengulum senyum kecut, berusaha berpikir positif dan optimis ditengah rasa putus asa yang sudah bercokol begitu lama didadanya. Dan dengan pikiran yang berkecamuk dan perasaan pasrah, dilengkapi kedua matanya yang setengah tertutup karena kurang tidur akibat belajar hingga larut malam sambil sesekali menangis, Paskal akhirnya menemukan nomor peserta ujian miliknya tercantum diantara ribuan deret nomor pada salah satu halaman koran yang memampangkan hasil pengumuman lolos tes seleksi jalur SIMAK UI.

Paskal masih tidak percaya dengan kenyataan bahwa dirinya telah resmi menyandang status seorang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia—betapa susah payah dirinya ingin mengejar mimpinya itu dan menggenggamnya dengan kedua tangannya.

Ia bersyukur, setidaknya hingga hari ini, keinginannya untuk mencapai sesuatu hampir selalu terpenuhi.

Dan dirinya hanya berharap, selamanya keberuntungan akan tetap berpihak padanya.


Sesampainya di Halte Pondok Cina yang terlihat ramai, Paskal lantas melangkahkan kaki kirinya turun dari bus kuning—salah satu moda transportasi sekaligus fasilitas milik Universitas Indonesia yang ditumpanginya dari halte Kukusan Teknik—halte terdekat dari gedung kosnya.

Ia sedikit membalikkan tubuhnya saat bus kuning itu hendak melaju dan mengeluarkan asap hitam dari knalpot yang dipastikan akan membuat pakaiannya bau, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menyeberangi jalan menuju Balairung.

Cuaca siang ini cenderung cerah, namun masih bisa ditoleransi oleh tubuhnya. Paskal hanya berharap, hari ini ia tidak salah kostum. Hell, ia akan sangat kegerahan jika cuaca tiba-tiba berubah menjadi terik dan panas. Ia pun juga ingin cuaca tidak berubah menjadi mendung dan lembab jika dirinya tidak ingin tersiksa dibalik pakaian rapinya.

Ini adalah kali kedua Paskal mengunjungi area Balairung yang berdiri megah di samping danau universitas yang sangat luas itu. Sebelumnya, ia sempat berada di sekitaran gedung ini untuk mengambil pembagian jaket kuning beberapa hari lalu seorang diri, tidak ada satupun mahasiswa yang dikenalnya. Ia pun tidak berusaha mencari teman-teman semasa sekolahnya yang ia tahu juga merupakan mahasiswa baru di kampus itu.

Ia lebih memilih untuk menikmati waktunya sendiri, sekaligus mencari lokasi baru di sekitar gedung untuk menyalurkan hobinya bermain basket.

Paskal melangkahkan kakinya santai, menyusuri jalan setapak di pinggir danau menuju ke gedung rektorat, titik di mana ia akan bertemu dengan Jefri dan Wahyu sebelum berkumpul di Science Park UI dengan para mahasiswa baru. Ia lalu melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kirinya, menyadari bahwa ia masih memiliki waktu lima belas menit sampai kedua temannya itu datang.

Maka ia memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan mengitari area rektorat dan balairung—tidak mengenakan handbelt berwarna oranye pada lengannya yang menunjukkan bahwa dirinya adalah salah satu dari mahasiswa baru yang akan menghadiri kegiatan fakultasnya.

Setelah merasa lelah akibat berjalan kaki agak jauh, ia lalu berhenti dipinggir Lapangan Rotunda yang berada di depan gedung Rektorat UI, membasuh peluh pada dahinya dengan handuk kecil yang dibawanya didalam tas. Ia lalu merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya dan mengabadikan gedung Balairung yang terlihat megah dari kejauhan dengan kamera ponselnya. Ia meringis saat merasakan keringat perlahan mengalir dari leher hingga punggungnya, menyesali keputusannya untuk memakai kemeja lengan panjang yang sudah membuatnya kegerahan, padahal kegiatannya siang ini dengan para senior BEM* fakultas belum dimulai.

Matahari yang semula bersembunyi dibalik selimut awan, kali ini dengan gagah berani memancarkan cahayanya, membuat tubuh Paskal semakin terasa panas dan gerah. Ia lalu mengedarkan pandangan, melihat ke arah area Balairung yang terlihat sepi, dengan undakan beton yang mengelilinginya dipinggirnya. Ia lantas melangkahkan kakinya ke sana, bermaksud untuk mencari tempat untuk berteduh dibawah pohon rindang sambil menunggu kedua temannya itu datang.

Paskal melihat beberapa mahasiswa baru yang tengah bergerombol di selasar Balairung, mereka sudah mengenakan tali oranye pada lengan kanannya sambil berbincang. Ia hanya mengedikkan bahu, mengambil duduk diatas beton yang tidak terkena sinar matahari itu lalu mengeluarkan ponselnya kembali dari sakunya. Ia mengirim beberapa pesan singkat pada Julian yang sepertinya akan ikut berpartisipasi pada kegiatan ospek hari ini.

Namun dengan cepat pria itu mengirim balasan dan memberitahunya bahwa ia tidak akan bergabung hari ini. Well, setidaknya ia tidak harus bersandiwara untuk pura-pura tidak mengenal kakaknya sama sekali, karena dirinya dan Julian memutuskan untuk tidak memberitahu hubungan mereka pada siapapun sampai ia resmi memulai kegiatan perkuliahannya dua minggu lagi. Ia tidak ingin menjadi sasaran empuk para senior karena memiliki hubungan darah dengan Julian. Kakaknya itu pun tidak ingin Paskal menjadi bahan ejekan dan kejahilan teman-temannya karena menyandang status adik kandung salah satu pria yang namanya sangat eksis di jurusan Komunikasi dan juga FISIP.

Ia hendak melanjutkan obrolannya dengan Julian saat menyadari ada dua orang pria berjalan ke arahnya, menolehkan kepala ke kanan dan kiri, seperti kebingungan.

Paskal lalu menyimpan kembali ponselnya didalam saku celananya lalu berdiri dari duduknya, saat seorang pria asing bertemu mata dengannya.

“Halo, maaf,” sapa pria itu dengan senyum yang ramah dengan suara yang berat, menunjukkan deret giginya yang putih dibalik senyum kotak yang membuat sepasang matanya hampir saja mengerling.

Oh, Paskalis, tolong kontrol dirimu sendiri, teriaknya dalam hati.

“Gedung Science Park, ada di mana ya? Lo... apakah mahasiswa baru juga?”

Paskal pun mengangguk, sambil tangan kirinya membersihkan bagian belakang celananya yang dipastikan sedikit kotor karena debu. “Iya, gue mahasiswa baru,” jawabnya sambil meneliti wajah pria yang sepertinya sebaya dengannya.

Banyak pertanyaan yang terlintas dalam benaknya, siapakah nama pria ini? Apakah ia juga seorang mahasiswa baru? Sial, apakah pria yang memiliki tahi lalat diujung hidungnya itu juga akan berada satu fakultas dengannya?

Apa yang harus ia katakan untuk melontarkan semua pertanyaan yang sudah bercokol dikerongkongannya dan hampir bergerak menuju ujung lidahnya itu?

Ia lalu mengedipkan kedua matanya, menyadari dirinya tertangkap basah sedang melamun saat pria itu memiringkan kepalanya sambil mengernyitkan dahi. Satu pria lain—sepertinya adalah temannya—yang berdiri di samping pria pemilik senyum kotak itu mengenakan kacamata, rambutnya berwarna cokelat tua dan postur tubuhnya tegap.

Demi Tuhan, kata-kata Julian beberapa saat lalu lewat pesan singkat itu benar-benar membuat otaknya mendadak macet.

Oke, Nan. Gebet langsung kalau cakep.

Ia tidak menyangka akan langsung bertemu dengan dua pria tampan dihadapannya.

Paskal menjilat bibirnya sekilas, membuat pemilik sepasang manik hazel dengan lekuk kelopak mata yang berbeda itu lantas melirik kearah bibirnya.

Ia menelan ludahnya.

“Science Park ada di sana,” jawabnya kemudian sambil menunjuk ke arah gedung yang dimaksud. Jika pria yang ada dihadapannya itu menanyakan tempat yang menjadi tujuannya pula, hanya ada dua jawaban yang tersedia untuk pertanyaannya.

Antara pria itu adalah juga mahasiswa baru FISIP, atau ya, ia adalah seorang senior yang sedang memberinya sebuah “tes”.

Ia tidak tahu, sungguh tidak tahu. Ia hanya berharap tidak akan bertemu lagi dengan pria itu dengan posisi yang berbeda; Paskal berdiri didalam barisan, dengan pria itu berdiri di pinggir barisan dengan menggunakan jaket kuning dan handbelt hitam dilengannya.

Seorang pria berkacamata terdengar ber-oh-ria, lalu mengucapkan terima kasih padanya, berlalu mendahuluinya yang sedang bertatapan dengan pria yang tinggi tubuhnya tidak jauh berbeda dengannya itu.

Sedangkan pria pemilik suara berart yang sedang berdiri di hadapannya itu hanya mengangguk dan berdecak, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.

Senyum yang membuat Paskal merasa harus mengetahui nama pria asing itu saat ini juga.

“Ah, thanks, bro,” sahut pria itu sambil tersenyum lebar lalu melangkahkan kakinya mundur, menjauhi dirinya yang sedang berdiri sambil memegangi tali tas ranselnya. “Sampai ketemu lagi, stranger!”

Pria itu lantas berlari-lari kecil menyusul sang pria berkacamata sambil menggelengkan kepalanya.

Paskal dapat merasakan pria asing itu menyunggingkan senyumnya sambil menundukkan kepala.

Ia hanya bisa berdiri mematung dan menggigit bibirnya.

Tuhan, apa yang baru saja terjadi padanya?


Ospek: Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus

BEM: Badan Eksekutif Mahasiswa